Disusun oleh:
Umul Khaira (A40122313)
Lara Lestari Kimba (A40122314)
Zulfikar Labugis (A40122312)
Pendidikan Inskulif ini merupakan suatu hal yang baru didunia Pendidikan Indonesia
Istilah pendidikan inklusif atau inklusi, mulai mengemuka sejak tahun 1990, ketika
konferensi dunia tentang pendidikan untuk semua, yang diteruskan dengan pernyataan
tentang pendidikan inklusif pada tahun 1994. Pendidikan khusus merupakan pendidikan
yang diperuntukan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti
proses pembelajaran karena memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Oleh karena itu, untuk mendorong
kemampuan pembelajaran mereka dibutuhkan lingkungan belajar yang kondusif, baik
tempat belajar, metoda, sistem penilaian, sarana dan prasarana serta yang tidak kalah
pentingnya adalah ketersediannya media pendidikan yang memadai sesuai dengan
kebutuhan peserta didik. Seiring dengan perjalanan kehidupan sosial bermasyarakat,
ada pandangan bahwa mereka, anak-anak penyandang dissabilitas dianggap sebagai
sosok individu yang tidak berguna, bahkan perlu diasingkan. Namun, seiring dengan
perkembangan peradaban manusia, pandangan tersebut mulai berbeda. Keberadaannya
mulai dihargai dan memiliki hak yang sama seperti anak normal lainnya. Hal ini sesuai
dengan apa yang diharapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 1 dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat
disimpulkan bahwa Negara memberikan jaminan sebenarnya kepada anak-anak
berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas. Hal ini
menunjukkan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan kesempatan yang sama
dengan anak-anak normal lainnya dalam pendidikan. Hanya saja, jika ditinjau dari sudut
pandang pendidikan, karena karakteristiknya yang berbeda dengan anak normal pada
umumnya menyebabkan dalam proses pendidikannya mereka membutuhkan layanan
pendekatan dan metode yang berbeda dengan pendekatan khusus Pemerintah sebagai
faktor utama dalam membuat kebijaksanaan pendidikan mengupayakan program
pemerataan pendidikan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif
adalah suatu kebijaksanaan pemerintah dalam mengupayakan pendidikan yang bisa
dinikmati oleh setiap warga negara memperoleh pendidikan memandang anak dan
kebutuhan khusus dan anak normal 2 agar bisa bersekolah dan memperoleh pendidikan
yang layak dan berkualitas untuk masa depan hidupnya.Ruang lingkup media pendidikan
inklusif sebaiknya mencakup semua jenis media pendidikan untuk semua peserta didik
termasuk didalamnya anak berkebutuhan khusus, seperti: Tunanetra, Tunarungu,
Tunagrahita, Tunadaksa, Tunalaras, Tuna Wicara, Tunaganda,HIV/AIDS, Gifeted, Talented,
Kesulitan Belajar, Lamban Belajar, Autis, Korban Penyalahgunaan Narkoba, Indigo, dan lain
sebagainya. Khusus untuk pembelajaran MIPA, memang tidaklah mudah mengajarkan
dan mengaplikasikan konsep-konsep materi pada anak yang berkebutuhan khusus atau
memiliki bakat istimewa. Tetapi hal itu bukan berarti mata pelajaran MIPA tidak dapat
diberikan kepada mereka. Dengan dilatar belakangi hal tersebut maka dirasa perlu
untuk mempelajari lebih mendalam tentang kajian pendidikan inklusif khususnya pada mata
pelajaran MIPA.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
rumusan masalah
Tujuan
Saat inilah kesadaran masyarakat terhadap anak-anak dengan kebutuhan khusus yang
lebih terbuka. Sekolah inklusi adalah salah satu bentuk kesetaraan dan bentuk realisasi
pendidikan tanpa diskriminasi di mana anak-anak berkebutuhan khusus dan anak-anak pada
umumnya bisa mendapatkan pendidikan yang sama. Pendidikan inklusi adalah suatu bentuk
layanan pendidikan khusus yang mengharuskan semua anak berkebutuhan khusus dapat
menerima pendidikan yang setara di kelas biasa dengan kelompok sebaya mereka. Makalah
ini bertujuan untuk menggambarkan pentingnya menyediakan pendidikan inklusif bagi
siswa. Metode tulisan ini menggunakan wawasan sastra. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pendidikan inklusi penting adalah salah satu mata pelajaran disd karena sebagian
besar siswa belum mampu mengidentifikasi disabilitas. Jamak diketahui bahwa Indonesia
adalah negara yang kaya keberagaman. Tak hanya bahasa, tradisi, budaya, etnis, dan ras,
tetapi juga agama. Jaminan atas pluralitas tersebut tertuang pada UUD 1945 Pasal 29 ayat 2
yang menjelaskan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan bagi tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut kepercayaanya”. Pasal
tersebut secara jelas memberikan jaminan perlindungan dan penghargaan terhadap beragam
pemeluk agama untuk memeluk, meyakini dan menunaikan ibadah sesuai doktrin agamanya
masing-masing. Persoalannya, kemajemukan tersebut seringkali terusik oleh perilaku
sejumlah pihak tertentu yang mengatasnamakan agama. Beberapa contohnya tampak pada
Konflik Muslim Kristen di Ambon (1999), pengusiran pemeluk Syiah di Sampang (2013),
dan warga Ahmadiyah di Transito, Lombok cukup menjadi bukti bagaimana sebagian pihak
menggunakan simbol agama untuk mempersekusi, mengusir dan memperlakukan secara
kasar orang lain atas nama agama (Burhani, 2019). Akibatnya, doktrin agama yang
sebenarnya mengajarkan kedamaian dan keselamatan, oleh sejumlah pemeluknya yang tidak
bertanggungjawab diubah menjadi klaim kebenaran atas perkara tertentu sehingga menjadi
salah satu faktor timbulnya konflik yang mengancam kesatuan dan persatuan NKRI
(Bawazir, 2015). Sejumlah konflik yang berlatarbelakang agama, ras, suku dan kelompok
berbeda yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir semakin mengkhawatirkan. Misalnya
saja yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) atas tindakan persekusinya terhadap
sejumlah orang yang dianggap memiliki pandangan keagamaan berbeda pada semester
pertama 2017. menurut catatan Kathlean Azali, ada 59 aksi persekusi yang dilakukan FPI
sepanjang Januari hingga Juli di tahun tersebut (Azali, 2017). Apalagi, perbincangan di
media sosial yang bernadakan kebencian berbasis pelbagai perbedaan tersebut membuat
situasi sosial semakin runyam. Penghargaan terhadap kelompok berbeda semakin tergerus
sehingga mengancam disharmoni dalam kehidupan sosial (Lim, 2017). Terlebih dalam
sejumlah riset telah disebutkan mengenai lunturnya sikap inklusif masyarakat. Beberapa di
antaranya, misalnya, hasil survei Setara Institute tentang persepsi peserta didik tingkat SMA
di Jakarta dan Bandung yang menunjukkan bahwa satu dari 14 peserta didik ternyata setuju
dengan gerakan Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS). Begitupun dengan Maarif Institute
yang menemukan fenomena sama. Pada 2015, Ma’arif melakukan riset sebanyak 98 peserta
didik tingkat SMA. Dalam risetnya itu, Ma’arif menemukan sebanyak 40,82% siswa yang
menjawab bersedia, 8,16% sangat bersedia untuk melakukan penyerangan terhadap orang
atau kelompok yang dianggap menghina Islam. Sementara responden yang menjawab tidak
bersedia mencapai 12,24% dan yang kurang bersedia sebanyak 25,51%. Penting diketahui
bahwa pendidikan inklusif merupakan bagian esensial yang menjadi tugas bagi sekolah
(Muhaimin, 2005)(Syam, 2018). Selain dituntut meningkatkan pencapaian akademis, sekolah
juga bertanggungjawab membentuk sikap inklusif peserta didik. Sebab itu, bagi Sd Negeri 3
Malang, penyelanggaraan kegiatan B’Religi, merupakan ijtihad menumbuhkan sikap
inklusif. Kepala Sekolah Sd negeri 3 Malang Wawan Pramunadi mengatakan bahwa kegiatan
B’Religi adalah sebagai miniatur kehidupan bermasyarakat. Kegiatan ini mengajarkan
urgensi komunikasi dan interaksi antar peserta didik yang berbeda keyakinan. Tahapan
kegiatan B’Religi yang diorientasikan pada penanaman sikap inklusif di sd sejalan dengan
prinsip pendidikan yang digagas UNESCO, bahwa pada tahap pertama pendidikan adalah
“tahu”, tahap kedua “mengerti”, dan tahap ketiga mengerjakan yakni mengaplikasikannya,
dan yang paling akhir bagaimana antar peserta didik bisa bekerjasama. Sebab itu, B’Religi
merupakan sarana strategis bicara dari hati ke hati antar peserta didik. Mereka bisa berdialog
secara leluasa.
DAFTAR PUSTAKA:
Alimin, Zainal, dkk. (2013). Layanan Pendidikan Inklusi (Pegangan Bagi Pelatih). Jawa Barat :
Save the Children dan IKEA. Creswell, JW (1998). Inkuiri Kualitatif dan Desain Penelitian. Sage
Publications, Inc: California. Delphi, Bandi. (2006). Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus
dalam Setting Pendidikan Inklusi, Bandung: PT. Refika Aditama. Hamalik, Oemar. (2011).
Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Bumi Aksara Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan
dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa Staub, D. & Peck, CA (1994/1995).
Apa Hasil Bagi Siswa Non-Disabilitas?. Kepemimpinan Pendidikan. 52.4 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Weiner, Howard
M. (2003). “Inklusi Efektif (Pengembangan Profesional dalam Konteks Kelas)”. Jurnal
Mengajar Anak Luar Biasa, 36, 12-18