Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

Bimbingan dan Konseling

Pendidikan Inklusif di sekolah dasar

Disusun oleh:
 Umul Khaira (A40122313)
 Lara Lestari Kimba (A40122314)
 Zulfikar Labugis (A40122312)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN ILMU DAN PENDIDIKAN


1 : BAB I PENDAHULUAN

Pendidikan Inskulif ini merupakan suatu hal yang baru didunia Pendidikan Indonesia
Istilah pendidikan inklusif atau inklusi, mulai mengemuka sejak tahun 1990, ketika
konferensi dunia tentang pendidikan untuk semua, yang diteruskan dengan pernyataan
tentang pendidikan inklusif pada tahun 1994. Pendidikan khusus merupakan pendidikan
yang diperuntukan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti
proses pembelajaran karena memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Oleh karena itu, untuk mendorong
kemampuan pembelajaran mereka dibutuhkan lingkungan belajar yang kondusif, baik
tempat belajar, metoda, sistem penilaian, sarana dan prasarana serta yang tidak kalah
pentingnya adalah ketersediannya media pendidikan yang memadai sesuai dengan
kebutuhan peserta didik. Seiring dengan perjalanan kehidupan sosial bermasyarakat,
ada pandangan bahwa mereka, anak-anak penyandang dissabilitas dianggap sebagai
sosok individu yang tidak berguna, bahkan perlu diasingkan. Namun, seiring dengan
perkembangan peradaban manusia, pandangan tersebut mulai berbeda. Keberadaannya
mulai dihargai dan memiliki hak yang sama seperti anak normal lainnya. Hal ini sesuai
dengan apa yang diharapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 1 dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat
disimpulkan bahwa Negara memberikan jaminan sebenarnya kepada anak-anak
berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas. Hal ini
menunjukkan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan kesempatan yang sama
dengan anak-anak normal lainnya dalam pendidikan. Hanya saja, jika ditinjau dari sudut
pandang pendidikan, karena karakteristiknya yang berbeda dengan anak normal pada
umumnya menyebabkan dalam proses pendidikannya mereka membutuhkan layanan
pendekatan dan metode yang berbeda dengan pendekatan khusus Pemerintah sebagai
faktor utama dalam membuat kebijaksanaan pendidikan mengupayakan program
pemerataan pendidikan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif
adalah suatu kebijaksanaan pemerintah dalam mengupayakan pendidikan yang bisa
dinikmati oleh setiap warga negara memperoleh pendidikan memandang anak dan
kebutuhan khusus dan anak normal 2 agar bisa bersekolah dan memperoleh pendidikan
yang layak dan berkualitas untuk masa depan hidupnya.Ruang lingkup media pendidikan
inklusif sebaiknya mencakup semua jenis media pendidikan untuk semua peserta didik
termasuk didalamnya anak berkebutuhan khusus, seperti: Tunanetra, Tunarungu,
Tunagrahita, Tunadaksa, Tunalaras, Tuna Wicara, Tunaganda,HIV/AIDS, Gifeted, Talented,
Kesulitan Belajar, Lamban Belajar, Autis, Korban Penyalahgunaan Narkoba, Indigo, dan lain
sebagainya. Khusus untuk pembelajaran MIPA, memang tidaklah mudah mengajarkan
dan mengaplikasikan konsep-konsep materi pada anak yang berkebutuhan khusus atau
memiliki bakat istimewa. Tetapi hal itu bukan berarti mata pelajaran MIPA tidak dapat
diberikan kepada mereka. Dengan dilatar belakangi hal tersebut maka dirasa perlu
untuk mempelajari lebih mendalam tentang kajian pendidikan inklusif khususnya pada mata
pelajaran MIPA.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:

rumusan masalah

1. apa definisi pendidikan inklusif?

2. bagaimana urgensi pendidikan inklusif?

3.apa saja tugas dan peran guru dalam sekolah inklusif

4. Apa kompetensi yang harus di miliki guru sekolah inklusif

C. Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut

Tujuan

1.untuk memahami apa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif

2.untuk memahami pentingnya pendidikan inklusif

3.untuk memahami tugas dan peran guru dalam sekolah inklusif

4.untuk memahami kompetensi yang harus dimiliki guru sekolah inklusif


A. PENGERTIAN PENDIDIKAN INKLUSIF

Pendidikan inklusif merupakan suatu kebijakan pemerintah dalam mengupayakan


pendidikan yang dapat diakses oleh setiap warga negara agar memperoleh pemerataan
pendidikan tanpa memandang anak berkebutuhan khusus maupun anak tidak berkebutuhan
khusus agar bisa bersekolah dan memperoleh pendidikan yang layak serta berkualitas untuk
masa depan kehidupannya (Darma & Rusyidi, 2003). Pendidikan inklusif telah disepakati
oleh banyak negara untuk diimplementasikan dalam rangka mengurangi perilaku
diskriminatif dalam bidang pendidikan. Beberapa dokumen internasional, seperti Deklarasi
HAM tahun 1948, Konferensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989, Pernyataan Salamanca,
telah dihasilkan sebagai wujud komitmen banyak negara untuk mengimplementasikan
pendidikan inklusif. Implementasi pendidikan inklusif diperlukan agar anak berkebutuhan
khusus tetap dapat bersosialisasi dengan lingkungannya dan memperoleh pendidikan yang
layak. Pihak sekolah dapat menggunakan instrumen Index for Inclusion untuk
menggembangkan sekolah inklusif. Inklusif merupakan sebuah pendekatan yang berprinsip
untuk mengembangkan pendidikan, kebijakan, dan praktik yang dapat mempengaruhi semua
orang. Index for Inclusion memiliki tiga dimensi, meliputi: membentuk atau menciptakan
budaya inklusif, menghasilkan kebijakan terkait inklusif, dan mengaplikasikan inklusif
dalam praktik (Booth & Ainscow, 2012). Pada tiap dimensi memiliki aspekaspek yang dapat
dijadikan sebagai langkah-langkah pengembangan pendidikan inklusif. Pada dimensi
budaya, seluruh warga sekolah harus saling menerima dan berkolaborasi agar dapat
membentuk dan/atau menciptakan budaya inklusif. Budaya inklusif memiliki dua aspek.
Aspek pertama yakni membangun masyarakat secara aktif untuk saling membantu dan
mendukung. Pada dimensi kebijakan, dukungan kebijakan diperlukan untuk mewujudkan
pendidikan inklusif di sekolah. Dimensi kebijakan memiliki dua aspek. Aspek pertama yakni
mengembangkan sekolah untuk semua, sekolah yang mampu menyediakan fasilitas yang
aksesibel terhadap kebutuhan anak berkebutuhan khusus dan mampu menerima
keberagaman tanpa memandang ras serta warna kulit. Pada dimensi implementasi,
mewujudkan praktik pengaplikasian inklusif di sekolah. Dimensi implementasi memiliki dua
aspek. Aspek pertama yakni belajar bersama dalam perbedaan. Setiap pendidik dan/atau
kependidikan harus dapat memenuhi kebutuhan anak didik agar dapat membantu
optimalisasi kemampuan yang dimiliki anak didik. Aspek kedua yakni pengerahan sumber
daya. Aspek ini fokus terhadap pemberian apresiasi terhadap anak berkebutuhan khusus agar
dapat di terima di lingkungan sekolah (Booth & Ainscow, 2012). Penyelenggaraan
pendidikan inklusif di Indonesia masih mengalami beberapa kendala. Kendala-kendala yang
dihadapi berdasarkan dimensi pada Index for Inclusion sebagai berikut. Kendala pada
dimensi budaya yakni masih terdapat penolakan terhadap kehadiran dan belajar bersama
dengan anak berkebutuhan khusus (Ni’matuzahroh, 2015). Permasalahan lainnya terkait
peran stakeholder di bidang pendidikan ialah terbatasnya pelatihan terkait pendidikan
inklusif dan rendahnya peran orangtua dan masyarakat (Tarnoto, 2016). Kendala pada
dimensi kebijakan yakni keterbatasan pengetahuan pembuat kebijakan terhadap pendidikan
inklusif dan pembangunan sarana prasarana yang aksesibilitas bagi anak berkebutuhan
khusus masih terbatas di sekolah (Ni’matuzahroh, 2015). Meskipun regulasi telah tegas
mengatur pemerataan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara untuk mengakses
pendidikan, kasus diskriminasi dalam bidang pendidikan masih kerap terjadi khususnya
terhadap anak berkebutuhan khusus (Prasetya, Rahman & Adityawati, 2018). Kendala pada
dimensi implementasi yakni pemahaman terkait kurikulum yang berdeferensiasi dan masih
minimnya pengetahuan pendidik dalam memperlakukan anak berkebutuhan khusus
(Ni’matuzahroh, 2015). Pendidikan inklusif merupakan model pendidikan yang mendukung
terjadinya interaksi antara anak berkebutuhan khusus dengan anak pada umumnya yang
bersekolah di sekolah regular sehingga mampu meningkatkan kemampuan bersosialisasi dan
motivasi dalam hal belajar (Smith, 2006). Nyatanya, masih terdapat kasus-kasus yang
merugikan anak berkebutuhan khusus pada praktik penerapan pendidikan inklusif di
Indonesia. Hal tersebut terbukti dengan masih banyak tindak kekerasan yang terjadi di
sekolah. Anak berkebutuhan khusus rentan terhadap perlakuan yang tidak layak,
diskriminasi, dan lain sebagainya, dari anak-anak yang tidak berkebutuhan khusus
(Adhyatma & Handayani, 2017). Faktor utama yang dapat mendukung penyelenggaraan
pendidikan inklusif yakni dukungan dari orang tua, guru, dan anak didik, namun beberapa
orang tua, guru, dan anak didik belum menyetujui dan mendukung sepenuhnya pelaksanaan
pendidikan inklusif (Asriningtyas, 2015). Pada kenyataannya, masyarakat masih berpikiran
bahwa anak yang memiliki kebutuhan khusus tidak bisa bersekolah di sekolah regular,
karena masyarakat menganggap bahwa tempat anak berkebutuhan khusus hanya di Sekolah
Luar Biasa (SLB) (Karana, 2016). Hal ini sama dengan masih terdapat sikap diskriminasi
sesama manusia. Guru lebih mendukung program inklusif untuk anak berkebutuhan khusus
yang telah mampu bersekolah dan mengikuti pelajaran, sedangkan untuk anak berkebutuhan
khusus yang kurang mampu mengikuti pelajaran diperlukan pendamping dalam belajar dan
terapis untuk mempermudah guru menangani mereka (Elisa & Wrastari, 2013). Di sisi lain,
belum siapnya pendidikan inklusif di sekolah ini meliputi: belum adanya guru pendamping
khusus, belum tersedianya sarana dan prasarana yang mampu menunjang kebutuhan anak
berkebutuhan khusus dan belum adanya kurikulum yang khusus untuk anak berkebutuhan
khusus, serta belum terjalinnya kerja sama dengan mitra dalam pengelolaan pendidikan
inklusif (Umami, 2016). Berdasarkan data Pendidikan Inklusif Dinas Pendidikan Kulon
Progo sejak tahun 2007, Kulon Progo telah menyelenggarakan layanan pendidikan inklusif.
Kebijakan yang mengatur pendidikan inklusif di Kulon Progo diatur dalam Peraturan Daerah
Nomor 3 Tahun 2016 tentang penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas.
Sekolah Dasar Negeri Serang merupakan salah satu sekolah yang menerapkan pendidikan
inklusif. SD Negeri Serang menjadi sasaran tepat bagi penelitian selain karena SD tersebut
merupakan sekolah yang telah inklusif, SD Negeri Serang belum pernah diadakan penelitian
terkait pendidikan inklusif. Guru-guru yang mengajar di SD Negeri Serang memiliki latar
belakang bukan dari bidang Pendidikan Luar Biasa dan belum adanya GPK di sekolah
tersebut. Pandangan guru sangat dibutuhkan dikarenakan guru yang langsung berhadapan
dengan kebutuhan anak didik, baik itu yang memiliki kebutuhan khusus maupun yang pada
umumnya. SD Negeri Serang memiliki anak berkebutuhan khusus di kelas yang diamati
peneliti. Berdasarkan penjabaran di atas, untuk dapat mendeskripsikan terkait pendidikan
inklusif yang diterapkan di SD Negeri Serang, peneliti mengkhususkan pada budaya,
kebijakan, dan praktik pendidikan inklusif. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
hal tersebut di SD Negeri Serang.
B. URGENSI PENDIDIKAN INKLUSIF

Saat inilah kesadaran masyarakat terhadap anak-anak dengan kebutuhan khusus yang
lebih terbuka. Sekolah inklusi adalah salah satu bentuk kesetaraan dan bentuk realisasi
pendidikan tanpa diskriminasi di mana anak-anak berkebutuhan khusus dan anak-anak pada
umumnya bisa mendapatkan pendidikan yang sama. Pendidikan inklusi adalah suatu bentuk
layanan pendidikan khusus yang mengharuskan semua anak berkebutuhan khusus dapat
menerima pendidikan yang setara di kelas biasa dengan kelompok sebaya mereka. Makalah
ini bertujuan untuk menggambarkan pentingnya menyediakan pendidikan inklusif bagi
siswa. Metode tulisan ini menggunakan wawasan sastra. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pendidikan inklusi penting adalah salah satu mata pelajaran disd karena sebagian
besar siswa belum mampu mengidentifikasi disabilitas. Jamak diketahui bahwa Indonesia
adalah negara yang kaya keberagaman. Tak hanya bahasa, tradisi, budaya, etnis, dan ras,
tetapi juga agama. Jaminan atas pluralitas tersebut tertuang pada UUD 1945 Pasal 29 ayat 2
yang menjelaskan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan bagi tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut kepercayaanya”. Pasal
tersebut secara jelas memberikan jaminan perlindungan dan penghargaan terhadap beragam
pemeluk agama untuk memeluk, meyakini dan menunaikan ibadah sesuai doktrin agamanya
masing-masing. Persoalannya, kemajemukan tersebut seringkali terusik oleh perilaku
sejumlah pihak tertentu yang mengatasnamakan agama. Beberapa contohnya tampak pada
Konflik Muslim Kristen di Ambon (1999), pengusiran pemeluk Syiah di Sampang (2013),
dan warga Ahmadiyah di Transito, Lombok cukup menjadi bukti bagaimana sebagian pihak
menggunakan simbol agama untuk mempersekusi, mengusir dan memperlakukan secara
kasar orang lain atas nama agama (Burhani, 2019). Akibatnya, doktrin agama yang
sebenarnya mengajarkan kedamaian dan keselamatan, oleh sejumlah pemeluknya yang tidak
bertanggungjawab diubah menjadi klaim kebenaran atas perkara tertentu sehingga menjadi
salah satu faktor timbulnya konflik yang mengancam kesatuan dan persatuan NKRI
(Bawazir, 2015). Sejumlah konflik yang berlatarbelakang agama, ras, suku dan kelompok
berbeda yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir semakin mengkhawatirkan. Misalnya
saja yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) atas tindakan persekusinya terhadap
sejumlah orang yang dianggap memiliki pandangan keagamaan berbeda pada semester
pertama 2017. menurut catatan Kathlean Azali, ada 59 aksi persekusi yang dilakukan FPI
sepanjang Januari hingga Juli di tahun tersebut (Azali, 2017). Apalagi, perbincangan di
media sosial yang bernadakan kebencian berbasis pelbagai perbedaan tersebut membuat
situasi sosial semakin runyam. Penghargaan terhadap kelompok berbeda semakin tergerus
sehingga mengancam disharmoni dalam kehidupan sosial (Lim, 2017). Terlebih dalam
sejumlah riset telah disebutkan mengenai lunturnya sikap inklusif masyarakat. Beberapa di
antaranya, misalnya, hasil survei Setara Institute tentang persepsi peserta didik tingkat SMA
di Jakarta dan Bandung yang menunjukkan bahwa satu dari 14 peserta didik ternyata setuju
dengan gerakan Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS). Begitupun dengan Maarif Institute
yang menemukan fenomena sama. Pada 2015, Ma’arif melakukan riset sebanyak 98 peserta
didik tingkat SMA. Dalam risetnya itu, Ma’arif menemukan sebanyak 40,82% siswa yang
menjawab bersedia, 8,16% sangat bersedia untuk melakukan penyerangan terhadap orang
atau kelompok yang dianggap menghina Islam. Sementara responden yang menjawab tidak
bersedia mencapai 12,24% dan yang kurang bersedia sebanyak 25,51%. Penting diketahui
bahwa pendidikan inklusif merupakan bagian esensial yang menjadi tugas bagi sekolah
(Muhaimin, 2005)(Syam, 2018). Selain dituntut meningkatkan pencapaian akademis, sekolah
juga bertanggungjawab membentuk sikap inklusif peserta didik. Sebab itu, bagi Sd Negeri 3
Malang, penyelanggaraan kegiatan B’Religi, merupakan ijtihad menumbuhkan sikap
inklusif. Kepala Sekolah Sd negeri 3 Malang Wawan Pramunadi mengatakan bahwa kegiatan
B’Religi adalah sebagai miniatur kehidupan bermasyarakat. Kegiatan ini mengajarkan
urgensi komunikasi dan interaksi antar peserta didik yang berbeda keyakinan. Tahapan
kegiatan B’Religi yang diorientasikan pada penanaman sikap inklusif di sd sejalan dengan
prinsip pendidikan yang digagas UNESCO, bahwa pada tahap pertama pendidikan adalah
“tahu”, tahap kedua “mengerti”, dan tahap ketiga mengerjakan yakni mengaplikasikannya,
dan yang paling akhir bagaimana antar peserta didik bisa bekerjasama. Sebab itu, B’Religi
merupakan sarana strategis bicara dari hati ke hati antar peserta didik. Mereka bisa berdialog
secara leluasa.

C. PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

Program pendidikan inklusi, dilaksanakan secara inklusif dengan program pendidikan


disekolah/lembaga umum pendidikan yang bersangkutan, karena itu kehadiran anak – anak
berkelainandisekolah/lembagapendidikantersebutseharusnyatidakmengganggupelak sanaan
program pendidikan. Untuk menjamin hal tersebut maka di dalam sistem pendidikan saya
tidak perluditugaskan Guru Pembimbing Khusus.1. Konseling Psikologi dan Konseling
KeluargaHal pertama yang perlu disiapkan seorang guru adalah melaksanakan program
bimbingandankonselingterhadappesertadidiknyayangmenjaditanggungjawabnya.Tug as guru
berada dalam kawasan pelayanan (bimbingan dan konseling) yang
bertujuanmengembangkan potensi dan memandirikan anak berkebutuhan khusus dalam
pengambilankeputusan.Gurudalammenyelenggarakanpelayananbimbingandankonseli ng
dimotivasi oleh sikap empatik, serta menghargai kehormatan anak berkebutuhankhusus.
(Kustawan, Dedy. 2013)Tugas lain dari GPK adalah mengadakan konseling keluarga siswa
berkebutuhankhusus. Hasil dari wawancara, bahwa sekolah mengadakan pertemuan antara
kepalasekolah, GPK, guru kelas dan orang tua yang telah diselenggarakan dua bulan sekali.
Dalamforum ini, akan dijelaskan bagaimana perkembangan GPK mendampingi
siswa,kemampuan apa yang sudah tercapai, sharing orangtua ketika menghadapi anak di
rumahdan menghasilkan kinerja guru dalam melayani kebutuhan pendidikan siswa ABK di
kelasreguler dan kelas sumber. Adapun, orang tua membuat pertemuan sendiri yang
pelaksanaannya dilaksanakan secara fleksibel. (Rahmaniar, Fannisa Aulia: 2016) Hal
pertama yang perlu disiapkan seorang guru adalah melaksanakan program
bimbingandankonselingterhadappesertadidiknyayangmenjaditanggungjawabnya.Tug as guru
berada dalam kawasan pelayanan (bimbingan dan konseling) yang
bertujuanmengembangkan potensi dan memandirikan anak berkebutuhan khusus dalam
pengambilankeputusan.Gurudalammenyelenggarakanpelayananbimbingandankonseli ng
dimotivasi oleh sikap empatik, serta menghargai kehormatan anak berkebutuhan khusus.
TUGAS Melakukan identifikasi dan asesmen terhadap siswa yang mengalami kesulitan
belajar. Membangun sistem koordinasi antara pihak sekolah (guru kels/ guru mapel) dengan
orang tua siswa. Melaksanakan pendampingan ABK dalam pembelajaran, bekerja sama
dengan Guru kelas / guru mapel. Memberikan bantuan secara berkesinambungan dan
membuat catatamn khusus pada ABK selama PBM, yang bisa dipahami ketika terjadi
pergantian guru. Memberikan bantuan khusus layanan khusus yang mengalami kesulitan
belajar berupa remidi dan pengayaan. D.KOPETENSI Pendidikan merupakan kebutuhan
dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat.
Guna mewujudkan tujuan tersebut negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan
pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk bagi individu
yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945
pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi
keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang
berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun
mental yang dimiliki oleh siswa. Segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat
siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat. Selama ini
anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus
disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa
(SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun eksklusifisme bagi
siswa difabel. Eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses
saling mengenal antara anak–anak difabel dengan anak–anak non-difabel. Akibatnya dalam
interaksi sosial di masyarakat, kelompok difabel menjadi komunitas yang tereliminasi dari
dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok
difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian
yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Untuk mensukseskan wajib belajar
pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap siswa difabel, baik yang
telah memasuki sekolah reguler (Sekolah Dasar) tetapi belum mendapatkan pelayanan
pendidikan khusus maupun yang belum menempuh pendidikan karena tidak diterima di
Sekolah Dasar terdekat dengan tempat domisili atau karena lokasi SLB jauh dari tempat
domisilinya. Hal ini dikarenakan anak difabel bukan hanya berdomisili di kota saja, namun
masih banyak anak difabel yang tinggal di desa atau daerah–daerah yang belum menerapkan
pendidikan inklusi. Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan
mengintegrasikan siswa reguler dan siswa difabel dalam program yang sama. Pendidikan
inklusi adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap anak penuh
berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler tanpa mempertimbangkan kecacatan atau
karakteristik lainnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusi ditujukan memenuhi target
pendidikan untuk semua warga negara dan pendidikan dasar sembilan tahun. Keuntungan
penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah selain untuk memenuhi hak-hak asasi manusia,
hak-hak anak, namun juga dapat mewujudkan kesejahteraan anak. Hal tersebut karena
pendidikan inklusi dimulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat tentang
anak difabel yang akan menjadi bagian dari keseluruhan warga negara, tanpa ada
diskriminasi. Dengan demikian anak difabel akan merasa tenang, percaya diri, merasa
dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab. Pemerintah melalui PP. No.
19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41 (1) telah mendorong
terwujudnya sistem pendidikan inklusi dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan
yang melaksanakan pendidikan inklusi harus memiliki tenaga kependidikan yang
mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan
kebutuhan khusus. Staub dan Peck (dalam Purwanta, 2005) mengemukakan bahwa
pendidikan inklusi adalah penempatan anak luar biasa tingkat ringan, sedang, dan berat
secara penuh di kelas biasa. Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang tidak diskriminatif
terhadap kondisi perbedaan perbedaan anak, pendidikan yang ramah terhadap semua
perbedaan anak, pendidikan yang merangkul semua perbedaan untuk belajar dalam
komunitasnya (Rusyani, 2009). Indonesia Menuju Pendidikan Inklusi secara formal
dideklarasikan pada tanggal 11 Agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang
sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang
cacat Pendidikan inklusi merupakan proses menciptakan lingkungan yang ramah terhadap
pembelajaran, dengan memanfaatkan semua sumber yang ada untuk memberikan
kesempatan belajar dalam mempersiapkan mereka untuk dapat menjalani hidup dan
kehidupan. KESIMPULAN Pendidikan merupakan hak yang harus didapatkan setiap anak
bangsa termasuk anak berkebutuhan khusus. Seperti yang kita ketahui bahwa pemerintah
telah mengeluarkan peraturan wajib belajar sebagaimana yang tercantum dalam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2008
TENTANG WAJIB BELAJAR. Wajib belajar sendiri adalah program pendidikan minimal
yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan
pemerintah daerah. Untuk anak berkebutuhan khusus sendiri, mereka dapat mengenyam
Pendidikan di Sekolah Luar Biasa(SLB) yang dikhususkan bagi anak berkebutuhan khusus.
Karena masing-masing jenis dan tingkat kelainan anak membutuhkan layanan yang berbeda
Untuk itu, diperlukan pemahaman yang baik tentang anak-anak yang membutuhkan layanan
Pendidikan khusus di dalam merancang program pendidikannya, termasuk dalam ha1 ini
untuk merancang pendidikan kecakapan hidup ( life skill) untuk mereka. Melalui pendidikan
kecakapan hidup ini diharapkan lulusan dari sekolah khusus dapat memasuki dunia kerja dan
mereka mampu berprestasi di dunia kerja yang ditekuninya, sekalian masyarakat mau
mengakui dan menerima lulusan dari sekolah khusus

DAFTAR PUSTAKA:

Alimin, Zainal, dkk. (2013). Layanan Pendidikan Inklusi (Pegangan Bagi Pelatih). Jawa Barat :
Save the Children dan IKEA. Creswell, JW (1998). Inkuiri Kualitatif dan Desain Penelitian. Sage
Publications, Inc: California. Delphi, Bandi. (2006). Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus
dalam Setting Pendidikan Inklusi, Bandung: PT. Refika Aditama. Hamalik, Oemar. (2011).
Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Bumi Aksara Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan
dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa Staub, D. & Peck, CA (1994/1995).
Apa Hasil Bagi Siswa Non-Disabilitas?. Kepemimpinan Pendidikan. 52.4 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Weiner, Howard
M. (2003). “Inklusi Efektif (Pengembangan Profesional dalam Konteks Kelas)”. Jurnal
Mengajar Anak Luar Biasa, 36, 12-18

Anda mungkin juga menyukai