ABSTRAK
A. Latar Belakang
Pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus di kelas umum yang
dikenal dengan istilah inklusif telah menjadi trend di banyak negara selama
lebih dari 20 tahun terakhir, khususnya setelah Pernyataan Salamanca pada
tahun 1994. Sebagai landasan filosofis untuk memberikan kesetaraan akses
untuk semua peserta didik, pendidikan inklusif mengubah lingkungan sekolah
yang dibatasi menjadi lingkungan yang lebih ramah dan dapat diakses untuk
keberagaman siswa (Dede Supriyanto, 2019).
Khusus di Indonesia, penerapan sistem pendidikan inklusif merupakan
salah satu cara untuk memenuhi wajib belajar sembilan tahun melalui
pendidikan yang berkualitas. Melalui sistem pendidikan inklusif, pemerintah
membuka akses pendidikan bagi semua anak, termasuk penyandang disabilitas
fisik, emosional, mental, intelektual, dan sosial serta anak yang memiliki
kecerdasan dan bakat khusus (Bahrudin et al., 2020).
Pendidikan inklusif memungkinkan semua peserta didik berkesempatan
untuk belajar serta berpartisipasi dalam kelas yang memberikan mereka
tantangan dan kesuksesan (Mackey, 2014). Pada prinsipnya sistem ini
menuntut agar semua anak berkebutuhan khusus terlepas dari tingkat dan jenis
kebutuhannya harus dididik di kelas secara penuh pada sekolah terdekat
bersama dengan teman sebayanya yang normal tanpa memandang
keterbatasan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Smith menyatakan keunggulan model inklusif adalah kemudahan dalam
mengakses kurikulum umum, inklusi dapat menghasilkan keuntungan
akademis dan sosial, persiapan yang lebih baik untuk kehidupan
bermasyarakat, dan terhindar dari efek negatif yang disebabkan oleh
eksklusifitas (Hicks-Monroe, 2011). Keuntungan dari pendidikan inklusif
adalah anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi
secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan
kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing.
Melalui pendidikan inklusi ini diharapkan anak berkelainan atau berkebutuhan
khusus dapat dididik bersama-sama dengan anak normal lainnya. Tujuannya
adalah tidak ada kesenjangan di antara anak berkebutuhan khusus dengan anak
normal lainnya. Diharapkan pula anak dengan kebutuan khusus dapat
memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya.
Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah
dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai
pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa
diskriminasi. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat
terdapat anak normal dan anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat
dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu anak yang berkebutuhan
khusus perlu diberikan kesempatan yang sama dengan anak normal lainnya
untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di jenjang pendidikan yang ada.
Selain itu Purwandari (2009: 2) mengemukakan bahwa
penyelenggaraan sekolah inklusif membutuhkan persiapan yang menyangkut
permasalahan yang kompleks, tidak hanya restrukturisasi sekolah namun
masalah sumber daya manusia atau pemangku kepentingan yang benar-benar
siap menjalankan tanggung jawab dalam proses penyelenggaraan pendidikan
inklusif. Pemangku kepentingan yang terlibat dalam penyelenggaraan
Pendidikan inklusif tersebut seperti guru regular, guru Pendidikan/pembimbing
khusus, kepala sekolah, orangtua, dan ahli lain. Pendidikan inklusif tidak dapat
dialkasanakan dengan sukses tanpa adanya kolaborasi antar pemangku
kepentingan.
Pada hakikatnya, kolaborasi adalah menjalin kemitraan dalam
memberikan informasi tentang perkembangan, keterampilan, motivasi, rentang
perhatiannya, penerimaan sosial (keterampilan sosial), dan penyesuaian
emosional anak. Guru, orangtua dan berbagi ahli disiplin ilmu dapat
memberikan pendidikan yang optimal bagi anak-anak. Masing-masing
memberikan kontribusi kekuatan yang berbeda.
Kolaborasi guru pendidikan khusus dan umum adalah salah satu yang
paling penting faktor-faktor yang berhubungan dengan efektifitas pendidikan
anak berkebutuhan pendidikan khusus (Tzivinikou, 2015). Kolaborasi antara
pemangku kepentingan memerlukan komunikasi dan kerjasama yang baik.
Pemangku kepentingan memiliki tujuan yang sama untuk mencapai
keberhasilan dalam memberikan layanan pendidikan yang tepat bagi setiap
anak berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara Pendidikan inklusif. Guru
reguler perlu melibatkan guru Pendidikan/pembimbing khusus, kepala sekolah,
orangtua, dan ahli lain dalam merancang program pembelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus di sekolah penyelanggara pendidikan inklusif. Layanan
pendidikan sangat penting bagi anak berkebutuhan khusus mengingat anak
berkebutuhan khusus memiliki karakteristik belajar dan kebutuhan belajar yang
berbeda dengan anak normal pada umumnya.
Berdasarkan observasi dan penjelasan guru pembimbing khusus di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif bahwa masih sering bekerja sendiri dalam
menangani anak berkebutuhan khusus, guru Kelas/Mapel sering menyerahkan
sepenuhnya urusan anak berkebutuhan khusus kepada guru
pembimbing/Pendidikan khusus (lepas tangan). Namun, ditemukan juga bahwa
kolaborasi antara guru dengan pemnagku kepentingan berjalan dengan baik.
kolaborasi antara guru kelas dengan guru pembimbing khusus ditunjukkan
dengan adanya kerjasama dalam bentuk penyampaian materi dan penggunaan
media pembelajaran (Nino Indrianto, Ilma Nikmatul Rochma, 2020).
Untuk itu peneliti tertarik untuk meneliti terkait kolaborasi antara guru
dengan stakelholder dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
pada sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif.
A. Hakikat Kolaborasi
Kolaborasi adalah proses di mana dua individu atau kelompok bekerja
bersama untuk tujuan bersama, bermanfaat satu sama lain dengan
mengupayakan hasil yang diinginkan. Clark dan Bremen (2009)
mendefinisikan kolaborasi sebagai bagunan sistem interdependen untuk
mencapai tujuan bersama yang tidak dapat dicapai jika dikerjakan sendiri.
American School Counselor Association (ASCA, 2005) menggarisbawahi
peran kolaborasif dalam Model Nasional, yang mengatakan bahwa “school
counsellor build effective team by encouraging genuine collaboration among
all schools staff to work toward the common goal of equity, access, and
academic success of every student” yang bermakna bahwa konselor atau guru
bimbingan konseling di sekolah membangun tim yang efektif dengan
mendorong kolaborasi antara semua staf sekolah untuk bekerja meraih tujuan
bersama dari ekuaitas, akses, dan keberhasilan akademik setiap siswa”.
Syarat mendasar untuk usaha kolaboratif meliputi adanya kepercayaan, rasa
hormat, keterbukaan, proses mendengarkan aktif, komunikasi yang jelas, dan
kemampuan pengambilan resiko (Redita Yuliawanti, 2020).
Kolaborasi orang tua dan guru sangat diperlukan untuk mensukseskan
intervensi dini dan mengingat usia anak yang masih kecil. Keterlibatan orang
tua itu sendiri merupakan sebuah faktor yang dapat mendorong serta
menentukan perkembangan anak untuk mewujudkan pembelajaran yang
optimal dimasa usia keemasan anak. Hal ini diperkuat oleh pendapat Wu dan
Brown yang menyatakan bahwa partisipasi orang tua merupakan salah satu
faktor penting yang menentukan perkembangan anak-anak dengan kebutuhan
khusus. Namun, dalam prakteknya banyak orang tua yang masih kurang
memahami anak-anak mereka. Banyak orang tua yang mengalami kesulitan
membesarkan anak-anak mereka. Orang tua kurang tahu apa yang bisa
mereka lakukan untuk mengoptimalkan perkembangan anak mereka.
Mengingat topik tentang anak berkebutuhan khusus juga sangat terbatas di
perbincangkan secara umum, semakin sulit bagi orang tua untuk
mendapatkan informasi tentang bagaimana menangani anak-anak mereka.
Berdasarkan masalah ini, orang tua dari anak-anak dengan kebutuhan khusus
perlu dilatih untuk dapat mendidik anak-anak mereka dengan benar dan anak-
anak dapat berkembang secara optimal. Kolaborasi yang dilakukan antara
guru dan orang tua bertujuan untuk membangun komunikasi keduanya dalam
memantau perkembangan belajar siswa. Artinya, orang tua tidak sepenuhnya
memberikan tanggung jawab perolehan hasil belajar yang baik hanya kepada
guru, namun lebih dari itu, orang tua dapat melanjutkan apa yang telah
dipelajari siswa di sekolah untuk diulangi kembali di rumah.
F. Analisis data
Analisis data ini dilakukan setelah data-data tersebut dicatat dalam
pencatatan data lanjutan dengan menghubungkan data-data yang bersumber
dari berbagai pihak sehingga data yang didapat dikatakan valid. Data yang
diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik stastika deskriptif,
HASIL PENELITIAN
No. Pernyataan Sr Sl K J TP
1. Saya melaksanakan tugas
apabila ditunjuk menjadi guru 10= 14= 7= 0= 0=
pembimbing khusus pada 32,2% 45,2% 22,6% 0% 0%
sekolah inklusif.
2. Saya memberikan layanan
9= 17= 5= 0= 0=
pendidikan bagi PDBK di 29,1% 54,8% 16,1% 0% 0%
sekolah inklusif.
3. Guru berkolaborasi dengan
6= 10=
pihak pusat sumber (SLB) 0= 15= 0=
19,35 32,26
dalam melakukan identifikasi 0% 48,4% 0%
% %
dan asesmen terhadap PDBK
4. Guru berkolaborasi dengan
6= 10=
professional lain dalam 0= 15= 0=
19,35 32,26
melakukan identifikasi dan 0% 48,4% 0%
% %
asesmen terhadap PDBK
5.. Guru berkolaborasi dengan
6= 6= 6=
orangtua PDBK dalam 13= 0=
19,35 19,35 9,35
melakukan identifikasi dan 41,9% 0%
% % %
asesmen terhadap PDBK
6. Guru berkolaborasi dengan
5=
pihak pusat sumber (SLB) 0= 13= 13= 0=
16,1
dalam merancang kegiatan 0% 41,9% 41,9% 0%
%
pembelajaran bagi PDBK
7. Guru berkonsultasi dengan
5=
pihak pusat sumber (SLB) 0= 13= 13= 0=
16,1
dalam melaksanakan kegiatan 0% 41,9% 41,9% 0%
%
pembelajaran bagi PDBK.
8. Guru saling berkolaborasi 5=
0= 13= 13= 0=
dalam melaksanakan kegiatan 0% 41,9% 41,9%
16,1
0%
pembelajaran bagi PDBK. %
9. Guru melakukan rapat atau
6= 13= 6= 6= 0=
koordinasi dengan orangtua 19,35% 41,9% 19,35% 19,35% 0%
terkait perkembangan PDBK
10. Orangtua memberikan 6= 13= 6= 4= 2=
informasi terkait kondisi anak 19,35 41,9% 19,35 12,9 6,45 %
% % %
di rumah sebagai bahan dalam
membuat program untuk
PDBK
11. Orangtua menjalankan = 4=
5= 12= 4=
program yang sudah dibuat 16,1% 38,7%
19,35 12,9
12,9%
bersama guru % %
12. Guru dan orangtua saling
6=
memberikan informasi terkait 7= 12= 5= 1=
19,35
perkembangan sehari-hari 22,6% 38,7% 16,1% 3,23 %
%
anak.
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelelitan tersebut di atas maka dapat
disimpulkan bahwa kolaborasi sudah cukup baik namun perlu
ditingkatkan. Kolaborasi dengan pihak eksternal (professional dan
pihak SLB/pusat sumber cukup baik. Sedangkan kolaborasi antar
guru dan dengan orangtua sudah baik.
Guru-guru sudah memulai untuk berkolaborasi dengan professional
lain dan guru-guru pada SLB tetapi belum maksimal. Kolaborasi
tersebut sempat terhenti dan jarang dilakukan saat pandemic.
B. SARAN
Perlu ditingkatkan kolaborasi dengan pihak eksternal misalnya
psikolog, dokter anak,dan Lembaga-lembaga lainnya.
DAFTAR PUSTAKA