Anda di halaman 1dari 16

Inklusi, Solusi Atau Masalah

Inklusi, Solusi Atau Masalah

Pendidikan untuk anak yang berkebutuhan khusus telah dicantumkan dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam
kebijakan tersebut memberi warna baru bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus.

Ditegaskan dalam pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus
merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki
kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan
khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.

Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak
berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini
diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor Tahun tentang Pendidikan Khusus dan
Pendidikan Layanan Khusus.

Melalui pendidikan inklusi ini diharapkan anak berkelainan atau berkebutuhan khusus dapat
dididik bersama-sama dengan anak normal lainnya. Tujuannya adalah tidak ada kesenjangan
di antara anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Diharapkan pula anak
dengan kebutuan khusus dapat memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya.

Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak
berkebutuhan khusus yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu
anak yang berkebutuhan khusus perlu diberkan kesempatan yang sama dengan anak normal
lainnya untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di jenjang pendidikan yang ada.

Namun untuk masa sekarang, jenjang pendidikan yang disiapkan untuk menerapkan
kebijakan sekolah inklusi ini adalah pendidikan sekolah dasar (SD). Dan pendidikan inklusi
pada jenjang sekolah dasar diharapkan mampu untuk memecahkan salah satu persoalan
dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus atau anak berkelainan.

Jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan inklusi merupakan solusi pemberian pelayanan
pendidikan yang diberikan kepada seluruh anak-anak. Perlu adanya partisipasi masyarakat
dan kerjasama yang sinkron antara orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat.
Sekolah Inklusi, Alternatif Lain SLB

“Mereka yang terkucil dari pendidikan sering kali tidak terlihat; jika terlihat, mereka tidak
diperhitungkan, jika diperhitungkan, mereka tidaklah dilayani. Pendidikan Inklusif
sebenarnya berarti membuat yang tidak tampak menjadi tampak dan memastikan semua
siswa mendapatkan hak memperoleh pendidikan dengan kualitas yang baik”

Demikian diungkapkan Direktur UNESCO’s PROAP, Bangkok Sheldon Shaeffer. Dia


mencoba meningkatkan dan memperluas jaringan pemberdayaan pendidikan terutama
mengarah pada penyetaraan di bidang pendidikan yaitu ”Konsep Pendidikan Untuk Semua
(PUS) atau Education For All (EFA)”.
Sangatlah penting untuk disadari bahwa keragaman di antara manusia adalah normal dan
demikian juga berbagai kategori orang dalam kecacatan berbeda. Seorang guru bisa saja
mempunyai dua murid tunanetra yang membutuhkan pendekatan pembelajaran yang sangat
berbeda karena keragaman itu normal baik diantara orang-orang yang tanpa dan yang
memiliki kecacatan.

Pendidikan bagi anak-anak yang kurang beruntung (cacat) sangat penting dalam upaya
mencapai kesejahteraan sosial. Meskipun di Indonesia pendidikan merupakan suatu
kewajiban bagi semua anak berusia 7-15 tahun, tanpa kecuali, namun anak-anak yang kurang
beruntung dan yang memiliki kebutuhan khusus secara tidak resmi mendapat pengecualian.

Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap
warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini
menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama
dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
Mainstream, Integrasi & Inklusi

Mainstreaming, integrasi, dan inklusi merupakan penjabaran situasi dimana anak berkelainan
/ dengan kecacatan diperbolehkan belajar bersama dengan teman sebayanya tanpa kecacatan
dengan anggapan mereka dapat menyesuaikan kepada sistem mainstream dan peraturannya
(mainstreaming/integrasi). Hanya inklusi mencerminkan hak asasi manusia dan isu keadilan
sosial dari pendidikan eksklusif mungkin akibat kebijakan dan praktek yang kaku dalam
sistem pendidikan mainstream.

Mainstream adalah sistem pendidikan yang menempatkan anak-anak cacat di sekolah-sekolah


umum, hanya jika mereka mengikuti kurikulum akademis yang berlaku, dan guru juga tidak
harus melakukan adaptasi kurikulum. Mainstream kebanyakan diselenggarakan untuk anak
yang sakit yang tidak berdampak pada kemampuan kognitif, seperti epilepsi, asma dan anak-
anak dengan kecacatan (dengan fasilitas peralatan, seperti alat bantu dengar dan buku-buku
Braille) dan juga mereka yang memiliki tunadaksa.

Integrasi berarti menempatkan siswa yang berkelainan dalam kelas dengan teman-teman
sebaya mereka yang tidak memiliki kecacatan. Sering terjadi di sekolah integrasi dimana
anak-anak hanya mengikuti pelajaran-pelajaran yang dapat mereka ikuti dari gurunya, dan
untuk kebanyakan mata pelajaran akademis, anak-anak ini menerima pelajaran pengganti di
kelas berbeda, terpisah dari teman mereka. Penempatan terintegrasi tidak sama dengan
integrasi pengajaran dan integrasi sosial, karena ini sangat tergantung pada dukungan yang
diberikan sekolah (dan dalam komunitas yang lebih luas).

Inklusi adalah sebuah filosofi pendidikan dan sosial. Mereka yang percaya inklusi meyakini
bahwa semua orang adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan masyarakat, apapun
perbedaan mereka. Dalam pendidikan ini berarti bahwa semua anak, terlepas dari
kemampuan maupun ketidak mampuan mereka, latar belakang sosial-ekonomi, suku, latar
belakang budaya atau bahasa, agama atau jender, menyatu dalam komunitas sekolah yang
sama.

Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak yang
memiliki kelainan, seperti tuna netra, tuna daksa, tuna grahita, tuna rungu, maupun tuna laras.
Secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia
tentang Pendidikan Berkelainan bulan Juni 1994 bahwa prinsip mendasar dari pendidikan
inklusi adalah (selama memungkinkan) semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa
memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.

Sekolah inklusi dimulai dengan filosofi bahwa semua anak dapat belajar dan tergabung dalam
sekolah dan kehidupan komunitas umum. Keanekaragaman antar anak dihargai, dan diyakini
bahwa keanekaragaman menguatkan kelas dan menawarkan semua kesempatan yang lebih
besar untuk pembelajaran anak.

Mereka yang percaya inklusi meyakini bahwa semua orang adalah bagian yang berharga
dalam kebersamaan masyarakat, apapun perbedaan mereka. Dalam pendidikan ini berarti
bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan maupun ketidak mampuan mereka, latar
belakang sosial-ekonomi, suku, latar belakang budaya atau bahasa, agama atau jender,
menyatu dalam komunitas sekolah yang sama.

Lawan kata inklusi adalah eksklusi yang berarti penolakan, keterbatasan dan
ketidakberdayaan dan sering mengarah kepada frustasi dan kebencian. Inklusi dan pendidikan
inklusif tidak mempermasalahkan apakah anak dapat mengkuti program pendidikan, namun
melihat para guru dan sekolah agar dapat mengadaptasi program pendidikan bagi kebutuhan
individu.

Inklusi Sebagai Model Pendidikan Khusus

Model pendidikan khusus tertua adalah Model Segregasi yang menempatkan anak
berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Di Indonesia
pendidikan khusus ini dinamakan Sekolah Luar Biasa (SLB). Sekolah-sekolah ini memiliki
kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus. Dari
segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan
administrator. Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi
merugikan. Disebutkan oleh Reynolds dan Birch (1988), antara lain bahwa model segregatif
tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal,
karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara
filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat
berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal.

Model yang muncul pada pertengahan abad XX adalah Model Mainstreaming. Belajar dari
berbagai kelemahan model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai
alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari
yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus
sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak
berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus
ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis / tingkat
kelainannya. Secara hirarkis, Deno (1970) mengemukakan alternatif sebagai berikut:

1. Kelas biasa penuh

2. Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di dalam,

3. Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di luar kelas,


4. Kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa,

5. Kelas khusus penuh,

6. Sekolah khusus, dan

7. Sekolah khusus berasrama.

Di Amerika Serikat, diperkirakan hanya sekitar 0,5% anak berkelainan yang bersekolah di
sekolah khusus, lainnya berada di sekolah biasa (Ashman dan Elkins,1994). Sedangkan di
Inggris, pada tahun 1980-1990-an saja, peserta didik di sekolah khusus diproyeksikan
menurun dari sembilan juta menjadi sekitar dua juta orang, karena kembali ke sekolah biasa
(Warnock,1978), dan ternyata populasi peserta didik di sekolah khusus kurang dari 3% dari
jumlah anak berkelainan (Fish,1985).

Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990)
mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di
kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang,
tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan
yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi
juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan
saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar
kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.

Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi adalah
penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler.
Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak
berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. Sementara itu, Sapon-
Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan
pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah
terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya
perombakan sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan
khusus setiap anak, sehingga sumber belajar menjadi memadai dan mendapat dukungan dari
semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya

Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal)
untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi oleh
kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak
dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an,
namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences di
Amerika Serikat. Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan
di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Hasil analisis yang
dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian menunjukkan bahwa
pendidikan inklusi berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial
anak berkelainan dan teman sebayanya.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia sampai saat ini memang masih


mengundang kontroversi (Sunardi, 1997). Namun praktek sekolah inklusif memiliki berbagai
manfaat. Misalnya adanya sikap positif bagi siswa berkelainan yang berkembang dari
komunikasi dan interaksi dari pertemanan dan kerja sebaya. Siswa belajar untuk sensitif,
memahami, menghargai, dan menumbuhkan rasa nyaman dengan perbedaan individual.
Selain itu, anak berkelainan belajar keterampilan sosial dan menjadi siap untuk tinggal di
masyarakat karena mereka dimasukkan dalam sekolah umum. Dan dengan sekolah inklusi,
anak terhindar dari dampak negatif dari sekolah segregasi, antara lain kecenderungan
pendidikannya yang kurang berguna untuk kehidupan nyata, label “cacat” yang memberi
stigma pada anak dari sekolah segregasi membuat anak merasa inferior, serta kecilnya
kemungkinan untuk saling bekerjasama, dan menghargai perbedaan.

Manfaat sekolah inklusi bukan hanya dirasakan oleh si anak, namun berdampak pula bagi
masyarakat. Dampak yang paling esensial adalah sekolah inklusi mengajarkan nilai sosial
berupa kesetaraan. Berdasarkan pengalaman dari sekolah segregasi, anak berkelainan disorot
sebagai ancaman bagi masyarakat, maka dari itu harus dipisahkan, dan dikontrol oleh
sekolah, bukan dibantu.

Selain belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan
khusus yang diberikan di kelas segregasi menunjukkan hasil yang lebih positif, biaya
penyelenggaraan sekolah segregasi relatif lebih mahal dari pada sekolah umum. Lagipula,
banyak anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia
sekolah khusus yang dekat, sehingga menjadikan pendidikan inklusi sebagai jawaban
kontemporer bagi anak-anak berkelainan dan berkebutuhan khusus.
Meneropong Wajah Sekolah Inklusi

Banyak yang belum tahu dan belum mengerti seperti apakah sekolah inklusi itu. Bahkan
istilah ”inklusi” itu sendiri terdengar begitu asing bagi para masyarakat awam. Atau mungkin
hanya para orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah inklusi yang mengetahui
sistem pendidikan baru ini. Walaupun demikian masyarakat yang tahu akan hal ini pun belum
tentu mengerti dan mengetahui persepsi awal yang sebenarnya.

Menurut Idayu, Koordinator Sekolah Inklusi di Kota Malang, Sekolah inklusi adalah sekolah
yang menerapkan pendidikan inklusi yaitu pendidikan yang memungkinkan semua anak
berkumpul dengan yang lainnya, dengan setting pembelajaran ramah anak.

Istilah sekolah inklusi kini telah memperolah popularitas, khususnya dalam literatur Inggris
dan Amerika . Perubahan terminologi ini dapat dipandang sebagai kritik terhadap
kecenderungan dalam kebijakan integrasi pendidikan. Kritik tersebut terfokus pada apa yang
dianggap oleh sebagian orang sebagai setengah hati, ketika sekolah reguler lokal dibuka
hanya untuk sebagian kelompok siswa yang berkebutuhan khusus saja atau ketika kelas
khusus atau “sekolah khusus” dirancang sebagai unit khusus dalam sekolah reguler. Istilah
UNESCO untuk sekolah inklusi ini yaitu Lingkungan yang Inklusi dan Ramah terhadap
Pembelajaran (LIRP) sedangkan istilah dari UNICEF yaitu Sekolah Ramah Anak (SRA).

Beberapa ide utama dari prinsip sekolah inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut,:

* Bahwa setiap anak merupakan bagian integral dari komunitas lokalnya dan kelas atau
kelompok reguler.
* Bahwa kegiatan sekolah diatur dengan sejumlah besar tugas belajar yang kooperatif,
individualisasi pendidikan dan fleksibilitas dalam pilihan materinya.
* Bahwa guru bekerjasama dan memiliki pengetahuan tentang strategi pembelajaran dan
kebutuhan pengajaran umum, khusus dan individual, dan memiliki pengetahuan tentang cara
menghargai pluralitas perbedaan individual dalam mengatur aktivitas kelas.

Sekolah inklusi bukanlah sekedar sekolah yang menerapkan konsep penyetaraan terhadap
semua manusia dalam memperoleh pendidikan, tapi juga membutuhkan settinggan ramah
anak didalamnya. Setting ramah anak ini sangat membantu dan mendorong kemajuan
perkembangan penerapan pendidikan inklusi di sekolah.

Dimana para ABK sangat membutuhkan dukungan dan motivasi yang mampu mendorong
mereka untuk berinteraksi dengan lingkungannya, maka komponen utama yang paling
mereka butuhkan di sekolahnya adalah sebuah keramahan, yang menerjamahkan pada
mereka suatu penunjukkan kondisi penerimaan terhadap diri mereka.

Ada lima dimensi sekolah ramah anak yang diungkapkan Delegasi Cina pada Lokakarya Asia
Selatan tentang Pendidikan Inklusi dan Sekolah Ramah Anak di Delhi bulan Nonember 2006
kemarin, yaitu: (1) Secara proaktif inklusi – pencarian anak; (2) Sehat, aman, dan protektif;
(3) Partisipasi masyarakat; (4) Efektif dan Terpusat pada Anak; (5) Responsif Jender. Kelima
dimensi ini digunakan untuk memonitori implementasi rintisan sekolah ramah anak.
Sekolah Inklusi Siap Tampung ABK

Idayu Astuti, Koordinator Sekolah Inklusi di Kota Malang menuturkan ”Seharusnya semua
orang (semua siswa) boleh bersekolah di sekolah ini baik yang normal maupun termasuk
siswa ABK. Namun disayangkan masyarakat belum siap dengan diadakannya sekolah
inklusi.” Jadi Dinas Pendidikan Kota Malang (Dindik) memutuskan bagi siswa yang ABK,
hanya yang sudah siap saja seperti anak yang terkena autis ringan dan tunadaksa, serta
ditetapkan pula bahwa dalam satu kelas maksimal terdapat tiga siswa ABK dan sekolah yang
mempunyai status sekolah inklusi disarankan tidak menerima siswa ABK pindahan,
lanjutnya.

Wanita Pendiri Yayasan Idayu ini menjelaskan bahwa tiap sekolah ditakutkan mengalami
suatu hal yang dapat mengganggu proses belajar mengajar di sekolah tersebut jika mereka
dibolehkan menerima ABK pindahan. Karena siswa ABK yang sejak awal tidak di tangani
oleh pihak sekolah akan cenderung memiliki tingkat resiko yang lebih tinggi.

Hal ini pun disetujui oleh Mutini Kepala Sekolah SDN Percobaan 1 Malang, yang juga
beranggapan bahwa akan terjadi ketidakefektifan belajar bagi siswa ABK jika dalam satu
kelas terdapat banyak siswa ABK.

”Minat masyarakat yang ingin menyekolahkan calon siswa ABK sangat tinggi. Namun kami
membatasi calon siswa yang akan bersekolah di SDN ini. Kalau terlalu banyak siswa ABK
nanti malah mengganggu siswa yang lain” ungkap wanita yang dulu sempat menjadi Ketua
FKSI (Forum Komunikasi Sekolah Inklusi) itu.

Ia juga menanggapi bahwa selain timbulnya ketidakefektifan dalam proses belajar mengajar
dengan adanya siswa ABK pindahan, yang kedua adalah faktor kuantitas siswa ABK itu
sendiri.

”Ya sekolah ini tidak menerima siswa pindahan. Kami menerima siswa ABK mulai dari kelas
1. Karena jika bukan binaan sekolah ini sejak awal, nanti malah merepotkan” ujarnya.
Masalahnya sekolah ini juga ingin nilai itu tetap selalu bagus walaupun ada anak-anak ABK,
makanya rekruitnya juga baru. Kalau ndak ada kebijakan seperti itu banyak orang yang ingin
menyekolahkan calon siswa ABK nya kesini, lanjutnya.

Kenyataan ini menunjukkan pada publik bahwa pendidikan inklusi yang kini berjalan belum
terealisasi secara maksimal. Tidaklah mengherankan jika paradigma baru ini belum mampu
diterima masyarakat sepenuhnya. Maka itu seperti yang telah tertulis, partisipasi masyarakat
merupakan komponen yang sangat penting bagi keberhasilan program baru ini. Agaknya
pemerintah harus lebih gencar dalam mengupayakan realisasi pendidikan inklusi ini, salah
satunya melalui pemberdayaan partisipasi masyarakat dalam pendidikan inklusi.
Mengapa Sekolah Inklusi

Pendidikan sangat dibutuhkan bagi anak-anak untuk mencapai kesejahteraan sosialnya. Tak
terkecuali anak-anak yang kurang beruntung baik dalam segi fisik maupun mental. Namun
kenyataan di lapangan, anak-anak yang kurang beruntung dan berkebutuhan khusus menjadi
anak yang dapat dikatakan mendapat pengecualian.

Rencana pendidikan nasional, pendidikan untuk belum semua terpenuhi. Sebanyak 49.647
anak berkebutuhan khusus dari total sekitar satu juta anak berkebutuhan khusus yang dapat
mengenyam pendidikan.

Eksklusivitas dalam pendidikan menutup kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus dalam
memperoleh pendidikan. Sikap eksklusivitas semakin membuat anak yang kurang beruntung
dan berkebutuhan khusus semakin terpinggirkan.

Tujuan dari dibentuknya sekolah inklusi adalah untuk menekan dampak yang ditimbulkan
oleh sikap eksklusif. Sekolah inklusi juga memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan
khusus dan kurang berutung dapat mengenyam pendidikan.

Partisipasi masyarakat dan adanya kemandirian menetukan berjalannya kebijakan sekolah


inklusi ini. Karena dalam sekolah inklusi ini dibutuhkan kerjasama antara masyarakat dengan
pengajar di kelas untuk menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima
keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.

Selain itu dalam sekolah inklusi, guru-guru diharuskan untuk mengajar secara interaktif. Hal
ini nantinya dapat menciptakan komunikasi antar guru dan siswa, sehingga dapat timbul
kedekatan. Dengan adanya kedekatan tersebut akan menghilangkan adanya isolasi profesi.
Dalam sekolah inklusi, makna orang tua juga berperan dalam menentukan perencanaan baik
dari segi perencanaan kurikulum di sekolah maupun bantuan belajar di rumah.
R13

Penerapan Sekolah Inklusi Layaknya penerimaan siswa-siswa reguler biasa, para siswa ABK
pun untuk dapat diterima oleh sekolah inklusi perlu melewati ujian atau test terlebih dahulu.
Di Malang khususnya test dilakukan di sekolah masing-masing siswa ABK yang ingin di
masuki, namun perkembangan terbaru yang ada kini agar test yang dilakukan lebih efisien
dan efektif maka ditentukan pusat sumber untuk melakukan tes siswa ABK yang nantinya
akan ditempatkan di salah satu sekolah inklusi yaitu di Sekolah Bakti Luhur.

Bakti Luhur merupakan sekolah luar biasa (SLB) yang terbesar se-Asia Tenggara. ”Kita
sudah melakukan kerjasama dengan pihak Bakti luhur. Pak Sofyan sudah menandatangi
MoU, maka itu Bakti Luhur kini menjadi pusat sumber test ABK.” ujar Idayu, ketua
kordinasi sekolah inklusi di Malang, saat ditemui di Sekolah Bakti Luhur. Sistem tes yang
berpusat seperti ini dirasa lebih memudahkan dalam pengkoordinasian seluruh sekolah
inklusi di Malang ini.

Dengan adanya pusat sumber ini, maka nantinya pelatihan-pelatihan yang akan diberikan
kepada GPK (Guru Pembimbing Khusus) akan diadakan disini (red. Bakti Luhur). Pelatihan
ini dilakukan dengan mengirim para GPK ke Bakti Luhur secara periodik. Pelatihan yang
sering dilakukan yaitu terutama pelatihan untuk menangani anak-anak autis, karena para GPK
sering terkendala dengan ABK yang mengalami autis.

Penerapan sistem pembelajaran yang dilakukan pada sekolah inklusi tidak memiliki suatu
sistem khusus, proses pembelajaran berjalan layaknya sekolah reguler biasa. Hanya saja
lingkungan yang dibangun lebih pada konsep lingkungan yang ramah anak, hal ini
dikarenakan agar ABK merasa lebih nyaman dan mampu menyesuaikan diri terhadap
lingkungannya dengan baik.
Tantangan Sekolah Inklusi

Tidak seperti layaknya SLB yang secara keseluruhan memang dikhususkan untuk menangani
siswa ABK, tentunya banyak kesulitan yang terjadi dalam menerapkan sekolah inklusi ini.
Kesulitan yang dihadapi terutama dalam penanganan ABK itu sendiri, dimana ABK yang
harus ditangani bervariasi jenis kelainannya. ABK yang selama ini dianggap paling sulit
diatasi yaitu ABK yang mengidap autis, karena biasanya prilaku dari sang anak bersifat
mengganggu. Dalam hal ini, GPK lah yang paling merasa tertantang untuk menyelesaikan
permasalahan ini.

Selain itu, dari segi ketenagaan sekolah inklusi yang ada saat ini kebanyakan masih kurang
memadai. Hal ini dapat terlihat dari beberapa sekolah yang masih belum memiliki ruang BK
(bimbingan konseling), tidak adanya alat bantu peraga bagi ABK khusus yang
memerlukannya, dan sedikitnya GPK yang harus menangani banyak ABK dalam suatu
sekolah inklusi. Namun, sejauh ini selalu diusahakan untuk terus memperbaiki sistem fasilitas
yang ada, sehingga dalam proses penerapan pendidikan inklusi menjadi lebih baik. Hal ini
diakui oleh Idayu, ”Dindik selalu mengusahakan ada APBD untuk sekolah inklusi, dan ini
nantinya untuk pendanaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan sekolah inklusi”.

Yang paling menantang sebenarnya adalah mensosialisasikan konsep daripada sekolah


inklusi ini kepada masyarakat. Beberapa sekolah inklusi serentak menjawab hal yang sama
ketika ditanya mengenai kendala yang dialami ”Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat
tentang sekolah inklusi ini sehingga banyak orang tua siswa yang masih menentang.”
Kendala ini terjadi mungkin karena kurangnya tindak lanjut dari tiap-tiap sekolah inklusi,
sehingga kurang tersosialisasikan juga konsep pendidikan inklusi ini.

Penyelenggaraan Inklusi, Perlu Kesiapan Sekolah

Kemunculan sekolah inklusi masih mengalami banyak kendala dalam peneraannya. Jeanne
Leonardo, salah satu psikolog di Kota Malang, memaparkan beberapa perihal menyangkut
sekolah inklusi agar berjalan dengan lebih baik.

Siapakah yang berhak bersekolah di sekolah inklusi?

UNESCO menyatakan bahwa sekolah inklusi ini diperuntukkan bagi semua anak usia
sekolah yang tidak memiliki kesempatan sekolah. Contohnya yaitu anak jalanan, anak autis,
dll yang tergolong dalam kategori ABK.

ABK yang seperti apakah yang mampu masuk sekolah inklusi?

Syarat anak ABK yaitu anak yang kemampuannya ada di tingkat D (IQ 50-70). Kalau IQ 80
sudah masuk pada tingkat anak normal.

Bagaimanakah agar sekolah inklusi ini mampu berjalan dengan baik?

Ya harus ada kesiapan dari pihak yang normal

Bagaimana pandangan anda tentang sekolah inklusi ( dari segi psikolog)?

Kalau menurut saya inklusi itu ada potitifnya dan ada negatifnya. Positifnya anak-anak yang
berekonomi rendah dapat tetap sekolah dan segi negatifnya yaitu persepsi yang salah dari
masyarakat.

Efektifkah adanya sekolah inklusi ini?

Untuk efektifitasnya, sekolah inklusi ini sangat efektif sekali untuk dapat merangkul mereka
(red. ABK) semua.

Apa saja yang seharusnya ada di sekolah inklusi ini?

Sarana sekolah dan kesiapan mental harus berjalan bersamaan. Sarana teknis yang ada ya
tergantung dari muridnya dan tergantung kebutuhan pihak sekolah. Fasilitas secara umumnya
yaitu semua hal-hal yang dirancang untuk anak ABK, jadi kembali pada ABKnya. Pada
dasarnya semua anak ABK dapat masuk sekolah inklusi tidak hanya yang nilainya D, asalkan
intelektual mencukupi untuk masuk sekolah reguler. Dan untuk lingkungannya, sekolah
inklusi ini lingkungannya harus ramah terhadap mereka.

Apakah basic GPK harus dari sajana psikologi?

Oh, gak harus. S1 Psikologi itu hanya alternatif, lebih gampang jika lulusannya dari sarjana
IKIP Ilmu Kependidikan.

Apa saja yang harus dimikili GPK?

Sebenarnya siapa saja bisa jadi GPK, orang luar juga bisa jadi GPK tapi harus belajar dari
awal. Syarat umum untuk GPK itu sendiri adalah harus memiliki rasa tanggung jawab yang
tinggi, sayang anak, dan komitment yang kuat.

Lalu bagaimana dengan para psikolog? Bukankah sekolah inklusi ini membutuhkan
psikolog?

Iya tentunya seperti itu. Untuk psikolog itu sendiri harusnya terjub langsung ke sekolah-
sekolahnya dan melihat perkembangan sekolah inklusi tersebut.

Apa harapan anda sebagai psikolog terhadap sekolah inklusi ini?

Harapan saya, agar sekolah inklusi ini dapat berjalan dengan lancar. Kemudian pemerintah
juga lebih memperhatikan dan mempersiapkan segalanya baik masyarakat dan intern sekolah.
Selain itu, adanya sosialisasi dan penyuluhan gratis juga akan sangat membentu
perkembangan sekolah inklusi ini menjadi lebih baik. Untuk yang lebih utamanya harus ada
kesiapan dari pihak internalnya.
Menguak Kontroversi Sekolah Inklusi

Paradigma baru yang terjadi dalam pendidikan melalui hadirnya konsep baru pendidikan
khusus yaitu berupa sekolah inklusi, menghasilkan berbagai issue yang terdengar dalam
masyarakat. Ini merupakan kontroversi awal bagi hadirnya new product di dunia pendidikan
yang disebut “Education For All (EFA)”. Sebenarnya ini bukanlah suatu produk baru lagi,
namun para ilmuan pendidikan baru menyadari bahwa pendidikan yang selama ini ada
sebenarnya adalah hak semua manusia yang pantas untuk mereka tuntut, entah itu untuk
manusia normal maupun manusia yang berkebutuhan khusus.

EFA merupakan suatu kesadaran publik yang membawa banyak pembenahan pada
pendidikan yang selama ini telah ada. Perkembangan pendidikan luar biasa (PLB) yang
terbukti melalui hadirnya pendidikan inklusi adalah suatu realisasi dari program EFA.

Bagi sebagian besar masyarakat pendidikan inklusi sangatlah baik untuk diterapkan di semua
sekolah. Secara teoritis pendidikan inklusi ini memanglah sebuah pendidikan untuk semua
orang. Tetapi jika dilihat dalam realisasinya, di luar negeri pendidikan inklusi lebih
cenderung mensolusikan bagi permasalahan marginalisasi dalam hal minoritas etnis
sedangkan di Indonesia khususnya Kota Malang lebih cenderung pada permasalahan
marginalisasi bagi anak berkebutuhan khusus (ABK).

Sejauh ini, di Kota Malang tidak terdapat perbedaan pendapat yang begitu berarti, semua
mampu menyamakan persepsi tentang pendidikan inklusi yang perlahan-lahan ini mulai
terealisasikan. Namun, bagaimanakah kondisi pendidikan inklusi di Ibukota kita, yang
berperan sebagai tempat pijakan awal hadirnya pendidikan inklusi di Indonesia. Ternyata
tidak sama adem ayemnya dengan kondisi realisasi yang terjadi di Kota Malang. Mungkin hal
ini disebabkan oleh perkembangan realisasi pendidikan inklusi di Ibukota (Jakarta) yang telah
jauh lebih maju dibandingkan ”Tahap Melangkah” yang sedang dijalani oleh Kota Malang.

Sebuah kontroversi terjadi ketika dalam persyaratan penerimaan murid baru sekolah
menengah atas (SMA) tahun 2005 dicantumkan persyaratan bahwa calon siswa tidak boleh
memiliki cacat fisik yang mengganggu kegiatan belajar mengajar.

”Itu sama saja dengan melegalkan stigmatisasi terhadap orang cacat yang secara kultural
telah lama diterapkan di sekolah ketika menerima siswa baru,” ucap Presiden Penyandang
Cacat Indonesia (PPCI) Siswadi. Menurut Siswadi, kebijakan itu sangat bertentangan dengan
kebijakan sekolah inklusi (sekolah umum yang memberi peluang handicap yang memiliki
nilai seleksi nasional tinggi) yang dibangun pemerintah.

Hal itu, ujarnya, juga bertentangan dengan UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat
dimana penyandang cacat diberi kesempatan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk
pendidikan.

Padahal sekolah khusus penyandang cacat sendiri, ujarnya, sangat tidak mencukupi
jumlahnya. Sekolah Luar Biasa (SLB) hanya ada 1350 sekolah di seluruh Indonesia. Jika
rata-rata hanya 1 SLB untuk 4 kecamatan. ”Mobilitas mereka hampir tidak mungkin. Antar
desa saja sulit,” sesalnya. Ia sadar di Indonesia banyak sekolah yang tidak memiliki fasilitas
khusus bagi orang cacat memperoleh pendidikan yang dapat memudahkan kegiatan belajar
mengajar. ”Justru itu yang menimbulkan diskriminasi,” katanya.

Padahal target Asia Pasific dimana Indonesia turut menandatanganinya di tahun 2002,
sekurangnya 75 % anak cacat usia sekolah bisa memperoleh pendidikan. Saat ini, ujarnya,
baru 5 % dari 1,5 juta anak usia sekolah yang memperoleh pendidikan. ”Yang sekarang
sekolah baru 63 ribu di seluruh Indonesia,” katanya.

Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI, Margani M. Mustar,
mengakui dalam penerimaan siswa baru tahun 2005 mensyaratkan siswa baru tidak memiliki
cacat fisik yang dapat mengganggu kegiatan belajar mengajar. ”Juga bagi yang memiliki
kelainan yang sulit dideskripsi,” ujarnya.

Ia membantah persyaratan cacat fisik ini bersifat diskriminatif. ”itu untuk kepentingan belajar
mengajar juga,” jelasnya. Ia menuturkan, untuk sekolah menengah khusus seperti tata boga,
tata busana dan teknik memang memerlukan indera yang baik. ”Kalau buta warna kan mesti
pakai huruf braille. Dan tidak semua sekolah punya huruf braille,” ucapnya.

DKI Jakarta, ucapnya, juga mengembangkan sekolah inklusi. ”Di Jakarta ada beberapa,
karena sekolah inklusi kan butuh peralatan lebih dan penanganan khusus,” ujarnya.
Penyandang cacat, ujarnya, bisa datang ke Dikmenti untuk mendapat bantuan pendidikan.

Menanggapi persoalan ini Idayu sebagai orang yang telah terjun langsung menangani sekolah
inklusi di Kota Malang mengatakan bahwa ini semua terjadi dikarenakan masih banyak
masyarakat yang kurang meneriman siswa ABK.
Ternyata di balik kesempurnaan pendidikan inklusi yang di elu-elukan para pakar pendidikan,
memiliki sebuah keterbatasan, yang dimana siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)
tetaplah tidak mampu melangkah sejajar dengan siswa yang normal. Akankah inklusi mampu
terus merambah hingga jejang perguruan tinggi?

Kontroversi ini menunjukkan bahwa kesenjangan yang terjadi antara siswa ABK dan siswa
normal hanya sebatas meminimalisir, tidak dapat dihilangkan. Inklusi agaknya bukan solusi
terbaik bagi permasalahan marginalisasi yang terjadi di dunia pendidikan. Mungkinkah akan
ada lagi pendidikan-pendidikan lain yang menawarkan perubahan bagi permasalahan
maginalisasi ini.
Tidak Semudah Guru Reguler

Sebelumnya Santi adalah seorang guru di salah satu SLB di Kota Malang sekitar 1,5 tahun.
Wanita yang bernama lengkap Santi Dwi Puspitaningrum mengakui ketika ada program
sekolah inklusi, dirinya langsung tertarik dan ingin menjadi GPK. Wanita asli malang ini juga
menuturkan bahwa syarat untuk menjadi GPK itu adalah harus tahu apa yang akan kita
dihadapi karena nantinya kita akan menghadapi anak-anak ABK dan GPK itu minimal harus
bergelar Spd PLB dan sarjana psikologi.

Untuk menjadi GPK ternyata tidaklah semudah yang dikira layaknya guru-guru reguler yang
ada. Santi menuturkan beberapa kesulitan yang ia rasakan selama menjadi GPK di SD
Pandan Wangi 3 yaitu: Pertama, pengalaman yang ia miliki tidak mencukupi untuk
menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di sekolah; Kedua, ada sesuatu yang baru yang
harus dihadapi. Santi mengakui karena pengalamannya yang sangat terbatas tersebut
sehingga menyulitkannya menghadapi sesuatu yang baru yang ia temui dalam penerapan
sekolah inklusi ini; Ketiga, tidak adanya alat peraga. Tidak hanya santi, mungkin seluruh
GPK akan merasa kesulitan tanpa adanya alat peraga yang dibutuhkan untuk menunjang
proses belajar ABK.

Berbica mengenai efektifitas sekolah inklusi, ia mulai mengeluarkan suara, ”Efektifitasnya


ini diukur darimana sudut pandang mana dulu, kalau dari aspek kelas reguler sekolah inklusi
ini kurang efektif karena ABK terutama yang memiliki kelainan autis biasanya suka
menganggu”. Ia juga menambahkan bahwa sejauh ini sosialisasi sekolah inklusi ini bagus dan
para wali murid juga telah menyetujuinnya, soal efektifitas memang perlu proses untuk
memaksimalkan sekolah inklusi.

1. Nama-nama responden atau nama di dalam berita diperhatikan lagi (misal, idayu menyebut
soyfan. Nama sofyan merujuk ke kadin pendidikan bernama shofwan)
2. kalimat langsung memakai ungkapan baku saja mengingat mereka bukan anak muda.
(misal, gak seharusnya tidak)
3. berita tidak memakai poin-poin dan biasakan gunakan bahasa jurnalistik bukan kalimat
seperti teori kuliah
4. Dinas pendidikan bukan disingkat Dindik, melainkan dindik. Kata Dindik merujuk ke
depDindik (pusat). Jika berada di dalam kutipan, lebih baik diganti Dindik.
5. Setiap kalimat harus didasarkan pada responden, bukan terkesan opini penulis. (misal, Mrs
X mengungkapkan….. atau ini diungkapkan Mrs X pada DIANNS saat dijumpai di ruang
kerjanya atau pernyataan tersebut disampaikan Mrs X dsb )

https://kavrella.wordpress.com/2010/06/16/inklusi-solusi-atau-masalah/
STUDI KASUS DALAM PENDIDIKAN INKLUSI
Nama : ERIC SUWARDANI

NIM : 08103244029

Tugas : Pendidikan Inklusi

1. Kasus 1

Di kelas III terdapat 2 anak lamban belajar. Kedua anak duduk berdua di pojok paling belakang
karena badan mereka yang besar dibanding anak lain. Ketika pembelajaran materi banjir guru
menggunakan media 14 cerita bergambar banjir dan kartu benar salah untuk mengecek pemahaman
siswa. Saat bercerita guru tidak memberikan perhatian untuk siswa lamban belajar dan kedua siswa
tersebut tampak tidak memperhatikan guru menyampaikan cerita. Dari awal sampai akhir kegiatan
pembelajaran guru hanya berdiri di depan kelas sehingga hanya anak yang duduk di depan yang
tampak aktif menanggapi guru.

Analisis kasus:

Terdapat strategi pembelajaran yang kurang tepat yaitu:

- Penempatan anak yang kurang menyatu dengan anak lain. Hal ini tentu malah akan menjauhkan
anak dari interaksi di kelas. Menempatkan anak di pojok paling belakang karena badan besar bukan
untuk dijadikan alasan. Guru bisa menempatkan anak di sisi kanan dan kiri kelas paling depan. Jadi
dengan posisi tersebut, anak tetap terpantau dan anak lain tidak tertutup badan anak yang besar.
Atau dengan mengatur posisi tempat duduk bentuk melingkar atau later U. Posisi guru berada di
posisi yang strategis dengan maksud supaya guru dalam menerangkan bisa lebih leluasa.

- Situasi ketika guru sedang menceritakan tentang banjir. Guru tidak memberikan perhatian untuk
siswa lamban belajar. Ditambah lagi anak tidak ada perhatian ketika guru menjelaskan. Guru harus
mampu menciptakan kondisi fisik dan psikis kelas yang kondusif. Sangat penting bagi seorang guru
memiliki jiwa perhatian lebih kepada anak-anak yang lamban belajar. Berilah kesempatan siswa
lamban belajar untuk berbicara atau sekedar menyampaikan sebatas yang ia pahami. Berilah
perhatian kepada anak reguler lain untuk ikut memberikan perhatian kepada siswa lamban belajar
tentang materi belajarnya. Tentu ini sangat positif dan akan menciptakan lingkungan belajar yang
kooperatif antara siswa dan guru.

- Sikap guru yang monoton. Hanya berdiri di depan kelas ketika menjelaskan sampai di akhir
pertemuan. Ini sangat tidak tepat. Seharusnya guru mampu memanfaatkan space ruang kelas untuk
melakukan interaksi dengan siswa. Siswa pun menjadi merasa diperhatikan, guru menjadi lebih
akrab dengan siswa. Guru bisa menunjuk 2 siswa yang lamban belajar untuk menyusun gambar
tentang banjir di depan kelas. Ini sebagai wujud peran aktif siswa lamban belajar di kelas.

2. Kasus 2
Di kelas II terdapat 1 siswa dengan hambatan mobilitas yang menggunakan kursi roda. Siswa
tersebut duduk sendiri di pojok paling belakang. Guru mengajarkan materi puting beliung dengan
media gambar. Guru lebih banyak berdiri di depan kelas sehingga tidak banyak berinteraksi dengan
siswa yang duduk di belakang termasuk ATD. Siswa tersebut juga tidak banyak berinteraksi dengan
siswa lain selain memang posisi tempat duduk yang menyulitkan siswa tersebut pemalu disepanjang
pelajaran. Siswa ATD lebih banyak diam.

Hal yang menjadi fokus pembahasan yaitu:

- Penempatan siswa ATD yang kurang tepat. Seakan siswa dipisahkan dari komunitas belajar hanya
karena menggunakan kursi roda. Guru bisa menyetting ruang kelas dengan space agak lebar di
bagian tengah kelas untuk mobilitasnya. Tempatkan anak di tengah-tengah antara meja kanan dan
kiri siswa reguler. Dengan begitu siswa bisa berjalan menggunakan kursi roda kedepan kebelakang.
Dan yang pasti anak posisikan yang dekat dengan papan tulis dan guru.

- Sikap guru yang monoton. Ini membuat siswa kehilangan perhatian terhadap materi. Ciptakan
interaksi antara guru dan siswa yaitu dengan memanfaat media gambar. Libatkanlah siswa untuk
menyusun gambar misalnya.

- Guru yang belum memahami muridnya. Siswa ATD lebih banyak diam. Seharusnya guru harus
pandai mengenali siswanya. Siswa ATD harus dilibatkan dalam pembelajaran. Sebagai contoh: siswa
menjelaskan tentang puting beliung di depan kelas meskipun mengguanakan kursi roda.

3. Kasus 3

Di kelas V terdapat 1 siswa gangguan penglihatan. Siswa duduk dipojok paling depan. Guru
menyampaikan materi gempa menggunakan media 16 cerita bergambar. Semua anak tampak
antusias kecuali siswa tunanetra. Selain bercerita guru memutarkan CD yang berisi materi gempa
seperti sandiwara radio. Siswa tunanetra tampak antusias tetapi siswa lain tetap kelihatan gelisah
dan ribut sendiri.

Hal yang kurang tepat yaitu:

- Mengajar siswa tunanetra harus tahu tentang karakteristik siswa tunanetra. Siswa tunanetra belajar
menggunakan indera nonvisual kecuali untuk yang low vision. Masih dimungkinkan untuk melihat.
Siswa tunanetra tidak cocok belajar menggunakan media yang sifatnya visual. Ada 2 jenis media.
Guru bisa mngkombinasikan kedua jenis media ke dalam satu waktu pembelajaran. Media gambar
untuk siswa reguler dan CD untuk siswa reguler dan tunanetra. Guru menjelaskan gempa dengan
gambar dan diputar CD untuk penjelasan yang lebih lengkap. Untuk menjalin interaksi, jalinlah
sebuah forum diskusi. Berilah kesempatan kepada siswa tunanetra untuk berbicara tentang materi
gempa. Dudukkan siswa tunanetra dekat guru agar supaya siswa mudah berinteraksi dan guru lebih
mudah mengawasinya.

4. Kasus 4

Di kelas III terdapat 1 siswa hiperaktif yang tidak dapat duduk diam di kelas. Guru mengajarkan
gunung berapi dengan metode ceramah dan menuliskan di papan tulis sepanjang guru
menyampaikan materi anak berlari di kelas sehingga anak-anak yang lain juga tidak dapat
memusatkan perhatian.

- Guru tidak tepat menggunakan metode ceramah apabila di kelas terdapat anak hiperaktif. Guru
harus mampu membuat siswa hiperaktif untuk duduk tenang. Tempatkan siswa di dekat guru supaya
guru bisa mengawasinya dengan jarak dekat.

- Guru bisa melibatkan siswa hiperaktif untuk menulis di papan tulis. Mungkin ini bisa membuat siswa
hiperaktif tenang dan tidak berlari-lari di dalam kelas.

5. Kasus 5

Di kelas II terdapat 1 siswa tunarungu duduk di pojok paling belakang. Guru mengajarkan materi
gempa dengan media 16 cerita bergambar. Ketika bercerita mulut guru tertutup oleh gambar dan
tidak ada perhatian yang diberikan untuk anak ketika menggunakan kartu benar salah untuk
mengecek pemahaman anak. Pertanyaan hanya ditujukan untuk kelas besar.

Hal yang kurang tepat yaitu:

- Siswa tunarungu belajar dengan indera nonaudio. Penggunaan media gambar sudah tepat namun
pelaksanaannya yang belum pas. Siswa dalam memahami penjelasan dengan melihat gerak mulut
yang berbicara. Sebaiknya guru dalam menjelaskan, posisi mulut jangan ada yang menutupi sehingga
siswa tunarungu bisa melihat dengan jelas dan mengerti apa yang disampaikan. Tentunya dengan
dibantu bahasa isyarat.

- Pengajuan pertanyaan kurang tepat. Kemampuan pemahaman setiap siswa itu berbeda apalagi yang
tunarungu. Maka guru mengajukan pertanyaan kalau bisa sifatnya individual. Berilah waktu untuk
siswa tunarungu untuk menjelaskan tentang pemahamannya kepada teman-teman di depan kelas.
Perlu ada pendampingan GPK untuk bahasa isyaratnya. Siswa yang lain bisa dibentuk kelompok kecil.

6. Kasus 6

Di kelas III terdapat anak autis sangat senang melihat serangga. Anak dapat berkomunikasi dengan
bahasa sederhana. Dia duduk sendiri di pojok paling belakang. Ketika pembelajaran materi tanah
longsor, guru menjelaskan dengan menuliskan hal penting di papan tulis. Anak lain mencatat apa
yang ditulis guru di depan. Sementara anak autis asyik memainkan kincir air.

Hal yang kurang tepat:

- Penempatan siswa sebaiknya di samping kelas. Sehingga guru lebih mudah berinteraksi dan
mengawasi anak autis. Biarkan anak sibuk dengan keasyikannya. Karena anak mampu berbahasa
sederhana ajaklah berkomunikasi tentang apa yang menjadi kesenangannya. Menurut saya anak
autis sulit untuk disamakan dalam belajar. Misalnya anak lain belajar tentang tanah longsor, anak
autis sulit untuk mengikutinya. Cara belajar anak autis yaitu sesuai mood. Jadi, guru harus
memperhatikan hal menarik apa bagi anak itulah yang menjadi topik belajarnya. Kuncinya jangan
memaksa anak untuk belajar apa yang tidak disenanginya.

Anda mungkin juga menyukai