Anda di halaman 1dari 19

DAFTAR ISI

Daftar Isi…………………………………………………………………….1

BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang……………………………………………………………………2
b. Rumusan Masalah………………………………………………………………...4

BAB II KAJIAN PUSTAKA


a. Pendidikan Inklusi………………………………………………………………..5
b. Pembinaan Peserta Didik…………………………………………………………9

BAB III PEMBAHASAN


a. Pengertian Inklusi…………………………………………………………………12
b. Implementasi Pendidikan Inklusi di Indonesia……………………………………14

BAB IV PENUTUP
a. Kesimpulan………………………………………………………………………..18
b. Saran………………………………………………………………………………18

Daftar Pustaka………………………………………………………………..19

1
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pendidikan adalah sebuah proses yang melekat pada setiap kehidupan bersama dan
berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini menggambarkan bahwa pendidikan tidak
bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Seperti yang diungkapkan oleh Jhon Dewey bahwa
pendidikan dapat dipahami sebagai sebuah upaya konservatif dan progresif dalam bentuk
pendidikan sebagai pendidikan sebagai formasi, sebagai rekapitulasi dan retrospeksi, dan sebagai
rekonstruksi (Nugroho, 2008).
Pengertian di atas memberikan arah pemahaman bahwa pendidikan adalah sebuah
kegiatan yang melekat pada setiap kehidupan bersama, atau dalam bahasa politik disebut sebagai
negara-bangsa, dalam rangka menjadikan kehidupan bersama tersebut mempunyai kemampuan
untuk beradaptasi dan mengantisipasi perkembangan kehidupannya, maka pendidikan perlu di
tatakembangkan oleh negara. Undang-Undang No. 20/2003 Pasal 1 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Pendidikan mempunyai arti penting bagi manusia, hal ini sesuai dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tahun 1945 yang
menyatakan bahwa salah satu tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara NKRI adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa inilah diperlukan
layanan pendidikan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Layanan pendidikan ini dimulai dari usia
dini sampai meninggal atau yang dikenal dengan konsep long life education.
Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari bagaimana proses pendidikan yang ada di
dalamnya kemudian tertuang dalam kebijakan-kebijakan pemerintah yang diambil dalam
penyelenggaraan pendidikan. Salah satunya adalah anak berkebutuhan khusus yang harus
mendapat perlakuan sama dalam memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu. Dalam
perkembangannya pendidikan anak berkebutuhan khusus telah banyak mengalami perubahan

2
yaitu pada awalnya pendidikan anak berkebutuhan khusus bersifat segregasi atau terpisah dari
masyarakat pada umumnya.
Selama ini akses dan fasilitas pendidikan untuk penyandang disabilitas masih dianggap
kurang memadai dan masih minim fasilitas pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi kita
belum memadai. Kaum difabel belum banyak mendapatkan tempat dan fasilitas yang layak.
Belum banyak perguruan tinggi yang mau menerima kaum difabel. Ketersediaan sarana dan
prasarana untuk menunjang kegiatan belajar dan mengajar difabel saat ini masih sangat terbatas
di Indonesia pada umumnya.
Sampai saat ini juga belum banyak difabel yang mengakses sekolah model inklusif,
padahal pemerintah sudah mensosialisasikan sekolah inklusi ini, namun belum maksimal dan
ketidak pahaman orang tua difabel mengenai sekolah model inklusif ini maka orang tua lebih
memilih untuk tidak menyekolahkan anaknya. Orang tua yang memiliki anak difabel kurang
menyadari pentingnya pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, selain itu mereka juga malu
untuk memasukkan anaknya ke SLB (Sekolah Luar Biasa) atau sekolah inklusif. Padahal
informasi dan kepahaman orang tua difabel untuk program-program pemerintah yang terkait
dengan pendidikan difabel sangat penting guna untuk pemenuhan hak pendidikan difabel.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur
hal-hal mulai dari Pendidikan Usia Dini, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan
Pendidikan Tinggi untuk seluruh warga negara Indonesia bahkan warga negara asing yang mau
belajar di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, ada juga
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Pada
Pasal 130 peraturan pemerintah ini menyebutkan bahwa:
(1) Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan pada semua jalur
dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
(2) Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan khusus,
satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan
keagamaan.

Pelaksanaan kebijakan pendidikan di Indonesia hingga saat ini belum mampu


menjangkau semua anak usia sekolah untuk mendapatkan layanan pendidikan yang memadai.
Banyaknya anak berkebutuhan khusus yang belum dapat mengakses sekolah merupakan salah
satu tantangan utama dalam mewujudkan komitmen tersebut. Rasanya tidak adil bahwa anak-

3
anak yang berkebutuhan khusus ini mengenyam layanan pendidikan di sekolah luar biasa.
Sebagai warga negara Indonesia, mereka ini juga patut diakomodir dari sekolah umum, supaya
dari aspek sosial dan psikologis mereka juga merasa menjadi bagian dari komunitas pendidikan
umum di Indonesia. Diperkirakan di Indonesia, terdapat 95% anak berkebutuhan khusus yang
belum mendapatkan layanan pendidikan (sumber: Data Direktorat Pendidikan Khusus dan
Layanan Khusus atau PKLK, 2006).

Sebelum meluncurkan program pendidikan inklusif, pemerintah mengeluarkan sebuah


program yang dinamakan Pendidikan Integrasi. Pendidikan Integrasi merupakan sistem
pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus dididik dalam sebuah kelas khusus dan kemudian
diintegrasikan dalam kelas reguler setelah dianggap siap. Pendidikan integrasi ternyata belum
mampu mengakomodir anak berkebutuhan khusus, karena disana mereka harus menyesuaikan
diri dengan ketentuan sistem dan aktivitas kelas reguler. Tidak jarang juga anak berkebutuhan
khusus dianggap aneh oleh guru dan para siswa reguler (Wiyono, 2011).

b. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalahnya yaitu apakah
kebijakan pendidikan inklusi untuk anak disabilitas sudah berjalan dengan baik terkhususnya di
Indonesia sekarang ini?

4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
a. Pendidikan Inklusi
1. Sejarah Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi merupakan konsekuensi lanjut dari kebijakan global Education for All
(Pendidikan untuk semua) yang dicanangkan oleh UNESCO 1990. Kebijakan Education for All
itu sendiri merupakan upaya untuk mewujudkan hak asasi manusia dalam pendidikan yang
dicanangkan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 1949. Konsekuensi logis dari
hak ini adalah bahwa semua anak memiliki hak untuk menerima pendidikan yang tidak
diskriminatif atas dasar hambatan fisik, etnisitas, agama, bahasa, gender dan kecakapan.
Pendidikan inklusi yang di deklarasikan dalam Konferensi Dunia tentang Pendidikan (mereka
yang membutuhkan) kebutuhan khusus di Salamanca, Spanyol, 1994 bahwasanya Prinsip
mendasar pendidikan inklusi yaitu mengikutsertakan anak berkelainan dikelas reguler bersama
dengan anak-anak normal lainnya, berarti melibatkan seluruh peserta didik tanpa kecuali.
Model pendidikan khusus tertua adalah model segregation yang menempatkan anak
berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Dari segi pengelolaan,
model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator. Namun,
dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Reynolds dan Birch menyatakan
bahwa modek segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi
secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa dan yang
tidak kalah penting adalah model segregatif relatif mahal.
Kemudian pada pertengahan abad XX muncul model mainstreaming. Belajar dari berbagai
kelemahan model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif
penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Dan model inilah yang saat ini dengan istilah
pendidikan inklusi. Menurut Staub dan Peck mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah
penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas reguler.
Jadi, melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan di didik bersama-sama anak lainnya
(normal), untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Yang mana pendidikan inklusi ini
merupakan sekolah yang diperuntukkan bagi semua siswa, tanpa melihat kondisi fisiknya. Hal
ini dilandasi oleh kenyataan bahwa dalam masyarakat terdapat keberagaman yang tidak dapat

5
dipisahkan sebagai satu komunitas. Dan keberagaman itu justru akan menjadi kekuatan bagi kita
untuk menciptakan suatu dorongan untuk saling menghargai, saling menghormati dan toleransi.

2. Tujuan Pendidikan Inklusi


a. Tujuan yang ingin dicapai oleh anak dalam mengikuti kegiatan belajar dalam inklusi
antara lain adalah:
1. Berkembangnya kepercayaan diri pada anak, merasa bangga pada diri sendiri atas
prestasi yang diperolehnya.
2. Anak dapat belajar secara mandiri, dengan mencoba memahami dan menerapkan
pelajaran yang diperolehnya di sekolah ke dalam kehidupan sehari-hari.
3. Anak mampu berinteraksi secara aktif bersama teman-temannya, guru, sekolah dan
masyarakat.
4. Anak dapat belajar untuk menerima adanya perbedaan, dan mampu beradaptasi dalam
mengatasi perbedaan tersebut.

b. Tujuan yang ingin dicapai oleh guru-guru dalam pelaksanaan pendidikan inklusi antara
lain adalah:
1. Guru akan memperoleh kesempatan belajar dari cara mengajar dengan setting inklusi.
2. Terampil dalam melakukan pembelajaran kepada peserta didik yang memiliki latar
belakang beragam.
3. Mampu mengatasi berbagai tantangan dalam memberikan layanan kepada semua anak.
4. Bersikap positif terhadap orang tua, masyarakat, dan anak dalam situasi beragam.
5. Mempunyai peluang untuk menggali dan mengembangkan serta mengaplikasikan
berbagai gagasan baru melalui komunikasi dengan anak di lingkungan sekolah dan
masyarakat.

c. Tujuan yang akan dicapai bagi orang tua antara lain adalah:
1. Para orang tua dapat belajar lebih banyak tentang bagaimana cara mendidik dan
membimbing anaknya lebih baik di rumah, dengan menggunakan teknik yang
digunakan guru di sekolah.

6
2. Mereka secara pribadi terlibat, dan akan merasakan keberadaannya menjadi lebih
penting dalam membantu anak untuk belajar.
3. Orang tua akan merasa dihargai, merasan dirinya sebagai mitra sejajar dalam
memberikan kesempatan belajar yang berkualitas kepada anaknya.
4. Orang tua mengetahui bahwa anaknya dan semua anak yang di sekolah, menerima
pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kemampuan masing-masing individu anak.

d. Tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan
inklusif antara lain adalah:
1. Masyarakat akan merasakan suatu kebanggaan karena lebih banyak anak mengikuti
pendidikan di sekolah yang ada di lingkungannya.
2. Semua anak yang ada di masyarakat akan terangkat dan menjadi sumber daya yang
potensial, yang akan lebih penting adalah bahwa masyarakat akan lebih terlibat di
sekolah dalam rangka menciptakan hubungan yang lebih baik antara sekolah dan
masyarakat (Tarmansyah, 2007:112-113).

3. Karakteristik Pendidikan Inklusi


Karakteristik dalam pendidikan inklusi tergantung dalam beberapa hal seperti hubungan,
kemampuan, pengaturan tempat duduk, materi belajar, sumber dan evaluasi yang dijelaskan
sebagai berikut:
a) Hubungan
Ramah dan hangat, contoh untuk anak tuna rungu; guru selalu berada di dekatnya dengan
wajah terarah pada anak dan tersenyum. Pendamping kelas (orang tua) memuji anak tuna
rungu dan membantu lainnya.
b) Kemampuan
Guru, peserta didik dengan latar belakang dan kemampuan yang berbeda serta orang tua
sebagai pendamping.
c) Pengaturan tempat duduk
Pengaturan tempat duduk yang bervariasi seperti, duduk berkelompok di lantai
membentuk lingkaran atau duduk di bangku bersama-sama sehingga mereka dapat
melihat satu sama lain.

7
d) Materi belajar
Berbagai bahan yang bervariasi untuk semua mata pelajaran, contoh pembelajaran
matematika disampaikan melalui kegiatan yang lebih menarik, menantang dan
menyenangkan melalui bermain peran menggunakan poster dan wayang untuk pelajaran
bahasa.
e) Sumber
Guru menyusun rencana harian dengan melibatkan anak, contoh meminta anak membawa
media belajar yang murah dan mudah didapat ke dalam kelas untuk dimanfaatkan dalam
pelajaran tertentu.
f) Evaluasi
Penilaian, observasi, portofolio yakni karya anak dalam kurun waktu tertentu
dikumpulkan dan dinilai (Lay Kekeh Marthan, 2007:152).

4. Kurikulum Sekolah Inklusi


Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan anak, yang selama ini anak
dipaksakan mengikuti kurikulum. Oleh sebab itu hendaknya memberikan kesempatan untuk
menyesuaikan kurikulum dengan anak. Menurut Tarmansyah (2007:154) untuk modifikasi
kurikulum merupakan model kurikulum dalam sekolah inklusi. Modifikasi pertama adalah
mengenai pemahaman bahwa teori model itu selalu merupakan representasi yang disederhanakan
dari realitas yang kompleks. Modifikasi kedua adalah mengenai aspek kurikulum yang secara
khusus difokuskan dalam pembelajaran yang akan dibahas lebih banyak dalam praktek
pembelajaran. Kurikulum yang digunakan di sekolah inklusi adalah kurikulum anak normal
(reguler) yang disesuaikan (dimodifikasi sesuai) dengan kemampuan awal dan karakteristik
siswa. Lebih lanjut, menurut Direktorat PLB (Tarmansyah, 2007:168) modifikasi dapat
dilakukan dengan cara modifikasi alokasi waktu, modifikasi isi/materi, modifikasi proses belajar
mengajar, modifikasi sarana dan prasarana, modifikasi lingkungan untuk belajar, dan modifikasi
pengelolaan kelas. Dengan kurikulum akan memberikan peluang terhadap tiap-tiap anak untuk
mengaktualisasikan potensinya sesuai dengan bakat, kemampuannya dan perbedaan yang ada
pada setiap anak.

8
b. Pembinaan Peserta Didik
1. Pengertian Pembinaan Peserta Didik
Untuk mengembangkan pengetahuan, bakat, serta keterampilan peserta didik langkah atau
upaya yang perlu dilakukan suatu lembaga pendidikan adalah melalui pembinaan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Lukman Ali: 2005), “pembinaan adalah proses, cara, perbuatan
membina, pembaharuan, penyempurnaan, dan usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan
secara efektif dan efisien untuk memperoleh hasil yang lebih baik.”
Lebih lanjut menurut Ach. Suudy (2010), pembinaan kesiswaan merupakan bagian yang
sangat penting dalam terselenggaranya pelaksanaan pendidikan. Maksud dari kegiatan
pembinaan peserta didik adalah mengusahakan agar siswa dapat tumbuh dan berkembang
sebagai manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Dari dua
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pembinaan adalah suatu proses, cara, perbuatan
membina peserta didik agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan Nasional.

2. Materi Pembinaan Peserta Didik


Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Republik Indonesia Nomor
39 tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan bab I pasal 3 ayat 2 menjelaskan bahwa materi
pembinaan peserta didik yaitu meliputi:
a. Keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
b. Budi pekerti luhur atau akhlak mulia
c. Kepribadian unggul, wawasan kebangsaan, dan bela negara
d. Prestasi akademik, seni, dan/atau olahraga sesuai bakat dan minat
e. Demokrasi, hak asasi manusia, pendidikan politik, lingkungan hidup, kepekaan dan
toleransi sosial dalam konteks masyarakat plural
f. Kreativitas, keterampilan, dan kewirausahaan
g. Kualitas jasmani, kesehatan, dan gizi berbasis sumber gizi yang terdiversifikasi
h. Sastra dan budaya
i. Teknologi informasi dan komunikasi
j. Komunikasi dalam bahasa Inggris

9
Materi-materi yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tersebut
diwujudkan dalam bentuk-bentuk kegiatan pembinaan peserta didik di sekolah yang terdiri dari
kegiatan yang bermacam-macam dari kegiatan pembinaan akademik, non akademik, dan
sikap/mental spiritual yang bertujuan agar materi yang diharapkan dapat diterima peserta didik.

3. Fungsi dan Tujuan Pembinaan Peserta Didik


a. Fungsi Pembinaan Peserta Didik
Pembinaan peserta didik merupakan pembinaan yang diberikan untuk seluruh peserta didik
di tingkat dasar, menengah, sampai tingkat tinggi, yang mana fungsi pembinaan peserta didik
secara umum sama dengan fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional, sebagaimana tercantum
dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal
3, yaitu; “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

b. Tujuan Pembinaan Peserta Didik


Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 39 tahun 2008
tentang Pembinaan Kesiswaan pasal 1, dijelaskan bahwa tujuan pembinaan untuk peserta didik
adalah:
1) Mengembangkan potensi siswa secara optimal dan terpadu yang meliputi bakat, minat,
dan kreativitas.
2) Memantapkan kepribadian siswa untuk mewujudkan ketahanan sekolah sebagai
lingkungan pendidikan sehingga terhindar dari usaha dan pengaruh negatif dan
bertentangan dengan tujuan pendidikan.
3) Mengaktualisasikan potensi siwa dalam pencapaian prestasi unggulan sesuai bakat dan
minat.

10
4) Menyiapkan siswa agar menjadi warga masyarakat yang berakhlak mulia, demokratis,
menghormati hak-hak asasi manusia dalam rangka mewujudkan masyarakat madani
(civil society).

Tujuan dari pembinaan peserta didik adalah mengembangkan potensi siswa, memantapkan
kepribadian siswa, mengaktualisasikan potensi siswa dan juga menyiapkan siswa agar menjadi
masyarakat yang memiliki akhlaq mulia, demokratis dan menghormati hak-hak asasi manusia.

4. Kegiatan Pembinaan Peserta Didik


Pendidikan bertujuan untuk dapat mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang memiliki pengetahuan, keterampilan, wawasan dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, untuk mewujudkan hal tersebut maka diperlukan pembinaan dan pengembangan
peserta didik. Pembinaan dan pengembangan peserta didik penting dilakukan sehingga anak
mendapatkan bermacam-macam pengalaman belajar untuk bekal kehidupannya di masa yang
akan datang. Untuk mendapatkan pengetahuan atau pengalaman belajar ini, peserta didik harus
melaksanakan bermacam-macam kegiatan. Kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan
adalah kegiatan kurikuler dan kegiatan ekstrakulikuler.
Kegiatan kurikuler adalah semua kegiatan yang telah ditentukan di dalam kurikulum yang
pelaksanaannya dilakukan pada jam-jam pelajaran. Kegiatan kurikuler dalam bentuk proses
belajar mengajar di sekolah. Setiap peserta didik wajib mengikuti kegiatan kurikuler ini.
Sedangkan kegiatan ekstrakulikuler ini biasanya terbentuk berdasarkan bakat dan minat yang
dimiliki oleh peserta didik. Setiap peserta didik tidak harus mengikuti semua kegiatan
ekstrakulikuler. Ia bisa memilih kegiatan mana yang dapat mengembangkan kemampuan dirinya.
Bisa dikatakan bahwa kegiatan ekstrakulikuler ini merupakan wadah kegiatan peserta didik di
luar kegiatan kurikuler.
Lebih lanjut menurut peraturan mendiknas No. 39 Tahun 2008 pembinaan kesiswaan
dilaksanakan melalui kegiatan ekstrakulikuler dan ko-kurikuler. Dari beberapa pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa kegiatan dalam pembinaan peserta didik mencakup kegiatan kurikuler,
ko-kurikuler dan ekstrakulikuler.

11
BAB III

PEMBAHASAN

a. Pengertian Inklusi
Istilah inklusi yang dianggap istilah baru untuk mendiskripsikan penyatuan bagi anak-anak
berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program-program sekolah (dan juga
diartikan sebagai menyatukan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) dengan cara-
cara yang realistis dan komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh.
Pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem
pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk
berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Pendidikan inklusi merupakan model penyelenggaraan
program pendidikan bagi anak berkelainan atau cacat dimana penyelenggaraannya dipadukan
bersama anak normal dan tempatnya di sekolah umum dengan menggunakan kurikulum yang
berlaku di lembaga bersangkutan.
Stout (2001:1) mengemukakan tentang definisi inklusi sebagai berikut: “Inclusion is a term
which expresses commitment to educate each child, to the maximum extent appropriate, in the
school and classroom he or she would otherwise attend. It involves bringing the support services
to the child (rather than moving the child to the services) and requires only that the child will
benefit from being in the class (rather than having to keep up with the other student).
Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa inklusi merupakan suatu istilah yang
menyatakan komitmen terhadap pendidikan yang sedemikian tepatnya bagi setiap anak, di mana
akan mengikuti pendidikan baik di sekolah maupun di kelas. Inklusi melibatkan berbagai
dukungan layanan terhadap anak dan hanya memerlukan bahwa anak akan mendapat manfaat
dari kehidupan di kelas (lebih baik mengalami untuk mengikuti siswa yang lain).
Pada hakekatnya pendidikan inklusi tidaklah hanya sebatas untuk member kesempatan
kepada anak-anak berkebutuhan khusus, untuk menikmati pendidikan yang sama, namun hak
berpendidikan juga untuk anak-anak lain yang kurang beruntung, misalnya anak dengan
HIV/AIDS, anak-anak jalanan, anak yang tidak mampu (fakir-miskin), anak-anak korban
perkosaan, korban perang dan lainnya, tanpa melihat agama, ras dan bahasanya. Konsep
pendidikan inklusi memiliki lebih banyak kesamaan dengan konsep yang melandasi gerakan

12
‘Pendidikan untuk Semua’ dan ‘Peningkatan Mutu Sekolah’. Namun kebijakan dari praktek
inklusi anak berkebutuhan khusus (penyandang cacat) telah menjadi katalisator utama untuk
mengembangkan pendidikan inklusi yang efektif, yang fleksibel dan tanggap terhadap
keanekaragaman gaya dan kecepatan belajar.
“Pendidikan inklusi merupakan perkembangan pelayanan pendidikan terkini dari model
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, dimana prinsip mendasar dari pendidikan inklusi,
selama memungkinkan, semua anak atau peserta didik seyogyanya belajar bersama-sama tanpa
memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.” (Salamanca, 1994)
“Inklusi itu masa depan, milik ras manusia, hak asasi manusia, pengupayaan agar bisa
hidup berdampingan satu sama lain, bukanlah sesuatu hal yang harus dilakukan kepada
seseorang atau untuk seseorang, dilakukan bersama bagi satu sama lain, bukanlah sesuatu yang
kita lakukan sedikit saja.” (Marsha Forest, 2005:19)
Adapun pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback
(1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di
kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang
dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga
merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling
membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan
individualnya dapat terpenuhi.
Menurut Heller, Holtzman & Messick (1982), mengatakan bahwa layanan ini
merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas
berdasarkan hasil identifikasi yang tepat. Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat
sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat karena
karakteristik mereka yang sangat heterogen.
Dan pernyataan-pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa sekolah reguler yang
berorientasi inklusi merupakan alat untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan
masyarakat yang ramah, mencapai pendidikan bagi semua, sehingga akan memberikan
pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi karena akan
menurunkan biaya bagi seluruh sistem pendidikan.

13
b. Implementasi Pendidikan Inklusi di Indonesia
Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11
agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk
mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap
penyandang cacat berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang
pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh
kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak
dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang
penyandang cacat).
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badan-badan swasta
menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa disebut Sekolah Luar Biasa (SLB)
untuk melayani beberapa jenis kecacatan. Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di
daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di
perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang cacat anak untuk
menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi yang tidak
terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah yang dapat diselesaikan oleh
pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan masalah golongan penyandang cacat
yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan
yang lain.
Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah inklusi seperti di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah
Khusus Ibukota Jogyakarta dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan
perintis itu memang diuntukkan anak-anak lambat belajar dan anak-anak sulit belajar sehingga
perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rintisan sampai sekarang belum
ada informasi yang berarti dari sekolah-sekolah tersebut.
Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta) mengisahkan sekolah
Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah ini punya murid 120 anak, 2 anak laki-laki
diantaranya adalah Tuna Grahita, dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena
mau masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini
tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD.
Muhamadiyah. Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak mereka

14
diterima sekolah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan
gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman
sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan mendidik mereka dengan
mengunakan modifikasi kurikulum untuk matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi
disesuaikan dengan kemampuan mereka. Hal yang sangat penting disini yang berkaitan dengan
guru adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik, bahagia dan senang di
sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah teman sekelas yang sedang
belajar.
Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah sejak tahun 2001, secara formal
pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung tahun 2004 dengan beberapa sekolah reguler yang
mempersiapkan diri untuk implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak ada
tanda-tanda untuk itu, informasi tentang pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik, isu ini
tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah, sistem SKS SMA dan
lain-lain.
Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni
mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi egois.
Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu diimbangi
dengan pendekatan pembelajaran kooperatif.
Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama
dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan tugas
dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam
kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta saling
tolong menolong akan berkembang dengan baik.
Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera penglihatan.
Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera pendengaran.
Tipe kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera perabaan/gerakan.
Guru hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan anak yang
memiliki tipe belajar tertentu saja.
Proses menuju pendidikan inklusi di Indonesia diawali pada tahun 1960-an oleh ebberapa
orang siswa tunanetra di Bandung dengan dukungan organisasi para tunanetra sebagai satu
kelompok penekan. Pada masa itu SLB untuk tunanetra hanya memberikan layanan pendidikan

15
hingga ke tingkat SLTP. Sesudah itu para pemuda tunanetra diberi latihan kejuruan dalam bidang
kerajinan tangan atau pijat. Sejumlah pemuda tunanetra bersikeras untuk memperoleh tingkat
pendidikan lebih tinggi dengan mencoba masuk ke SMA biasa meskipun ada upaya penolakan
dari pihak SMA itu. Lambat-laun terjadi perubahan sikap masyarakat terhadap kecacatan dan
beberapa sekolah umum bersedia menerima siswa tunanetra.
Pada akhir tahun 1970-an pemerintah mulai menaruh perhatian terhadap pentingnya
pendidikan integrasi, dan mengundang Hellen Keller International, Inc. untuk membantu
mengembangkan sekolah integrasi. Keberhasilan proyek ini telah menyebabkan diterbitkannya
Surat Keputusan Menteri Pendidikan nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak
Cacat yang mengatur bahwa anak penyandang cacat yang memiliki kemampuan seyogyanya
diberi kesempatan untuk belajar bersama-sama dengan sebayanya yang non-cacat di sekolah
biasa. Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi itu berakhir, implementasi pendidikan
integrasi semakin kurang dipraktekkan, terutama di jenjang SD.
Akan tetapi, menjelang akhir tahun 1990-an upaya baru dilakukan lagi untuk
mengembangkan pendidikan inklusi melalui proyek kerja sama antara Depdiknas dan pemerintah
Nowergia di bawah manajemen Braillo Norway dan Direktorat PLB. Agar tidak mengulangi
kesalahan di masa lalu dengan program pendidikan integrasi yang nyaris mati, perhatian
diberikan pada sustainabilitas program pengimplementasian pendidikan inklusi.
Untuk itu, strategi yang diambil adalah sebagai berikut:
1. Diseminasi ideology pendidikan inklusi melalui berbagai seminar dan lokakarya;
2. Mengubah peranan SLB yang ada agar menjadi pusat sumber untuk mendukung sekolah
inklusi (dengan alat bantu mengajar, materi ajar, metodologi, dsb); Penataran/pelatihan
bagi guru-guru SLB maupun guru-guru reguler untuk memungkinkan mereka
memberikan layanan yang lebih baik kepada anak berkebutuhan khusus dalam setting
inklusi;
3. Reorientasi pendidikan guru di LPTK dan keterlibatan universitas dalam program
tersebut;
4. Desentralisasi pembuatan keputusan untuk memberikan lebih banyak peran kepada
pemerintah daerah dalam implementasi pendidikan inklusi;
5. Mendorong dan memfasilitasi pembentukan kelompok-kelompok kerja untuk
mempromosikan implementasi pendidikan inklusi;

16
6. Keterlibatan LSM dan organisasi internasional dalam program ini;
7. Menjalin jejaring antar berbagai pihak terkait;
8. Mengembangkan sekolah inklusi perintis;
9. Pembukaan program magister dalam bidang inklusi dan pendidikan kebutuhan khusus.

Hasil yang paling dapat teramati dari program tersebut adalah sebagai berikut:

1) Sejumlah lokakarya dan seminar tentang pendidikan inklusi, baik pada tingkat nasional
maupun lokal, telah diselenggarakan, yang melibatkan para pendidik dan pengelola
pendidikan.
2) Sembilan SLB di sembilan provinsi telah dipilih untuk menjadi pusat sumber dan
perannya sebagai pusat sumber sedikit demi sedikit menjadi kenyataan dengan tetap
mempertahankan perannya sebagai SLB. The National Resource Centre in Jakarta,
Citeureup Regional Resource Centre in West Java and Payakumbuh Regional Resource
Centre in West Sumatra are the tree most functional among the nine resource centres. In
addition, a number of other special schools have been designed to function as supportive
centres.
3) Beberapa universitas sudah mulai memperkenalkan pendidikan inklusi sebagai satu mata
kuliah atau sebagai satu topik dalam mata kuliah terkait kepada mahasiswanya.
4) Dosen sejumlah universitas sudah terlibat dalam lokakarya atau seminar tentang
pendidikan inklusi.
5) Dinas pendidikan di sejumlah provinsi sudah lebih proaktif dalam mempromosikan
pendidikan inklusi.
6) Sebuah kelompok kerja pendidikan inklusi telah terbentuk di Jawa Barat, yang
anggotanya berasa dari Pusat Sumber Citeureup, Dinas Pendidikan Jawa Barat, dan UPI.
7) UNESCO telah aktif terlibat dalam promosi pendidikan inklusi di Jawa Barat.
8) Pada tahun 2002 proyek telah mengembangkan masing-masing tiga sekolah inklusi
perintis di 9 provinsi yang memiliki Pusat Sumber, dan pada tahun 2003 Depdiknas
secara ambisius meningkatkan jumlah tersebut. Sejak saat itu sekitar 2000 anak
penyandang cacat sudah ditempatkan di sekolah reguler.

17
BAB IV
PENUTUP
a) Kesimpulan
Pendidikan inklusi sebagai satu inovasi pendidikan bagi penyandang cacat. Pertama kali
pendidikan ini muncul dalam dokumen internasional adalah pada tahun 1994 dalam The
Salamanca Statement. Kini pendekatan ini belum sepenuhnya diterapkan di seluruh dunia, tapi
kecenderungannya adalah semakin dapat diterima oleh masyarakat luas. Satu faktor yang
tampaknya menentukan penerimaan masyarakat terhadap ideologi pendidikan inklusi ini adalah
difusi inovasi ini. Maksud dari semua ide adalah kesejahteraan para penyandang cacat yang
memperoleh segala haknya sebagai warga negara. Apakah penempatan anak-anak penyandang
cacat di sekolah reguler saat ini akan benar-benar baik bagi kesejahteraannya, kita membutuhkan
waktu untuk membuktikannya; tetapi kita dapat percaya itu akan terjadi selama mereka diberi
dukungan yang tepat sebagaimana dirancang bagi mereka. Hingga saat ini yang tampaknya pasti
adalah jumlah anak penyandang cacat yang bersekolah telah meningkat secara signifikan,
sehingga target untuk mewujudkan pendidikan untuk semua pada tahun 2015 tampaknya
menjadi lebih realistis. Walaupun implementasinya di Indonesia masih belum tampak
kesungguhan upaya yang signifikan baik oleh negara maupun masyarakat dan lembaga
pendidikan terkait.

b) Saran
Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan sekolah inklusi sehingga anak yang
berkebutuhan khusus yang berbakat dapat menyalurkan bakat mereka. Pemerintah juga harus
mensosialisasikan adanya sekolah inklusi agar sekolah inklusi diketahui keberadaannya, dan
masyarakat tidak lagi meremehkan sekolah inklusi bahwa anak-anak inklusi juga bisa berprestasi
layaknya anak normal. Penyelenggaraan sekolah inklusi harus terus dikembangkan demi
memberi ruang gerak, ruang belajar terutama bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus agar
mereka tidak dipandang sebelah mata lagi.

18
DAFTAR PUSTAKA

https://pgsd.binus.ac.id/2017/04/10/pendidikan-inklusi/
https://idtesis.com/pengertian-pendidikan-inklusi/
http://izzaucon.blogspot.com/2014/06/tujuan-dan-landasan-pendidikan-inklusi.html
https://perpuskampus.com/tujuan-pendidikan-inklusif/
http://rinitarosalinda.blogspot.com/2015/10/penyelenggaraan-pendidikan-inklusif.html
http://rinitarosalinda.blogspot.com/2015/10/prinsip-prinsip-pembelajaran-inklusif.html
http://imaard.blogspot.com/2011/12/prinsip-penyelenggaraan-pendidikan.html
http://manajemenpendidikana2013.blogspot.com/2015/06/pendidikan-inklusif-dan-
penyelenggaraan.html
https://text-id.123dok.com/document/ozllndwrz-prinsip-prinsip-penyelenggaraan-pendidikan-
inklusif.html
http://emakpintar.org/content/6891/sisi-positif-bersekolah-di-sekolah-inklusi.html
http://andhynielovers.blogspot.com/2011/05/pentingnya-penyellenggaraan-pendidikan.html

19

Anda mungkin juga menyukai