Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Pendidikan sebagai ilmu bersifat multidimensional dan dinamis baik dari segi
filsafat maupun secara ilmiah. Teori yang dianut dalam sebuah praktrek pendidikan
sangat penting, karena pendidikan menyangkut pembentukan generasi dan semestinya
harus dapat dipertanggungjawabkan.dan dari konsep teori itulah kita berangkat
menentukan proses kegiatan pendidikan secara umum dan kegiatan belajar mengajar
secara umum.
Proses pendidikan merupakan upaya mewujudkan nilai bagi peserta didik dan
pendidik dan memerlukan pendidikan dapt menghayati nilai-nilai agar mampu menata
perilaku serta pribadi yang semestinya. Sebagai contoh, dalam wacana ke Indonesiaan
pendidikan semestinya berakar dari konteks budaya dan karakteristik masyarakat
indonesia, dan untuk kebutuhan masyarakat indonesia yang terus berubah, hal ini
berarti bahwa sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang
mampu bertanggu jawab secara rasional, sosial,moral dan pelakssanaan.
Berbicara tentang landasan filosofis pendidikan berarti berkenaaan dengan
tujuan filosofit suatu praktik pendidikan adalah dengan mengunakan pendekatan
filsafat ilmu yang meliputi tiga bidang kajian yaitu ontologi, epistimologi, dan
aksiologi. Aksiologi sendiri mempunyai cakupan yaitu pendidikan karakter,
pendidikan di negara maju, mengemas pendidikan yang menarik, persaingan antar
lembaga pendidikan di Indonesia, dan kurikulum yang selalu berbasis kompetensi dari
sudut pandang aksiologi yang menjadi suatu pekerjaan rumah tersendiri bagi pelaku
pendidikan.
1.2 Rumusan masah
1. Apakah yang dimaksud dengan pengertian aksiologi?
2. Apakah yang dimaksud dengan pengertian aksiolog dalam kontek pendidikan?
3. Bagaimana cara mengemas pendidikan yang berkarakter dan menarik?
4. Bagaimana persaingan antar lembaga pendidikan di Indonesia?
5. Bagaimana pengembangan kurikulum yang berbasis kompetensi dalam sudut
pandang aksiologi?

1
2

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian aksiologi
2. Untuk mengetahui pengertian aksiolog dalam kontek pendidikan
3. Untuk mengetahui cara mengemas pendidikan berkarakter dan menarik
4. Untuk mengetahui persaingan antar lembaga pendidikan di Indonesia
5. Untuk mengetahui pengembangan kurikulum yang berbasis kompetensi dalam
sudut pandang aksiologi.
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Aksiologi

Aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa yunani “axios” yang berarti
bermanfaat dan „logos‟ berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Secara istilah,
aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau
dari sudut kefilsafatan. Sejalan dengan itu juga aksiologi adalah studi tentang
hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan
kebenaran). Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi
dari nilai-nilai etika dan estetika. Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus
itu.
Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno,
terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori.
Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.
Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut kamus Bahasa
Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia,
kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.
Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi adalah suatu pendidikan yang
menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia
dan menjaganya, membinanya di dalam kepribadian peserta didik. Dengan
demikian aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang
nilai-nilai atau norma-norma terhadap sesuatu ilmu.Berbicara mengenai nilai itu
sendiri dapat kita jumpai dalam kehidupan seperti kata-kata adil dan tidak adil,
jujur dan curang. Hal itu semua mengandung penilaian karena manusia yang
dengan perbuatannya berhasrat mencapai atau merealisasikan nilai. Nilai yang
dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada
umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat

3
4

banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai


yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan
dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan
estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.
Menurut Bramel, aksiologi terbagi tiga bagian, yaitu :
a. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin
khusus, yaitu etika.
b. Estetic Expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan
keindahan
c. Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan
filsafat sosial politik.
Dari definisi-definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika
dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan
bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat
dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi
baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi
yang melibatkan norma-norma.
Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman
keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di
sekelilingnya. Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian
tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta
tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu
teori yang konsisten untuk perilaku etis.
Dari definisi-definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang aksiologi (nilai) dalam filsafat mengacu pada permasalahan
etika dan estetika.
5

2.2 Pengertian Aksiologi Dalam Kontek Pendidikan

Hubungan Antara Aksiologi dengan Pendidikan

Aksiologi mempelajari mengenai manfaat apa yang diperoleh dari ilmu


pengetahuan,menyelidiki hakikat nilai,serta berisi mengenai etika dan estetika. Penerapan
aksiologi dalam pendidikan misalnya saja adalah dengan adanya mata pelajaran ilmu sosial
dan kewarganegaraan yang mengajarkan bagaimanakah etika atau sikap yang baik
itu,selain itu mata pelajaran kesenian yang mengajarkan mengenai estetika atau keindahan
dari sebuah karya manusia. Dasar Aksiologis pendidikan adalah kemanfaatan teori
pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk
memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan
manusia secara beradab.

Aksiologi Filsafat Pendidikan

Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral
(morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam
dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai.
Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar
dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends).

Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia
bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka
memungkinkan seseorang u ntuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata
atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought/should).
Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-
konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.

Terdapat dua kategori dasar aksiologis; 1) objectivism dan 2) subjectivism.


Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau
tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini
muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua
berikutnya beraliran subyektivis.

Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan
bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai
6

yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau
absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif.

Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka
menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan
antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau
perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses
intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan
preskripsi-preskripsi moralnya.

Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah
percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut
ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa
seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar,
sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu
berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan,
seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan
perilakunya.

Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya
diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang
dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji
oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia.
Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak
absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum
hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.

Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran
sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini
memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya
merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu
opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi
bagian penting dari tindakan manusia.
7

Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan

Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu sangat
bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah
dunia.

Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh
Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu
merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi
malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu
merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk
mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal
baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.

Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa
filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal,
yaitu filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.

Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang
membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem
ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah
kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu; filsafat sebagai pandangan hidup.

Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya
dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah
untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan; Filsafat sebagai metodologi dalam
memecahkan masalah.

Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batu di depan pintu,
setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan
dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara
menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila
cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara
tuntas. Penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang
berkembang dalam kehidupan manusia.
8

Penerapan Aksiologi dalam Pendidikan

Telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya bahwa aksiologi adalah ilmu


pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan (Kattsoff,
1992:327) atau studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (Sarwan,
1984:22). Penerapan aksiologi sebagai nilai-nilai dalam dunia pendidikan dapat
dikemukakan sebagai berikut:

Aliran filsafat progressivisme telah memberikan sumbangan yang besar terhadap


dunia pendidikan karena meletakkan dasar-dasar kemerdekaan, dan kebebasan kepada
anak didik. Oleh karena itu, filsafat ini tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab
pendidikan otoriter akan mematikan potensi pebelajar untuk mengembangkan potensinya.

Untuk itu pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi


kebudayaan baru yang memberikan warna dan corak dari kreasi yang dihasilkan dari situasi
yang tercipta secara edukatif. Setiap pebelajar mempunyai akal dan kecerdasan sebagai
potensi yang dimilikinya yang berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Potensi tersebut
bersifat kreatif dan dinamis untuk memecahkan problem-problem yang dihadapinya.

Sekolah yang ideal adalah sekolah yang pelaksanaan pendidikannya terintegrasi


dengan lingkungannya. Sekolah adalah bagian dari masyarakat, sehingga harus diupayakan
pelestarian karakteristik lingkungan sekolah atau daerah tempat sekolah itu berada dengan
prinsip learning by doing (belajar dengan berbuat). Tegasnya, sekolah bukan hanya
berfungsi sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan), melainkan juga
sebagai transfer of value (pendidikan nilai-nilai) sehingga anak menjadi terampil dan
berintelektual.

Aliran essensialisme berpandangan bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-


nilai budaya yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang diwariskan
kepada kita telah teruji oleh seluruh zaman, kondisi, dan sejarah. Kesalahan kebudayaan
modern sekarang menurut aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilai-nilai yang
diwariskan itu. Esessialisme memandang bahwa seorang pebelajar memulai proses
pendidikannya dengan memahami dirinya sendiri, kemudian bergerak keluar untuk
memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju makrokosmos. Dengan landasan
pemikiran tersebut, maka belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada
dirinya sendiri.
9

Aliran perenialisme berpandangan bahwa pendidikan sangat dipengaruhi oleh


pandangan tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Menurut Plato
manusia secara kodrati memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran. Pendidikan
hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar kebutuhan yang ada
pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi. Sedangkan Aristoteles lebih menekankan
pada dunia kenyataan. Tujuan pendidikan adalah kebahagian untuk mencapai tujuan itu,
maka aspek jasmani, emosi dan intelektual harus dikembangkan secara seimbang. Menurut
Robert Hutchkins manusia adalah animal rasionale, maka tujuan pendidikan adalah
mengembangkan akal budi agar seseorang dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan
hidup itu sendiri.

Aliran rekonstruksionisme ingin merombak kebudayaan lama dan membangun


kebudayaan baru melalui lembaga dan proses pendidikan. Perubahan ini dapat terwujud
bila melalui usaha kerja sama semua umat manusia atau bangsa-bangsa. Masa depan umat
manusia adalah suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis,
bukan dunia yang dikuasai oleh suatu golongan. Cita-cita demokrasi yang sebenarnya
bukan hanya dalam teori melainkan harus menjadi kenyataan, dan terlaksana dalam praktik.
Hanya dengan demikian dapat pula diwujudkan satu dunia yang dengan potensi-potensi
teknologi mampu meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, dan
jaminan hukum bagi masyarakat, tanpa membedakan warna kulit, nasionalitas,
kepercayaan, dan agama.

Pendidikan bertujuan untuk mewariskan nilai-nilai yang dipandang penting untuk


pembinaan kepribadian seseorang. Implikasi dan nilai-nilai (aksiologi) di dalam
pendidikan harus diintegrasikan secara utuh dalam kehidupan pendidikan secara praktis
dan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai yang meliputi kecerdasan, nilai-nilai ilmiah,
nilai moral, dan nilai agama. Hal ini tersimpul di dalam tujuan pendidikan, yakin membawa
kepribadian secara sempurna. Pengertian sempurna disini ditentukan oleh masing-masing
pribadi, masyarakat, bangsa sesuai situasi dan kondisi.

2.3 Pendidikan Berkarakter dan Menarik dalam sudut pandang aksiologi

Secara etimologi karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti
mengukir. Sifat utama ukiran adalah melekat kuat di atas benda yang diukir. (Abdullah
Munir: 2010). Tidak mudah luntur oleh waktu dan aus oleh gesekan. Menghilangkan ukiran
10

sama dengan menghilangkan benda tersebut karena ukiran telah menyatu dengan
bendanya. Ini berbda dengan gambar atau tulisan tinta yang hanya disapukan di atas
permukaan benda yang mudah hilang dan tidak meninggalkan bekas jika dihapus.

Jika seseorang memiliki sebuah sifat buruk, meski telah diberi nasehat ratusan kali,
masukan dari manapun, sifatnya tidak berubah, mungkin berubah sesaat saat diberi nasehat
namun akan muncul lagi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sifat tersebut sudah melekat
dan sulit diubah, itulah karakter. (Abdullah Munir: 2010)

Mengapa Karakter? Theodore Roosevelt, mantan presiden USA yang mengatakan:


“To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to
society” (“Mendidik seseorang hanya dalam aspek kecerdasan otak dan tidak melibatkan
aspek moral adalah merupakan ancaman mara-bahaya kepada masyarakat.”)

Beberapa hasil penelitian dan survei menunjukkan bahwa 90% anak usia 8-16
tahun telah membuka situs porno di internet di sela-sela mengerjakan pekerjaan rumah (25
Juli 2008. Media Indonesia). Jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP,
dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak
1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Data BNN
Provinsi Sumatera Utara Tahun 2018 menunjukkan bahwa Provinsi DKI Jakarta dan
Provinsi Sumatera Utara menduduki Peringkat 1 dan 2 secara nasional, tentunya masih
banyak data serta fakta lainnya yang bisa kita ungkap. Tapi data-data di atas sudah cukup
mewakili bagaimana potret anak usia sekolah di negeri ini. Kini, dinyatakan bahwa
Indonesia Darurat Narkoba.

Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang membagi fokusnya terhadap dua


hal, yaitu ilmu pengetahuan dan pengembangan karakter individu yang dalam hal ini lebih
ditekankan kepada sikap, perilaku dan cara berpikir individu. Pendidikan karakter sangat
penting perannya dalam membatasi langkah dan perilaku individu agar tidak melanggar
norma dan hal-hal lain yang bertentangan dengan budaya masyarakat timur. Pendidikan
karakter sangat baik jika diterapkan sejak dini dengan sasaran anak-anak agar terbentuk
pribadi yang memiliki pandangan dan ideologi sendiri. Namun coba kita lihat sekeliling
kita, anak-anak sudah dijejali aneka macam permainan berteknologi tinggi. Apa karakter
yang bisa diciptakan dari permainan tersebut? Hal yang sangat mungkin terjadi adalah
bahwa anak akan ketagihan, sehingga mengganggu waktu belajar dan akan berpengaruh
terhadap aspek ilmu yang diperoleh dan pada akhirnya akan berdampak pada terciptanya
11

individu yang tidak berkualitas dan tidak siap bersaing. Setujukah Anda jika saya berkata
“permainan tradisional sudah mulai punah, padahal permainan tersebut merupakan
karakter asli anak-anak Indonesia”. Begitu banyak permainan tradisional yang
membutuhkan keaktifan dan kreativitas anak. Apakah yang seperti ini bukan bagian dari
pendidikan? Apakah pendidikan hanya melulu berbasis kurikulum yang diajarkan di
sekolah? Agaknya pemikiran Anda perlu diperluas lagi. Pendidikan karakter tidak hanya
harus diberikan di lingkungan sekolah, namun keluarga juga sangat berpengaruh terhadap
pembentukan karakter anak. Selain keluarga, lokasi bermain pun demikian. Cara mengajar
di kelas perlu ada inovasi. Menurut saya, pendidikan karakter anak harus dimulai dari
lingkup terkecil, yaitu keluarga, kemudian sekolah dan tempat bermain. Apa yang
diperoleh anak dalam kegiatan sehari-harinya bisa diperbaiki ketika di rumah. Orang tua
dalam hal ini harus mendidik anaknya agar memiliki karakter sendiri. Pendidikan karakter
tidak harus masuk dalam kurikulum pendidikan. Ini hanyalah proses dari perbaikan sistem
nilai dan akhlak di Indonesia. Jika pendidikan karakter dimasukkan dalam kurikulum, maka
hal tersebut akan sangat berkaitan dengan norma-norma yang ada dan lebih mendekati
pendidikan agama. Bukankah di semua jenjang pendidikan, pelajaran agama sudah
diberikan? Jadi, output dari pendidikan karakter adalah membentuk manusia-manusia
berkualitas dan berkarakter yang siap bersaing tanpa terbawa arus yang berlebihan.

Pendidikan seperti apa yang berkarakter? Semua jenis pendidikan pasti memiliki
karakter atau kekhasan tersendiri dalam pelaksanaannya. Seperti halnya di Indonesia, Ujian
Nasional masih menjadi penentu kelulusan para siswa, padahal bukan nilai ujian yang nanti
menentukan berhasil atau tidaknya siswa-siswa tersebut di lapangan. Ketika sekolah mulai
menerapkan dan melaksanakan nilai-nilai atau karakter tertentu pada siswa, maka setiap
nilai tersebut harus senantiasa disampaikan oleh guru melalui pembelajaran langsung atau
disatukan ke dalam setiap mata pelajaran. Sebagai contoh, seorang guru biologi yang
menyampaikan materi asal usul makhluk hidup, maka ia dapat menyebutkan asal usul
manusia dari Adam dan menyebutkan keberadaan Tuhan. Dengan demikian pendidikan
karakter akan berjalan beriringan dengan pendidikan umum yang lain. Di samping itu,
seorang guru harus kreatif dan inovatif dalam menyampaikan materi pembelajaran. Hal ini
akan membuat siswa lebih senang dalam belajar karena mendapat suasana belajar yang
sesuai dan menyenangkan. Para siswa yang selama ini bosan dalam belajar akan merubah
paradigma mereka ketika belajar dengan kerativitas yang diberikan oleh guru.
12

Nilai-nilai karakter yang disampaikan oleh guru kepada para siswa juga harus
diterapkan secara teratur dan berkelanjutan oleh semua warga sekolah. Mulai dari petugas
keamanan, penjaga parkir, petugas kebersihan, karyawan administrasi, hingga kepala
sekolah. Jika telah diterapkan oleh semua warga sekolah dengan baik, maka pendidikan
karakter yang dilakukan akan menunjukkan hasil yang cukup baik. Penataan lingkungan
dan kegiatan-kegiatan disekolah dapat menguatkan nilai-nilai karakter yang mulai
diterapkan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membuat spanduk yang berisi dukungan
agar terbentuk suasana kehidupan sekolah yang berakhlak yang baik. Kegiatan
ekstrakurikuler seperti futsal, basket, osis, dan kegiatan lain dapat terus menguatkan nilai
kerja sama, saling menyayangi dan menghargai antar sesama siswa. Dengan demikian
pendidikan karakter akan terus berlangsung dengan nilai-nilai karakter yang terus menguat.

Peran orang tua, keluarga dan masyarakat, dan sekolah sangat menentukan
pembentukan pendidikan karakter siswa. Keluarga merupakan media utama dan pertama
yang memberikan pengajaran mengenai tingkah laku dan perbuatan. Dalam kehidupan
bermasyarakat, siswa juga sering dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan sosial masyarakat
seperti kerja bakti dan penggalangan dana. Masyarakat juga menjadi kontrol bagi para
remaja dalam mengembangkan karakter yang mereka miliki. Ketika mereka melakukan
kesalahan, mereka juga akan mendapat hukuman dari masyarakat namun jika berbuat baik
akan diberikan penghargaan dari masyarakat. Oleh karena itu, pihak sekolah harus sering
berkomunikasi dan berinteraksi dengan keluarga dan masyarakat dalam membimbing serta
mengembangkan karakter siswa.

2.4 Persaingan Antar Lembaga Pendidikan Di Indonesia


1. Dinamika Persaingan Antar Lembaga pendidikan

Munculnya lembaga-lembaga pendidikan baru, pada satu sisi merupakan sinyal positif
akan tingginya tingkat perhatian masyarakat maupun pemerintah dalam dunia pendidikan.
Namun, disisi lain hal ini menyebabkan persaingan antar lembaga pendidikan meningkat
atau atau semakin atraktif. Sangat terlihat pada massa penerimaan peserta didik baru.
Masing-masing lembaga berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan atau
memperoleh simpati dari calon peserta didik dengan berbagai cara, seperti promosi
lembaga pendidikan ke masyarakat dengan menggunakan menggunakan media cetak
seperti brosur, spanduk, dan media online internet seperti di media sosial yaitu web,
13

instagram, facebook, twitter, youtube dan whatsapp dengan konten yang persuasif untuk
menarik calon peserta didik. Persaingan antar lembaga ini juga dialami oleh negara lain
seperti Inggris, Amerika, Canada, yang juga memberikan perhatian pada sektor ini , hal
yang wajar jika kedatangan calon peserta didik dari luar negara tersebut , disamping
suasana akademis yang variatif , juga menjadi pemasukan (income) negara tersebut dan
menjadi sebuah nilai tambah tersendiri bagi lembaga pendidikan tersebut.

Kondisi yang menyebabkan persaingan atau faktor penyebab persaingan menurut PISA
(The Programme For Internasional Student Assesment ).

1. 50 % persaingan tersejadi akibat pada satu area terdapat beberapa lembaga


pendidikan
2. Pada negara dengan tingkat ekonomi yang rendah, faktor kinerja atau tampilan
sekolah tidak mempunyai hubungan dengan pilihan mereka terhadap sebuah
lembaga pendidikan.
3. Bagi orang tua dengan tingkat ekonomi yang rendah, faktor utama dalam memilih
lembaga pendidikan tergantung pada biaya yang akan dikeluarkan, tidak demikian
sebaliknya pada orang tua yang mampu secara ekonomi, maka faktor kualitas
pengajar akan menjadi pertimbangan utama.
4. Terkadang tingkat sosial atau status juga menjadi bahan pertimbangan. Ada lembaga
pendidikan yang menerima siswa dari berbagai status atau latar belakang, namun
tidak jarang ada juga sekolah yang membatasi siswa dari kalangan atau tingkat sosial
tertentu saja.

Maka dari itu, lembaga pendidikan sebaiknya dikelola dengan manajemen yang sebaik-
baiknya. Seperti halnya perusahaan yaitu dengan melakukan pengontrolan kulitas (quality
control) dan pengontrolan keluaran (Output Control), diharapkan alumni dari lembaga
tersebut betulu-betul memiliki standar yang baik dan kualifikasi yang baik, sehingga
alumninya ketika terjun dimasyrakat dan memasuki dunia kerja akan menjadi tenaga yang
terampil.

Lembaga pendidikan pada hakikatnya dipahami

1. sebagai lembaga nonprofit yang bergerak dalam bidang jasa pendidikan, untuk level
apa saja, perlu meyakinkan masyarakat “pelanggan” bahwa lembaga pendidikan
masih tetap eksis.
14

2. Perlu meyakinkan masyarakat dan “pelanggan” bahwa layanan jasa pendidikan


sungguh relevan dengan kebutuhan masyarakat.
3. Perlu melakukan kegiatan pemasaran agar jenis dan macam pendidikan dapat
dikenal dan dimengerti secara luas oleh masyarakat.
4. Agar eksistensi lembaga pendidikan tidak ditinggalkan oleh masyarakat luas serta
“pelanggan potensial”. Kegiatan pemasaran bukan sekedar kegiatan bisnis agar
lembagal-embaga pendidikan mendapat peserta didik, melainkan juga merupakan
bentuk tanggungjawab kepada masyarakat luas.
2. Tantangan lembaga pendidikan di tengah persaingan global

Di era globalisasi lembaga pendidikan juga mempunyai tantangan tersendiri,lembaga


pendidikan sekarang tidak hanya bersaig di wilayah nasional negara sendiri, tetapi juga
karena era globalisasi, persaingan lembaga pendidikan juga semakin ketat dengan bersaing
dengan bersaing dengan berbagai bangsa didunia. Untuk menghadapi globalisasi
pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan sebagai berikut untuk lembaga pendidikan.

1. Pertama, Desentralisasi pengelolaan pendidikan dasar, orientasi kebijakan nasional


untuk memberikan otonomi yang lebih besar kepada daerahjuga dilaksanakan pada sektor
pendidikan. Dengan demikian pemerintah menghendaki agar sektor pendidikan merupakan
salah satu aspek pembangunan yang akan dilimpahkan pengelolaannya secara
desentralisasi terutama pada daerah tingkat II. Upaya desentralisasi pemerintahan ke
tingkat II didasarkan pada PP No. 8 Tahun 1995 yang mengatur penyerahan sebahagian
urusan pemerintahan yang dititik beratkan pada daerah tingkat II.
2. Kedua, pendidikan berbasis masyarakat, pemerintah menyadari bahwa terdapat
keterbatasan pemerintah dalam pembiayaan, salah satu untuk mengatasi kondisi tersebut
adalah pelibatan masyarakat dalam pembangunan bidang pendidikan. Pendidikan berbasis
masyarakat adalah bentuk pelibatan masyarakat secara luas baik tokoh masyarakat,
lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha/ swasta agar terlibat dalam usaha pembangunan
dunia pendidikan. Sebagai implikasi dari kebijakan tersebut, maka pada setiap satuan
pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai SLTA dibentuk komite sekolah yang
di dalamnya terdapat berbagai unsur seperti kalangan pengusaha, tokoh masyarakat, orang
tua peserta didik, guru dan lain sebagainya, unsure-unsur inilah sebagai motivator dalam
pengembangan. Sekolah juga dapat bekerja sama dengan berbagai pihak untuk
meningkatkan kinerjanya.
15

3. Ketiga, Manajemen Berbasis Sekolah, salah satu aspek yang perlu dilakukan
reformasi dalam bidang pendidikan adalah perlunya pembenahan lembaga-lembaga
pendidikan dari aspek manajemen. Sebagai implikasi dari otonomi daerah, maka
pengelolaah sekolah juga membutuhkan otonomi dan salah upaya dalm aspek tersebut
adalah pembenahan sekolah dari aspek manajemen. Faslil Jalal (ed.) (2001) menawarkan
beberapa strategis untuk membenahi manajemen sekolah yaitu: a). kurikulum yang
berbasis inklusif, b). proses belajar mengajar yang efektif, c). lingkungan sekolah yang
mendukung, d). sumber daya yang berasas pemerataan, dan e), standarisasi dalam hal-hal
tertentu, monitoring, evaluasi, dan tes. Menurut Faslil Jalal kelima strategi tersebut harus
menyatu ke dalam empat lingkup fungsi pengelolaan sekolah yaitu: 1).
Manajemen/organisasi/kepemimpinan, 2) proses belajar mengajar, 3), sumber daya
manusia, dan 4). Administrasi sekolah.

2.5 Pengembangan Kurikulum yang Berbasis Kompetensi Dalam Sudut Pandang


Aksiologi
Kurikulum Berbasis Kompetensi
Sebelum membahas tentang pengertian kurikulum berbasis kompetensi,
untuk itu kita ketahui lebih lanjut tentang pengetian dari kurikulum itu sendiri.
Menurut Lismina (2017:1), menyatakan bahwa istilah kurikulum mempunyai
pengertian yang cukup beragam mulai dari pengertian yang sempit hingga yang
luas. Pengertian kurikulum secara sempit seperti yang dikemukakan oleh Carter V.
Good dalam Lismina (2017:1), menyatakan bahwa: “ Curriculum as a systematic
group of courses or sequences of subject required for graduation or certification in
a major field of study, for example, social studies curriculum, physical education
curriculum...”. makna maksud dari pengertian kurikulum secara sempit adalah
kurikulum hanya sekedar memuat dan dibatasi pada sejumlah mata pelajaran yang
diberikan guru/sekolah kepada peserta didik guna mendapatkan ijazah atau
sertifikat. Sedangkan pengertian secara luas dikemukakan oleh Hollis L. Caswell
dan Doak S. Campbell dalam Lismina (2017:2), yang menyatakan bahwa
kurikulum bukan sebagai sekelompok mata pelajaran, tetapi kurikulum merupakan
semua pengalaman yang diharapkan memiliki peserta didik di bawah bimbingan
para guru (all the experiences children have under the guidence of teachers).
16

Menurut Nana Sudjana dalam Lismina (2017:2), yang mengartikan bahwa


kurikulum sebagai program dan pengalaman belajar serta hasil-hasil belajar yang
diharapkan, yang diformulasikan melalui pengetahuan dan kegiatan yang tersusun
secara sitematis, diberikan kepada peserta didik di bawah tanggung jawab sekolah
untuk membantu pertumbuhan/perkembangan pribadi dan kompetensi sosial
peserta didik.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah suatu program yang telah
dirancang dan disusun secara sistematis dan pengalaman belajar serta hasil-hasil
belajar melalui pengetahuan dan kegiatan guna untuk membantu
pertumbuhan/perkembangan pribadi dan kompetensi sosial peserta didik yang ada
di bawah tanggung jawab sekolah.
Di dalam amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dalam Sumar dan
Razak (2016:53), mengemukakan bahwa kompetensi lulusan merupakan
kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan
keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati. Hal ini disejalan
dengan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang telah dirintis pada
tahun 2004 dengan mencakup kompentensi sikap , pengetahuan dan keterampilan
secara terpadu. Menurut Sumar dan Razak (2016:53), menyatakan bahwa
kurikulum 2004 adalah kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang diberlakukan
secara serentak di semua jenjang sekolah (SD/MI, SMP/MTS, SMA/SMK/MA)
pada tahun ajaran 2004. Melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No.24
Tahun 2006 tentang pelaksanaan peraturan menteri pendidikan nasional No.22
tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah dan
peraturan menteri pendidikan nasional no. 23 tahun 2006 tentang standar
kompetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikenal
dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Sumar dan Razak,
(2016:53)).
Menurut Sumar dan Razak (2016:54), menyimpulkan bahwa kurikulum
berbasis kompetensi yang dapat menghantarkan siswa untuk mencapai kompetensi
utama, kompetensi pendukung dan kompetensi lain sebagai a method of inquiry
yang diharapkan. Method inquiry adalah suatu metode pembelajaran yang
17

menumbuhkan hasrat besar untuk ingin tahu. Meningkatkan kemampuan untuk


menggunakan atribut, meningkatkan cara belajar sepanjang hayat (learning to learn
dan learning throughout life) (Sumar dan Razak, (2016:54)). Dan untuk penerapan
kurikulum berbasis kompetensi (KBK) berpengaruh besar terhadap perubahan
sistem belajar mengajar yang dulunya teacher-centered (berpusat pada guru)
berubah menjadi student-centered (berpusat pada siswa), perubahan proses ini
berpengaruh terhadap metode belajar mengajar, diyakini bahwa metode belajar
yang berpusat pada siswa lebih bisa mengembangkan soft skill siswa.
Kurikulum KTSP berbasis kompetensi dituntut muatan soft skil, namun
implementasi dari kurikulum tersebut tidaklah mudah, sebab banyak tenaga
pendidik kurang paham dengan soft skill dan cara mengimplementasikannya. Hal
ini disebabkan soft skill lebih mengarah pada keterampilan psikologis, oleh karena
itu dampak diakibatkan tidak bersifat kasat mata, namun tetap bisa dirasakan dan
keabstrakan ini mengakibatkan soft skill lebih mengarah pada proses seseorang
dalam kehidupannya (Sumar dan Raza, (2016:55)). Sedangkan kurikulum 2013
terjadi peningkatan dan keseimbangan antara kompetensi sikap (attitude),
keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowldge) terjadi perubahan mata pelajaran
yang semula berkompetensi diturunkan dari mata pelajaran berubah menjadi mata
pelajaran dikembangkan dari kompetensi dan pada kompetensi lulusannya
diharapkan ada peningkatan dan keseimbangan soft skill dan hard skill yang
meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan (Sumar dan
Razak, (2016:55)).
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa kurikulum
berbasis kompetensi adalah kurikulum yang bertujuan untuk mengembangkan
potensi dan skil/keterampilan para peserta didik yang sesuai dengan tujuan
pendidikan seperti pengajaran yang semula hanya berpusat pada guru menjadi
berpusat pada siswa sehingga dengan begitu potensi dan skill/keterampilan dapat
tumbuh berkembang dengan baik dan cepat.
Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Di antara para ahli dan pelaksanaan kurikulum pendidikan belum memiliki
keseragaman dalam mengartikan kata “pengembangan” yang terdapat dalam
18

pengertian pengembangan kurikulum. Menurut Winarno Surahmad dalam Lismina


(2017:5), menyatakan bahwa pengembangan adalah penyusunan, pelaksanaan,
penilaian, dan penyempurnaan. Menurut Ibid dalam Lismina (2017:5), menyatakan
bahwa bila kurikulum itu sudah dianggap sudah cukup mantap, setelah mengalami
penilaian dan penyempurnaan, maka berakhirlah tugas pengembangan kurikulum
tersebut untuk kemudian dilanjutkan dengan tugas pembinaan. Jadi, dapat
disimpulkan oleh penulis buku ini, bahwa pengembangan kurikulum atau disebut
dengan curriculum development pada dasarnya adalah proses yang dimulai dari
kegiatan menyusun kurikulum, mengimplementasikan, mengevaluasi dan
memperbaiki sehingga diperoleh suatu bentuk kurikulum yang dianggap ideal.
Dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi mempunyai
maksud dan tujuan yang telah dibahas pada point kurikulum berbasis kompetensi,
yakni menumbuhkembangkan serta meningkatkan kemampuan potensi para peserta
didik dalam segi keterampilan terutama dari psikologis siswa. Menurut Coates
dalam Sumar dan Razak (2016:58), menyatakan bahwa soft skill merupakan intra-
personalitas adalah keterampilan yang dimiliki seseorang dalam mengatur dirinya
sendiri seperti: manajemen waktu, manajemen stress, manajemen perubahan,
karakter transformasi, berfikir kreatif, memiliki tujuan yang positif, daan teknik
belajar yang cepat, sedangkan inter-personalitas adalah keterampilan berhubungan
atau berinteraksi dangan lingkungan serta interaksi dengan individu manusia
sehingga mampu mengembangkan unjuk kerja secara maksimal, kemampuan
motivasi, kemampuan memimpin, kemampuan presentase, kemampuan
berkomunikasi. Di dalam Wikipedia dalam Sumar dan Razak (2016:59), meyatakan
bahwa soft skill merupakan terminasi sosiologis untuk Emotional Intelligence
Quotient (EQ), yakni kemampuan bagaimana orang-orang berhubungan antara
yang satu dengan yang lainnya seperti: berkomunikasi, mendengarkan,
umpanbalik, bekerja sama dalam sebuah tim, menyelesaikan masalah, mengatasi
konflik.
Jadi, disimpulkan bahwa dalam proses pengembangan kurikulum berbasis
kompetensi adalah kurikulum yang pengembangannya diterapkan dan
diimplementasikan pada keterampilan pikologis siswa, seperti diharapkan siswa
19

dapat berinteraksi, bersosialisasi, berhubungan dengan lingkungan sekitar, mampu


memimpin, memotivasi, mengkomunikasikan, dan lain sebagainya.
Dalam proses pengembangan pasti mempunyai tehnik, prosedur dan
langkah-langkah dalam melaksanakannya. Menurut Fatmawati (2015:92),
menyebutkan bahwa langkah-langkah manajemen pengembangan kurikulum,
mengemukakan bahwa kurikulum senantiasa berlandaskan manajemen yang sesuai
dengan funsi-fungsi manajemen, yang terdiri dari, pertama, perencanaan kuriklum
yang dirancang berdasarkan analisis kebutuhan, menggunakan model tertentu dan
mengacu pada suatu desain kurikulum yang efektif. Kedua, pengorganisasian
kurikulum yang ditata, baik secara struktural maupun fungsional. Ketiga,
implementasi, yakni pelaksanaan kurikulum di lapangan. Keempat, ketenagaan
dalam pengembangan kurikulum. Kelima, kontrol kurikulum yang mencakup
evaluasi kurikulum. Keenam, mekanisme pengembangan kurikulum secara
menyeluruh. Mekanisme manajemen pengembangan kurikulum menurut Oemar
Hamalik dalam Fatmawati (2015:109), menyebutkan diantaranya; tahap pertama,
studi kelayakan dan kebutuhan; tahap kedua, menyusun konsep awal perencanaan
kurikulum; tahap ketiga, pengembangan rencana untuk melaksanakan kurikulum;
keempat, pelaksanaan uji coba kurikulum di lapangan; kelima, pelaksanaan
kurikulum; keenam, pelaksanaan penilaian dan pemantauan kurikulum; ketuju,
pelaksanaan perbaikan dan penyesuaian.
Sudut Pandang Aksiologi Terhadap Pengembangan Kurikulum Berbasis
Kompetensi
Berbagai aliran dan cabang filsafat mempunyai pandangan yang berbeda-
beda menyangkut aspek metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Dan perbedaan
tersebut akan berpengaruh terhadap bentuk kurikulum yang dihasilkan baik terkait
dengan rumusan, tujuan, pengorganisasian materi, strategi pembelajaran, maupun
sistem penilaiannya. Dan idealnya landasan-landasan tersebut dijadikan
pertimbangan secara keseluruhan dalam proses pengembangan kurikulum
pendidikan. Menurut Lismina (2017:39), menyatakan bahwa kurikulum merupakan
rancangan pendidikan yang merangkum pengalaman belajar yang disediakan bagi
peserta didik di lembaga pendidikan. Dalam pengembangan kurikulum tersebut
20

terdapat jumlah prinsip umum yang dipakai sebagai rambu-rambu atau pedoman
agar kurikulum yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan keinginan yang
diharapkan semua pihak, yakni peserta didik sendiri, keluarga, lembaga pendidikan,
masyarakat dan juga pemerintah. Prinsip-prinsip pengembagan kurikulum ini
bukan bersifat mutlak, dalam artian bisa berubah, ditambah atau dikurangi sesuai
dengan kebutuhan yang ada (Lismina (2017:39)).
21

KESIMPULAN

Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno,


terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori.
Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai. Aksiologi ialah
ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari
sudut pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan
yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti
epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah
kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika
bersangkutan dengan masalah keindahan.
Aksiologi dalam konteks Pendidikan terbagi dalam empat sub bab yaitu:
Hubungan Aksiologi dengan Pendidikan, Aksiologi dalam Pendidikan,
Kegunaan Aksiologi Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, Penerapan Aksiologi
Pendidikan. Penerapan aksiologi dalam pendidikan misalnya saja adalah dengan
adanya mata pelajaran ilmu sosial dan kewarganegaraan yang mengajarkan
bagaimanakah etika atau sikap yang baik itu,selain itu mata pelajaran kesenian
yang mengajarkan mengenai estetika atau keindahan dari sebuah karya
manusia. Dasar Aksiologis pendidikan adalah kemanfaatan teori pendidikan
tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk
memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses
pembudayaan manusia secara beradab.
Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang membagi fokusnya
terhadap dua hal, yaitu ilmu pengetahuan dan pengembangan karakter individu
yang dalam hal ini lebih ditekankan kepada sikap, perilaku dan cara berpikir
individu. Pendidikan karakter sangat penting perannya dalam membatasi langkah
dan perilaku individu agar tidak melanggar norma dan hal-hal lain yang
bertentangan dengan budaya.
Munculnya lembaga-lembaga pendidikan baru, pada satu sisi
merupakan sinyal positif akan tingginya tingkat perhatian masyarakat maupun
pemerintah dalam dunia pendidikan. Namun, disisi lain hal ini menyebabkan
22

persaingan antar lembaga pendidikan meningkat atau atau semakin atraktif.


Sangat terlihat pada massa penerimaan peserta didik baru. Masing-masing
lembaga berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan atau memperoleh
simpati dari calon peserta didik dengan berbagai cara, seperti promosi lembaga
pendidikan ke masyarakat dengan menggunakan menggunakan media cetak
seperti brosur, spanduk, dan media online internet seperti di media sosial yaitu
web, instagram, facebook, twitter, youtube dan whatsapp dengan konten yang
persuasif untuk menarik calon peserta didik. Persaingan antar lembaga ini juga
dialami oleh negara lain seperti Inggris, Amerika, Canada, yang juga
memberikan perhatian pada sektor ini , hal yang wajar jika kedatangan calon
peserta didik dari luar negara tersebut , disamping suasana akademis yang variatif
, juga menjadi pemasukan (income) negara tersebut dan menjadi sebuah nilai
tambah tersendiri bagi lembaga pendidikan tersebut.
Sudut pandang aksiologi terhadap pengembangan kurikulum berbasis
kompetensi Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum
pengalaman belajar yang disediakan bagi peserta didik di lembaga pendidikan.
Dalam pengembangan kurikulum tersebut terdapat jumlah prinsip umum yang
dipakai sebagai rambu-rambu atau pedoman agar kurikulum yang dihasilkan
benar-benar sesuai dengan keinginan yang diharapkan semua pihak, yakni
peserta didik sendiri, keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat dan juga
pemerintah. Prinsip-prinsip pengembagan kurikulum ini bukan bersifat mutlak,
dalam artian bisa berubah, ditambah atau dikurangi sesuai dengan kebutuhan
yang ada (Lismina (2017:39)).
23

DAFTAR PUSTAKA

Affandy, Suhendar Ramadhan, 2011, Aksiologi Ilmu


Pendidikan, http://blog.umy.ac.id/suhe08/2011/12/24/aksiologi-ilmu-
pendidikan/. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2019.
Ali, Hamdani. 1993. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang.
Bahtiar, Amsal. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA.
Bani Suddin.2016.Tantangan Lembaga Pendidikan Di Tengah Persaingan
Global.Jurnal UIN Alauddin Makassar. Vol V No (2) 2016.
Benjamin, Edy, 2013, Aksiologi ilmu pendidikan nilai kegunaan
Praktis, http://Edybenjamin.wordpress.com/2013/12/13/aksiologi-ilmu-
pendidikan-nilai-kegunaan-praktis/. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2019
Efferi Adri.2014.Dinamika Persaingan Antar Lembaga Pendidikan.Journal Of
Empirical Reseacrh In Islamic Education.Vol 2, No (1) 2014.
Endrotomo. 2004. Ilmu dan Teknologi. Information System ITS.
Fatmawati, Erma. 2015. Profil Pesantren Mahasiswa;Karakteristik Kurikulum,
Desain Pengembangan Kurikulum, Peran Pemimpin Pesantren. Pelangi
Aksara: Yogyakarta.
Jalaluddin dan Abdullah Idi. 1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Baya Madya
Pratama.
Jujun S. Sumantri. Filsafat Ilmu:Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta:2005, Sinar
Harapan), hlm. 105.
Lismina. 2017. Pengembangan Kurikulum. Uwais Inspirasi Indonesia:Ponorogo.
Mustansyir, Rizal. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumar dan Razak. 2016. Strategi Pembelajaran dan Implementasi Kurikulum
Baerbasis Soft Skil. Budi Utama:Yogyakarta.
Suriasumantri, Jujun S, 2005, Filsafat Ilmu Sebagai Pengantar Populer, Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan
Tumuwe, Windy, 2011, Makalah Aksiologi Filsafat
Ilmu, http://windyntumuwe.blogspot.co.id/2011/10/makalah-aksiologi-
filsafat-ilmu.html?m=1. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2019
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung:Penerbit Alfabeta,
2007), hlm. 36.
Zahroh, Aminatul, 2013, Aksiologi Pendidikan Islam, http://gudangilmu-
pendidikan.blogspot.co.id/2013/02/aksiologi-pendidikan-islam.html.
Diakses pada tanggal 23 Oktober 2019

23

Anda mungkin juga menyukai