DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
Dalam tataran praktis pembelajaran, inklusi merupakan suatu perubahan yang dapat
menguntungkan tidak hanya anak berkebutuhan khusus akan tetapi juga anak pada umumnya
dalam kelas. Prinsip paling mendasar dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana agar peserta
didik dapat belajar bersama, belajar untuk dapat hidup bersama.
Elemen paling penting dalam pendidikan inklusif adalah sikap guru terhadap siswa yang
membutuhkan layanan pendidikan khusus. Sikap guru tidak hanya berpengaruh terhadap
classroom setting tetapi juga dalam pemilihan strategi pembelajaran.
2. Interaksi promotif
Pendidikan inklusif tidak hanya menekankan pencapaian tujuan dalam bentuk kompetensi
akademik tetapi juga kompetensi sosial. Oleh sebab itu, perencanaan pembelajaran harus
melibatkan tidak hanya pencapaian tujuan akademik (academic objectives) tetapi juga tujuan
keterampilan bekerjasama (collaborative skills objectives). Tujuan keterampilan bekerjasama
mencakup keterampilan memimpin, memahami perasaan orang lain, menghargai pikiran orang
lain, dan tenggang rasa.
4. Pembelajaran adaptif
Ciri khas dari pendidikan inklusif adalah tersedianya program pembelajaran yang adaftif
atau program pembelajaran individual (individualized instructional programs). Program
pembelajaran adaptif tidak hanya ditujukan kepada peserta didik dengan problema belajar tetapi
juga untuk peserta didik yang dikaruniai keunggulan. Penyusunan program pembelajaran adaptif
menuntut keterlibatan tidak hanya guru kelas atau guru bidang studi tetapi juga guru PLB, orangtua,
guru BK, dan ahli-ahli lain yang terkait.
5. Konsultasi kolaboratif
Dalam pendidikan inklusif kelas harus merupakan bentuk mini dari suatu kehidupan
masyarakat yang diidealkan. Di dalam kelas diciptakan suasana yang silih asah, silih asih, dan silih
asuh. Dengan kata lain, suasana belajar yang kooperatif harus diciptakan sehingga di antara siswa
terjalin hubungan yang saling menghargai. Semua siswa tidak peduli betapapun perbedaannya,
harus dipandang sebagai individu unik yang memiliki potensi kemanusiaan yang harus
dikembangkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan.
Keluarga merupakan fondasi tempat anak-anak belajar dan berkembang. Begitu pula
dengan sekolah, juga tempat anak belajar dan berkembang. Keduanya memiliki fungsi yang sama.
Perbedaannya, pendidikan dalam keluarga tidak terprogram dan terukur sedangkan di sekolah
pendidikan lebih banyak dilakukan secara terprogram dan terukur atau yang biasa disebut dengan
pembelajaran. . Keluarga memiliki informasi yang lebih akurat mengenai keunikan, kekuatan, dan
minat anak, sedangkan sekolah memiliki informasi yang lebih akurat mengenai prestasi akademik
siswa. Informasi mengenai anak yang dimiliki oleh keluarga merupakan landasan penting bagi
penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Dalam pendidikan inklusif guru mendorong agar siswa mencapai perkembangan kognitif
taraf tinggi dan kreatif agar mampu berfikir independen. Berkenaan dengan semakin majunya ilmu
dan teknologi, pendidikan inklusif sangat menekankan agar siswa memiliki keterampilan belajar
dan berpikir. Guru hendaknya juga mengetahui bahwa hasil-hasil penelitian mengenai anak-anak
kesulitan belajar (students with learning difficulties) menunjukkan bahwa mereka umumnya pasif
dalam belajar, kurang mampu melakukan control diri, cenderung bergantung (dependent),dan
kurang memiliki strategi untuk belajar.
1. Landasan filosofis
Pada penerapan pendidikan inklusi di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima
pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut
Bhinneka Tunggal Ika Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik
kebhinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di
bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan
finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri dan sebagainya. Sedangkan kebhinekaan
horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal,
daerah, afiliasi, politik dan sebagainya . Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya
pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragaam, sehingga mendororng sikap silih asah, silih
asih dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citakan
dalam kehidupan sehari-hari.
2. Landasan Yuridis
Penyelenggaraan pendidikan inklusif telah diatur dalam Permendiknas No. 70 Tahun 2009
bahwa setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada
satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Sebetulnya banyak UU
yang juga beririsan dengan pendidikan inklusi, seperti halnya UU No. 4 tahun 1997 tentang
penyandang cacat, dalam pasal 5 yang menyebutkan bahwa setiap penyandang cacat mempunyai
hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
3. Landasan Pedagogis
Landasan pedagogis, seperti yang dijelaskan pada pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003,
disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Jadi, melalui pendidikan, peserta didik penyandang cacat dibentuk menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan
berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan
dari teman sebayanya di sekolah-sekolah luar biasa. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi
kesempatan bersama teman sebayanya.
4. Landasan Empiris
Landasan Empiris ditunjukkan melalui penelitian tentang inklusi yang telah banyak
dilakukan negara-negara barat sejak tahun 1980-an, namun penelitian yang berskala besar
dipelopori oleh The National Academy Of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya, menunjukkan
bahwa klasifikasi dan penempatan anak penyandang cacat di sekolah, kelas atau tempat khusus
tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara
segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat .Layanan ini
merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan
hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman dan Messick, 1982). Beberapa pakarbahkan
mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak
berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen.
KESIMPULAN
Dalam tataran praktis pembelajaran, inklusi merupakan suatu perubahan yang dapat
menguntungkan tidak hanya anak berkebutuhan khusus akan tetapi juga anak pada umumnya
dalam kelas.