Sebelum terbitnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU No.20/2003 tentang Sisdiknas), istilah yang digunakan untuk anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa, dan pendidikan bagi anak-anak ini disebut sebagai pendidikan luar biasa (PLB), yaitu pendidikan bagi anak yang memiliki keluarbiasaan. Dalam PP No. 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, anak luar biasa disebut sebagai peserta didik berkelainan. Sejak berlakunya UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas maka digunakan istilah pendidikan khusus, yang menurut Pasal 32, ayat 1 “merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Dengan demikian, istilah anak luar biasa dan keluarbiasaan tidak dipakai lagi, tetapi diganti dengan istilah peserta didik berkelainan (PP No. 17/2010, Pasal 29). Secara lebih halus, kita dapat menyebutnya sebagai anak berkebutuhan khusus, yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai special need children atau special need students atau child with special needs 2. Kita perlu menengok kembali konsep Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, mengenai Trisentra, tiga arena penting dalam mendidik anak yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dalam konteks pendidikan bagi penyandang autisme, kolaborasi antara sekolah, keluarga dan masyarakat/komunitas menjadi hal yang perlu diintensifkan dan itu merupakan kunci dari pembangunan pendidikan. Konsep momong, among, ngemong dari Ki Hadjar Dewantara sangat kontekstual untuk pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus yang memerlukan perhatian ekstra, penuh kasih, dan menyeluruh. Selain itu, keberpihakan secara struktural menjadi sangat penting dalam membangun pendidikan yang berpihak kepada penyandang autisme. Tanpa keberpihakan, anak-anak penyandang autisme akan semakin tertinggal dalam proses pendidikan dan kemudian semakin terbatasi dalam menentukkan pilihan-pilihan dalam kehidupannya pada masa depan. Meski kebijakan pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya melaksanakan pendidikan yang ramah terhadap penyandang autisme dan terdapat kekosongan regulasi, pemerintah mulai aktif membangun jejaring dengan berbagai pihak untuk mewujudkan pendidikan yang ramah bagi penyandang autisme. Kita juga bisa belajar dari Amerika Serikat lewat penerapan Individualized Education Program (IEP) yang melibatkan orang tua dalam program pendidikan khusus bagi anak-anak penyandang autisme. Setidaknya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki direktorat yang mengurusi secara langsung anak-anak berkebutuhan khusus. Meski ada banyak keterbatasan, direktorat ini memiliki beberapa kebijakan yang sudah mulai berpihak kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Kebijakan yang lebih berpihak kepada anak-anak berkebutuhan khusus perlu didorong oleh seluruh pihak dan diupayakan secara berkelanjutan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 70 Tahun 2009 masih perlu aturan turunan hingga di level teknis agar penyelenggara pendidikan lebih mudah dijalankan di level sekolah. Pemerintah perlu memberi perhatian secara materil dan moral pada tenaga profesional seperti terapis dan psikolog yang membantu anak-anak autis belajar. Kita perlu berkampanya lebih massif di media massa dan media sosial untuk meningkat kesadaran ihwal pentingnya akses pendidikan yang memadai bagi anak-anak autis. 3. Pendidikan Integrasi adalah suatu sistem layanan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk belajar dalam waktu tertentu di sekolah regular sesuai dengan kelas yang ada di Sekolah Luar Biasa misalnya hanya dalam pelajaran kesenian atau olah raga. Jadi peserta didik SLB bersama dengan peserta didik reguler berada dalam kelas yang sama. Sedangkan Pendidikan inklusif merujuk pada layanan pendidikan untuk semua dengan fokus spesifik pada mereka yang rentan terhadap marjinalisasi dan pemisahan yaitu ketika orang tua atau orang lain yang diberikan tanggung jawab tidak dapat melaksanakan misalnya anak yang berada dibawah konflik, bencana alam, anak jalanan, anak cacat, dan anak-anak korban narkoba. Maka pendidikan inklusif tidak hanya bagi yang menyandang kecacatan fisik, sensoriatauintelektualsaja. Inklusi merupakan sebuah proses mengurangi atau menghilangkan hambatan untuk belajar dan berpartisipasi. 4. Jika dihubungkan dengan low vision, maka orang tua yang memiliki anak dengan low vision bertanggung jawab atas kelangsungan hidup anak mereka agar bisa hidup mandiri walaupun ada kekurangan dalam penglihatan. Salah satu usaha yang bisa dilakukan orang tua dari anak dengan low vision adalah membawa anak mereka ke low vision center. 5. Program Percepatan Belajar ( Akselerasi ) adalah program layanan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa dengan penyelesaian waktu belajar lebih cepat/lebih awal dari waktu yang telah ditentukan pada setiap jenjang pendidikan. Jadi program akselerasi adalah program layanan pendidikan yang diberikan kepada siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa, dengan penyelesaian waktu belajar lebih cepat dari waktu yang ditentukan dari setiap satuan pendidikan. Sehingga dapat memenuhi kebutuhan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Manfaat akselerasi pembelajaran, Southern dan Jones (1991) dalam Reni akbar dan Hawadi, menyebutkan beberapa keuntungan dari dijalankan proram akselerasi bagi anak berbakat.
a. Meningkatkan efesiensi : Siswa yang telah siap dengan bahan-bahan pengajaran
dan menguasai kurikulum pada tingkat sebelumnya akan belajar lebih baik dan lebih efisien. b. Meningkatkan efektivitas : Siswa yang terikat belajar pada tingkat kelas yang dipersiapkan dan menguasai keterampilan-keterampilan sebelumnya merupakan siswa yang paling efektif. c. Penghargaan : Siswa yang telah mampu mencapai tingkat tertentu sepantasnya memperoleh penghargaan atas prestasi yang dicapainya. d. Meningkatkan waktu untuk karier : Adanya pengurangan waktu belajar akan meningkatkan produktivitas siswa, penghasilan, dan kehidupan pribadinya pada waktu yang lain. e. Membuka siswa pada kelompok barunya : Dengan program akselerasi, siswa dimungkinkan untuk bergabung dengan siswa lain yang memiliki kemampuan intelektual dan akademis yang sama. f. Ekonomis : Keuntungan bagi sekolah ialah tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk mendidik guru khusus anak berbakat.