Anda di halaman 1dari 25

“KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF”

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Pendidikan Inklusi

Diasuh Oleh : Mirnawati, M.Pd

Oleh :

Munifah Haifa

1610118220016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
SEPTEMBER 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang mana telah
memberikan saya kemudahan untuk mampu menyusun makalah ini yang
memenuhi tugas mata kuliah “Pendidikan Inklusi” yang dibimbing oleh Ibu
Mirnawati, M.Pd. Tak lupa shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan pengikut beliau hingga
akhir zaman. Kemudian tak lupa saya ucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua yang telah ikut berpartisipasi dalam penyelesaian makalah
yang saya buat ini.
Makalah ini membahas tentang Filosofi Pendidikan Inklusif, Definisi
Pendidikan Inklusif, Konsep Dasar Pendidikan Inklusif, Sejarah Pendidikan
Inklusif, Perkembangan Pendidikan Inklusi di Dunia, Perkembangan Pendidikan
Inklusi di Indonesia, dan Landasan Pendidikan Inklusi.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa
Universitas Lambung Mangkurat. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing, saya
meminta masukannya demi perbaikan makalah di masa yang akan datang dan
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Banjarmasin, September 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
BAB II .................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN .................................................................................................... 3

A. Filosofi Pendidikan Inklusif ......................................................................... 3


B. Definisi Pendidikan Inklusif ........................................................................ 3
C. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif ............................................................... 5
D. Sejarah Pendidikan Inklusif ......................................................................... 6
E. Perkembangan Pendidikan Inklusi di Dunia ................................................ 7
F. Perkembangan Pendidikan Inklusi di Indonesia ........................................ 10
G. Landasan Pendidikan Inklusif .................................................................... 12
BAB III ................................................................................................................. 20

PENUTUP ............................................................................................................ 20

A. Kesimpulan ................................................................................................ 20
B. Saran .......................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 22

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk
menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu
negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang
bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang
memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang
pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1. Namun sayangnya sistem pendidikan di
Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan
munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan
agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental
yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah
menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas
keberagaman dalam masyarakat.
Selama ini anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan
(difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat
dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB).
Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok
eksklusifisme bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Tembok
eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses
saling mengenal antara anak-anak difabel dengan anak-anak non-difabel.
Akibat sistem pendidikan tersebut dalam interaksi sosial di
masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari
dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan
kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa
keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan
masyarakat di sekitarnya. Untuk mengatasi masalah tersebut pendidikan
inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam
penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa filosofi pendidikan inklusif?
2. Apa definisi pendidikan inklusif?
3. Apa saja konsep dasar pendidikan inklusif?
4. Bagaimana sejarah pendidikan inklusif?
5. Bagaimana perkembangan pendidikan inklusi di dunia?
6. Bagaimana perkembangan pendidikan inklusi di Indonesia?
7. Apa saja landasan pendidikan inklusif?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui filosofi pendidikan inklusif
2. Untuk mengetahui definisi pendidikan inklusif
3. Untuk mengetahui konsep dasar pendidikan inklusif
4. Untuk mengetahui sejarah pendidikan inklusif
5. Untuk mengetahui perkembangan pendidikan inklusi di dunia
6. Untuk mengetahui perkembangan pendidikan inklusi di Indonesia
7. Untuk mengetahui landasar pendidikan inklusif

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Filosofi Pendidikan Inklusif


Paradigma pendidikan inklusif digali dari sebuah kajian tentang
kodrat sebagai seorang manusia. Kodrat sebagai manusia adalah unik dan
berbeda. Filosofi pendidikan inklusif adalah “mengakui bahwa setiap
manusia mempunyai keunikan/perbedaan dan keunikan/perbedaan itu
harus diakomodir dalam pendidikannya”. Jauh sebelum munculnya
paradigm pendidikan inklusi, sebenarnya Indonesia sudah mempunyai
falsafah yang sejalan dengan filosofi pendidikan inklusif. Indonesia sudah
sejak lama mempunyai falsafah Bhineka Tunggal Ika yang bermakna
berbeda-beda tetapi tetap satu. Falsafah Bhineka Tunggal Ika membuat
semua perbedaan menjadi kekayaan bangsa.

Sekolah biasanya belum bisa mengakomodir semua


keunikan/perbedaan pada setiap individu. Seyogyanya, semua
perbedaan/keunikan individu tidak menjadi masalah. Bagaimana lembaga
pendidikan menyeting segala sesuatunya seperti sistem, peraturan,
lingkungan sekolah, kebijakan, dan sebagainya yang dapat mempermudah
untuk mengakomodir perbedaan/keunikan setiap individu siswa yang
memang kodrati.

B. Definisi Pendidikan Inklusif


Para ahli mendefinisikan pendidikan inklusif dari berbagai sudut
pandang. Satu persamaan makna dari berbagai definisi yaitu
“mengakomodir perbedaan manusia”. Berikut beberapa definisi dari para
ahli :

 Menurut Stainback tahun 1996 :

Sekolah Inkulisif adalah sekolah yang menampung semua


siswa di kelas yang sama.

3
 Menurut EENet tahun 1998 :

Pendidikan Inklusif adalah pendidikan yang (1)


menyesuaikan struktur pendidikan, (2) sistem dan metodologi
untuk kebutuhan semua anak.(3) menjadi bagian strategi menuju
masyarakat yang inklusif, (4) proses dinamis yang terus
berkembang, dan (4) mengatasi berbagai macam hambatan.

 Menurut Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 :

Pendidikan inklusif didefinisika sebagai sistem


penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan
atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

 Menurut UNESCO :

Pendidikan inklusif adalah sebuah pendekatan untuk


mencari cara bagaimana mengubah system pendidikan guna
menghilangkan hambatan yang menghalangi siswa untuk terlibat
secara penuh dalam pendidikan. Hambatan tersebut dapat
berhubungan dengan latar belakang, suku, gender, status sosial,
kemiskinan, kecacatan, dan lain-lain.

 Menurut Sapon Sehevin :

Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan


khusus yang mempersyaratkan agar semua anak berkebutuhan
khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa (sekolah
regular) bersama teman-teman seusianya.

Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa paradigm


pendidikan inklusif mengandung makna :

 Pendidikan yang diperuntukkan untuk semua (education for all)

4
 Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang mengakomodir semua
perbedaan peserta didik
 Pendidikan inklusif bukan hanya untuk kepentingan ABK, namun
untuk semua anak. ABK menjadi perhatian yang serius dalam
pendidikan inklusif karena ABK harus ditangani secara spesifik.
Makna ini diartikan bahwa jika sekolah kebetulan tidak ada ABK
maka bukan berarti ekolah tidak inklusif. Inklusif mengandung
makna menjadi “sekolah siaga”, artiya jika diradius penerimaan
siswa baru kebetulan ada ABK dan anak-anak yang termarjinalkan
lainnya maka sekolah mempunyai kewajiban untuk menerima
anak.
 Inklusif diartikan juga bagaimana sistem sekolahdapat
menyesuaikan dengan kondisi dan kemampuan anak. Penyesuaian
sistem tidak hanya berlaku untuk ABK saja namun diupayakan
berlaku bagi semua anak.
 Inklusif mengandung makna sekolah dapat mengatasai berbagai
hambatan belajar.

C. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif


Beberapa konsep yang mendasari munculnya paradigma
pendidikan inklusif diantaranya :
 Setiap anak mempunyai hak mendasar untuk memeroleh
pendidikan dan harus diberi kesempatan untuk mencapai serta
mempertahankan tingkat pengetahuan yang wajar;
 Setiap anak mempunyai karakteristik, minat, kemampuan dan
keutuhan belajar yang berbeda-beda;
 Sistem pendidikan yang seyogyanya dirancang dan program
pendidikan dilaksanakan dengan memperhatikan keanekaragaman
karakteristik dan kebutuhan tersebut;
 Mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus harus
memperoleh akses ke sekolah regular yang harus mengakomodasi

5
mereka dalam rangka pedagogi yang berpusat pada diri anak
yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut;
 Sekolah regular dengan orientasi tersebut merupakan alat yang
paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan
masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan
mencapai pendidikan bagi semua.

D. Sejarah Pendidikan Inklusif


Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya
diprakarsai dan diawali dari Negara-negara Scandinavia (Denmark,
Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun 1960-an oleh Presiden
Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia
untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang
ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris
dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkann adanya konsep pendidikan
untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.

Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin


nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada
tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di
Bangkok yang menghasilkan deklarasi “education for all”. Implikasi dari
statement ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak
tanpa terkecuali) termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan
layanan pendidikan secara memadai.

Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994


diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang
mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal
dengan “the Salamanca statement on inclusive education” yang berbunyi :

a. Semua anak sebaiknya belajar bersama


b. Pendidikan didasarkan kebutuhan siswa
c. ABK diberi layanan khusus

6
Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia
tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan
konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan
komitmen Indonesia menuju pendidika inklusif.

Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar,


pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukit Tinggi
dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain
menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif
sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar
memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.

Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia


tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000
mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan
kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah
diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang
berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan
mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan
inklusif.

E. Perkembangan Pendidikan Inklusi di Dunia

Sebelum munculnya pemikiran tentang pendidikan inklusif,


setidaknya dilatarbelakangi adanya sejumlah orang yang terpinggirkan
atau ditolak sehingga tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial,
ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Faktor utama yang
menyebabkan mereka terpinggirkan/tertolak adalah faktor pendidikan
(UNESCO, 1990) sehingga pendidikan menjadi isu utama untuk
mengatasi masalah ini. Jika mengacu pada data International Consultative
Forum on Education for All (2000) di dunia ini terdapat 113 juta orang
anak-anak usia pendidikan dasar yang tidak sekolah. 90% dari jumlah itu
berada di negara yang penghasilannya rendah hingga menengah serta lebih
dari 80 juta orang anak-anak seperti itu tinggal di negara-negara Afrika.

7
Kalaupun ada yang mampu sekolah, sebagian dari mereka drop out/putus
sekolah padahal pendidikannya belum selesai.

Selain data tersebut di atas, ada pula data yang menyebutkan


bahwa ada sekelompok orang karena perbedaan gender menyebabkan
orang itu tidak dapat sekolah, misalnya di Afghanistan, ada budaya yang
melarang kaum perempuan untuk bersekolah dan keluar rumah, kalaupun
bisa sekolah dan keluar rumah sangatlah terbatas. Masih banyak data lain
yang menyebutkan persoalan mengapa seseorang atau sejumlah orang
tidak dapat menikmati haknya untuk memperoleh pendidikan, diantaranya
karena masalah geografis, kondisi peperangan, bencana alam, dan lain-
lain. Kondisi itu tentunya sangat memprihatinkan karena mereka akan
menjadi orang yang termarginalkan dan tertolak oleh masyarakat.

Itu semua ternyata menjadi permasalahan disetiap negara, bahkan


di negara yang dikatakan sebagai negara maju sekalipun, hanya saja di
negara maju jumlahnya lebih sedikit dibandingkan negara “miskin” dan
berkembang. Jadi, hampir di seluruh dunia memiliki persoalan yang sama,
bagaimana semua warganya dapat mengakses atau memperoleh
pendidikan, ternyata pendidikan itu adalah hak setiap warga negara,
sehingga tidak ada lagi sejumlah orang yang terpinggirkan (kaum
marginal) dan tertolak dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya
serta pendidikan. Semua negara memprihatinkan itu semua.

Berdasarkan itu, maka negara-negara yang tergabung dalam


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencoba mencari solusinya. Mereka,
melalui lembaga di bawah naungan PBB, yaitu UNESCO, mengusulkan
untuk mengadakan suatu konfrensi internasional. Usulan itu diterima oleh
PBB karena tidak bertentangan dengan Deklarasi tentang Hak Azasi
Manusia (1948) dan konvensi Hak Anak (1989). Konferensi pun
terlaksana pada tahun 1990 di Thailand dengan nama The Jomitien World
Conference on Education for All, diikuti oleh hampir seluruh negara
anggota PBB, beberapa organisasi di bawah naungan PBB (UNESCO,

8
UNICEF, WHO, dll) serta Lembaga Swadaya Masyarakta (LSM) nasional
dan internasional. Di dalam konfrensi itu, mereka berupaya serius mencari
solusi. Dalam konfrensi ini lah munculnya konsep pendidikan untuk
semua.

Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa konferensi tersebut


dilandasi oleh Deklarasi tentang Hak Azasi Manusia (PBB 1948) (yang
menyatakan tentang hak pendidikan dan partisipasi penuh bagi semua
orang) dan Konvensi Hak Anak (1989) , itulah dokumen internasional
pertama yang menjadi rujukan hukum munculnya pemikiran pendidikan
inklusif dikemudian hari. Selanjutnya, UU dan dokumen hasil konferensi
tersebut terus digunakan untuk menjadi landasan dalam memecahkan
masalah marginalisasi itu.

Hasil dari konfrensi diantarnya menyatakan bahwa: (1) memberi


kesempatan kepada semua anak untuk sekolah, dan (2) memberikan
pendidikan yang sesuai bagi semua anak. Dalam kenyataannya hasil
konferensi belum termasuk di dalamnya anak-anak berkebutuhan khusus.

Mengingat hasil konfrensi itu, memunculkan pemikiran kritis dari


organisasi penyandang cacat dan anak berkebutuhan khusus serta
didukung oleh beberapa negara. Kemudian mereka membuat suatu
konferensi dengan landasan konferensi sebelumnya ditambah dengan
Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan untuk Orang-Orang
Penyandang Cacat (PBB, 1993). Konferensi ini dinamai The Salamanca
World Conference on Special Needs Education (UNESCO, 1994). Dari
konferensi inilah muncul prinsip-prinsip dan konsep dasar dari pendidikan
inklusif, yang selanjutnya dikenal dengan pernyataan Salamanca tentang
pendidikan inklusif.

Untuk mengukuhkan pernyataan dan konsep pendidikan inklusif


yang dihasilkan di Salamanca dan diharapkan menjadi konsep milik
bersama maka PBB melalui UNESCO menyelenggarakan konferensi
pendidikan untuk semua (PUS) kedua di Dakar tahun 2000. Dari

9
Konferensi PUS kedua ini lah mulai muncul kerangka aksi pelaksanaan
pendidikan inklusif yang dibagi berdasarkan wilayah/region. Contohnya,
pada bulan oktober 2002 kelompok kerja Asia Pasifik meluncurkan Aksi
Biwako Millenium Framework (BMF) sebagai kerangka kerja regional
untuk panduan negara-negara di Asia Timur dan Pasifik yang dalam
pelaksanaannya diperluas menjadi Asia Pasifik untuk sepuluh tahun yang
akan datang (Raharja, 2006:9).

F. Perkembangan Pendidikan Inklusi di Indonesia


Di Indonesia, pendidikan inklusi sebenarnya telah dirintis sejak
tahun 1986 namun dalam bentuk yang sedikit berbeda. Sistem pendidikan
tersebut dinamakan Pendidikan Terpadu dan disahkan dengan Surat
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu di Indonesia. Pada pendidikan
terpadu, anak berkebutuhan khusus juga ditempatkan di sekolah umum
namun mereka harus menyesuaikan diri pada sistem sekolah umum.
Sehingga mereka harus siap dibuat “siap” untuk diintegrasikan ke dalam
sekolah umum. Apabila ada kegagalan pada anak maka anak dipandang
yang bermasalah. Sedangkan yang dilakukan oleh pendidikan inklusi
adalah sebaliknya, sekolah dibuat siap dan menyesuaikan diri terhadap
kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Apabila ada kegagalan pada anak
maka sistem dipandang yang bermasalah. Akan tetapi, dalam menjalankan
program terpadu mempunyai masih banyak kekurangan dalam
implementasinya sehingga program tidak dikembangkan lebih lanjut.

Dengan adanya perkembangan dalam dunia pendidikan maka pada


tahun 2004 diselenggarakan konvensi nasional yang menghasilkan
Deklarasi Bandung dengan komitmen 'Indonesia menuju pendidikan
inklusif'. Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar,
pada tahun 2005 diadakan symposium internasional di Bukittinggi yang
menghasilkan Rekomendasi Bukit tinggi yang isinya antara lain
menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif

10
sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar benar
memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.

Penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang telah


memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Ada beberapa
persyaratan yang dimaksud diantaranya mempunyai siswa berkebutuhan
khusus, mempunyai komitmen terhadap pendidikan inklusif, penuntasan
wajib belajar maupun terhadap komite sekolah, menjalin kerjasama
dengan lembaga-lembaga terkait, dan mempunyai fasilitas serta sarana
pembelajaran yang mudah diakses oleh semua anak. Penyelenggara juga
harus mengembangkan program pembelajaran individual (PPI) bagi anak-
anak berkebutuhan khusus, dan menyiapkan guru pendamping khusus
yang didatangkan dari sekolah luar biasa (SLB) ataupun guru di sekolah
umum yang telah memperoleh pelatihan khusus (Suparno, dkk, 2007:71-
72).

Pada tahun 2008, ada 925 sekolah inklusif di Indonesia yang terdiri
dari 790 sekolah mengakui siswa dengan kebutuhan khusus dan 135
sekolah dengan dipercepat program untuk berbakat dari TK hingga
sekolah dengan tingkat tertinggi (Direktorat Pendidikan Khusus dikutip
dalam Sunardi et all, 2011).

Pada kondisi saat ini banyak sekolah yang mendeklarasikan


sebagai sekolah inklusi, permasalahan yang terjadi banyak ditemukan
sekolahsekolah penyelenggara sekolah inklusif belum memahami
sepenuhnya tentang konsep-konsep yang mendasari implementasi dalam
sekolah masing-masing. Bahkan tidak jarang ditemukan adanya kesalahan
dalam penyaringan peserta didik dalam memasuki sekolah inklusi karena
kurangnya pemahaman sekolah dan pengambil kebijakan dalam
menerapkan identifikasi dan asesmen yang baku, kurangnya pemahaman
guru terhadap kurikulum yang digunakan dalam sekolah inklusif. Dalam
bidang ketenagaan masih kurangnya pemahaman warga sekolah dalam
menjalankan tugas dan wewenang, pada proses pembelajaran sekolah
masih belum melaksanakan pengelolaan kelas dalam pembelajaran. Sarana

11
prasarana anak berkebutuhan khusus dalam sekolah inklusif juga masih
banyak ditemui kekurangan serta sosialisasi sekolah tentang sekolah
inklusif pada warga sekolah dan warga masyarakat masih belum dilakukan
sehingga masih ada ditemukannya diskriminasi pada anak berkebutuhan
khusus dalam sekolah inklusif. Hal ini sekaligus menyiratkan bahwa
dalam perjalanan menuju pendidikan inklusi (toward inclusive education),
Indonesia masih dihadapkan kepada berbagai isu dan dan permasalahan
yang kompleks yang harus mendapatkan perhatian serius dan disikapi oleh
berbagai pihak yang terkait, khususnya pemerintah sehingga tidak
menghambat hakekat penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Di Indonesia, penerapa pendidikan inklusi dijamin oleh UU No. 20


Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam
penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk
peserta didik berkebutuhan khusus atau memiliki kecerdasan luar biasa
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus
(SLB).

G. Landasan Pendidikan Inklusif


 Landasan Filosofis

Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat


dijelaskan sebagai berikut:
1. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang
negara Burung Garuda yang berarti Bhinneka Tunggal Ika.
Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi
dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung
tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
2. Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan
bahwa: (a) manusia dilahirkan dalam keadaan suci, (b) kemuliaan
seseorang di hadapan Than (Allah) bukan karena fisik tetapi
taqwanya, (c) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali

12
kaum itu sendiri, (d) manusia dicipptakan berbeda-beda untuk
saling silaturahmi (‘inklusif’).
3. Pandangan universal hak asasi manusia menyatakan bahwa setiap
manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak
kesehatan, dan hak pekerjaan.

Setiap bangsa memiliki pandangan hidup atau filosofi sendiri,


begitu pula halnya dengan bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang
memiliki pandangan atau filosofi sendiri, maka dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif harus diletakkan atas dasar
pandangan hidup atau filosofi bangsa Indonesia sendiri.
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di
Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-
cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut
Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan
kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horisontal,
yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi.
Kebinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan
fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian
diri, dan sebagainya. Sedangkan kebinekaan horisontal diwarnai
dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat
tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya. Karena berbagai
keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini,
misi, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi
dilandasi dengan saling membutuhkan.
Filosofi Bhinneka Tunggal Ika meyakini bahwa di dalam diri
manusia bersemayam potensi yang bila dikembangkan melalui
pendidikan yang baik dan benar dapat berkembang hingga hampir tak
terbatas. Bertolak dari perbedaan antar manusia, filosofi ini meyakini
adanya potensi unggul yang tersembunyi dalam diri individu apabila
dikembangkan secara optimal dan terintegrasi dengan semua potensi
kemanusiaan lainnya dapat menghasilkan suatu kinerja profesional.

13
Tugas pendidikan adalah menemukan dan mengenali potensi
unggul yang tersembunyi yang terdapat dalam diri setiap individu
peserta didik untuk dikembangkan hingga derajat yang optimal sebagai
bekal manusia beribadah kepada Tuhan. Dengan demikian pendidikan
dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk memberdayakan semua
potensi kemanusiaan yang mencakup potensi fisik, kognitif, afektif,
dan intuitif secara optimal dan terintegrasi. Keunggulan dan
kekurangan adalah suatu bentuk kebhinnekaan seperti halnya ras, suku,
agama, latar budaya, dan sebagainya. Di dalam individu dengan segala
keterbatasan dan kelebihan, di mana yang memiliki keterbatasan sering
bersemayam keunggulan, dan di dalam diri individu yang memiliki
keunggulan sering bersemayam keterbatasan. Dengan demikian
keunggulan dan keterbatasan tidak dapat dijadikan sebagai alasan
untuk memisahkan peserta didik yang memiliki keterbatasan atau
keunggulan dari pergaulannya dengan peserta didik lainnya, karena
pergaulan antara mereka akan memungkinkan terjadi saling belajar
tentang perilaku dan pengalaman.

 Landasan Yuridis
Landasan yuridis memiliki hirarki dari undang-undang dasar,
undang-undang, peraturan pemerintah, kebijakan direktur jendral,
peraturan daerah, kebijakan direktur, hingga peraturan sekolah. Juga
melibatkan kesepakatan-kesepakatan internasional yang berkenaan
dengan pendidikan. Dalam kesepakatan UNESCO di Salamanca,
Spanyol pada tahun 1994 telah ditetapkan agar pendidikan di seluruh
dunia dilaksanakan secara inklusif. Dalam kesepakatan tersebut juga
dinyatakan bahwa pendidikan adalah hak untuk semua (educational for
all), tidak peduli orang itu memiliki hambatan atau tidak, kaya atau
miskin, pendidikan juga tidak membedakan ras, warna kulit, suku, dan
agama. Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sedapat mungkin
dintegrasikan dengan pendidikan reguler, pemisahan dalam bentuk
segregrasi hanya untuk keperluan pembelajaran (instruction), bukan

14
untuk keperluan pendidikan (education). Untuk keperluan pendidikan,
anak-anak berkebutuhan khusus harus disosialisasikan dalam
lingkungan yang nyata dengan anak-anak lain pada umumnya.
Adapun landasan yuridis pendidikan inklusif sebagai berikut:
Instrumen Internasional
a. 1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
b. 1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak
c. 1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Jomtien)
d. 1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para
Penyandang Cacat
e. 1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang
Pendidikan Kebutuhan Khusus
f. 1999: Tinjauan 5 tahun Salamanca
g. 2000: Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia (Dakar)
h. 2000: Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada
Penurunan Angka Kemiskinan dan Pembangunan
i. 2001: Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan
Instrumen Nasional
a. UUD 1945 (amandemen) pasal 31
b. UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3, 5, 32, 36 ayat (3), 45 ayat (1), 51,
52, 53.
c. UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 5
d. Deklarasi Bandung (Nasional) ”Indonesia Menuju Pendidikan
Inklusif” 8-14 Agustus 2004
e. Deklarasi Bukit Tinggi (Internasional) Tahun 2005
f. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Nomor 380/C.C6/MN/2003
tanggal 20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif

g. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009


tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.

15
 Landasan Pedagogik
Landasan pedagogis tercermin dalam pasal 3 Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
berisi bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis dan bertanggung
jawab. Ini berarti peserta didik yang berkelainan atau dalam hal ini
ABK pun juga dibentuk melalui pendidikan menjadi warga negara
yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang
menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat sesuai
batas kemampuan optimalnya.
Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional, maka saat
ini pandangan dalam penegakan diagnosis dilakukan perubahan.
Dikemukakan Tarmansyah (2007:39) bahwa “Diagnosis seperti yang
diberikan di masa lalu menyebabkan anak-anak diberi label. Akibatnya
guru memfokuskan pada keterbatasan yang disebabkan oleh
kecacatannya.” Dengan begitu ABK dengan diagnosis medis yang
sama dipandang harus diberikan pendidikan yang sama.Di sisi lain,
labelisasi kecacatan menimbulkan pendidikan ABK menjadi
dispesialisasikan dan dieksklusifkan, sehingga kebanyakan guru
kehilangan pemahaman yang holistik tentang ABK, dan pada akhirnya
guru tidak menggunakan pendekatan holistik dalam pengajarannya.
Namun kini disadari bahwa ABK dengan diagnosis yang sama
dipandang dapat diberikan pendidikan yang berbeda-beda, karena pada
dasarnya setiap ABK mempunyai kebutuhan pendidikan yang berbeda.
Guru akan berusaha melakukan asesemen terhadap ABK untuk
mendapatkan informasi apa yang dapat dilakukan dan senang
dilakukan ABK tersebut, dengan demikian akan terbuka peluang untuk
menemukan potensi pendidikan ABK sesuai dengan kebutuhannya.
Seiring dengan perubahan pandangan terhadap ABK, terdapat
tuntutan dalam penggunaan konsep-konsep dalam proses

16
pembelajaran. Konsep penempatan diri ABK sebagai pusat perhatian
bukan kecacatannya, sehingga bukan anak yang menyesuaikan diri
dengan sistem pendidikan melainkan sistem pendidikan yang harus
menyesuaikan dengan kebutuhan anak. Berdasarkan hal tersebut
diadaknnya perubahan dalam sistem layanan pendidikan, yaitu Special
need educatian bukan lagi special education, sehingga layanan
pendidikan sesuai dengan tuntutan konsep, yaitu difokuskan pada
potensi ABK bukan pada hambatan yang disebabkan oleh
kecacatannya. Tuntutan konsep lainnya yaitu, kecacatan dan
keunggulan bukanlah hal yang dapat memisahkan ABK dengan anak
pada umumnya sebagai peserta didik untuk mendapatkan pendidikan
secara bersama-sama. Semakin tinggi keyakinan bahwa setiap anak
sebagai insan manusia dapat dididik, sekaligus dapat mendidik, serta
saling mendidik sesamanya membuat semakin tinggi pula kesadaran
bahwa pendidikan untuk semua anak dapat diselenggarakan dalam
sistem dan lingkungan yang sama. Konsep-konsep tersebut dapat
diterapkan melalui pendidikan inklusif.

 Landasan Religius
Pendidikan inklusif telah diakui dan diterima kalangan agama
Islam. Dalam konsepsi Islam, sebenarnya telah mengamanatkan bahwa
kita tidak boleh membeda-bedakan perlakuan terhadap mereka yang
cacat, hal ini dapat kita simak dalam Al'Quran, yaitu : Surat An Nur
ayat (61) "Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi
orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit dan tidak (pula) bagi
dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri
atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah
saudara-saudaramu...".
Dalam ayat tersebut menyiratkan makna bahwa Allah SWT
tidak membeda-bedakan kondisi, keadaan dan kemampuan seseorang
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga sangat jelas bahwa sebagai

17
ciptaanNya, setiap manusia harus menerima adanya perbedaan sebagai
anugrah maha pencipta., ada laki-laki ada perempuan, ada yang cacat
dan ada yang tidak cacat. Dengan demikian inklusi adalah fitrah yang
harus menjadi kewajiban manusia dalam menjalani hidup dan
kehidupan dengan penuh kasih sayang.

 Landasan Psikologis
Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang didasari semangat
terbuuka untuk merangkul semua kalangan dalam pendidikan.
Pendidikan Inklusi merupakan implementasi pendidikan yang
berwawasan multicultural yang dapat membantu peserta didik
mengerti, menerima, serta menghargai orang lain yang berbeda suku,
budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik maupun psikologis.
Tujuan luhur pendidikan inklusi yang berdasar pada keunikan
setiap individu termasuk dalam tahapan perkembangannya sejalan
sekali dengan paham pada ilmu psikologi yang disemua referensinya
menekankan bahwa setiap individu akan tubuh dan berkembang seusai
dengan ritme serta karakteristik khas masing-masing.

 Landasan Empiris
Penelitian tentang inklusif telah banyak dilakukan di negara-
negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar
dipelopori oleh The National Academy of Sciences (Amerika Serikat).
Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak
berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan
diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus
secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil
identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick ;1982). Beberapa
pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan
identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena
karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan
Walberg, 1994/1995).

18
Beberapa peneliti kemudian melakukan analisis lanjut atas
hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh
Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 penelitian, Wang dan Baker
(1985/1986) terhadap 11 penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13
penelitian menunjukkan bahwa pendidikan Inklusif berdampak positif,
baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak
berkelainan dan teman sebayanya.

19
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Filosofi pendidikan inklusif adalah “mengakui bahwa setiap manusia
mempunyai keunikan/perbedaan dan keunikan/perbedaan itu harus
diakomodir dalam pendidikannya”.
2. Definisi pendidikan inklufif adalah pendidikan yang diperuntukkan
untuk semua (education for all), pendidikan yang mengakomodir
semua perbedaan peserta didik.
3. Konsep dasar munculnya paradigma pendidikan inklusif diantaranya
setiap anak mempunyai hak mendasar untuk memeroleh pendidikan
dan harus diberi kesempatan untuk mencapai serta mempertahankan
tingkat pengetahuan yang wajar; Setiap anak mempunyai
karakteristik, minat, kemampuan dan keutuhan belajar yang berbeda-
beda.
4. Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya
diprakarsai dan diawali dari Negara-negara Scandinavia (Denmark,
Norwegia, Swedia).
5. Pendidikan inklusif di dunia mulai berkembang dengan adanya “the
Salamanca statement on inclusive education” yang berbunyi :
d. Semua anak sebaiknya belajar bersama
e. Pendidikan didasarkan kebutuhan siswa
f. ABK diberi layanan khusus
6. Perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia pada tahun 2005
diadakan symposium internasional di Bukittinggi yang menghasilkan
Rekomendasi Bukit tinggi yang menekankan perlunya terus
dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara
menjamin bahwa semua anak benar benar memperoleh pendidikan
dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
7. Landasan pendidikan inklusif yaitu, landasan filosofis, landasan
yuridis, landasan pedagogik, landasan religius, landasan psikologis,
dan landasan empiris.

20
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis yakin masih banyak terdapat
kekurangan, untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan pemikiran,
saran serta komentar yang bersifat membangun, baik dari dosen
pembimbing maupun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

21
DAFTAR PUSTAKA
Alfian. (2017). Jurnal Pendidikan Biologi. Retrieved 9 17, 2018, from Pendidikan Inklusif
di Indonesia: http://e-journal.iainjambi.ac.id/index.php/edubio/article/view/380

Herawati, N. I. (n.d.). Eduhumaniora. Retrieved 9 17, 2018, from Jurnal Pendidikan Dasar
Kampus UPI: http://ejournal.upi.edu/index.php/eduhumaniora/article/view/2755

Imam Yuwono, M., & Utomo, M. (2015). Pendidikan Inklusif (Paradigma Pendidikan
Ramah Anak). Banjarmasin: Pustaka Banua.

Jauhari, M. N. (2017). PENGEMBANGAN SEKOLAH INKLUSIF DENGAN MENGGUNAKAN


INSTRUMEN INDEX FOR INCLUSION. Jurnal Buana Pendidikan .

22

Anda mungkin juga menyukai