Anda di halaman 1dari 46

A.

Latar Belakang

Pendidikan merupakan komponen pokok sebagai landasan yang kokoh untuk mencapai

kemajuan sesuatu bangsa pada masa globalisasi dikala ini. Pendidikan tidak cuma diperuntukan

kepada anak normal pada biasanya, tetapi anak berkebutuhan spesial dalam hal ini Anak

Berkebutuhan Khusus (ABK) berhak juga berhak mendapatkannya. Pendidikan jadi syarat

mutlak yang wajib dipenuhi buat menjadikan pendidikan sebagai investasi pada waktu

mendatang, sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke IV dimana

tujuan pendidkan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejalan dengan Undang- Undang No 20

Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 5 ayat (2) menjelaskan kalau“ Masyarakat Negeri yang

mempunyai kelainan raga, emosional, mental, intelektual, serta/ ataupun sosial berhak

mendapatkan pembelajaran layanan spesial”

Bersamaan dengan itu pembelajaran inklusif tumbuh di bermacam negeri, termasuk di

Indonesia. Dalam implementasinya pembelajaran inklusif tidak seindah teori serta konsep,

banyak kasus yang timbul yang dialami sekolah, anak, para Guru serta orang tua. Sepanjang ini

dalam penerapannya di lapangan ada bermacam isu serta kasus. Bersumber pada hasil riset

(Sunardi, 2009) terhadap 12 sekolah penyelenggara inklusi di Kabupaten Kota Bandung, secara

universal dikala ini ada 5 kelompok issue serta kasus pembelajaran inklusif di tingkatan sekolah

yang butuh diperhatikan dan diantisipasi supaya tidak menghambat implementasinya seperti:

kebijakan sekolah, proses pendidikan, keadaan Guru , serta support system.

Permasalahan ini juga didukung oleh laporan UNESCO yang memperhitungkan kalau

dalam penyelenggaraan pembelajaran inklusi untuk ABK, Indonesia pada tahun 2007 menduduki

ranking ke 58 dari 130 Negara. Ranking tersebut terus hadapi kemerosotan, pada tahun 2017
terletak pada ranking ke 63 serta pada tahun 2019 terletak pada ranking ke 71 (Giangreco, Meter.

F. 2018)

ABK ialah anak dengan ciri spesial yang berbeda dengan anak pada biasanya tanpa

senantiasa menampilkan pada ketidakmampuan mental, emosi ataupun raga. ABK berkebutuhan

spesial, merupakan anak yang mempunyai keunikan tertentu dalam tipe serta karakteristiknya,

yang membedakan mereka dari anak wajar pada biasanya. ABK juga membutuhkan, kasih

sayang yang lebih khusus, baik itu di area rumah serta sekolah. Spesifikasi tersebut terdapat

sebab ABK mempunyai bermacam hambatan dalam pertumbuhannya serta mempunyai ciri

spesial yang berbeda dengan anak pada biasanya yang tercantum ke dalam ABK antara lain:

tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesusahan belajar, kendala sikap, anak

berbakat, anak dengan kendala kesehatan.

ABK membutuhkan wujud pelayanan pembelajaran spesial yang disesuaikan dengan

keahlian serta kemampuan mereka, contohnya untuk tunanetra mereka membutuhkan modifikasi

bacaan teks jadi tulisan Braille serta tunarungu berbicara memakai bahasa isyarat. Jenis- jenis

layanan tersebut diberikan secara spesial kepada anak yang berkebutuhan spesial oleh pihak yang

berkompeten pada tiap tipe layanan itu. Kenyataannya (ABK) wajib masuk sekolah universal

disebabkan aspek keterbatasan tersedianya sekolah yang spesial menanggulangi Anak ABK

tersebut. Sebab aspek inilah hingga pihak sekolah diharuskan buat menerima siswa dalam

keadaan berkebutuhan spesial.

Sekolah inklusif ialah sistem pembelajaran yang membagikan layanan kepada anak

berkebutuhan spesial di sekolah reguler tanpa diskriminasi serta seluruh anak bisa berpartisipasi

serta berprestasi dalam belajar. Sekolah reguler dengan orientasi inklusif merupakan lembaga

yang sangat efisien buat menanggulangi diskriminasi, menghasilkan komunitas ramah,


membangun sesuatu warga inklusif serta menggapai pembelajaran buat seluruh. Supaya inklusif

jadi realitas, hingga pembelajaran inklusif wajib sanggup merubah serta menjamin seluruh pihak

buat meyakinkan keberhasilan penyelenggaraan pembelajaran (Moelyono, 2008) dengan

demikian terciptalah lingkungan belajar yang kondusif, di sekolah inklusif inilah anak

berkebutuhan spesial bisa mendapatkan pendidikan.

Pendidikan di Sekolah inklusif memanglah berbeda dengan sekolah reguler pada

biasanya. Sekolah inklusif memakai kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan anak dengan

kebutuhan spesial. Sekolah sebaiknya membagikan peluang buat membiasakan kurikulum

dengan anak yang mempunyai bermacam keahlian, bakat serta atensi. Modifikasi (penyesuaian)

kurikulum dicoba oleh regu Pengembang Kurikulum di Sekolah. Regu pengembang kurikulum

sekolah terdiri dari: kepala sekolah, Guru kelas, Guru mata pelajaran, Guru pembelajaran

spesial, konselor, psikolog, serta pakar lain yang terpaut (Syafaruddin& Amiruddin, 2017).

Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan antara ABK dengan anak wajar pada

biasanya masih sama. Modul pendidikan yang diberikan antara anak wajar serta anak

berkebutuhan spesial pula masih sama. Guru belum sempat menjajaki diklat sehingga Guru

belum mengenali secara benar kurikulum spesial ABK. Penilaian buat ABK umumnya

disesuaikan dengan keahlian siswa, terlebih dulu siswa diberikan soal yang sama serta dikerjakan

sesuai keahlian siswa, tetapi apabila siswa tidak dapat mengerjakannya diberikan soal yang

berbeda serta standarnya diturunkan. Fasilitas prasarana dalam aktivitas pendidikan pula belum

optimal. Fasilitas prasarana yang digunakan dalam melayani ABK masih sama semacam anak

wajar pada biasanya.

Sebagai bekal untuk kehidupan anak dimasa mendatang, di sekolah inklusif juga

memberikan layanan keterampilan namun dalam pelaksanaannya masih terkendala. Kendalanya


yaitu waktu pelaksanaan kegiatan karena untuk memberikan keterampilan bagi ABK

memerlukan waktu khusus agar ABK dapat memahami secara betul apa yang disampaikan Guru

. Keterbatasan ABK sangat memerlukan layanan tepat dan sesuai dengan kebutuhan mereka.

Suatu pelayanan dikatakan berhasil atau berkualitas tinggi jika layanan diberikan sesuai dengan

kebutuhan para pengguna layanan. Sama seperti anak normal lain, anak berkebutuhan khusus

juga memiliki hak dalam memperoleh layanan pendidikan layak.

Cara efektif dalam membantu anak berkebutuhan khusus adalah dengan menyediakan

bentuk layanan pendidikan memadai dan disesuaikan dengan karakteristik individu anak

(Permendiknas, 2009). Oleh karena itu, antara kebutuhan dan pelayanan memiliki keterkaitan

dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini dapat dijumpai pada Sekolah Dasar Negeri 1 Selatpanjang

Kota, berada di jalan Diponegoro, Kelurahan Selatpanjang Kota. Sekolah ini merupakan satu-

satu nya sekolah inklusif Selatpanjang Kecamatan Tebing Tinggi dan memiliki 1 orang Guru

kualifikasi Pendidikan luar biasa untuk mendampingi ABK yang jumlah nya lebih kurang 40

siswa. Sekolah ini juga kurang dilengkapi dengan fasilitas dan media untuk pembelajaran bagi

ABK, serta kurangnya bimbingan keterampilan untuk mengasah dan menggali potensi bakat

ABK tersebut.

Penelitian-penelitian terkait dengan permasalahan dalam penelitian yang penulis lakukan

telah dilakukan oleh beberapa peneliti yang menghasilkan hasil penelitiannya cenderung masih

ada perbedaan (GAP research) diantaranya:. (Yayuk Firdaus, 2016) dengan judul “Studi

Deskriptif Peran Guru dalam Implementasi Program Kebutuhan Khusus bagi Peserta Didik

Berkebutuhan Khusus di SDN Wonokusumo 1 Surabaya” dengan hasil penelitian bahwa Peran

Guru meliputi kegiatan asesmen, penyusunan program kebutuhan khusus, pelaksanaan program

kebutuhan khusus, dan evaluasi pelaksanaan khusus hasilnya sangat memuaskan. (Annisa Noor
Indah Sari, 2018) dengan judul “Peran Guru Pendamping Khusus dalam Mengatasi Dyslexia

Siswa Kelas V di MI Muhammadiyah PK Kartasura” hasil analisis data peran Guru

pendamping sangat membantu Guru kelas dalam mengatasi Dyslexia Siswa dan hasilnya sangat

memuaskan. (Erika Yunia Wardah 2019) dengan judul “Peranan GURU Lulusan Non-

Pendidikan Luar Biasa (PLB) terhadap Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah

Inklusif Kabupaten Lumajang” hasil menyatakan bahwa pelayanan bagi anak berkebutuhan

khusus tidak dapat berjalan dengan efektif dikarenakan minimnya pengetahuan Guru non-PLB

tentang anak berkebutuhan khusus hasilnya cukup memuaskan.

SD Negeri 1 Selatpanjang merupakan salah satu sekolah yang menyelenggarakan

pendidikan inklusif. Sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten

Kepulauan Meranti. Berdasarkan data empiris dan temuan terdapat 48 anak berkebutuhan khusus

yang terdiri dari lambat belajar atau Slow learner sebanyak 45 siswa, tunarungu 1 siswa, autis

sebanyak 1 siswa, Down syndrome sebanyak 1 siswa. Dalam aturan Kemendikbud dijelaskan

bahwa kriteria standar pelayanan minimum untuk sekolah penyelenggara pendidikan inklusif

mengacu pada 8 Standar Nasional Pendidikan yaitu: isi, proses, kompetensi lulusan, penilaian,

kompetensi Guru dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, serta pengelolaan. Peran yang

harus dilakukan oleh Guru pada sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif mengacu

pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tahun 2009 yang menjelaskan tentang peran dari

Guru yaitu:

1. Menyusun instrumen asesmen pendidikan dengan wali kelas

2. Membangun sistem koordinasi dengan semua pihak

3. Melaksanakan pendampingan bersama-sama dengan Guru kelas, Guru mata

pelajaran atau Guru bidang studi.


4. Memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak berkelainan yang mengalami

hambatan dalam mengikuti kegiatan belajar di kelas umum, berupa remedial maupun

pengayaan.

5. Membuat catatan khusus dan memberikan bimbingan secara berkesinambungan

kepada anak-anak berkelainan yang dapat dipahami jika terjadi pergantian Guru .

6. Memberikan bantuan dalam bentuk berbagi pengalaman kepada Guru bidang studi,

Guru kelas, agar mereka dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak

berkelainan

Terkait dengan layanan pembelajaran bagi ABK masih ditemukan berbagai masalah

dibeberapa daerah di Indonesia dan bebrapa Negara tetangga seperti malasyia dimana kurangnya

layanan pembelajaran bagi ABK di sebabkan oleh kurangnya pengetahuan Guru tentang

pendidikan iklusif. Spekulasi ini dibuat berdasarkan fakta berikut: Hanya 12 peratus (1/8) Guru

prasekolah aliran perdana tahu definisi pendidikan inklusif. Tidak ada seorang pun daripada 28

orang Guru aliran perdana yang ditanya dapat memberi maksud pendidikan inklusif dan

pendidikan khas dengan tepat (Supiah Saad, 2018)

Di Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi provinsi Yogyakarta tersebar

diberbagai wilayah seperti di Kabupaten Gunung Kidul ada 239 sekolah yang menyelenggarakan

pendidikan inklusi (217 SD, 20 SMP dan 1 SMA), di kota yogya terdapat 20 sekolah (SD-SMA),

ada 10-15 sekolah inklusi yang ada didaerah bantul dan sleman. Di Yogyakarta sendiri,

pelaksanaan sekolah inklusi masih banyak mengalami persoalan seperti: Sumber Daya Manusia

dan fasilitas masih terbatas serta penanaman yang kurang kepada siswa lain untuk dapat

menerima ABK (Nissa Tarnoto, 2017). Selanjutnya Berdasarkan data yang ada di Seksi Pendidik

dan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan Kabupaten Kulon jumlah anak berkebutuhan
khusus tahun 2015 mencapai 730 siswa berkebutuhan khusus sedangkan Guru yang melayani

anak berkebutuhan khusus berjumlah 341 Guru . Dinas Pendidikan belum bisa memfasilitasi

Guru Pembimbing Khusus (GPK) untuk semua sekolah dan baru memfasilitasi untuk sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif (SPPI), namun dalam pelaksanaannya GPK tidak bisa

mendampingi ABK setiap hari dan biasanya GPK datang ke sekolah seminggu dua kali.

Berdasarkan data yang ada di Seksi Pendidik dan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan

Kabupaten Kulon Guru yang melayani ABK berjumlah 341 Guru , 89 Guru sudah pernah

mengikuti diklat tentang pendidikan inklusif dan 252 Guru belum pernah mengikuti diklat

tentang pendidikan inklusif sehingga Guru merasa bingung dalam melayani anak berkebutuhan

khusus. Guru belum bisa melayani ABK secara maksimal dan hanya memberikan perhatian

lebih kepada ABK

Masalah yang sama juga tejadi di sekolah Inklusif SDN 1 Selatpanjang Berdasarkan pada

hasil wawancara dengan Guru yang melayani ABK, dalam pelaksanaan pembelajaran Guru

kelas atau Guru mata pelajaran belum dapat melayani ABK secara maksimal. Guru kelas atau

Guru mata pelajaran masih mengajar seperti Guru di sekolah reguler pada umumnya tanpa

membeda-bedakan anak, sekolah sangat mengharapkan peran dari seorang GPK dalam

membantu Guru kelas atau Guru mata pelajaran dalam proses pembelajaran bagi ABK. Hal ini

menimbulkan sebuah permasalahan dalam proses pembelajaran yang diberikan kepada ABK

menjadi tidak optimal. Tidak optimalnya peran Guru dan GPK dalam pelayanan pembelajaran

bagi ABK, peneliti temukan saat melakukan kegiatan observasi dan wawancara di SDN 1

Selatpanjang di antaranya sebagai berikut:


1. Dalam standar isi belum adanya kegiatan pengembangan diri yang jelas dan terarah

sesuai dengan kebutuhan ABK dan tidak adanya pembeda antara ketuntasan anak

ABK dengan anak normal lainnya.

2. Dalam standar proses belum adanya program tindak lanjut bagi ABK dan buku

pemetaan kemajuan proses belajar ABK. Kurang maksimalnya sistem koordinasi

dengan berbagai pihak sekolah (tidak adanya laporan bagaimana perkembangan

pembelajaran anak). Kurang maksimalnya pelaksanaan pendampingan bersama-sama

dengan Guru kelas, Guru mata pelajaran atau Guru bidang studi. Kurang

maksimalnya pembuatan catatan khusus dan memberikan bimbingan secara

berkesinambungan kepada anak-anak berkelainan yang dapat dipahami jika terjadi

pergantian Guru

3. Dalam standar kompetensi lulusan masih tidak adanya sumber belajar yang spesifik

bagi ABK

4. Dalam standar sarana dan prasarana kurangnya fasilitas pembelajaran terhadap anak

berkebutuhan khusus (media pembelajaran, alat peraga dan lain sebagainya)

Permasalahan yang penulis temui ini tidak sesuai dengan peran Guru pada sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif sebagaimana mestinya. Berdasarkan fenomena dan GAP

research perlu dilakukan sebuah penelitian lebih lanjut yang berupaya menganalisis layanan

pembelajaran anak berkebutuhan khusus melalui peran Guru di sekolah penyelenggara

pendidikan inklusif SDN 1 Selatpanjang. Hasil dari analisis ini diharapkan dapat menjadi

landasan dalam Analisis layanan pembelajaran bagi ABK. Kajian dari keseluruhan hasil

penelitian ini akan dituangkan dalam sebuah penelitian dengan judul: “Analisis layanan
pembelajaran anak berkebutuhan khusus melalui peran Guru di sekolah penyelenggara

pendidikan inklusif SDN 1 Selatpanjang”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai

berikut:

1. Bagaimana layanan pembelajaran yang diberikan Guru bagi ABK di Sekolah Inklusif

SDN 1 Selatpanjang?

2. Bagaimana peran Guru dalam pembelajaran ABK di Sekolah Inklusif SDN 1

Selatpanjang?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:
1. Menganalisis layanan pembelajaran yang diberikan Guru pada ABK di Sekolah Inklusif

SDN 1 Selat Panjang

2. Menganalisis peran Guru dalam pembelajaran ABK di Sekolah Inklusif SDN 1 Selat

Panjang

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang di peroleh dalam penelitian ini adalah:
1. Secara Teoritis

a. Menambah pengetahuan dan wawasan terutama psikologi pendidikan tentang

peranan Guru terhadap Anak Berkebutuhan khusus di sekolah Inklusif

b. Memberikan informasi kepada pihak-pihak terkait terhadap Analisis dan peranan

Guru di sekolah Inklusif.

2. Secara Praktis

a. Bagi Peneliti
Menganalisis bagaimana kesiapan Guru dalam menangani dan melayani ABK pada

pembelajaran di SD, mulai dari perencanaan pembelajaran, pelaksanaan

pembelajaran, dan memberikan penilaian pembelajaran untuk ABK.

b. Bagi Sekolah

Memberikan wawasan mengenai penyelenggaraan pendidikan inklusi terutama

dalam menangani ABK pada pembelajaran dan sekolah dapat memberikan sarana

prasarana yang dibutuhkan oleh ABK.

c. Bagi Guru

Memberikan wawasan untuk menangani dan memberikan pelayanan ABK pada

pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa, sehingga Guru

dapat meningkatkan kualitas ABK tersebut.

d. Bagi Siswa

Memperoleh penanganan yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya

terutama dalam pembelajaran, sehingga siswa dapat belajar secara maksimal

e. Bagi Dinas Pendidikan Sebagai bahan renungan dalam menata serta mengelola

kegiatan belajar mengajar ABK dalam sebuah sitem yang sesuai dengan situasi dan

kondisi sekolah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori dan Konsep


1. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain dari anak yang mempunyai

kekurangan dan berada di luar standar normal yang berlaku di dalam masyarakat baik dari segi

karakteristik fisik, intelektual dan emosional yang berbeda dengan anak normal pada umumnya

(Mirnawati, 2019) sehingga mereka mengalami keterbatasan dalam menjalani aktivitas

pendidikan serta kesulitan dalam meraih sukses baik dari segi sosial, personal, maupun aktivitas

pendidikan

Definisi dari para ahli mengemukakan bahwa anak berkebutuhan khusus, yaitu anak yang

membutuhkan pembelajaran khusus, yang disebabkan oleh gangguan fisik, emosi mental

intelegensi mengalami gangguan fisik, mental, intelegensi, dan emosi sehingga membutuhkan
pembelajaran secara khusus (Utina, 2014). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Heward dan

Orlansky dalam (Handayani, 2013) bahwa yang dikatakan anak berkebutuhan khusus adalah

anak yang dalam masa proses dan tumbuh kembangnya mengalami penyimpangan dan kelainan

(intelektual, sosial, emosional, fisik, dan mental) sehingga memerlukan perhatian, perlakukan,

serta pelayanan pendidikan khusus yang diberikan kepada diri mereka.

Definisi anak berkebutuhan khusus juga dikemukakan oleh (Kustawan, 2013) anak

berkebutuhan khusus adalah anak yang terlambat dalam mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan

dan potensinya secara maksimal, meliputi mereka yang, cacat tubuh, gangguan pendengaran,

tuli, buta retardasi mental serta cacat fisik, emosional secara signifikan berbeda dalam beberapa

dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya, juga anak-anak yang memiliki intelegensi

tinggi dapat digolongkan kedalam kategori anak berkebutuhan khusus yang juga memerlukan

penanganan dari tenaga profesional yang handal dan terlatih di bidangnya. Mereka yang secara

fisik, psikologis, kognitif, atau sosial yang signifikan berbeda dengan anak pada umumnya.

Untuk menunjukkan keadaan anak berkebutuhan khusus terdapat beberapa istilah yang

digunakan, ini merupakan terjemahan dari children with special need yang yang digunakan

untuk menyebut anak berkebutuhan khusus. Hal ini merupakan istilah terbaru dari anak

berkebutuhan khusus telah digunakan secara luas di dunia internasional. Ada beberapa istilah

lain. Anak tuna, anak menyimpang, anak cacat, anak berkelainan, dan anak luar biasa. Beberapa

istilah lain juga dirumuskan oleh WHO yang digunakan untuk menyebut anak berkebutuhan

khusus, yaitu (Soetjiningsih, 1995). 

1) Impairment: adalah keadaan dimana individu mengalami kehilangan psikologi, fisiologi,

dan abnormalitas pada tingkat organ tubuh. Contoh seorang yang mengalami amputasi satu

tangan maupun kaki, maka ia mengalami kecacatan tangan dan kaki.


2) Disability: adalah ketidakmampuan individu melakukan kegiatan sehari-hari karena adanya

keadaan impairment, seperti kecacatan pada organ tubuh. Contoh, pada orang yang tuli, dia

akan merasakan berkurangnya fungsi telinga untuk mendengar

3) Handicapped: dimana individu mengalami ketidakmampuan dalam melakukan interaksi

maupun sosialisasi dengan orang lain maupun dengan lingkungan dikarenakan berkurangnya

fungsi organ individu ataupun kelainan pada organ. Contoh orang yang mengalami buta

akibat kecelakaan maka dia akan mengalami mobilitas perjalanan sehingga dia memerlukan

tongkat

Anak berkebutuhan khusus (ABK) dapat dikelompokkan menjadi anak berkebutuhan

khusus permanen dan anak berkebutuhan khusus kontemporer anak berkebutuhan khusus

permanen meliputi, anak dengan gangguan fisik, dikelompokan lagi menjadi (Sukadari, 2019):

1) Anak dengan gangguan penglihatan (tunanetra) meliputi: Anak buta (blind), Anak kurang

awas (low vision)

2) Anak dengan gangguan pendengaran dan bicara (tunarungu/ wicara) meliputi: Anak tuli

(deaf), Anak kurang dengar (hard of hearing)

3) Anak dengan kelainan kecerdasan meliputi: Anak dengan gangguan kecerdasan (intelektual)

di bawah rata-rata (tunagrahita) meliputi: Anak di bawah rata-rata atau tunagrahita berat

(dengan IQ mereka berkisar sekitar 25 - ke bawah), Anak di bawah rata-rata atau tunagrahita

sedang (dengan IQ mereka berkisar sekitar 25 sampai dengan 49), Anak dibawah rata-rata

atau tunagrahita ringan (dengan IQ mereka berkisar antara 50 sampai 70) , Anak dengan

kemampuan intelegensi di atas rata-rata meliputi: Talented, yaitu anak yang memiliki

keberbakatan khusus, Anak jenius atau gifted, yaitu anak dengan kecerdasan yang dimiliki di

atas rata-rata. Anak dengan gangguan anggota gerak (tunadaksa) meliputi: Anak dengan
gangguan fungsi saraf otak (cerebral palsy), Anak layuh anggota gerak tubuh (polio), Anak

dengan gangguan perilaku dan emosi (tunalaras) meliputi: Anak dengan gangguan perilaku,

Anak dengan gangguan emosi meliputi:

4) Anak lamban belajar (slow learner)

5) Anak Autis

6) Anak gangguan belajar spesifik

7) Anak ADHD

Penyebab Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) dipengaruhi oleh berbagai faktor

(Desiningrum, 2016), sehingga faktor-faktor tersebut dapat menjadi penyebab anak menjadi

berkebutuhan khusus, jika dilihat dari waktu kejadiannya ada tiga klasifikasi, yaitu Prenatal

(kejadian sebelum kelahiran), Peri-natal (saat kelahiran) dan Pasca-natal (yang terjadi setelah

lahir).

1) Prenatal (Sebelum Lahir)

Anak berkebutuhan khusus pada kasus ini terjadi karena faktor genetik dan keturunan dari

orang tua individu yang terjadi pada masa dalam kandungan atau sebelum proses kelahiran

atau faktor eksternal berupa terbenturnya kandungan, jatuh sewaktu hamil, kekurangan gizi,

obat yang dapat mencederai, serta pendarahan yang terjadi pada sat kehamilan

(Desiningrum, 2016).

2) Perinatal (Saat Kelahiran)

Anak berkebutuhan khusus pada kasus ini terjadi pada saat kelahiran dan menjelang

kelahiran yang menyebabkan anak memiliki kelainan, Misalnya pertolongan kelahiran yang

salah, persalinan yang tidak spontan, lahir prematur, berat badan yang rendah, serta orang

tua (ibu) infeksi karena mengidap sipilis atau pertolongan yang salah, lahir prematur,
persalinan yang tidak spontan, kelahiran yang sulit, berat badan lahir rendah, infeksi karena

ibu mengidap Sipilis (Desiningrum, 2016).

3) Pasca-natal (Setelah Kelahiran)

Anak berkebutuhan khusus pada kasus ini terjadi setelah anak dilahirkan sampai dengan

sebelum usia perkembangan selesai yaitu kurang lebih usia 18 tahun sehingga menyebabkan

kelainan atau bisa juga disebabkan oleh kecelakaan, tumor otak, kejang, diare semasa bayi

dan keracunan (Desiningrum, 2016).

2. Model Layanan Pembelajaran Bagi ABK


Model layanan bagi ABK memiliki tingkat kekhususan yang berbeda, oleh karenanya

dalam memberikan layanan kepada anak berkebutuhan khusus juga harus disesuaikan dengan

kekhususan yang dimiliki anak tersebut. Berikut merupakan beberapa model layanan untuk anak

berkebutuhan khusus yaitu:

a. Segregasi

Menurut (Ibdaul Latifah, 2020) sistem layanan pendidikan segregasi adalah: Sistem

pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan

khusus melalui sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang

dilaksanakan secara khusus, dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal.

Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga

pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus, seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah

Dasar Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas Luar Biasa.

Model segregasi merupakan model layanan pendidikan khusus yang paling kuno. Pada model ini

layanan pendidikan khusus diberikan di sekolah-sekolah khusus, atau lebih dikenal dengan

Sekolah Luar Biasa (SLB) atau TKLB sampai SMLB.


Karakteristik dari sekolah ini antara lain adalah keterpisahan dari sekolah bagi anak

normal, dengan kurikulum, Guru , media pembelajaran, dan sarana prasarana yang berbeda pula

(Ibdaul Latifah, 2020). Tim Arbeiter-Samariter-Bund/ASB (2011) mengemukakan bahwa:

Pendidikan segregasi menegaskan dengan jelas tentang gagasan pemisahan anak dalam

pendidikan. Dalam hal ini berarti siswa berkebutuhan khusus dipisahkan dengan anak normal

pada umumnya, dimana anak berkebutuhan khusus disekolahkan sesuai dengan jenis

kebutuhannya dan tidak digabung dengan anak normal pada umumnya. Menurut (Ibdaul Latifah,

2020) ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu:

1) Sekolah Luar Biasa (SLB) Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk unit

pendidikan. Artinya, penyelenggaraan sekolah dimulai dari tingkat persiapan sampai

dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala

sekolah.

2) Sekolah Luar Biasa Berasrama Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah

luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal

di asrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah

sehingga di SLB tersebut ada tingkan persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta

unit asrama.

3) Kelas Jauh/Kelas Kunjung Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang

disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang

tinggal jauh dari SLB dan SDLB. Penyelenggaraan kelas jauh/kelas kunjung merupakan

kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan

kesempatan belajar.
4) Sekolah Dasar Luar Biasa SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai

kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tunanetra, tunarungu,

dan tunadaksa. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas, model layanan segregasi

merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara khusus, dan

terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Anak berkebutuhan khusus

dipisahkan dengan anak normal pada umumnya, anak berkebutuhan khusus disekolahkan

sesuai dengan jenis kebutuhannya dan tidak digabung dengan anak normal pada

umumnya.

b. Integrasi

Menurut (Ibdaul Latifah, 2020) sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem

pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada

suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh,

sebagian, atau keterpaduan dalam rangka sosialisasi. Model integrasi atau disebut juga

pendidikan terpadu adalah: Layanan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak

berkebutuhan khusus belajar bersama anak lainnya di sekolah reguler. Dalam pendidikan

integrasi memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus agar terjalin keterpaduan

dengan anak normal lainnya, baik keterpaduan secara menyeluruh, sebagian atau keterpaduan

yang bersifat sosialisasi. Menurut Depdiknas ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan

pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, yaitu:

1) Bentuk Kelas Biasa Dalam bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus belajar di

kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena itu sangat

diharapkan adanya pelayanan dan bantuan Guru kelas atau Guru bidang studi

semaksimal mungkin dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk khusus dalam


melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini sering

juga disebut keterpaduan penuh.

2) Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan

khusus belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti

pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu tidak dapat diikuti oleh anak

berkebutuhan khusus bersama dengan anak normal.

3) Bentuk Kelas Khusus Dalam keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti

pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah

umum yang melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini disebut juga

keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi.

Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, model integrasi sekolah

menerima anak berkebutuhan khusus dan anak tersebut mengikuti proses pembelajaran dengan

bahan pembelajaran yang sama dengan anak-anak lain tanpa penyesuaian, tanpa alat bantu dan

juga harus mengikuti kurikulum reguler yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan kecepatannya

dalam belajar. Pendidikan integrasi memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus

agar terjalin keterpaduan dengan anak normal lainnya, baik keterpaduan secara menyeluruh,

sebagian atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi.

c. Inklusif

Model inklusif sekolah menerima semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus

dengan latar belakang disabilitas yang beragam. Sekolah dan Guru melakukan penyesuaian

kurikulum dan proses pembelajaran untuk mengakomodasi kemampuan dan kebutuhan anak

yang berbeda-beda Guru mengedepankan kegiatan pembelajaran bagi semua anak secara

bersama-sama dan memberikan waktu luang untuk jam belajar tambahan bagi anak yang
membutuhkan perbaikan atau remedi. Menurut Ashman (Syafrida Elisa & Aryani Tri Wrastari,

2013) pendidikan anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif dapat dilakukan dengan berbagai

model, yaitu sebagai berikut:

1) Kelas Reguler (Inklusif Penuh). Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non

berkebutuhan khusus sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum

yang sama.

2) Kelas Reguler dengan Cluster. Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non

berkebutuhan khusus di kelas reguler dalam kelompok khusus.

3) Kelas Reguler dengan Pull Out. Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non

berkebutuhan khusus di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari

kelas reguler ke ruang lain untuk belajar dengan Guru .

4) Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out. Anak berkebutuhan khusus belajar bersama

anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam

waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang lain untuk belajar dengan Guru .

5) Kelas Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian. Anak berkebutuhan khusus belajar di

dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat

belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler.

6) Kelas Khusus Penuh. Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada

sekolah reguler. Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, model

inklusif merupakan model sekolah yang menerima semua anak termasuk anak

berkebutuhan khusus dengan latar belakang disabilitas yang beragam untuk dapat belajar

bersama anak normal pada umumnya dengan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan

anak. Proses pembelajaran yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Model
integrasi atau terpadu peserta didik berkebutuhan khusus dan peserta didik normal pada

umumnya diberikan kesempatan yang sama untuk belajar bersama di sekolah yang sama,

dimana dalam pembelajaran peserta didik dengan kebutuhan khusus dapat bergabung

dengan anak normal pada umumnya. Pendidikan integrasi berfokus pada keutamaan anak

berkebutuhan khusus untuk sekolah di sekolah reguler, dan anak menyesuaikan diri

dengan kurikulum serta pembelajaran yang berlaku di sekolah integrasi. Pendidikan

segregasi sudah jelas berbeda dengan pendidikan inklusif, pendidikan segregasi

menegaskan dengan jelas tentang gagasan pemisahan anak dalam pendidikan, misalnya

sekolah luar biasa (SLB) sebagai tempat belajar khusus bagi anak berkebutuhan khusus.

Pengertian pendidikan integrasi memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan

khusus keterpaduan dengan anak normal lainnya, baik keterpaduan secara menyeluruh,

sebagian atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi. Pendidikan integrasi berfokus pada

keutamaan anak berkebutuhan khusus untuk sekolah di sekolah reguler, dan anak

menyesuaikan diri dengan kurikulum serta pembelajaran yang berlaku di sekolah

integrasi, sedangkan model inklusif sekolah menerima semua anak termasuk anak

berkebutuhan khusus dengan latar belakang disabilitas yang beragam.

Pendidikan inklusif pada sekolah yang menyelenggarakan diharapkan dapat berfungsi

dengan baik sesuai peraturan dan undang-undang yang mengatur tentang pendirian dan

pelaksanaan pendidikan inklusif pada sekolah Sesuai dengan disiplin ilmu fungsi pendidikan

khusus dibagi menjadi tiga, yaitu: (Mulyani,2013).

1) Fungsi preventif

Fungsi ini menjelaskan bahwa Pendidikan Inklusif pada sekolah yang menyelenggarakan

diharapkan melalui Guru dapat melakukan upaya pencegahan agar hambatan-hambatan


pada anak berkebutuhan khusus tidak muncul pada anak berkebutuhan khusus (Mulyani,

2013).

2) Fungsi Intervensi

Fungsi ini menjelaskan bahwa pendidikan inklusif dapat menangani anak yang berkebutuhan

khusus agar mereka dapat mengembangkan dan menyalurkan potensi yang dimilikinya

dengan diperlakukan sama dengan anak normal pada umumnya (Mulyani, 2013).

3) Fungsi kompensasi

Fungsi ini menjelaskan bahwa melalui pendidikan inklusif dapat membantu anak yang

berkebutuhan khusus untuk membantu menangani kekurangan yang ada pada dirinya

melalui Guru pendamping khusus dan kekurangan itu dapat digantikan dengan fungsi

lainnya (Mulyani, 2013).

Landasan pendidikan sekolah inklusif merupakan dasar hukum yang menjelaskan tentang

pendidikan pada sekolah inklusif. ada beberapa landasan yang menjadi dasar hukum tentang

pendidikan sekolah inklusif diantaranya adalah (Mudjito, 2012):

1) Landasan filosofis

Landasan filosofis adalah sekelompok atau seperangkat wawasan yang menjelaskan dasar

pendidikan inklusif, meliputi, agama, pandangan, Bhineka Tunggal Ika, filosofi inklusif, dan

universal.

2) Landasan yuridis

Landasan yuridis merupakan landasan mengenai pelaksanaan pendidikan inklusif bagian

penting dalam untuk menjamin anak berkebutuhan khusus mendapatkan kesempatan yang

sama seperti anak normal lainnya. Kebijakan yang menjamin anak berkebutuhan khusus
mengenai ini adalah Deklarasi Bandung yang menjelaskan mengenai pelaksanaan

pendidikan inklusif untuk memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus.

3) Landasan pedagogis

Landasan ini menjelaskan tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta

didik. Peserta didik menjadi warga Negara yang bertaqwa, kreatif bertanggung jawab dan

beriman. Melalui pendidikan anak berkebutuhan khusus dibentuk untuk mengembangkan

segala potensi yang dimilikinya serta dapat bertanggung jawab.

4) Landasan empiris

Landasan ini berbicara mengenai penelitian pendidikan inklusif yang sudah dilaksanakan di

berbagai Negara bahwa pendidikan memberikan dampak yang positif terhadap sosial dan

akademik anak, dengan kata lain layanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus

sudah sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Dari berbagai landasan mengenai pendidikan sekolah inklusif di atas maka dapat

disimpulkan bahwa pendidikan inklusif menjadi pedoman, acuan dan dasar bagi Guru dalam

menyelenggarakan dan melaksanakan pendidikan inklusif serta dalam hal memberikan layanan

yang sesuai dan tepat bagi anak yang memiliki berkebutuhan khusus sehingga dapat

megembangkan potensi yang dimilikinya, karena anak berkebutuhan khusus mempunyai hak

yang sama dengan anak-anak normal lainnya untuk mendapatkan pendidikan bermutu tinggi.

Dengan harapan ketika anak berkebutuhan khusus dididik, diperhatikan dan dijaga dengan baik,

mereka juga bisa tumbuh dan menjadi seperti anak normal lainnya.

Karakter utama pendidikan inklusif adalah memberikan keterbukaan dan kesempatan

bagi anak yang membutuhkan layanan pendidikan anti karakteristik. Karakteristik dari

pendidikan inklusif di jelaskan oleh Direktorat PLB yaitu (Mohammad Takdir Illahi, 2013)
1) Usaha untuk menemukan cara-cara merespon keragaman individu yang proses dan usahanya

berjalan terus.

2) Memperdulikan upaya agar meminimalisir hambatan-hambatan anak dalam belajar.

3) Anak yang berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya.

4) Pendidikan inklusif diperuntukan bagi anak-anak yang tergolong eksklusif , marginal, dan

membutuhkan pendidikan khusus beserta pelayanannya

Banyak peneliti berpendapat bahwa kesamaan dan keterbukaan merupakan karakteristik

yang paling utama dalam pendidikan inklusif. Karakteristik sekolah yang menyelenggarakan

pendidikan inklusif juga memberikan gambaran bahwa siswa tidak boleh dibeda-bedakan dalam

proses belajar mengajar karena akan membawa berdampak buruk bagi siswa. Oleh karena itu

Guru seharusnya harus memperlakukan mereka dengan baik tanpa memandang kesulitan

ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.

Pendidikan inklusif dengan dasar hukum yang telah diberlakukan mempunyai tujuan sebagai

pemerataan pendidikan untuk semua anak-anak bangsa untuk memperoleh pendidikan dan

perlakuan yang sama agar mereka dapat bergabung dengan anak-anak normal pada umumnya

dalam mewujudkan cita-cita. Berdasarkan kesepakatan dari para ahli Menurut tujuan pendidikan

sekolah inklusif adalah sebagai berikut (Kustawan D,2012)

1) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki

mental, sosial, atau memiliki kelainan fisik, emosional, potensi kecerdasan atau bakat sesuai

dengan kebutuhan dan kemampuannya untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

2) Mewujudkan terciptanya penyelenggaraan pendidikan yang dapat menghargai perbedaan

untuk semua peserta didik agar tidak terjadinya tindakan diskriminatif bagi anak yang

berkebutuhan khusus.
Pendidikan pada sekolah inklusif yang mana di dalamnya terdapat anak-anak normal

beserta diperuntukan anak-anak yang berkebutuhan khusus. Menurut Mudjito, (2012) Prinsip

dari pendidikan pada sekolah inklusif memiliki prinsip filosofis sebagai berikut:

1) Belajar dan bermain bersama adalah hak semua anak.

2) Anak-anak tidak boleh di bezakan dan di rendah kan berdasarkan kesulitan atau keterbatasan

dalam belajar.

3) Alasan apapun tidak dibenarkan untuk memisahkan anak selama mereka belajar karena

anak-anak saling memiliki bukan untuk dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.

Pendapat lain juga di sampaikan oleh Johnsen dan Skojen yang menjabarkan tiga prinsip

dasar pendidikan inklusif (Budianto, 2005):

1) Dana dalam satu kelas atau kelompok termasuk dalam komunitas setempat setiap anak

2) Pembelajaran kooperatif dengan perbedaan pendidikan dan kefleksibelan bisa diatur penuh

dalam pemelihan hari sekolah serta tugas-tugas dapat dilakukan dengan sepuas hati.

3) Keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan keanekaragaman dan

perbedaan individu dalam pengorganisasian kelas maka Guru harus bekerja sama dan

mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik belajar individu.

Dari beberapa uraian, dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip pendidikan inklusif

adalah adanya kesamaan hak antara anak berkebutuhan khusus dengan anak normal pada

umumnya mereka mempunyai hak untuk bermain dan belajar bersama, pengorganisasian kelas

serta mengapresiasikan keanekaragaman yang ada dengan berpedoman pada penyelenggaraan

pendidikan inklusif yaitu sebagai berikut:

1) Perencanaan Pembelajaran Inklusif


Perencanaan pembelajaran disusun berdasarkan asesmen siswa. Asesmen adalah suatu

proses pengumpulan informasi tentang perkembangan peserta didik dengan menggunakan alat

dan teknik sesuai untuk membuat keputusan pendidikan yang berkenaan dengan penempatan

dan program yang sesuai bagi peserta didik tersebut (Saputra, 2016). Dengan adanya asesmen,

maka perencanaan pembelajaran dapat disusun berdasarkan karakter dan kemampuan siswa

ABK sehingga pembelajaran dapat sesuai dengan kebutuhan siswa.

Guru tidak dapat membuat suatu perencanaan tanpa adanya hasil asesmen, dan

kurikulum tidak akan bisa digunakan sesuai dengan kebutuhan siswa ABK tanpa adanya

asesmen pula. Asesmen ini dilakukan melalui koordinasi kerja antara para Guru , Guru mata

pelajaran, psikolog, bahkan dokter spesialis. Setelah hasil asesmen ini diketahui, maka Guru

berkoordinasi dengan Guru mata pelajaran menyusun RPP yang nantinya akan digunakan

untuk melaksanakan pembelajaran bagi siswa ABK. Kurikulum yang digunakan sama dengan

yang digunakan siswa normal lainnya, dengan adanya modifikasi (Saputra, 2016). Bentuk

modifikasi tersebut adalah penyederhanaan kompetensi dasar, indikator, materi, bentuk evaluasi,

materi pembelajaran, dan standar ketuntasan minimal (SKM).

Perencanaan tersebut sesuai dengan pedoman umum penyelenggaraan pendidikan

inklusif dimana kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada

dasarnya menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian

karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi,

mulai dari yang sifatnya ringan, sedang, sampai yang berat, maka dalam implementasinya,

kurikulum regular perlu dilakukan modifikasi (penyelarasan) sedemikian rupa sehingga sesuai

dengan kebutuhan peserta didik. Modifikasi kurikulum dilakukan oleh tim pengembang
kurikulum di sekolah (Saputra, 2016). Tim pengembang ini terdiri dari kepala sekolah, Guru

kelas, Guru mata pelajaran, Guru , konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait.

2) Pelaksanaan pembelajaran inklusif

Pelaksanaan belajar siswa inklusif menerapkan sistem kelas Pull Out, maksudnya selama

siswa ABK dapat mengikuti pembelajaran di dalam kelas reguler, maka siswa tersebut akan

belajar bersama-sama dengan siswa reguler lainnya (Saputra, 2016). Apabila siswa ABK tidak

dapat mengikuti pembelajaran di dalam kelas reguler, maka siswa tersebut akan ditarik dari

kelas reguler untuk belajar di dalam ruang belajar inklusif. Pelaksanaan pembelajaran bagi siswa

berkebutuhan khusus memakai program pembelajaran individual (PPI) yang berasal dari

kurikulum modifikasi.

3) Evaluasi pembelajaran inklusif

Kegiatan evaluasi pembelajaran inklusif yang dilakukan adalah melalui ulangan harian,

UTS, Ujian Semester, Ujian Akhir Sekolah, dan penugasan-penugasan lainnya. Melalui kegiatan

evaluasi ini maka akan diperoleh hasil belajar siswa, apakah sudah dapat mencapai indikator atau

standar yang telah ditentukan atau belum (Saputra, 2016). Jika belum mencapai standar tersebut,

maka akan diberikan remedial berupa penugasan lain sesuai dengan materinya. Soal-soal ujian

yang diberikan untuk siswa ABK berbeda dengan soal siswa reguler Soal untuk ABK disusun

oleh Guru yang bekerjasama dengan Guru mata pelajaran dan telah disesuaikan dengan tingkat

kemampuan belajar siswa ABK. (Saputra, 2016). Untuk siswa ABK yang dinilai mampu untuk

mendapatkan standar evaluasi yang sama dengan siswa reguler, maka akan mengerjakan tes

evaluasi standar kelas reguler, akan tetapi berdasarkan kemampuan siswa ABK, maka bentuk

evaluasinya telah mendapatkan penyesuaian khusus terhadap kemampuan siswa ABK.

3. Subfokus dan Jenis Layanan Pembelajaran ABK


Layanan dapat diartikan sebagai usaha yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain

untuk memenuhi kebutuhannya. Layanan anak berkebutuhan khusus merupakan layanan yang

diberikan oleh seorang (Guru ) kepada orang lain (anak berkebutuhan khusus) untuk memenuhi

kebutuhannya. Layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan sebagaimana yang telah

diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 5 ayat (2)

menyatakan bahwa “Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,

dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan layanan khusus”. Sekolah sebagai penyelenggara

pendidikan inklusif harus mampu memberikan layanan, khususnya layanan yang berkaitan

dengan layanan akademik serta layanan non-akademik untuk mengembangkan potensi yang

dimiliki siswa. Hal-hal yang berkaitan dengan layanan akademik yaitu peserta didik, kurikulum,

sarana prasarana, serta pendidik.

a. Peserta didik.

Sasaran pendidikan inklusif secara umum adalah semua peserta didik yang ada di sekolah

reguler. Sedangkan secara khusus, sasaran pendidikan inklusif adalah setiap peserta didik yang

memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau

bakat istimewa. Menurut Budiyanto (2012) pemberian layanan peserta didik mencakup

identifikasi dan asesmen:

1) Identifikasi. Identifikasi dimaksudkan untuk menunjukkan pemahaman awal bahwa di

antara siswa ada yang memiliki kesulitan dalam belajar yang disebabkan oleh kelainan

atau kecacatan (Parwoto, 2007). Dengan adanya identifikasi terhadap peserta didik

diharapkan dapat mengetahui apakah peserta didik memiliki kebutuhan khusus atau tidak.

Budiyanto (2012) mengemukakan bahwa “Identifikasi adalah proses penjaringan.

Identifikasi dimaksudkan untuk sebagai upaya seseorang untuk melakukan proses


penjaringan terhadap anak yang mengalami kelainan/penyimpangan dalam rangka

pemberian layanan pendidikan yang sesuai”. Hasil dari identifikasi adalah ditemukannya

anak-anak berkelainan yang perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui

program inklusif. Identifikasi anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai “upaya

awal yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami kelainan /

gangguan (fisik, mental, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis)

dalam pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan anak lain seusianya”.

Identifikasi penting dilaksanakan sebagai tahap awal dalam mengenali hambatan yang

mungkin timbul dalam pembelajaran anak. Menurut Munawir Yusuf (Budiyanto, 2012)

secara umum tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi yang lengkap

mengenai kondisi anak dalam rangka penyusunan program pembelajaran yang sesuai

dengan kebutuhan khususnya sehingga anak tersebut terhindar dari problema belajar.

Adanya identifikasi dapat digunakan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang

berhubungan dengan kondisi anak sehingga dapat mengetahui jenis kebutuhan anak. Agar

identifikasi dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya dan objektif, hendaknya

identifikasi dilakukan oleh orang yang terdekat dengan anak seperti orang tua, sanak

saudara atau Guru nya yang selalu berhubungan dengan anak, identifikasi juga dapat

dilakukan oleh berbagai pihak yang berhubungan dengan pelayanan anak, yaitu dokter,

psikolog, atau petugas sosial sesuai dengan bidang yang menjadi tanggung jawabnya.

Identifikasi/penjaringan yang dilakukan sekolah diharapkan dapat memberikan layanan

yang sesuai dengan jenis kebutuhan peserta didik agar dapat mengikuti pembelajaran

seperti anak normal pada umumnya.


2) Asesmen Reynolds, Livingston & Willson (2010) mengemukakan bahwa asesmen

merupakan prosedur yang sistematis untuk mengumpulkan informasi yang dapat

digunakan untuk menentukan kesimpulan tentang karakteristik seseorang atau objek.

Asesmen dilakukan sebelum identifikasi yaitu melalui proses penjaringan peserta didik.

Langkah selanjutnya setelah dilakukan identifikasi yaitu melakukan asesmen terhadap

peserta didik. Sesuai yang telah dikemukakan sebelumnya dengan dilakukannya asesmen

maka dapat mengetahui jenis kebutuhan peserta didik sehingga dapat memberikan

pelayanan sesuai dengan jenis kebutuhan yang dimiliki, selain itu dapat dijadikan sebagai

dasar dalam membuat program pembelajaran sesuai dengan kemampuan yang dimiliki

anak.

b. Kurikulum

Budiyanto (2012) mengemukakan bahwa Kurikulum yang digunakan dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan kurikulum standar nasional

yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian, karena ragam hambatan yang dialami peserta

didik berkelainan bervariasi maka dalam implementasinya, kurikulum tingkat satuan pendidikan

yang sesuai dengan standar nasional perlu dilakukan modifikasi (penyelarasan) sedemikian rupa

sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Pernyataan di atas berarti bahwa dalam

pelaksanaan pendidikan inklusif walaupun pada dasarnya menggunakan kurikulum yang berlaku

di sekolah umum namun hendaknya dalam pengimplementasian pendidikan inklusif

menggunakan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Peraturan Standar PBB

(Stubbs, 2002) menekankan bahwa “Negara harus bertanggung jawab atas pendidikan bagi

penyandang cacat dan harus: a) mempunyai kebijakan yang jelas, b) mempunyai kurikulum yang
fleksibel, dan c) memberikan materi yang berkualitas, menyelenggarakan pelatihan Guru dan

memberikan bantuan yang berkelanjutan”.

Menurut Tarmasnyah (2007) kurikulum hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan anak,

yang selama ini anak dipaksakan mengikuti kurikulum. Berdasarkan pendapat yang

dikemukakan tersebut hendaknya sekolah memberikan kesempatan untuk menyesuaikan

kurikulum dengan kemampuan, bakat, dan minat yang dimiliki anak. Dedy Kustawan (2012)

mengemukakan bahwa: Dalam pengimplementasian pendidikan inklusif di satuan pendidikan

umum atau satuan pendidikan kejuruan perlu menyusun kurikulum yang fleksibel yaitu adanya

penyesuaian-penyesuaian pada komponen kurikulum seperti pada tujuan, isi atau materi, proses

dan evaluasi atau penilaian. Pengembangan kurikulum untuk peserta didik berkebutuhan khusus

dikenal dengan adanya model eskalasi (ditingkatkan), duplikasi (sama/ meniru/ menggandakan),

modifikasi (mengubah untuk disesuaikan), substitusi (mengganti), dan omisi (menghilangkan).

c. Sarana prasarana

Menurut Tarmansyah (2007) di samping menggunakan sarana prasarana seperti halnya

yang digunakan di sekolah reguler, anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus perlu

menggunakan sarana prasarana serta peralatan khusus sesuai dengan jenis kelainan dan

kebutuhan anak. Maksud pernyataan tersebut untuk kelengkapan sarana prasarana pada dasarnya

sama dengan kondisi yang biasanya diadakan di sekolah reguler pada umumnya dan tidak perlu

terlalu mengistimewakannya, hanya saja misalnya dalam membangun gedung pintu kelas, WC

hendaknya dapat dilalui kursi roda. Demikian pula apabila kondisi bangunan memerlukan tangga

maka diharapkan ada jalan untuk dapat dilalui kursi roda.

Mohammad Takdir Ilahi (2012) menyatakan bahwa: Sarana prasarana adalah faktor

penting yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif. Sebagai salah satu
komponen keberhasilan, tersedianya sarana prasarana tidak serta merta mudah diperoleh dengan

mudah, tetapi membutuhkan kerja keras dari pemerhati pendidikan untuk mengupayakan fasilitas

pendukung yang mendorong peningkatan kualitas anak berkebutuhan khusus. Sarana

prasarananya hendaknya disesuaikan dengan tuntutan kurikulum (bahan ajar) yang telah

dikembangkan.

Penyediaan sarana prasarana bagi anak berkebutuhan khusus yang terkait dengan

aksesibilitas fisik, materi dan media pembelajaran, mengacu pada jenis kebutuhan khusus

dan/atau disabilitas yang dialami oleh anak, berikut uraiannya: a. Penyandang tunanetra: guiding

block, mesin ketik braille, buku braille, riglet dan stylus (alat tulis braille), tongkat tunanetra,

lensa pembesar, teleskop, alat perekam suara, alat pemutar suara, program komputer khusus,

seperti program pembaca layar, dan lain-lain. b. Penyandang tunarungu: alat bantu dengar,

kamus bahasa isyarat, poster isyarat alfabet, kartu petunjuk (gambar, kata, kalimat), media video,

pemutar video, dan lain-lain. c. Penyandang tunagrahita/slow learner/kesulitan belajar

spesifik/kelainan perkembangan mental: perangkat bongkar pasang/teka-teki, bentuk-bentuk

geometris 3 dimensi, kartu petunjuk (gambar, kata, kalimat), alat berhitung taktis, dan lain-lain.

d. Penyandang tunadaksa/orang dengan Cerebral palsy, kursi roda, kursi dengan modifikasi,

papan tulis dengan modifikasi, dan lain-lain.

d. Pendidik

Berdasarkan Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Bab 1 bagian Ketentuan

Umum Pasal 1 menyatakan bahwa “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi

sebagai Guru , dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan

sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan

pendidikan”. 38 Pendidik yang dimaksud dalam hal ini yaitu Guru . Di sekolah inklusif Guru
dapat dibedakan menjadi Guru kelas, Guru mata pelajaran, Di lingkungan kelas inklusif

membutuhkan interaksi dan kerjasama antara Guru dan murid, hal ini untuk mendukung

keberlangsungan kegiatan belajar mengajar khususnya bagi anak berkebutuhan khusus.

Menurut Tarmansyah (2007) Guru berperan aktif dalam proses pembelajaran baik di

dalam maupun di luar kelas. Mampu berdialog dengan siswanya mendorong terjadinya interaksi

antara siswa. Guru harus memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan keragaman di

kelasnya. Dalam kegiatan pembelajaran, Guru sebagai fasilitator dan motivator, dapat

menyatakan tugas dan tanggung jawab kepada anak itu sendiri dan mendorong terjadinya

pembelajaran yang aktif untuk semua anak.

Menurut Joppy Liando & Aldjo Dapa (2007) membagi life skills (kecakapan hidup)

menjadi empat jenis, yaitu: a. Kecakapan personal, yaitu kemampuan seseorang dan penghayatan

diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota masyarakat dan warga negara, untuk

menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya

sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri

dan lingkungannya b. Kecakapan sosial, yaitu kecakapan yang dimiliki seseorang dalam

hubungan dengan berkomunikasi secara empati. c. Kecakapan akademik, merupakan

pengembangan dari kecakapan berpikir rasional yang masih bersifat umum, sedangkan

kecakapan akademik lebih mengarah kepada kegiatan yang bersifat keilmuan. d. Kecakapan

vokasional, yaitu kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di

masyarakat. Selain pemberian bekal keterampilan hidup, di sekolah juga diadakan kegiatan

ekstrakurikuler untuk mengembangkan bakat dan minat peserta didik.

Hal-hal yang berkaitan dengan layanan akademik adalah peserta didik 43 orang,

kurikulum, sarana dan prasarana, serta pendidik. Layanan yang diberikan sekolah berkaitan
dengan peserta didik yaitu identifikasi dan asesmen bagi peserta didik. Layanan yang berkaitan

dengan kurikulum yaitu penggunaan kurikulum untuk anak berkebutuhan khusus, pengembangan

kurikulum di sekolah yang terdiri dari isi/materi, proses pembelajaran, dan evaluasi atau

penilaian. Layanan sarana dan prasarana yaitu ketersediaan sarana dan prasarana bagi anak

berkebutuhan khusus serta kesesuaian dengan jenis kebutuhan anak. Layanan yang berkaitan

dengan pendidik yaitu kesesuaian tugas serta cara mendidik peserta didik sesuai dengan jenis

kebutuhan peserta didik. Layanan non akademik merupakan layanan yang berkaitan dengan

pengembangan bakat, minat dan keterampilan peserta didik. Hal yang berkaitan dengan layanan

kepada anak berkebutuhan khusus yaitu tentang pemberian bekal keterampilan hidup serta

kegiatan ekstrakurikuler yang diselenggarakan di sekolah.

4. Peran Guru pada Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif

Guru pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif merupakan para tenaga

profesional yang diperuntukan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus dengan perannya yang

teramat besar dan kompleks dalam melaksanakan proses pengajaran kepada siswa penyandang

disabilitas (Friend, 2015). Anak penyandang disabilitas merupakan anak yang kondisinya yang

berbeda dengan anak usia sebayanya dan tidak didiskriminasikan hanya karena mempunyai

keterbelakangan fisik maupun mental. Oleh karena itu dibutuhkan Guru yang benar-benar bias

dalam mendampingi peserta didik berkebutuhan khusus.

Konsep yang harus dipegang oleh sekolah Inklusif adalah “Pendidikan untuk semua”

sehingga pendidikan yang sebaik mungkin dapat diberikan kepada anak berkebutuhan khusus

dan anak normal seusianya. Seseorang dapat menjadi Guru pendamping khusus harus sesuai

dengan syarat pedoman penyelenggara pendidikan inklusif tahun 2007 mereka itu adalah yang

memiliki latar belakang Pendidikan Luar Biasa (PLB), pendidikan khusus, lulusan S1 sederajat
yang menyelenggarakan program pendidikan tenaga kependidikan dan/ program kependidikan

non pendidikan melalui lembaga perGuru an tinggi (Zakia, 2015).

Kompetensi Guru dilandasi oleh empat kompetensi Guru yang utama (pedagogik,

kepribadian, profesional, dan sosial), yang telah tertulis dalam buku Pedoman Pembinaan Tendik

Direktur PSLB (Depdiknas, 2007), mengungkapkan bahwa secara khusus juga berorientasi pada

tiga kemampuan yaitu:

1) General ability (Kemampuan umum)

General ability atau kemampuan umum adalah kemampuan memperlakukan sama antara

anak berkebutuhan khusus dengan anak normal pada umumnya.

2) Basic ability (Kemampuan dasar)

Basic ability atau kemampuan dasar merupakan kemampuan yang diperlukan GURU

dalam mendidik anak berkebutuhan khusus sebagai peserta didik.

3) Specific ability (Kemampuan khusus)

Specific ability atau kemampuan khusus merupakan kemampuan mendidik peserta didik

yang berkebutuhan khusus jenis tertentu (spesialis).

Seorang Guru Inklusif disamping harus menguasai kompetensi kepribadian, sosial dan

kompetensi pedagogik, juga harus menguasai kompetensi dasar, yaitu kompetensi yang

diperlukan untuk mendidik siswa berkebutuhan khusus dan diharapkan mampu mengoptimalkan

kinerjanya (Murdjito, 2002). Hal ini menjelaskan bahwa Guru pendamping mengupayakan dan

bertanggung jawab untuk memberikan layanan pendidikan pada semua anak dalam menjaring

dan mendampingi siswa ABK, Guru kelas di sekolah dasar diharapkan harus memiliki beberapa

kompetensi yaitu: (Hermanto, 2019)

1) Kompetensi terkait dalam penerimaan siswa baru yang mengakomodasi semua anak
2) Kemampuan melaksanakan kurikulum yang akomodatif dan fleksibel

3) Kemampuan dalam kegiatan belajar mengjar (JBM) serta kemauan dalam merancang bahan

ajar dan kemampuan menata kelas yang ramah anak

4) Kompetensi pengadaan pemanfaatan media adaptif, dan melaksanakan evaluasi

pembelajaran dalam setting pendidikan inklusif melalui asesmen.

Oleh karena itu, seorang Guru harus memiliki kompetensi khusus yang digunakan untuk

menangani anak berkebutuhan khusus selain kompetensi utama seorang Guru profesional,

pedagogik, sosial, dan kepribadian. Sehingga dalam belajar anak berkebutuhan khusus dapat

dibimbing dan diarahkan sebaik mungkin melalui kompetensi yang sudah dimiliki secara utuh

oleh Guru . Sebagai tenaga profesional Guru maka, seorang Guru dipersyaratkan dengan

adanya kualifikasi akademik dan kompetensi yang harus dimiliki. Sebagaimana telah

diamanatkan dalam Undang-Undang No 14 Tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen, bahwa

seorang Guru harus memiliki kualifikasi akademik yang diperoleh melalui perGuru an tinggi

program Strata Satu (S1)/Diploma Empat (D4). (Sukadari, 2019). Kualifikasi akademik

dimaksud, ditunjang dengan adanya kompetensi dasar yang harus dimiliki seorang Guru , yaitu

kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.

Kualifikasi yang dipersyaratkan ini juga berlaku bagi Guru di sekolah yang menyelenggarakan

program inklusif. Untuk menjaga kualitas profesional Guru , seorang Guru diwajibkan untuk

memiliki sertifikasi, yang diperoleh melalui perGuru an tinggi penyelenggara program

pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi yang ditunjuk pemerintah (Sukadari, 2019).

Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap anggaran peningkatan

kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi Guru dalam jabatan yang diangkat oleh

satuan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.


Beberapa hal yang terkait dengan sertifikasi Guru pembimbing khusu secara garis besar seperti

berikut: (Sukadari, 2019).

a. Guru harus memiliki Sertifikat Pendidik yang ditempuh melalui pendidikan profesi

Guru (minimal 36 SKS di atas D-IV/S1)

b. Pengembangan dan implementasi sertifikasi profesi Guru secara bertahap dalam 10

tahun untuk Guru yang sudah bertugas

c. Sertifikasi pendidik dilakukan oleh LPTK yang terakreditasi dan ditunjuk oleh

Pemerintah

Menurut Fannisa Aulia Rahmaniar dalam (Irdamurni, 2019). Terdapat banyak tugas yang

diemban oleh seorang Guru di sebuah sekolah inklusif. Beberapa tugas yang harus dilaksanakan

Guru adalah menyelenggarakan sebuah administrasi khusus, melakukan asesmen terhadap

anak, membuat sebuah PPI, membangun koordinasi dengan semua pihak, baik sekolah dan orang

tua, memberikan layanan khusus kepada anak, memberikan bimbingan kepada anak, serta

memberikan bantuan kepada Guru kelas jika Guru tersebut mengalami kesulitan dalam

memberikan layanan kepada anak berkebutuhan khusus

Pada pendapat lain mengatakan beberapa tugas Guru yaitu menyusun instrumen asesmen

pendidikan bersama-sama dengan Guru kelas dan Guru mata pelajaran, menjalin kerjasama

antara Guru , sekolah, dan orang tua peserta didik, melaksanakan pendampingan anak

berkebutuhan khusus pada kegiatan pembelajaran bersama-sama dengan Guru kelas/Guru

mata pelajaran/ Guru bidang studi, memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak

berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan spesifik, memberikan bimbingan secara

berkesinambungan dan membuat catatan khusus kepada anak-anak berkebutuhan khusus selama

mengikuti kegiatan pembelajaran, yang dapat dipahami jika terjadi pergantian Guru ,
memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada Guru kelas dan/ atau mata pelajaran agar

mereka dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus

(Irdamurni, 2019 ).

Menurut (Kustawan D., 2012) Guru di Sekolah Inklusif harus lebih terbuka terhadap

perbedaan atau keberagaman peserta didik, mampu mendidik peserta didik yang beragam, lebih

terbiasa dan terlatih untuk mengatasi tantangan pelajaran supaya siswa mendapatkan prestasi

yang tinggi. Permendiknas No. 70 tahun 2009 telah mengatur peran dan tugas Guru dalam

penyelenggaraan sekolah inklusif yang meliputi: (Permendiknas, 2009).

1) Menyusun instrumen asesmen pendidikan dengan wali kelas

2) Membangun sistem koordinasi dengan semua pihak

3) Melaksanakan pendampingan bersama-sama dengan Guru kelas, Guru mata pelajaran atau

Guru bidang studi.

4) Memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak berkelainan yang mengalami hambatan

dalam mengikuti kegiatan belajar di kelas umum, berupa remedial maupun pengayaan.

5) Membuat catatan khusus dan memberikan bimbingan secara berkesinambungan kepada

anak-anak berkelainan yang dapat dipahami jika terjadi pergantian Guru .

6) Memberikan bantuan dalam bentuk berbagi pengalaman kepada Guru bidang studi, Guru

kelas, agar mereka dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak berkelainan

(Permendiknas, 2009).

Peran sebagai pembimbing merupakan salah satu peran Guru dari sekian banyak peran

yang harus dilakukan, Guru dianjurkan untuk memiliki beberapa karakteristik diantaranya

adalah sabar, ramah, kasih sayang, perhatian, toleransi terhadap anak, adil serta memahami

perasaan anak berkebutuhan khusus, adil, dan memahami perasaan anak berkebutuhan khusus,
serta dapat menghargai anak (Sukmadinata, 2004). Sangat banyak banyak peranan yang harus

dilakukan Guru sebagai pendidik sebagaimana yang dikemukakan oleh Bahri dalam

(Wahidaturrohmah, 2018). Peran-peran tersebut adalah:

1) Motivator

Guru hendaknya dapat mendorong anak didik supaya bersemangat dan aktif belajar. Anak

berkebutuhan khusus sangat perlu diberikan motivasi, selama ini mereka merasa berbeda

dengan yang lain, maka memberi semangat dan memotivasi agar anak berkebutuhan khusus

tidak berkecil hati merupakan salah satu tugas dari Guru .

2) Fasilitator

Fasilitas yang disediakan oleh Guru dapat memudahkan anak berkebutuhan khusus dalam

menjalankan sebagian aktivitas belajarnya termasuk menciptakan, menciptakan lingkungan

yang menyenangkan, suasana belajar yang nyaman sehingga rasa nyaman pada anak

berkebutuhan khusus dapat membuat mereka semangat dalam belajar dan mengikuti proses

belajar mengajar.

3) Mediator

Peran Guru disini adalah terkait dengan pemahaman tentang media, non material maupun

material. Guru hendaknya memiliki pengetahuan yang cocok tentang media yang berfungsi

sebagai alat komunikasi guna proses interaksi dan mengefektifkan kegiatan belajar

mengajar.

4) Pembimbing

Kemampuan Guru dalam membimbing dapat menjadikan anak berkebutuhan khusus

berkembang kepribadiannya secara optimal sesuai dengan fungsinya sebagai Guru

pembimbing diantaranya: mengarahkan, sikap yang positif dan wajar terhadap anak,
perlakuan hangat, ramah, mengarahkan anak lebih mandiri, rendah hati dan menyenangkan,

pengembangan individu menjadi lebih dewasa, dan menyesuaikan diri terhadap keadaan

yang khusus.

5) Pendamping

Peran Guru disini hampir sama dengan peran Guru pada umumnya hal yang membedakan

adalah anak-anak yang berkebutuhan khusus. Peran Guru disini juga dalam hal membantu

Guru kelas, menyiapkan anak dan lain sebagainya yang dirasa pending dalam hal

pendampingan bagi Guru dan anak berkebutuhan khusus.

1. Terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi Pembelajaran ABK

a) Perencanaan Pembelajaran

Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan meliputi: menganalisis hasil asesmen untuk

kemudian dideskripsikan, ditentukan penempatan untuk selanjutnya, dibuatkan program

pembelajaran berdasarkan hasil asesmen. Langkah selanjutnya menganalisis kurikulum,

dengan menganalisis kurikulum maka kita dapat memilih bidang studi yang perlu ada

penyesuaian (Sukadari, 2019). Hasil analisis kurikulum ini kemudian diselaraskan

dengan program hasil asesmen sehingga tersusun sebuah program yang utuh yang

berupa Program Pembelajaran Individual (PPI). Penyusunan PPI dilakukan dalam

sebuah tim yang sekurang-kurangnya terdiri dari Guru kelas dan mata pelajaran, kepala

sekolah, orang tua/wali serta Guru . Pertemuan perlu dilakukan untuk menentukan

kegiatan yang sesuai dengan anak serta penentuan tugas dan tanggung jawab

pelaksanaan kegiatan.

b) Pelaksanaan Pembelajaran
Pada tahap ini Guru melaksanakan program pembelajaran serta pengorganisasian siswa

berkelainan di kelas reguler sesuai dengan rancangan yang telah disusun. Pelaksanaan

pembelajaran dapat dilakukan melalui individualisasi pengajaran. Artinya, anak belajar

pada topik yang sama waktu dan ruang yang sama, namun dengan materi yang berbeda-

beda (Sukadari, 2019). Cara lain proses pembelajaran dilakukan secara individual artinya

anak diberi layanan secara individual dengan bantuan Guru khusus. Proses ini dapat

dilakukan jika dianggap memiliki rentang materi/keterampilan yang sifatnya mendasar

(prerequisit). Proses layanan ini dapat dilakukan secara terpisah atau masih kelas

tersebut sepanjang tidak mengganggu situasi belajar secara keseluruhan.

c) Pemantauan Kemajuan Belajar dan Evaluasi

Untuk mengetahui keberhasilan Guru dalam membantu mengatasi kesulitan belajar

anak, perlu dilakukan pemantauan secara terus-menerus terhadap kemajuan dan/atau

bahkan kemunduran belajar anak (Sukadari, 2019). Jika anak mengalami kemajuan

dalam belajar, pendekatan yang dipilih Guru perlu terus dipertahankan, tetapi jika tidak

terdapat kemajuan, perlu diadakan peninjauan kembali, baik mengenai materi,

pendekatan, maupun media yang digunakan anak yang bersangkutan untuk memperbaiki

kekurangan-kekurangannya. Dengan demikian diharapkan pada akhirnya semua

problema belajar anak secara bertahap dapat diperbaiki sehingga anak terhindar dari

putus sekolah.

Selain peran Guru sebagai motivator, fasilitator, mediator, pendamping Guru

pendamping khusus juga berperan terhadap pemberian layanan berupa layanan akademik

maupun non akademik memberikan layanan akademik, sebagai sekolah inklusif memberikan

layanan dalam bentuk layanan non-akademik, hal yang berkaitan dalam layanan non-akademik
kepada anak berkebutuhan khusus yaitu tentang pemberian bekal keterampilan hidup. Semua

anak harus berkembang secara optimal, baik akademik maupun non-akademik. Oleh karena itu

menurut (ASB, 2011) agar anak dapat berkembang dengan optimal maka Sekolah termasuk

didalamnya tenaga pendidik maupun Guru pendamping khusus harus mewadahi penyaluran

potensi minat dan bakat semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus. Sekolah dapat

menyusun program pengembangan keterampilan hidup untuk anak berkebutuhan khusus sesuai

dengan minat dan bakat yang dimiliki. Dalam pemberian keterampilan hidup bagi anak

berkebutuhan khusus disesuaikan dengan minat dan bakat yang dimiliki anak berkebutuhan

khusus agar dapat digunakan sebagai bekal anak berkebutuhan khusus yang nantinya hidup

bermasyarakat (ASB, 2011)

Sekolah memberikan kesempatan kepada peserta didik khususnya peserta didik yang

memiliki kebutuhan khusus untuk dapat mengembangkan keterampilan yang dimiliki sehingga

dapat digunakan sebagai bekal setelah menyelesaikan pendidikannya di sekolah. Mempelajari

berbagai mata pelajaran dan menguasai sedikit keterampilan, menjadi persoalan penting bagi

dunia pendidikan khusus yaitu tentang kelangsungan hidup ABK setelah menyelesaikan berbagai

program di sekolah. Berdasarkan kondisi yang ada, maka sekolah tentunya harus dapat berperan

dalam membina ABK untuk dapat memiliki keterampilan hidup ditengah-tengah masyarakat.

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa layanan anak berkebutuhan khusus

merupakan layanan yang diberikan oleh seorang (Guru ) kepada orang lain (anak berkebutuhan

khusus) untuk memenuhi kebutuhannya. Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan inklusif

harus mampu memberikan layanan khususnya layanan yang berkaitan dengan layanan akademik

serta layanan non-akademik untuk mengembangkan potensi yang dimiliki siswa. Layanan

akademik merupakan layanan yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Hal-hal yang
berkaitan dengan layanan akademik adalah peserta didik, kurikulum, sarana dan prasarana, serta

pendidik. Layanan yang diberikan sekolah berkaitan dengan peserta didik yaitu identifikasi dan

asesmen bagi peserta didik. Layanan yang berkaitan dengan kurikulum yaitu penggunaan

kurikulum untuk anak berkebutuhan khusus, pengembangan kurikulum di sekolah yang terdiri

dari isi/materi, proses pembelajaran, dan evaluasi atau penilaian. Layanan sarana dan prasarana

yaitu ketersediaan sarana dan prasarana bagi anak berkebutuhan khusus serta kesesuaian dengan

jenis kebutuhan anak. Layanan yang berkaitan dengan pendidik yaitu kesesuaian tugas serta cara

mendidik peserta didik sesuai dengan jenis kebutuhan peserta didik.

Layanan non akademik merupakan layanan yang berkaitan dengan pengembangan bakat,

minat dan keterampilan peserta didik. Hal yang berkaitan dengan layanan kepada anak

berkebutuhan khusus yaitu tentang pemberian bekal keterampilan hidup serta kegiatan

ekstrakurikuler yang diselenggarakan di sekolah.

B. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang ditegaskan dalam penelitian ini adalah penelitian sebelum

penulisan skripsi ini, namun tidak ada penelitian terdahulu yang sama persis dengan penelitian

yang dilakukan peneliti, penelitian sebagai subyek yang meneliti permasalahan yang hampir

sama dengan penelitian terdahulu, dengan tujuan ingin memecahkan masalah yang diteliti secara

lebih mendalam, luas dan jelas. Pada penelitian terdahulu yang diambil peneliti untuk dijadikan

bahan pertimbangan dalam penelitian sekarang mempunyai beberapa kesamaan dan juga

perbedaan. Berikut adalah penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang akan

dilakukan peneliti.

Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Nama peneliti Judul Hasil Metodologi
1 Redi Susanto Efektivitas dilihat dari tenaga Deskriptif
(2012) Program pendidik, Kualitatif
Sekolah ketersediaan Guru
Penyelenggara dan kerjasama
Pendidikan antara Guru
inklusif kelas sudah efektif
2 Mimin Tjasmini, M. Peran Guru Hasil penelitian Deskriptif
Chandra Z dalam diketahui bahwa Kualitatif
(2012) Pembinaan Guru sudah
Perilaku melakukan
Adaptif Anak pembinaan
Tunagrahita perilaku adaptif
Ringan di tetapi belum
Sekolah maksimal dalam
Inklusif implikasinya
3 Haryono,et.al; Evaluasi Kurikulum yang evaluatif dan
(2015) Pendidikan digunakan di kelas dirancang
inklusif Bagi inklusif adalah menggunakan
Anak kurikulum anak model CIPP
Berkebutuhan normal (Context, In-
Khusus (Abk) put, Process,
dan Product).
4 Hernani,et:al; Manajemen Sudah berjalan Kualitatif
(2015) pendidikan sesuai dengan
ABK aturan yang
berlaku
5 Yayuk Firdaus Peran Guru Peran Guru Studi Kasus
(2016) dalam meliputi kegiatan dengan
Implementasi asesmen, deskriptif
Program penyusunan kualitatif
Kebutuhan program
Khusus bagi kebutuhan khusus,
Peserta Didik pelaksanaan
Berkebutuhan program
Khusus kebutuhan khusus,
dan evaluasi.
6 Desi ratna Hak anak Sudah mampu Deskriptif
permatasari ABK di menerapkan Kualitatif
(2016) sekolah inklusi konsep sekolah
inklusif walaupun
belum semua hak
ABK terpenuhi
No Nama peneliti Judul Hasil Metodologi
7 Lia mareza Pengajaran Kendala yang Kualitatif
(2016) kreativitas dihadapi tidak
ABK pada tersedianya sarana
pendidikan prasarana
inklusif
8 Nurain Proses berpikir Proses berpikir Deskriptif
Suryadinata,dkk ABK dalam ABK meliputi Kualitatif
(2016) menyelesaikan pembentukan
masalah pengertian,
matematika pendapat, dan
penarikan
kesimpulan
9 Zainul anwar,et:al; Pengembangan Sulit dalam Deskriptif
(2016) model deteksi mendeteksi Kualitatif
dini ABK kelainan dalam
usia dini
10 Aisyah aulia ulfah Penanganan Kecerdasan Kualitatif
(2017) ABK ditinjau spiritual orang tua
dari Tingkat yang tinggi
kecerdasan mempengaruhi
spiritual orang dalam menangani
tua ABK
11 Dwinita Sari Peran Guru sepenuhnya Studi kasus
(2018) Pendamping pendampingan dengan
Khusus Dalam anak Dyslexia pendekatan
Mengatasi Dilakukan oleh kualitatif
Dyslexia Guru
pendamping
khusus
12 Ni luh gede karang Layanan ABK Anak dengan Deskriptif
widiastuti dengan gangguan emosi Kualitatif
(2020) gangguan dan perilaku
emosi dan memiliki
perilaku karakteristik sosial
dan emosi
immature
13 Rima rizki angraini Persepsi orang Persepsi orang tua Kuantitatif
(2020) tua terhadap terhadap deskriptif
ABK menghilangkan
sifat negatif ABK
86,2%
Berdasar uraian di atas, perlu digaris bawahi bahwa penelitian yang akan dilakukan oleh

peneliti memiliki perbedaan dan persamaan dengan penelitian terdahulu yang relevan tersebut.

Perbedaan utama yaitu pada lokasi penelitian yang dipilih, fokus permasalahan yang dikaji, dan

tujuan penelitian tersebut dilaksanakan. Persamaan umum yang ada antar penelitian ini dengan

penelitian terdahulu yaitu mengenai metode penelitian atau pendekatan penelitian yang

digunakan berupa kualitatif. Sehingga dapat disimpulkan dengan tegas bahwa penelitian ini

berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh para peneliti terdahulu.

C. Konsep Operasional

Pendidikan Inklusif merupakan layanan pendidikan dimana anak yang memiliki

kelainan/kebutuhan khusus dan anak normal pada umumnya berada pada satu lingkup. Layanan

anak berkebutuhan khusus merupakan layanan yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus

sehingga anak yang memiliki kelainan/kebutuhan khusus dapat mengikuti pembelajaran dan

memahami tentang materi pembelajaran yang disampaikan. Dalam pemberian layanan kepada

anak berkebutuhan khusus, sekolah hendaknya mengakomodasi seluruh kebutuhan peserta didik

dan memberikan layanan yang sesuai dengan jenis kebutuhannya.

Sekolah sebagai tempat berlangsungnya pendidikan inklusif bertugas memberikan

layanan pendidikan yang sesuai dengan jenis kebutuhan peserta didik melalui bantuan peran

Guru yang mencakup layanan akademik dan layanan akademik. Layanan akademik merupakan

layanan yang berhubungan dengan proses pembelajaran. Penelitian ini mendeskripsikan layanan

akademik dari aspek peserta didik, kurikulum, sarana prasarana, dan pendidik. Layanan non

akademik merupakan layanan yang berkaitan dengan pemberian bekal life skill. Berikut

gambaran kerangka konsep operasional dari layanan pembelajaran ABK di Sekolah Inklusif

SDN 1 Selat Panjang:

Anda mungkin juga menyukai