BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia memerlukan pendidikan karena pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap
manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Berdasarkan
pernyataan itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang
bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka anak berkebutuhan khusus
(ABK) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Selama ini anak-anak berkebutuhan
khusus memperoleh pendidikan khusus di Sekolah Luar Biasa (SLB). Penyelenggaraan
pendidikan SLB telah membentuk eksklusifisme bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara
ABK dengan anak-anak normal, sedangkan para ABK memerlukan sosialisasi dengan anak
normal dan masyarakat.
Sejalan dengan berkembangnya tuntutan kelompok ABK dalam menyuarakan hak-haknya, maka
kemudian muncul konsep pendidikan inklusif. Salah satu kesepakatan Internasional yang
mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusif adalah Convention on the Rights of Person
with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam
Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem
pendidikan inklusif di setiap tingkatan pendidikan.
Seiring perjalanan waktu konsep pendidikan inklusif berkembang di berbagai negara, termasuk
di Indonesia. Dalam implementasinya pendidikan inklusif tidak seindah teori dan konsep, banyak
permasalahan yang muncul. Demikian pula di Indonesia banyak permasalahan yang dihadapi
sekolah, anak, para guru dan orang tua. Untuk membahas permasalahan ini penulis
mengemukakan masalah dan tujuan sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang muncul dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa konsep pendidikan inklusif?
2. Apa permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah?
C. Tujuan
Berdasarkan perkembangannya pendidikan Inklusif di negara maju kita dapat meihat bahwa di
Amerika Serikat, diperkirakan hanya sekitar 0,5% anak berkelainan yang bersekolah di sekolah
khusus, lainnya berada di sekolah biasa (Ashman dan Elkins,1994). Sedangkan di Inggris, pada
tahun 1980-1990-an saja, peserta didik di sekolah khusus diproyeksikan menurun dari sembilan
juta menjadi sekitar dua juta orang, karena kembali ke sekolah biasa (Warnock,1978), dan
ternyata populasi peserta didik di sekolah khusus kurang dari 3% dari jumlah anak berkelainan
(Fish,1985).
Menurut pemahaman yang lainnya menyatakan bahwa konsep pendidikan inklusif merupakan
sistem layanan Pendidikan Luar Biasa (PLB) yang mengkondisikan agar semua ABK dilayani di
sekolah umum terdekat bersama teman seusianya. Penempatan ABK yang katagori ringan,
sedang dan berat secara penuh berada di kelas biasa.
Di negara Indonesia pada umumnya pendidikan inklusif dikelompokan selaras dengan konsep
pendidikan nasional , yaitu:
1. Inklusif sebagai wadah pengelolaan pendidikan yang memberikan peluang yang adil kepada
semua siswa untuk dapat mengakses pendidikan tanpa membedakan gender, etnik, status sosial
dan kebutuhan khusus (kemampuan) pada semua level/jenjang pendidikan.
2. Sekolah inklusif mengimplementasikan model multi input yang bermakna tidak ada penolakan
murid untuk belajar. Berbeda dengan kondisi saat ini yang menerapkan sistem seleksi siswa baru
dalam persekolahan dan masih cenderung menggunakan seleksi peringkat nilai hasil kelulusan.
3. Program kurikulum yang diterapkan dalam pendidikan inklusif berbasis kepada anak. Dalam
hal ini tentu disesuaikan dengan kebutuah ABK. Pelaksanaan pembelajaran dilakukan dalam
kelas bersama-sama antara siswa regular dan ABK.
4. Sistem penilaian/evaluasi bersifat adil disesuaikan dengan kemampuan siswa. Bagi siswa yang
sanggup mengikuti evaluasi regular, dilakukan evaluasi sesuai sistem penilain reguler, dengan
memodifikasi instrumen bila diperlukan. Tetapi bagi siswa dengan program terindividualisasikan
(PPI) maka evaluasi disesuaikan dengan PPI-nya. Hasil evaluasi dikonversi dalam bentuk
kuantitatif dan deskriptif, yang menggambarkan pencapaian kinerja yang telah ditunjukkan
siswa. Khusus untuk ABK dengan kategori sedang dan berat hasil evaluasi bukan sebagai
indikator kenaikan jenjang pendidikan lanjut, tetapi sebagai tolak ukur peningkatan potensi
kemandirian untuk kehidupan di lingkungannya.
Seperti halnya di Indonesia, di negara asalnya pun penyelenggaraan pendidikan inklusif masih
kontroversi (Sunardi, 1997).
1. Pro Inklusi
Argumen yang dikemukakan para pendukung konsep pendidikan inklusiantara lain sebagai
berikut:
a. Bukti empiris belum banyak yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang
diberikan di luar kelas reguler menunjukkan hasil yang lebih positif bagi anak;
b. Dana penyelenggaraan sekolah khusus relatif lebih mahal dari pada sekolah umum;
c. Sekolah khusus mengharuskan penggunaan label berkelainan yang dapat berakibat negatif
pada anak;
d. Banyak anak berkebutuhan khusus yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak
tersedia sekolah khusus yang dekat;
e. Anak berkebutuhan khusus harus dibiasakan tinggal dalam masyarakat bersama masyarakat
lainnya.
2. Kontra Inklusi
Para pakar yang mempertahankan penyediaan penempatan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus secara formal berpendapat sebagai berikut:
a. Peraturan perundangan yang berlaku mensyaratkan bahwa bagi anak berkebutuhan khusus
disediakan layanan pendidikan yang bersifat kontinum;
b. Banyak hasil penelitian yang tetap mendukung gagasan perlunya berbagai alternatif
penempatan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus;
c. Banyak orang tua dan masyarakat yang menghendaki anaknya yang berkebutuhan khusus
berada di kelas khusus;
d. Secara umum sekolah reguler belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena
keterbatasan sumber daya pendidikannya.
Berdasarkan pro dan kontra terhadap sekolah inklusif walaupun sudah ada sekolah inklusif,
keberadaan sekolah khusus (segregasi) seperti SLB masih diperlukan sebagai salah satu alternatif
bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang memerlukannya.
3. Inklusi Moderat
Memandang kontroversi yang lebih bersifat filosofis, Vaughn, Bos, dan Schumm (2000),
mengemukakan bahwa dalam praktik, istilah inklusi sebaiknya dipakai bergantian dengan
instilah mainstreaming, yang secara teori dimaknai sebagai penyediaan layanan pendidikan yang
layak bagi anak berkelainan sesuai dengan kebutuhan individualnya. Penempatan anak
berkebutuhan harus dipilih yang paling bebas di antara sekolah alternatif yang secara khusus
menyelenggarakan Pendidikan khusus, berdasarkan potensi dan jenis/ tingkat kelainannya.
Penempatan ini juga bersifat sementara, bukan permanen, yang bermakna bahwa siswa
berkelainan dimungkinkan secara luwes pindah dari satu alternatif ke alternatif lainnya, dengan
asumsi bahwa intensi kebutuhan khususnya berubah-ubah. Filosofinya adalah inklusi, tetapi
dalam praktiknya menyediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhannya. Model ini juga sering disebut inklusi moderat, dibandingkan dengan inklusi
radikal seperti yang diperjuangkan oleh mereka yang pro inklusi.
A. KESIMPULAN
Penyelenggaraan pendidikan inklusif merupakan suatu sistem layanan anak berkebutuhan khusus
(ABK) bersatu dalam layanan pendidikan formal. Sistem ini menunjukkan bahwa terdapat satu
sistem pembelajaran dalam sekolah inklusif, tetapi mampu mengakomodasi perbedaan
kebutuhan belajar setiap individu baik anak yang normal atau anak berkebutuhan khusus. Dalam
sistem persekolahan di Indonesia secara umum cenderung menerapkan layanan pembelajaran
melalui bentuk belajar klasikal yang kurang memberikan ruang gerak belajar bagi ABK dan
kurang memberikan kefleksibelan penerapan pendidikan inklusif, terutama bagi ABK dengan
kondisi kemampuan mental rendah.
Meskipun perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia saat ini berkembang cukup pesat,
tetapi dalam tataran implementasinya masih banyak permasalahan yang harus dicari solusi untuk
mengatasi masalah tersebut. Hasil pemecahan masalah tersebut dapat memudahkan implementasi
pendidikan inklusif dalam upaya dan proses menuju pendidikan inklusif itu sendiri yang sejalan
dengan filosofi dan konsep-konsep yang mendasarinya.
B. SARAN
Dalam implementasi pendidikan inklusif terdapat beberapa permasalahan dan kendala yang
dihadapi pada pelaksanaannya. Dalam mengatasi permasalahan tersebut diperlukan komitmen
tinggi dan kerja keras melalui kolaborasi berbagai pihak, baik pemerintah, pihak swasta maupun
masyarakat. Upaya mengatasi permasalahan pendidikan inklusif dapat memberikan layanan
optimal bagi anak berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan di sekolah inklusif.
Daftar Pustaka
Abdul Salim cmy .2009. Pendidikan Anak Nerkebutuhan Khusus Secara Inklusif. FKIP-UNS.