Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS KOMPETENSI GURU (GPK) DALAM PENGELOLAAN KELAS

INKLUSI DI SDN KUIN SELATAN 3 BANJARMASIN, KALIMANTAN SELATAN

EKA ENDAH AGUSTIANI

170132844005

ARTIKEL

MANAJEMEN MUTU TERPADU

Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan pada proses pembelajaran agar
dapat membuat peserta didik mengerti, memahami, dan mengembangkan cara berpikir
kritis. Dalam proses ini diharapkan peserta didik mendapatkan pelayanan dan pengajaran
yang tidak membeda-bedakan agar tujuan yang diharapkan dalam pengimplementasian
pembelajaran dapat berjalan secara optimal.
Pendidikan juga dapat diartikan sebagai pemberian pelayanan dari guru terhadap
peserta didik. Sesuai dengan tujuan pendidikan yang lebih menekankan pada pencapaian
mutu pendidikan dengan cara meningkatkan mutu pendidikan, maka peran guru dalam
membimbing dan mencetak generasi yang unggul sangat penting. Hal ini yang menjadi
prioritas utama dalam mencapai pendidikan yang optimal yaitu tidak membeda-bedakan
dalam penyampaian materi pada pembelajaran. Fenomena yang sangat dominan pada
permasalahan pendidikan saat ini yaitu pada pendidikan di sekolah inklusi.
Sekolah inklusi merupakan sekolah reguler (biasa) yang menerima siswa ABK (Anak
Berkebutuhan Khusus) dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan
dengan kebutuhan anak reguler atau anak tanpa berkebutuhan khusus dan ABK melalui
adaptasi pada kurikulum, pembelajaran, evaluasi, dan sarana prasarananya. Sekolah
inklusi juga merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam membantu anak ABK agar
dapat bersekolah dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar tanpa dipandang sebelah
mata.
Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang dalam menempuh pendidikan
membutuhkan pelayanan spesifik, yang berbeda dengan anak pada umumnya. Secara
umum rentangan anak berkebutuhan khusus meliputi dua kategori, yaitu: anak yang
memiliki kebutuhan khusus yang bersifat permanen, yaitu akibat dari kelainan tertentu,
dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer, yaitu anak yang mengalami
hambatan belajar dan perkembangan yang disebabkan kondisi dan situasi lingkungan.
Misalnya anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat trauma pada
kerusuhan dan bencana alam, atau tidak bisa membaca dan berhitung akibat kekeliruan
pada teknik penyampaian guru dalam mengajar, anak yang mengalami perbedaan bahasa
di rumah dan di sekolah, anak yang mengalami hambatan belajar dan perkembangan
karena isolasi budaya dan karena kemiskinan dan sebagainya (Garnida, 2015:1). Apabila
anak temporer tidak mendapatkan penanganan yang tepat dan sesuai dengan
kebutuhannya, maka bisa menjadi temperamen. Oleh sebab itu, guru sebagai pendidik
harus mengetahui dan memahami karakteristik yang dimiliki peserta didik dan kebutuhan-
kebutuhannya.
Untuk mencapai tujuan yang diharapkan pada sekolah inklusi, prioritas utama yang
perlu diperhatikan yaitu pada pengelolaan kelas. Suwardi dan Daryanto (2017:143)
menegaskan bahwa pengelolaan kelas harus dilaksanakan dengan prosedur tertentu, yang
mana prosedur ini merupakan langkah yang dilalui guru dalam kegiatan belajar mengajar
agar pembelajaran dapat terarah dan teratur. Untuk itu terdapat dua prosedur pengelolaan
kelas, yaitu prosedur yang bersifat preventif (pencegahan), dan prosedur yang bersifat
kuratif (penyembuhan). Prosedur preventif merupakan suatu tindakan untuk mencegah
adanya penyimpangan yang terjadi khususnya di dalam kelas agar tidak mengganggu
proses belajar mengajar. Contoh: siswa tidak semangat dalam mengikuti proses kegiatan
belajar mengajar. Sedangkan prosedur kuratif adalah tindakan yang dilakukan pada saat
penyimpangan itu terjadi dan mengembalikan kondisi tersebut dengan cara yang
menguntungkan pada berlangsungnya proses kegiatan belajar mengajar.
Untuk itu pengelolaan kelas yang ada di sekolah reguler dengan sekolah inklusi
sangatlah berbeda. Pada sekolah reguler, pengelolaan kelasnya hanya terdapat guru kelas
(Sekolah Dasar), guru mata pelajaran/bidang studi, dan peserta didik. Berbeda halnya
dengan sekolah inklusi yang pada pengelolaan kelasnya membutuhkan guru pendidikan
khusus (GPK) yang diperlukan untuk mendampingi anak berkebutuhan khusus dalam
mengikuti proses belajar. GPK sesuai dengan buku pedoman penyelenggara pendidikan
inklusif tahun 2007 yaitu guru yang mempunyai latar belakang pendidikan
khusus/pendidikan luar biasa atau yang pernah mendapat pelatihan tentang pendidikan
khusus/luar biasa, yang ditugaskan di sekolah inklusif.
Buku pedoman Pembinaan Tendik Direktur PSLB (Zakia, 2015) mengungkapkan
kompetensi GPK selain dilandasi oleh empat kompetensi utama (pedagogik, kepribadian,
profesional, dan sosial), secara khusus juga berorientasi pada tiga kemampuan utama,
yaitu: (1) kemampuan umum (general ability) adalah kemampuan yang diperlukan untuk
mendidik peserta didik pada umumnya (anak normal), (2) kemampuan dasar (basic ability)
adalah kemampuan yang diperlukan untuk mendidik peserta didik berkebutuhan khusus,
dan (3) kemampuan khusus (spesific ability) adalah kemampuan yang diperlukan untuk
mendidik peserta didik berkebutuhan khusus jenis tertentu (spesialis).
Perubahan dalam meningkatkan mutu pendidikan berdampak luas terhadap institusi
seperti pada jurusan pendidikan luar biasa (PLB), dimaan lulusan PLB tidak hanya
dipersiapkan dan harus selalu menjadi seorang guru di sekolah luar biasa (SLB), namun
akan dituntut pula untuk dapat menjalankan pofesinya di sekolah reguler sebagai GPK
(Guru Pendidikan Khusus). Keadaan tersbeut telah memberikan implikasi bagi para
lulusan PLB agar memiliki kesiapan dan keterampilan untuk dapat menjalankan
profesinya sebagai GPK yang berkompeten dalam menjalankan profesinya di sekolah
reguler.
Sesuai dengan pendapat Nurmayanti (2007) yang mengemukakan bahwa “Kebijakan
pemerintah berkenaan dengan adanya GPK merupakan dukungan strategis dalam
penyelenggaraan layanan pendidikan inklusif. Dikatakan strategis karena peran GPK
sangat dibutuhkan, terutama di sekolah-sekolah yang menyelenggarakan pendidikan
inklusi”.
Guru Pendidikan Khusus (GPK) berkedudukan sebagai guru pendamping khusus.
Tugas guru pendidikan khusus ini (Garnida, 2015:88), meliputi: (1) menyusun instrumen
asesmen pendidikan secara bersama-sama dengan guru kelas atau guru bidang studi; (2)
membangun sistem koordinasi antar guru, pihak sekolah, dan orang tua peserta didik; (3)
melaksanakan pendampingan anak berkebutuhan khusus pada kegiatan pembelajaran
bersama dengan guru kelas atau guru bidang studi; (4) memberikan bantuan layanan
khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan dalam mengikuti
pembelajaran di kelas umum, berupa remidi atau pengayaan; (5) memberikan bimbingan
secara berkesinambungan dan membuat catatan khusus pada anak ABK selama mengikuti
kegiatan pembelajaran dengan bahasa sederhana apabila terjadi pergantian guru; dan (6)
memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada guru kelas/guru bidang studi agar mereka
dapat mengerti dan memahami dalam memberikan pelayanan pendidikan pada anak
berkebutuhan khusus.
Pedoman Tendik (2007) menyatakan bahwa perekrutan GPK terdapat tiga alternatif
yaitu: pertama, melalui kerjasama guru SLB terdekat; kedua, merekrut guru dengan
kualifikasi PLB dan guru reguler yang memperoleh pelatihan tentang ABK dan ketiga,
dari pusat pengembangan anak, sehingga dilapangan muncul beragam kualifikasi yang
berbeda-beda menjadi GPK. Dengan munculnya kualifikasi pendidikan GPK yang
bermacam-macam, pelaksanaan peran dan tugas GPK dapat berlangsung secara optimal
atua tidak.
Dari pedoman diatas, dapat diketahui bahwa GPK juga diperhatikan pada kualifikasi
dan kompetensinya. Akan tetapi, berbeda dengan yang terjadi di lapangan pada SDN Kuin
Selatan 3 Banjarmasin. Kompetensi dan kualifikasi GPK tidak diperhatikan, karena GPK
yang diterima kebanyakan dari lulusan pendidikan di luar Pendidikan Luar Biasa atau guru
reguler. Sehingga mengakibatkan pada proses pembelajaran, GPK yang masih belum
memahami karakteristik ABK dan tidak menangani secara optimal. Permasalahan ini
peneliti dapatkan pada hasil wawancara (Lampiran 1) dengan salah satu GPK di SDN Kuin
Selatan 3 Banjarmasin.
Oleh sebab itu, memperhatikan kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki GPK sangat
penting. Dari permasalahan tersebut, peneliti merumuskan permasalahan dengan
menggunakan five why untuk meningkatkan manajemen mutu terpadu di SDN Kuin
Selatan 3 Banjarmasin. Berangkat dari permasalahan pertama yaitu mengapa pengelolaan
kelas di sekolah inklusi tidak optimal? kedua, mengapa pengelolaan kelas tidak
disesuaikan dengan kebutuhan kelas inklusi? ketiga, mengapa Guru Pendidikan Khusus
(GPK) tidak mampu mengelola kelas? keempat, mengapa GPK tidak memiliki kompetensi
guru yang cukup? dan kelima, mengapa jarang mengikuti pelatihan GPK?
Dengan metode Five Why peneliti dapat mengetahui dari permasalahan (1) karena
pada pengelolaan kelas peran GPK tidak diperhatikan, (2) karena GPK tidak memahami
karakteristik anak ABK, (3) karena GPK tidak mengetahui cara menangani anak ABK, (4)
karena guru yang direkrut kurang pengetahuan mengenai penanganan anak berkebutuhan
khusus, dan (5) karena kurangnya peran kepala sekolah dalam meningkatkan mutu guru.
Untuk itu peneliti mengharapkan dari teknik Five Why dapat membantu memecahkan
masalah yang terjadi di SDN Kuin Selatan 3 Banjarmasin.

Daftar Rujukan
Depdiknas. 2007. Pedoman khusus penyelenggaraan pendidikan inklusif tentang
pengadaan dan pembinaan tenaga pendidik. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah
Luar Biasa.
Suwardi, dan Daryanto. 2017. Manajemen Peserta Didik. Yogyakarta: Penerbit Gava
Media
Garnida, Dadang. 2015. Pengantar Pendidikan Inklusif. Bandung: PT Refika Aditama.
Zakia, Dieni L. 2015. Guru Pembimbing Khusus (GPK): Pilar Pendidikan Inklusi. Jurnal
Seminar Nasional Pendidikan UNS dan ISPI Jawa Tengah 2015.
Nurmayanti, Dede. 2007. Peran Guru Pendamping Khusus dalam Memberikan Layanan
Pendidikan terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus di Sekolah Reguler. Skripsi
Sarjana pada Pendidikan Luar Biasa Universitas Pendidikan Indonesia Bandung:
tidak diterbitkan.

Anda mungkin juga menyukai