Anda di halaman 1dari 11

Pembelajaran Kooperatif Dalam Kajian Teori Interdependensi Sosial

Fifti Imro’atur Rosyidah


NIM. 202210440211018

Pengantar

Di era globalisasi ini kualitas sumber daya manusia yang baik sangat
dibutuhkan untuk pembaharuan sistem pendidikan yang berbasis kompetensi,
demokratis dan berwawasan lokal dengan tetap memperhatikan standar nasional.
Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan pembaharuan di dunia pendidikan
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya dari manusia di
Indonesia. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Pemerintah telah berkali-kali melakukan perubahan dalam kurikulum, hal


ini dilakukan untuk penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya dengan
menyesuaikan perubahan zaman namun tetap menjujung tinggi budaya nasional.
Dalam kurikulum ini guru bukanlah satu-satunya sumber belajar dikelas, sehingga
pembelajaran yang berpusat pada guru perlahan mulai dialihkan menjadi
pembelajaran yang berpusat pada murid. Murid dapat memanfaatkan berbagai
sumber belajar yang ada disekitarnya sedangkan tugas guru adalah sebagai
fasilitator dalam kegiatan pembelajaran. Murphy berpandangan bahwa proses
belajar terjadi karena adanya interaksi antara organisme yang dasarnya bersifat
individual dengan lingkungan khusus tertentu (Suryosubroto, 2002). Salah satu
model pembelajaran yang dapat diterapkan guru adalah pembelajaran kooperatif.

Di Amerika pembelajaran kooperatif sudah lama digunakan, sudah ada


sejak 1980an. Fokus dari pembelajaran kooperatif adalah pada interaksi bersama
sosial dan tanggung jawab bersama. Panits menjelaskan pembelajaran kooperatif

1
sebagai proses interaksi bersama untuk mencapai tujuan spesifik atau
mengembangkan produk akhir (Panitz, 1996). Pada penelitian sekitar tahun
1990an, ditemukan bahwa 93% sampel di Amerika Serikat melaporkan bahwa
mereka menggunakan pembelajaran kooperatif dengan 81% melaporkan
penggunaan sehari-hari (Slavin, 1995). Johnson juga menyatakan bahwa
pembelajaran koopertif siswa dapat memaksimalkan pembelajaran mereka sendiri
dan masing-masing saat mereka bekerja sama (Johnson, Johnson, & Smith, 2006).
Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang
mengutamakan adanya kelompok-kelompok. Dalam pembelajaran kooperatif,
siswa dituntut untuk mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan tugas yang
diberikan.

Erikson memberikan alternatif cara mewujudkan pembelajaran yang baik


dikelas (Seifert, 1991). Pertama siswa diberikan tugas dan aktivitas yang
diinginkan dan dapat dikerjakan. Tingkatkan semangatnya dengan jalan
mengurangi tingkat kompetisi dan yakinkan bahwa setiap siswa mampu
menyelesaikannya. Sampaikan pesan bahwa semua siswa adalah pemenang. Cara
yang kedua, kuatkan usaha dan ketekunan siswa yang mengalami kesulitan, bantu
siswa yang mengalami masalah, pastikan ia berkonsetrasi pada masalah
berikutnya sampai selesai. Saran yang diberikan oleh Erikson bukan berarti
kompetisi harus dihilangkan, namun penggunaan kompetisi yang sewajarnya dan
kondisi yang tepat, karena kompetisi yang tidak diberikan pada kondisi yang tepat
akan mengakibatkan rendah diri pada siswa yang tidak berhasil menyelesaikan
tugasnya (Johnson, Johnson, & Smith, 2006).

Dyson memaparkan pembelajaran kooperatif dikembangkan melalui tugas


yang diberikan kepada siswa agar berpartisipasi, termasuk mendengarkan,
mengambil keputusan bersama, mengambil tanggung jawab, memberi dan
menerima umpan balik dan mendorong satu sama lain (Dyson, 2002). Hasil
penelitian Goudas dan Magotsiou mengungkapkan bahwa siswa yang
berpartisipasi dalam program pembelajaran kooperatif yang dikembangkan atas
dasar keterampila sosial tertentu sebagai tujuan belajar, menunjukkan peningkatan
keterampilan sosial dan sikap terhadap kerja kelompok (Goudas & Magotsiou,
2009).

2
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, Kementrian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset dan Tekhnologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan kebijakan
dalam pengembangan Kurikulum Merdeka yang diberikan kepada satuan
pendidikan sebagai pilihan tambahan dalam rangka pemulihan pembelajaran
setelah adanya pandemic Covid-19. Dalam penerapan kurikulum merdeka,
sekolah diberikan keleluasaan menyusun kurikulum yang disesuaikan dengan
hasil dari analisis kebutuhan sekolah dan keadaan sekolah. Kegiatan pembelajaran
diarahkan pada kegiatan kelompok untuk melatih kerjasama dalam mewujudkan
dimensi profil pelajar pancasila. Kegiatan pembelajaran lebih mengarah pada
kolaborasi daripada kompetisi. Artikel ini akan membahas tentang penerapan
pembelajaran kooperatif dalam kurikulum merdeka dengan ditinjau dari teori
interdependensi sosial.

Pembahasan

Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif atau cooperative learning berasal dari kata


cooperative yang berarti mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan
saling membantu satu sama lainnya sebagai suatu anggota kelompok. Falsafah
yang mendasari strategi pembelajaran kooperatif atau pembelajaran gotong
royong dalam pendidikan adalah falsafah homo homini socius, yang berarti bahwa
manusia adalah makhluk sosial. Untuk itu kerja sama merupakan sebuah
kebutuhan yang sangat penting dalam kelangsungan hidupnya. Tanpa kerja sama
kehidupan ini sudah punah. Ironisnya, strategi pembelajaran kooperatif belum
banyak diterapkan dalam pendidikan di Indonesia, walaupun orang Indonesia
sangat membanggakan sifat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat (Lie,
2010).

Stahl dan Vansickel (1992) menyebutkan pembelajaran kooperatif sebagai


suatu strategi pembelajaran. Mereka mengatakan bahwa ketika pembelajaran
kooperatif digunakan dengan tepat maka akan mampu meningkatkan kognitif
siswa (Ajaja, 2010). Kholis (2009) menyebutkan bahwa pembelajaran kooperatif
lebih mengutamakan kerjasama diantara peserta didik untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Siswa bekerja dalam kelompok dan bukan individu untuk

3
menyelesaikan tugas akademiknya. Prosedur ini mengharuskan siswa bekerja
sama, berbagi dan saling membantu dalam menyelesaikan tugas. Tehnik ini
efektif untuk meningkatkan kemungkinan perilaku sosial yang positif
(Rahmawati, 2017). Adapun manfaat dari digunakannya pembelajaran kooperatif
menurut Edvantia (2005) adalah memberikan dampak yang kuat pada prestasi
serta peningkatan motivasi dan interaksi sosial yang lebih baik dengan orang
dewasa dan dengan teman sebaya (Adams, 2013).

Adapun karakteristik pembelajaran kooperatif menurut Johnson &


Johnson adalah: 1) ketergantungan positif. Adanya interdependensi positif
memberi siswa gagasan bahwa agar kelompok harus sukses. Tujuan belajar adalah
saling membantu memperkuat saling ketergantungan positif. 2) Interaksi tatap
muka dapat mendorong siswa untuk berperan aktif dalam kesuksesan kelompok.
Siswa dapat saling membantu mempelajari materi pelajaran yang ditugaskan oleh
guru. 3) Tanggung jawab individu digunakana untuk memastikan distribusi beban
kerja yang adil. Meskipun mereka bekerja dalam kelompok, namun semua
mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pengetesan yang
dilakukan oleh guru. 4) Keterampilan sosial hendaknya dimiliki oleh siswa dalam
melakukan pembelajaran kooperatif, karena mengharuskan siswa untuk saling
berinteraksi dalam kelompok. 5) Pengorganisasian kelompok dipandang sebagai
bagian penting dari pengalaman belajar kooperatif, namun pengaruh system
pengelompokan terhadap prestasi belajar siswa dan literasi konten belum
ditemukan (Woods & Chen, 2010).

Dalam penerapannya dikelas, pembelajaran kooperatif sangat terikat pada


rancangan tugas dan evaluasi pembelajaran yang terstruktur, sehingga siswa
diharuskan mengikuti prosedur yang sudah dibuat oleh guru.untuk evaluasi dalam
bentuk penilaian, meskipun tugas dikerjakan dalam kelompok, namun nilai yang
diberikan guru bersifat individu, hanya pengerjaannya yang dilakukan dalam
bentuk kerjasama kelompok. Penerapan pembelajaran kooperatif sebaiknya
diterapkan dengan memperhatikan kebutuhan belajar siswa dikelas. Agar dapat
tercipta dinamika kelompok yang efektif pada pembelajaran kooperatif, maka
guru hendaknya mampu mengorganisasikan kelompok dan menyusun tugas

4
kelompok secara sedemikian rupa agar siswa mampu menyelesaikan tugas yang
diberikan oleh kelompok dengan baik.

Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh diatas maka dapat disimpulkan


bahwa pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang
mengelompokkan siswa kedalam kelompok agar dapat bekerja sama dan saling
membantu satu sama lain. Untuk jumlah dari anggota kelompok sekitar 4 siswa
hingga 6 siswa yang terdiri dari berbagai macam karakteristik siswa atau latar
belakang/heterogen. Tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan
kerjasama dan mampu menjalin hubungan dan dapat menerima perbedaan yang
ada seperti ras, budaya, sosial, dan kemampuan. Dalam pembelajaran kooperatif
tidak hanya menekankan untuk mempelajari materi bahan ajar saja melainkan
juga untuk mempelajari keterampilan dalam hubungan sosial kerjasama dengan
oranglain dalam mengerjakan tugas.

Teori Interdependensi Sosial

Teori interdependensi sosial lahir sebagai teori tentang kerjasama dan


persaingan (Deutsch, Sebuah Teori Kerjasama dan Kebersamaan Permohonan.
Hubungan Manusia., 1949). Interdependensi disebut juga dengan saling
ketergantungan sosial yaitu sebuah mekanisme dimana hasil individu dalam suatu
kelompok dipengaruhi oleh tindakan anggota kelompok lainnya (Johnson &
Johnson , 1989). Saling ketergantungan sosial terdiri dari 2 jenis yaitu saling
ketergantungan positif dan saling ketergantungan negative. Sebagai ilustrasi, jika
dikelas guru memberikan tugas secara bersama /kelompok maka mereka akan
menemukan posisi diri dalam saling ketergantungan postif, karena tindakan
masing-masing akan secara bersama-sama berkontribusi pada kualitas tugas yang
mereka buat. Sedangkan contoh saling ketergantungan negatif adalah jika guru
memberikan tugas yang berbeda, misalnya membuat makalah, artikel, esai dan
memberitahukan bahwa hasil yang terbaik akan diberi hadiah, maka siswa akan
berlomba dan keadaan tersebut menjadikan siswa dalam posisi ketergantungan
negative, karena tindakan masing-masing menghambat tujuan dari siswa yang
lain. Tindakan yang dilakukan oleh guru tersebut memfasilitasi perilaku

5
kompetitif interaksi oposisi yaitu bekerja menuju pencapaian tujuan sendiri
dengan merugikan orang lain (Deutsch, Sebuah Teori Kerjasama dan
Kebersamaan Permohonan. Hubungan Manusia., 1949).

Pada konsep saling ketergantungan sosial memungkinkan adanya


perbedaan antara kerja sama dan persaingan dengan fenomena lain yang muncul
dalam pengaturan sosial. Sebagai contoh dikelas, dua orang siswa akan
menemukan diri mereka dalam posisi mandiri ketika guru meminta mereka
bekerja sendiri, dengan bahan/sumber yang mereka cari sendiri dan guru
mengevaluasi pekerjaan mereka berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Dalam
hal ini tindakan satu tidak mempengaruhi hasil dari yang lain, namun mereka
mungkin juga akan menemukan posisi diri dalam saling ketergantungan jika guru
meminta salah satu siswa untuk membantu temannya dikelas, yang dalam hal ini
tindakan seseorang mempengaruhi hasil yang lain (Johnson & Johnson, 2005).

Ada tiga proses penting yang mempengaruhi saling ketergantungan sosial


(Deutsch, 1962). Pertama yaitu subtitusi mengacu pada sejauh mana tindakan
anggota kelompok dapat menggantikan tindakan anggota kelompok lain. Kedua
saling ketergantungan sosial melibatkan anggota kelompok mengembangkan
representasi yang bermakna dalam tindakan dan orang-orang yang terlibat dalam
suatu interaksi. Ketiga induksibilitas mengacu padad pengaruh timbal balik yang
diberikan pasangan satu sama lain. 5 prinsip yang berkontribusi pada efektifitas
kerjasama menurut Butera & Buchs adalah: 1) saling ketergantungan positif, 2)
tanggung jawab dan akuntabilitas, 3) interaksi promotif/interaksi konstruktif, 4)
keterampilan sosial, dan 5) pemrosesan group (Butera & Buchs, 2019).

Dari pendapat tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa saling


ketergantungan adalah kegiatan dalam sebuah kelompok (yang beranggotakan 4-6
siswa) untuk bekerjasama dlam menyelesaikan tugas demi tercapainnya tujuan
bersama. Saling ketergantungan bisa bersifat positif dan negative, tergantung dari
bagaimana guru mengkondisikan tugas tersebut. Jika tugas yang diberikan
memunculkan oleh guru sifatnya sama maka siswa akan memposisikan diri dalam
saling ketergantungan postif, namun jika muncul persaingan dalam kelompok

6
tersebut untuk mencapai tujuan dengan mengurangi keuntungan dari siswa lain
maka saling ketergantungan negative tercipta.

Keterkaitan Pembelajaran Kooperatif dengan Teori Interdependensi Sosial

Pembelajaran kooperatif dilandasi oleh teori Interdepensi Sosial. Teori ini


sudah berkembang sejak awal 1900an, ketika salah satu pendiri Sekolah Psikologi
Gestalt, Kurt Koffka, mengusulkan agar kelompok-kelompok belajar berifat
dinamis, dimana saling ketgergantungan antar anggota dapat bervariasi. Salah satu
rekannya, Kurt Lewin memperbaiki konsep Koffka yaitu : a) Esensi sebuah
kelompok adalah saling ketergatungan anttar anggota ( diciptakan oleh tujuan
bersama) yang menyebabkan kelompok-kelompok tersebut menjadi keseluruhan
dinamis, sehingga sebuah perubahan dalam keadaan anggota manapun atau sub
kelompok mengubah keadaan anggota atau sub kelompok lainnya, dan b)
Keadaan ketegangan intrinsik dalam anggota kelompok memotivasi gerakan
menuju pencapaian tujuan bersama yang diinginkan. Agar saling ketergantungan
da, harus ada lebih dari satu orang atau entitas yang terlibat, dan orang atau entitas
harus saling mempengaruhi satu sama lain karena perubahan dalam keadaan
seseorang menyebabkan perubahan keadaan orang lain (Johnson, Johnson, &
Smith, 2006).

Brewer dan Capoael (2006) berpendapat bahwa interdependensi diantara


anggota kelompok merupakan strategi utama untuk kelangsungan hidup manusia,
dimana kelompok berperan sebagai perantara penting diantara individu dan
habitat fisik. Koordinasi sosial semacam ini dapat dapat menjadi hal yang penting
dalam kelangsungan hidup (Baron & Branscombe, 2015). Implikasi yang dimiliki
terhadap perilaku pada kelompok, menurut Schachter menyimpulkan bahwa
munculnya mutu emosi yang kuat pada diri manusia cenderung menimbulkan
kebutuhan untuk membandingkan reaksi tersebut dengan orang lain (Schachter,
1959). Hal inilah yang menyebabkan kebutuhan akan afiliasi kelompok karena
kebutuhan manusia yang bersifat kompleks. Dalam keadaan ini keamanan
psikologis semakin mengidentifikasi seseorang dalam kelompok sosialnya (Hogg,
2007). Tingkat analisis individu membutuhkan ketergantungan yang kuat pada

7
komposisi kelompok untuk memprediksi bagaimana kelompok akan berperilaku
(Moreland & Levine, 1992).

Kerjasama adalah tindakan saling membantu dimana semua pihak


mendapatkan keuntungan untuk mencapai tujuan bersama (Baron & Branscombe,
2015). Kerjasama adalah saling ketergantungan sosial yang positif, karena
tindakan individu berkontribusi pada beberapa tujuan bersama, disini tujuan
individu berhubungan positif. Keberhasilan seseorang akan mendukung
keberhasilan orang lain. Dalam penerapan kurikulum merdeka saat ini, guru lebih
banyak mengkondisikan siswa untuk saling bekerjasama dan berkolaborasi dalam
kelompok. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan karakter profil pelajar
pancasila dimensi gotong royong. Gotong royong sudah menjadi budaya di
Indonesia sejak dahulu kala. Untuk tetap melestarikan budaya nasional di era
globalisasi ini, maka pemerintah memasukkan dimensi tersebut kedalam
kurikulum.

Sedangkan saling ketergantungan sosial yang negative terjadi apabila


tindakan satu individu menghambat tujuan yang lain, keberhasilan seseorang akan
mengurangi kemungkinan keberhasilan orang lain, dalam hal ini dinamakan
kompetisi. Guru dapat memberikan tugas yang sama, namun guru menciptakan
kondisi persaingan dengan memberikan keterangan bagi siswa yang mampu
mengerjakan dengan baik akan diberi hadiah. Apapun sifat saling ketergantungan
sosial, sifat structural lingkungan ini memberikan pengaruh kuat pada perilaku
dan persepsi orang (Johnson & Johnson, Instruksional struktur tujuan: kooperatif,
kompetitif atau individualistis, 1974). Disekolah hal ini sering terjadi ketika guru
memberikan tugas secara mandiri, maka siswa akan bekerja secara mandiri dan
akan menemukan posisi diri mereka sebagai pribadi yang mandiri. Dalam hal ini
tindakan satu siswa tidak akan mempengaruhi hasil dari siswa lain. Disisi lain,
jika guru meminta salah satu siswa untuk membantu teman sekelasnya, maka akan
muncul posisi saling bergantung dan tindakan seseorang akan mempengaruhi
hasil yang lain (Johnson & Johnson, 2005).

Kesimpulan

8
Pemerintah telah berkali-kali melakukan perubahan dalam kurikulum, hal
ini dilakukan untuk penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya dengan
menyesuaikan perubahan zaman namun tetap menjujung tinggi budaya nasional.
Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan guru dalam perubahan
kurikulum adalah pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif sebagai
sebuah model pembelajaran yang mengelompokkan siswa kedalam kelompok
agar mereka bekerja sama dan saling membantu satu sama lain. Tujuan dari
pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan kerjasama dan mampu menjalin
hubungan dan dapat menerima perbedaan yang ada seperti ras, budaya, sosial, dan
kemampuan.

Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya menekankan untuk


mempelajari materi bahan ajar saja melainkan juga untuk mempelajari
keterampilan dalam hubungan sosial kerjasama dengan oranglain dalam
mengerjakan tugas. Kerjasama adalah saling ketergantungan sosial yang positif,
karena tindakan individu berkontribusi pada beberapa tujuan bersama, disini
tujuan individu berhubungan positif. Keberhasilan seseorang akan mendukung
keberhasilan orang lain. Dalam penerapan kurikulum merdeka saat ini, guru lebih
banyak mengkondisikan siswa untuk saling bekerjasama dan berkolaborasi dalam
kelompok. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan karakter profil pelajar
pancasila dimensi gotong royong.

Referensi

Adams, A. (2013). Cooperative Learing Effects On The Classroom. In Cooperative


Learning, 1-40.

Ajaja, O. (2010). Effect of Cooperative Learning strategy on Junior Secondary School


students Achievement in Integrated science. Electronik Jurnal of Science
Education, 1-18.

Baron, R. A., & Branscombe, N. R. (2015). Psikologi sosial. Jakarta: Erlangga.

Butera, F., & Buchs, C. (2019). Ketergantunga Sosial dan Promosi Pembelajaran
Kooperatif. Jenewa, Swiss.

9
Deutsch, M. (1949). Sebuah Teori Kerjasama dan Kebersamaan Permohonan. Hubungan
Manusia.

Deutsch, M. (1962). Kerja Sama dan Kepercayaan: Beberapa Teori Catatan Ical dalam
MR. Jones (ed). Lincoln: Universitas Nebraska Pers.

Dyson, B. G. (2002). http://citeseerrx.ist.psu.edu/viewdoc/download?


doi=10.1.1.621.7462&rep=rep1&type=pdf.

Goudas, M., & Magotsiou, E. (2009). The Effects Of A Cooperative Physical Education
Program On Students Social Skills. Journal Of Applied Sport Phychology, 356-364.

Hogg, M. A. (2007). Organization orthodony and curporate autocrats: Some nasty


consequences of organizational identification in uncertain times. In C. Bartel,S,
Blader & A. Wresniewski (Eds). Mahwah. NJ: Erlbaum.

Johnson, D., & Johnson , R. (1989). Kerjasama dan Kompetisi. Teori dan Penelitian..
Edina, Mn.: Buku Interaksi Co.

Johnson, D., & Johnson, R. (1974). Instruksional struktur tujuan: kooperatif, kompetitif
atau individualistis. Revisw penelitian pendidikan, 213-240.

Johnson, D., & Johnson, R. (2005). Pengembangan Baru dalam Teori Interdependensi
Sosial. Monograf Genetika, sosial dan psikologi umum, 285-358.

Johnson, D., Johnson, R., & Smith, K. (2006). Cooperative Learning: Improving University
Instruction By Basing Practice On Validated Theory. University Of Minnesota.

Lie, A. (2010). Cooperative Learning: Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang


Kelas. Jakarta: Grasindo.

Metzler, M. (2000). Intrictional Model For Physical Education. Massachusetts: Allyn &
Bacon.

Moreland, R., & Levine, J. (1992). Komposisi Pengelompokan kelompok kecil. Dalam EJ
Lawler, B. Markovsky, C. Ridgeway, & HA. Walker (Eds). Kemajuan dalam proses
kelompok. Greenwich: PT. JAI Press.

Panitz, T. (1996). A Definition of Collaborative vs Cooperative Learning. Retrieved from


http://www.city.londonmet.ac.uk/deliberations/collab.learning/panitz.2.html.

Rahmawati, W. (2017). Efektivitas Pembelajaran Kooperatif Untuk Meningkatkan


Keterampilan Sosial Pada Siswa Taman Kanak-Kanak. Jurnal Psikologi Ulayat,
160-174.

Schachter, S. (1959). The psychology of affiliation. Stanford, CA: Stanford University


Press.

Seifert, K. L. (1991). Eduation Psychology. Boston: Houghton Miflin Co.

Slavin, R. (1995). Research on Cooperative Learning and Achievement: what we know,


what we need to know. Contemp Educ Psychol 21, 43-69.

Suryosubroto, B. (2002). Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

10
Woods, D., & Chen, K. (2010). Evaluation Techniques For cooperative Learning.
International Journal of Management & Information system, 1-6.

11

Anda mungkin juga menyukai