Anda di halaman 1dari 13

KOLABORASI DALAM LAYANAN PENDIDIKAN BAGI ANAK

BERKEBUTUHAN KHUSUS PADA SEKOLAH PENYELENGGARAAN


PENDIDIKAN INKLUSIF DI SUKABUMI

ABSTRAK

Berdasarkan observasi dan penjelasan guru pembimbing khusus di sekolah


penyelenggara pendidikan inklusif bahwa bentuk kolaborasi antara guru dengan
stakeholder masih beragam. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dan memperoleh informasi mengenai implementasi kolaborasi antara
guru dengan stakeholders dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus pada sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sukabumi.
Penelitian ini menggunakan mix methode kuantitatif dan kualitatif.
Penelitian dilaksanakan di sekolah dasar yang menyelenggarakan pendidikan
inklusif di daerah Sukabumi. Waktu penelitian mulai bulan Maret sampai bulan
November 2022. Penelitian ini merupakan suatu penelitian kuantitatif.
Pengumpulan data dalam penelitian ini melalui instrumen angket. Wawancara
dan observasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik
stastika deskriptif.

Kata kunci: Kolaborasi, Anak Berkebutuhan Khusus, Pendidikan


Inklusif.

A. Latar Belakang
Pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus di kelas umum yang
dikenal dengan istilah inklusif telah menjadi trend di banyak negara selama
lebih dari 20 tahun terakhir, khususnya setelah Pernyataan Salamanca pada
tahun 1994. Sebagai landasan filosofis untuk memberikan kesetaraan akses
untuk semua peserta didik, pendidikan inklusif mengubah lingkungan sekolah
yang dibatasi menjadi lingkungan yang lebih ramah dan dapat diakses untuk
keberagaman siswa (Dede Supriyanto, 2019).
Khusus di Indonesia, penerapan sistem pendidikan inklusif merupakan
salah satu cara untuk memenuhi wajib belajar sembilan tahun melalui
pendidikan yang berkualitas. Melalui sistem pendidikan inklusif, pemerintah
membuka akses pendidikan bagi semua anak, termasuk penyandang disabilitas
fisik, emosional, mental, intelektual, dan sosial serta anak yang memiliki
kecerdasan dan bakat khusus (Bahrudin et al., 2020).
Pendidikan inklusif memungkinkan semua peserta didik berkesempatan
untuk belajar serta berpartisipasi dalam kelas yang memberikan mereka
tantangan dan kesuksesan (Mackey, 2014). Pada prinsipnya sistem ini
menuntut agar semua anak berkebutuhan khusus terlepas dari tingkat dan jenis
kebutuhannya harus dididik di kelas secara penuh pada sekolah terdekat
bersama dengan teman sebayanya yang normal tanpa memandang
keterbatasan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Smith menyatakan keunggulan model inklusif adalah kemudahan dalam
mengakses kurikulum umum, inklusi dapat menghasilkan keuntungan
akademis dan sosial, persiapan yang lebih baik untuk kehidupan
bermasyarakat, dan terhindar dari efek negatif yang disebabkan oleh
eksklusifitas (Hicks-Monroe, 2011). Keuntungan dari pendidikan inklusif
adalah anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi
secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan
kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing.
Melalui pendidikan inklusi ini diharapkan anak berkelainan atau berkebutuhan
khusus dapat dididik bersama-sama dengan anak normal lainnya. Tujuannya
adalah tidak ada kesenjangan di antara anak berkebutuhan khusus dengan anak
normal lainnya. Diharapkan pula anak dengan kebutuan khusus dapat
memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya.
Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah
dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai
pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa
diskriminasi. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat
terdapat anak normal dan anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat
dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu anak yang berkebutuhan
khusus perlu diberikan kesempatan yang sama dengan anak normal lainnya
untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di jenjang pendidikan yang ada.
Selain itu Purwandari (2009: 2) mengemukakan bahwa
penyelenggaraan sekolah inklusif membutuhkan persiapan yang menyangkut
permasalahan yang kompleks, tidak hanya restrukturisasi sekolah namun
masalah sumber daya manusia atau pemangku kepentingan yang benar-benar
siap menjalankan tanggung jawab dalam proses penyelenggaraan pendidikan
inklusif. Pemangku kepentingan yang terlibat dalam penyelenggaraan
Pendidikan inklusif tersebut seperti guru regular, guru Pendidikan/pembimbing
khusus, kepala sekolah, orangtua, dan ahli lain. Pendidikan inklusif tidak dapat
dialkasanakan dengan sukses tanpa adanya kolaborasi antar pemangku
kepentingan.
Pada hakikatnya, kolaborasi adalah menjalin kemitraan dalam
memberikan informasi tentang perkembangan, keterampilan, motivasi, rentang
perhatiannya, penerimaan sosial (keterampilan sosial), dan penyesuaian
emosional anak. Guru, orangtua dan berbagi ahli disiplin ilmu dapat
memberikan pendidikan yang optimal bagi anak-anak. Masing-masing
memberikan kontribusi kekuatan yang berbeda.
Kolaborasi guru pendidikan khusus dan umum adalah salah satu yang
paling penting faktor-faktor yang berhubungan dengan efektifitas pendidikan
anak berkebutuhan pendidikan khusus (Tzivinikou, 2015). Kolaborasi antara
pemangku kepentingan memerlukan komunikasi dan kerjasama yang baik.
Pemangku kepentingan memiliki tujuan yang sama untuk mencapai
keberhasilan dalam memberikan layanan pendidikan yang tepat bagi setiap
anak berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara Pendidikan inklusif. Guru
reguler perlu melibatkan guru Pendidikan/pembimbing khusus, kepala sekolah,
orangtua, dan ahli lain dalam merancang program pembelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus di sekolah penyelanggara pendidikan inklusif. Layanan
pendidikan sangat penting bagi anak berkebutuhan khusus mengingat anak
berkebutuhan khusus memiliki karakteristik belajar dan kebutuhan belajar yang
berbeda dengan anak normal pada umumnya.
Berdasarkan observasi dan penjelasan guru pembimbing khusus di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif bahwa masih sering bekerja sendiri dalam
menangani anak berkebutuhan khusus, guru Kelas/Mapel sering menyerahkan
sepenuhnya urusan anak berkebutuhan khusus kepada guru
pembimbing/Pendidikan khusus (lepas tangan). Namun, ditemukan juga bahwa
kolaborasi antara guru dengan pemnagku kepentingan berjalan dengan baik.
kolaborasi antara guru kelas dengan guru pembimbing khusus ditunjukkan
dengan adanya kerjasama dalam bentuk penyampaian materi dan penggunaan
media pembelajaran (Nino Indrianto, Ilma Nikmatul Rochma, 2020).
Untuk itu peneliti tertarik untuk meneliti terkait kolaborasi antara guru
dengan stakelholder dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
pada sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Dalam penelitian ini secara umum dirumuskan Bagaimana kolaborasi


antara guru dengan stakeholders dalam layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus pada sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif.

A. Hakikat Kolaborasi
Kolaborasi adalah proses di mana dua individu atau kelompok bekerja
bersama untuk tujuan bersama, bermanfaat satu sama lain dengan
mengupayakan hasil yang diinginkan. Clark dan Bremen (2009)
mendefinisikan kolaborasi sebagai bagunan sistem interdependen untuk
mencapai tujuan bersama yang tidak dapat dicapai jika dikerjakan sendiri.
American School Counselor Association (ASCA, 2005) menggarisbawahi
peran kolaborasif dalam Model Nasional, yang mengatakan bahwa “school
counsellor build effective team by encouraging genuine collaboration among
all schools staff to work toward the common goal of equity, access, and
academic success of every student” yang bermakna bahwa konselor atau guru
bimbingan konseling di sekolah membangun tim yang efektif dengan
mendorong kolaborasi antara semua staf sekolah untuk bekerja meraih tujuan
bersama dari ekuaitas, akses, dan keberhasilan akademik setiap siswa”.
Syarat mendasar untuk usaha kolaboratif meliputi adanya kepercayaan, rasa
hormat, keterbukaan, proses mendengarkan aktif, komunikasi yang jelas, dan
kemampuan pengambilan resiko (Redita Yuliawanti, 2020).
Kolaborasi orang tua dan guru sangat diperlukan untuk mensukseskan
intervensi dini dan mengingat usia anak yang masih kecil. Keterlibatan orang
tua itu sendiri merupakan sebuah faktor yang dapat mendorong serta
menentukan perkembangan anak untuk mewujudkan pembelajaran yang
optimal dimasa usia keemasan anak. Hal ini diperkuat oleh pendapat Wu dan
Brown yang menyatakan bahwa partisipasi orang tua merupakan salah satu
faktor penting yang menentukan perkembangan anak-anak dengan kebutuhan
khusus. Namun, dalam prakteknya banyak orang tua yang masih kurang
memahami anak-anak mereka. Banyak orang tua yang mengalami kesulitan
membesarkan anak-anak mereka. Orang tua kurang tahu apa yang bisa
mereka lakukan untuk mengoptimalkan perkembangan anak mereka.
Mengingat topik tentang anak berkebutuhan khusus juga sangat terbatas di
perbincangkan secara umum, semakin sulit bagi orang tua untuk
mendapatkan informasi tentang bagaimana menangani anak-anak mereka.
Berdasarkan masalah ini, orang tua dari anak-anak dengan kebutuhan khusus
perlu dilatih untuk dapat mendidik anak-anak mereka dengan benar dan anak-
anak dapat berkembang secara optimal. Kolaborasi yang dilakukan antara
guru dan orang tua bertujuan untuk membangun komunikasi keduanya dalam
memantau perkembangan belajar siswa. Artinya, orang tua tidak sepenuhnya
memberikan tanggung jawab perolehan hasil belajar yang baik hanya kepada
guru, namun lebih dari itu, orang tua dapat melanjutkan apa yang telah
dipelajari siswa di sekolah untuk diulangi kembali di rumah.

1. Hakikat Anak Berkebutuhan Khusus


Konsep siswa berkebutuhan khusus memiliki arti yang lebih luas
dibandingkan dengan pengertian siswa luar biasa. Siswa berkebutuhan
khusus adalah siswa yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang
spesifik, berbeda dengan siswa pada umumnya. Siswa berkebutuhan khusus
ini mengalami hambatan dalam belajar dan perkembangan. Oleh sebab itu
mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan
belajar masing-masing siswa.
Siswa yang memiliki kebutuhan khusus adalah mereka yang secara
signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi
kemanusiaan. Mereka yang secara fisik, psikologis, kognitif, atau sosial
terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan/kebutuhan dan potensinya secara
maksimal, meliputi mereka yang memiliki gangguan pendengaran,
gangguan penglihatan, mempunyai gangguan bicara, keterbatasan fisik,
retardasi mental atau keterbelakangan mental, dan gangguan emosional.
Juga siswa-siswa yang berbakat dengan intelegensi yang tinggi, dapat
dikategorikan sebagai siswa khusus/luar biasa, karena memerlukan
penanganan yang terlatih dari tenaga profesional (Mangunsong, 2009).
Seorang siswa dianggap berkelainan bila memerlukan persyaratan
pendidikan yang berbeda dari rata-rata siswa normal, dan untuk dapat
belajar secara efektif memerlukan program, pelayanan, fasilitas dan materi
khusus.
Siswa berkebutuhan khusus adalah mereka yang secara signifikan
berada di luar rerata normal, baik dari segi fisik, mental, sosial, dan emosi
sehingga memerlukan pendidikan khusus, agar dapat tumbuh dan
berkembang secara sosial, ekonomi, budaya, dan religi bersama-sama
dengan masyarakat di sekitarnya.

2. Pengertian Pendidikan Inklusif


Persepsi orang mengenai pendidikan inklusif bermacam-macam.
Konsep pendidikan inklusif pada mulanya merupakan antitesis dari
penyelenggaraan pendidikan luar biasa yang segregatif dan ekslusif. Dalam
konsep pendidikan khusus, pendidikan inklusif diartikan sebagai
penggabungan penyelenggaraan pendidikan luar biasa dan pendidikan regular
dalam satu sistem pendidikan. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan
khusus adalah pendidikan yang diselenggarakan bagi siswa luar biasa atau
berkelainan, baik berkelainan dalam makna memiliki hambatan fisik, sensori,
motorik, intelektual, dan/atau social maupun dalam makna dikaruniai
keunggulan (gifted dan talented).
Pengertian pendidikan inklusi menurut Sapon-Shevin seperti yang
dikutip oleh Sunardi (1996) adalah sebagai sistem layanan pendidikan luar
biasa yang mempersyaratkan agar semua anak yang berkebutuhan khusus
dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas bersama teman-teman
sebayanya. Pengertian yang senada di kemukan oleh Stainback dan Stainback
mengartikan bahwa sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua
murid di kelas yang sama, sekolah ini menyediakan program pendidikan yang
layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap
murid.
Sedangkan pernyataan Salamanca (Salamanca Statement), pada tahun
1994 seperti yang dikutip oleh Budiyanto (2005), tentang prinsip, kebijakan,
dan praktek-praktek dalam pendidikan khusus di dalam sistem adalah:
Menegaskan kembali komitmen terhadap pendidikan untuk semua, dan
mendesakkan pendidikan bagi anak, remaja, dan orang dewasa berkebutuhan
khusus di dalam sistem pendidikan reguler; meyakini dan menyatakan bahwa
setiap anak mempunyai hak mendasar untuk memperoleh pendidikan dan
harus diberi kesempatan untuk mencapai serta mempertahankan tingkat
pengetahuan yang wajar. Setiap anak mempunyai kartakteristik, minat,
kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda-beda. Sistem pendidikan
hendaknya dirancang dan program pendidikan dilaksanakan dengan
mempertimbangkan keanekaragaman tersebut. Mereka yang berkebutuhan
khusus harus memperoleh akses ke sekolah-sekolah reguler, yang juga harus
mengakomodasi mereka dalam rangka pendidikan yang berpusat pada diri
anak yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, mendorong
partisipasi orang tua, masyarakat, dan organisasi penyandang cacat dalam
perencanaan, proses pengambilan keputusan yang menyangkut masalah
program pendidikan khusus.
Pendapat lain yang dinyatakan dalam perangkat adaptasi LIRP versi
Indonesia (2004) menjelaskan bahwa pendidikan inklusif diartikan sebagai
mengikutsertakan seluruh anak tanpa kecuali bersama-sama belajar di kelas
reguler dan guru bertanggungjawab untuk mengupayakan bantuan dan
memberikan layanan pendidikan pada semua anak. Zainal Alimin (2005)
menjelaskan bahwa pendidikan inklusi adalah sebuah proses dalam merespon
kebutuhan yang beragam dari semua anak melalui peningkatan partisipasi
dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi eklusivitas di dalam
pendidikan. Pendapat senada juga disampaikan oleh Supena (2009) bahwa
pendidikan inklusif merupakan suatu ideologi, sistem dan atau strategi
pendidikan dimana semua anak dari berbagai kondisi dapat mengikuti
pendidikan/pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-
sama sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan Lipsky dan Gartner seperti
yang dikutip oleh Budiyanto, et.al (2009:3) menyatakan bahwa:
“Inclusive educatipn as: providing to all student, including those with
significant disabilities, equitable opportunities to receive effective education
services, with the needed supplemental aids and support service, in age-
appropriate classes in their neighborhood schools, in order to prepare
student for productive lives as full members of society”.
Hasil seminar tentang pendidikan inklusif yang diselenggarakan di
Agra India, yang disetujui oleh 55 partisipan dari 23 negara. Dari hasil
seminar itu pendidikan inklusif didefinisikan sebagai berikut: 1) lebih luas
dari pada pendidikan formal, tetapi mencakup rumah, masyarakat, non-formal
dan system informal, 2) menghargai bahwa semua anak dapat belajar, 3)
memungkinkan struktur, sistem dan metodologi memenuhi kebutuhan-
kebutuhan semua anak, 4) mengakui dan menghargai bahwa setiap anak
memiliki perbedaan-perbedaan dalam usia, jenis kelamin, etnik, bahasa,
kecacatan, status sosial ekonomi, potensi dan kemampuan, 5) merupakan
proses dinamis yang secara evolusi terus berkembang sejalan dengan konteks
budaya, 6) merupakan strategi untuk memajukan dan mewujudkan
masyarakat inklusif (Alimin, 2010). Definisi ini menggambarkan sebuah
model pendidikan inklusif yang mendasarkan konsep-konsep tentang: anak,
system pendidikan, keragaman dan diskriminasi, proses memajukan inklusi,
dan konsep tentang sumber daya.
Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus
maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan
tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya
dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing. Konsekuensi
penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut
melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai pada
proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa
diskriminasi.
Dalam sekolah inklusif, anak yang menyandang kebutuhan pendidikan
khusus seyogyanya menerima segala dukungan tambahan yang mereka
perlukan untuk menjamin efektifnya pendidikan mereka. Pendidikan inklusif
merupakan alat yang paling efektif untuk membangun solidaritas antara anak
penyandang kebutuhan khusus dengan teman-teman sebayanya. Pengiriman
anak secara permanen ke sekolah luar biasa atau kelas khusus atau bagian
khusus di sebuah sekolah reguler seyogyanya merupakan suatu kekecualian,
yang direkomendasikan hanya pada kasus-kasus tertentu dimana terdapat
bukti yang jelas bahwa pendidikan di kelas reguler tidak dapat memenuhi
kebutuhan pendidikan atau sosial anak, atau bila hal tersebut diperlukan demi
kesejahteraan anak yang bersangkutan atau kesejahteraan anak-anak lain
disekolah itu.
Di Indonesia sendiri, pendidikan inklusif secara resmi didefinisikan
sebagai berikut: Pendidikan inklusi dimaksudkan sebagai sistem layanan
pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar
bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan
tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak
sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan
prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan
kebutuhan individu peserta didik (Direktorat PSLB, 2004).
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi
merupakan sistem penempatan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus disekolah reguler yang ada dilingkungan mereka dan sekolah tersebut
dilengkapi dengan layanan pendukung serta pendidikan yang sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan anak. Pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai
sistem pelayanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan
khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang
terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat penyelenggaraan pendidikan
inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses yang seluas-luasnya
kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai
dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi.

B. Hakikat Kolaborasi Dalam Pendidikan Inklusif


Menurut Friend & Cook, 2010 (McLeskey, Rosenberg, dan Westling
(2013: 156), kolaborasi dalam lingkup sekolah inklusi adalah model interaksi
terarah antara paling tidak dua pihak yang memiliki kesamaan secara
sukarela ikutserta berbagi dalam pengambilan keputusan untuk mencapai
tujuan yang sama. Pendapat yang hampir senada juga dikemukakan oleh
Carrington dan Macarthur (2012: 216) bahwa kolaborasi yaitu bekerja
bersama untuk mencapai tujuan yang sama. Carrington dan Macarthur (2012:
216) juga menjelaskan bahwa kolaborasi tidak seharusnya menggambarkan
hierarki kekuatan, dimana pandangan salah satu orang dianggap lebih penting
daripada yang lainnya, namun sebaliknya, bahwa dalam kolaborasi
memerlukan negosiasi dan konsultasi antar partisipan. Dengan kata lain
bahwa dalam kolaborasi tidak mementingkan keputusan secara sepihak,
namun merupakan keputusan yang diambil sesuai kesepakatan bersama.
Keputusan yang diambil harus berdasarkan atas kebutuhan-kebutuhan yang
dibutuhkan, dalam hal ini yaitu dalam pendidikan anak berkebutuhan di
sekolah inklusi.
Menurut Friend & Cook, 2013 (Friend & Bursuck, 2015: 140),
kolaborasi merupakan model yang dipilih oleh tenaga profesional untuk
mencapai tujuan bersama. Tenaga profesional kerap kali menggunakan istilah
kolaborasi untuk menggambarkan kegiatan apapun yang melibatkan interaksi
dengan orang lain. Selain itu Conoley & Conoley, 2010 (Friend & Bursuck,
2015: 140) berpendapat bahwa kolaborasi yang sesungguhnya hanya muncul
ketika seluruh anggota atau partisipan tim dalam suatu kegiatan merasa
bahwa peran serta mereka dihargai dan terdapat tujuan yang jelas, ketika
mereka sama-sama berperan dalam pengambilan keputusan, dan ketika
mereka merasa bahwa mereka dihormati.
Dejana Bouillet (2013) Pemecahan masalah kolaboratif untuk
mempromosikan pendidikan inklusif biasanya dilakukan antara guru dan
profesional pendukung lainnya yang berkumpul untuk memecahkan masalah
tertentu, biasanya mengenai siswa atau sekelompok siswa, berfokus pada
pada intervensi berbasis kelas meningkatkan peluang siswa untuk sukses.”
Bantuan mungkin melibatkan interaksi antara guru kelas dan profesional
lainnya (pedagog, pendidik sosial, dll).
METODE PENELITIAN

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di sekolah dasar yang menyelenggarakan
pendidikan inklusif di daerah Sukabumi. Waktu penelitian mulai bulan
Februari sampai bulan November 2022.
C. Pendekatan Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, untuk mengetahui dan memperoleh fakta-fakta
serta informasi berupa data yang mendalam mengenai implementasi
kolaborasi antara guru dengan stakeholders dalam layanan pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus pada sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif
di Sukabumi. Metode dalam penelitian ini adalah mix methode yaitu metode
kualitatif dan kuatitatif.

D. Data dan Sumber Data


1. Data
Data yang dikumpulkan berkaitan dengan kolaborasi antara guru dengan
stakeholders dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus pada
sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sukabumi. Data yang
terkumpul bersifat deskriptif, catatan lapangan, ucapan, dan tindakan
responden serta dokumentasi/inventori dan hsil dari angket.
2. Sumber Data
Data dari suatu penelitian diperoleh dari bermacam–macam sumber.
Sumber data utama dari penelitian ini adalah guru di pada sekolah dasar
penyelenggara pendidikan inklusif di Sukabumi. Sedangkan sumber data
lainnya dalam penelitian ini adalah dokumen/inventori mengenai implementasi
kolaborasi antara guru dengan stakeholders.

E. Prosedur Pengumpulan Data dan Perekaman Data


Untuk mendapatkan data dan informasi mengenai mengenai implementasi
kolaborasi antara guru dengan stakeholders. Dalam mengumpulkan data,
peneliti melakukan penyebaran angket dan pencatatan data awal dalam bentuk
catatan-catatan yang dimengerti oleh peneliti tanpa mengurangi data
sesungguhnya, kemudian dibuat pencatatan data lanjutan yang memuat data-
data dalam catatan yang dapat dimengerti oleh semua pihak yang membacanya.

F. Analisis data
Analisis data ini dilakukan setelah data-data tersebut dicatat dalam
pencatatan data lanjutan dengan menghubungkan data-data yang bersumber
dari berbagai pihak sehingga data yang didapat dikatakan valid. Data yang
diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik stastika deskriptif,
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memperoleh informasi


mengenai implementasi kolaborasi antara guru dengan stakeholders dalam
layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus pada sekolah
penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sukabumi.

Tingkat Pemahaman GPK Mengenai Program Pusat Sumber


Pendidikan Inklusif

No. Pernyataan Sr Sl K J TP
1. Saya melaksanakan tugas
apabila ditunjuk menjadi guru 10= 14= 7= 0= 0=
pembimbing khusus pada 32,2% 45,2% 22,6% 0% 0%
sekolah inklusif.
2. Saya memberikan layanan
9= 17= 5= 0= 0=
pendidikan bagi PDBK di 29,1% 54,8% 16,1% 0% 0%
sekolah inklusif.
3. Guru berkolaborasi dengan
6= 10=
pihak pusat sumber (SLB) 0= 15= 0=
19,35 32,26
dalam melakukan identifikasi 0% 48,4% 0%
% %
dan asesmen terhadap PDBK
4. Guru berkolaborasi dengan
6= 10=
professional lain dalam 0= 15= 0=
19,35 32,26
melakukan identifikasi dan 0% 48,4% 0%
% %
asesmen terhadap PDBK
5.. Guru berkolaborasi dengan
6= 6= 6=
orangtua PDBK dalam 13= 0=
19,35 19,35 9,35
melakukan identifikasi dan 41,9% 0%
% % %
asesmen terhadap PDBK
6. Guru berkolaborasi dengan
5=
pihak pusat sumber (SLB) 0= 13= 13= 0=
16,1
dalam merancang kegiatan 0% 41,9% 41,9% 0%
%
pembelajaran bagi PDBK
7. Guru berkonsultasi dengan
5=
pihak pusat sumber (SLB) 0= 13= 13= 0=
16,1
dalam melaksanakan kegiatan 0% 41,9% 41,9% 0%
%
pembelajaran bagi PDBK.
8. Guru saling berkolaborasi 5=
0= 13= 13= 0=
dalam melaksanakan kegiatan 0% 41,9% 41,9%
16,1
0%
pembelajaran bagi PDBK. %
9. Guru melakukan rapat atau
6= 13= 6= 6= 0=
koordinasi dengan orangtua 19,35% 41,9% 19,35% 19,35% 0%
terkait perkembangan PDBK
10. Orangtua memberikan 6= 13= 6= 4= 2=
informasi terkait kondisi anak 19,35 41,9% 19,35 12,9 6,45 %
% % %
di rumah sebagai bahan dalam
membuat program untuk
PDBK
11. Orangtua menjalankan = 4=
5= 12= 4=
program yang sudah dibuat 16,1% 38,7%
19,35 12,9
12,9%
bersama guru % %
12. Guru dan orangtua saling
6=
memberikan informasi terkait 7= 12= 5= 1=
19,35
perkembangan sehari-hari 22,6% 38,7% 16,1% 3,23 %
%
anak.

Tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa Guru Pembimbing


Khusus akan melaksanakan tugas apabila ditunjuk menjadi guru
pembimbing khusus pada sekolah inklusif yang menyatakan sangat setuju
32,3%, setuju 45,2% dan ragu-ragu sebesar 22,6%. Artinya bahwa Guru
Pembimbing Khusus akan melaksanakan tugas apabila ditunjuk menjadi
guru pembimbing khusus pada sekolah inklusif termasuk kategori baik.
Guru Pembimbing Khusus akan memberikan layanan pendidikan
bagi ABK di sekolah inklusif yang menyatakan sangat setuju 29,1%,
setuju 54,8% dan ragu-ragu sebesar 16,1%. Artinya bahwa Guru
Pembimbing Khusus akan memberikan layanan pendidikan bagi ABK di
sekolah inklusif termasuk kategori baik.
Sedangkan dalam pembuatan program tersebut yang sering dan
selalu bekerja sama dengan pihak sekolah inklusif sebesar 58,1% dan
sisanya 41,9% hanya kadang-kadang bekerja sama dengan pihak sekolah
inklusif.
Guru berkolaborasi dengan orangtua PDBK dalam melakukan
identifikasi dan asesmen terhadap PDBK sebanyak 60 % baik dan 19%
cukup dn 19% kurang.
Peran orang tua dan guru sangat mendukung dalam perkembangan
anak baik secraa fisik maupun social. Hal yang perlu dilakukan guru dan
orang tua adalah kerjasama agar orang tua dapat mengikuti sejauh mana
perkembangan anak mereka di sekolah. Kerjasama merupakan suatu usaha
atau kegiatan bersama yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam
rangka untuk mencapai tujuan bersama (Arifiyanti, 2015). Berdasarkan
penelitian Blue-Banning dkk (dalam Heward, 2013) bahwa kerjasama
yang efektif antara sekolah dan orang tua ditandai dengan keterlibatan
keluarga untuk meraih tujuan bersama, yaitu untuk perkembangan optimal
anak.
Hasil data dan pedapat di atas menunjukkan masih adanya tanggapan yang
berbeda mengenai keterlibatan dalam membuat program, khususnya
program layanan bagi anak berkebutuhan khusus.
Prinsip yang harus dikembangkan dalam hubungan kerja antara SLB dan
sekolah reguler adalah bersifat kemitraan dan partnership. Kedua belah
pihak harus yang memiliki persamaan persepsi yaitu untuk bekerja secara
bersama dalam memberikan layanan pendidikan yang optimal kepada
peserta didik berkebutuhan khusus. Kerjasama antara pusat sumber dengan
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dapat dituangkan dalam dalam
Surat Kerjasama atau Memorandum of Understanding (MoU) secara
tertulis. Berikut merupakan jawaban responden (kepala
sekolah/koordinator pusat sumber pendidikan inklusif).
Kolaborasi adalah proses di mana dua individu atau kelompok bekerja
bersama untuk tujuan bersama, bermanfaat satu sama lain dengan
mengupayakan hasil yang diinginkan. Clark dan Bremen (2009)
mendefinisikan kolaborasi sebagai bagunan sistem interdependen untuk
mencapai tujuan bersama yang tidak dapat dicapai jika dikerjakan sendiri.
American School Counselor Association (ASCA, 2005) menggarisbawahi
peran kolaborasif dalam Model Nasional, yang mengatakan bahwa “school
counsellor build effective team by encouraging genuine collaboration
among all schools staff to work toward the common goal of equity, access,
and academic success of every student” yang bermakna bahwa konselor
atau guru bimbingan konseling di sekolah membangun tim yang efektif
dengan mendorong kolaborasi antara semua staf sekolah untuk bekerja
meraih tujuan bersama dari ekuaitas, akses, dan keberhasilan akademik
setiap siswa”. Syarat mendasar untuk usaha kolaboratif meliputi adanya
kepercayaan, rasa hormat, keterbukaan, proses mendengarkan aktif,
komunikasi yang jelas, dan kemampuan pengambilan resiko (Redita
Yuliawanti, 2020). kolaborasi sebagai individu dengan beragam keahlian
yang bekerja sama untuk mencapai tujuan yang disepakati bersama
Ritzman dkk. (2006).
Kolaborasi orang tua dan guru sangat diperlukan untuk mensukseskan
intervensi dini dan mengingat usia anak yang masih kecil. Keterlibatan
orang tua itu sendiri merupakan sebuah faktor yang dapat mendorong serta
menentukan perkembangan anak untuk mewujudkan pembelajaran yang
optimal dimasa usia keemasan anak. Hal ini diperkuat oleh pendapat Wu
dan Brown yang menyatakan bahwa partisipasi orang tua merupakan salah
satu faktor penting yang menentukan perkembangan anak-anak dengan
kebutuhan khusus. Namun, dalam prakteknya banyak orang tua yang
masih kurang memahami anak-anak mereka. Banyak orang tua yang
mengalami kesulitan membesarkan anak-anak mereka. Orang tua kurang
tahu apa yang bisa mereka lakukan untuk mengoptimalkan perkembangan
anak mereka. Mengingat topik tentang anak berkebutuhan khusus juga
sangat terbatas di perbincangkan secara umum, semakin sulit bagi orang
tua untuk mendapatkan informasi tentang bagaimana menangani anak-
anak mereka. Berdasarkan masalah ini, orang tua dari anak-anak dengan
kebutuhan khusus perlu dilatih untuk dapat mendidik anak-anak mereka
dengan benar dan anak-anak dapat berkembang secara optimal. Kolaborasi
yang dilakukan antara guru dan orang tua bertujuan untuk membangun
komunikasi keduanya dalam memantau perkembangan belajar siswa.
Artinya, orang tua tidak sepenuhnya memberikan tanggung jawab
perolehan hasil belajar yang baik hanya kepada guru, namun lebih dari itu,
orang tua dapat melanjutkan apa yang telah dipelajari siswa di sekolah
untuk diulangi kembali di rumah.

A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelelitan tersebut di atas maka dapat
disimpulkan bahwa kolaborasi sudah cukup baik namun perlu
ditingkatkan. Kolaborasi dengan pihak eksternal (professional dan
pihak SLB/pusat sumber cukup baik. Sedangkan kolaborasi antar
guru dan dengan orangtua sudah baik.
Guru-guru sudah memulai untuk berkolaborasi dengan professional
lain dan guru-guru pada SLB tetapi belum maksimal. Kolaborasi
tersebut sempat terhenti dan jarang dilakukan saat pandemic.

B. SARAN
Perlu ditingkatkan kolaborasi dengan pihak eksternal misalnya
psikolog, dokter anak,dan Lembaga-lembaga lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin et al (2020). Education for All: The Evaluation of Inclusive


Education Programs in Elementary School in Jakarta, Indonesia.
International Journal of Innovation, Creativity and Change.
www.ijicc.net Volume 12, Issue 8, 2020.
Bambang Basuki, Pendidikan Inklusif Sebagai Media Alami dan Manusia
Bagi Perolehan Hak Penidikan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus,
disampaikan dalam seminar Sosialisasi Pendidikan Luar Biasa (Jakarta:
Yayasan Mitra Netra, 22 Oktober 2002).

Dede Supriyanto. (2019). Teachers’ Attitudes Towards Inclusive Education: A


Literature Review. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS).
Volume. 6 (1): PP 29-37.
Dedy Kustawan, Pendidikan Inklusif dan Upaya Implementasinya Jakarta: PT.
Luxima Metro Media, 2015.

Dedy Kustawan dan Erwan Hermawan, Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif


Pada Madrasah, Bandung: MDP Media, 2021.

Djaali, dan Pudji Mulyono , Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan (Jakarta:


PPs UNJ, 2004).
Hansen, Janne Hedegaard, et. al, The Collaborative Practice of Inclusion And
Exclusion. Nordic Journal of Studies in Educational Policy 2020, VOL.
6, NO. 1, 47–57 https://doi.org/10.1080/20020317.2020.1730112
Hernandez, Stephen J. Collaboration in Special Education: Its History,
Evolution, and Critical Factors Necessary for Successful
Implementation. US-China Education Review B, ISSN 2161-6248 June
2013, Vol. 3, No. 6, 480-498.
Hicks-Monroe, Sherry L. A Review of Research on the Educational Benefits
of the Inclusive Model of Education for Special Education Students,
Journal JAASEP WINTER 2011. https://eric.ed.gov/?id=EJ1136899.
Lina Miltenienė dan Indrė Venclovaitė, Teacher Collaboration in The Context
of Inclusive Education. Specialusis Ugdymas · January 2012
Nino Indrianto dan Ilma Nikmatul Rochma, Teacher Collaboration In
Implementing The Learning Process at Inclusive Islamic Elementary
School, AULADUNA: Jurnal Pendidikan Dasar Islam Vol. 7 No. 2,
Desember 2020, pp. 165-175.
DOI: https://doi.org/10.24252/auladuna.v7i2a6.2020
Redita Yuliawanti, Peran Kolaboratif Konselor di Sekolah Inklusif. JURNAL
IDEGURU Vol.4, No.1 Edisi Khusus Pelatihan Guru di Luar Neger
Sunardi, Kecenderungan Dalam Pendidikan Luar Biasa (Jakarta: Depdikbud,
1996)
Tzivinikou, Sotiria, Collaboration Between General And Special Education
Teachers: Developing Co-Teaching Skills In Heterogeneous Classes.
Problems of Education in the 21st century Volume 64, 201. Pages 108.

Anda mungkin juga menyukai