MAKALAH
Oleh :
Munifah Haifa
1610118220016
Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang mana telah
memberikan saya kemudahan untuk mampu menyusun makalah ini yang
memenuhi tugas mata kuliah “Pendidikan Inklusi” yang dibimbing oleh Ibu
Mirnawati, M.Pd. Tak lupa shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan pengikut beliau hingga
akhir zaman. Kemudian tak lupa saya ucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua yang telah ikut berpartisipasi dalam penyelesaian makalah
yang saya buat ini.
Makalah ini membahas tentang Filosofi Pendidikan Inklusif, Definisi
Pendidikan Inklusif, Konsep Dasar Pendidikan Inklusif, Sejarah Pendidikan
Inklusif, Perkembangan Pendidikan Inklusi di Dunia, Perkembangan Pendidikan
Inklusi di Indonesia, dan Landasan Pendidikan Inklusi.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa
Universitas Lambung Mangkurat. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing, saya
meminta masukannya demi perbaikan makalah di masa yang akan datang dan
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
PEMBAHASAN .................................................................................................... 3
PENUTUP ............................................................................................................ 20
A. Kesimpulan ................................................................................................ 20
B. Saran .......................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 22
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk
menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu
negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang
bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang
memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang
pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1. Namun sayangnya sistem pendidikan di
Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan
munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan
agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental
yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah
menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas
keberagaman dalam masyarakat.
Selama ini anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan
(difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat
dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB).
Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok
eksklusifisme bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Tembok
eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses
saling mengenal antara anak-anak difabel dengan anak-anak non-difabel.
Akibat sistem pendidikan tersebut dalam interaksi sosial di
masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari
dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan
kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa
keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan
masyarakat di sekitarnya. Untuk mengatasi masalah tersebut pendidikan
inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam
penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa filosofi pendidikan inklusif?
2. Apa definisi pendidikan inklusif?
3. Apa saja konsep dasar pendidikan inklusif?
4. Bagaimana sejarah pendidikan inklusif?
5. Bagaimana perkembangan pendidikan inklusi di dunia?
6. Bagaimana perkembangan pendidikan inklusi di Indonesia?
7. Apa saja landasan pendidikan inklusif?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui filosofi pendidikan inklusif
2. Untuk mengetahui definisi pendidikan inklusif
3. Untuk mengetahui konsep dasar pendidikan inklusif
4. Untuk mengetahui sejarah pendidikan inklusif
5. Untuk mengetahui perkembangan pendidikan inklusi di dunia
6. Untuk mengetahui perkembangan pendidikan inklusi di Indonesia
7. Untuk mengetahui landasar pendidikan inklusif
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Menurut EENet tahun 1998 :
Menurut UNESCO :
4
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang mengakomodir semua
perbedaan peserta didik
Pendidikan inklusif bukan hanya untuk kepentingan ABK, namun
untuk semua anak. ABK menjadi perhatian yang serius dalam
pendidikan inklusif karena ABK harus ditangani secara spesifik.
Makna ini diartikan bahwa jika sekolah kebetulan tidak ada ABK
maka bukan berarti ekolah tidak inklusif. Inklusif mengandung
makna menjadi “sekolah siaga”, artiya jika diradius penerimaan
siswa baru kebetulan ada ABK dan anak-anak yang termarjinalkan
lainnya maka sekolah mempunyai kewajiban untuk menerima
anak.
Inklusif diartikan juga bagaimana sistem sekolahdapat
menyesuaikan dengan kondisi dan kemampuan anak. Penyesuaian
sistem tidak hanya berlaku untuk ABK saja namun diupayakan
berlaku bagi semua anak.
Inklusif mengandung makna sekolah dapat mengatasai berbagai
hambatan belajar.
5
mereka dalam rangka pedagogi yang berpusat pada diri anak
yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut;
Sekolah regular dengan orientasi tersebut merupakan alat yang
paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan
masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan
mencapai pendidikan bagi semua.
6
Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia
tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan
konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan
komitmen Indonesia menuju pendidika inklusif.
7
Kalaupun ada yang mampu sekolah, sebagian dari mereka drop out/putus
sekolah padahal pendidikannya belum selesai.
8
UNICEF, WHO, dll) serta Lembaga Swadaya Masyarakta (LSM) nasional
dan internasional. Di dalam konfrensi itu, mereka berupaya serius mencari
solusi. Dalam konfrensi ini lah munculnya konsep pendidikan untuk
semua.
9
Konferensi PUS kedua ini lah mulai muncul kerangka aksi pelaksanaan
pendidikan inklusif yang dibagi berdasarkan wilayah/region. Contohnya,
pada bulan oktober 2002 kelompok kerja Asia Pasifik meluncurkan Aksi
Biwako Millenium Framework (BMF) sebagai kerangka kerja regional
untuk panduan negara-negara di Asia Timur dan Pasifik yang dalam
pelaksanaannya diperluas menjadi Asia Pasifik untuk sepuluh tahun yang
akan datang (Raharja, 2006:9).
10
sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar benar
memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
Pada tahun 2008, ada 925 sekolah inklusif di Indonesia yang terdiri
dari 790 sekolah mengakui siswa dengan kebutuhan khusus dan 135
sekolah dengan dipercepat program untuk berbakat dari TK hingga
sekolah dengan tingkat tertinggi (Direktorat Pendidikan Khusus dikutip
dalam Sunardi et all, 2011).
11
prasarana anak berkebutuhan khusus dalam sekolah inklusif juga masih
banyak ditemui kekurangan serta sosialisasi sekolah tentang sekolah
inklusif pada warga sekolah dan warga masyarakat masih belum dilakukan
sehingga masih ada ditemukannya diskriminasi pada anak berkebutuhan
khusus dalam sekolah inklusif. Hal ini sekaligus menyiratkan bahwa
dalam perjalanan menuju pendidikan inklusi (toward inclusive education),
Indonesia masih dihadapkan kepada berbagai isu dan dan permasalahan
yang kompleks yang harus mendapatkan perhatian serius dan disikapi oleh
berbagai pihak yang terkait, khususnya pemerintah sehingga tidak
menghambat hakekat penyelenggaraan pendidikan inklusif.
12
kaum itu sendiri, (d) manusia dicipptakan berbeda-beda untuk
saling silaturahmi (‘inklusif’).
3. Pandangan universal hak asasi manusia menyatakan bahwa setiap
manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak
kesehatan, dan hak pekerjaan.
13
Tugas pendidikan adalah menemukan dan mengenali potensi
unggul yang tersembunyi yang terdapat dalam diri setiap individu
peserta didik untuk dikembangkan hingga derajat yang optimal sebagai
bekal manusia beribadah kepada Tuhan. Dengan demikian pendidikan
dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk memberdayakan semua
potensi kemanusiaan yang mencakup potensi fisik, kognitif, afektif,
dan intuitif secara optimal dan terintegrasi. Keunggulan dan
kekurangan adalah suatu bentuk kebhinnekaan seperti halnya ras, suku,
agama, latar budaya, dan sebagainya. Di dalam individu dengan segala
keterbatasan dan kelebihan, di mana yang memiliki keterbatasan sering
bersemayam keunggulan, dan di dalam diri individu yang memiliki
keunggulan sering bersemayam keterbatasan. Dengan demikian
keunggulan dan keterbatasan tidak dapat dijadikan sebagai alasan
untuk memisahkan peserta didik yang memiliki keterbatasan atau
keunggulan dari pergaulannya dengan peserta didik lainnya, karena
pergaulan antara mereka akan memungkinkan terjadi saling belajar
tentang perilaku dan pengalaman.
Landasan Yuridis
Landasan yuridis memiliki hirarki dari undang-undang dasar,
undang-undang, peraturan pemerintah, kebijakan direktur jendral,
peraturan daerah, kebijakan direktur, hingga peraturan sekolah. Juga
melibatkan kesepakatan-kesepakatan internasional yang berkenaan
dengan pendidikan. Dalam kesepakatan UNESCO di Salamanca,
Spanyol pada tahun 1994 telah ditetapkan agar pendidikan di seluruh
dunia dilaksanakan secara inklusif. Dalam kesepakatan tersebut juga
dinyatakan bahwa pendidikan adalah hak untuk semua (educational for
all), tidak peduli orang itu memiliki hambatan atau tidak, kaya atau
miskin, pendidikan juga tidak membedakan ras, warna kulit, suku, dan
agama. Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sedapat mungkin
dintegrasikan dengan pendidikan reguler, pemisahan dalam bentuk
segregrasi hanya untuk keperluan pembelajaran (instruction), bukan
14
untuk keperluan pendidikan (education). Untuk keperluan pendidikan,
anak-anak berkebutuhan khusus harus disosialisasikan dalam
lingkungan yang nyata dengan anak-anak lain pada umumnya.
Adapun landasan yuridis pendidikan inklusif sebagai berikut:
Instrumen Internasional
a. 1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
b. 1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak
c. 1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Jomtien)
d. 1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para
Penyandang Cacat
e. 1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang
Pendidikan Kebutuhan Khusus
f. 1999: Tinjauan 5 tahun Salamanca
g. 2000: Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia (Dakar)
h. 2000: Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada
Penurunan Angka Kemiskinan dan Pembangunan
i. 2001: Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan
Instrumen Nasional
a. UUD 1945 (amandemen) pasal 31
b. UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3, 5, 32, 36 ayat (3), 45 ayat (1), 51,
52, 53.
c. UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 5
d. Deklarasi Bandung (Nasional) ”Indonesia Menuju Pendidikan
Inklusif” 8-14 Agustus 2004
e. Deklarasi Bukit Tinggi (Internasional) Tahun 2005
f. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Nomor 380/C.C6/MN/2003
tanggal 20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif
15
Landasan Pedagogik
Landasan pedagogis tercermin dalam pasal 3 Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
berisi bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis dan bertanggung
jawab. Ini berarti peserta didik yang berkelainan atau dalam hal ini
ABK pun juga dibentuk melalui pendidikan menjadi warga negara
yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang
menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat sesuai
batas kemampuan optimalnya.
Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional, maka saat
ini pandangan dalam penegakan diagnosis dilakukan perubahan.
Dikemukakan Tarmansyah (2007:39) bahwa “Diagnosis seperti yang
diberikan di masa lalu menyebabkan anak-anak diberi label. Akibatnya
guru memfokuskan pada keterbatasan yang disebabkan oleh
kecacatannya.” Dengan begitu ABK dengan diagnosis medis yang
sama dipandang harus diberikan pendidikan yang sama.Di sisi lain,
labelisasi kecacatan menimbulkan pendidikan ABK menjadi
dispesialisasikan dan dieksklusifkan, sehingga kebanyakan guru
kehilangan pemahaman yang holistik tentang ABK, dan pada akhirnya
guru tidak menggunakan pendekatan holistik dalam pengajarannya.
Namun kini disadari bahwa ABK dengan diagnosis yang sama
dipandang dapat diberikan pendidikan yang berbeda-beda, karena pada
dasarnya setiap ABK mempunyai kebutuhan pendidikan yang berbeda.
Guru akan berusaha melakukan asesemen terhadap ABK untuk
mendapatkan informasi apa yang dapat dilakukan dan senang
dilakukan ABK tersebut, dengan demikian akan terbuka peluang untuk
menemukan potensi pendidikan ABK sesuai dengan kebutuhannya.
Seiring dengan perubahan pandangan terhadap ABK, terdapat
tuntutan dalam penggunaan konsep-konsep dalam proses
16
pembelajaran. Konsep penempatan diri ABK sebagai pusat perhatian
bukan kecacatannya, sehingga bukan anak yang menyesuaikan diri
dengan sistem pendidikan melainkan sistem pendidikan yang harus
menyesuaikan dengan kebutuhan anak. Berdasarkan hal tersebut
diadaknnya perubahan dalam sistem layanan pendidikan, yaitu Special
need educatian bukan lagi special education, sehingga layanan
pendidikan sesuai dengan tuntutan konsep, yaitu difokuskan pada
potensi ABK bukan pada hambatan yang disebabkan oleh
kecacatannya. Tuntutan konsep lainnya yaitu, kecacatan dan
keunggulan bukanlah hal yang dapat memisahkan ABK dengan anak
pada umumnya sebagai peserta didik untuk mendapatkan pendidikan
secara bersama-sama. Semakin tinggi keyakinan bahwa setiap anak
sebagai insan manusia dapat dididik, sekaligus dapat mendidik, serta
saling mendidik sesamanya membuat semakin tinggi pula kesadaran
bahwa pendidikan untuk semua anak dapat diselenggarakan dalam
sistem dan lingkungan yang sama. Konsep-konsep tersebut dapat
diterapkan melalui pendidikan inklusif.
Landasan Religius
Pendidikan inklusif telah diakui dan diterima kalangan agama
Islam. Dalam konsepsi Islam, sebenarnya telah mengamanatkan bahwa
kita tidak boleh membeda-bedakan perlakuan terhadap mereka yang
cacat, hal ini dapat kita simak dalam Al'Quran, yaitu : Surat An Nur
ayat (61) "Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi
orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit dan tidak (pula) bagi
dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri
atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah
saudara-saudaramu...".
Dalam ayat tersebut menyiratkan makna bahwa Allah SWT
tidak membeda-bedakan kondisi, keadaan dan kemampuan seseorang
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga sangat jelas bahwa sebagai
17
ciptaanNya, setiap manusia harus menerima adanya perbedaan sebagai
anugrah maha pencipta., ada laki-laki ada perempuan, ada yang cacat
dan ada yang tidak cacat. Dengan demikian inklusi adalah fitrah yang
harus menjadi kewajiban manusia dalam menjalani hidup dan
kehidupan dengan penuh kasih sayang.
Landasan Psikologis
Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang didasari semangat
terbuuka untuk merangkul semua kalangan dalam pendidikan.
Pendidikan Inklusi merupakan implementasi pendidikan yang
berwawasan multicultural yang dapat membantu peserta didik
mengerti, menerima, serta menghargai orang lain yang berbeda suku,
budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik maupun psikologis.
Tujuan luhur pendidikan inklusi yang berdasar pada keunikan
setiap individu termasuk dalam tahapan perkembangannya sejalan
sekali dengan paham pada ilmu psikologi yang disemua referensinya
menekankan bahwa setiap individu akan tubuh dan berkembang seusai
dengan ritme serta karakteristik khas masing-masing.
Landasan Empiris
Penelitian tentang inklusif telah banyak dilakukan di negara-
negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar
dipelopori oleh The National Academy of Sciences (Amerika Serikat).
Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak
berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan
diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus
secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil
identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick ;1982). Beberapa
pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan
identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena
karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan
Walberg, 1994/1995).
18
Beberapa peneliti kemudian melakukan analisis lanjut atas
hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh
Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 penelitian, Wang dan Baker
(1985/1986) terhadap 11 penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13
penelitian menunjukkan bahwa pendidikan Inklusif berdampak positif,
baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak
berkelainan dan teman sebayanya.
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Filosofi pendidikan inklusif adalah “mengakui bahwa setiap manusia
mempunyai keunikan/perbedaan dan keunikan/perbedaan itu harus
diakomodir dalam pendidikannya”.
2. Definisi pendidikan inklufif adalah pendidikan yang diperuntukkan
untuk semua (education for all), pendidikan yang mengakomodir
semua perbedaan peserta didik.
3. Konsep dasar munculnya paradigma pendidikan inklusif diantaranya
setiap anak mempunyai hak mendasar untuk memeroleh pendidikan
dan harus diberi kesempatan untuk mencapai serta mempertahankan
tingkat pengetahuan yang wajar; Setiap anak mempunyai
karakteristik, minat, kemampuan dan keutuhan belajar yang berbeda-
beda.
4. Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya
diprakarsai dan diawali dari Negara-negara Scandinavia (Denmark,
Norwegia, Swedia).
5. Pendidikan inklusif di dunia mulai berkembang dengan adanya “the
Salamanca statement on inclusive education” yang berbunyi :
d. Semua anak sebaiknya belajar bersama
e. Pendidikan didasarkan kebutuhan siswa
f. ABK diberi layanan khusus
6. Perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia pada tahun 2005
diadakan symposium internasional di Bukittinggi yang menghasilkan
Rekomendasi Bukit tinggi yang menekankan perlunya terus
dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara
menjamin bahwa semua anak benar benar memperoleh pendidikan
dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
7. Landasan pendidikan inklusif yaitu, landasan filosofis, landasan
yuridis, landasan pedagogik, landasan religius, landasan psikologis,
dan landasan empiris.
20
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis yakin masih banyak terdapat
kekurangan, untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan pemikiran,
saran serta komentar yang bersifat membangun, baik dari dosen
pembimbing maupun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
21
DAFTAR PUSTAKA
Alfian. (2017). Jurnal Pendidikan Biologi. Retrieved 9 17, 2018, from Pendidikan Inklusif
di Indonesia: http://e-journal.iainjambi.ac.id/index.php/edubio/article/view/380
Herawati, N. I. (n.d.). Eduhumaniora. Retrieved 9 17, 2018, from Jurnal Pendidikan Dasar
Kampus UPI: http://ejournal.upi.edu/index.php/eduhumaniora/article/view/2755
Imam Yuwono, M., & Utomo, M. (2015). Pendidikan Inklusif (Paradigma Pendidikan
Ramah Anak). Banjarmasin: Pustaka Banua.
22