Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha
mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang
dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan.
Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, jenis kelamin, status sosial,
kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain, pendidikan inklusi adalah pelayanan
pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya
(normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu. Dengan karakteristik dan kebutuhan yang tidak sama antara satu
dengan yang lainnya, bukan berarti pihak penyelenggara pendidikan boleh melakulan
diskriminasi kepada mereka yang mempunyai kebutuhan khusus. Dengan setiap
keistimewaan dan kelebihan yang dimiliki tiap anak, diharapkan pendidikan di
Indonesia mampu mencerdaskan mereka dalam semua bidang, tidak hanya cerdas dari
segi pengetahuan, namun juga dari segi mental dan spiritual.
Berkaitan dengan definisi pendidikan inklusi, maka kegiatan pembelajaran
yang dilakukan di dalamnya tidak hanya terfokus pada satu hal, namun ada beberapa
hal yang harus diperhatikan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik,
serta prinsip-prinsip pembelajaran pendidikan inklusi. Dalam pembelajaran kelas
inklusi guru dituntut untuk lebih peka, kreatif, dan memiliki beberapa keahlian khusus
untuk mendidik dan mengajar peserta didiknya melalui kegiatan yang bervariasi dan
mampu membangkitkan minat dan semangat belajar siswanya. Oleh sebab itu, dalam
makalah ini akan dibahas mengenai pembelajaran di sekolah inklusi, karaktersistik
pembelajaran di sekolah inkluisi, maupun prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah
inkuisi.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pembelajaran di sekolah inklusi
2. Karakteristik pembelajaran di sekolah inklusi
3. Prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah inklusi

C. TUJUAN
1. Mengetahui pembelajaran di sekolah inklusi
2. Mengetahui karakteristik pembelajaran pembelajaran di sekolah inklusi
3. Mengetahui prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah inklusi
BAB 2

PEMBAHASAN

A. PEMBELAJARAN DI SEKOLAH INKLUSI

B. KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN DI SEKOLAH INKLUSI

C. PRINSIP – PRINSIP PEMBELAJARAN DI SEKOLAH INKLUSI


Prinsip Pembelajaran dalam Pendidikan Inklusi Direktorat PLB
(Tarmansyah, 2007: 191) memaparkan bahwa “pembelajaran yang dilaksanakan
dalam setting inklusi mengacu pada pembelajaran yang ramah, sehingga guru-guru
yang mengajar hendaknya selain menerapkan prinsip-prinsip umum dalam
pembelajaran juga mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan
kebutuhan masing-masing siswa”. Prinsip umum meliputi motivasi siswa,
memanfaatkan sumber dari lingkungan sekitar, keterarahan yang meliputi
memusatkan tujuan, menyiapkan alat dan strategi pembelajaran yang tepat,
mengoptimalkan interaksi sosial, belajar sambil bekerja, mengenali karakteristik
masing-masing siswa, kasih sayang, mengupayakan siswa untuk dapat aktif
menemukan pemecahan masalah yang dihadapinya, serta melatih siswa untuk
merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkan masalah sesuai dengan
kemampuannya. Sedangkan prinsip khusus disesuaikan dengan kebutuhan masing-
masing siswa yang memiliki kebutuhan khusus.
Sementara itu, Mulyono dalam Sri Wahyu Ambarwati (2005)
mengidentifikasikan prinsip pendidikan inklusif ke dalam sembilan elemen dasar
yang memungkinkan pendidikan inklusif dapat dilaksanakan.
1. Sikap guru yang positif terhadap kebhinekaan
Elemen paling penting dalam pendidikan inklusif adalah sikap guru
terhadap siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus. Sikap guru
tidak hanya berpengaruh terhadapclassroom setting tetapi juga dalam
pemilihan strategi pembelajaran.
Sikap positif guru terhadap keragaman kebutuhan siswa dapat
ditingkatkan dengan cara memberikan informasi yang akurat tentang siswa
dan cara penanganannya (Johnson & Johnson, 1984 dalam Whayu Sri
Ambarwati, 2005).
2. Interaksi promotif
Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut adanya interaksi
promotif antara siswa. Yang dimaksud interaksi promotif adalah upaya
untuk saling menolong dan saling memberi motivasi dalam belajar.
Interaksi promotif hanya dimungkinkan jika terdapat rasa saling
menghargai dan saling memberikan urunan dalam meraih keberhasilan
belajar bersama. Interaksi promotif pada hakekatnya sama dengan
interaksi transpersonal, yaitu interaksi yang didasarkan atas rasa saling
menghormati, tidak hanya terhadap sesama manusia tetapi juga sesama
makluk ciptaan Tuhan. Interaksi promotif hanya di mungkinkan jika guru
menciptakan suasana belajar kooperatif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dalam suasana belajar kooperatif, siswa cenderung memperoleh
prestasi belajar matematika lebih tinggi dari pada dalam suasana belajar
kompetitif (Mulyono, 1994).
Dalam pendidikan inklusif, suasana belajar kooperatif harus dominan
sedangkan suasanabelajar kompetitif hanya untuk bersenang-senang atau
untuk selingan atau untuk materi belajar yang membosankan. Hasil
penelitian Johnson & Johnson (Wahyu Sri Ambarwati, 2005)
menunjukkan bahwa suasana belajar kompetitif dapat menimbulkan
perasaan rendah diri bagi siswa yang memiliki kemampuan kurang.
Lebih lanjut hasil penelitian Mulyono (1994) menunjukkan bahwa para
guru umumnya lebih menyukai pembelajaran kompetitif dan tidak
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam
penyelenggaraan pembelajaran kooperatif. Padahal, pembelajaran
kompetitif dalam kelompok heterogen dapat menghancurkan rasa harga
diri siswa yang berkekurangan dan merasa bosan terhadap siswa yang
memiliki keunggulan. Perasaan rendah diri dan perasaan bosan merupakan
elemen yang merusak untuk membangun kehidupan bersama yang lebih
baik. Kompetisi bukan tidak bermanfaat tetapi hanya untuk kelompok
yang homogen yang memungkinkan semua anggota berkompetisi
memiliki peluang yang relatif sama untuk menang dan kalah. Menguatkan
pembahasan ini, sekali lagi hasil penelitian Mulyono (1994) menunjukkan
bahwa interaksi kompetitif yang efektif untuk mencapai tujuan
pembelajaran adalah kompetisi antar siswa yang mempunyai kemampuan
seimbang, kompetisi dengan standar nilai minimum, dan yang terbaik
adalah kompetisi dengan diri sendiri.
3. Pencapaian kompetensi akademik dan sosial
Pendidikan inklusif tidak hanya menekankan pencapaian tujuan dalam
bentuk kompetensi akademik tetapi juga kompetensi sosial. Oleh sebab itu,
perencanaan pembelajaran harus melibatkan tidak hanya pencapaian
tujuan akademik (academic objectives) tetapi juga tujuan keterampilan
bekerjasama (collaborative skills objectives). Tujuan keterampilan
bekerjasama mencakup keterampilan memimpin, memahami perasaan
orang lain, menghargai pikiran orang lain, dan tenggang rasa.
4. Pembelajaran adaptif
Ciri khas dari pendidikan inklusif adalah tersedianya program
pembelajaran yang adaftif atau program pembelajaran individual
(individualized instructional programs). Program pembelajaran adaptif
tidak hanya ditujukan kepada peserta didik dengan problema belajar tetapi
juga untuk peserta didik yang dikaruniai keunggulan. Penyusunan program
pembelajaran adaptif menuntut keterlibatan tidak hanya guru kelas atau
guru bidang studi tetapi juga guru PLB, orangtua, guru BK, dan ahli-ahli
lain yang terkait.
5. Konsultasi kolaboratif
Konsultasi kolaboratif (collaborative consultation) adalah saling tukar
informasi antar profesional dari semua disiplin yang terkait untuk
memperoleh keputusan legal dan instruksional yang berhubungan dengan
siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus. Yang dimaksud
dengan profesional dalam hal ini adalah guru PLB, guru kelas atau guru
bidang studi, konselor, psikolog, dan atau ahli-ahli lain yang terkait.
Beberapa ahli telah mengembangkan model konsultasi kolaboratif untuk
melakukan tindakan pencegahan dan rahabilitasi siswa yang membutuhkan
layanan pendidikan khusus di kelas reguler. Berdasarkan model yang
mereka buat guru PLB dan guru reguler bersama anggota tim lainnya
melakukan diskusi untuk menentukan sifat dan ukuran-ukuraaan yang
dipergunakan untuk menentukan masalah siswa, memilih dan
merekomendasikan tindakan, merencanakan danmengimplementasikan
program pembelajaran, dan melakukan evaluasi hasil intervensi serta
melakukan perencanaan ulang jika diperlukan.
6. Hidup dan belajar dalam masyarakat
Dalam pendidikan inklusif kelas harus merupakan bentuk mini dari
suatu kehidupan masyarakat yang diidealkan. Di dalam kelas diciptakan
suasana yang silih asah, silih asih, dan silih asuh. Dengan kata lain,
suasana belajar yang kooperatif harus diciptakan sehingga di antara siswa
terjalin hubungan yang saling menghargai. Semua siswa tidak peduli
betapapun perbedaannya, harus dipandang sebagai individu unik yang
memiliki potensi kemanusiaan yang harus dikembangkan dan
diaktualisasikan dalam kehidupan.
7. Hubungan kemitraan antara sekolah dengan keluarga.
Keluarga merupakan fondasi tempat anak-anak belajar dan
berkembang. Begitu pula dengan sekolah, juga tempat anak belajar dan
berkembang. Keduanya memiliki fungsi yang sama. Perbedaannya,
pendidikan dalam keluarga tidak terprogram dan terukur sedangkan di
sekolah pendidikan lebih banyak dilakukan secara terprogram dan terukur
atau yang biasa disebut dengan pembelajaran. Karena kedua lembaga
tersebut hakekatnya mempunyai fungsi yang sama, maka keduanya harus
menjalin hubungan kemitraan yang erat dalam upaya memberdayakan
semua potensi kemanusiaan siswa agar dapat berkembang optimal dan
terintegrasi. Keluarga memiliki informasi yang lebih akurat mengenai
keunikan, kekuatan, dan minat anak, sedangkan sekolah memiliki
informasi yang lebih akurat mengenai prestasi akademik siswa. Informasi
mengenai anak yang dimiliki oleh keluarga merupakan landasan penting
bagi penyelenggaraan pendidikan inklusif.
8. Belajar dan berfikir independen.
Dalam pendidikan inklusif guru mendorong agar siswa mencapai
perkembangan kognitif taraf tinggi dan kreatif agar mampu berfikir
independen. Berkenaan dengan semakin majunya ilmu dan teknologi,
pendidikan inklusif sangat menekankan agar siswa memiliki keterampilan
belajar dan berpikir. Guru hendaknya juga mengetahui bahwa hasil-hasil
penelitian mengenai anak-anak kesulitan belajar (students with learning
difficulties) menunjukkan bahwa mereka umumnya pasif dalam belajar,
kurang mampu melakukan control diri, cenderung bergantung
(dependent),dan kurang memiliki strategi untuk belajar. Sehubungan
dengan karakteristik siswa berkesulitan belajar semacam itu maka guru
perlu memiliki kemampuan untuk memberikan dorongan atau motivasi
dengan menerapkan berbagai teknik, terutama yang berkenaan dengan
manajemen perilaku atau memodifikasi perilaku.
9. Belajar sepanjang hayat
Pendidikan inklusif memandang pendidikan di sekolah sebagai bagian
dari perjalanan panjang hidup seorang manusia; dan manusia belajar
sepanjang hidupnya (lifelong learning). Belajar sepanjang hayat memiliki
makna yang melampaui sekedar menguasai berbagai kompetensi yang
menjadi tuntutan kurikulum dan upaya untuk naik kelas. Belajar sepanjang
hayat pada hakekatnya adalah belajar untuk berfikir kritis dan belajar
untuk menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Oleh karena itu,
pendidikan inklusif menekankan pada pengalaman belajar yang
bermanfaat bagi kelangsungan proses belajar peserta didik dalam
kehidupan masyarakat.
BAB 3

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Prinsip Pembelajaran dalam Pendidikan Inklusi Direktorat PLB
(Tarmansyah, 2007: 191) memaparkan bahwa “pembelajaran yang dilaksanakan
dalam setting inklusi mengacu pada pembelajaran yang ramah, sehingga guru-guru
yang mengajar hendaknya selain menerapkan prinsip-prinsip umum dalam
pembelajaran juga mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan
kebutuhan masing-masing siswa”. Prinsip umum meliputi motivasi siswa,
memanfaatkan sumber dari lingkungan sekitar, keterarahan yang meliputi
memusatkan tujuan, menyiapkan alat dan strategi pembelajaran yang tepat,
mengoptimalkan interaksi sosial, belajar sambil bekerja, mengenali karakteristik
masing-masing siswa, kasih sayang, mengupayakan siswa untuk dapat aktif
menemukan pemecahan masalah yang dihadapinya, serta melatih siswa untuk
merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkan masalah sesuai dengan
kemampuannya.
Dan, menurut Mulyono dalam Sri Wahyu Ambarwati (2005)
mengidentifikasikan prinsip pendidikan inklusif ke dalam sembilan elemen dasar
yang memungkinkan pendidikan inklusif dapat dilaksanakan. Sikap guru yang positif
terhadap kebhinekaan, interaksi promotif, pencapaian kompetensi akademik dan
sosial, pembelajaran adaptif, konsultasi kolaboratif, hidup dan belajar dalam
masyarakat, hubungan kemitraan antara sekolah dengan keluarga, belajar dan berfikir
independen, dan belajar sepanjang hayat.
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Riski Purnama. 2016. Pelaksanaan Sekolah Inklusi Kelas IV SDN Jolosutro Bantul
[skripsi]. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai