Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem


pendidikan dengan meninggalkan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa
untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan
masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan, dll. Salah satu kelompok yang paling
tereksklusi dalam memperoleh pendidikan adalah siswa penyandang cacat. Sekolah dan
layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dalam memenuhi keberagaman kebutuhan siswa
untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Pendidikan inklusi ini memegang tugas dan tanggung jawab yang penting, karena pada
dasarnya pendidikan untuk semua kalangan tanpa membedakan apapun merupakan
kebutuhan dasar untuk menjamin keberlangsungan hidup agar lebih bermartabat. Karena itu
negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada
setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan.

Pemahaman mengenai pendidikan inklusi juga merupakan suatu hal yang sangat penting bagi
seorang guru. Oleh karena itu, di dalam makalah ini akan dibahas mengenai latar belakang
Pendidikan Inklusi, konsep Pendidikan Inklusi, kelebihan pendidikan inklusi, dan sejarah
pendidikan inklusi.

B. Rumusan Masalah

1. Apa konsep dari pendidikan inklusi?


2. Apa konsep anak berkebutuhan khusus ?
3. Apa saja klasifikasi anak berkebutuhan khusus?
4. Apa yang dimaksut dengan pendidikan kebutuhan khusus dan PLB?
C. Tujuan

1. Mengetahui konsep dari pendidikan inklusi


2. Mengetahui apa saja klasifikasi anak berkebutuhan khusus
3. Mengetahui kosep dari anak berkebutuhan khusus
4. Mengetahui apa yang dimaksut dengan pendidikan kebutuhan khusus dan PLB
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Pendidikan Inklusi


1. Pengertian
Hambatan utama anak berkelainan untuk maju termasuk dalam mengakses pendidikan
setinggi mungkin bukan pada kecacatannya, tetapi pada penerimaan sosial masyarakat.
Selama ada alat dan penanganan khusus, maka mereka dapat mengatasi hambatan
kelainan itu. Justru yang sulit dihadapi adalah hambatan sosial. Bahkan, hambatan dalam
diri anak yang berkelainan itupun umumnya juga disebabkan pandangan sosial yang
negatif terhadap dirinya. Untuk itulah, pendidikan yang terselenggara hendaknya
memberikan jaminan bahwa setiap anak akan mendapatkan pelayanan untuk
mengembangkan potensinya secara individual.

Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang Undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa setiap warganegara
mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa
anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya
(anak normal) dalam pendidikan.

Pendidikan inklusif dalam beberapa tahun terakhir ini telah menjadi isu yang sangat
menarik dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dikarenakan, pendidikan inklusif
memberikan perhatian pada pengaturan para siswa yang memiliki kelaian atau kebutuhan
khusus untuk bisa mendapatkan pendidikan pada sekolah-sekolah umum atau regular
sebagai kelas pendidikan khusus part time, pendidikan khusus full time, atau sekolah luar
biasa (segregasi). D.K. Lipsky dan A.D. gartner (Dalam Abdul Salim Choiri, dkk, 2009,
85) mengatakan: Inclusive education as: providing to all students, inclualing those with
significant disabilities, equitable opportunities to receive effective educational services,
with the needed suplementaland support service, in age-appropriate classes in their
neighborhood schools, in order to prepare students for productive lives as full members
of society.
Inklusi adalah suatu sistem ideologi dimana secara bersama-sama tiap-tiap warga sekolah
yaitu masyarakat, kepala sekolah, guru, pengurus yayasan, petugas administrasi sekolah,
para siswa dan orang tua menyadari tanggung jawab bersama dalam mendidik semua
siswa sedemikian sehingga mereka berkembang secara optimal sesuai potnsi mereka.
Walaupun dalam pendidikan inklusif berarti menempatkan siswa berkelainan secara fisik
dalam kelas atau sekolah regular, inklusi bukanlah sekedar memasukkan anak
berkelaian sebanyak mungkin dalam lingkungan belajar siswa normal. Inklusi merupakan
suatu sistem yang hanya dapat diterapkan ketika semua warga sekolah memahami dan
mengadopsinya.

Inklusi menyangkut juga hal-hal bagaimana orang dewasa dan teman sekelas yang
normal menyambut semua siswa dalam kelas dan mngenali bahwa keanekaragaman
siswa tidak mengharuskan penggunaan pendekatan tunggal untuk seluruh siswa. Dalam
perkembangannya, inklusi juga termasuk para siswa yang dikaruniai keberbakatan,
mereka yang hidup terpinggirkan, memiliki kecatatan, dan kemampuan belajarnya berada
di bawah rata-rata kelompoknya.

Melalui pendidikan inklusif, anak berkelaian dididik bersama-sama anak


lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh
kenyataan bahwa di masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan (berkelainan)
yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkelainan
perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak normal untuk mendapatkan
pelayanan pendidikan di sekolah (SD) terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat itu perlu
dipersiapkan segala sesuatunya.

Bergabungnya anak-anak berkelainan dalam lingkungan belajar bersama anak-anak


normal dapat dilakukan dengan 3 model, yaitu: mainstream, integrative, dan
inklusi. Mainstreamadalah suatu sistem pendidikan yang menempatkan anak-anak cacat
di sekolah-sekolah umum, mengikuti kurikulum akademis yang berlaku, dan guru juga
tidak harus melakukan adaptasi kurikulum. Mainstream kebanyakan diselenggarakan
untuk anak-anak yang sakit yang tidak berdampak pada kemampuan kognitif, seperti
epilepsy, asma dan anak-anak dengan kecacatan sensori (dengan fasilitas peralatan,
seperti alat bantu dan buku-buku Braille) dan anak tunadaksa.

Integrasi berarti menempatkan siswa yang berkelainan dalam kelas anak-anak normal
dimana anak-anak berkelainan hanya mengikuti pelajaran-pelajaran yang dapat mereka
ikuti dari gurunya. Sedangkan untuk mata pelajaran akademis lainnya, anak-anak
berkelainan menerima pelajaran pengganti di kelas berbeda yang terpisah dari teman-
teman mereka. Penempatan terintegrasi tidak sama dengan integrasi pengajaran dan
integrasi sosial, karena integrasi bergantung pada dukungan yang diberikan sekolah dan
dalam komunitas yang lebih luas.

Sedangkan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback (Dalam Abdul Salim
Choiri, dkk, 2009, 87) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang
menampung semua siswa di kelas yang sama. sekolah ini menyediakan program
pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
setiap siswa. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat
diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan
teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat
terpenuhi. Selanjutnya, Staub dan Peck (Dalam Abdul Salim Choiri, dkk, 2009, 87)
mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat
ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas regular. Hal ini menunjukkan bahwa
bahwa kelas regular merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan,
apapun jenis kelainnya dan bagaimanapun gradasinya.

Sementara itu, Sapon-Shevin (Dalam Abdul Salim Choiri, dkk, 2009, 87) menyatakan
bahwa pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan
agar semua anak berkelainan dilayani di seolah-sekolah terdekat, di kelas regular
bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya restrukturisasi
sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus
setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari semua
pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya
(normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg (Dalam Abdul Salim
Choiri, dkk, 2009, 87)). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat
terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu
komunitas.

Menurut Permendiknas No. 70 tahun 2009 pendidikan inklusif didefinisikan sebagai


sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta
didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa
untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Dalam pelaksanaannya, pendidikan inklusif bertujuan untuk memberikan kesempatan


yang seluas-luasnya dan mewujudkan penyelenggaran pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, dan tidak diskriminatif kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan atau
bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai kebutuhan dan
kemampuannya.

Dengan demikian, inklusi adalah sebuah filosofi pendidikan dan sosial. Dalam inklusi,
semua orang adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan apapun perbedaan mereka.
Dalam pendidikan ini berarti bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan
maupun ketidakmampuan mereka, latar belakang sosial-ekonomi, suku, latar belakang
budaya atau bahasa, agama atau jenis kelamin, menyatu dalam komunitas sekolah yang
sama. Pendidikan inklusif berkenaan dengan aktivitas memberikan respon yang sesuai
kepada adanya perbedaan dari kebutuhan belajar baik. Ia merupakan pendekatan yang
memperhatikan bagaimana mentransformasikan sistem pendidikan sehingga mampu
merespon keragaman siswa dan memungkinkan guru dan siswa untuk merasa nyaman
dengan keragaman dan melihatnya lebih sebagai suatu tantangan dan pengayaan dalam
lingkungan belajar daripada suatu problem.
Lebih lanjut, inklusi adalah cara berpikir dan bertindak yang memungkinkan setiap
individu merasakan diterima dan dihargai. Prinsip inklusi mendorong setiap unsur yang
terlibat di dalam proses pembelajaran mengusahakan lingkungan belajar dimana semua
siswa dapat belajar secara efektif bersama-sama. Dengan demikian, tidak ada siswa yang
akan ditolak atau dikeluarkan dari sekolahnya sebab tidak mampu memenuhi standar
akademis yang ditetapkan. Walaupun, pada sisi yang lain beberapa orang tua merasa
khawatir kalau anak-anak mereka yang memiliki kecacatan tersebut akan menjadi bahan
ejekan atau digoda orang-orang di sekitarnya.

B. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus


Hakikat Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus dapat dimaknai dengan anak-anak yang tergolong cacat atau
yang menyandang ketunaan, dan juga anak lantib dan berbakat (Mulyono, 2006:26).
Dalam perkembangannya, saat ini konsep ketunaan berubah menjadi berkelainan
(exception) atau luar biasa. Ketunaan berbeda dengan konsep berkelainan. Konsep
ketunaan hanya berkenaan dengan dengan kecacatan sedangkan konsep berkelainan atau
luar bisa mencakup anak yang menyandang ketunaan maupun yang dikaruniai
keunggulan.

Istilah “Anak Berkebutuhan Khusus” muncul bukan untuk sekedar menggantikan


pengertian dari anak cacat atau luar biasa, namun memiliki pengertian yang lebih positif
yaitu anak dengan keberagaman yang berbeda (Sunanto, 2003:23). Anak Berkebutuhan
Khusus sendiri bisa dikelompokkan menjadi Anak Berkebutuhan Khusus yang bersifat
menetap (permanen) dan sementara (temporer). Bersifat sementara (temporer) ketika
Anak Berkebutuhan Khusus tersebut disebabkan oleh faktor eksternal sehingga anak
tersebut mengalami gangguan emosi namun sementara. Sementara itu Anak
Berkebutuhan Khusus yang bersifat menetap (permanen) adalah ketika Anak
Berkebutuhan Khusus memiliki hambatan belajar yang disebabkan oleh kecacatan atau
bawaan sejak lahir.
Dengan demikian anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang berbeda pada anak
umumnya dengan karakteristik khusus, yang memerluksan pelayanan yang spesifik.
Anak tersebut membutuhkan metode, materi, pelayanan yang khusus agar dapat
mencapai perkembangan optimal. Walaupun mereka memiliki potensi dan kemampuan
yang berbeda dengan anak-anak pada umumya, mereka harus mendapat perlakuan dan
kesempatan yang sama dalam hal pendidikan. Oleh sebab itu, mereka memerlukan
layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan belajar masing-masing anak.

Banyak istilah digunakan untuk mencoba mengkategorikan anak-anak dengan kebutuhan


khusus, beberapa istilah yang dapat membantu guru mengumpulkan informasi yang
merencanakan untuk masing-masing anak mencakup: dungu, gangguan fisik, lumpuh
otak, gangguan emosional, ketidakmampuan mental, gangguan pendengaran, gangguan
pengllihatan, ketidak mampuan belajar, autistuk, dan keterlambatan perkembangan.

C. Klasifikasi Anak Dengan Kebutuhan Khusus


Jenis kebutuhan khusus sangat terkait dengan tingkat kesulitan yang dihadapi anak dalam
mengikuti proses pembelajaran. Jenis kesulitan inilah yang memunculkan kebutuhan khusus
agar anak dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Jenis kebutuhan ini dapat dilihat
dari bidang yang mengalami penyimpangan dan dapat pula dilihat dari arah penyimpangan.
Bidang penyimpangan berkaitan dengan aspek dan/atau penyebab terjadinya penyimpangan,
sedangkan arah penyimpangan mengacu kepada arah yang berawal dari kondisi normal (ke
atas atau ke bawah normal). Kategori anak/ peserta didik dengan kelainan atau kebutuhan
khusus berdasarkan jenis penyimpangan, menurut Mulyono Abdulrachman (2000) dibuat
untuk keperluan pembelajaran. Kategori tersebut adalah sebagai berikut.

1. Kelompok yang mengalami penyimpangan atau kelainan dalam bidang intelektual, terdiri
dari anak yang luar biasa cerdas (intellectually superior) dan anak yang tingkat
kecerdasannya rendah atau yang disebut tunagrahita.
2. Kelompok yang mengalami penyimpangan atau keluarbiasaan yang terjadi karena
hambatan sensoris atau indra, terdiri dari anak tunanetra dan tunarungu.
3. Kelompok anak yang mendapat kesulitan belajar dan gangguan komunikasi.
4. Kelompok anak yang mengalami penyimpangan perilaku, yang terdiri dari anak tunalaras
dan penyandang gangguan emosi, termasuk autis.
5. Kelompok anak yang mempunyai keluarbiasaan/penyimpangan ganda atau berat dan
sering disebut sebagai tunaganda.

PP No. 17/2010 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan, Pasal 129, ayat 3
menetapkan 12 jenis peserta didik berkelainan, yaitu tunanetra, tunarungu, tunawicara,
tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, autis, memiliki gangguan motorik,
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain, serta yang
memiliki kelainan lain. Di samping itu, disebutkan juga kelainan yang merupakan gabungan
dari dua atau lebih jenis kelainan. Di dalam kelompok peserta didik berkelainan ini tidak
dimasukkan anak berbakat, padahal dalam UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, kelompok
peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa termasuk dalam
kelompok yang memerlukan pendidikan khusus. Oleh karena di sekolah dasar biasa sangat
mungkin terdapat anak-anak dengan potensi kecerdasan atau bakat istimewa, dalam modul
ini, kelompok anak berbakat dikaji sebagai salah satu kelompok yang juga memiliki
kebutuhan khusus.

Dilihat dari arah penyimpangan, jenis kebutuhan khusus dapat dibagi menjadi dua kategori,
yaitu kebutuhan khusus yang terkait dengan kondisi di atas normal, dan kebutuhan khusus
yang terkait dengan kondisi di bawah normal. Kebutuhan khusus yang terkait dengan
kelainan di atas normal merupakan kondisi seseorang yang melebihi batas normal dalam
bidang kemampuan. Anak atau orang yang mempunyai kelebihan seperti ini, disebut sebagai
anak berbakat atau dalam bahasa asing disebut sebagai gifted and talented person. Barangkali
Anda pernah mendengar atau bahkan menemukan anak seperti ini di kelas Anda. Mungkin,
salah satu dari siswa Anda selalu mengungguli teman-temannya dalam berbagai bidang.
Atau, pernahkah Anda mendengar atau membaca tentang anak usia dua tahun yang sudah
mampu menghafal nama presiden dari 100 negara atau anak usia lima tahun sudah mampu
menamatkan SLTP, bahkan juga barangkali Anda pernah mendengar anak usia enam tahun
sudah duduk di perguruan tinggi? Semua ini tentu merupakan contoh yang ekstrim dari
keluarbiasaan yang berada di atas normal.
Di Indonesia, ternyata keluarbiasaan atau kelainan seperti ini, merupakan satu kebanggaan
sehingga anak-anak yang dianggap luar biasa tersebut dikumpulkan dalam satu sekolah, yang
disebut sebagai sekolah unggul atau kelas unggul. Beberapa SLTP dan SMU mencoba
menjaring anak-anak yang dianggap mempunyai kemampuan di atas normal, kemudian
mengumpulkan anak-anak tersebut dalam satu kelas. Tujuan utamanya tentu agar mampu
memberi layanan yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut sehingga potensinya dapat
berkembang secara optimal. Bersaing dengan teman-teman yang mempunyai kemampuan
hampir sama tentu merupakan tantangan tersendiri bagi anak-anak ini. Namun, tidak jarang
terjadi, anak yang berkemampuan luar biasa menjadi frustrasi yang akhirnya berujung pada
timbulnya masalah sehingga harus mendapat penanganan khusus. Oleh karena itu, masalah
yang dihadapi anak berkebutuhan khusus yang berada di atas normal ini, tidak jauh berbeda
dengan masalah yang dihadapi anak berkebutuhan khusus yang berada di bawah normal.

Jika kelainan di atas normal hanya dikenal dengan satu istilah maka kelainan di bawah
normal dikenal dengan berbagai istilah karena memang kondisi kelainan di bawah normal
sangat beragam. Dengan memahami secara umum jenis-jenis kelainan/kebutuhan khusus,
Anda akan mempunyai landasan yang kuat dalam mendalami setiap jenis kebutuhan
khusus/kelainan pada modul-modul berikutnya.
1. Tunanetra
Tunanetra berarti kurang penglihatan. Sejalan dengan makna tersebut, istilah ini dipakai
untuk mereka yang mengalami gangguan penglihatan yang mengakibatkan fungsi
penglihatan tidak dapat dilakukan. Oleh karena gangguan tersebut, penyandang tunanetra
menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan mereka yang penglihatannya berfungsi
secara normal. Sehubungan dengan itu, anak tunanetra mempunyai kebutuhan khusus
yang menuntut adanya pelayanan khusus sehingga potensi yang dimiliki oleh para
tunanetra dapat berkembang secara optimal. Apakah di kelas Anda ada anak yang
mengalami gangguan penglihatan? Jika gangguan penglihatan tersebut memang secara
signifikan mengganggu proses pembelajaran, tentu anak ini harus mendapat layanan
khusus.
Namun, ada kalanya gangguan penglihatan tersebut masih dapat diatasi dengan kacamata,
misalnya anak ini masih dapat tetap mengikuti pembelajaran tanpa memerlukan bantuan
khusus. Yang diperlukan mungkin hanya pengaturan tempat duduk sehingga penglihatan
anak tidak terganggu. Oleh karena itu, Anda harus mampu mengidentifikasi gangguan
penglihatan yang dialami oleh anak. Di samping itu, Anda juga harus waspada terhadap
anak-anak yang menunjukkan perilaku yang mungkin disebabkan oleh gangguan
penglihatan atau perilaku yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan penglihatan.

2. Tunarungu
Istilah tunarungu dikenakan bagi mereka yang mengalami gangguan pendengaran, mulai
dari yang ringan sampai dengan yang berat. Gangguan ini dapat terjadi sejak lahir
(merupakan bawaan), dapat juga terjadi setelah kelahiran. Istilah lain yang sering
digunakan untuk menggambarkan anak yang mengalami gangguan pendengaran adalah
anak tuli. Namun, sebenarnya istilah anak tuli ini hanya merupakan salah satu klasifikasi
dari gangguan pendengaran. Dalam bahasa Inggris sering disebut sebagai hearing
impaired atau hearing disorder. Oleh karena kondisi khusus ini, anak tunarungu
memerlukan bantuan khusus, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam
pendidikan. Dalam derajat tertentu, tidak mustahil anak-anak ini berada di kelas Anda.
Oleh karena itu, Anda diharapkan mampu mengidentifikasi keberadaan anak-anak ini
sehingga bantuan /layanan khusus bagi mereka dapat dirancang.

3. Gangguan Komunikasi
Gangguan komunikasi atau dalam bahasa Inggris disebut communication disorder,
merupakan gangguan yang cukup signifikan karena kemampuan berkomunikasi
memungkinkan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain. Jika kemampuan ini
terganggu maka proses interaksi pun akan terganggu pula. Secara garis besar, gangguan
komunikasi dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu gangguan bicara (karena kerusakan
organ bicara) dan gangguan bahasa (speech disorder dan language disorder). Gangguan
bicara yang sering disebut sebagai tunawicara dapat disebabkan oleh gangguan
pendengaran yang terjadi sejak lahir atau kerusakan organ bicara, misalnya lidah yang
terlampau pendek sehingga anak tidak dapat memproduksi bunyi secara sempurna.
Gangguan pendengaran yang terjadi sejak lahir cenderung menjurus kepada gangguan
bicara karena yang bersangkutan tidak pernah mendengar suara sehingga tidak mengenal
suara. Sebagai akibatnya, anak tidak pernah punya persepsi tentang suara. Oleh karena
itulah, dikenal atau digunakan istilah tunarungu-wicara. Namun, dengan adanya berbagai
usaha untuk membantu anak tunarungu maka tunarungu tidak selalu diasosiasikan dengan
tunawicara. Barangkali di kelas Anda, ada anak yang ujarannya susah dipahami atau yang
bahasanya selalu kacau sehingga susah dipahami oleh lawan bicaranya atau yang paling
sering kita jumpai adalah anak-anak yang gagap sehingga kegagapannya ini merupakan
gangguan serius dalam berbicara. Anak-anak tersebut dapat dikelompokkan sebagai anak
yang menderita gangguan komunikasi, yang dalam PP No. 17/2010 disebut sebagai
tunawicara.

Gangguan komunikasi terjadi karena gangguan bahasa, yang ditandai oleh munculnya
kesulitan bagi anak dalam memahami dan menggunakan bahasa, baik dalam bentuk lisan
maupun tertulis. Sebagaimana kita ketahui, agar mampu memahami dan menggunakan
bahasa, baik secara lisan maupun tertulis, seseorang harus menguasai sistem bunyi
bahasa, tata kata, tata kalimat, semantik (makna), dan penggunaan bahasa sesuai dengan
konteks. Gangguan bahasa akan terjadi jika seseorang tidak menguasai satu atau lebih
aspek tersebut. Misalnya, seseorang tidak memahami tata bunyi, ia tidak akan dapat
membedakan ucapan kata yang satu dengan yang lain, seperti rakit dan sakit atau kelapa
dengan kepala. Demikian pula jika ia tidak menguasai tata kalimat, ia tidak akan dapat
memahami makna satu kalimat atau tidak mampu mengungkapkan sesuatu dengan
kalimat yang benar. Gangguan bahasa dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis.
a) Gangguan bahasa yang terjadi karena perkembangan yang terlambat, misalnya
anak usia 10 tahun, penguasaan bahasanya sama dengan anak usia dua tahun.
b) Gangguan yang dihubungkan dengan kesulitan belajar atau learning disabilities..
c) Gangguan bahasa yang terjadi sebagai akibat gangguan saraf. Misalnya, orang
yang mengalami gegar otak atau stroke, mungkin kehilangan kemampuan
berkomunikasi.
4. Tunagrahita
Tunagrahita atau sering dikenal dengan cacat mental adalah kemampuan mental yang
berada di bawah normal. Tolok ukur yang sering dikenakan untuk ini adalah tingkat
kecerdasan atau IQ. Anak yang secara signifikan mempunyai IQ di bawah normal
dikelompokkan sebagai anak tunagrahita. Sebagaimana halnya anak tunarungu,
tunagrahita juga dapat dikelompokkan menjadi tunagrahita ringan, sedang, dan berat.
Meskipun yang menonjol dalam hal ini adalah kemampuan mental yang di bawah
normal, namun kondisi ini berpengaruh pada kemampuan lainnya, seperti kemampuan
untuk bersosialisasi dan menolong diri sendiri. Anak tunagrahita mungkin banyak
ditemukan di SD biasa, bahkan mungkin dalam kelas Anda sendiri. Cobalah perhatikan
prestasi anak-anak yang berada di kelas Anda. Apakah ada di antara anak tersebut yang
berkali-kali tidak naik kelas? Atau anak yang kemampuan akademiknya jauh di bawah
rata-rata kelas? Secara sepintas (meskipun belum pasti), anak yang demikian ini dapat
diidentifikasi sebagai anak tunagrahita. Namun, pertanyaan berikut yang perlu Anda
jawab adalah mengapa di Indonesia, yang mempunyai sekolah khusus bagi anak
tunagrahita, anak yang berkemampuan seperti itu ada di SD biasa? Anda tentu dapat
menjawab pertanyaan ini. Budaya masyarakat masih belum membuat orang tua mau
secara sukarela dan penuh kesadaran untuk mengakui keluarbiasaan yang dimiliki oleh
anaknya sehingga anak ini harus mendapat layanan khusus. Orang tua masih memilih
memasukkan anaknya ke sekolah biasa daripada ke sekolah luar biasa. Oleh karena
alasan ini pulalah, sebagai guru di sekolah biasa, Anda diharapkan mampu melayani
anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus.

5. Tunadaksa
Tunadaksa secara harfiah berarti cacat fisik. Oleh karena kecacatan ini, anak tersebut
tidak dapat menjalankan fungsi fisik secara normal. Anak yang kakinya tidak normal
karena kena polio atau yang anggota tubuhnya diamputasi karena satu penyakit dapat
dikelompokkan pada anak tunadaksa. Istilah ini juga mencakup gangguan fisik dan
kesehatan yang dialami oleh anak sehingga fungsi yang harus dijalani sebagai anak
normal, seperti koordinasi, mobilitas, komunikasi, belajar, dan penyesuaian pribadi,
secara signifikan terganggu. Oleh karena itu, ke dalam kelompok ini juga dapat
dimasukkan anak-anak yang menderita penyakit epilepsy (ayan), cerebral palsy, kelainan
tulang belakang, gangguan pada tulang dan otot, serta yang mengalami amputasi.

6. Tunalaras
Istilah tunalaras digunakan sebagai padanan dari istilah behavior disorder dalam bahasa
Inggris. Kelompok tunalaras sering juga dikelompokkan dengan anak yang mengalami
gangguan emosi (emotionally disturbance). Gangguan yang muncul pada anak-anak ini
berupa gangguan perilaku, seperti suka menyakiti diri sendiri (misalnya mencabik-cabik
pakaian atau memukul-mukul kepala), suka menyerang teman (agresif) atau bentuk
penyimpangan perilaku yang lain. Termasuk juga dalam kelompok ini adalah anak-anak
penderita autistik, yaitu anak-anak yang menunjukkan perilaku menyimpang yang
membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Misalnya, memukul-
mukul secara berkelanjutan, melempar/membanting benda-benda di sekitarnya, dan jari
tangan yang diputar-putar. Di samping autistik atau autism, dalam kelompok ini juga
termasuk attention deficit disorder (ADD) dan attention deficit hyperactive disorder
(ADHD). Dari makna katanya, Anda dapat menerka bahwa penyandang ADD adalah
mereka yang mendapat kesulitan dalam memusatkan perhatian (tidak mampu
memusatkan perhatian) sehingga perhatiannya selalu beralih; sementara ADHD ditandai
oleh ketidakmampuan memusatkan perhatian yang disertai dengan hiperaktif, tidak mau
diam. Anak-anak seperti ini, khususnya ADHD perlu diwaspadai karena dapat
membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Di Indonesia, kelompok anak ini sering disebut sebagai anak-anak nakal meskipun
sebenarnya istilah tersebut kurang tepat.

7. Anak Berkesulitan Belajar


Anak berkesulitan belajar merupakan anak-anak yang mendapat kesulitan belajar bukan
karena kelainan yang dideritanya. Anak-anak ini pada umumnya mempunyai tingkat
kecerdasan yang normal, namun tidak mampu mencapai prestasi yang seharusnya karena
mendapat kesulitan belajar. Oleh karena itu, Anda pasti dapat memahami bahwa anak-
anak ini tidak mudah diidentifikasi dan paling banyak terdapat di antara anak-anak yang
bersekolah di sekolah biasa. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sunardi (2000),
7,4% dari anak-anak kelas 1 di satu kecamatan di Boyolali menderita kesulitan belajar,
sedangkan data dari Pusbangkurandik, 13, 94% dari anak-anak SD dari 4 provinsi
mengalami kesulitan belajar. Bagaimana respon Anda terhadap informasi tersebut?
Sebagai guru, Anda pasti kaget. Tidak mustahil, di kelas Anda terdapat anak-anak
kelompok ini. Oleh karena itu, Anda berkewajiban untuk mampu mengidentifikasi
mereka, kemudian memberikan bantuan yang sesuai dengan kebutuhannya.

8. Tunaganda
Sesuai dengan makna istilah tunaganda, kelompok penyandang kelainan jenis ini adalah
mereka yang menyandang lebih dari satu jenis kelainan. Misalnya, penyandang tunanetra
dan tunarungu sekaligus, penyandang tunadaksa disertai tunagrahita atau bahkan
tunadaksa, tunarungu, dan tunagrahita sekaligus. Tentu dapat dibayangkan betapa
besarnya kelainan yang disandang, yang tentu saja berdampak pada kompleksnya layanan
pendidikan yang seyogianya disiapkan. Oleh karena kondisi tunaganda yang seperti itu,
kemungkinan mereka berada di SD biasa tentu sangat kecil. Namun, sebagai guru,
pengetahuan Anda tentang anak tunaganda akan memperluas wawasan Anda tentang
peserta didik berkelainan. Sekolah luar biasa untuk penyandang tunaganda disebut
sebagai SLB-G.

D. Pendidikan Khusus dan PLB


1. Pendidikan Khusus/PLB (Special Education)
Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak penyandang cacat yang disebut Pendidikan
Luar Biasa (sebagai terjemahan dari Orthopedagogik dalam bahasa Belanda dan Special
Education dalam bahasa Inggris), selama beberapa dekade telah mengalami banyak
perubahan. Perubahan itu dipengaruhi oleh sikap dan kesadaran masyarakat terhadap
anak penyandang cacat dan pendidikannya, metodologi dan perubahan konsep yang
digunakan.

Sejarah menunjukkan bahwa selama berabad-abad di semua negara di dunia, individu


yang keadaannya berbeda dari kebanyakan indivividu pada umumnya (menyandang
kecacatan), kehadirannya ditolak oleh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh adanya
anggapan anggota kelompok yang terlalu lemah (penyanang cacat) tidak mungkin dapat
berkontribusi terhadap kelompoknya. Mereka yang berbeda karena menyandang
kecacatan disingkirkan, tidak mendapatkan kasih sayang dan kontak sosial yang
bermakna, keberadaan penyandang cacat tidak diakui oleh masyarakatnya. Di masa lalu,
ketidaktahuan orang tua dan masyarakat mengenai hakekat dan penyebab kecacatan
menimbulkan rasa takut dan perasaan bersalah, sehingga berkembang macam-macam
kepercayaan dan tahayul. Misalnya seorang ibu yang melahirkan anak penyandang cacat
merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab itu di masa
lalu, anakanak penyandang cacat sering disembunyikan oleh orang tuanya, sebab memilik
anak penyandang cacat merupakan aib keluarga.

Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan baru mengajarkan


kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk hidup. Pandangan
seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak-anak penyandang cacat.
Menyelamatkan hidup anak-anak penyandang cacat menjadi penting karena dipandang
sebagai symbol dari sebuah peradaban yang lebih maju dari suatu bangsa, meskipun
anak-anak penyandang cacat memerlukan perhatian ekstra (Miriam, 2001). Pandangan
orang tua dan masyarakat yang menganggap bahwa memelihara dan membesarkan anak
merupakan investasi agar kelak anak dapat membalas jasa orang tuanya menjadi tidak
dominan.

Anak penyandang cacat mulai diakui keberadaannya, dan oleh sebab itu mulai bediri
sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah perawatan, dan panti sosialyang secara khusus
mendidik dan merawat anak penyandang cacat. Mereka yang menyandang kecacatan
dipandang memiliki karakteristik yang bebeda dari orang kebanyakan, sehingga dalam
pendidikannya mereka memerlukan pendekatan dan metode khusus sesuai dengan
karakteristiknya. Oleh sebab itu pendidikan anak-anak penyandang cacat harus
dipisahkan (di sekolah khusus) dari pendidikan anak-anak lainnya. Konsep pendidikan
sepeti inilah yang disebut dengan Special Education (di Indonesia diterjemahkan menjadi
Pendidikan Luar Biasa atau Pendidikan Khusus), yang melahirkan system sekolah
segregasi (Sekolah Luar Biasa).

Di dalam konsep special education (PLB/Pendidikan Khusus) dan system pendidikan


segregasi, anak penyandang cacat dilihat dari aspek karakteristik kecacatannya (labeling),
sebagai dasar dalam memberikan layanan pendidikan, sehingga setiap kecacatan harus
diberikan layanan pendidikan yang khusus yang berbeda dari kecacatan lainnya (dalam
prakteknya terdapat sekolah khusus/ Sekolah Luar Biasa untuk anak tunanetra, tunarungu,
tunagrahita, dan tunadaksa). Oleh karena itu terdapat dikotomi antara pendidikan
khusus/Pendidikan Luar Biasa/ Sekolah Luar Biasa dengan pendidikan biasa/ sekolah
biasa, dianggap dua hal yang sama sekali berbeda. Dengan kata lain fokus utama dari
Special Education adalah label kecacatan bukan anak sebagai indvidu yang unik.

2. Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education)


Dalam konsep pendidikan kebutuhan khusus semua anak termasuk anak penyandang
cacat dipandang sebagai individu yang unik. Setiap individu anak memiliki perbedaan
dalam perkembangan dan memiliki kebutuhan khusus yang berbeda pula. Anak-anak
penyandang cacat memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar akibat dari
kecacatan yang dimilinya. Oleh karena itu fokus utama dari pendidikan kebutuhan
khusus adalah hambatan belajar dan kebutuhan anak secara individual (Miriam, 2001).
Pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) memamdang anak termasuk anak
penyandang cacat sebagai individu yang khas dan utuh, keragaman dan perbedaan
individu sangat dihormati.

Konsep pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) melihat kebutuhan anak
dari spektrum yang sangat luas, yaitu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan yang
bersifat khusus, oleh karena itu anak berkebtuhan khusus meliputi dua kategori yaitu anak
berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporary special needs) dan anak
kebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanently special needs). Anak
berkebutuhan khusus temporer/sementra (temporary special needs) adalah anak-anak
yang mengalami hambatan akibat dari faktor-faktor lingkungan seperti: (1) anak
mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat sering menerima kekerasan dalam
rumah tangga, (2) mengalami kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan kasar oleh
orang tuanya, (3) mengalami kesulitan kumulatif dalam membaca dan berhitung akibat
kekeliruan guru dalam mengajar atau (4) anak-anak yang mengalami trauma akibat dari
bencana alam yang mereka alami. Anak- anak sepeti ini memerlukan bantuan khusus
untuk mengatasi hambatan-hambatan yang dialaminya. Apabila mereka tidak
mendapatkan layanan pendidikan yang tepat sesuai dengan kebutuhannya, tidak mustahil
hambatan-hambatan tersebut akan menjadi permanen.

Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen (permanently special needs) adalah
anak-anak yang mengalami hambatan dan kebutuhan khusus akibat dari kecacatan
tertentu, misalnya kebutuhan khusus akibat dari kehilangan fungsi
penglihatan,kehilangan fungsi pendengaran, perkembangan kecerdasan/kognitif yang
rendah, ganggauan fungsi gerak/motorik dsb. Anak berkebutuhan khusus baik yang
bersifat temporer maupun yang bersifat permanen memerlukan layanan pendidikan yang
disesuaikan dengan hamabatan belajar dan kebutuhan-kebutuhannya. Bidang studi yang
mebahas tentang penyesuaian pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah
pendidikan kebutuhan khusus (Special Needs Education). Oleh sebab itu cakupan
wilayah pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas karena tidak dianalogikan
dengan lokasi atau tempat layanan yang bersifat khusus (sekolah khusus/sekolah luar
biasa seperti pada konsep pendidikn khusus/PLB (special education), tetapi lebih bersifat
fungsional yaitu layanan pendidikan bagi semua anak yang membutuhkan layanan
khusus akan pendidikan (special educational needs) di manapun mereka berada baik di
sekolah biasa, di sekolah khusus, dirumah (home schooling), di rumah sakit (bagi anak
yang rawat inap sangat lama dan meningalkan sekolah), maupun mungkin di lembaga-
lembaga perawatan anak. Anak-anak dengan diagnosis yang sama (misalnya : tunanetra
atau tunagrahita), dalam paradigma pendidikan khusus/luar biasa dilayani dengan cara
yang sama berdasarkan label kecacatannya. Sekarang disadari bahwa anak dengan
diagnosis medis yang sama ternyata dapat belajar dengan cara yang jauh berbeda. Dengan
kata lain, mereka dapat mempunyai kebutuhan pendidikan (special educational needs)
yang berbeda-beda (Miriam, 2001).
Diagnosis seperti yang dilakukan pada masa lalu menyebabkan anak-anak diberi label
ketunaan yang mengakibatkan gurunya memfokuskan aktivitas layanan pendidikan pada
keterbatasan yang disebabkan oleh kecacatanya. Ini mengakibatkan guru tidak menyadari
potensi yang ada pada diri anak. Pemberian label dan layanan pendidikan yang terlalu
dispesialisasikan menyebabkan banyak guru khusus kehilangan pemahaman yang holistic
tentang anak dan tidak mengunakan pendekatan holistic dalam pembelajaran. Ini
mengakibatkan timbulnya anemia pendidikan dan menghambat pengayaan.

Perlu dipahami perbedaan istilah pendidikan kebutuhan khusus (special needs education)
dengan istilah kebutuhan khusus akan pendidikan (special educational needs). Seperti
telah disebut sebelunya bahwa pendidikan kebutuhan khusus (special needs education)
adalah disiplin ilmu yang membahas tentang layanan pendidikan yang disesuiakan bagi
semua anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan pekembangan akibat dari
kebutuhan khusus tertertu baik yang bersifat temporer maupun yang besifat permanen.
Sementara itu istilah kebutuhan khusus akan pendidikan (special educational needs)
adalah kebutuhan, hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang dialami oleh
seorang anak secara individual.

Sejauh ini telah terjadi pergeseran atau pergerakan dalam cara berpikir dari pemahaman
yang didasarkan pada pengelompokkan anak menurut identitas atau lebel kecacatan
tertentu menuju ke arah pemahaman anak secara holisstik dan melihat anak sebagai
individu yang unik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan inklusif yang kini sedang marak dibicarakan, mencoba membantu
memberikan hak dasar pendidikan yang sama bagi Anak Berkebutuhan Khusus dengan anak
normal lainnya untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Melalui pendidikan
inklusif, anak berkelaian dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya. Bergabungnya anak-anak berkelainan dalam lingkungan belajar
bersama anak-anak normal dapat dilakukan dengan 3 model, yaitu: mainstream, integrative, dan
inklusi.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan inklusif bertujuan untuk memberikan kesempatan
yang seluas-luasnya dan mewujudkan penyelenggaran pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, dan tidak diskriminatif kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan
fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai kebutuhan dan kemmpuannya.
Prinsip inklusi mendorong setiap unsur yang terlibat di dalam proses pembelajaran
mengusahakan lingkungan belajar dimana semua siswa dapat belajar secara efektif bersama-
sama. Secara umum prinsip penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia antara lain: (a)
prinsip pemerataan dan peningkatan mutu, (b) prinsip kebutuhan individual, (c) prinsip
kebermaknaan, (d) prinsip keberlanjutan, dan (e) prinsip keterlibatan.
Sejarah perkembangan pendidikan inklusif diawali oleh Negara Scandinavia. Yang
dilanjutkan dengan konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia
tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok. Lebih lanjut, pada tahun 1994 diselenggarakan
konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol. Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan
konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung. Pada tahun 2005 diadakan
simposium Internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi
DAFTAR PUSTAKA

Choiri, Abdul Salim. dkk. 2009. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus secara Inklusif.
Bamper. 2011. http://bamperxii.blogspot.com/2008/12/pendidikan-iklusif.html diakses pada tanggal 2
Maret 2012
Ifdlali. 2010. http://smanj.sch.id/index.php/arsip-tulisan-bebas/40-artikel/115-pendidikan inklusi-
pendidikan-terhadap-anak-berkebutuhan-khusus di akses pada tanggal 3 Maret 2012
Kamalfuadi.2011. http://fuadinotkamal.wordpress.com/2011/04/12/pendidikan-inklusif/ diakses pada
tanggal 3 Maret 2012
Tarmansyah. 2009.http://pendidikankhusus.blogspot.com/2009/05/konsep-pendidikan-
inklusi_17.html diakses pada tanggal 3 Maret 201

Anda mungkin juga menyukai