khusus dan juga anak pada umumnya dalam kelas. Karena dalam pendidikan inklusif mengarah
bagaimana agar peserta didik dapat belajar bersama, belajar untuk dapat hidup bersama. Prinsip Dasar
Pendidikan Inklusif sebagai sebuah paradigma pendidikan yang menekankan pada keterbukaan
dan penghargaan terhadap anak berkebutuhan khusus.
Prinsip prinsip inklusi menurut beberapa ahli yaitu :
Johnsen dan Miriam Skojen (2003) menjabarkan dalam tiga prinsip, yaitu
1. bahwa setiap anak termasuk dalam komunitas setempat dan dalam suatu kelas atau
kelompok.
2. bahwa hari sekolah diatur penuh dengan tugas-tugas pembelajaran koopertif dengan
perbedaan pendidikan dan fleksibilitas dalam memilih dengan sepuas hati
3. guru bekerja bersama dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik
belajar individu serta keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan
keanekaragaman dan perbedaan individu dalam pengorganisasian kelas.
Mulyono dalam Sri Wahyu Ambarwati (2005) mengidentifikasikan prinsip pendidikan inklusif
ke dalam sembilan elemen dasar yang memungkinkan pendidikan inklusif dapat dilaksanakan.
1. Sikap guru yang positif terhadap kebhinekaan
Elemen paling penting dalam pendidikan inklusif adalah sikap guru terhadap siswa yang
membutuhkan layanan pendidikan khusus. Sikap guru tidak hanya berpengaruh
terhadapclassroom setting tetapi juga dalam pemilihan strategi pembelajaran.
Sikap positif guru terhadap keragaman kebutuhan siswa dapat ditingkatkan dengan cara
memberikan informasi yang akurat tentang siswa dan cara penanganannya (Johnson & Johnson,
1984 dalam Whayu Sri Ambarwati, 2005).
2. Interaksi promotif
Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut adanya interaksi promotif antara siswa. Yang
dimaksud interaksi promotif adalah upaya untuk saling menolong dan saling memberi motivasi
dalam belajar. Interaksi promotif hanya dimungkinkan jika terdapat rasa saling menghargai dan
saling memberikanurunan dalam meraih keberhasilan belajar bersama. Interaksi promotif pada
hakekatnya sama dengan interaksi transpersonal, yaitu interaksi yang didasarkan atas rasa
saling menghormati, tidak hanya terhadap sesama manusia tetapi juga sesama makluk ciptaan
Tuhan. Interaksi promotif hanya di mungkinkan jika guru menciptakan suasana belajar
kooperatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwadalam suasana belajar kooperatif, siswa
cenderung memperoleh prestasi belajar matematika lebih tinggi dari pada dalam suasana belajar
kompetitif (Mulyono, 1994).
Dalam pendidikan inklusif, suasana belajar kooperatif harus dominan sedangkan suasanabelajar
kompetitif hanya untuk bersenang-senang atau untuk selingan atau untuk materi belajar yang
membosankan. Hasil penelitian Johnson & Johnson (Wahyu Sri Ambarwati, 2005) menunjukkan
bahwa suasana belajar kompetitif dapat menimbulkan perasaan rendah diri bagi siswa yang
memiliki kemampuan kurang.
Lebih lanjut hasil penelitian Mulyono (1994) menunjukkan bahwa para guru umumnya lebih
menyukai pembelajaran kompetitif dan tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
memadai dalam penyelenggaraan pembelajaran kooperatif. Padahal, pembelajaran kompetitif
dalam kelompok heterogen dapat menghancurkan rasa harga diri siswa yang berkekurangan
dan merasa bosan terhadap siswa yang memiliki keunggulan. Perasaan rendah diri dan perasaan
bosan merupakan elemen yang merusak untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik.
Kompetisi bukan tidak bermanfaat tetapi hanya untuk kelompok yang homogen yang
memungkinkan semua anggota berkompetisi memiliki peluang yang relatif sama untuk
menang dan kalah. Menguatkan pembahasan ini, sekali lagi hasil penelitian Mulyono (1994)
menunjukkan bahwa interaksi kompetitif yang efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran
adalah kompetisi antar siswa yang mempunyai kemampuan seimbang, kompetisi dengan standar
nilai minimum, dan yang terbaik adalah kompetisi dengan diri sendiri.
3. Pencapaian kompetensi akademik dan sosial
Pendidikan inklusif tidak hanya menekankan pencapaian tujuan dalam bentuk kompetensi
akademik tetapi juga kompetensi sosial. Oleh sebab itu, perencanaan pembelajaran harus
melibatkan tidak hanya pencapaian tujuanakademik (academic objectives) tetapi juga tujuan
keterampilan bekerjasama (collaborative skills objectives). Tujuan keterampilan bekerjasama
mencakup keterampilan memimpin, memahami perasaan orang lain, menghargai pikiran orang
lain, dan tenggang rasa.
4. Pembelajaran adaptif
Ciri khas dari pendidikan inklusif adalah tersedianya program pembelajaranyang adaftif atau
program pembelajaran individual (individualized instructional programs). Program pembelajaran
adaptif tidak hanya ditujukan kepada peserta didik dengan problema belajar tetapi juga untuk
peserta didik yang dikaruniai keunggulan. Penyusunan program pembelajaran adaptif menuntut
keterlibatan tidak hanya guru kelas atau guru bidang studi tetapi juga guru PLB, orangtua, guru
BK, dan ahli-ahli lain yang terkait.
5. Konsultasi kolaboratif
Konsultasi kolaboratif (collaborative consultation) adalah saling tukar informasi antar
profesional dari semua disiplin yang terkait untuk memperoleh keputusan legal dan instruksional
yang berhubungan dengan siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus. Yang
dimaksud dengan profesional dalam hal ini adalah guru PLB, guru kelas atau guru bidang studi,
konselor, psikolog, dan atau ahli-ahli lain yang terkait. Beberapa ahli telah mengembangkan
model konsultasi kolaboratif untuk melakukan tindakan pencegahan dan rahabilitasi siswa yang
membutuhkan layanan pendidikan khusus di kelas reguler. Berdasarkan model yang mereka
buat guru PLB dan guru reguler bersama anggota tim lainnya melakukan diskusi untuk
menentukan sifat dan ukuran-ukuraaan yang dipergunakan untuk menentukan masalah siswa,
memilih dan merekomendasikan tindakan, merencanakan danmengimplementasikan program
pembelajaran, dan melakukan evaluasi hasil intervensi serta melakukan perencanaan ulang
jika diperlukan.
6. Hidup dan belajar dalam masyarakat
Dalam pendidikan inklusif kelas harus merupakan bentuk mini dari suatu kehidupan masyarakat
yang diidealkan. Di dalam kelas diciptakan suasana yang silih asah, silih asih, dan silih asuh.
Dengan kata lain, suasana belajar yang kooperatif harus diciptakan sehingga di antara siswa
terjalin hubungan yang saling menghargai. Semua siswa tidak peduli betapapun perbedaannya,
harus dipandang sebagai individu unik yang memiliki potensi kemanusiaan yang harus
dikembangkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan.
7. Hubungan kemitraan antara sekolah dengan keluarga.
Keluarga merupakan fondasi tempat anak-anak belajar dan berkembang. Begitu pula dengan
sekolah, juga tempat anak belajar dan berkembang. Keduanya memiliki fungsi yang
sama. Perbedaannya, pendidikan dalam keluarga tidak terprogram dan terukur sedangkan di
sekolah pendidikan lebih banyak dilakukan secara terprogram dan terukur atau yang biasa
disebut denganpembelajaran. Karena kedua lembaga tersebut hakekatnya mempunyai fungsi
yang sama, maka keduanya harus menjalin hubungan kemitraan yang erat dalam upaya
memberdayakan semua potensi kemanusiaan siswa agar dapat berkembang optimal dan
terintegrasi. Keluarga memiliki informasi yang lebih akurat mengenai keunikan, kekuatan, dan
minat anak, sedangkan sekolah memiliki informasi yang lebih akurat mengenai
prestasi akademik siswa. Informasi mengenai anak yang dimiliki oleh keluarga merupakan
landasan penting bagi penyelenggaraan pendidikan inklusif.
8. Belajar dan berfikir independen.
Dalam pendidikan inklusif guru mendorong agar siswa mencapai perkembangan kognitif taraf
tinggi dan kreatif agar mampu berfikir independen. Berkenaan dengan semakin majunya ilmu
dan teknologi, pendidikan inklusif sangat menekankan agar siswa memiliki keterampilan
belajar dan berpikir. Guru hendaknya juga mengetahui bahwa hasil-hasil penelitian mengenai
anak-anak kesulitan belajar (students with learning difficulties) menunjukkan bahwa mereka
umumnya pasif dalam belajar, kurang mampu melakukan control
diri,cenderung bergantung (dependent),dan kurang memiliki strategi untuk belajar. Sehubungan
dengan karakteristik siswa berkesulitan belajar semacam itu maka guru perlu
memiliki kemampuan untuk memberikan dorongan atau motivasi dengan menerapkan berbagai
teknik, terutama yang berkenaan dengan manajemen perilaku atau memodifikasi perilaku.
9. Belajar sepanjang hayat
Pendidikan inklusif memandang pendidikan di sekolah sebagai bagian dari perjalanan panjang
hidup seorang manusia; dan manusia belajar sepanjang hidupnya (lifelong learning). Belajar
sepanjang hayat memiliki makna yang melampaui sekedar menguasai berbagai kompetensi yang
menjadi tuntutan kurikulum dan upaya untuk naik kelas. Belajar sepanjang hayat pada
hakekatnya adalah belajar untuk berfikir kritis dan belajar untuk menyelesaikan berbagai
masalah kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan inklusif menekankan pada pengalaman belajar
yang bermanfaat bagi kelangsungan proses belajar peserta didik dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Abdul Salim Choiri (2009: 89) menyebutkan beberapa prinsip pendidikan inklusi
sebagai berikut
1. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dasar yang lebih baik
2. Setiap anak berhak memperoleh layanan pendidikan pada sekolah-sekolah yang ada di
sekitarnya
3. Setiap anak memiliki potensi, bakat, dan irama perkembangan masing-masing yang harus
diberikan layanan secara tepat.
4. Pendekatan pembelajaran bersifat fleksibel, kooperatif, dan berdayaguna
5. Sekolah adalah bagian integral dari masyarakat
6. Sedangkan secara umum prinsip penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia, dapat
dirumuskan sebagai berikut :
Prinsip pemerataan dan peningkatan mutu
Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menyusun strategi upaya pemerataan kesempatan
memperoleh layanan pendidikan dan peningkatan mutu. Pendidikan inklusif merupakan salah
satu strategi upaya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, karena lembaga pendidikan
inklusi dapat menampung semua anak yang belum terjangkau oleh layanan pendidikan lainnya.
Pendidikan inklusif juga merupakan strategi peningkatan mutu, karena model pembelajaran
inklusif menggunakan metodologi pembelajaran bervariasi yang bisa menyentuh pada semua
anak dan menghargai perbedaan.
b. Prinsip kebutuhan individual
Setiap anak memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda, oleh karena itu pendidikan harus
diusahakan untuk disesuaikan dengan kondisi anak.
c. Prinsip kebermaknaan
Pendidikan inklusif harus menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang ramah, menerima
keanekaragaman dan menghargai perbedaa.
d. Prinsip berkelanjutan
Pendidikan inklusif diselenggarakan secara berkelanjutan pada semua jenjang pendidikan.
e. Prinsip keterlibatan
Penyelenggaraan pendidikan inklusif harus melibatkan seluruh komponen pendidikan terkait.