Anda di halaman 1dari 6

Keadilan Sosial dalam Bingkai Sekolah Inklusi

Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Pengantar Kebijakan Publik
Doesen : Dr. Subarsono, M.Si., M.A.

Disusun Oleh :

Andrian Casano
19/443135/SP/28999

DEPARTEMEN MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA

2020
Keadilan Sosial dalam Bingkai Sekolah Inklusi
Pendidikan merupakan alat yang sangat penting bagi setiap bangsa untuk mencari jati diri
dan meningkatkan daya saing. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran adalah hak yang
diperoleh seluruh warga negara Indonesia. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa
“Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Hak pendidikan ini berupa sarana prasarana
yang memadai, kurikulum yang sesuai, dan penyetaraan. Sesuai dengan amanat sila ke- 5
Pancasila, setiap warga negara mendapatkan hak yang sama. Dewasa ini muncul problematika
saat anak dengan keistimewaan mendapatkan perlakuan dalam pendidikan yang berbeda.
Penyelenggaraan pendidikan untuk anak dengan keistimewaan sudah diatur dalam Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1968, tentang Pendidikan Terpadu bagi anak
cacat, Bab I, pasal 1 yang menyatakan bahwa (a) Pendidikan Terpadu ialah model
penyelenggaraan program pendidikan bagi anak cacat yang diselenggarakan bersama anak
normal di lembaga pendidikan umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga
pendidikan yang bersangkutan. Pendidikan terpadi ini didasari oleh hak anakuntuk nelajat dan
dan tergabung dalam komunitas umum. Keanekaragaman antar anak dihargai dalam apapun itu
bentuknya.

A. Sekolah Inklusi dan Pelaksanaannya

Pendidikan Terpadu yang disebutkan di Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan


lebih populer dengan sebutan sekolah inklusi. Di Indonesia penyelenggaraan sekolah inklusi
sudah mulai menjadi perhatian baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Beberapa
daerah di Indonesia sudah melaksanakan kebijakan sekolah inklusi. Beberapa daerah yang sudah
melakukan kebijakan sekolah inklusi antara lain Sidoarjo, Padang, Jambi, Yogyakarta, Jakarta,
dan Semarang. Akan tetapi, lebih banyak daerah yang belum melaksanakan kebijakan sekolah
inklusi. Dalam penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah selama 9 tahun, pemerintah
daerah (terutama provinsi) memegang kontrol penuh. Pemerintah pusat memberi tujuan besar,
batasan-batasan, dan instrumen pendukung berupa kurikulum dalam pelaksanaan pendidikan
dasar dan menangah. Pemerintah provinsi-lah yang bertindak sebagai pelaksana dan eksekutor.
Pemerintah provinsi mempunyai hak untuk melakukan modifikasi peraturan pendidikan sesuai
keadaan rasional masing-masing dareah. Maka penyelenggaraan kebijakan pendidikan inklusi
berada di tangan pemerintah provinsi. Pemerintah provinsi beranggapan bahwa dengan
membentuk sekolah khusus untuk anak dengan keistimewaan akan lebih efektif dalam rangka
pengembangan pribadi. Dengan diadakannya pendidikan khusus diharapkan anak akan mendapat
perlakuan yang tepat dan dapat terkontrol dengan baik. Namun, pada pelaksanaannya sekolah
khusus malah memunculkan perasaan terdiskriminasi bagi peserta didik. Peserta didik akan
merasa diperlakukan berbeda dengan anak lainnya. Ketika anak dengan keistimewaan belajar di
sekolah khusus, mereka akan menemukan kesulitan ketika harus terjun ke masyarakat luas.
Permasalahan lainnya adalah kurang memadainya jumlah dan fasilitas sekolah khusus di
Indonesia. Data terakhir BPS tahun 2017 menyebutkan bahwa 1,6 juta anak di Indonesia adalah
anak dengan keistimewaan. Namun, hanya sekitar 30% yang mendapatkan pendidikan dengan
layak.

Pelaksanaan sekolah inklusi tentu memerlukan berbagai macam penyesuaian. Peserta didik
dalam pelaksanaan sekolah inklusi dibedakan menjadi dua yaitu anak dengan hambatan kognitif
dan intelektual dan anak tanpa hambatan kognitif dan intelektual (Kadir, 2015). Bagi peserta
didik yang tidak memiliki hambatan kognitif dan intelektual, model pendidikan yang bisa
dilakukan adalah inklusi penuh. Anak dengan keistimewaan akan ditempatkan dalam satu kelas
yang sama dengan anak normal, dan kelas tersebut akan menerapkan pembelajaran audio visual.
Pembelajaran audio visual ditujukan agar anak yang kurang dalam penglihatan atau pendengaran
dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Kemudian ada pembelajaran cluster, peserta didik
akan belajar bersama di kelas reguler, tapi anak dengan keistimewaan akan didampingi oleh
seorang pendamping. Ketiga adalah metode pull out, anak dengan keistimewaan akan tetap
belajar bersama di kelas reguler, tetapi ada suatu waktu dimana anak dengan keistimewaan akan
ditempatkan di ruang khusus dengan guru khusus. Metode lainnya adalah kelas khusus, metode
ini menempatkan anak dengan keistimewaan ke dalam kelas khusus, tetapi ada beberapa
kegiatan pembelajaran tertentu dilakukan bersama kelas reguler. Metode selanjutnya adalah
kelas khusus penuh, dimana anak dengan keistimewaan berada di kelas khusus di sekolah
reguler. Terakhir adalah metode cluster dan pull out, merupakan perpaduan antara metode
cluster dan metode pull out. Setiap anak dengan keistimewaan akan mendapatkan metode yang
berbeda-beda sesuai dengan keadaan yang mereka miliki.

B. Permasalahan Sekolah Inklusi


Pelaksanaan sekolah inklusi di Indonesia tentunya masih jauh dari kata sempurna, masih
banyak evaluasi yang harus dibenahi. Dari berbagai daerah yang sudah menerapkan kebijakan
sekolah inklusi, kebanyakan memiliki hambatan yang sama. Hambatan ini berupa berbagai
macam hal dari sarana prasarana hingga kurikulum. Pemerintah daerah dan pusat harus
berkolaborasi untuk menciptakan sekolah inklusi yang sesuai keinginan dan harapan bersama.
Dalam melaksanakan sekolah inklusi, pembaruan dan penyesuaian harus dilakukan oleh sekolah
bersangkutan. Peran sekolah sebagai pelaksana kebijakan inklusi akan menjadi vital pada awal
pelaksanaannya. Menurut Tarmansyah (2012) yang mengutip pendapat Anupan Ahuya (2003),
peranan sekolah dalam pendidikan inklusif adalah (1) Mengubah sikap siswa, guru, orang tua
dan masyarakat, (2) Menjamin semua siswa mempunyai akses terhadap pendidikan dan
mengikutinya secara rutin, (3) Menjamin semua siswa diberi kurikulum penuh yang relevan dan
menantang, (4) Membuat rencana kelas untuk seluruhnya, dan (5) Menjamin dukungan dan
bantuan yang tersedia (teman sebaya, guru, spesialis, orang tua dan masyarakat).

Permasalahan yang mendasar terkait pelaksanaan pendidikan iknlusi adalah kesiapan


stakeholder. Baik kementrian, pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah belum bisa
menentukan kurikulum yang tepat untuk diterapkan di sekolah inklusi. Kurikulum yang
diharapkan harus mampu mengakomodir seluruh kebutuhan dan kepentingan baik sekolah, guru,
dan peserta didik normal maupun dengan keistimewaan. Kurikulum baru ini tidak perlu merubah
total semua sistem yang ada, hanya diperlukan beberapa perubahan kecil yang disesuaikan
dengan kebutuhan peserta didik, terutama peserta didik dengan keistimewaan. Ketika kurikulum
yang sesuai sudah ditetapkan dan diterapkan, selanjutnya akan menjadi tugas bagi sekolah
masing-masing untuk melakukan penyesuaian.

Adaptasi sekolah menjadi poin penting di awal pelaksanaan kebijakan inklusi. Adaptasi ini
meliputi penyesuaian terhadap sarana prasarana, kesiapan tenaga pendidik, dan penyesuaian
sistem penilaian. Terkait dengan sarana prasarana, masih banyak sekolah di Indonesia yang tidak
ramah untuk anak dengan keistimewaan. Kemudian, tentang penyesuaian kesiapan tenaga
pendidik berkaitan dengan kesiapan guru kelas/guru mata pelajaran dan guru pendamping
khusus. Guru kelas dan guru pendamping harus mampu bekerja sama demi kelancaran proses
pengajaran kepada peserta didik.

C. Kesimpulan dan Skema Kebijakan


Kebijakan sekolah inklusi sudah seharusnya diterapkan di Indonesia. Penyelenggaraan
sekolah

inklusi dapat menjadi instrumen untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Selama ini anak dengan keistimewaan selalu diberi pelayanan yang kurang memadai.
Diharapkan dengan adanya sekolah inklusi anak dengan keistimewaan akan mendapatkan
pelayanan dan fasilitas yang sama dengan anak lainnya. Sekolah inklusi akan membawa banyak
dampak positif ke dunia pendidikan Indonesia terutama untuk anak dengan keistimewaan. Bagi
anak dengan keistimewaan, mereka akan mampu masuk ke lingkungan masyarakat luas dengan
mudah. Selama ini anak dengan keistimewaan kesulitan untuk terjun ke masyarakat dan
membaur, hal ini dikarenakan mereka hanya memiliki lingkup yang terbatas. Selain itu, manfaat
lain dari sekolah inklusi adalah anak dengan keistimewaan akan mendapatkan pelayanan dan
fasilitas yang sama dengan anak normal lainnya. Manfaat lainnya adalah sekolah inklusi akan
memberikan gambaran umum kepada anak dengan keistimewaan tentang persaingan yang
sesungguhnya baik di dunia sekolah maupun dunia kerja nantinya.

Dengan segala manfaat yang ditawarkan sekolah inklusi, serta juga memperhitungkan
kesiapan dan hambatan yang mungkin didapatkan dalam pelaksanaannya, penulis berpendapat
bahwa sekolah inklusi harus segera dilakukan di seluruh daerah di Indonesia. Ditambah lagi
dengan fasilitas yang didapatkan anak dengan keistimewaan kurang memadai, maka kebutuhan
penyelenggaraan sekolah inklusi semakin mendesak. Untuk melakukan pemerataan sekolah
inklusi di seluruh daerah di Indonesia, dibutuhkan peran besar pemerintah pusat. Dalam
pelaksanaannya pemerintah pusat bisa berkaca dari penyelenggaraan sekolah inklusi di berbagai
daerah di Indonesia. Pemerintah pusat bisa melakukan perubahan dan perbaikan dari sistem yang
sudah dilakukan di daerah untuk selanjutnya diterapkan di lingkup nasional. Terkait dengan
kurikulum yang belum sempurna dan belum bisa mengakomodir kebutuhan anak dengan
keistimewaan, pemerintah pusat bisa melakukan perbaikan kurikulum seiring dengan
penyelenggaraan sekolah inklusi. Untuk saat ini sekolah inklusi bisa menerapkan kurikulum
lama untuk pembelajaran. Sekolah inklusi dapat menjadi salah satu implementasi keadilan sosial
di bidang pendidikan. Indonesia memiliki berbagai macam perbedaan dari berbagai aspek. Setiap
orang di Indonesia berhak mendapat pendidikan dengan pelayanan yang sama. Begitu pula anak
dengan keistimewaan, mereka berhak mendapatkan pelayanan dan fasilitas yang sama seperti
anak normal. Oleh karena itu, penyelenggaraan sekolah inklusi sudah seharusnya menjadi
agenda utama pemerintah pusat selanjutnya dan harus segera diselesaikan.

Daftar Pustaka
Ariastuti, R. H. (Desember 2016). Optimalisasi Peran Sekolah Inklusi. Jurnal Pengabdian pada
Masyarakat, Volume 1, Nomor 1, 38-47.

Elisa, S. W. (Februari 2013). Sikap Guru Terhadap Pendidikan Inklusi Ditinjau dari Faktor Pembentuk
Sikap. Jurnal Psikologi Perkembangan dan Pendidikan, Volume 2, Nomor 1, 1-10.

Fernandes, R. (2017). Adaptasi Sekolah Terhadap Kebijakan Pendidikan Inklusif. Jurnal Socius : Journal of
Sociology Research and Education, Volume 4, Nomor 2, 119-125.

Kadir, A. (Mei 2015). Penyelenggaraan Sekolah Inklusi di Indonesia. Jurnal Pendidikan Agama Islam,
Volume 03, Nomor 01, 2-22.

Sujatmoko, E. (2010). Hak Warga Negara dalam Memperoleh Pendidikan. Jurnal Konstitusi, Volume 7,
Nomor 1, 181-211.

Wahyuno, E. R. (Mei 2014). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Inklusif Tingkat Sekolah Dasar.
Sekolah Dasar, Tahun 23, Nomor 1, 77-84.

Yusuf, M. (Desember 2012). Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan
Inklusif. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Volume 8, Nomor 4, 382-393.

Anda mungkin juga menyukai