Latar Belakang
Pendidikan merupakan komponen pokok sebagai landasan yang kokoh untuk mencapai
kemajuan sesuatu bangsa pada masa globalisasi dikala ini. Pendidikan tidak cuma diperuntukan
kepada anak normal pada biasanya, tetapi anak berkebutuhan spesial dalam hal ini Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) berhak juga berhak mendapatkannya. Pendidikan jadi syarat
mutlak yang wajib dipenuhi buat menjadikan pendidikan sebagai investasi pada waktu
mendatang, sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke IV dimana
Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 5 ayat (2) menjelaskan kalau“ Masyarakat Negeri yang
mempunyai kelainan raga, emosional, mental, intelektual, serta/ ataupun sosial berhak
Indonesia. Dalam implementasinya pembelajaran inklusif tidak seindah teori serta konsep,
banyak kasus yang timbul yang dialami sekolah, anak, para Guru serta orang tua. Sepanjang ini
dalam penerapannya di lapangan ada bermacam isu serta kasus. Bersumber pada hasil riset
(Sunardi, 2009) terhadap 12 sekolah penyelenggara inklusi di Kabupaten Kota Bandung, secara
universal dikala ini ada 5 kelompok issue serta kasus pembelajaran inklusif di tingkatan sekolah
yang butuh diperhatikan dan diantisipasi supaya tidak menghambat implementasinya seperti:
Permasalahan ini juga didukung oleh laporan UNESCO yang memperhitungkan kalau
dalam penyelenggaraan pembelajaran inklusi untuk ABK, Indonesia pada tahun 2007 menduduki
ranking ke 58 dari 130 Negara. Ranking tersebut terus hadapi kemerosotan, pada tahun 2017
terletak pada ranking ke 63 serta pada tahun 2019 terletak pada ranking ke 71 (Giangreco, Meter.
F. 2018)
ABK ialah anak dengan ciri spesial yang berbeda dengan anak pada biasanya tanpa
senantiasa menampilkan pada ketidakmampuan mental, emosi ataupun raga. ABK berkebutuhan
spesial, merupakan anak yang mempunyai keunikan tertentu dalam tipe serta karakteristiknya,
yang membedakan mereka dari anak wajar pada biasanya. ABK juga membutuhkan, kasih
sayang yang lebih khusus, baik itu di area rumah serta sekolah. Spesifikasi tersebut terdapat
sebab ABK mempunyai bermacam hambatan dalam pertumbuhannya serta mempunyai ciri
spesial yang berbeda dengan anak pada biasanya yang tercantum ke dalam ABK antara lain:
tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesusahan belajar, kendala sikap, anak
keahlian serta kemampuan mereka, contohnya untuk tunanetra mereka membutuhkan modifikasi
bacaan teks jadi tulisan Braille serta tunarungu berbicara memakai bahasa isyarat. Jenis- jenis
layanan tersebut diberikan secara spesial kepada anak yang berkebutuhan spesial oleh pihak yang
berkompeten pada tiap tipe layanan itu. Kenyataannya (ABK) wajib masuk sekolah universal
disebabkan aspek keterbatasan tersedianya sekolah yang spesial menanggulangi Anak ABK
tersebut. Sebab aspek inilah hingga pihak sekolah diharuskan buat menerima siswa dalam
Sekolah inklusif ialah sistem pembelajaran yang membagikan layanan kepada anak
berkebutuhan spesial di sekolah reguler tanpa diskriminasi serta seluruh anak bisa berpartisipasi
serta berprestasi dalam belajar. Sekolah reguler dengan orientasi inklusif merupakan lembaga
jadi realitas, hingga pembelajaran inklusif wajib sanggup merubah serta menjamin seluruh pihak
demikian terciptalah lingkungan belajar yang kondusif, di sekolah inklusif inilah anak
biasanya. Sekolah inklusif memakai kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan anak dengan
dengan anak yang mempunyai bermacam keahlian, bakat serta atensi. Modifikasi (penyesuaian)
kurikulum dicoba oleh regu Pengembang Kurikulum di Sekolah. Regu pengembang kurikulum
sekolah terdiri dari: kepala sekolah, Guru kelas, Guru mata pelajaran, Guru pembelajaran
spesial, konselor, psikolog, serta pakar lain yang terpaut (Syafaruddin& Amiruddin, 2017).
Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan antara ABK dengan anak wajar pada
biasanya masih sama. Modul pendidikan yang diberikan antara anak wajar serta anak
berkebutuhan spesial pula masih sama. Guru belum sempat menjajaki diklat sehingga Guru
belum mengenali secara benar kurikulum spesial ABK. Penilaian buat ABK umumnya
disesuaikan dengan keahlian siswa, terlebih dulu siswa diberikan soal yang sama serta dikerjakan
sesuai keahlian siswa, tetapi apabila siswa tidak dapat mengerjakannya diberikan soal yang
berbeda serta standarnya diturunkan. Fasilitas prasarana dalam aktivitas pendidikan pula belum
optimal. Fasilitas prasarana yang digunakan dalam melayani ABK masih sama semacam anak
Sebagai bekal untuk kehidupan anak dimasa mendatang, di sekolah inklusif juga
memerlukan waktu khusus agar ABK dapat memahami secara betul apa yang disampaikan Guru
. Keterbatasan ABK sangat memerlukan layanan tepat dan sesuai dengan kebutuhan mereka.
Suatu pelayanan dikatakan berhasil atau berkualitas tinggi jika layanan diberikan sesuai dengan
kebutuhan para pengguna layanan. Sama seperti anak normal lain, anak berkebutuhan khusus
Cara efektif dalam membantu anak berkebutuhan khusus adalah dengan menyediakan
bentuk layanan pendidikan memadai dan disesuaikan dengan karakteristik individu anak
(Permendiknas, 2009). Oleh karena itu, antara kebutuhan dan pelayanan memiliki keterkaitan
dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini dapat dijumpai pada Sekolah Dasar Negeri 1 Selatpanjang
Kota, berada di jalan Diponegoro, Kelurahan Selatpanjang Kota. Sekolah ini merupakan satu-
satu nya sekolah inklusif Selatpanjang Kecamatan Tebing Tinggi dan memiliki 1 orang Guru
kualifikasi Pendidikan luar biasa untuk mendampingi ABK yang jumlah nya lebih kurang 40
siswa. Sekolah ini juga kurang dilengkapi dengan fasilitas dan media untuk pembelajaran bagi
ABK, serta kurangnya bimbingan keterampilan untuk mengasah dan menggali potensi bakat
ABK tersebut.
telah dilakukan oleh beberapa peneliti yang menghasilkan hasil penelitiannya cenderung masih
ada perbedaan (GAP research) diantaranya:. (Yayuk Firdaus, 2016) dengan judul “Studi
Deskriptif Peran Guru dalam Implementasi Program Kebutuhan Khusus bagi Peserta Didik
Berkebutuhan Khusus di SDN Wonokusumo 1 Surabaya” dengan hasil penelitian bahwa Peran
Guru meliputi kegiatan asesmen, penyusunan program kebutuhan khusus, pelaksanaan program
kebutuhan khusus, dan evaluasi pelaksanaan khusus hasilnya sangat memuaskan. (Annisa Noor
Indah Sari, 2018) dengan judul “Peran Guru Pendamping Khusus dalam Mengatasi Dyslexia
pendamping sangat membantu Guru kelas dalam mengatasi Dyslexia Siswa dan hasilnya sangat
memuaskan. (Erika Yunia Wardah 2019) dengan judul “Peranan GURU Lulusan Non-
Pendidikan Luar Biasa (PLB) terhadap Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah
Inklusif Kabupaten Lumajang” hasil menyatakan bahwa pelayanan bagi anak berkebutuhan
khusus tidak dapat berjalan dengan efektif dikarenakan minimnya pengetahuan Guru non-PLB
pendidikan inklusif. Sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten
Kepulauan Meranti. Berdasarkan data empiris dan temuan terdapat 48 anak berkebutuhan khusus
yang terdiri dari lambat belajar atau Slow learner sebanyak 45 siswa, tunarungu 1 siswa, autis
sebanyak 1 siswa, Down syndrome sebanyak 1 siswa. Dalam aturan Kemendikbud dijelaskan
bahwa kriteria standar pelayanan minimum untuk sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
mengacu pada 8 Standar Nasional Pendidikan yaitu: isi, proses, kompetensi lulusan, penilaian,
kompetensi Guru dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, serta pengelolaan. Peran yang
harus dilakukan oleh Guru pada sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif mengacu
pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tahun 2009 yang menjelaskan tentang peran dari
Guru yaitu:
hambatan dalam mengikuti kegiatan belajar di kelas umum, berupa remedial maupun
pengayaan.
kepada anak-anak berkelainan yang dapat dipahami jika terjadi pergantian Guru .
6. Memberikan bantuan dalam bentuk berbagi pengalaman kepada Guru bidang studi,
Guru kelas, agar mereka dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak
berkelainan
Terkait dengan layanan pembelajaran bagi ABK masih ditemukan berbagai masalah
dibeberapa daerah di Indonesia dan bebrapa Negara tetangga seperti malasyia dimana kurangnya
layanan pembelajaran bagi ABK di sebabkan oleh kurangnya pengetahuan Guru tentang
pendidikan iklusif. Spekulasi ini dibuat berdasarkan fakta berikut: Hanya 12 peratus (1/8) Guru
prasekolah aliran perdana tahu definisi pendidikan inklusif. Tidak ada seorang pun daripada 28
orang Guru aliran perdana yang ditanya dapat memberi maksud pendidikan inklusif dan
diberbagai wilayah seperti di Kabupaten Gunung Kidul ada 239 sekolah yang menyelenggarakan
pendidikan inklusi (217 SD, 20 SMP dan 1 SMA), di kota yogya terdapat 20 sekolah (SD-SMA),
ada 10-15 sekolah inklusi yang ada didaerah bantul dan sleman. Di Yogyakarta sendiri,
pelaksanaan sekolah inklusi masih banyak mengalami persoalan seperti: Sumber Daya Manusia
dan fasilitas masih terbatas serta penanaman yang kurang kepada siswa lain untuk dapat
menerima ABK (Nissa Tarnoto, 2017). Selanjutnya Berdasarkan data yang ada di Seksi Pendidik
dan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan Kabupaten Kulon jumlah anak berkebutuhan
khusus tahun 2015 mencapai 730 siswa berkebutuhan khusus sedangkan Guru yang melayani
anak berkebutuhan khusus berjumlah 341 Guru . Dinas Pendidikan belum bisa memfasilitasi
Guru Pembimbing Khusus (GPK) untuk semua sekolah dan baru memfasilitasi untuk sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif (SPPI), namun dalam pelaksanaannya GPK tidak bisa
mendampingi ABK setiap hari dan biasanya GPK datang ke sekolah seminggu dua kali.
Berdasarkan data yang ada di Seksi Pendidik dan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan
Kabupaten Kulon Guru yang melayani ABK berjumlah 341 Guru , 89 Guru sudah pernah
mengikuti diklat tentang pendidikan inklusif dan 252 Guru belum pernah mengikuti diklat
tentang pendidikan inklusif sehingga Guru merasa bingung dalam melayani anak berkebutuhan
khusus. Guru belum bisa melayani ABK secara maksimal dan hanya memberikan perhatian
Masalah yang sama juga tejadi di sekolah Inklusif SDN 1 Selatpanjang Berdasarkan pada
hasil wawancara dengan Guru yang melayani ABK, dalam pelaksanaan pembelajaran Guru
kelas atau Guru mata pelajaran belum dapat melayani ABK secara maksimal. Guru kelas atau
Guru mata pelajaran masih mengajar seperti Guru di sekolah reguler pada umumnya tanpa
membeda-bedakan anak, sekolah sangat mengharapkan peran dari seorang GPK dalam
membantu Guru kelas atau Guru mata pelajaran dalam proses pembelajaran bagi ABK. Hal ini
menimbulkan sebuah permasalahan dalam proses pembelajaran yang diberikan kepada ABK
menjadi tidak optimal. Tidak optimalnya peran Guru dan GPK dalam pelayanan pembelajaran
bagi ABK, peneliti temukan saat melakukan kegiatan observasi dan wawancara di SDN 1
sesuai dengan kebutuhan ABK dan tidak adanya pembeda antara ketuntasan anak
2. Dalam standar proses belum adanya program tindak lanjut bagi ABK dan buku
dengan Guru kelas, Guru mata pelajaran atau Guru bidang studi. Kurang
pergantian Guru
3. Dalam standar kompetensi lulusan masih tidak adanya sumber belajar yang spesifik
bagi ABK
4. Dalam standar sarana dan prasarana kurangnya fasilitas pembelajaran terhadap anak
Permasalahan yang penulis temui ini tidak sesuai dengan peran Guru pada sekolah
research perlu dilakukan sebuah penelitian lebih lanjut yang berupaya menganalisis layanan
pendidikan inklusif SDN 1 Selatpanjang. Hasil dari analisis ini diharapkan dapat menjadi
landasan dalam Analisis layanan pembelajaran bagi ABK. Kajian dari keseluruhan hasil
penelitian ini akan dituangkan dalam sebuah penelitian dengan judul: “Analisis layanan
pembelajaran anak berkebutuhan khusus melalui peran Guru di sekolah penyelenggara
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimana layanan pembelajaran yang diberikan Guru bagi ABK di Sekolah Inklusif
SDN 1 Selatpanjang?
Selatpanjang?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:
1. Menganalisis layanan pembelajaran yang diberikan Guru pada ABK di Sekolah Inklusif
2. Menganalisis peran Guru dalam pembelajaran ABK di Sekolah Inklusif SDN 1 Selat
Panjang
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang di peroleh dalam penelitian ini adalah:
1. Secara Teoritis
2. Secara Praktis
a. Bagi Peneliti
Menganalisis bagaimana kesiapan Guru dalam menangani dan melayani ABK pada
b. Bagi Sekolah
dalam menangani ABK pada pembelajaran dan sekolah dapat memberikan sarana
c. Bagi Guru
d. Bagi Siswa
e. Bagi Dinas Pendidikan Sebagai bahan renungan dalam menata serta mengelola
kegiatan belajar mengajar ABK dalam sebuah sitem yang sesuai dengan situasi dan
kondisi sekolah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
kekurangan dan berada di luar standar normal yang berlaku di dalam masyarakat baik dari segi
karakteristik fisik, intelektual dan emosional yang berbeda dengan anak normal pada umumnya
pendidikan serta kesulitan dalam meraih sukses baik dari segi sosial, personal, maupun aktivitas
pendidikan
Definisi dari para ahli mengemukakan bahwa anak berkebutuhan khusus, yaitu anak yang
membutuhkan pembelajaran khusus, yang disebabkan oleh gangguan fisik, emosi mental
intelegensi mengalami gangguan fisik, mental, intelegensi, dan emosi sehingga membutuhkan
pembelajaran secara khusus (Utina, 2014). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Heward dan
Orlansky dalam (Handayani, 2013) bahwa yang dikatakan anak berkebutuhan khusus adalah
anak yang dalam masa proses dan tumbuh kembangnya mengalami penyimpangan dan kelainan
(intelektual, sosial, emosional, fisik, dan mental) sehingga memerlukan perhatian, perlakukan,
Definisi anak berkebutuhan khusus juga dikemukakan oleh (Kustawan, 2013) anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang terlambat dalam mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan
dan potensinya secara maksimal, meliputi mereka yang, cacat tubuh, gangguan pendengaran,
tuli, buta retardasi mental serta cacat fisik, emosional secara signifikan berbeda dalam beberapa
dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya, juga anak-anak yang memiliki intelegensi
tinggi dapat digolongkan kedalam kategori anak berkebutuhan khusus yang juga memerlukan
penanganan dari tenaga profesional yang handal dan terlatih di bidangnya. Mereka yang secara
fisik, psikologis, kognitif, atau sosial yang signifikan berbeda dengan anak pada umumnya.
Untuk menunjukkan keadaan anak berkebutuhan khusus terdapat beberapa istilah yang
digunakan, ini merupakan terjemahan dari children with special need yang yang digunakan
untuk menyebut anak berkebutuhan khusus. Hal ini merupakan istilah terbaru dari anak
berkebutuhan khusus telah digunakan secara luas di dunia internasional. Ada beberapa istilah
lain. Anak tuna, anak menyimpang, anak cacat, anak berkelainan, dan anak luar biasa. Beberapa
istilah lain juga dirumuskan oleh WHO yang digunakan untuk menyebut anak berkebutuhan
dan abnormalitas pada tingkat organ tubuh. Contoh seorang yang mengalami amputasi satu
keadaan impairment, seperti kecacatan pada organ tubuh. Contoh, pada orang yang tuli, dia
maupun sosialisasi dengan orang lain maupun dengan lingkungan dikarenakan berkurangnya
fungsi organ individu ataupun kelainan pada organ. Contoh orang yang mengalami buta
akibat kecelakaan maka dia akan mengalami mobilitas perjalanan sehingga dia memerlukan
tongkat
khusus permanen dan anak berkebutuhan khusus kontemporer anak berkebutuhan khusus
permanen meliputi, anak dengan gangguan fisik, dikelompokan lagi menjadi (Sukadari, 2019):
1) Anak dengan gangguan penglihatan (tunanetra) meliputi: Anak buta (blind), Anak kurang
2) Anak dengan gangguan pendengaran dan bicara (tunarungu/ wicara) meliputi: Anak tuli
3) Anak dengan kelainan kecerdasan meliputi: Anak dengan gangguan kecerdasan (intelektual)
di bawah rata-rata (tunagrahita) meliputi: Anak di bawah rata-rata atau tunagrahita berat
(dengan IQ mereka berkisar sekitar 25 - ke bawah), Anak di bawah rata-rata atau tunagrahita
sedang (dengan IQ mereka berkisar sekitar 25 sampai dengan 49), Anak dibawah rata-rata
atau tunagrahita ringan (dengan IQ mereka berkisar antara 50 sampai 70) , Anak dengan
kemampuan intelegensi di atas rata-rata meliputi: Talented, yaitu anak yang memiliki
keberbakatan khusus, Anak jenius atau gifted, yaitu anak dengan kecerdasan yang dimiliki di
atas rata-rata. Anak dengan gangguan anggota gerak (tunadaksa) meliputi: Anak dengan
gangguan fungsi saraf otak (cerebral palsy), Anak layuh anggota gerak tubuh (polio), Anak
dengan gangguan perilaku dan emosi (tunalaras) meliputi: Anak dengan gangguan perilaku,
5) Anak Autis
7) Anak ADHD
(Desiningrum, 2016), sehingga faktor-faktor tersebut dapat menjadi penyebab anak menjadi
berkebutuhan khusus, jika dilihat dari waktu kejadiannya ada tiga klasifikasi, yaitu Prenatal
(kejadian sebelum kelahiran), Peri-natal (saat kelahiran) dan Pasca-natal (yang terjadi setelah
lahir).
Anak berkebutuhan khusus pada kasus ini terjadi karena faktor genetik dan keturunan dari
orang tua individu yang terjadi pada masa dalam kandungan atau sebelum proses kelahiran
atau faktor eksternal berupa terbenturnya kandungan, jatuh sewaktu hamil, kekurangan gizi,
obat yang dapat mencederai, serta pendarahan yang terjadi pada sat kehamilan
(Desiningrum, 2016).
Anak berkebutuhan khusus pada kasus ini terjadi pada saat kelahiran dan menjelang
kelahiran yang menyebabkan anak memiliki kelainan, Misalnya pertolongan kelahiran yang
salah, persalinan yang tidak spontan, lahir prematur, berat badan yang rendah, serta orang
tua (ibu) infeksi karena mengidap sipilis atau pertolongan yang salah, lahir prematur,
persalinan yang tidak spontan, kelahiran yang sulit, berat badan lahir rendah, infeksi karena
Anak berkebutuhan khusus pada kasus ini terjadi setelah anak dilahirkan sampai dengan
sebelum usia perkembangan selesai yaitu kurang lebih usia 18 tahun sehingga menyebabkan
kelainan atau bisa juga disebabkan oleh kecelakaan, tumor otak, kejang, diare semasa bayi
dalam memberikan layanan kepada anak berkebutuhan khusus juga harus disesuaikan dengan
kekhususan yang dimiliki anak tersebut. Berikut merupakan beberapa model layanan untuk anak
a. Segregasi
Menurut (Ibdaul Latifah, 2020) sistem layanan pendidikan segregasi adalah: Sistem
pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan
dilaksanakan secara khusus, dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal.
Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga
pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus, seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah
Dasar Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas Luar Biasa.
Model segregasi merupakan model layanan pendidikan khusus yang paling kuno. Pada model ini
layanan pendidikan khusus diberikan di sekolah-sekolah khusus, atau lebih dikenal dengan
normal, dengan kurikulum, Guru , media pembelajaran, dan sarana prasarana yang berbeda pula
Pendidikan segregasi menegaskan dengan jelas tentang gagasan pemisahan anak dalam
pendidikan. Dalam hal ini berarti siswa berkebutuhan khusus dipisahkan dengan anak normal
pada umumnya, dimana anak berkebutuhan khusus disekolahkan sesuai dengan jenis
kebutuhannya dan tidak digabung dengan anak normal pada umumnya. Menurut (Ibdaul Latifah,
2020) ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu:
1) Sekolah Luar Biasa (SLB) Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk unit
dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala
sekolah.
2) Sekolah Luar Biasa Berasrama Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah
luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal
sehingga di SLB tersebut ada tingkan persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta
unit asrama.
3) Kelas Jauh/Kelas Kunjung Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang
disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang
tinggal jauh dari SLB dan SDLB. Penyelenggaraan kelas jauh/kelas kunjung merupakan
kesempatan belajar.
4) Sekolah Dasar Luar Biasa SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai
kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tunanetra, tunarungu,
dan tunadaksa. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas, model layanan segregasi
terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Anak berkebutuhan khusus
dipisahkan dengan anak normal pada umumnya, anak berkebutuhan khusus disekolahkan
sesuai dengan jenis kebutuhannya dan tidak digabung dengan anak normal pada
umumnya.
b. Integrasi
Menurut (Ibdaul Latifah, 2020) sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem
pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada
suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh,
sebagian, atau keterpaduan dalam rangka sosialisasi. Model integrasi atau disebut juga
pendidikan terpadu adalah: Layanan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak
berkebutuhan khusus belajar bersama anak lainnya di sekolah reguler. Dalam pendidikan
integrasi memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus agar terjalin keterpaduan
dengan anak normal lainnya, baik keterpaduan secara menyeluruh, sebagian atau keterpaduan
yang bersifat sosialisasi. Menurut Depdiknas ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan
1) Bentuk Kelas Biasa Dalam bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus belajar di
kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena itu sangat
diharapkan adanya pelayanan dan bantuan Guru kelas atau Guru bidang studi
2) Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan
khusus belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti
pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu tidak dapat diikuti oleh anak
3) Bentuk Kelas Khusus Dalam keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti
pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah
umum yang melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini disebut juga
menerima anak berkebutuhan khusus dan anak tersebut mengikuti proses pembelajaran dengan
bahan pembelajaran yang sama dengan anak-anak lain tanpa penyesuaian, tanpa alat bantu dan
juga harus mengikuti kurikulum reguler yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan kecepatannya
dalam belajar. Pendidikan integrasi memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus
agar terjalin keterpaduan dengan anak normal lainnya, baik keterpaduan secara menyeluruh,
c. Inklusif
Model inklusif sekolah menerima semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus
dengan latar belakang disabilitas yang beragam. Sekolah dan Guru melakukan penyesuaian
kurikulum dan proses pembelajaran untuk mengakomodasi kemampuan dan kebutuhan anak
yang berbeda-beda Guru mengedepankan kegiatan pembelajaran bagi semua anak secara
bersama-sama dan memberikan waktu luang untuk jam belajar tambahan bagi anak yang
membutuhkan perbaikan atau remedi. Menurut Ashman (Syafrida Elisa & Aryani Tri Wrastari,
2013) pendidikan anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif dapat dilakukan dengan berbagai
1) Kelas Reguler (Inklusif Penuh). Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non
yang sama.
2) Kelas Reguler dengan Cluster. Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non
3) Kelas Reguler dengan Pull Out. Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non
berkebutuhan khusus di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari
4) Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out. Anak berkebutuhan khusus belajar bersama
anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam
waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang lain untuk belajar dengan Guru .
dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat
6) Kelas Khusus Penuh. Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada
inklusif merupakan model sekolah yang menerima semua anak termasuk anak
berkebutuhan khusus dengan latar belakang disabilitas yang beragam untuk dapat belajar
bersama anak normal pada umumnya dengan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan
anak. Proses pembelajaran yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Model
integrasi atau terpadu peserta didik berkebutuhan khusus dan peserta didik normal pada
umumnya diberikan kesempatan yang sama untuk belajar bersama di sekolah yang sama,
dimana dalam pembelajaran peserta didik dengan kebutuhan khusus dapat bergabung
dengan anak normal pada umumnya. Pendidikan integrasi berfokus pada keutamaan anak
berkebutuhan khusus untuk sekolah di sekolah reguler, dan anak menyesuaikan diri
menegaskan dengan jelas tentang gagasan pemisahan anak dalam pendidikan, misalnya
sekolah luar biasa (SLB) sebagai tempat belajar khusus bagi anak berkebutuhan khusus.
khusus keterpaduan dengan anak normal lainnya, baik keterpaduan secara menyeluruh,
sebagian atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi. Pendidikan integrasi berfokus pada
keutamaan anak berkebutuhan khusus untuk sekolah di sekolah reguler, dan anak
integrasi, sedangkan model inklusif sekolah menerima semua anak termasuk anak
dengan baik sesuai peraturan dan undang-undang yang mengatur tentang pendirian dan
pelaksanaan pendidikan inklusif pada sekolah Sesuai dengan disiplin ilmu fungsi pendidikan
1) Fungsi preventif
Fungsi ini menjelaskan bahwa Pendidikan Inklusif pada sekolah yang menyelenggarakan
2013).
2) Fungsi Intervensi
Fungsi ini menjelaskan bahwa pendidikan inklusif dapat menangani anak yang berkebutuhan
khusus agar mereka dapat mengembangkan dan menyalurkan potensi yang dimilikinya
dengan diperlakukan sama dengan anak normal pada umumnya (Mulyani, 2013).
3) Fungsi kompensasi
Fungsi ini menjelaskan bahwa melalui pendidikan inklusif dapat membantu anak yang
berkebutuhan khusus untuk membantu menangani kekurangan yang ada pada dirinya
melalui Guru pendamping khusus dan kekurangan itu dapat digantikan dengan fungsi
Landasan pendidikan sekolah inklusif merupakan dasar hukum yang menjelaskan tentang
pendidikan pada sekolah inklusif. ada beberapa landasan yang menjadi dasar hukum tentang
1) Landasan filosofis
Landasan filosofis adalah sekelompok atau seperangkat wawasan yang menjelaskan dasar
pendidikan inklusif, meliputi, agama, pandangan, Bhineka Tunggal Ika, filosofi inklusif, dan
universal.
2) Landasan yuridis
penting dalam untuk menjamin anak berkebutuhan khusus mendapatkan kesempatan yang
sama seperti anak normal lainnya. Kebijakan yang menjamin anak berkebutuhan khusus
mengenai ini adalah Deklarasi Bandung yang menjelaskan mengenai pelaksanaan
3) Landasan pedagogis
Landasan ini menjelaskan tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta
didik. Peserta didik menjadi warga Negara yang bertaqwa, kreatif bertanggung jawab dan
4) Landasan empiris
Landasan ini berbicara mengenai penelitian pendidikan inklusif yang sudah dilaksanakan di
berbagai Negara bahwa pendidikan memberikan dampak yang positif terhadap sosial dan
akademik anak, dengan kata lain layanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus
Dari berbagai landasan mengenai pendidikan sekolah inklusif di atas maka dapat
disimpulkan bahwa pendidikan inklusif menjadi pedoman, acuan dan dasar bagi Guru dalam
menyelenggarakan dan melaksanakan pendidikan inklusif serta dalam hal memberikan layanan
yang sesuai dan tepat bagi anak yang memiliki berkebutuhan khusus sehingga dapat
megembangkan potensi yang dimilikinya, karena anak berkebutuhan khusus mempunyai hak
yang sama dengan anak-anak normal lainnya untuk mendapatkan pendidikan bermutu tinggi.
Dengan harapan ketika anak berkebutuhan khusus dididik, diperhatikan dan dijaga dengan baik,
mereka juga bisa tumbuh dan menjadi seperti anak normal lainnya.
bagi anak yang membutuhkan layanan pendidikan anti karakteristik. Karakteristik dari
pendidikan inklusif di jelaskan oleh Direktorat PLB yaitu (Mohammad Takdir Illahi, 2013)
1) Usaha untuk menemukan cara-cara merespon keragaman individu yang proses dan usahanya
berjalan terus.
3) Anak yang berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya.
4) Pendidikan inklusif diperuntukan bagi anak-anak yang tergolong eksklusif , marginal, dan
yang paling utama dalam pendidikan inklusif. Karakteristik sekolah yang menyelenggarakan
pendidikan inklusif juga memberikan gambaran bahwa siswa tidak boleh dibeda-bedakan dalam
proses belajar mengajar karena akan membawa berdampak buruk bagi siswa. Oleh karena itu
Guru seharusnya harus memperlakukan mereka dengan baik tanpa memandang kesulitan
Pendidikan inklusif dengan dasar hukum yang telah diberlakukan mempunyai tujuan sebagai
pemerataan pendidikan untuk semua anak-anak bangsa untuk memperoleh pendidikan dan
perlakuan yang sama agar mereka dapat bergabung dengan anak-anak normal pada umumnya
dalam mewujudkan cita-cita. Berdasarkan kesepakatan dari para ahli Menurut tujuan pendidikan
1) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki
mental, sosial, atau memiliki kelainan fisik, emosional, potensi kecerdasan atau bakat sesuai
untuk semua peserta didik agar tidak terjadinya tindakan diskriminatif bagi anak yang
berkebutuhan khusus.
Pendidikan pada sekolah inklusif yang mana di dalamnya terdapat anak-anak normal
beserta diperuntukan anak-anak yang berkebutuhan khusus. Menurut Mudjito, (2012) Prinsip
dari pendidikan pada sekolah inklusif memiliki prinsip filosofis sebagai berikut:
2) Anak-anak tidak boleh di bezakan dan di rendah kan berdasarkan kesulitan atau keterbatasan
dalam belajar.
3) Alasan apapun tidak dibenarkan untuk memisahkan anak selama mereka belajar karena
anak-anak saling memiliki bukan untuk dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Pendapat lain juga di sampaikan oleh Johnsen dan Skojen yang menjabarkan tiga prinsip
1) Dana dalam satu kelas atau kelompok termasuk dalam komunitas setempat setiap anak
2) Pembelajaran kooperatif dengan perbedaan pendidikan dan kefleksibelan bisa diatur penuh
dalam pemelihan hari sekolah serta tugas-tugas dapat dilakukan dengan sepuas hati.
perbedaan individu dalam pengorganisasian kelas maka Guru harus bekerja sama dan
adalah adanya kesamaan hak antara anak berkebutuhan khusus dengan anak normal pada
umumnya mereka mempunyai hak untuk bermain dan belajar bersama, pengorganisasian kelas
proses pengumpulan informasi tentang perkembangan peserta didik dengan menggunakan alat
dan teknik sesuai untuk membuat keputusan pendidikan yang berkenaan dengan penempatan
dan program yang sesuai bagi peserta didik tersebut (Saputra, 2016). Dengan adanya asesmen,
maka perencanaan pembelajaran dapat disusun berdasarkan karakter dan kemampuan siswa
Guru tidak dapat membuat suatu perencanaan tanpa adanya hasil asesmen, dan
kurikulum tidak akan bisa digunakan sesuai dengan kebutuhan siswa ABK tanpa adanya
asesmen pula. Asesmen ini dilakukan melalui koordinasi kerja antara para Guru , Guru mata
pelajaran, psikolog, bahkan dokter spesialis. Setelah hasil asesmen ini diketahui, maka Guru
berkoordinasi dengan Guru mata pelajaran menyusun RPP yang nantinya akan digunakan
untuk melaksanakan pembelajaran bagi siswa ABK. Kurikulum yang digunakan sama dengan
yang digunakan siswa normal lainnya, dengan adanya modifikasi (Saputra, 2016). Bentuk
modifikasi tersebut adalah penyederhanaan kompetensi dasar, indikator, materi, bentuk evaluasi,
inklusif dimana kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada
dasarnya menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian
karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi,
mulai dari yang sifatnya ringan, sedang, sampai yang berat, maka dalam implementasinya,
kurikulum regular perlu dilakukan modifikasi (penyelarasan) sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kebutuhan peserta didik. Modifikasi kurikulum dilakukan oleh tim pengembang
kurikulum di sekolah (Saputra, 2016). Tim pengembang ini terdiri dari kepala sekolah, Guru
kelas, Guru mata pelajaran, Guru , konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait.
Pelaksanaan belajar siswa inklusif menerapkan sistem kelas Pull Out, maksudnya selama
siswa ABK dapat mengikuti pembelajaran di dalam kelas reguler, maka siswa tersebut akan
belajar bersama-sama dengan siswa reguler lainnya (Saputra, 2016). Apabila siswa ABK tidak
dapat mengikuti pembelajaran di dalam kelas reguler, maka siswa tersebut akan ditarik dari
kelas reguler untuk belajar di dalam ruang belajar inklusif. Pelaksanaan pembelajaran bagi siswa
berkebutuhan khusus memakai program pembelajaran individual (PPI) yang berasal dari
kurikulum modifikasi.
Kegiatan evaluasi pembelajaran inklusif yang dilakukan adalah melalui ulangan harian,
UTS, Ujian Semester, Ujian Akhir Sekolah, dan penugasan-penugasan lainnya. Melalui kegiatan
evaluasi ini maka akan diperoleh hasil belajar siswa, apakah sudah dapat mencapai indikator atau
standar yang telah ditentukan atau belum (Saputra, 2016). Jika belum mencapai standar tersebut,
maka akan diberikan remedial berupa penugasan lain sesuai dengan materinya. Soal-soal ujian
yang diberikan untuk siswa ABK berbeda dengan soal siswa reguler Soal untuk ABK disusun
oleh Guru yang bekerjasama dengan Guru mata pelajaran dan telah disesuaikan dengan tingkat
kemampuan belajar siswa ABK. (Saputra, 2016). Untuk siswa ABK yang dinilai mampu untuk
mendapatkan standar evaluasi yang sama dengan siswa reguler, maka akan mengerjakan tes
evaluasi standar kelas reguler, akan tetapi berdasarkan kemampuan siswa ABK, maka bentuk
untuk memenuhi kebutuhannya. Layanan anak berkebutuhan khusus merupakan layanan yang
diberikan oleh seorang (Guru ) kepada orang lain (anak berkebutuhan khusus) untuk memenuhi
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 5 ayat (2)
menyatakan bahwa “Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan layanan khusus”. Sekolah sebagai penyelenggara
pendidikan inklusif harus mampu memberikan layanan, khususnya layanan yang berkaitan
dengan layanan akademik serta layanan non-akademik untuk mengembangkan potensi yang
dimiliki siswa. Hal-hal yang berkaitan dengan layanan akademik yaitu peserta didik, kurikulum,
a. Peserta didik.
Sasaran pendidikan inklusif secara umum adalah semua peserta didik yang ada di sekolah
reguler. Sedangkan secara khusus, sasaran pendidikan inklusif adalah setiap peserta didik yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa. Menurut Budiyanto (2012) pemberian layanan peserta didik mencakup
antara siswa ada yang memiliki kesulitan dalam belajar yang disebabkan oleh kelainan
atau kecacatan (Parwoto, 2007). Dengan adanya identifikasi terhadap peserta didik
diharapkan dapat mengetahui apakah peserta didik memiliki kebutuhan khusus atau tidak.
pemberian layanan pendidikan yang sesuai”. Hasil dari identifikasi adalah ditemukannya
program inklusif. Identifikasi anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai “upaya
awal yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami kelainan /
Identifikasi penting dilaksanakan sebagai tahap awal dalam mengenali hambatan yang
mungkin timbul dalam pembelajaran anak. Menurut Munawir Yusuf (Budiyanto, 2012)
secara umum tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi yang lengkap
mengenai kondisi anak dalam rangka penyusunan program pembelajaran yang sesuai
dengan kebutuhan khususnya sehingga anak tersebut terhindar dari problema belajar.
berhubungan dengan kondisi anak sehingga dapat mengetahui jenis kebutuhan anak. Agar
identifikasi dilakukan oleh orang yang terdekat dengan anak seperti orang tua, sanak
saudara atau Guru nya yang selalu berhubungan dengan anak, identifikasi juga dapat
dilakukan oleh berbagai pihak yang berhubungan dengan pelayanan anak, yaitu dokter,
psikolog, atau petugas sosial sesuai dengan bidang yang menjadi tanggung jawabnya.
yang sesuai dengan jenis kebutuhan peserta didik agar dapat mengikuti pembelajaran
Asesmen dilakukan sebelum identifikasi yaitu melalui proses penjaringan peserta didik.
peserta didik. Sesuai yang telah dikemukakan sebelumnya dengan dilakukannya asesmen
maka dapat mengetahui jenis kebutuhan peserta didik sehingga dapat memberikan
pelayanan sesuai dengan jenis kebutuhan yang dimiliki, selain itu dapat dijadikan sebagai
dasar dalam membuat program pembelajaran sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
anak.
b. Kurikulum
yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian, karena ragam hambatan yang dialami peserta
didik berkelainan bervariasi maka dalam implementasinya, kurikulum tingkat satuan pendidikan
yang sesuai dengan standar nasional perlu dilakukan modifikasi (penyelarasan) sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Pernyataan di atas berarti bahwa dalam
pelaksanaan pendidikan inklusif walaupun pada dasarnya menggunakan kurikulum yang berlaku
menggunakan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Peraturan Standar PBB
(Stubbs, 2002) menekankan bahwa “Negara harus bertanggung jawab atas pendidikan bagi
penyandang cacat dan harus: a) mempunyai kebijakan yang jelas, b) mempunyai kurikulum yang
fleksibel, dan c) memberikan materi yang berkualitas, menyelenggarakan pelatihan Guru dan
yang selama ini anak dipaksakan mengikuti kurikulum. Berdasarkan pendapat yang
kurikulum dengan kemampuan, bakat, dan minat yang dimiliki anak. Dedy Kustawan (2012)
umum atau satuan pendidikan kejuruan perlu menyusun kurikulum yang fleksibel yaitu adanya
penyesuaian-penyesuaian pada komponen kurikulum seperti pada tujuan, isi atau materi, proses
dan evaluasi atau penilaian. Pengembangan kurikulum untuk peserta didik berkebutuhan khusus
dikenal dengan adanya model eskalasi (ditingkatkan), duplikasi (sama/ meniru/ menggandakan),
c. Sarana prasarana
yang digunakan di sekolah reguler, anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus perlu
menggunakan sarana prasarana serta peralatan khusus sesuai dengan jenis kelainan dan
kebutuhan anak. Maksud pernyataan tersebut untuk kelengkapan sarana prasarana pada dasarnya
sama dengan kondisi yang biasanya diadakan di sekolah reguler pada umumnya dan tidak perlu
terlalu mengistimewakannya, hanya saja misalnya dalam membangun gedung pintu kelas, WC
hendaknya dapat dilalui kursi roda. Demikian pula apabila kondisi bangunan memerlukan tangga
Mohammad Takdir Ilahi (2012) menyatakan bahwa: Sarana prasarana adalah faktor
penting yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif. Sebagai salah satu
komponen keberhasilan, tersedianya sarana prasarana tidak serta merta mudah diperoleh dengan
mudah, tetapi membutuhkan kerja keras dari pemerhati pendidikan untuk mengupayakan fasilitas
prasarananya hendaknya disesuaikan dengan tuntutan kurikulum (bahan ajar) yang telah
dikembangkan.
Penyediaan sarana prasarana bagi anak berkebutuhan khusus yang terkait dengan
aksesibilitas fisik, materi dan media pembelajaran, mengacu pada jenis kebutuhan khusus
dan/atau disabilitas yang dialami oleh anak, berikut uraiannya: a. Penyandang tunanetra: guiding
block, mesin ketik braille, buku braille, riglet dan stylus (alat tulis braille), tongkat tunanetra,
lensa pembesar, teleskop, alat perekam suara, alat pemutar suara, program komputer khusus,
seperti program pembaca layar, dan lain-lain. b. Penyandang tunarungu: alat bantu dengar,
kamus bahasa isyarat, poster isyarat alfabet, kartu petunjuk (gambar, kata, kalimat), media video,
geometris 3 dimensi, kartu petunjuk (gambar, kata, kalimat), alat berhitung taktis, dan lain-lain.
d. Penyandang tunadaksa/orang dengan Cerebral palsy, kursi roda, kursi dengan modifikasi,
d. Pendidik
Umum Pasal 1 menyatakan bahwa “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi
sebagai Guru , dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan
sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan
pendidikan”. 38 Pendidik yang dimaksud dalam hal ini yaitu Guru . Di sekolah inklusif Guru
dapat dibedakan menjadi Guru kelas, Guru mata pelajaran, Di lingkungan kelas inklusif
membutuhkan interaksi dan kerjasama antara Guru dan murid, hal ini untuk mendukung
Menurut Tarmansyah (2007) Guru berperan aktif dalam proses pembelajaran baik di
dalam maupun di luar kelas. Mampu berdialog dengan siswanya mendorong terjadinya interaksi
kelasnya. Dalam kegiatan pembelajaran, Guru sebagai fasilitator dan motivator, dapat
menyatakan tugas dan tanggung jawab kepada anak itu sendiri dan mendorong terjadinya
Menurut Joppy Liando & Aldjo Dapa (2007) membagi life skills (kecakapan hidup)
menjadi empat jenis, yaitu: a. Kecakapan personal, yaitu kemampuan seseorang dan penghayatan
diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota masyarakat dan warga negara, untuk
menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya
sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri
dan lingkungannya b. Kecakapan sosial, yaitu kecakapan yang dimiliki seseorang dalam
pengembangan dari kecakapan berpikir rasional yang masih bersifat umum, sedangkan
kecakapan akademik lebih mengarah kepada kegiatan yang bersifat keilmuan. d. Kecakapan
vokasional, yaitu kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di
masyarakat. Selain pemberian bekal keterampilan hidup, di sekolah juga diadakan kegiatan
Hal-hal yang berkaitan dengan layanan akademik adalah peserta didik 43 orang,
kurikulum, sarana dan prasarana, serta pendidik. Layanan yang diberikan sekolah berkaitan
dengan peserta didik yaitu identifikasi dan asesmen bagi peserta didik. Layanan yang berkaitan
dengan kurikulum yaitu penggunaan kurikulum untuk anak berkebutuhan khusus, pengembangan
kurikulum di sekolah yang terdiri dari isi/materi, proses pembelajaran, dan evaluasi atau
penilaian. Layanan sarana dan prasarana yaitu ketersediaan sarana dan prasarana bagi anak
berkebutuhan khusus serta kesesuaian dengan jenis kebutuhan anak. Layanan yang berkaitan
dengan pendidik yaitu kesesuaian tugas serta cara mendidik peserta didik sesuai dengan jenis
kebutuhan peserta didik. Layanan non akademik merupakan layanan yang berkaitan dengan
pengembangan bakat, minat dan keterampilan peserta didik. Hal yang berkaitan dengan layanan
kepada anak berkebutuhan khusus yaitu tentang pemberian bekal keterampilan hidup serta
profesional yang diperuntukan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus dengan perannya yang
teramat besar dan kompleks dalam melaksanakan proses pengajaran kepada siswa penyandang
disabilitas (Friend, 2015). Anak penyandang disabilitas merupakan anak yang kondisinya yang
berbeda dengan anak usia sebayanya dan tidak didiskriminasikan hanya karena mempunyai
keterbelakangan fisik maupun mental. Oleh karena itu dibutuhkan Guru yang benar-benar bias
Konsep yang harus dipegang oleh sekolah Inklusif adalah “Pendidikan untuk semua”
sehingga pendidikan yang sebaik mungkin dapat diberikan kepada anak berkebutuhan khusus
dan anak normal seusianya. Seseorang dapat menjadi Guru pendamping khusus harus sesuai
dengan syarat pedoman penyelenggara pendidikan inklusif tahun 2007 mereka itu adalah yang
memiliki latar belakang Pendidikan Luar Biasa (PLB), pendidikan khusus, lulusan S1 sederajat
yang menyelenggarakan program pendidikan tenaga kependidikan dan/ program kependidikan
Kompetensi Guru dilandasi oleh empat kompetensi Guru yang utama (pedagogik,
kepribadian, profesional, dan sosial), yang telah tertulis dalam buku Pedoman Pembinaan Tendik
Direktur PSLB (Depdiknas, 2007), mengungkapkan bahwa secara khusus juga berorientasi pada
General ability atau kemampuan umum adalah kemampuan memperlakukan sama antara
Basic ability atau kemampuan dasar merupakan kemampuan yang diperlukan GURU
Specific ability atau kemampuan khusus merupakan kemampuan mendidik peserta didik
Seorang Guru Inklusif disamping harus menguasai kompetensi kepribadian, sosial dan
kompetensi pedagogik, juga harus menguasai kompetensi dasar, yaitu kompetensi yang
diperlukan untuk mendidik siswa berkebutuhan khusus dan diharapkan mampu mengoptimalkan
kinerjanya (Murdjito, 2002). Hal ini menjelaskan bahwa Guru pendamping mengupayakan dan
bertanggung jawab untuk memberikan layanan pendidikan pada semua anak dalam menjaring
dan mendampingi siswa ABK, Guru kelas di sekolah dasar diharapkan harus memiliki beberapa
1) Kompetensi terkait dalam penerimaan siswa baru yang mengakomodasi semua anak
2) Kemampuan melaksanakan kurikulum yang akomodatif dan fleksibel
3) Kemampuan dalam kegiatan belajar mengjar (JBM) serta kemauan dalam merancang bahan
Oleh karena itu, seorang Guru harus memiliki kompetensi khusus yang digunakan untuk
menangani anak berkebutuhan khusus selain kompetensi utama seorang Guru profesional,
pedagogik, sosial, dan kepribadian. Sehingga dalam belajar anak berkebutuhan khusus dapat
dibimbing dan diarahkan sebaik mungkin melalui kompetensi yang sudah dimiliki secara utuh
oleh Guru . Sebagai tenaga profesional Guru maka, seorang Guru dipersyaratkan dengan
adanya kualifikasi akademik dan kompetensi yang harus dimiliki. Sebagaimana telah
diamanatkan dalam Undang-Undang No 14 Tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen, bahwa
seorang Guru harus memiliki kualifikasi akademik yang diperoleh melalui perGuru an tinggi
program Strata Satu (S1)/Diploma Empat (D4). (Sukadari, 2019). Kualifikasi akademik
dimaksud, ditunjang dengan adanya kompetensi dasar yang harus dimiliki seorang Guru , yaitu
Kualifikasi yang dipersyaratkan ini juga berlaku bagi Guru di sekolah yang menyelenggarakan
program inklusif. Untuk menjaga kualitas profesional Guru , seorang Guru diwajibkan untuk
pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi yang ditunjuk pemerintah (Sukadari, 2019).
kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi Guru dalam jabatan yang diangkat oleh
a. Guru harus memiliki Sertifikat Pendidik yang ditempuh melalui pendidikan profesi
c. Sertifikasi pendidik dilakukan oleh LPTK yang terakreditasi dan ditunjuk oleh
Pemerintah
Menurut Fannisa Aulia Rahmaniar dalam (Irdamurni, 2019). Terdapat banyak tugas yang
diemban oleh seorang Guru di sebuah sekolah inklusif. Beberapa tugas yang harus dilaksanakan
anak, membuat sebuah PPI, membangun koordinasi dengan semua pihak, baik sekolah dan orang
tua, memberikan layanan khusus kepada anak, memberikan bimbingan kepada anak, serta
memberikan bantuan kepada Guru kelas jika Guru tersebut mengalami kesulitan dalam
Pada pendapat lain mengatakan beberapa tugas Guru yaitu menyusun instrumen asesmen
pendidikan bersama-sama dengan Guru kelas dan Guru mata pelajaran, menjalin kerjasama
antara Guru , sekolah, dan orang tua peserta didik, melaksanakan pendampingan anak
mata pelajaran/ Guru bidang studi, memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak
berkesinambungan dan membuat catatan khusus kepada anak-anak berkebutuhan khusus selama
mengikuti kegiatan pembelajaran, yang dapat dipahami jika terjadi pergantian Guru ,
memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada Guru kelas dan/ atau mata pelajaran agar
(Irdamurni, 2019 ).
Menurut (Kustawan D., 2012) Guru di Sekolah Inklusif harus lebih terbuka terhadap
perbedaan atau keberagaman peserta didik, mampu mendidik peserta didik yang beragam, lebih
terbiasa dan terlatih untuk mengatasi tantangan pelajaran supaya siswa mendapatkan prestasi
yang tinggi. Permendiknas No. 70 tahun 2009 telah mengatur peran dan tugas Guru dalam
3) Melaksanakan pendampingan bersama-sama dengan Guru kelas, Guru mata pelajaran atau
4) Memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak berkelainan yang mengalami hambatan
dalam mengikuti kegiatan belajar di kelas umum, berupa remedial maupun pengayaan.
6) Memberikan bantuan dalam bentuk berbagi pengalaman kepada Guru bidang studi, Guru
kelas, agar mereka dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak berkelainan
(Permendiknas, 2009).
Peran sebagai pembimbing merupakan salah satu peran Guru dari sekian banyak peran
yang harus dilakukan, Guru dianjurkan untuk memiliki beberapa karakteristik diantaranya
adalah sabar, ramah, kasih sayang, perhatian, toleransi terhadap anak, adil serta memahami
perasaan anak berkebutuhan khusus, adil, dan memahami perasaan anak berkebutuhan khusus,
serta dapat menghargai anak (Sukmadinata, 2004). Sangat banyak banyak peranan yang harus
dilakukan Guru sebagai pendidik sebagaimana yang dikemukakan oleh Bahri dalam
1) Motivator
Guru hendaknya dapat mendorong anak didik supaya bersemangat dan aktif belajar. Anak
berkebutuhan khusus sangat perlu diberikan motivasi, selama ini mereka merasa berbeda
dengan yang lain, maka memberi semangat dan memotivasi agar anak berkebutuhan khusus
2) Fasilitator
Fasilitas yang disediakan oleh Guru dapat memudahkan anak berkebutuhan khusus dalam
yang menyenangkan, suasana belajar yang nyaman sehingga rasa nyaman pada anak
berkebutuhan khusus dapat membuat mereka semangat dalam belajar dan mengikuti proses
belajar mengajar.
3) Mediator
Peran Guru disini adalah terkait dengan pemahaman tentang media, non material maupun
material. Guru hendaknya memiliki pengetahuan yang cocok tentang media yang berfungsi
sebagai alat komunikasi guna proses interaksi dan mengefektifkan kegiatan belajar
mengajar.
4) Pembimbing
pembimbing diantaranya: mengarahkan, sikap yang positif dan wajar terhadap anak,
perlakuan hangat, ramah, mengarahkan anak lebih mandiri, rendah hati dan menyenangkan,
pengembangan individu menjadi lebih dewasa, dan menyesuaikan diri terhadap keadaan
yang khusus.
5) Pendamping
Peran Guru disini hampir sama dengan peran Guru pada umumnya hal yang membedakan
adalah anak-anak yang berkebutuhan khusus. Peran Guru disini juga dalam hal membantu
Guru kelas, menyiapkan anak dan lain sebagainya yang dirasa pending dalam hal
a) Perencanaan Pembelajaran
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan meliputi: menganalisis hasil asesmen untuk
dengan menganalisis kurikulum maka kita dapat memilih bidang studi yang perlu ada
dengan program hasil asesmen sehingga tersusun sebuah program yang utuh yang
sebuah tim yang sekurang-kurangnya terdiri dari Guru kelas dan mata pelajaran, kepala
sekolah, orang tua/wali serta Guru . Pertemuan perlu dilakukan untuk menentukan
kegiatan yang sesuai dengan anak serta penentuan tugas dan tanggung jawab
pelaksanaan kegiatan.
b) Pelaksanaan Pembelajaran
Pada tahap ini Guru melaksanakan program pembelajaran serta pengorganisasian siswa
berkelainan di kelas reguler sesuai dengan rancangan yang telah disusun. Pelaksanaan
pada topik yang sama waktu dan ruang yang sama, namun dengan materi yang berbeda-
beda (Sukadari, 2019). Cara lain proses pembelajaran dilakukan secara individual artinya
anak diberi layanan secara individual dengan bantuan Guru khusus. Proses ini dapat
(prerequisit). Proses layanan ini dapat dilakukan secara terpisah atau masih kelas
bahkan kemunduran belajar anak (Sukadari, 2019). Jika anak mengalami kemajuan
dalam belajar, pendekatan yang dipilih Guru perlu terus dipertahankan, tetapi jika tidak
pendekatan, maupun media yang digunakan anak yang bersangkutan untuk memperbaiki
problema belajar anak secara bertahap dapat diperbaiki sehingga anak terhindar dari
putus sekolah.
pendamping khusus juga berperan terhadap pemberian layanan berupa layanan akademik
maupun non akademik memberikan layanan akademik, sebagai sekolah inklusif memberikan
layanan dalam bentuk layanan non-akademik, hal yang berkaitan dalam layanan non-akademik
kepada anak berkebutuhan khusus yaitu tentang pemberian bekal keterampilan hidup. Semua
anak harus berkembang secara optimal, baik akademik maupun non-akademik. Oleh karena itu
menurut (ASB, 2011) agar anak dapat berkembang dengan optimal maka Sekolah termasuk
didalamnya tenaga pendidik maupun Guru pendamping khusus harus mewadahi penyaluran
potensi minat dan bakat semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus. Sekolah dapat
menyusun program pengembangan keterampilan hidup untuk anak berkebutuhan khusus sesuai
dengan minat dan bakat yang dimiliki. Dalam pemberian keterampilan hidup bagi anak
berkebutuhan khusus disesuaikan dengan minat dan bakat yang dimiliki anak berkebutuhan
khusus agar dapat digunakan sebagai bekal anak berkebutuhan khusus yang nantinya hidup
Sekolah memberikan kesempatan kepada peserta didik khususnya peserta didik yang
memiliki kebutuhan khusus untuk dapat mengembangkan keterampilan yang dimiliki sehingga
berbagai mata pelajaran dan menguasai sedikit keterampilan, menjadi persoalan penting bagi
dunia pendidikan khusus yaitu tentang kelangsungan hidup ABK setelah menyelesaikan berbagai
program di sekolah. Berdasarkan kondisi yang ada, maka sekolah tentunya harus dapat berperan
dalam membina ABK untuk dapat memiliki keterampilan hidup ditengah-tengah masyarakat.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa layanan anak berkebutuhan khusus
merupakan layanan yang diberikan oleh seorang (Guru ) kepada orang lain (anak berkebutuhan
harus mampu memberikan layanan khususnya layanan yang berkaitan dengan layanan akademik
serta layanan non-akademik untuk mengembangkan potensi yang dimiliki siswa. Layanan
akademik merupakan layanan yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Hal-hal yang
berkaitan dengan layanan akademik adalah peserta didik, kurikulum, sarana dan prasarana, serta
pendidik. Layanan yang diberikan sekolah berkaitan dengan peserta didik yaitu identifikasi dan
asesmen bagi peserta didik. Layanan yang berkaitan dengan kurikulum yaitu penggunaan
kurikulum untuk anak berkebutuhan khusus, pengembangan kurikulum di sekolah yang terdiri
dari isi/materi, proses pembelajaran, dan evaluasi atau penilaian. Layanan sarana dan prasarana
yaitu ketersediaan sarana dan prasarana bagi anak berkebutuhan khusus serta kesesuaian dengan
jenis kebutuhan anak. Layanan yang berkaitan dengan pendidik yaitu kesesuaian tugas serta cara
Layanan non akademik merupakan layanan yang berkaitan dengan pengembangan bakat,
minat dan keterampilan peserta didik. Hal yang berkaitan dengan layanan kepada anak
berkebutuhan khusus yaitu tentang pemberian bekal keterampilan hidup serta kegiatan
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang ditegaskan dalam penelitian ini adalah penelitian sebelum
penulisan skripsi ini, namun tidak ada penelitian terdahulu yang sama persis dengan penelitian
yang dilakukan peneliti, penelitian sebagai subyek yang meneliti permasalahan yang hampir
sama dengan penelitian terdahulu, dengan tujuan ingin memecahkan masalah yang diteliti secara
lebih mendalam, luas dan jelas. Pada penelitian terdahulu yang diambil peneliti untuk dijadikan
bahan pertimbangan dalam penelitian sekarang mempunyai beberapa kesamaan dan juga
perbedaan. Berikut adalah penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang akan
dilakukan peneliti.
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Nama peneliti Judul Hasil Metodologi
1 Redi Susanto Efektivitas dilihat dari tenaga Deskriptif
(2012) Program pendidik, Kualitatif
Sekolah ketersediaan Guru
Penyelenggara dan kerjasama
Pendidikan antara Guru
inklusif kelas sudah efektif
2 Mimin Tjasmini, M. Peran Guru Hasil penelitian Deskriptif
Chandra Z dalam diketahui bahwa Kualitatif
(2012) Pembinaan Guru sudah
Perilaku melakukan
Adaptif Anak pembinaan
Tunagrahita perilaku adaptif
Ringan di tetapi belum
Sekolah maksimal dalam
Inklusif implikasinya
3 Haryono,et.al; Evaluasi Kurikulum yang evaluatif dan
(2015) Pendidikan digunakan di kelas dirancang
inklusif Bagi inklusif adalah menggunakan
Anak kurikulum anak model CIPP
Berkebutuhan normal (Context, In-
Khusus (Abk) put, Process,
dan Product).
4 Hernani,et:al; Manajemen Sudah berjalan Kualitatif
(2015) pendidikan sesuai dengan
ABK aturan yang
berlaku
5 Yayuk Firdaus Peran Guru Peran Guru Studi Kasus
(2016) dalam meliputi kegiatan dengan
Implementasi asesmen, deskriptif
Program penyusunan kualitatif
Kebutuhan program
Khusus bagi kebutuhan khusus,
Peserta Didik pelaksanaan
Berkebutuhan program
Khusus kebutuhan khusus,
dan evaluasi.
6 Desi ratna Hak anak Sudah mampu Deskriptif
permatasari ABK di menerapkan Kualitatif
(2016) sekolah inklusi konsep sekolah
inklusif walaupun
belum semua hak
ABK terpenuhi
No Nama peneliti Judul Hasil Metodologi
7 Lia mareza Pengajaran Kendala yang Kualitatif
(2016) kreativitas dihadapi tidak
ABK pada tersedianya sarana
pendidikan prasarana
inklusif
8 Nurain Proses berpikir Proses berpikir Deskriptif
Suryadinata,dkk ABK dalam ABK meliputi Kualitatif
(2016) menyelesaikan pembentukan
masalah pengertian,
matematika pendapat, dan
penarikan
kesimpulan
9 Zainul anwar,et:al; Pengembangan Sulit dalam Deskriptif
(2016) model deteksi mendeteksi Kualitatif
dini ABK kelainan dalam
usia dini
10 Aisyah aulia ulfah Penanganan Kecerdasan Kualitatif
(2017) ABK ditinjau spiritual orang tua
dari Tingkat yang tinggi
kecerdasan mempengaruhi
spiritual orang dalam menangani
tua ABK
11 Dwinita Sari Peran Guru sepenuhnya Studi kasus
(2018) Pendamping pendampingan dengan
Khusus Dalam anak Dyslexia pendekatan
Mengatasi Dilakukan oleh kualitatif
Dyslexia Guru
pendamping
khusus
12 Ni luh gede karang Layanan ABK Anak dengan Deskriptif
widiastuti dengan gangguan emosi Kualitatif
(2020) gangguan dan perilaku
emosi dan memiliki
perilaku karakteristik sosial
dan emosi
immature
13 Rima rizki angraini Persepsi orang Persepsi orang tua Kuantitatif
(2020) tua terhadap terhadap deskriptif
ABK menghilangkan
sifat negatif ABK
86,2%
Berdasar uraian di atas, perlu digaris bawahi bahwa penelitian yang akan dilakukan oleh
peneliti memiliki perbedaan dan persamaan dengan penelitian terdahulu yang relevan tersebut.
Perbedaan utama yaitu pada lokasi penelitian yang dipilih, fokus permasalahan yang dikaji, dan
tujuan penelitian tersebut dilaksanakan. Persamaan umum yang ada antar penelitian ini dengan
penelitian terdahulu yaitu mengenai metode penelitian atau pendekatan penelitian yang
digunakan berupa kualitatif. Sehingga dapat disimpulkan dengan tegas bahwa penelitian ini
berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh para peneliti terdahulu.
C. Konsep Operasional
kelainan/kebutuhan khusus dan anak normal pada umumnya berada pada satu lingkup. Layanan
anak berkebutuhan khusus merupakan layanan yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus
sehingga anak yang memiliki kelainan/kebutuhan khusus dapat mengikuti pembelajaran dan
memahami tentang materi pembelajaran yang disampaikan. Dalam pemberian layanan kepada
anak berkebutuhan khusus, sekolah hendaknya mengakomodasi seluruh kebutuhan peserta didik
layanan pendidikan yang sesuai dengan jenis kebutuhan peserta didik melalui bantuan peran
Guru yang mencakup layanan akademik dan layanan akademik. Layanan akademik merupakan
layanan yang berhubungan dengan proses pembelajaran. Penelitian ini mendeskripsikan layanan
akademik dari aspek peserta didik, kurikulum, sarana prasarana, dan pendidik. Layanan non
akademik merupakan layanan yang berkaitan dengan pemberian bekal life skill. Berikut
gambaran kerangka konsep operasional dari layanan pembelajaran ABK di Sekolah Inklusif