Anda di halaman 1dari 10

Permasalahan Pendidikan Inklusif di Indonesia

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia memerlukan pendidikan karena pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap
manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Berdasarkan
pernyataan itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang
bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka anak berkebutuhan khusus
(ABK) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Selama ini anak-anak berkebutuhan
khusus memperoleh pendidikan khusus di Sekolah Luar Biasa (SLB). Penyelenggaraan
pendidikan SLB telah membentuk eksklusifisme bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara
ABK dengan anak-anak normal, sedangkan para ABK memerlukan sosialisasi dengan anak
normal dan masyarakat.
Sejalan dengan berkembangnya tuntutan kelompok ABK dalam menyuarakan hak-haknya, maka
kemudian muncul konsep pendidikan inklusif. Salah satu kesepakatan Internasional yang
mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusif adalah Convention on the Rights of Person
with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam
Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem
pendidikan inklusif di setiap tingkatan pendidikan.
Seiring perjalanan waktu konsep pendidikan inklusif berkembang di berbagai negara, termasuk
di Indonesia. Dalam implementasinya pendidikan inklusif tidak seindah teori dan konsep, banyak
permasalahan yang muncul. Demikian pula di Indonesia banyak permasalahan yang dihadapi
sekolah, anak, para guru dan orang tua. Untuk membahas permasalahan ini penulis
mengemukakan masalah dan tujuan sebagai berikut.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah yang muncul dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa konsep pendidikan inklusif?
2. Apa permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah?

 C. Tujuan

Setelah membaca makalah ini diharapkan agar pembaca dapat:


1. Memahami konsep pendidikan inklusif.
2. Mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Apa itu Pendidikan Inklusif?

Pengertian pendidikan inklusif terus berkembang seiring dengan semakin mendalamnya


pemikiran orang terhadap praktek yang ada, dan sejalan dengan dilaksanakannya pendidikan
inklusif dalam berbagai budaya dan konteks yang semakin luas. Pemahaman pendidikan inklusif
seharusnya terus berkembang bila pendidikan inklusif ingin mendapatkan jawaban yang nyata
dan berharga untuk mengatasi tantangan pendidikan dan hak asasi manusia. Pengertian inklusi
merupakan sebuah pendekatan untuk membentuk suatu lingkungan yang semakin terbuka;
mengajak dan mengikutsertakan berbagai kalangan yang memiliki perbedaan latar belakang,
karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, budaya dan lainnya. Pemahaman terbuka dalam
konsep lingkungan inklusi, bermakna semua orang yang tinggal, berada dan beraktivitas dalam
lingkungan keluarga, sekolah ataupun masyarakat merasa aman dan nyaman mendapatkan hak
dan melaksanakan kewajibannya. Hal ini berarti lingkungan inklusi merupakan lingkungan sosial
masyarakat yang terbuka, ramah, menghilangkan hambatan dan memberikan suasana
menyenangkan karena semua warga masyarakat saling menghargai dan memaklumi setiap
perbedaan.
Inklusi memberikan perubahan sederhana dan praktis dalam kehidupan masyarakat, karena kita
sebagai bagian dari masyarakat menginginkan tinggal dalam lingkungan yang memberikan rasa
aman dan nyaman, memberikan peluang untuk berkembang sesuai minat & bakatnya, sesuai cara
belajarnya yang terbaik, serta mengupayakan kemudahan untuk melaksanakan kewajiban dan
mendapatkan hak sebagai warga masyarakat.
Pada hakekatnya pendidikan inklusif memberikan kesempatan dalam memahami segala kesulitan
pendidikan yang dihadapi oleh peserta didik berkebutuhan khusus. Mereka mendapat kesulitan
untuk mengikuti beberapa kurikulum yang ada, atau tidak mampu mengakses cara baca tulis
secara normal, atau kesulitan mengakses lokasi sekolah. Pendekatan pendidikan inklusif dalam
hal ini tidak seharusnya melihat hambatan ini dari sisi anak/peserta didik yang memiliki
kelainan, melainkan harus melihat hambatan ini dari sistem pendidikannya sendiri, kurikulum
yang belum sesuai untuk mereka, sarana yang tersedia belum memadai, guru yang belum siap
melayani mereka. Berdasarkan hal tersebut untuk merubah kondisi tereksklusikan menjadi
terinklusi adalah dengan berupaya untuk mengidentifikasi hambatan atau kesulitan yang dihadapi
peserta didik berkebutuhan khusus dan mengupayakan bersekolah di sekolah umum/inklusif
untuk dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut agar
dapat memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini sesuai dengan pernyataan Salamanca pada
Konferensi Dunia pada bulan Juni 1994 tentang pendidikan berkelainan mengemukakan bahwa
“Prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama memungkinkan, semua anak
seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin
ada pada mereka.”
Dilihat dari pemaknaan pendidikan inklusif ternyata memiliki pengertian yang beragam.
Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusif adalah sekolah yang
menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan
yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun
bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari
itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas
tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat
lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah
penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal
ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak
berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.
Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusif sesbagai
system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di
sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu,
ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung
pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat
dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal)
untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi oleh
kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan (berkelainan)
yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Berdasarkan perkembangan model pendidikan khusus, model segregasi merupakan model
pendidikan khusus tertua yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus,
terpisah dari teman sebayanya. Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode mengajar,
sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus. Dari sisi manajemen sekolah, model
segregasi memudahkan guru dan administrator untuk mengelolanya. Tetapi dari sudut pandang
peserta didik, model segregasi kurang baik bagi perkembangannya. Seperti yang dinyatakan
Reynolds dan Birch (1988) bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan anak
berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda
dengan kurikulum sekolah biasa. Selain itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena
menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi
mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah
bahwa model segregatif relatif mahal.
Pada pertengahan abad XX model yang muncul adalah model mainstreaming. Belajar dari
berbagai kelemahan model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif
penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat
bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh
karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the least restrictive
environment), artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang paling
tidak berbatas menurut potensi dan jenis/tingkat kelainannya. Secara hirarkis, Deno (1970)
mengemukakan alternatif Pendidikan model mainstreaming sebagai berikut:

a. Kelas biasa penuh,


b. Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di dalam,
c. Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di luar kelas,
d. Kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa,
e. Kelas khusus penuh,
f. Sekolah khusus, dan
g. Sekolah khusus berasrama.

Berdasarkan perkembangannya pendidikan Inklusif di negara maju kita dapat meihat bahwa di
Amerika Serikat, diperkirakan hanya sekitar 0,5% anak berkelainan yang bersekolah di sekolah
khusus, lainnya berada di sekolah biasa (Ashman dan Elkins,1994). Sedangkan di Inggris, pada
tahun 1980-1990-an saja, peserta didik di sekolah khusus diproyeksikan menurun dari sembilan
juta menjadi sekitar dua juta orang, karena kembali ke sekolah biasa (Warnock,1978), dan
ternyata populasi peserta didik di sekolah khusus kurang dari 3% dari jumlah anak berkelainan
(Fish,1985).
Menurut pemahaman yang lainnya menyatakan bahwa konsep pendidikan inklusif merupakan
sistem layanan Pendidikan Luar Biasa (PLB) yang mengkondisikan agar semua ABK dilayani di
sekolah umum terdekat bersama teman seusianya. Penempatan ABK yang katagori ringan,
sedang dan berat secara penuh berada di kelas biasa.
Di negara Indonesia pada umumnya pendidikan inklusif dikelompokan selaras dengan konsep
pendidikan nasional , yaitu:

1. Inklusif sebagai wadah pengelolaan pendidikan yang memberikan peluang yang adil kepada
semua siswa untuk dapat mengakses pendidikan tanpa membedakan gender, etnik, status sosial
dan kebutuhan khusus (kemampuan) pada semua level/jenjang pendidikan.
2. Sekolah inklusif mengimplementasikan model multi input yang bermakna tidak ada penolakan
murid untuk belajar. Berbeda dengan kondisi saat ini yang menerapkan sistem seleksi siswa baru
dalam persekolahan dan masih cenderung menggunakan seleksi peringkat nilai hasil kelulusan.
3. Program kurikulum yang diterapkan dalam pendidikan inklusif berbasis kepada anak. Dalam
hal ini tentu disesuaikan dengan kebutuah ABK. Pelaksanaan pembelajaran dilakukan dalam
kelas bersama-sama antara siswa regular dan ABK.
4. Sistem penilaian/evaluasi bersifat adil disesuaikan dengan kemampuan siswa. Bagi siswa yang
sanggup mengikuti evaluasi regular, dilakukan evaluasi sesuai sistem penilain reguler, dengan
memodifikasi instrumen bila diperlukan. Tetapi bagi siswa dengan program terindividualisasikan
(PPI) maka evaluasi disesuaikan dengan PPI-nya. Hasil evaluasi dikonversi dalam bentuk
kuantitatif dan deskriptif, yang menggambarkan pencapaian kinerja yang telah ditunjukkan
siswa. Khusus untuk ABK dengan kategori sedang dan berat hasil evaluasi bukan sebagai
indikator kenaikan jenjang pendidikan lanjut, tetapi sebagai tolak ukur peningkatan potensi
kemandirian untuk kehidupan di lingkungannya.

B. Pro dan Kontra Pendidikan Inklusif.

Seperti halnya di Indonesia, di negara asalnya pun penyelenggaraan pendidikan inklusif masih
kontroversi (Sunardi, 1997).

1. Pro Inklusi

Argumen yang dikemukakan para pendukung konsep pendidikan inklusiantara lain sebagai
berikut:

a. Bukti empiris belum banyak yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang
diberikan di luar kelas reguler menunjukkan hasil yang lebih positif bagi anak;
b. Dana penyelenggaraan sekolah khusus relatif lebih mahal dari pada sekolah umum;
c. Sekolah khusus mengharuskan penggunaan label berkelainan yang dapat berakibat negatif
pada anak;
d. Banyak anak berkebutuhan khusus yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak
tersedia sekolah khusus yang dekat;
e. Anak berkebutuhan khusus harus dibiasakan tinggal dalam masyarakat bersama masyarakat
lainnya.

2. Kontra Inklusi

Para pakar yang mempertahankan penyediaan penempatan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus secara formal berpendapat sebagai berikut:
a. Peraturan perundangan yang berlaku mensyaratkan bahwa bagi anak berkebutuhan khusus
disediakan layanan pendidikan yang bersifat kontinum;
b. Banyak hasil penelitian yang tetap mendukung gagasan perlunya berbagai alternatif
penempatan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus;
c. Banyak orang tua dan masyarakat yang menghendaki anaknya yang berkebutuhan khusus
berada di kelas khusus;
d. Secara umum sekolah reguler belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena
keterbatasan sumber daya pendidikannya.

Berdasarkan pro dan kontra terhadap sekolah inklusif walaupun sudah ada sekolah inklusif,
keberadaan sekolah khusus (segregasi) seperti SLB masih diperlukan sebagai salah satu alternatif
bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang memerlukannya.

3. Inklusi Moderat

Memandang kontroversi yang lebih bersifat filosofis, Vaughn, Bos, dan Schumm (2000),
mengemukakan bahwa dalam praktik, istilah inklusi sebaiknya dipakai bergantian dengan
instilah mainstreaming, yang secara teori dimaknai sebagai penyediaan layanan pendidikan yang
layak bagi anak berkelainan sesuai dengan kebutuhan individualnya. Penempatan anak
berkebutuhan harus dipilih yang paling bebas di antara sekolah alternatif yang secara khusus
menyelenggarakan Pendidikan khusus, berdasarkan potensi dan jenis/ tingkat kelainannya.
Penempatan ini juga bersifat sementara, bukan permanen, yang bermakna bahwa siswa
berkelainan dimungkinkan secara luwes pindah dari satu alternatif ke alternatif lainnya, dengan
asumsi bahwa intensi kebutuhan khususnya berubah-ubah. Filosofinya adalah inklusi, tetapi
dalam praktiknya menyediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhannya. Model ini juga sering disebut inklusi moderat, dibandingkan dengan inklusi
radikal seperti yang diperjuangkan oleh mereka yang pro inklusi.

C. Permasalahan Pendidikan Inklusif di Sekolah

Pendidikan inklusif di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan dan


mendapat apresiasi serta antusiasme dari berbagai kalangan, terutama para praktisi Pendidikan.
Tetapi sejauh ini dalam pelaksanaannya di lapangan terdapat berbagai isu dan permasalahan.
Berdasarkan hasil penelitian Sunardi (2009) terhadap 12 sekolah penyelenggara inklusi di
Kabupaten dan Kota Bandung, secara umum saat ini terdapat lima kelompok issue dan
permasalahan pendidikan inklusif di tingkat sekolah yang perlu dicermati dan diantisipasi agar
tidak menghambat, implementasinya tidak bisa, atau bahkan menggagalkan pendidikan inklusif
itu sendiri, yaitu : pemahaman dan implementasinya, kebijakan sekolah, proses pembelajaran,
kondisi guru, dan support system. Salah satu bagian penting dari suppor system adalah tentang
penyiapan anak. Selanjutnya, berdasar isu-isu tersebut, permasalahan yang dihadapi adalah
sebagai berikut:
1. Pemahaman inklusi dan implikasinya
a. Pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus belum dipahami sebagai upaya
peningkatan kualitas layanan pendidikan. Pemahamannya masih sebagai upaya memasukkan
disabled children ke sekolah regular dalam rangka give education right dan kemudahan access
education, serta againt discrimination.
b. Pendidikan inklusif cenderung dipersepsi oleh masyarakat sama dengan integrasi, sehingga
masih ditemukan pendapat bahwa anak harus menyesuiakan dengan sistem sekolah.
c. Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu bersikap proactive dan ramah terhadap
semua anak, menimbulkan komplain orang tua, dan menjadikan anak berkebutuhan khusus
sebagai bahan cemoohan.
2. Kebijakan sekolah
a. Meskipun telah didukung dengan visi dan misi yang cukup jelas, menerima semua jenis anak
berkebutuhan khusus, sebagian sudah memiliki guru khusus, mempunyai catatan hambatan
belajar pada masing-masing ABK, dan kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk
mengimplementasikan pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun cenderung belum
didukung dengan koordinasi dengan tenaga profesional, organisasi atau institusi terkait.
b. Kebijakan sekolah yang masih kurang tepat, yaitu guru kelas tidak memiliki tangung jawab
pada kemajuan belajar ABK, serta keharusan orang tua ABK dalam penyediaan guru khusus.
3. Proses pembelajaran
a. Pelaksanaan pembelajaran belum dilakukan dalam bentuk team teaching, tidak dilakukan
secara terkoordinasi.
b. Guru cenderung masih mengalami kesulitan dalam merumusakan flexible curriculum,
pembuatan IEP, dan dalam menentukan tujuan, materi, dan metode pembelajaran.
c. Masih terjadi kesalahan praktek bahwa target kurikulum ABK sama dengan siswa lainnya
serta anggapan bahwa siswa berkebutuhan khusus tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk
menguasai materi belajar.
d. Karena keterbatasan fasilitas sekolah, pelaksanaan pembelajaran belum menggunakan media,
resource, dan lingkungan yang beragam sesuai kebutuhan anak.
4. Kondisi guru
a. Belum didukung dengan kualitas guru yang memadai. Guru kelas masih dipandang not
sensitive and proactive yet to the special needs children.
b. Keberadaan guru khusus masih dinilai belum sensitif dan proaktif terhadap permasalahan yang
dihadapi ABK.
5. Sistem dukungan
a. Belum didukung dengan sistem dukungan yang memadai. Peran orang tua, sekolah khusus,
tenaga ahli, perguruan tinggi-LPTK PLB, dan pemerintah masih dinilai minimal. Sementara itu
fasilitas sekolah juga masih terbatas.
b. Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam pendidikan inklusif, belum
terbina dengan baik. Dampaknya, orang tua sering bersikap kurang peduli dan realistik terhadap
anaknya.

Kondisi di lapangan dalam penerapan pendidikan inklusif

Berdasarkan pemantauan penulis di beberapa sekolah yang menyelenggarakan pendidikan


inklusif di kota Bandung yang telah secara alami mengembangkan pendidikan inklusif, beberapa
kecenderungan yang terjadi di lapangan, diantaranya:
1. Masih ada sekolah yang secara formal belum berpredikat sebagai sekolah inklusif, bahkan
sampai sekarang belum tersentuh proyek sosialisasi dan pelatihan di bidang pendidikan inklusif.
2. Para guru belum memahami dan terampil melakukan proses pembelajaran di kelas inklusif
yang terdapat ABK.
3. Para guru masih merasa sulit menyelaraskan antara standar layanan persekolahan reguler yang
selama ini berjalan dan variasi kebutuhan belajar ABK.
4. Para guru awalnya sempat khawatir akan menurunkan citra sekolah.
5. Para siswa normal belum sepenuhnya menerima ABK sebagai teman belajar di kelasnya.
6. Adanya protes terhadap kenaikan ABK, sementara ada anak normal yang tidak naik kelas.
7. Tidak ada guru khusus, tetapi ini justru tantangan untuk menemukan metode baru (kreatif)
melalui kebersamaan, saling diskusi, saling berbagai.
8. Perubahan dan proses adaptasi pembelajaran dilakukan terus menerus melalui kerja sama,
saling memotivasi, saling membantu, saling mendukung, komunikasi, dan belajar dari
pengalaman.
9. Mengembangkan kerjasama antar guru dan meningkatkan jalinan komunikasi dengan orang
tua.
10. Sekalipun diakui menambah beban tambahan, namun diterima sebagai tantangan.
11. Sekolah belum mampu menyediakan program yang tepat, bagi ABK dengan kondisi
kecerdasan di bawah rata-rata (tunagrahita).
12. Belum adanya sistem evaluasi hasil belajar (baik formatif dan sumatif) yang tepat sesuai
kebutuhan ABK karena kurangnya sarana dan sumber belajar aksesabilitas untuk
mengakomodasi kebutuhan mobilitas dan belajar ABK.
13. Belum seluruh warga sekolah memiliki kesepahaman tentang pendidikan inklusif dan
layanan ABK.
14. Masih adanya anggapan keberadaan ABK akan mempengaruhi ketuntasan hasil belajar akhir
tahun, akibatnya ABK dipindahkan di SLB menjelang ujian.
15. Layanan inklusif masih belum menyatu dalam sistem dan iklim sekolah, sehingga ada dua
label siswa ABK dan reguler.
16. Belum semua pengambil kebijakan termasuk bidang pendidikan memahami tentang sistem
inklusif.
17. Secara pengelolaan pelaksanaan pendidikan inklusif kurang dipersiapkan dengan
komprehensif.
18. Belum optimalnya penyediaan bahan ajar sesuai kebutuhan ABK.

Menilik banyaknya permasalahan implementasi pendidikan inklusif tersebut menunjukkan masih


perlunya penataan lebih komprehensif. Uraian permasalahan di atas memberikan fakta bahwa
pelaksanaan pendidikan inklusif di Indonesia masih dihadapkan kepada berbagai isu dan
permasalahan yang cukup kompleks. Permasalahan yang muncul bukan hanya di tingkat sekolah
saja tetapi di tingkat pusat pula. Di tingkat sekolah, tidak semua guru dan kepala sekolah
memahami dan mampu menerapkan pendidikan inklusif. Akibatnya kebijakan sekolah menjadi
tidak tepat, dan proses pembelajaran menjadi tidak efektif. Sementara itu para pembuat kebijakan
di tingkat pusat belum sepenuhnya memberikan dukungan dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif, terbukti belum optimalnya memberikan support dalam bentuk misalnya penyediaan
sarana dan prasarana atau guru khusus. Pada dasarnya akar masalah pendidikan inklusif di
Indonesia ialah terkait dengan rendahnya komitmen dan kemampuan para praktisi dan pengembil
kebijakan pendidikan. Komitmen dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif harus diperbaiki.
Perlu adanya kesadaran yang mendalam tentang pentingnya penyelenggaraan pendidikan inklusif
secara konsisten. Selain komitmen, akar permasalahan pendidikan inklusif ialah rendahnya
kemampuan praktisi dan pemerintah. Praktisi kurang mampu menyelenggarakan pendidikan
inklusif dan pemerintah kurang mampu dalam memonitor pendidikan inklusif.
Kegiatan melakukan monitoring dan evaluasi (monev) pendidikan inklusif merupakan hal
penting mengingat hasil monev dapat dijadikan rujukan dalam membuat langkah-langkah
strategis. Selain itu, hasil monev merupakan bahan untuk peninjauan kembali kebijakan di
tingkat sekolah, perumusan model-model inklusif, penggiatan program pendampingan,
pemberdayaan LPTK PLB sebagai pusat sumber dan dalam pendampingan, mengganti pola
penataran pelatihan guru dari model ceramah kepada model lesson study atau minimal
memasukkan lesson study sebagai bagian inti dari penataran-pelatihan guru, pembuatan buku-
buku pedoman, serta menggalakkan program sosialisasi dan desiminasi. Komitmen dan
kemampuan para praktisi dan pengambil keputusan harus diperbaiki untuk mengatasi masalah
penyelengaraan pendidikan inklusif. Komitmen penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat
ditingkatkan melalui upaya melibatkan stakeholder dalam setiap pengambilan keputusan,
penegakan hukum, dan internalisasi nilai-nilai inklusif. Nilai-nilai inklusif misalnya; persamaan
hak, pendidikan untuk semua, penghargaan, dll.
Sementara itu, kemampuan dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif dapat ditingkatkan
melalui studi banding dan program pelatihan. Misalnya studi banding ke beberapa negara yang
telah menyelenggarakan Pendidikan inklusif dengan baik. Setelah itu diimplementasikan di
Indonesia dan diadaptasikan dengan kondisi nyata di Indonesia. Dari hasil studi banding itu
bermanfaat untuk mendorong terjadinya perubahan-perubahan di sekolah inklusif seperti: (1)
anak belajar aktif; (2) terjalin kerjasama yang lebih erat dengan keluarga; (3) dipergunakan
pendekatan seluruh sekolah dan dukungan belajar antar teman sebaya; (4) dukungan dari
administrator dan masyarakat setempat melalui pembentukan komita; (5) pelatihan guru berbasis
sekolah yang berkesinambungan; dan (6) pengintegrasian anak ABK secara bertahap.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Penyelenggaraan pendidikan inklusif merupakan suatu sistem layanan anak berkebutuhan khusus
(ABK) bersatu dalam layanan pendidikan formal. Sistem ini menunjukkan bahwa terdapat satu
sistem pembelajaran dalam sekolah inklusif, tetapi mampu mengakomodasi perbedaan
kebutuhan belajar setiap individu baik anak yang normal atau anak berkebutuhan khusus. Dalam
sistem persekolahan di Indonesia secara umum cenderung menerapkan layanan pembelajaran
melalui bentuk belajar klasikal yang kurang memberikan ruang gerak belajar bagi ABK dan
kurang memberikan kefleksibelan penerapan pendidikan inklusif, terutama bagi ABK dengan
kondisi kemampuan mental rendah.
Meskipun perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia saat ini berkembang cukup pesat,
tetapi dalam tataran implementasinya masih banyak permasalahan yang harus dicari solusi untuk
mengatasi masalah tersebut. Hasil pemecahan masalah tersebut dapat memudahkan implementasi
pendidikan inklusif dalam upaya dan proses menuju pendidikan inklusif itu sendiri yang sejalan
dengan filosofi dan konsep-konsep yang mendasarinya.

B. SARAN

Dalam implementasi pendidikan inklusif terdapat beberapa permasalahan dan kendala yang
dihadapi pada pelaksanaannya. Dalam mengatasi permasalahan tersebut diperlukan komitmen
tinggi dan kerja keras melalui kolaborasi berbagai pihak, baik pemerintah, pihak swasta maupun
masyarakat. Upaya mengatasi permasalahan pendidikan inklusif dapat memberikan layanan
optimal bagi anak berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan di sekolah inklusif.
Daftar Pustaka

Abdul Salim cmy .2009. Pendidikan Anak Nerkebutuhan Khusus Secara Inklusif. FKIP-UNS.

Hidayat, Lukman.2010. Sejarah Pendidikan Inklusif di Benua Eropa, (Online). Available


at: http://inklusiuntuksemua.blogspot.com/2010/12/sejarah-pendidikan-inklusif-di-benua.html. D
iakses 14 November 2012.
Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang
Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
PK-PLK. 2012. Kepala Daerah Terima Inclusive Education Award bersama Tokoh Pendidikan
Lainnya, (Online). Available at: http://www.pk-plk.com/2012/09/siaran-pers-9-kepala-daerah-
terima.html#!/2012/09/siaran-pers-9-kepala-daerah-terima.html. Diakses pada tanggal 14
November 2012.
Sunaryo.2009.Manajemen Pendidikan Inklusif. Diunduh
dari http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195607221985031-
SUNARYO/Makalah_Inklusi.pdf diakses pada 5 Juni 2012.

Suparno.2008. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,


Departemen Pendidikan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai