PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia sampai saat ini memang masih
mengundang kontroversi (Sunardi, 1997). Namun praktek sekolah inklusif memiliki berbagai
manfaat. Misalnya adanya sikap positif bagi siswa berkelainan yang berkembang dari
komunikasi dan interaksi dari pertemanan dan kerja sebaya. Siswa belajar untuk sensitif,
memahami, menghargai, dan menumbuhkan rasa nyaman dengan perbedaan individual. Selain
itu, anak berkelainan belajar keterampilan sosial dan menjadi siap untuk tinggal di masyarakat
karena mereka dimasukkan dalam sekolah umum. Dan dengan sekolah inklusi, anak terhindar
dari dampak negatif dari sekolah segregasi, antara lain kecenderungan pendidikannya yang
kurang berguna untuk kehidupan nyata, label “cacat” yang memberi stigma pada anak dari
sekolah segregasi membuat anak merasa inferior, serta kecilnya kemungkinan untuk saling
bekerjasama, dan menghargai perbedaan.
Anggapan ini muncul ketika sebagian pihak masih kurang memahami, bagaimana suatu
pendidikan inklusif diselenggarakan. Sebagian besar masyarakat memandang sebelah
mata pendidikan ini, karena belummemahami bagaimana pelaksanaan pendidikan ini. Dalam
benak mereka, anak mereka yang dalam keadaan normal akan menurun kualitas belajarnya bila
disatu sekolahkan dengan anak berkebutuhan khusus. Dilain sisi, mereka berannggapan bahwa
anaknya tidak layak di sejajarkan dengan kemampuan anak berkebutuhan khusus.
Dalam makalah ini penulis mengajak pembaca untuk menambah dan membuka
wawasannya mengenai pendidikan inklusif. Sehingga tidak akan ditemukan lagi masyarakat
yang belum tahu bahkan memandang negatif pelaksanaan pendidikan dengan sistem pendidikan
inklusif ini.
B. RumusanMasalah
1. Apa landasan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia ?
2. Bagaimana karakteristik pendidikan inklusif ?
3. Apa prinsip dasar penyelenggaraan pendidikan inklusif?
4. Apafaktor pendukung keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusif?
5. Bagaimana langkah-langkah penyelenggaraan pendidikan inklusif?
6. Bagaimana bentuk penyelenggaraan pendidikan inklusif?
7. Bagaimana peran serta masyarakat dalam mewujudkan pendidikan inklusif?
C. Tujuan
1. Mengetahui landasan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia.
2. Memahami karakteristik pendidikan inklusif .
3. Mengetahui prinsip dasar penyelenggaraan pendidikan inklusif .
4. Mengetahui faktor pendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif.
5. Memahami langkah-langkah penyelenggaraan pendidikan inklusif.
6. Memahami bentuk penyelenggaraan pendidikan inklusif.
7. Mengetahui peran serta masyarakat dalam mewujudkan pendidikan inklusif.
D. SistematikaPenulisan
Pada Bab I Pendahuluan, menguraikan mengenai latar belakang, rumusan masalah dan
sistematika penulisan dari isi makalah kami.
Pada Bab II Pembahasan, menguraikan mengenai apa yang melandasi penyelenggaraan
pendidikan inklusif, karakteristik pendidikan inklusif, prinsip dasar pendididkan inklusif, faktor
pendukung keberhasilan pendidikan inklusif, langkah langkah penyelenggaraan, benruk
penyelenggaraan, serta pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Pada Bab III Penutup, menguraikan mengenai kesimpulan dan saran untuk melengkapi
makalah kami.
BAB II
PEMBAHASAN
2. Landasan Yuridis
Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusi
adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan
sedunia. Deklarasi ini adalah penegasan kembali atas Deklarasi PBB
tentang Hak Asasi manusia tahun 1948 dan berbagai deklarasi lanjutan
yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang
kesempatan yang sama bagi individu penyandang cacat memperoleh
pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada. Deklarasi Salamanca
menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-
sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusi dijamin oleh UU No.20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam
penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk
peserta didik penyandang cacat atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara
inklusif atau berupa sekolah khusus.
Adapun landasan yuridis penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia antara lain
sebagai berikut :
a. UUD 1945 (amandemen) Pasal 31
Ayat (1) “setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”.Ayat (2) “setiap warga Negara
wajib mengikuti pendiddikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
b. UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 3 yang menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsimengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsayang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratisserta bertanggung jawab.
c. UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
Pasal 5
Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yangsama dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C8/MN/2003
tanggal 20 Januari 2003. Perihal pendidikan inklusi:
Menyelenggarakan dan mengembangkan disetiap kabupaten/kota sekurang-kurangnya 4 (empat)
sekolah yang terdiri dari: SD, SMP, SMA, SMK.
d. Deklarasi Bandung (Nasional) ”Indonesia Menuju PendidikanInklusif” 8-14 Agustus 2004
e. Deklarasi Bukit Tinggi (Internasional) Tahun 2005
3. Landasan Pedagogis
Pada Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional
adalah berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berahlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mendiri dan menjadi Warga
negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik
penyandang cacat dibentuk menjadi warganegara
yang demokratis dan bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu
menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai
jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-
sekolah luar biasa. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman
sebayanya.
4. Landasan Empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan negara-negara barat sejak 1980-an,
namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh
the National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa
klasifikasi dan penempatan anak penyandang cacat di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak
efektif dan diskriminatif. Layanan
ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya
diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller,
Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan
bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak
berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang,
dan Walberg, 1994-1995). Beberapa peneliti kemudian melakukan meta analisis (analisis
lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg
dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985-
1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian
menunjukkan bahwa pendidikan inklusi berdampak positif,
baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak penyandang cacat dan teman
sebayanya.
1. Karakteristik
a. Anak berkebutuhuan khusus (ABK) belajar dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama
dengan anak-anak lainnya.
b. ABK memperoleh layanan pendidikan yang bermutu.
c. ABK memperoleh layanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
d. Sistem pendidikan disesuaikan dengan kemampuan ankanya.
2. Peserta Didik
a. Peserta Didik
Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial berhak
mengikuti pendidikan secara inklusif pada atuan endidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuannya. Kelainan tersebut terdiri dari :
1) Tunanetra;
2) Tunarungu;
3) Tunawicara;
4) Tunagrahita;
5) Tunadaksa;
6) Tunalaras;
7) Berkesulitan Belajar;
8) Lamban Belajar;
9) Autis;
10) Memiliki Gangguan Motorik;
11) Menjadi Korban Penyalahgunaan Narkoba, Obat Terlarang Dan Zat Adiktif Lainnya;
12) Tunaganda;
13) Memiliki Kelainan Lain.
b. Sasaran
Sasaran pendidkan inklusif secara umum adalah semua peserta didik yang ada di sekolah
regular. Tidak hanya mereka yang sering disebut sebagai anak berkebutuhan khusus, pendidikan
Inklusif juga diikuti mereka yang termasuk anak ‘normal’. Mereka secara keseluruhan harus
memahami dan menerima keanekaragaman dan perbedaan individual. Secara khusus, sasaran
pendidikan inklusif adalah anak berkebutuhan khusus, baik yang sudah terdaftar di sekolah
regular, maupun yang belum berada di lingkungan sekolah regular. Untuk itu diperlukan
identitas secara khusus agar dapat diberikan program yang sesuai.
c. Identifikasi anak berkebutuhan khusus
1) Hakekat
Istialah identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan, sedangkan assessment dimaknai
sebagai penyaringan. Identifikasi anak dimaksud sebagai suatu upaya seseorang (orang tua, guru
maupun tenaga pendidikan lainnya) untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang
mengalami kelainan dan penyimpangan (phisik, intelektul, sosial, emosional, tingkah laku)
dalam rangka memberikan pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah ditemukanya
anak –anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui
program inklusi.
2) Tujuan
Identifikasi anak berkebutuhan khusus dilakukan untuk lima keperluan, yaitu:
a) Penjaringan (screening)
b) Pengalih tanganan (referral)
c) Klasifikasi
d) Perencanaan pembelajaran, dan
e) Pemantauan kemajuan belajar
3) Asesmen
Asesmen merupakan proses pengumpulan informasi sebelum disusun program pembelajaran
bagi siswa, sehingga diharapkan program yang disusun benar-benar sesuai dengan belajarnya.
4) Fungsi
a) Fungsi screening/ penyaringan, pada tahap ini asesmen dilakukan untuk keperluan screening/
penyaringan. Screening ini dilakukan untuk mengidentifikasi siswa yang mungkin mempunyai
problem belajar.
b) Fungsi pengalih tanganan/referral, adalah sebagai alat untuk mengalih tangankan kasus dari
kasus pendidikan menjadi kasus kesehatan, kejiwan maupun kasus sosial ekonomi. Ada bagian
yang tidak mungkin ditangani oleh guru sendiri, sehingga memerlukan keterlibatan professional
lain.
c) Fungsi perncanaan pembelajaran individu (pendidikan inklusif), dengan berbekal data yang
diperoleh dalam kegiatan asesmen, maka akan tergambar berbagai potensi maupun hambatan
yang dialami anak. Misalnya keterbelakangan mental, gangguan motorik, persepsi, memori,
komunikasi, adaptasi social.
d) Fungsi monitoring kemauan belajar, adalah untuk memonitor kemajuan belajar yang dicapai
siswa.
e) Fungsi evaluasi program. Adalah untuk mengevaluasi program pembelajaran yang telah
dilaksanakan.
5) Sasaran
a) Anak berkebutuhan khusus yang yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah;
b) Anak berkebutuhan khusus yang akan masuk ke Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah;
c) Anak berkebutuhan khusus yang belum atau tidak bersekolah
d) Anak berkebutuhan khusus yangakan mengikuti program pendidikan non formal atau informal.
b. Tenaga Pendidik
Tenaga pendidik adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, meninlai, dan mengevaluasi peserta didik pada
satuan pendidikan tertentu yang melaksanakan program pendidikan inklusif. Tenaga pendidik
meliputi: guru kelas, guru mata pelajaran (Pendidikan Agama serta Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan), dan guru pendidikan khusus (GPK).
C. Faktor Pendukung Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
1. Sikap dan Keyakinan yang Positif :
a. Guru reguler yakin bahwa ABK dapat berhasil.
b. Kepala sekolah merasa bertanggung jawab atas hasil belajar ABK.
c. Seluruh staf dan siswa sekolah yang bersangkutan telah dipersiapkan untuk menerima kehadiran
ABK.
d. Orang tua ABK terinformasi dan mendukung tercapainya tujuan program sekolah.
e. GPK memiliki komitmen untuk berkolaborasi dengan guru reguler di kelas.
3. Dukungan Sistem:
a. Sistem penerimaan siswa baru yang nondiskriminatif dan akomodatif bagi semua anak.
b. Tersedia personel dengan jumlah yang cukup, termasukGPK (Guru Pendidikan Khusus) dan
tenaga pendukung lainnya.
c. Terdapatupaya pengembangan staf dan pemberian bantuan teknis yang didasarkan pada
kebutuhan personel sekolah (misalnya pemberian informasi yang tepat mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan kecacatan, metode pengajaran).
d. Terdapat kebijakan dan prosedur yang tepat untuk memonitor kemajuan setiap ABK, termasuk
untuk asesmen dan evaluasi hasil belajar.
4. Metode Mengajar:
a. GPK menyiapkan PPI pendidikan Inklusif bagi ABK.
b. Guru reguler, GPK dan spesialis lainnya berkolaborasi dalam pengajaran di kelas.
c. Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memilih dan
mengadaptasikan materi pelajaran dan metode pengajaran menurut kebutuhan khusus setiap
siswa.
d. Dipergunakan berbagai strategi pengelolaan kelas (team teaching, cross-grade grouPendidikan
Inklusifng, peer tutoring, teacher assistance team).
e. Guru menciptakan lingkungan belajar kooperatif dan mempromosikan sosialisasi bagi semua
siswanya.
5. Resource Center:
a. Proaktif memberikan advis dan konsultasi.
b. Menyediakan layanan guru kunjung.
c. Menyediakan alat bantu khusus.
d. Menyelenggarakan pelatihan.
e. Menyelenggarakan kampanye kesadaran masyarakat.
G. Pemberdayaan Masyarakat
Pada hakekatnya pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama antara sekolah,
masyarakat dan pemerintah.Oleh sebab itu para pembina dan pelaksana pendidikan di
lapangan diharapkan mampu memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif secara optimal.
Partisipasi dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif antara
lain dalam:
1. Perencanaan;
2. Penyediaan tenaga ahli/profesional terkait;
3. Pengambilan keputusan;
4. Pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi;
5. Pendanaan;
6. Pengawasan;
7. Penyaluran lulusan.
Untuk mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan inklusi dapat
diakomodasikan melalui wadah:
1. Komite sekolah
2. Dewan pendidikan
3. Forum-forum pemerhati pendidikan inklusif.