Anda di halaman 1dari 3

komparasi pendidikan inklusi di Indonesia

A. Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusi


Republik Indonesia (RI), umumnya disebut Indonesia, adalah negara di Asia Tenggara
yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta samudera
Pasifik dan Samudera Hindia. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri
dari 17.504 pulau, nama alternatif yang biasa dipakai adalah Nusantara. Dengan populasi
Hampir 270.054.853 juta jiwa pada tahun 2018, berpenduduk terbesar keempat di dunia dan
negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dengan lebih dari 230 juta jiwa. Bentuk
pemerintah Indonesia adalah republik dengan DPR, DPRD dan Presiden dipilih langsung oleh
rakyatnya, Sebelum muncul sistem pendidikan inklusi, pada tahun 1944 pendidikan segregasi
atau pendidikan khusus bagi abk dipandang sebagai sistem pendidikan yang dapat memfasilitasi
kelompok minoritas. Pendidikan khusus yang awalnya dipandang sebagai sistem pendidikan
yang paling sesuai untuk anak berkebutuhan khusu. seiring semakin berkembangnya kesadaran
dan tingkat perkembangan zaman tentang hak asasi manusia, masyarakat mulai berfikir tentang
pentingnya pendidikan yang tidak membatasi suatu golongan/kaum minoritas khususnya anak
berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi menjadi sistem pendidikan yang sesuai bagi semua
kalangan. Proses menuju pendidikan inklusif di indonesia diawali pada awal tahun 1960 oleh
beberapa orang siswa tunanetra di bandung dengan didukungan organisasi para penyandang
tunanetra. Pada masa itu slb khusus penyandang tunanetra hanya memberikan layanan
pendidikan hingga tingkat SMP. Sesudah itu siswa tunanetra diberi latihan kejuruan dalam
bidang kerajinan tangan atau pijat. Namun beberapa siswa tunanetra bersikukuh untuk dapat
melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi 10 yaitu SMA reguler walaupun ada upaya
penolakan dari pihak SMA sendiri. Seiring berjalannya waktu terjadi perubahan sikap
masyarakat terhadap hambatan dan beberapa sekolah reguler bersedia menerima siswa
berkebutuhan khusus. Pada akhir tahun 1970 pemerintah mulai memperhatikan tentang
pentingnya pendidikan secara integrasi dan menjalin kerjasama bersama yayasan Helen Keller
International, Inc. Untuk membantu mengembangkan sitem sekolah integrasi. Dari kerjasama ini
memunculakan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nomor 002/U/1986 tentang pendidikan
terpadu bagi anak cacat yang mengatur bahwa penyandang cacat yang memiliki kemampuan
seyogyanya diberi kesempatan untuk belajar bersama-sama dengan teman sebayanya yang
normal di sekolah reguler. Sayangnya ketika program pendidikan integrasi berakhir,
implementasi pendidikan integrasi semakin kurang dipraktekan, terutama di jenjang SD.
Pengertian dari pendidikan integrasi yaitu proses memasukkan anak berkebutuhan khusus ke
dalam sekolah reguler atau biasa disebut mainstreaming, istilah yang sering dipakai di amerika.
Menjelang akhir tahun 1990 upaya baru dilakukan lagi untuk mengembangkan pendidikan
inklusi melalui proyek kerjasama antara depdiknas dan pemerintah Norwegia dibawah
menejemen Braillo Norway dan Direktorat PLB. Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama
dimasa lalu dengan pendidikan integrasi yang hampir berhenti, perhatian diberikan pada proses
pelaksaan pendidikan inklusi. Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok berkebutuhan
khusus dalam menyuarakan hak – haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusi.
Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi
adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan
pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara
berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan.
Adapun salah satu tujuannya 11 adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh
kelompok berkebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam prakteknya sistem
pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah
dan praktisi pendidikan. Meski sampai saat ini sekolah inklusi masih terus melakukan perbaikan
dalam berbagai aspek, namun dilihat dari sisi idealnya sekolah inklusi merupakan sekolah yang
ideal baik bagi anak dengan dan tanpa berkebutuhan khusus. Lingkungan yang tercipta sangat
mendukung terhadap anak berkebutuhan khusus, mereka dapat belajar dari interaksi antara
teman-teman sebayanya yang berkebutuhan khusu atauapun normal terutama dari aspek sosial
dan emosional. Sedangkan bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus memberi peluang kepada
mereka untuk belajar berempati, bersikap membantu dan memiliki kepedulian
B. Pelaksanaan Pendidikan Inklusi
Penyelenggaraan sekolah inklusi memang tidak sesederhana menyelenggarakan sekolah umum.
Kenyataan dilapangan menunjukan kondisi anak berkebutuhan khusus yang diterima belum
sesuai dengan kebijakan, seperti dalam hal penerimaan jenis kekhususan, tingkat kecerdasan
yang masih dibawah rata, belum ada penentuan batas jumlah siswa yang diterima, serta belum
memiliki sarana prasaranan 29 khusus. Dukungan dari orangtua anak berkebutuhan khusus,
orangtua siswa regular, maupun masyarakat baru berupa dukungan moral. Padahal seharusnya
dukungan yang dibutuhkan berupa dukungan material maupun keterlibatan langsung dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusi. Dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah belum
merata di semua daerah dan masih sangat terbatas, baik dalam bantuan teknis (keterlibatan
dalam pelaksanaan : monitoring, pembimbingan maupun evaluasi pelaksanaan pendidikan
inklusi) maupun bantuan non-teknis (dana maupun peralatan). Anak berkebutuhan khusus
belajar bersama anak normal di kelas regular dalam kelompok khusus. Namun dalam hal
layanan pendidikan. Indonesia juga menerapkan model-model pembelajaran inklusi. Model-
model pembelajaran dalam sekolah inklusi disesuaikan dengan tingkat kebutuhan peserta didik,
baik yang normal maupun disable (ABK) yang dikutip dari (abd Khaidir : 14-15):
1. Model kelas regular/inklusi penuh, yaitu ABK yang tidak mengalami gangguan intelektual
signifikan dapat mengikuti pembelajaran di kelas biasa. Model pembelajaran ini dilaksanakan
dengan cara mengumpulkan atau mencampurkan peserta didik ABK dengan peserta didik
normal lainya.
2. Model Cluster, yaitu: ABK dikelompokkan tersendiri. Dalam pembelajaran model ini semua
peserta didik tanpa kecuali belajar bersama-sama, walaupun bagi ABK perlu didampingi seorang
pendamping agar ABK dapat menerima pembelajaran sebagaimana layaknya anak normal.
Pendamping ini memberikan layanan khusus ketika ABK mengalami kesulitan dan hambatan
dalam belajarnya.
3. Model Pull Out, yaitu: ABK dipindahkan ke ruang khusus untuk mendapatkan pelajaran
tertentu dan didampingi guru khusus. Tidak selamanya peserta didik ABK dapat belajar bersama
sepanjang waktu dengan peserta didik yang normal. Pada bagian- 30 bagian tertentu ada materi
yang harus disampaikan secara khsusus kepada peserta didik ABK disebabkan terjadinya
kesenjangan yang serius bilamana harus belajar secara bersamaan dengan semua peserta didik.
Pada waktuwaktu tertentu peserta didik ABK ditarik dari kelas 30 egular untuk diberi layanan
khusus dengan materi, strategi, metode dan media yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka.
Masing-masing peserta didik yang memerlukan layanan khusus dibimbing oleh seorang
pendamping khusus pula sesuai dengan keperluannya.
4. Model Cluster and Pull Out, yaitu kombinasi antara model cluster dan pull out. Model
pembelajaran ini diimplementasikan dengan cara bahwa pada waktu-waktu tertentu ABK
dikelompokkan tersendiri, tetapi masih dalam satu kelas 30 egular dengan pendamping khusus.
Pada waktuwaktu yang lain ABK ditempatkan di kelas/ruang lain untuk diberi layanan khusus
dengan materi, strategi, metode dan media yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka.
5. Model Kelas khusus, yaitu: sekolah menyediakan kelas khusus bagi ABK, namun untuk
beberapa kegiatan pembelajaran tertentu semua peserta didik digabung dengan kelas 30egular.
Kelas ini adalah kelas yang hanya menampung peserta didik ABK secara penuh. Namun pada
waktu-waktu tertentu ABK diperkenankan bergabung dengan peserta didik normal. Keunikan
kelas semacam ini ialah kelas-kelas untuk ABK tidak jauh dari kelas-kelas regular, bahkan masih
berada dalam satu komplek atau satu gedung yang sama dengan kelas normal. ABK bisa
berinteraksi dengan peserta didik normal secara tidak langsung di dalam kelas dan berinteraksi
secara langsung ketika berada di luar kelas.
6. Model Khusus Penuh, yaitu sekolah menyediakan kelas khusus ABK. Pembelajaran bagi ABK
pada kelas khusus penuh ini ialah peserta didik ABK belajar bersama dengan pseserta didik
bagianbagian tertentu ada materi yang harus disampaikan secara khsusus 31 kepada peserta
didik ABK disebabkan terjadinya kesenjangan yang serius bilamana harus belajar secara
bersamaan dengan semua peserta didik. Pada waktuwaktu tertentu peserta didik ABK ditarik
dari kelas 31 egular untuk diberi layanan khusus dengan materi, strategi, metode dan media
yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. Masing-masing peserta didik yang memerlukan
layanan khusus dibimbing oleh seorang pendamping khusus pula sesuai dengan keperluannya

Anda mungkin juga menyukai