Anda di halaman 1dari 53

MAKALAH PENDIDIKAN INKLUSIF

“KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF”

HALAMAN JUDUL

DI SUSUN OLEH:

 MUHAMMAD ALWI /210204502032


 AGUS SALIM / 210204502031
 NUR HASANAH / 20204502033

PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRO


UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................... 23


DAFTAR ISI ..................................................................................... 24
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 25
A. Latar Belakang .......................................................................... 25
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 27
C. Tujuan ....................................................................................... 27
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................... 27
E. Pengertian Pendidikan Inklusif ................................................ 27
F. Pro dan Kontra Pendidikan Inklusif ........................................ 35
G. Manfaat Pendidikan Inklusif .................................................... 37
BAB III PENUTUP ............................................................................. 41
A. Kesimpulan ................................................................................ 41
B. Saran .......................................................................................... 42
C. Daftar Pustaka.............................................................................. 15
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan inklusif merupakan seseuatu yang baru di dunia
pendidikan Indonesia. Istilah pendidikan inklusif atau inklusi, mulai
mengemuka sejak tahun 1990, ketika konferensi dunia tentang pendidikan
untuk semua, yang diteruskan dengan pernyataan tentang pendidikan
inklusif pada tahun 1994.
Pendidikan khusus merupakan pendidikan yang diperuntukan bagi
peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Oleh karena itu,
untuk mendorong kemampuan pembelajaran mereka dibutuhkan
lingkungan belajar yang kondusif, baik tempat belajar, metoda, sistem
penilaian, sarana dan prasarana serta yang tidak kalah pentingnya adalah
tersedianya media pendidikan yang memadai sesuai dengan kebutuhan
peserta didik.
Seiring dengan perjalanan kehidupan sosial bermasyarakat, ada
pandangan bahwa mereka anak-anak penyandang dissabilitas dianggap
sebagai sosok individu yang tidak berguna, bahkan perlu diasingkan.
Namun, seiring dengan perkembangan peradaban manusia, pandangan
tersebut mulai berbeda. Keberadaannya mulai dihargai dan memiliki hak
yang sama seperti anak normal lainnya. Hal ini sesuai dengan apa yang
diharapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 1 dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dapat disimpulkan bahwa Negara memberikan jaminan
sebenarnya kepada anak-anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh
layanan pendidikan yang berkualitas. Hal ini menunjukkan bahwa anak-
anak berkebutuhan khusus mendapatkan kesempatan yang sama dengan
anak-anak normal lainnya dalam pendidikan. Hanya saja, jika ditinjau dari
sudut pandang pendidikan, karena karakteristiknya yang berbeda dengan
anak normal pada umumnya menyebabkan dalam proses pendidikannya
mereka membutuhkan layanan pendekatan dan metode yang berbeda
dengan pendekatan khusus
Pemerintah sebagai faktor utama dalam membuat kebijaksanaan
pendidikan mengupayakan program pemerataan pendidikan dengan
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif adalah suatu
kebijaksanaan pemerintah dalam mengupayakan pendidikan yang bisa
dinikmati oleh setiap warga negara agar memperoleh pendidikan tanpa
memandang anak berkebutuhan khusus dan anak normal agar bisa
bersekolah dan memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas untuk
masa depan hidupnya.
Ruang lingkup media pendidikan inklusif sebaiknya mencakup
semua jenis media pendidikan untuk semua peserta didik termasuk
didalamnya anak berkebutuhan khusus, seperti: Tunanetra, Tunarungu,
Tunagrahita, Tunadaksa, Tunalaras, Tuna Wicara, Tunaganda,
HIV/AIDS, Gifeted, Talented, Kesulitan Belajar, Lamban Belajar, Autis,
Korban Penyalahgunaan Narkoba, Indigo, dan lain sebagainya.
Khusus untuk pembelajaran MIPA, memang tidaklah mudah
mengajarkan dan mengaplikasikan konsep-konsep materi pada anak yang
berkebutuhan khusus atau memiliki bakat istimewa. Tetapi hal itu bukan
berarti mata pelajaran MIPA tidak dapat diberikan kepada mereka.
Dengan dilatarbelakangai hal tersebut maka dirasa perlu untuk
mempelajari lebih mendalam tentang kajian pendidikan inklusif
khususnya pada mata pelajaran MIPA.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Apa pengertian pendidikan inklusif?
2. Apa saja pro dan kontra pendidikan Inklusif?
3. Apa manfaatnya pendidikan inklusif?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sbagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian pendidikan inklusif.
2. Untuk mengetahui pro dan kontra pendidikan Inklusif.
3. Untuk mengetahui manfaat pendidikan inklusif.

BAB II
PEMBAHASAN
E. Pengertian Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif lahir sebagai bentuk ketidak puasan
penyelenggaran pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan
menggunakan sisitem segregasi. Sistem segregasi adalah sistem
penyelenggalan sekolah yang diperuntukan bagi anak-anak yang memiliki
kelainan atau anak-anak berkebutuhan khusus. Sistem ini dipandang
bertentangan dengan tujuan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan
khusus. Dimana tujuaan penyelenggaran pendidikan anak berkebutuhan
khusus adalah untuk mempersiapkan mereka untuk dapat berinteraksi
dengan mandiri di lingkungan masyarakat. Namun dalam proses
penyelenggaran pendidikan, sistem segregasi justru di pisahkan dengan
lingkungan masyarakat, khususunya terjadi di masyarakat kita berangkat
dari kenyataan tersebut, lahirlah beberapa konsep pendidikan inklusif

Menurut Budianto (2006), sistem segregasi tidak mampu lagi


mengemban misi utama pendidikan, yaitu memanusiakan manusia. Sistem
segregasi cenderung diskriminatif, esklusif, mahal, tidak efesien, serta
outputnyapun belum menjanjikan sesuatu yang positif. Disebut pula oleh
Reynolds dan birch (1988), bahwa model segregasi tidak menjamin
kesempatan anak berkenalinan berkembang potensi secara optimal, karena
kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Hal itu
secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta
didik untuk kelak dapat berinteraksi dengan masyarakat normal, tetapi
faktanya mereka dipisahkan dari masyarakat normal.

Pendidikan inklusif merupakan sistem penyelenggaran pendidikan


bagi anak-anak yang memiliki keterbatasan tertentu dan anak yang lainnya
yang disatukan dengan tanpa mempertimbangakan keterbatasan masing-
masing. Menurutt dikrektorat pembinaan SLB (2007), pendidikan inklusif
adalah sistem layanan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
semua anak belajar bersama-sama. Di sekolah umum dengan
memerhatikan keragaman dan kebutuhan individual, sehingga potensi
anak dapat berkembang secara optimal. Semangat pendidikan inkuusif
akan memberi akses yang luas-luasnya kepada semua anak, termasuk anak
berebutuhan khusus, untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan
memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhanya.
Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan direkterat pembinaan SLB (
2007), sebagai wadah yang ideal, pendidikan inklusif memiliki empat
karateristik makna, yaitu :

1. Pendidikan inklusif yang berjalan terus dalam usaha menemukan


cara-cara merespon keragaman individu anak.
2. Pendidikan inklusif berarti memperleh cara-cara untuk mengatasi
hambatan-hambatan anak dalam belajar
3. Pendidikan inklusif berarti membawa makna anak mendapata
kesempatan untuk hadir di sekolah, berpartisipasi, dan
mendaparkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya
4. Pendidikan inklusif di peruntukan bagi anak yang tergolong
marginal, ekslusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus
dalam belajar.

Definisi inklusif disampaikan oleh Dianne dan Brandy Reese (2002)


bahwa :
“inclusion can be defined as the act of being present at reguler education
clesses with the support and service needed to successfully achieve
education goals. Inclusion in the scholastic enviroment benefits both the
disabled student and the non-disabled student in obtaining life skills. by
including all student as much possible in general or reguler education all
classes all students can learn to work cooperatively, learn to work with
different kinds of people in taks “

Pernyataan Tirocchi tersebut, menunjukan bahwa keberadaan


anak berkebutuhan khusus di kelas regular merupakan sesuatu yang
penting untuk mencapai tunjuan pembelajaran di kelas. keberdaan anak
berkebutuhan khusus di kelas inklusif bermanfaat bagi semua anak,
khusunya dalam pengembangan kompetensi sosial dan peningkatan
kecakapan hidup. Hal ini dapat terwujud manakala anak berkebutuhan
khusus kerjasama secara sinergis dengan anak-anak lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas akademik sekolah.

Menurut Sharon rustemer (2002), yang dilaporkan pada center of


study in inclusive education (CSIE) , pendidikan inklusif didefinisikan
sebgai berikut “ inclusive education learning together in ordinary pre-
school provision, schools, colleges and universities with appropriate
network of support”. Dengan demikian, pendidikan inklusif dapat diikuti
oleh semua orang dengan tanpa keterbatasan dan dapat berlangsung di
setiap jenjang pendiidkan, mulai dari TK sampai perguruaan tinggi

Selanjutnya, SCIES menyatakan bahwa “ inclusion means


enabling all students to participate fully in the life and work of
mainstreaming setting, whatever their needs”. Dengan kata lain, semua
siswa tanpa memandang jenis kebutuhan diperbolehkan unruk bersam-
sama hidup dan bekerja dalam lingkungan umum(lumrah)

Pendidikan inklusif merupakan sistem pendidikan yang menghargai


manusia:

1. Diciptakan sebagai mahluk yang berbeda-beda (unik)


2. Menghargai dan menghormati bahwa semua orang merupakan
bagian dari masyarakat, dan
3. Diciptakan untuk membangun sebuah masyarakat, sehingga
masyarakat normal ditandai dengan adanya keberagaman dari
setiap anggota masyarakat

Model pendidikan khusus tertua adalah model segregasi yang


menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari
teman sebayanya. Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode
mengajar, sarana pembelajaran, system evaluasi, dan guru khusus. Dari
segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena
mudah bagi guru dan administrator. Namun demikian, dari sudut pandang
peserta didik, model segregasi merugikan. Disebutkan oleh Reynolds dan
Birch (1988), antara lain bahwa model segregatif tidak menjamin
kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal,
karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa.
Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena
menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan
masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal.
Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregatif
relatif mahal.

Model yang muncul pada pertengahan abad XX adalah model


mainstreaming. Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, model
mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan
pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang
sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah
khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan
model yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment),
artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang
paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis / tingkat kelainannya.

Secara hirarkis, Deno (1970) mengemukakan alternatif sebagai berikut:


1. Kelas biasa penuh,
2. Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di dalam,
3. Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di luar kelas,
4. Kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa,
5. Kelas khusus penuh,
6. Sekolah khusus, dan
7. Sekolah khusus berasrama.
Adapun menurut Heiman (2004), terdapat 4 model pendidikan inklusif,
yaitu:
1. In-and-out
2. Two-teachers
3. Full inclusion
4. Rejection of inclusion
Model in-and-out adalah model pembelajaran bagi anak-anak
berkebutuhan khusus dimana anak-anak tersebut keluar masuk kelas
reguler pada pembelajaran tertentu. Model two-teachers adalah model
pembelajaran bagi anak anak berkebutuhan khusus dengan menggunakan
dua orang guru, yaitu guru reguler dan guru pembimbing khusus (GPK).
Model full inclusion adalah model pembelajaran bagi anak-anak
berkebutuhan khusus diaman anak-anak berkebutuhan khusus secara
penuh mengikuti proses pembelajaran bersama-sama dengan siswa-siswa
reguler linnya di kelas yang sama. Model rejection of inclusion adalah
model pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus dimana siswa-
siswa berkebutuhan khusus belajar terpisah dengan siswa-siswa reguler
lainnya.

Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke


bentuk layanan yang lain, seperti:
1) Bentuk kelas reguler penuh
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal)
sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang
sama.
2) Bentuk kelas reguler dengan cluster
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di
kelas reguler dalam kelompok khusus.
3) Bentuk kelas reguler dengan pull out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di
kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas
reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing
khusus.
4) Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di
kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu
tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar
bersama dengan guru pembimbing khusus.
5) Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
Anak berkebutuhan khusus belajar di kelas khusus pada sekolah
reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama
anak lain (normal) di kelas reguler.
6) Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler
Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada
sekolah reguler.
Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas
tidak mengharuskan semua anak berkebutuhan khusus berada di kelas
reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal
ini dikarenakan sebagian anak berkebutuhan khusus dapat berada di kelas
khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat.
Bahkan bagi anak berkebutuhan khusus yang gradasi kelainannya berat,
mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah
reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat
berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat
disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
Sebelum berkembangnya Pendidikan inklusif, telah dikenal
beberapa konsep yang mengarah menuju pendidikan inklusif. Konsep
konsep itu antara lain:
1. Normalisasi
Konsep normalisasi jika diartikan dari struktur bahasa berarti
“menormalkan”, atau membuat normal sesuatu yang tidak normal.
Namun, dalam konteks isu pendidikan, normlisasi berarti memandang
setiap orang untuk hidup dari kacamata kebutuhan hidup orang pada
umumnya. Kebutuhan hidup orang pada umumnya meliputi kebutuhan
pendidikan, kesehatan, perlakuan adil dimata hukum, kualitas hidup layak,
dan lain-lain. Dalam pengertian lain, normalisasi adalah melihat para
penyandang cacat, didalamnya termasuk anak berkebutuhan khusus, dari
perspektik masyarakat secara umum.

Normalisasi memandang bahwa penyandang cacat dan ABK


merupakan bagian dari masyarakat secara umum. Dulu kita mengenal
kebijakan tentang penanggulangan masalah-masalah penyandang cacat
merupakan tanggung jawab departemen sosial. Kini kebijakan itu sudah
tidak relevan. Kebijakan penanggulangan penyandang cacat dan anak-
anak brkebutuhan khusus adalah tanggung jawab semua pihak.
2. Integrasi (pendidikan terpadu)
Pendidikan terpadu merupakan istilah umum mengenai kehadiran
seseorang anak disekolah reguler. Istlah ini juga mengacu pada proses
mentransfer siswa ke wilayah yang kurang tersegresi. Ada sistem integrasi
seorang anak yang masuk kelas reguler namun berada diunit khusus atau
kelas terpisah, tetap dapat dikategorikan terintegrasi. Ini karena ia lebih
berkesempatan berinteraksi dengan anggota komunitas sekolah umum
daripada jika ia diisolasi dalam sekolah khusus. Pada sistem integrasi
kesempatan untuk berinteraksi dapat terjadi jika anak tersebut
diintegrasikan ke dalam sekolah reguler.
3. Mainstream
Istilah mainstream tidak jauh berbeda dengan integrasim
mainstream merupakan sistem pendidikan diaman sesorang siswa
terdaftar atau berpartisispasi dikelas reguler.
4. Pendidikan inklusif
Definisi inklusi menurut new york city board of education adalah
suatu metode yang menyediaakan layanan pendidikan khusus pada
lingkungan yang hampir tidak terbatas.

F. Pro dan Kontra Pendidikan Inklusif


Meskipun pendidikan inklusif telah diakui di seluruh dunia sebagai
salah satu uapaya mempercepat pemenuhan hak pendidikan bagi setiap
anak, namun perkembangan pendidikan inklusif mengalami kemajuan
yang berbeda-beda di setiap negara. Sebagai inovasi baru, pro dan kontra
pendidikan inklusif masih terjadi dengan alasan masing-masing. Sebagai
negara yang ikut dalam berbagai konvensi dunia, Indonesia harus
merespon secara proaktif terhadap kecenderungan perkembangan
pendidikan inklusif. Salah satunya adalah dengan cara memahami secara
kritis tentang pro dan kontra pendidikan inklusif.

a. Pro Pendidikan Inklusif

1. Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan satu-
satunya sistem terbaik untuk pendidikan anak berkebutuhan
khusus.
2. Biaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding dengan
dengan sekolah regular.
3. Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah
tidak dapat bersekolah di SLB karena jauh dan/atau biaya yang
tidak terjangkau.
4. SLB (terutama yang berasrama) merupakan sekolah yang
memisahkan anak dari kehidupan sosial yang nyata. Sedangkan
sekolah inklusif lebih ‘menyatukan’ anak dengan kehidupan nyata.
5. Banyak bukti di sekolah reguler terdapat anak berkebutuhan
khusus yang tidak mendapatkan layanan yang sesuai.
6. Penyelenggaraan SLB berimplikasi adanya labelisasi anak ‘cacat’
yang dapat menimbulkan stigma sepanjang hayat. Orangtua tidak mau
ke SLB.
7. Melalui pendidikan inklusif akan terjadi proses edukasi kepada
masyarakat agar menghargai adanya perbedaan.

b. Kontra Pendidikan Inklusif


1. Peraturan perundangan memberikan kesempatan pendidikan khusus
bagi anak berkebutuhan khusus.
2. Hasil penelitian masih menghendaki berbagai alternatif
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
3. Banyak orangtua yang anaknya tidak ingin bersekolah di sekolah
reguler.
4. Banyak sekolah reguler yang belum siap menyelenggarakan
pendidikan inklusif karena menyangkut sumberdaya yang terbatas.
5. Sekolah khusus/SLB dianggap lebih efektif karena diikuti anak
yang sejenis.
c. Pendidikan Inklusif Yang Moderat

Jalan keluar untuk mengatasi pro dan kontra tentang pendidikan inklusif,
maka dapat diterapkan pendidikan inklusif yang moderat. Pendidikan
inklusif yang moderat dimaksud adalah:
1. Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi
penuh
2. Model moderat ini dikenal dengan model mainstreaming
Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang
memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus
(Sekolah Luar Biasa) dengan pendidikan reguler. Peserta didik
berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk
beberapa waktu saja.
4. Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak
berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.

G. Manfaat Pendidikan Inklusif


Layanan pendidikan inklunsif membantu untuk memastikan
bahwa anak-anak dengan dan tanpa mengalami hambatan dapat tumbuh
hidup dan tumbuh bersama. Semua anak, keluarga, dan
masyarakatmendukung penyelnggaraan pendidikan inklunsif. Praktek-
praktek inklunsif membantu menciptakan suasana di mana anak-anak
akan lebih mampu ntuk menerima dan memahami perbedaan di anara
mereka sendiri. Anak-anak mulai menyadari dan menerima bahwa
beberapa orang harus menggunakan rusi roda, beberapa orang harus
menggunakan alat bantu dengar , dan beberapa menggunakan tangan dan
kaki mereka dengan cara yang berbeda.

1. Manfaat bagi peserta didik (siswa)


a) Anak-anak mengembangkan persahabatan , persaudaraan , dan
belajar bagaimana bermaindan berinteraksi dengan satu sama lain.
b) Anak-anak mempelajari bagaimana harus bersikap toleran
terhadap orang lain.
c) Anak-anak mengembangkan citra yang lebih positif dan diri
mereka sendiri dan mempunyai sikap yang sehat tentang keunikan
yang ada pada diri orang lain.
d) Melatih dan membiasakan untuk menghargai dan merangkul
perbedaan dengan menghilangkan budaya “labeling” atau
memberi cap negatif pada rang lain.
e) Anak-anak mempelajari model dari orang-orang yang berhasil,
meskipun mereka memiliki tantangan dan hambatan
f) Memunculkan rasa percaya diri melalui sikap penerimaan dan
pelibatan di dalam kelas
g) Anak-anak dengan kebutuhan khusus memiliki kesempatan untuk
belajar keterampilan baru dengan mengamati dan meniru anak-
anak lain
h) Anak-anak di dorong untuk menjadi lebih berakal, kreatif
koopratif

2. Manfaat bagi guru


a) Guru berkembang secara profesional dengan mengembangkan
keterampilan baru dan memperluas perspektif mereka tentang
perkembangan anak.
b) Guru memiliki kesempatan untuk mempelakjari dan
mengembangkan kemitraan dengan masyarakat lainnya sumber
daya dan lembaga.
c) Guru belajar untuk berkomunikasi dengan lebih efektif dan bekerja
sebagai tim
d) Guru membangun hubungan yang kuat dengan orang tua
e) Guru berusaha meningkatkan kredibilitas mereka sebagai seorang
profesional yang berkualitas.
f) Guru senantiasa mengembangkan kreativitas dalam mengelola
pembelajaran di kelas maupun di luar kelas.
g) Guru tertantang untuk terus belajar melalui perbedaan yang di
hadapi di kelas.
h) Guru terlatih dan terbiasa untuk memiliki budaya kerja yang positif
, kreatif, inovatif, fleksibel, dan akomodatif terhadap semua anak
didiknya dengan semua perbedaan.

3. Manfaat bagi orang tua dan keluarga


a) Menjadi lebih mengetahui sistem belajar di sekolah.
b) Meningkatkan kepercayaan terhadap guru dan sekolah.
c) Memperkuat tanggung jawab pendidikan dan anak sekolah dan di
rumah.
d) Mengetahui dan mengikuti perkembangan belajar anak
e) Semakin terbuka dan ramah bekerja sama dengan guru
f) Mempermudah mengajak anak belajar di sekolah
g) Semua keluarga harus bekerja untuk mempelajari lebih lanjut
tentang perkembangan anak.
h) Semua keluarga senang melihat anak-anak mereka berteman
dengan kelompok yang beragam anak-anak.
i) Semua keluarga senang melihat kesempatan un tuk mengajar anak-
anak mereka tentang perbedaan-perbedaan individual dan
keragaman.
j) Semua keluarga memiliki kesempatan untuk berbicara dengan
orang tua lain dan menyadari bahwa mereka banyak frustasi yang
sama , keprihatinan, kebutuhan, harapan, dan keinginan untuk
anak-anak mereka.

4. Manfaat bagi masyarakat


- Mengontrol terlaksananya sekolah penyelanggaran penyelidikan
inklunsif di lingkungannya.
- Sebuah komunitas akan menjadi lebih mudah menerima dan
mendukung semua orang.
- Masyarakat yang lebih beragam mebuat lebih kreatif, dan lebih
terbuka terhadap sebagai kemungkinan dan kesempatan.
- Pendidikan inklunsif membantu anak berkebutuhan khusus untuk
menjadi lebih siap untuk tanggung jawab dan hak-hak kehidupan
masyarakat.
- Meningkatkan tanggung jawab terhadap pendidikan anak di
sekolah dan di masyarakat
- Ikut menjadi sumber dan semakin terbuka dan ramah bermitra
dengan sekolah

5. Manfaat bagi pemerintah


- Anak berkebutuhan khusu mendapatkan hak pendidikan yang
sama dengan mendapatkan kesempatan pendidikan yang lebih
luas.
- Mempercepat penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun
pendidikan terlaksana berlandaskan pada azaz demokrasi ,
berkeadilan , dan tanpa diskriminasi

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas penulis memberikan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pendidikan inklusif adalah pendidikan regular yang
disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik yang memiliki
kelainan dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa pada sekolah regular dalam satu kesatuan yang
sistemik. Pendidkan inklusif mengakomodasi semua anak
berkebutuhan khusus yang mempunyai IQ normal,
diperuntukan bagi yang memiliki kelainan, bakat istimewa,
kecerdasan istimewa dan atau yang memerlukan pendidkan
layanan khusus.
2. Manfaat pendidikan inklusif antara lain: Membangun
kesadaran dan konsensus pentingnya pendidikan inklusif
sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yang diskriminatif,
melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan
analisis situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi
semua anak pada setiap distrik dan mengidentifikasi alasan
mengapa mereka tidak sekolah, mengidentifikasi hambatan
berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan masalah lainnya
terhadap akses dan pembelajaran, melibatkan masyarakat
dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu
pendidikan bagi semua anak
B. Saran
Dengan adanya makalah ini penulis berharap pembaca dapat
memahami isi dari makalah ini dan tentu dapat menambah
pengetahuan seputar dunia pendidikan inklusif. Semoga pembaca
bisa terus menggali wawasanya dengan terus mencari referensi
lain selain dari makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A.C.(2008), Pokoknya Kualitatif Dasar –Dasar
Penelitian Kualitatif.
Jakarta : Pustaka Jaya.
Andrews, J, (1993). The Inclusive Classroom Educating
Exceptional children.
Canada : Nelson Canada.
BPG SLB Dinas Pendidikan Prov. Jabar, (2005, 2006, 2007,
2008). Laporan
Kegiatan Pelatihan Layanan Pendidikan Inklusif.
Bandung : Disdik Prov.
Jabar

JURNAL MUHAMMAD ALWI

PENDIDIKAN INKLUSI SEBAGAI ALTERNATIF


SOLUSI MENGATASI PERMASALAHAN SOSIAL
ANAK PENYANDANG DISABILITAS

Auhad Jauhari
Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang,
Jawa Tengah Indonesia
jauhari@gmail.com

Abstract: Children with disabilities have the same rights as children in


general to get an education. Unfortunately, the availability of adequate
education for children with special needs is inadequate and equitable. As
the provision of extraordinary schools only exist in big cities. Inclusion
education comes as an alternative solution to solve the social problems
of children with disabilities. The purpose of establishing inclusive schools
is to minimize the impacts caused by exclusive attitudes. Inclusion schools
also provide opportunities for children with special needs and less able
to graduate education.

Keywords: inclusive education, social issues, children with disabilities


Anak-anak penyandang cacat memiliki hak yang sama dengan anak- anak
pada umumnya untuk mendapatkan pendidikan. Sayangnya, ketersediaan
pendidikan yang memadai untuk anak berkebutuhan khusus tidak
memadai dan setara. Karena penyediaan sekolah luar biasa hanya ada di
kota-kota besar. Pendidikan inklusi datang sebagai solusi alternatif untuk
mengatasi masalah sosial anak penyandang cacat. Tujuan pembentukan
sekolah inklusif adalah meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh
sikap eksklusif. Sekolah inklusi juga memberi kesempatan kepada anak
berkebutuhan khusus dan kurang mampu menempuh pendidikan
pascasarjana.

Kata kunci: pendidikan inklusi, masalah sosial, anak cacat


A. PENDAHULUAN
Permasalahan anak penyandang Disabilitas akan terus
meningkat seiring meningkatnya tekanan dari lingkungan sosial
.Anak penyandang Disabilitasakan terus mengalami keterbatasan
karena ada yang salah dengan cara pandang masyarakat terhadap
penyandang Disabilitas (Oliver, 1996).Pendapat ini menunjukkan
bahwa yang menimbulkan masalah sosial terhadap anak penyandang
Disabilitas adalah masyarakat itu sendiri yang menekan dan
memberikan keterbatasan terhadap anak penyandang Disabilitas.
Selama ini pandangan masyarakat terhadap
penyandang Disabilitas sebagai kaum yang memiliki
ketidakmampuan dan keterbatasan fisik ataupun mental, yang selalu
menjadi beban, tidak berguna, harus selalu dibantu dan
dikasihani.Pandangan masyarakat yang negatif terhadap penyandang
Disabilitas disebabkan karena budaya yang masih melekat di
masyarakat. Misalnya banyak keluarga yang beranggapan bahwa
memiliki anak Disabilitas merupakan sebuah aib sehingga anak
mereka hanya dipingit di dalam rumah tidak bersosialisasi dengan
lingkungan sekitar, tidak mengenyam pendidikan yang tentunya
berdampak pada psikis si anak dan masa depannya.
Pendidikan sangat dibutuhkan bagi anak-anak untuk mencapai
kesejahteraan sosialnya. Tak terkecuali anak-anak yang kurang
beruntung baik dalam segi fisik maupun mental. Namun kenyataan di
lapangan, anak-anak yang kurang beruntung dan berkebutuhan
khusus menjadi anak yang dapat dikatakan mendapat pengecualian.
Rencana pendidikan nasional, pendidikan untuk belum semua
terpenuhi. Sebanyak 49.647 anak berkebutuhan khusus dari total
sekitar satu juta anak berkebutuhan khusus yang dapat mengenyam
pendidikan.Eksklusivitas dalam pendidikan menutup kesempatan
bagi anak berkebutuhan khusus dalam memperoleh pendidikan. Sikap
eksklusivitas semakin membuat anak yang kurang beruntung dan
berkebutuhan khusus semakin terpinggirkan.
Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan sosial anak
penyandang Disabilitas adalah dengan pendidikan inklusi. Pendidikan
inklusi merupakan model pendidikan yang memberi kesempatan bagi
siswa yang berkebutuhan khusus untuk belajar
bersama siswa-siswa lain seusianya yang tidak berkebutuhan
khusus.Pendidikan inklusi lahir atas dasar prinsip bahwa layanan
sekolah seharusnya diperuntukkan untuk semua siswa tanpa
menghiraukan perbedaan yang ada, baik siswa dengan kondisi
kebutuhan khusus, perbedaan sosial, emosional, cultural, maupun
bahasa (Leni, 2008: 202).Tujuan dari dibentuknya sekolah inklusi
adalah untuk menekan dampak yang ditimbulkan oleh sikap eksklusif.
Sekolah inklusi juga memberikan kesempatan bagi anakberkebutuhan
khusus dan kurang berutung dapat mengenyam pendidikan.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Anak Penyandang Disabilitas
Pengertian anak penyandang Disabilitas menurut Konvensi
Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas yang telah disahkan
dengan UU No 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Hak-hak Penyandang Disabilitas, penyandang Disabilitas termasuk
mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau
sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan
berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan
efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan
yang lainnya (Convention on the Rights of the Child, 1989: 20).
Konvensi ini tidak memberikan batasan tentang penyandang
cacat.Dalam konvensi ini penyandang cacat disebut sebagai
penyandang Disabilitas.Namun karena kecacatan yang disandangnya
penyandang cacat/Disabilitas mengalami hambatan fisik, mental dan
sosial, untuk mengembangkan dirinya secara maksimal.
Munculnya istilah penyandang Disabilitas di Indonesia setelah
adanya diskusi oleh Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia) yang bertajuk, “ Diskusi Pakar Untuk Memilih Terminologi
Pengganti Istilah Penyandang Cacat” pada 19-20 Maret 2010 di
Jakarta. Diskusi dihadiri oleh pakar HAM, pakar bahasa, pakar
komunikasi, pakar filsafat, pakar psikologi, pakar penyandang cacat,
pakar isu rentan, perwakilan kementrian sosial, komisioner Komnas
HAM.Hasil diskusi terfokus berhasil menemukan dan menyepakati
terminologi penyandang Disabilitas sebagai pengganti istilah
penyandang cacat (http://daksa.or.id/istilah-penyandang-
Disabilitas-sebagai-pengganti-penyandang-
cacat/#sthash.vhaZpgul.dpuf, tth).
Peraturan perundang-undangan di Indonesia merumuskan
pengertian penyandang Disabilitas dalam pasal 1 angka 1 Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang
menyatakan bahwa, “ Penyandang cacat adalahsetiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu
atau merupakan tintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
secara selayaknya, yang terdiri dari :
a. Penyandang cacat fisik
b. Penyandang cacat mental
c. Penyandang cacat fisik dan mental

2. Permasalahan Anak Penyandang Disabilitas


Disabilitas menimbulkan dampak terhadap fisik, pendidikan,
vokasional maupun ekonomi. Selain itu akibat dari Disabilitas adalah
timbulnya masalah psikososial misalnya anak penyandang Disabilitas
akan memiliki kecenderungan untuk rendah diri atau sebaliknya
menghargai terlalu berlebihan, mudah tersinggung, terkadang agresif,
pesimis, sulit mengambil keputusan, menarik diri dari lingkungan,
kecemasan berlebihan, ketidakmampuan dalam hubungan dengan
orang lain dan ketidakmampuan mengambil peranan sosial.
Soewito (1993) mengatakan permasalahan anak penyandang
Disabilitas dapat dilihat dari empat aspek, yaitu :
a. Aspek yang berasal dari penyandang Disabilitas itu sendiri
meliputi (a) hambatan fisik mobilitas, (b) hambatan mental
psikologis, (c) hambatan pendidikan,(d) hambatan produktifitas,
(e) hambatan sosial ekonomi (f) hambatan fungsi sosial.
b. Aspek dari pihak keluarga meliputi, (a) sikap member
perlindungan yang berlebihan yang menghambat perkembangan
kemampuan optima, (b) pengetahuan yang rendah, (c)
diskriminasi kaarena kurang kesadaran tentang pendidikan bagi
anaknya, (d) hal lain seperti malu menampilkan anaknya atau
merasa berdosa sehingga terlalu memanjakan.
c. Aspek dari masyarakat, meliputi (a) masyarakat ragu terhadap
kemampuan atau potensi para penyandang Disabilitas, (b)
bersifat masa bodoh, (c) lemahnya pengelolaan organisasi bidang
kecacatan, (d) terbatasnya lapangan pekerjaan penyandang
Disabilitas.
d. Aspek dari pemerintah dimana undang-undang penyandang
Disabilitas belum dijalankan dengan baik (Palijama, tth: 54).
Menurut Departemen Sosial, anak penyandang Disabilitas
merupakan salah satu kelompok sosial yang di kelompokkan sebagai
kelompok yang rawan terhadap masalah – masalah sosial. Hal ini
menyebabkankendala tercapainya kesejahteraan sosial bagi anak
penyandang Disabilitas. Departemen sosial mengidentifikasikan
beberapa hambatan penyandang cacat dalam mencapai kesejahteraan
sosial :
a. Memiliki hambatan fisik mobilitas dalam kegiatan sehari – hari
b. Mengalami hambatan / gangguan mental psikologis yang
menyebanak penyandang Disabilitasan rasa rendah diri,
mengasingkan diri dan tidak percaya diri.
c. Mengalami hambatan komunikasi dalam kegiatan sehari – hari
d. Memiliki hambatan dalam melaksanakan fungsi sosialnya
e. Mengalami hambatan / gangguan dalam ketrampilan kerja
produktif.
f. Rawan kondisi sosial ekonomi (Depsos, 2009).
Selain itu masih terdapat sikap dari masyarakat yang kurang
menguntungkan seperti :
a. Masih adanya sikap ragu-ragu terhadap kemampuan atau
potensi anak penyandang Disabilitas.
b. Masih adanya sikap masa bodoh masyarakat terhadap
permasalahan anak penyandang Disabilitas
c. Belum banyak partisipasi masyarakat di dalam menangani
permasalahan anak penyandang Disabilitas.
d. Masih lemahnya organisasi sosial yang bergerak di
bidang Disabilitas dalam melaksanakan kegiatanya.
e. Masih terbatasnya fasilitas umum yang dapat dipergunakan oleh
anak penyandang Disabilitas.
Mencermati permasalahan yang muncul terhadap
penyandang Disabilitas diperlukan penanganan atas permasalahan
yang timbul sebagai akibat dari Disabilitas yang dialami anak
penyandang Disabilitas agar dapat menjalankan peran dan fungsi
sosialnya sesuai dengan derajat dan jenis Disabilitas yang dialaminya
untuk dapat hidup lebih baik.
Dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat
disebutkan bahwa “setiap penyandang cacat mempunyai hak yang
sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”. Tentunya
aspek-aspek tersebut mencakup pula aspek pendidikan yang menjadi
kebutuhan semua orang.Terkait dengan peluang untuk memperoleh
pendidikan, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional
dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu. Pada pasal 5 ayat 2 warga Negara yang mempenyai kelainan
fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus.
Penjelasan tentang pendidikan khusus ini disebutkan pada
pasal 32 ayat 1, pendidikan merupakan pendidikan bagi peserta didik
yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki
potensi kecerdasan. Meskipun demikian pada pasal 51 dijelaskan
bahwa anak penyandang cacat fisik dan atau mental diberikan
kesempatan bersama dalam aksebilitas dalam memperoleh
pendidikan biasa.Pasal ini memberi peluang pada anak yang
penyandang cacat fisik (anak kebutuhan khusus) untuk memilih
mengikuti pendidikan khusus sebagaimana disebutkan pada pasal 5
ayat 2 atau mengikuti pendidikan sebagaimana anak-anak yang biasa
(tidak cacat).
Jika ditelusuri sebenarnya persoalan yang sering dijumpai,
kendala akses pendidikan bagi anak penyandang Disabilitas ini bukan
karena faktor kecacatannya yang disandang, tetapi lebih pada faktor
diluar penyandang cacat itu sendiri.Meskipun secara yuridis telah ada
peraturan yang mengatur dan memberikan peluang akses pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus ini, tetapi peluang itu belum
sepenuhnya dapat dinikmati oleh penyandang Disabilitas.Untuk
mengatasi permasalahan sosial anak Penyandang Disabilitas salah
satunya dengan pendidikan inklusi.
3. Pengertian Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif merupakan suaatu pendekatan pendidikan
yang inovatif dan strategis untuk memperluas akses pendidikan bagi
semua anak berkebutuhan khusus termasuk anak penyandang
Disabilitas.Pendidikan inklusi adalah bentuk penyelenggaraan
pendidikan yang menyatukan anak-anak berkebutuhan khusus
dengan anak-anak normal pada umumnya untuk belajar.Menurut
Hildegun Olsen dalam Tarmansyah, pendidikan inklusi adalah sekolah
harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik,
intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi lainnya.Ini harus
mencakup anak-anak penyandang cacat, berbakat.Anak-anak jalanan
dan pekerja anak berasal dari populasi terpencil atau berpindah-
pindah.Anak yang berasal dari populasi etnis minoritas, linguistik,
atau budaya dan anak-anak dari area atau kelompok yang kurang
beruntung atau termajinalisasi (Tarmansyah, 2007: 82).
Selanjutnya, pengertian pendidikan inklusi menurut Staub
dan Peckadalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang,
dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa
kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak
berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun
gradasinya(Tarmansyah, 2007: 82).
Sementara itu, Sapon-Shevin menyatakan bahwa pendidikan
inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan
agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di
kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu,
ditekankan adanya perombakan sekolah, sehingga menjadi komunitas
yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, sehingga
sumber belajar menjadi memadai dan mendapat dukungan dari semua
pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya
(Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2004: 8- 10).
Alimin menjelaskan bahwa pendidikan inklusi adalah sebuah
proses dalam merespon kebutuhan yang beragam dari semua anak
melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan
masyarakat, dan mengurangi eklusivitas di dalam pendidikan.
Pendidikan inklusif mencakup perubahan dan modifikasi dalam isi,
pendekatan-pendekatan, struktur dan strategi yang dapat
mengakomodasi kebutuhan semua anak seseuai dengan kelompok
usianya.Pendidikan inklusif juga dapat dipandang sebagai bentuk
kepedulian dalam merespon spekturm kebutuhan belajar peserta
didik yang lebih luas, dengan maksud agar baik guru maupun siswa,
keduanya memungkinkan merasa nyaman dalam keberagaman dan
melihat keragaman sebagai tantangan dan pengayaan dalam
lingkungan belajar, keberagaman bukan sebagai masalah. Pendidikan
inklusif juga akan terus berubah secara pelan-pelan sebagai refleksi
dari apa yang terjadi dalam prakteknya, dalam kenyataan, dan bahkan
harus terus berubah jika pendidikaninklusif ingin tetap memiliki
respon yang bernilai nyata dalam mengahapi tantangan pendidikan
dan hak azasi manusia (Alimin, 2005).
Sedangkan pengertian pendidikan inklusi menurut
Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009. Pendidikan inklusif adalah
system penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdaan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan
secara umum bersama-sama dengan peserta didik umumnya
(Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, 2009)
Atas dasar pengertian dan dasar pendidikan inklusi tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa pendidikan inklusi adalah sistem
layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus
belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-
teman seusianya.Konsep pendidikan inklusi merupakan konsep
pendidikan yang mempresentasikan keseluruhan aspek yang
berkaitan dengan keterbukaan dalam menerima anak berkebutuhan
khusus untuk memperoleh hak dasar mereka sebagai warga negara.
Keberadaan pendidikan inklusi bukan saja penting untuk
menampung anak yang berkebutuhan khusus dalam sebuah sekolah
yang terpadu, melainkan pula dimaksudkan untuk mengembangkan
potensi dan menyelamatkan masa depan mereka dari diskriminasi
pendidikan yang cenderung mengabaikan anak-anak berkelainan
(Takdir, 2013: 26-27)
Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan inklusi juga dapat
dimaknai sebagai satu bentuk reformasi pendidikan yang
menekankan sikap anti diskriminasi, perjuangan persamaan hak dan
kesempatan, keadilan, dan perluasan akses pendidikan bagi semua,
peningkatan mutu pendidikan, upaya strategis dalam menuntaskan
wajib belajar 9 tahun, serta upaya mengubah sikap masyarakat
terhadap anak berkebutuhan khusus(Takdir, 2013: 25).
Pendidikan inklusi terjadi manakala pengintegrasian dalam
penempatan peserta didik di kelas-kelas reguler berdasarkan atas ide
pandangan hidup yang berbeda dengan pandangan
sebelumnya.Konsep inklusi berdasarkan atas gagasan bahwa sekolah
reguler harus menyediakan lingkungan belajar bagi seluruh peserta
didik sesuai dengan kebutuhannya, apapun tingkat kemampuan
ataupun kelainannya.Sekolah inklusi menyelenggarakan berbagai
keterampilan berkaitan dengan budaya, sosial, kelompok etnik, dan
latar belakang sosial (Delphie, 2009: 15).
Menurut Mohammad Takdir Ilahi, tujuan pendidikan inklusi
ada dua macam, yakni:
a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
dan sosial atau memilki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya.
b. Mewujudkan penyelenggaraan pndidikan yang menghargai
keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta
didik(Takdir, 2013: 39-40).

4. Karakteristik Pendidikan Inklusi


Ada beberapa karakteristik pendidikan inklusi yang dapat
dijadikan dasar layanan pendidikan bagi anak luar biasa. Karakteristik
tersebut antara lain:
a. Kurikulum yang Fleksibel
Penyesuaian kurikulum dalam penerapan pendidikan inklusi tidak
harus terlebih dahulu menekankan pada materi pembelajaran,
tetapi yang paling penting adalah bagaimana memberikan
perhatian penuh pada kebutuhan anak didik.
Jika ingin memberikan materi pelajaran kepada anak berkebutuhan
khusus, harus memperhatikan kurikulum apa yang tepat dan
sesuai dengan kebutuhan mereka. Kurikulum yang
fleksibel harus menjadi prioritas utama dalam memberikan
kemudahan kepada mereka yang belum mendapatkan layanan
pendidikan terbaik demi menunjang karir dan masa depan. Berikan
pula materi yang sesuai dengan kebutuhan mereka, terutama
berkaitan dengan masalah ketrampilan dan potensi pribadi mereka
yang belum berkembang.
b. Pendekatan Pembelajaran yang Fleksibel
Dalam aktivitas belajar mengajar, sistem pendidikan inklusi harus
memberikan pendekatan yang tidak menyulitkan mereka untuk
memahami materi pelajaran sesuai dengan tingkat kemampuan.
c. Sistem Evaluasi yang Fleksibel
Dalam melakukan penilaian harus memperhatikan keseimbangan
antara kebutuhan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal
pada umumnya, karena anak berkebutuhan khusus memiliki
tingkat kemampuan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak
normal pada umumnya sehingga memerlukan keseriusan dari
seorang guru dalam melakukan penilaian.
d. Pembelajaran yang Ramah
Proses pembelajaran dalam konsep pendidikan inklusi harus
mencerminkan pembelajaran yang ramah. Pembelajaran yang
ramah bisa membuat anak termotivasi dan terdorong untuk terus
mengembangkan potensi dan skill mereka sesuai dengan tingkat
kemampuan yang dimiliki.
Karakteristik dalam pendidikan inklusi tergabung dalam
beberapa hal seperti hubungan, kemampuan, pengaturan tempat
duduk, materi belajar, sumber dan evaluasi yang dijelaskan sebagai
berikut:
a. Hubungan Ramah dan hangat, contoh untuk anak tuna rungu:
guru selalu berada di dekatnya dengan wajah terarah pada anak
dan tersenyum. Pendamping kelas( orang tua ) memuji anak tuna
rungu dan membantu lainnya.
b. Kemampuan
Guru, peserta didik dengan latar belakang dan kemampuan yang
berbeda serta orang tua sebagai pendamping.
c. Pengaturan tempat duduk
Pengaturan tempat duduk yang bervariasi seperti, duduk
berkelompok di lantai membentuk lingkaran atau duduk di
bangku bersama-sama sehingga mereka dapat melihat satu sama
lain.
d. Materi belajar
Berbagai bahan yang bervariasi untuk semua mata pelajaran,
contoh pembelajarn matematika disampaikan melalui kegiatan
yang lebih menarik, menantang dan menyenangkan melalui
bermain peran menggunakan poster dan wayang untuk pelajaran
bahasa.
e. Sumber
Guru menyusun rencana harian dengan melibatkan anak, contoh
meminta anak membawa media belajar yang murah dan mudah
didapat ke dalam kelas untuk dimanfaatkan dalam pelajaran
tertentu.
f. Evaluasi
Penilaian, observasi, portofolio yakni karya anak dalam kurun
waktu tertentu dikumpulkan dan dinilai (Takdir, 2013: 42-47)

5. Manfaat pendidikan inklusi pada anak penyandang


Disabilitas
Penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia sampai saat
ini memang masih mengundang kontroversi . Namun praktek sekolah
inklusif memiliki berbagai manfaat.Dalam pendidikan inklusi, layanan
pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan – kebutuhan khusus anak
secara individual dalam konteks pembersamaan secara klasikal.
Dalam pendidikan ini tidak dilihat dari sudut ketidakmampuannya,
kecacatannya, dan tidak pula dari segi penyebab kecacatannya, tetapi
lebih pada kebutuhan – kebutuhan khusus mereka. Kebutuhan mereka
jelas berbeda dari satu dengan yang lain.
Ada beberapa alasan pentingnya pendidikan inklusi
dikembangkan dalam layanan pendidikan bagi anak luar biasa. Alasan
tersebut antara lain:
a. Semua anak, baik cacat maupun tidak mempunyai hak yang untuk
belajar bersama-sama dengan anak yang lain.
b. Seyogyanya anak tidak diberi label atau dibeda-bedakan secara
rigid, tetapi perlu dipandang bahwa mereka memiliki kesulitan
dalam belajar.
c. Tidak ada alasan yang mendasar untuk memisah-misahkan anak
dalam pendidikan. Anak memilki kebersamaan yang saling
diharapkan di antara mereka.Ia tidak pernah ada upaya untuk
melindungi dirinya dengan yang lain.
d. Penelitian menunjukkan bahwa anak cenderung menunjukkan
hasil yang baik secara akademik dan sosial bila mereka berada
pada setting kebersamaan.
e. Tidak ada layanan pendidikan di SLB yang mampu mengambil
bagian dalam menangani anak di sekolah pada umumnya.
f. Semua anak membutuhkan pendidikan yang dapat
mengembangkan hubungan antar mereka dan mempersiapkan
untuk hidp dalam masyarakatnya.
g. Hanya pendidikan inklusi yang potensial untuk menekan rasa
takut dalam membangun kebertemanan, tanggung jawab, dan
pemahaman diri (Purwanta, 2002).
Dengan memperhatikan beberapa alasan tersebut, jelas dalam
pendidikan inklusi kebutuhan anak akan terpenuhi sesuai dengan
tingkat kebutuhannya. Kebutuhan anak dapat berupa kebutuhan yang
bersifat sementara, permanen, dan kultural.Kebutahan sementara
merupakan kebutuhan yang terjadi pada saat tertentu yang dialam
oleh seorang anak.Misalnya adanya sikap positif bagi siswa
berkelainan yang berkembang dari komunikasi dan interaksi dari
pertemanan dan kerja sebaya. Siswa belajar untuk sensitif, memahami,
menghargai, dan menumbuhkan rasa nyaman dengan perbedaan
individual. Selain itu, anakberkelainan belajar keterampilan sosial dan
menjadi siap untuk tinggal di masyarakat karena mereka dimasukkan
dalam sekolah umum. Dan dengan sekolah inklusi, anak terhindar dari
dampak negatif dari sekolah segregasi, antara lain kecenderungan
pendidikannya yang kurang berguna untuk kehidupan nyata, label
“cacat” yang memberi stigma pada anak dari sekolah segregasi
membuat anak merasa inferior, serta kecilnya kemungkinan untuk
saling bekerjasama, dan menghargai perbedaan.
Pada saat anak mendapat musibah, misalnya di sekolah ia
tampak sedih dan membutuhan perhatian khusus. Anak
membutuhkan orang lain untuk mencurahkan perasaan
sedihnya.Kebutuhan permanen anak penyandang Disabilitasberupa
kebutuhan untuk hidup mandiri dan wajar selayaknya orang lain
dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Seseorang anak penyandang
Disabilitasdikatakan hidup normal apabila ia hidup bersama keluarga
, dan belajar bersama-sama dengan anak-anak lain yang sebaya.
Apabila ia hidup di asrama, belajar di sekolah khusus terpisah dengan
anak lain di sekolah reguler, maka kehidupan anak tersebut tidak
wajar. Kebutuhan kultural berkaitan dengan penerimaan kelompok
terhadap anak di mana anak berada.Seoang anak perlu memperoleh
kemudahan untuk diterima sebagai anggota dalam lingkungan
kelompoknya.
Seorang anak penyandang Disabilitasmengalami banyak
hambatan dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.Hal ini
disebabkan keberadaan dirinya yang mempunyai keterbatasan
beradaptasi dengan anggota-anggota lain di lingkungannya.Di
samping itu, masyarakat sendiri belum sepenuhnya memahami
kebutuhan anak penyandang Disabilitassehingga mereka kadang-
kadang bersikap kurang menerima kehadiran anak penyandang
Disabilitas.
Keterbatasan fasilitas dan tidak fleksibelnya sistem
pendidikan yang ada sekarang dan suasana lingkungan di sekolah
tidak menjamin rasa aman bagi anal luar biasa dalam berintegrasi
dengan lingkungannya.Pemenuhan kebutuhan anak penyandang
Disabilitasmemerluakan perubahan, perubahan baik dalam sistem
pendidikan, metode, maupun lingkungan, sehingga anak dapat
menyesusaikan diri.
Dalam pendidikan inklusi, pemenuhan kebutuhan anak
penyandang Disabilitastidak dimulai dari penyesuaian-penyesuaian
anak terhadap sistem pendidikan, metode, maupun lingkungannya,
melainkan seharusnya yang terjadi sebaliknya.Dalam suasana kelas,
bukan anak yang menyesuaikan kurikulum, tetap kurikulumlah yang
harus disesuaikan dnegan kebutuhan anak. Mendukung alasan
perlunya pendidikan inklusi, beberapa argument para pendukung
pendidikan inklusi adalah sebagai berikut ;
a. Belum ada banyak bukti empiris yang mendukung asusmsi bahwa
layanan pendidikan khusus yang diberikan di luar kelas biasa
menunjukkan hasil yang lebih positif bagi anak.
b. Biaya pendidikan luar biasa yang relatif lebih mahal dari pada
pendidikan umum.
c. Pendidikan di luar kelas biasa mengharuskan penggunaan label
luar biasa yang dapat berakibat negatif bagi anak.
d. Banyak anak penyandang Disabilitasyang tidak mampu
memperoleh layanan pendidikan karena tidak tersedia di sekolah
terdekat.
e. Anak penyandang Disabilitasharus dibiasakan tinggal dalam
masyarakat bersama warga masyarakat lainnya (Sunardi, 1995:
16).
Manfaat sekolah inklusi bukan hanya dirasakan oleh si anak,
namun berdampak pula bagi masyarakat. Dampak yang paling
esensial adalah sekolah inklusi mengajarkan nilai sosial berupa
kesetaraan. Berdasarkan pengalaman dari sekolah segregasi, anak
berkelainan disorot sebagai ancaman bagi masyarakat, maka dari itu
harus dipisahkan, dan dikontrol oleh sekolah, bukan dibantu.
Sekolah inklusi bukanlah sekedar sekolah yang menerapkan
konsep penyetaraan terhadap semua manusia dalam memperoleh
pendidikan, tapi juga membutuhkan settinggan ramah anak
didalamnya. Setting ramah anak ini sangat membantu dan mendorong
kemajuan perkembangan penerapan pendidikan inklusi di sekolah.
Dimana para anak penyandang Disabilitassangat
membutuhkan dukungan dan motivasi yang mampu mendorong
mereka untuk berinteraksi dengan lingkungannya, maka komponen
utama yang paling mereka butuhkan di sekolahnya adalah sebuah
keramahan, yang menerjamahkan pada mereka suatu penunjukkan
kondisi penerimaan terhadap diri mereka.
Partisipasi masyarakat dan adanya kemandirian menetukan
berjalannya kebijakan sekolah inklusi ini. Karena dalam sekolah
inklusi ini dibutuhkan kerjasama antara masyarakat dengan pengajar
di kelas untuk menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat,
menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.Selain itu
dalam sekolah inklusi, guru-guru diharuskan untuk mengajar secara
interaktif. Hal ini nantinya dapat menciptakan komunikasi antar guru
dan siswa, sehingga dapat timbul kedekatan. Dengan adanya
kedekatan tersebut akan menghilangkan adanya
isolasi profesi. Dalam sekolah inklusi, makna orang tua juga berperan dalam
menentukan perencanaan baik dari segi perencanaan kurikulum di sekolah
maupun bantuan belajar di rumah.

C. KESIMPULAN
Anak penyandang Disabilitas juga merupakan anggota masyarakat dan
mempunyai hak untuk berada di dalam lingkungan masyarakatnya.Mereka
seyogyanya mendapat dukungan yang mereka butuhkan melalui system
pendidikan, kesehatan, penyedia lapangan kerja dan pelayanan sosial yang
berlaku umum. Karena penyandang Disabilitas memiliki hak-hak yang sama,
mereka pun harus mempunyai kewajiban yang sama pula. Sebagai bagian dari
proses persamaan kesempatan, sarana dan prasarana seyogyanya disediakan
untuk membantu para penyandang Disabilitas agar mereka dapat mengemban
tanggung jawab secara penuh sebagai anggota masyarakat.
Pendidikan inklusi yang menekankan kepada persamaan hak dan dan
akses pendidikan kepada setiap warga Negara. Pada tataran implementasi
pendidikan inklusi masih dihadapkan kepadaberbgai problema, isu, dan
permasalahan yang harus disikapi secara bijak sehingga implementasinya tidak
menghambat upaya dan proses menuju pendidikan inklusif itu sendiri serta
selaras dengan filosofi dan konsep-konsep yang mendasarinya. Untuk itu
diperlukan komitmen tinggi dan kerja keras melalui kolaborasi berbagai pihak,
baik pemerintah maupun masyarakat untuk mengatasinya.Dengan demikian,
tujuan akhir dari semua upaya di atas yaitu kesejahteraan para penyandang cacat
dalam memperoleh segala haknya sebagai warga negara dapat direalisasikan
secara cepat dan maksimal.

JURNAL AGUS SALIM

Pendahuluan
Manusia terlahir diibaratkan kertas yang belum tertulis. Menunjukan pada
pandangan epistemologi bahwa seorang manusia lahir tampa isi mental bawaan,
dengan kata lain “kosong”, dan seluruh sumber pengetahuan diperoleh sedikit demi
sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat idranya terhadap dunia di luar dirinya.
(teori tabularasa. Jhon lock dan francis bacon di abad 17). (Dedy Kustawan, 2013).
Namun yang menjadi permasalahannya beragamnya kemampuan dan
karakteristiknya manusia, ada yang beruntung dengan terlahir tampa kekurangan
baik fisik maupun mental. Kondisi seperti ini akan memberikan pengalaman dan
warna yang berbeda dalam menuju kedewasaannya dibandingkan dengan anak-anak
pada umumnya dalam kehidupan. Dengan kondisi yang demikian, pemerintah
mengupayakan untuk memberikan kesempatan agar semua warga negara terutama
bagi PAUD yang mempunyai tingkat perkembangan baik fisik maupun mental atau
perkembangan jasmani dan rohani yang berbeda dan beragam mempunyai hak dan
kewajiban untuk mendapatkan pengajaran yang sama dan bermutu untuk mencapai
kedewasaannya.
Dalam undang-undang dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-undang
nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa setiap
warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal
ini menun-jukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang
sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada
diri manusia, bersifat universal dan langgeng sehingga itu harus dilindungi,
dihormati, dan dipertahankan negara republik indonesia adalah negara yang
berdasarkan pancasila dan Undang-Undang dasar negara Republik indonesia Tahun
1945 yang menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sehingga
perlindungan dan kemajuan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan khususnya
atau anak-anak yang berkebutuhan khusus perlu ditingkatkan.

Pembahasan
1. Pengertian Pendidikan Inklusif
Konsep pendidikan inklusif tidak bisa dilepaskan dari pemahaman dan
definisi terkait disabilitas. Dengan kata lain perkembangan makna pendidikan
inklusif di pengaruhi oleh perubahan paradigma dalam memahami disabilitas.
Dalam literatur ada berbagai paradigma dan perspektif Pendidikan inklusif
mempunyai pengertian yang beraneka ragam, Stainback (Nuraeni, 2014)
mengemukakan bahwa sekolah inklusif adalah sekolah yang dapat menampung
semua siswa di kelas yang sama. Sekolah tersebut mampu menyediakan
program pendidikan yang layak sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap
siswa. Bantuan dan dukungan yang diberikan oleh para guru agar semua anak
dapat mencapai keberhasilan.
Istilah “pendidikan Inklusif” secara tradisional dikaitkan dengan anak-anak
yang berkelainan khusus atau memiliki kesulitan. Namun demikian ruang lingkup
pendidikan berkebutuhan khusus telah meluas hingga melibatkan anak-anak yang
berbakat atau anak yang bertalenta atau bahkan anak-anak dari budaya yang
berbeda dan berbicara dengan bahasa yang berbeda. Pendidikan inklusif adalah jenis
pendidika kelompok yang di dasarkan pada kekhusuan tujuan pendidikan suatu
satuan pendidikan. (Dedy Kustawan, 2013)
Pemerintah mendefinisikan pendidikan khusus seperti yang tertuang pada
pasal 32 ayat (1) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
Nasional, sebagai berikut : “pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik yang memilki tingkat keuslitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau memiliki potensi kecerdasan
dan bakat istimewa. “pendidikan khusus yang sama dari pemerintah sesuai dengan
pasal 127 peraturan pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tengah pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan, sebagai berikut : “pendidikan khusus merupakan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti
proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.”
Peraturan pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 merupakan penjabaran dari
Undang- Undang 20 Tahun 2003. Dilihat dari kedua pengertian yang sama
berkenaan dengan pengertian pendidikan Inklusif sebagai ciri bahwa pemerintah
telah konsisten dalam konsep atau sebutan peristilahan yang dapat dijadikan acuan
oleh semua pihak yang menangani pendidikan seperti pemerintah daerah.
Zaenal Alimin, (2004), mengemukakan bahwa “ pendidikan Inklusif adalah
pendidikan yang disesuaikan bagi anak yang mengalami hambatan belajar dan
hambatan perkembangan akibat dari kebutuhan khusus tertentu baik yang bersifat
temporer maupun yang bersifat permanen. Sementara itu istilah kebutuhan khusus
akan pendidikan (special educational needs) adalah kebutuhan hambatan
perkembangan yang dialami oleh seorang anak secara individual.
Sunan & Rizzo (1979) “anak kebuthan khusus merupakan anak yang
memiliki perbedaan dalam beberapa dimensi penting dari fungsi kemanusiaannya.
Mereka adalah yang secara fisik, psikologis, kognisi atau sosial terhambat dalam
mencapai tujuan / kebutuhan dan potensinya secara maksimal sehingga memerlukan
penanganan yang terlatih dari tenaga kerja profesional.
Pendidikan inklusif menurut Sapon-Shevin (dalam Unesco, 2003) merupakan
sistem layanan pendidikan yang mem-persyaratkan agar semua anak berkelainan
dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama dengan anak
seusianya. Hal ini menuntut konsekuensi adanya restrukturisasi sekolah, sehingga
menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak,
artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu
para siswa, guru, orang tua dan masyarakat sekitar. Staub dan Peck (Nuraeni, 2014)
mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah dengan menempatkan anak
berkelainan tingkat ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas reguler.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusif merupakan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki hambatan belajar dan hambatan
perkembangan atau memiliki kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa.
2. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Anak berkebutuhan Khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang
berbeda dengan anak pada umumnya tampa selalu menunjukan pada ketidak
mampuan mental, emosi, atau fisik.
Zaenal Alimin, dalam bukunya Dedy Kustawan (2013), yaitu “Anak
Kebuthan Khusus (ABK) dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan
pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing
anak secara individul.” Anak kebutuhan khusus adalah anak secara pendidikan
memerlukan layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada
umumnya. Anak berkebuthan khusus ini memiliki apa yang disebut dengan
hambatan belajar dan hambatan perkembangan (barier to learning and developmen).
Pengertian anak berkebutuhan khusus memiliki arti yang lebih luas apabila
dibandingkan dengan pengertian anak luar biasa. Anak berkebutuhan khusus
adalah anak yang dalam pendidikannya memer-lukan pelayanan yang spesifik dan
berbeda dengan anak pada umumnya (Depdiknas, 2007).
Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang
berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidak
mampuan mental, emosi dan fisik. Yang termasuk anak berkebutuhan khusus
antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrhita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan
belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. Istilah
lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa, anak cacat dan juga
anak cerdas istimewa dan akat istimewa.
Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak secara siqnifikan mengetahui
keluha/ penyimpangan (fisik, mental, intelektual social dan emisional), dalam
proses tumbuh kembang dibandingkan dengan anak-anak lain yang sesuai sehingga
memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Dengan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak
berkebuthan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan anak-anak secara
umum atau anak-anak seusiannya. Anak yang dikatakan berkebutuhan khusus jika
ada sesuatu yang kurang atau bahkan lebih dalam dirinya.
3. Anak Berkebutuhan Khusus Permanen
Anak berkebuthan khusus yang bersifat permanen adalah anak yang akibat
dari perkembangan yang secara memerlukan perhatian dan pelayanan khusus, seperti
anak yang mengalami hambatan penglihatan, hambatan pendengaran, hambatan
kecerdasan, atau mental, hambatan fisik, emosional, sosial atau dikarenakan
kecelakaan sejak dalam kandungan maupun setelah lahir sehingga mengalami
kecacatan.
Oleh karena itu layanan pendidikan anak kebutuhan khusus tidak selalu
harus disatuan pendidikan khusus atau sekolah khusus/sekolah luar biasa (SLB),
tetapi bisa dilayani disekolah umum dan kejuruan secara inklusif di sekolah terdekat
dimana anak itu
berada. Cara berpikir seperti ini dilandasi oleh konsep special needs education, yang
antara lain melatarbelakangi munculnyanya gagasan pendidikan inklusif (UNESCO,
1994).
Anak berkebutuhan khusus permanen terdiri dari anak berkebutuhan
khusus yang memiliki kelainan dan anak berkebutuhan khusus yang memiliki
potensi kecerdasan atau bakat istimewa.
a. Anak Kebutuhan Khusus yang Memiliki Kelainan
Anak kebutuhan khusus yang memiliki kelainan meliputi kelompok sebagai
berikut :
1) Tunanetra
Tunanetra adalah istilah umu yang digunakan untuk kondisi seseorang
yang mengalami gangguan atau hambatan dalam indra penglihatanya.
Berdasarkan tingkat gangguannya Tunanetra dibagi menjadi dua yaitu buta
total (total blind) dan masih mempunyai sisa penglihatan (low visioan). Alat
bantu untuk mobilitasnya bagi Tunanetra dengan menggunakan tongkat
khusus, yaitu bewarna putih dengan ada garis merah horizontal. Akibat
hilang/berkurangnya fungsi indra penglihatan maka Tunanetra berusaha
memaksimalkan fungsi indra-indra lainya seperti, perabaan, penciuman,
pendengaran, dan lain sebagainya sehingga tidak sedikit penyandang
tunanetra yang memiliki kemampuan luar biasa misalnya di bidang musik atau
ilmu pengetahuan.
2) Tunarungu
Anak tuna rungu adalah suatu istilah umum yang menunjukan kesulitan
mendengar dari yang ringan sampai yang berat, digolongkan kedalam yang
tuli dan kurang dengar. Orang tuli adalah seorang yang kehilangan
kemampuan mendengar sehingga menghambat proses memperoleh
informasi bahasa melalui pendengaranya, dengan atau tampa alat bantu.
Orang kurang dengar adalah seseorang yang ada pada umum nya dengan
menggunakan alat bantu mendengar cukup memungkinkan keberhasilan
memproses informasi bahasa melalui pendengarannya.
Menurut Dwidjosumarto (Soematri, 2006) mengemukakan bahwa : “ketuna
runguan adalah seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara
dikatakan tunarungu. Ketuna runguan dibedakan menjadi dua kategori yaitu
tuli dan kurang mendengar. Tuli adalah mereka yang indra pendengarannya
mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar baik
dengan maupun tampa mengunakan alat bantu dengar.”
3) Tunawicara
Tunawicara merupakan individu yang mengalami kesulitan berbicara. Hal ini
dapat disebabkan oelh kurang atau tidak fungsinya alat-alat bicara, seperti
rongga mulut, lidah, langit-langit dan pita suara. Selain itu, kurang atau tidak
berfungsinya organ pendengaran, keterlambatan perkembangan bahasa,
kerusakan pada sistem saraf dan struktur otot, serta ketikmampuan dalam
kontrol gerak juga dapat mengakibatkan keterbatasan dalam berbicara.
4) Tunagrahita
Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan
berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam
adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Tunagrahita
merupakan keadaan
keterbelakangan mental, ke adaan ini dikenal juga redardasi mental (mental
retardation). Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai
berikut : lemah pikiran, terbelakang mental, bodoh atau dungu dll.
Dan masih banyak lagi anak kebutuhan khusus yang memiliki kelainan yang
bisa dikatakan sebagai anak yang memiliki kelainan.
b. Anak Kebutuhan Khusus yang Memilik Potensi Kecerdasan atau Bakat
Istimewah (CI + BI)
Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional,
pasal 5 ayat 4 menyatakan bahwa “warga negara yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewah berhak memperoleh pendidikan khusus”.
Perlunya perhatian khusus kepada anak CI + BI merupakan salah satu upaya
untuk mengembangkan potensi peserta didik secara utuh dan optimal. (Dedy
Kustawan, 2013).
Bakat istimewah menurut Renzuli (Dedy Kustawan, 2013), bahwa “
Anak berbakat merupakan suatu interaksi di antara tiga sifat dasar manusia
yang menyatu ikatan terdiri dari kemampuan umum tengan tingkatnya di atas
kemampuan rata-rata, komitmen yang tinggi terhadap tugas-tugas dan
kreativitas yang tinggi. Anak berbakat ialah anak yang memiliki kecakapan dalam
mengembangkan gabungan ketiga sisfat ini dan mengaplikasikan dalam setiap
tindakan yang bernilai.
Untuk menentukan atau mengidentifikasi peserta didik cerdas
istimewa diperlukan pendekatan multidimensional. Artinya kriteria yang
digunakan lebih dari satu (bukan sekedar intelegensi). Batasan yang digunakan
adalah peserta didik yang memiliki dimensi kemampuan umum pada taraf cerdas
ditetapkan skor IQ 130 ke atas dengan pengukuran menggunakan skala Wechsles
(pada alat tes yang lain sama dengan rerata skor IQ ditambah dua standar deviasi),
dimensi kreativitas tinggi (ditetapkan skor CQ dalam nilai baku tingggi atau plus
satu standar deviasi di atas rerata) dan pengikatan diri (Task commitment)
terdapat tugas baik (ditetapkan skor TC dalam kategori nilai baku baik, atau plus satu
standar deviasi di atas rerata). Tiga komponen ini dikenal sebagai konsepsi tiga
cincin dari Renzulli (1978), yang banyak digunakan dalam menyusun pendidikan
untuk anak cerdas istimewah, dan meruapakan teori yang mendasari
pengembangan pendidikan anak cerdas istimewah dan berbakat istimewa (gifted
and talented children).
4. Faktor Penyebab Anak Menjadi Inklusif
Berdasarkan hasil penelitia, ada sekitar 7,9 juta bayi per tahun atau 6% dari
kelahiran seluruh dunia dilahirkan dalam keadaan cacat. Meskipun beberapa cacat
bawaan dapat dikontrol dan diobati, diperkirakan 3,2 juta anak cacat seumur hidup.
Pada kenyataannya, 50% diantara bayi cacat saat lahir tersebut dilahirkan oleh ibu
yang tidak mengalami gangguan kehamilan dan kegagalan janin selama masa
kehamilannya. Hal tersebut bisa disebabkan antara lain:
a. Genetika
Secara ilmiah, salah satu faktor penyebab bayi lahir cacat adalah faktor gen
(genetika). Hasil penelitian membuktikan bahwa dari 100 kelahiran bayi cacat
terdapat 25 bayi yang cacat disebabkan faktor genetika. Dalam hal ini bukan
berarti orang tua bayi memiliki cacat yang sama dengan sang bayi, namun
kemungkinan salah satu dari orang tua adalah pembawa gen cacat tertentu
(carier). Sebagai contoh, calon pasangan anda tampak normal secara fisik
maupun mental, namun anggota keluarganya adayang memiliki
kelainan fisik, berarti calon pasangan anda adalah gen pembawa cacat. Jika suatu
saat anda menikah dengannya, bisa jadi keturunan anda ada yang memiliki kelainan
fisik juga. Oleh karena itu, sebelum menentukan pasangan ada baiknya dilihat
dulu bagaimana riwayat kecacatan yang ada dalam keluarga calon pasangan.
b. Lingkungan
Faktor lingkungan, dalam hal ini termasuk radiasi, rokok, obat-obatan,
alkohol ataupun penyakit dapat menyebabkan bayi lahir cacat. Berdasarkan hasil
penelitian, 10% kasus bayi lahir cacat karena faktor lingkungan. Oleh karena itu,
pada saat kehamilan hindarilah zat-zat kimia atau jangan sembarangan minum
obat, ikutilah saran dokter. Selain itu radiasi sinar matahari juga tidak baik bagi
ibu hamil sehingga jangan terkena sinar matahari secara langsung.
c. Faktor lain
Sampai saat ini belum diketahui apa faktor bayi lahir dalam keadaan cacat.
Namun demikian, faktor lainmemberikan kontribusi sebesar 65% terhadap
penyebab bayi lahir cacat. Hal ini jauh lebih besar dibandingkan dengan faktor
gen dan lingkungan.
5. Latar Belakang Pendidikan Inklusif di PAUD
Pendidikan inklusif seharusnya dapat dimulai sejak anak usia dini. Selain
undang- undang dan peraturan yang mendukung terselenggaranya pendidikan anak
usia dini, secara konseptual dan kajian-kajian ilmiah mengenai perkembangan
anak, telah menunjukkan adanya nilai-nilai positif dalam pemberian layanan
pendidikan sejak dini. Smith (2006) menjelaskan bahwa pengaruh yang paling
mengena dan dapat meninggalkan kesan yang lama dilakukan pada saat yang tepat,
yaitu pada masa kritis atau masa sensitif. Oleh karena itu, perlunya rangsangan
diberikan pada usia dini yang dapat meningkatkan seluruh aspek per-kembangan
juga didasarkan pada pandangan tersebut. Keterlambatan atau pengabaian
pemberian rangsangan pada saat yang tepat akan memberi dampak negatif bagi
perkembangan anak.
Disamping uraian di atas, alasan mengapa program inklusif sebaiknya
diterapkan sejak di PAUD karena ternyata ada banyak sekali manfaat yang bisa
didapat dari program inklusif yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah,
diantaranya:
a. Manfaat bagi semua siswa
1) Bagi anak-anak yang tidak memiliki hambatan akan menambah wawasan
bahwa di lingkungan mereka ada beberapa individu yang mempunyai
beberapa hambatan
2) Setelah mereka mengetahuinya selanjutnya dapat menimbulkan efek
pemahaman dan penerimaan sejak dini
3) Bagi anak berkebutuhan khusus tidak akan merasa bahwa mereka berbeda
dengan anak-anak lain.
4) Meningkatkan rasa percaya diri anak-anak yang mempunyai kebu-tuhan
khusus.
b. Manfaat bagi tenaga pendidik
1) Guru memperoleh ilmu dan dan pengalaman baru yang sangat
bermanfaat bagi mereka
2) Menemukan metode-metode mani-pulatif dan kreatif dalam pengajaran
3) Menumbuhkan suatu komitmen terhadap etika dan tanggung jawab
pengajaran.
c. Manfaat bagi orangtua
1) Manfaat bagi orangtua dengan ABK adalah dapat meningkatkan rasa
percaya diri mereka karena ternyata anaknya bukanlah “penyakit” yang
perlu disingkirkan tapi bisa bergabung dengan bukan ABK. Manfaat bagi
orangtua pada umumnya adalah dalam rangka pengem-bangan sikap
empati, penghargaan dan penerimaan pada ABK beserta keluarganya.
d. Manfaat bagi masyarakat
Masyarakat secara umum akan terbuka pemahamannya bahwa ABK bukanlah anak
yang harus dikucilkan dan disingkirkan, ABK bisa bergabung dengan anak pada
umumnya karena merekasepertiyang lainnyajuga adalah manusia yang tentusaja
mempunyai hak yang sama. Keterbukaan pemahaman masyarakat tersebut bisa
dibangun melalui adanya sekolah-sekolah inklusif, terutama apabila dimulai dari
jenjang PAUD.
6. Implementasi PAUD Inklusif
PAUD inklusi adalah PAUD yang mengoordinasi dan mengintegrasikan anak-
anak usia dini dan anak usia dini yang berkebutuhan khusus dalam program yang
sama. PAUD inklusi tidak hanya sebagai pemenuhan hak-hak asasi manusia dan
hak-hak anak, tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan
inklusi mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat tentang
anak berkebutuhan khusus.
Dengan demikian, anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai,
dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab. Inklusi terjadi pada semua
lingkungan social anak, pada keluarga, kelompok teman sebaya, sekolah, dan
institusi- institusi kemasyarakatan lainnya. Tim Penyun PPPAUD-Dikmas Jateng
(2016)
Menurut Budi S. (2010) Pendidikan inklusi diselenggarakan berdasarkan
semangat mbangun system masyarakat inklusif, yakni tatanan kemasyarakatan
yang saling menghormati keberagaman3. Sehingga penanaman karakter tersebut
akan lebih tepat dimulai sejak dini melalui penyelenggaraan PAUD Inklusi. Dalam
pelayanan PAUD Inklusi setiap anak berhak mendapatkan pelayanan pendidikan
yang baik sesuai dengan usia dan perkembangannya, tanpa memandang derajat,
kondisi ekonomi keluarga ataupun kelainannya. Sehingga penting bagi guru untuk
menerapkan perencanaan pembelajaran yang baik agar semua anak terlayani.
Usia dini diibaratkan sebagai golden age atau masa emas di mana stimulasi
positif yang ditanamkan sejak dini akan berdampak baik bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak.4Keterlambatan atau pengabaian pemberian stimulasi pada
memberi dampak negative bagi anak usia dini. Maka pendidikan inklusif sangat tepat
jika dimulai sejak usia dini.
Beberapa manfaat program inklusif diterapkan sejak PAUD, diantaranya :
a. Manfaat bagi semua anak; untuk yang tidak memiliki hambatan akan
menambah wawasan bahwa di lingkungan mereka ada beberapa individu
yang mempunyai beberapa hambatan, sehingga menimbulkan efek
pemahaman dan penerimaan sejak dini. Bagi anak berkebutuhan khusus
menimbulkan perasaan bahwa mereka tidak berbeda dengan anak-anak lain
sehingga menimbulkan rasa percaya diri sejak dini.
b. Manfaat bagi tenaga pendidik; menemukan ilmu dan pengalaman baru yang
sangat bermanfaat bagi mereka, mendorong pendidik menciptakan metode-
metode kreatif dalam pengajaran dan menumbukan komitmen terhadap etika
dan tanggung jawab pengajaran, mengajar tanpa membeda-bedakan.
c. Manfaat bagi orangtua; meningkatkan rasa percaya diri mereka karena anak-
anak berkebutuhan khusus dapat berdampingan dengan anak-anak pada
umumnya. Menciptakan sikap empati, penghargaan dan penerimaan pada
anak berkebutuhan khusus.
d. Manfaat bagi masyarakat; secara umum masyarakat akan lebih terbuka untuk
menerima perbedaan dan keberagaman.
7. Kompetensi Guru Pendidikan Inklusif
Pengembangan Kompetensi guru sangatlah mutlak sebagai syarat
terselenggaranya pendidikan inklusif. Menurut Suparno (2001), secara substansial
terdapat dua komponen utama dalam pengembangan kompetensi guru pendidikan
inklusif. Pertama, memiliki kompetensi inti guru yang telah distandarkan dan
dikembangkan menjadi kompetensi guru PAUD/T K/RA, mencakup kompetensi (a)
pedagogik, (b) kepribadian, (c) sosial, dan (d) profesional, (Permendiknas No. 16
Tahun 2007). Kedua, kompetensi kekhususan dalam pendidikan inklusif untuk TK,
yaitu memiliki pemahaman dan kemampuan dalam hal; (a) karakteristik dan
kebutuhan belajar anak berkebutuhan khusus; (b) assesment pem- belajaran anak
berkebutuhan khusus; (c) menciptakan lingkungan pembelajaran yang ramah; (d)
program pembelajaran indi-vidual; dan (e) evaluasi pembelajaran anak
berkebutuhan khusus.
Selain semua prasyarat yang telah dikemukakan di atas, untuk menjadi
satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menurut Direktorat Pembinaan
SLB (2007) ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, kriteria tersebut antara lain:
(a) Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif
(kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua); (b) Terdapat
anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah; (c) Tersedia guru pendidikan
khusus (GPK). GPK adalah guru yang mempunyai latar belakang pendidikan
khusus/pendidikan luar biasa atau yang pernah mendapat pelatihan tentang
pendidikan khusus/luar biasa, yang ditugaskan di sekolah inklusif; (d) Komitmen
terhadap penuntasan wajib belajar; (e) Memiliki jaringan kerjasama dengan
lembaga lain yang relevan; (f) Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh
semua anak; (g) Pihak sekolah telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan
inklusif; (h) Sekolah tersebut telah terakreditasi; dan (i) Memenuhi prosedur
administrasi yang ditentukan.

Simpulan
Pendidikan inklusif adalah suatu penyelenggaraan pendidikan yang
mengharagai keberagaman. Sehingga mensyaratkan sikap tidak membeda-bedakan
peserta didik baik secara fisik, mental maupun Suku Agama dan Ras. PAUD Inklusif
merupakan lembaga PendidikanAnak Usia Dini yang mengakomodir semua anak usia
0-6 tahun yang ada di wilayahnya ataupun sekitarnya tanpa memandang perbedaan yang
melekat pada anak tersebut. PAUD Inklusif memberikan hak bagi anak-anak dengan
kebutuhan khusus untuk dapat bersama-sama belajar dalam satu kelas yang sama
dengan anak-anak lain pada umumnya. Pembelajaran pada PAUD Inklusif yang
membedakan dengan PAUD pada umumnya adalah memfasilitasi adanya Program
Pembelajaran Individu (PPI) yang diperuntukan bagi anak berkebutuhan khusus.
Untuk mewujudkan pendidikan inklusif di lembaga PAUD bukanlah hal yang
sederhana, perlu perencanaan dan persiapan-persiapan yang matang, diantaranya
meliputi:
penciptaan komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai
perbedaan; perubahan pelak-sanaan kurikulum secara mendasar; penyiapan guru untuk
mengajar secara interaktif; penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus
dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi; pelibatan orang tua secara
bermakna dalam proses perencanaan.
Guru dalam seting kelas inklusif harus menguasai strategi-strategi pengajaran yang sesuai
dengan karakteristik kekhususan anak didiknya. Hal ini dikarenakan ABK masing-masing
mempunyai karakteristik pembelajaran yang sangat berbeda antara individu yang satu dengan
yang lain walapun itu masih dalam satu ketunaan juga.

Anda mungkin juga menyukai