Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LatarBelakang
Penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia sampai saat ini memang masih
mengundang kontroversi (Sunardi, 1997). Namun praktek sekolah inklusif memiliki berbagai
manfaat. Misalnya adanya sikap positif bagi siswa berkelainan yang berkembang dari
komunikasi dan interaksi dari pertemanan dan kerja sebaya. Siswa belajar untuk sensitif,
memahami, menghargai, dan menumbuhkan rasa nyaman dengan perbedaan individual. Selain
itu, anak berkelainan belajar keterampilan sosial dan menjadi siap untuk tinggal di masyarakat
karena mereka dimasukkan dalam sekolah umum. Dan dengan sekolah inklusi, anak terhindar
dari dampak negatif dari sekolah segregasi, antara lain kecenderungan pendidikannya yang
kurang berguna untuk kehidupan nyata, label “cacat” yang memberi stigma pada anak dari
sekolah segregasi membuat anak merasa inferior, serta kecilnya kemungkinan untuk saling
bekerjasama, dan menghargai perbedaan.
Anggapan ini muncul ketika sebagian pihak masih kurang memahami, bagaimana suatu
pendidikan inklusif diselenggarakan. Sebagian besar masyarakat memandang sebelah
mata pendidikan ini, karena belummemahami bagaimana pelaksanaan pendidikan ini. Dalam
benak mereka, anak mereka yang dalam keadaan normal akan menurun kualitas belajarnya bila
disatu sekolahkan dengan anak berkebutuhan khusus. Dilain sisi, mereka berannggapan bahwa
anaknya tidak layak di sejajarkan dengan kemampuan anak berkebutuhan khusus.
Dalam makalah ini penulis mengajak pembaca untuk menambah dan membuka
wawasannya mengenai pendidikan inklusif. Sehingga tidak akan ditemukan lagi masyarakat
yang belum tahu bahkan memandang negatif pelaksanaan pendidikan dengan sistem pendidikan
inklusif ini.

B.     RumusanMasalah
1.  Apa landasan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia ?
2.  Bagaimana karakteristik pendidikan inklusif ?
3.  Apa prinsip dasar penyelenggaraan pendidikan inklusif?
4.  Apafaktor pendukung keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusif?
5.  Bagaimana langkah-langkah penyelenggaraan pendidikan inklusif?
6.  Bagaimana bentuk penyelenggaraan pendidikan inklusif?
7.  Bagaimana peran serta masyarakat dalam mewujudkan pendidikan inklusif?

C.    Tujuan
1.  Mengetahui landasan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia.
2.  Memahami karakteristik pendidikan inklusif .
3.  Mengetahui prinsip dasar penyelenggaraan pendidikan inklusif .
4.  Mengetahui faktor pendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif.
5.  Memahami langkah-langkah penyelenggaraan pendidikan inklusif.
6.  Memahami bentuk penyelenggaraan pendidikan inklusif.
7.  Mengetahui peran serta masyarakat dalam mewujudkan pendidikan inklusif.

D.    SistematikaPenulisan
      Pada Bab I Pendahuluan, menguraikan mengenai latar belakang,  rumusan masalah dan
sistematika penulisan dari isi makalah kami.
      Pada Bab II Pembahasan, menguraikan mengenai apa yang melandasi penyelenggaraan
pendidikan inklusif, karakteristik pendidikan inklusif, prinsip dasar pendididkan inklusif, faktor
pendukung keberhasilan pendidikan inklusif, langkah langkah penyelenggaraan, benruk
penyelenggaraan, serta pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif.
      Pada Bab III Penutup, menguraikan mengenai kesimpulan dan saran untuk melengkapi
makalah kami.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif


1.      Landasan Filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusi di
Indonesia  adalah  Pancasila  yang  merupakan  lima  pilar  sekaligus  cita-cita  yang
didirikan  atas  fondasi  yang  lebih  mendasar  lagi,  yang  disebut  Bhineka
Tunggal  Ika  (Mulyono  Abdulrahman,  2003). 
  Filsafat  ini  sebagai  wujud
pengakuan  kebinekaan  manusia,  baik  kebinekaan  vertikal  maupun
horizontal,  yang  mengemban  misi  tunggal  sebagai  umat  Tuhan  di  bumi.  Kebinekaan
vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik,
kemampuan  finansial,  kepangkatan,  kemampuan  pengendalian  diri,  dan
sebagainya.  Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras,
bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan
sebagainya.   Bertolak  dari  filosofi  Bhineka  Tunggal  Ika,  kecacatan  dan  keberbakatann  han
yalah  satu  bentuk  kebhinekaan  seperti  halnya
perbedaan  suku,  ras,  bahasa  budaya,  atau  agama.    Kecacatan  dan keberbakatan tidak
memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti
halnya  perbedaan  suku,  bahasa,  budaya,  atau  agama.   Hal  ini  harus
diwujudkan  dalam  sistem  pendidikan.
Sistem  pendidikan  harus
memungkinkan  terjadinya  pergaulan  dan  interaksi  antar  siswa  yang
beragam,  sehingga  mendorong  sikap  silih  asah,  silih  asih,  dan  silih  asuh  dengan semangat
toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.

2.      Landasan Yuridis
     Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusi
adalah  Deklarasi  Salamanca  (UNESCO,  1994)  oleh  para  menteri  pendidikan
sedunia.    Deklarasi  ini  adalah  penegasan  kembali  atas  Deklarasi  PBB
tentang  Hak  Asasi  manusia  tahun  1948  dan  berbagai  deklarasi  lanjutan
yang  berujung  pada  Peraturan  Standar  PBB  tahun  1993  tentang
kesempatan  yang  sama  bagi  individu  penyandang  cacat  memperoleh
pendidikan  sebagai  bagian  integral  dari  sistem  pendidikan  yang  ada.  Deklarasi  Salamanca  
menekankan  bahwa  selama  memungkinkan,  semua anak  seyogyanya  belajar  bersama-
sama  tanpa  memandang  kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Di  Indonesia,  penerapan  pendidikan  inklusi  dijamin  oleh  UU  No.20
Tahun  2003  tentang  Sistem  Pendidikan  Nasional,  yang  dalam
penjelasannya  menyebutkan  bahwa  penyelenggaraan  pendidikan  untuk
peserta  didik  penyandang  cacat  atau  memiliki  kecerdasan  luar  biasa diselenggarakan secara
inklusif atau berupa sekolah khusus.
Adapun landasan yuridis penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia antara lain
sebagai berikut :
a.    UUD 1945 (amandemen) Pasal 31
Ayat (1) “setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”.Ayat (2) “setiap warga Negara
wajib mengikuti pendiddikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
b. UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
  Pasal 3 yang menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsimengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsayang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratisserta bertanggung jawab.
c.    UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
Pasal 5
Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yangsama dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C8/MN/2003
tanggal 20 Januari 2003. Perihal pendidikan inklusi:
Menyelenggarakan dan mengembangkan disetiap kabupaten/kota sekurang-kurangnya 4 (empat)
sekolah yang terdiri dari: SD, SMP, SMA, SMK.
d.   Deklarasi Bandung (Nasional) ”Indonesia Menuju PendidikanInklusif” 8-14 Agustus 2004
e.    Deklarasi Bukit Tinggi (Internasional) Tahun 2005

3.      Landasan Pedagogis
            Pada  Pasal  3  UU  No.20  Tahun  2003,  disebutkan  bahwa  tujuan  pendidikan  nasional 
 adalah  berkembangnya  potensi  peserta  didik  agar
menjadi  manusia  yang  beriman  dan  bertakwa  kepada  Tuhan  Yang  Maha
Esa,  berahlak  mulia,  sehat,  cakap,  kreatif,  mendiri  dan  menjadi Warga
negara  yang  demokratis  dan  bertanggung  jawab.    Jadi,  melalui pendidikan, peserta didik
penyandang cacat dibentuk menjadi warganegara
yang  demokratis  dan  bertanggungjawab,  yaitu  individu  yang  mampu
menghargai  perbedaan  dan  berpartisipasi  dalam  masyarakat.    Tujuan  ini mustahil tercapai
jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di  sekolah-
sekolah  luar  biasa.    Betapapun  kecilnya,  mereka  harus  diberi kesempatan bersama teman
sebayanya.

4.      Landasan Empiris
            Penelitian  tentang  inklusi  telah  banyak  dilakukan  negara-negara  barat sejak 1980-an,
namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh
the  National  Academy  of  Sciences  (Amerika  Serikat).    Hasilnya menunjukkan bahwa
klasifikasi dan penempatan anak penyandang cacat di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak
efektif dan diskriminatif.  Layanan
ini  merekomendasikan  agar  pendidikan  khusus  secara  segregatif  hanya
diberikan  terbatas  berdasarkan  hasil  identifikasi  yang  tepat  (Heller,
Holtzman  &  Messick,  1982).    Beberapa  pakar  bahkan  mengemukakan
bahwa  sangat  sulit  untuk  melakukan  identifikasi  dan  penempatan  anak
berkelainan  secara  tepat,  karena  karakteristik  mereka  yang  sangat heterogen (Baker, Wang,
dan Walberg, 1994-1995). Beberapa peneliti kemudian melakukan meta analisis (analisis
lanjut)  atas  hasil  banyak  penelitian  sejenis.    Hasil  analisis  yang  dilakukan  oleh Carlberg
dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985-
1986)  terhadap  11  buah  penelitian,  dan  Baker  (1994)  terhadap  13 buah penelitian
menunjukkan bahwa pendidikan inklusi berdampak positif,
baik  terhadap  perkembangan  akademik  maupun  sosial  anak  penyandang cacat dan teman
sebayanya.

B.     Karakteristik Pendidikan Inklusif


            Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan
penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana parasarana pendidikan, maupun sistem
pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik. Untuk itu proses
identifikasi dan asesmen yang akurat perlu dilakukan oleh tenaga yang terlatih dan/atau
profesional di bidangnya untuk dapat menyusun program pendidikan yang sesuai dan
obyektif.

1.    Karakteristik
a.       Anak berkebutuhuan khusus (ABK) belajar dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama
dengan anak-anak lainnya.
b.      ABK memperoleh layanan pendidikan yang bermutu.
c.       ABK memperoleh layanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
d.      Sistem pendidikan disesuaikan dengan kemampuan ankanya.

2.    Peserta Didik
a.       Peserta Didik
          Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial berhak
mengikuti pendidikan  secara inklusif pada atuan endidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuannya. Kelainan tersebut terdiri dari :
1)      Tunanetra;
2)      Tunarungu;
3)      Tunawicara;
4)      Tunagrahita;
5)      Tunadaksa;
6)      Tunalaras;
7)      Berkesulitan Belajar;
8)      Lamban Belajar;
9)      Autis;
10)  Memiliki Gangguan Motorik;
11)  Menjadi Korban Penyalahgunaan Narkoba, Obat Terlarang Dan Zat Adiktif Lainnya;
12)  Tunaganda;
13)  Memiliki Kelainan Lain.
b.      Sasaran
Sasaran pendidkan inklusif secara umum adalah semua peserta didik yang ada di sekolah
regular. Tidak hanya mereka yang sering disebut sebagai anak berkebutuhan khusus, pendidikan
Inklusif juga diikuti mereka yang termasuk anak ‘normal’. Mereka secara keseluruhan harus
memahami dan menerima keanekaragaman dan perbedaan individual. Secara khusus, sasaran
pendidikan inklusif adalah anak berkebutuhan khusus, baik yang sudah terdaftar di sekolah
regular, maupun yang belum berada di lingkungan sekolah regular. Untuk itu diperlukan
identitas secara khusus agar dapat diberikan program yang sesuai.
c.       Identifikasi anak berkebutuhan khusus
1)      Hakekat
    Istialah identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan, sedangkan assessment dimaknai
sebagai penyaringan. Identifikasi anak dimaksud sebagai suatu upaya seseorang (orang tua, guru
maupun tenaga pendidikan lainnya) untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang
mengalami kelainan dan penyimpangan (phisik, intelektul, sosial, emosional, tingkah laku)
dalam rangka memberikan pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah ditemukanya
anak –anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui
program inklusi.

2)      Tujuan
Identifikasi anak berkebutuhan  khusus dilakukan untuk lima keperluan, yaitu:
a)   Penjaringan (screening)
b)   Pengalih tanganan (referral)
c)   Klasifikasi
d)  Perencanaan pembelajaran, dan
e)   Pemantauan kemajuan belajar

3)      Asesmen
Asesmen merupakan proses pengumpulan informasi sebelum disusun program pembelajaran
bagi siswa, sehingga diharapkan program yang disusun benar-benar sesuai dengan belajarnya.

4)      Fungsi
a)   Fungsi screening/ penyaringan, pada tahap ini asesmen dilakukan untuk keperluan screening/
penyaringan. Screening ini dilakukan untuk mengidentifikasi siswa yang mungkin mempunyai
problem belajar.
b)   Fungsi pengalih tanganan/referral, adalah sebagai alat untuk mengalih tangankan kasus dari
kasus pendidikan menjadi kasus kesehatan, kejiwan maupun kasus sosial ekonomi. Ada bagian
yang tidak mungkin ditangani oleh guru sendiri, sehingga memerlukan keterlibatan professional
lain.
c)   Fungsi perncanaan pembelajaran individu (pendidikan inklusif), dengan berbekal data yang
diperoleh dalam kegiatan asesmen, maka akan tergambar berbagai potensi maupun hambatan
yang dialami anak. Misalnya keterbelakangan mental, gangguan motorik, persepsi, memori,
komunikasi, adaptasi social.
d)  Fungsi monitoring kemauan belajar, adalah untuk memonitor kemajuan belajar yang dicapai
siswa.
e)   Fungsi evaluasi program. Adalah untuk mengevaluasi program pembelajaran yang telah
dilaksanakan.

5)      Sasaran
a)   Anak berkebutuhan khusus yang yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah;
b)   Anak berkebutuhan khusus yang akan masuk ke Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah;
c)   Anak berkebutuhan khusus yang belum atau tidak bersekolah
d)  Anak berkebutuhan khusus yangakan mengikuti program pendidikan non formal atau informal.

b.    Tenaga Pendidik
        Tenaga pendidik adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, meninlai, dan mengevaluasi peserta didik pada
satuan pendidikan tertentu yang melaksanakan program pendidikan inklusif. Tenaga pendidik
meliputi: guru kelas, guru mata pelajaran (Pendidikan Agama serta Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan), dan guru pendidikan khusus (GPK).
C.    Faktor Pendukung Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
1.    Sikap dan Keyakinan yang Positif :
a.    Guru reguler yakin bahwa ABK dapat berhasil. 
b.    Kepala sekolah merasa bertanggung jawab  atas hasil belajar ABK. 
c.    Seluruh staf dan siswa sekolah yang bersangkutan telah dipersiapkan untuk  menerima kehadiran
ABK. 
d.   Orang tua ABK terinformasi dan mendukung  tercapainya tujuan program sekolah.
e.    GPK memiliki komitmen untuk berkolaborasi  dengan guru reguler di kelas.

ke Kurikulum dan Lingkungan: 


a.    Tersedia program keteram kompensatoris  (misalnya: Braille, O&M). 
b.    Tersedia peralatan khusus dan teknologi asistif  untuk memungkinkan ABK mengakses semua
kegiatan kurikuler (misalnya: buku Braille,screen reader). 
c.    Lingkungan fisik sekolah diadaptasikan agar  lebih aksesibel bagi ABK (misalnya: ramp,  tanda-
tanda aktual).

3.    Dukungan Sistem: 
a.    Sistem penerimaan siswa baru yang nondiskriminatif  dan akomodatif bagi semua anak.
b.    Tersedia personel dengan jumlah yang cukup, termasukGPK (Guru Pendidikan Khusus) dan
tenaga pendukung lainnya. 
c.    Terdapatupaya pengembangan staf dan pemberian  bantuan teknis yang didasarkan pada
kebutuhan  personel sekolah (misalnya pemberian informasi yang  tepat mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan  kecacatan, metode pengajaran). 
d.   Terdapat kebijakan dan prosedur yang tepat untuk  memonitor kemajuan setiap ABK, termasuk
untuk  asesmen dan evaluasi hasil belajar.

4.    Metode Mengajar: 
a.    GPK menyiapkan PPI pendidikan Inklusif bagi ABK.
b.    Guru reguler, GPK dan spesialis lainnya berkolaborasi  dalam pengajaran di kelas.
c.    Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan yang  diperlukan untuk memilih dan
mengadaptasikan materi pelajaran dan metode pengajaran menurut kebutuhan khusus setiap
siswa.
d.   Dipergunakan berbagai strategi pengelolaan kelas (team teaching,  cross-grade grouPendidikan
Inklusifng, peer tutoring, teacher assistance team).
e.    Guru menciptakan lingkungan belajar kooperatif dan mempromosikan sosialisasi bagi semua
siswanya.

5.    Resource Center: 
a.    Proaktif memberikan advis dan konsultasi.
b.    Menyediakan layanan guru kunjung. 
c.    Menyediakan alat bantu khusus. 
d.   Menyelenggarakan pelatihan.
e.     Menyelenggarakan kampanye kesadaran masyarakat.

D.    Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif


1.      Prinsip:
a.    Selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama, tanpa memandang
kesulitan  ataupun perbedaan yang mungkin ada pada diri mereka. 
b.    Sekolah inklusif harus mengenal dan merespon terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari para
siswanya, mengakomodasi berbagai macam gaya dan kecepatan belajarnya, dan menjamin
diberikannya pendidikan yang berkualitas kepada semua siswa. 
c.    Hal itu dapat dicapai melalui penyusunan kurikulum yang tepat, pengorganisasian yang baik,
pemilihan strategi pengajaran yang tepat, pemanfaatan sumber-sumber dengan sebaik-baiknya,
dan penggalangan kemitraan dengan masyarakat sekitar.
2.      Kekecualian :
Penempatan anak secara permanen di SLB atau kelas khusus di sekolah regular seyogyanya
merupakan suatu kekecualian :
a.    Untuk kasus-kasus tertentu di mana terdapat bukti yang jelas bahwa pendidikan di kelas reguler
tidak dapat memenuhi kebutuhan anak.
b.    Bila diperlukan demi kesejahteraan anak yang  bersangkutan.
c.    Bila kehadiran ABK terbukti menggangu kesejahteraan anak-anak lain di sekolah itu.

3.      Nilai Positif Pendidikan Inklusif


a.    Meningkatkan peluang pemenuhan hak pendidikan bagi semua (education for all)
b.    Meningkatkan peluang pemenuhan hak belajar bagi ABK
c.    Proses pembelajaran emosi sosial bagi ABK
d.   Proses pembelajaran (emosi-sosial-spiritual) bagi orang-orang normal
e.    Pendidikan bagi ABK yang lebih mudah dan efisien

E.     Langkah-langkah Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif


Hal hal yang harus diperhatikan dalam penyelanggaraan pendidikan inklusif :
1.    Sekolah harus menyediakan kondisi kelas yang hangta, ramah, menerima keanekaragaman dan
menghargaiperbedaan
2.    Sekolah harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menersapkan kurikulum dan
pembelajaran yang bersifat individual
3.    Guru harus menerapkan pembelajaran yang interaktif
4.    Guru dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencaan
pelaksanaan dan evaluasi.
5.    Guru dituntut melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses pendidikan.

F.       Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif


1. Perencanaan pembelajaran inklusif
            Perencanaan pembelajaran disusun berdasarkan hasil asesmen siswa. Asesmen adalah
suatu proses pengumpulan informasi tentang perkembangan peserta didik dengan
menggunakan   alat   dan   teknik   yang   sesuai   untuk   membuat   keputusan   pendidikan   yan
g
berkenaan   dengan   penempatan   dan   program   yang   sesuai   bagi   peserta   didik   tersebut
(Kustawan, 2013: 80). Dengan adanya asesmen, maka perencanaan pembelajaran dapat disusun
berdasarkan karakter dan kemampuan siswa ABK sehingga pembelajaran dapat
sesuai   dengan   kebutuhan   siswa.   Guru   tidak   dapat   membuat   suatu   perencanaan   tanpa
adanya hasil asesmen, dan kurikulum tidak akan bisa digunakan sesuai dengan kebutuhan siswa
ABK tanpa adanya asesmen pula. Seperti yang diungkapkan oleh Sunaryo (2009) bahwa
perencanaan pembelajaran harus dibuat berdasarkan asesmen.
             Asesmenini  dilakukan  melalui   koordinasi    kerja  antara   para  GPK,    guru   mata
pelajaran,   psikolog,   bahkan   dokter   spesialis.   Setelah   hasil   asesmen   ini  diketahui,   mak
a GPKberkoordinasi    dengan    guru   mata   pelajaran   menyusun RPP yang nantinya   akan
digunakan untuk melaksanakan pembelajaran bagi siswa ABK. Kurikulum yang digunakan
samadengan yang digunakan siswa normal lainnya, denganadanya
modifikasi.Bentukmodifikasitersebut adalah
penyederhanaan          kompetensi       dasar,     indikator,    materi,    bentuk      evaluasi,    materi
pembelajaran, dan standar ketuntasan minimal (SKM).
            Perencanaantersebut telah sesuai dengan pedoman umum     penyelenggaraan pendidikan
inklusi (2006:18) sebagai berikut: Kurikulum   yang   digunakan   dalam penyelenggaraan
pendidikan    inklusif   pada   dasarnya menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah
umum. Namun demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan
khusus sangat bervariasi, mulai dari   yang   sifatnya ringan, sedangsampai yang
berat,  maka    dalam    implementasinya, kurikulum regular
perlu   dilakukan   modifikasi   (penyelarasan)   sedemikian   rupasehingga sesuai dengan
kebutuhanpesertadidik.Modifikasi    kurikulum    dilakukan    oleh   tim pengembang kurikulum
di sekolah. Tim pengembang ini terdiri dari kepala sekolah, guru
kelas,   guru   mata   pelajaran,   guru   pembimbing   khusus,   konselor,   psikolog,   dan   ahli   l
ain yang terkait.

2. Pelaksanaan pembelajaran inklusif


          Pelaksanaan belajar siswa inklusif menerapkan sistem kelas Pull Out ,maksudnya
Selama   siswa   ABK   dapat   mengikuti   pembelajaran   di   dalam   kelas   reguler,   maka   sis
wa tersebut   akan   belajar   bersama-
sama   dengan   siswa   reguler   lainnya.   Apabila   siswa   ABK
tidak   dapat   mengikuti   pembelajaran   di   dalam   kelas   reguler,   maka   siswa   tersebut   ak
an ditarik dari kelas reguler untuk belajar di dalam ruang belajar inklusi. Pelaksanaan
pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus     memakaiprogram pembelajaran individual
(PPI) yang berasal dari kurikulum modifikasi.

3. Evaluasi pembelajaran inklusif


          Kegiatan   evaluasi   pembelajaran   inklusif      yang   dilakukan   adalah   melalui   ulangan
harian,  UTS, Ujian   Akhir  Semester,     Ujian   Akhir   Sekolah,    dan   penugasan-penugasan
lainnya.   Melalui   kegiatan   evaluasi   ini   maka   akan   diperoleh   hasil   belajar   siswa,   apa
kah
sudah   dapat   mencapai   indikator       atau   standar   yang   telah   ditentukan   atau   belum.   Ji
ka
belum   mencapai   standar   tersebut,   maka   akan   diberikan   remidial   berupa   penugasan   la
in sesuai     dengan    materinya.     Soal-
soal   ujian   yang   diberikan    untuk   siswa    ABK    berbeda dengan soal siswa reguler.Soal
untuk ABK disusun oleh GPK yang bekerjasama dengan guru mata pelajaran dan telah
disesuaikan dengan tingkat kemampuan belajar siswa ABK.
          Untuk siswa ABK yang dinilai mampu untuk mendapatkan standar evaluasi yang sama
dengan siswa reguler, maka akan mengerjakan tes evaluasi standar kelas reguler,
akan     tetapi   berdasarkan      kemampuan        siswa   ABK,     maka    bentuk    evaluasinya      
telah
mendapatkan        penyesuaian       khusus    terhadap     kemampuan        siswa    ABK.    Hal   te
rsebut disesuiakan dengan pendekatan yang telah dipakai guru dalam pembelajaran.
          Bentuk   laporan   hasil   belajar   siswa   ABK   ini   sama   dengan   siswa   reguler   lainnya
, hanya saja standar ketuntasan minimal yang harus dicapai siswa ABK itu lebih rendah dari
siswa   reguler.    Laporan   hasil   belajar   ini   selain   disajikan  dalam  bentuk   kuantitatif   yai
tu berupa daftar nilai yang telah dicapai siswa, juga disajikan dalam bentuk naratif yang berisi
deskripsi   perkembangan  belajar   siswa ABK.Jenis  laporandeskripsi   ini   dilampirkan   ke
dalam raport siswa.

4. Faktor pendukung dan penghambat pembelajaran inklusif


          Hal-hal   yang   mendukung   pendidikan   inklusif   di sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif adalah surat keputusan yang menyatakan bahwa sekolah yang ditunjuk berhak dan
bertanggungjawab dalam memfasilitasi pendidikan bagi ABK.
Peran   selanjutnya    adalah    memberi     pelatihan   serta
mengirim      para  Guru    Pendamping      Khusus     atau   GPK    untuk   mengikuti    pelatihan  
 serta workshop tentang pendidikan inklusif dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi para
GPK dalam pendidikan inklusif.
          Sarana   dan     prasarana   pendukung   berupa   ruang   belajar   khusus jika ABK  yang
bersangkutan mengganggu siswa lain dikelasnya dan membutuhkan penenangan dari GPK
ataupun psikolog,media  pembelajaran,   dan   lain   sebagainya   juga perlu diperhatikan
oleh   sekolah   guna   mendukung   pembelajaran   yang   diberikan   untuk   siswa
berkebutuhan       khusus. Adanyaprogram  sosialiasi  terkait  penyelenggaraan pendidikan
inklusif di sekolah juga diperlukan sehingga seluruh pihak yang ada di sekolah dapat menerima
kondisi ABK dan memberikan lingkungan  yang    ramah kepada mereka.
            Orangtua   juga   sangat   mendukung   pelayanan   pembelajaran   inklusif   dengan   menu
jukkan kerjasama yang positif terhadap keberadaan siswa ABK.
            Faktor   penghambat   yang   sangat   terlihat     dan   terasa   adalah   berasal   dari   siswa
berkebutuhan khusus sendiri.Dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus yang sebagian
besar   memiliki   hambatan   kognitif,   emosi,   dan   sosial,   membuat   pembelajaran   terkadan
g
menjadi   tidak   kondusif   lagi.   Hambatan   yang   dimiliki   oleh   siswa   ABK   tersebut,   me
mbuat proses adaptasi dan sosialisasi mereka terhadap lingkungan belajar menjadi lebih sulit,
sehingga dapat memunculkan permasalahan saat pembelajaran.

5. Upaya mengatasi hambatan dalam pembelajaran inklusif


Diketahui bahwa hambatan pembelajaran yang sering terjadi adalah berasal dari siswa ABK
sendiri. Menanggapi permasalahan tersebut, guru  pendamping khusus selalu siap untuk
mendampingi siswa ABK dalam proses pembelajaran baik saat berada di kelas reguler maupun
di kelas inklusi. Kerjasama antara guru mata pelajaran dan GPK sangat diperlukan saat proses
pembelajaran.         
            Menanggapi hambatan yang dimiliki oleh siswa ABK baik dari segi kognitif, emosi,
maupun sosial, maka diperlukanupaya  untukmembantu      siswa    ABK    beradaptasi,
berinteraksi,    dan   bersosialisasi    dengan     lingkungan    sekolahnya. Untuk itu, diperlukan
adanya pembangunankesadaran  seluruhwarga sekolahuntuk saling   beradaptasi, berinteraksi,
dan bersosialisasi dengan siswa berkebutuhan khusus. Upaya pembangunan kesadaran
ini  dilakukan melalui  kegiatan  sosialisasi  mengenaipendidikan  inklusi dan karakter anak
berkebutuhan khusus kepada seluruh warga sekolah. Di samping itu,
dalammemberikan   pembelajaran   bagi   siswa   berkebutuhan   khusus,   guru   harus   memper
hatikan
karakteristik   dan   kemampuan   siswa,   agar   pembelajaran   yang   diberikan   bermakna   bag
i siswa dan sesuai dengan kebutuhannya.
Memberikan   pelatihan   terhadap   guru   mengenai   pembelajaran   siswa   ABK   atau
karakteristik ABK perlu untuk dilakukan secara rutin, guna meningkatkan komptensi guru dalam
memberikan layanan pendidikan yang   sesuai bagi seluruh siswa, khusunya siswa ABK.

G.      Pemberdayaan Masyarakat
Pada hakekatnya pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama antara sekolah,
masyarakat dan pemerintah.Oleh sebab itu para pembina dan pelaksana pendidikan di
lapangan diharapkan mampu memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif secara optimal.
Partisipasi dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif antara
lain dalam:
1.    Perencanaan;
2.    Penyediaan tenaga ahli/profesional terkait;
3.    Pengambilan keputusan;
4.    Pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi;
5.    Pendanaan;
6.    Pengawasan;
7.    Penyaluran lulusan.
Untuk mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan inklusi dapat
diakomodasikan melalui wadah:
1.    Komite sekolah
2.    Dewan pendidikan
3.    Forum-forum pemerhati pendidikan inklusif.

Anda mungkin juga menyukai