Dosen Pengampu:
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan Rahmat, Taufik dan
Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Konsep Pendidikan
Inklusif “ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penyusunan makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Inklusi yang dibimbing oleh Mirnawati, M.Pd.
Penyusun
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan Inklusif merupakan sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak
berkebutuhan khusus belajar disekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-
teman seusianya. Ini menandakan bahwa pendidikan tidak mengenal perbedaan fisik,
suku dan agama. Namun tidak semua sekolah regular di Indonesia termasuk kedalam
sekolah inklusif karena kurangnya sumber daya manusia yang mempuni dalam bidang
pendidikan inklusif.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana filosofi Pendidikan Inklusif?
2. Apa definisi Pendidikan Inklusif?
3. Bagaimana konsep Pendidikan Inklusif?
1
4. Bagaimana sejarah Pendidikan Inklusif?
5. Bagaimana perkembangan Pendidikan Inklusif di dunia?
6. Bagaimana perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia?
7. Apa saja landasan-landasan dalam Pendidikan Inklusif?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui filosofi Pendidikan Inklusif.
2. Untuk mengetahui definisi Pendidikan Inklusif.
3. Untuk mengetahui konsep dari Pendidikan Inklusif.
4. Untuk mengetahui sejarah Pendidikan Inklusif
5. Untuk mengetahui perkembangan Pendidikan Inklusif di dunia.
6. Untuk mengetahui perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia
7. Untuk mengetahui landasan apa saja yang terdapat dalam Pendidikan Inklusif.
2
BAB II
ISI
1. Filosofi Pendidikan Inklusif
Filosopis pendidikan inklusif mencerminkan paham tentang nilai-nilai filosofis yang
termanifestasi dalam bingkai keberagaman dan kesetaraan antarsesama. Pada praktiknya,
filosopis pendidikan inklusif berupa memperjuangkan anak-anak berkebutuhan khusus
agas mereka mendapatkan akses yang lebih besar dan mempunyai kesempatan yang sama
dalam mendapatkan pelayanan pendidikan secara optimal. Menurut Vaughn, bos dan
schum (2000), mengemukakan bahwa dalam praktik, pendidikan inklusif sebaiknya
dipakai bergantian dengan istilah mainstreaming yang secara teori diartikan sebagai
penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkelainan sesuai dengan
kebutuhan individunya.
Filosopis pendidikan inklusif sangat terkait dengan kebutuhan dasar manusia untuk
memperoleh pengalaman belajar bersama anak normal umumnya. Tidak heran bila
pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin kelangsungan
hidupnya. Oleh karena itu Negara berkewajiban untuk memberikan pelayanan
pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang
memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945
pasal 31 (1).
Konsep inklusif adalah sebuah filosofi pendidikan yang berkaitan langsung dengan
relasi sosial antar sesama dalam upaya membangun kebersamaan tanpa memandang latar
belakang kehidupan maupun status sosialnya. Mereka yang percaya proses inklusif
meyakini bahwa semua orang adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan
masyarakat, apapun berbedaan mereka. Dalam pendidikan ini bahwa semua anak,
terlepas dari kemampuan maou ketidak mampuan mereka, latar belakang sosial-ekonomi,
suku latar belakng budaya atau bahasa menyatu dalam komunikasi sekolah yang sama.
3
dianggap tidak normal atau berkeainan. Maka kehadiran pendidikan inklusif merupakan
perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak yang memiliki kelainan seperti
tunanetra, tunadaksa, tunagrahita, tunarungu, maupun tunalaras.secara formal kemudian
ditegaskan dalam pernyataan salamaca pada komperesi dunia tentang pendidikan
berkelainan bulan juni1994 bahwa prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah
selama memungkinkan semua anak siogianya belajar bersama-sama tanpa memandang
kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Florida State University Center for Prevention & Early Intervention Policy (2002)
mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai sebuah usaha untuk membuat para siswa
yang memiliki ketidakmampuan tertentu pergi ke sekolah bersama teman-teman dan
sesamanya serta menerima apa pun dari sekolah seperti teman-teman yang lainnya
terutama dukungan dan pengajaran yang didesain secara khusus yang mereka butuhkan
untuk mencapai standar yang tinggi dan sukses sebagai pembelajar.
Dari definisi tentang inklusif di atas, kita dapat mengatakan bahwa sekolah inklusif
adalah lembaga pendidikan formal yang menyediakan layanan belajar bagi anak-anak
berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak normal dalam komunitas
sekolah reguler di mana setiap anak diterima menjadi bagian dari kelas, diakomodir, dan
direspon kebutuhannya sehingga setiap anak mendapat peluang dan kesempatan yang
sama untuk mengembangkan potensinya.
4
Dengan demikian, perlu diingat bahwa pendidikan atau sekolah inklusif bukan
sebuah sekolah bagi siswa yang memiliki kebutuhan khusus melainkan sekolah yang
memberikan layanan efektif bagi semua (education fol all). Dengan kata lain, pendidikan
inklusif adalah pendidikan di mana semua anak dapat memasukinya, kebutuhan setiap
anak diakomodir atau dirangkul dan dipenuhi bukan hanya sekedar ditolerir (Watterdal,
2002).
5
e. Konsep-konsep tentang sumber daya
1. Membuka jalan ke sumber daya setempat
2. Redistribusi sumber daya yang ada
3. Memandang orang (anak, orangtua, guru, anggota kelompok termarjinalisasi dll)
sebagai sumber daya utama. Sumber daya yang tepat yang terdapat di dalam
sekolah dan pada tingkat lokal dibutuhkan untuk berbagai anak, misalnya Braille,
alat asistif.
6
Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive
environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di
Inggris dalam Ed. Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif
dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus
dari segregatif ke integratif.
Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi
pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang
selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”.
7
tinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukit tinggi yang isinya antara lain
menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah
satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan
pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
Jumlah sekolah pelaksana pendidikan terpadu hingga tahun 2001 adalah 163 untuk
tingkat SD/MI dengan jumlah murid 875, 15 untuk tingkat SLTP/MTS dengan jumlah
murid 40 orang, dan 28 untuk tingkat SMU/MA dengan jumlah 59 orang. Seiring dengan
perkembangan dunia pendidikan, maka konsep pendidikan terpadu pun berubah menjadi
pendidikan inklusi.
1. Landasan Filosofis
Setiap bangsa memiliki pandangan hidup atau filosofi sendiri, begitu pula halnya
dengan bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang memiliki pandangan atau filosofi
sendiri, maka dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif harus diletakkan atas dasar
pandangan hidup atau filosofi bangsa Indonesia sendiri.
8
namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajiban
untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.
2. Landasan Religi
9
siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus pada hakikatnya adalah
manifestasi dari hakikat manusia sebagai individual differences tersebut. Interaksi
manusia harus dikaitkan dengan upaya pembuatan kebajikan. Ada dua jenis interaksi
antar manusia, yaitu kooperatif dan kompetitif (QS. Al-Maidah, 5:2&48). Begitu pula
dengan Pendidikan, yang juga harus menggunakan keduanya dalam rangka mencapai
tujuan Pendidikan dan pembelajaran.
Bertolak dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang telah diuraikan, menunjukkan bahwa ada
kesamaan antara pandangan filosofis dengan religi tentang hakikat manusia.
Keduanya merupakan upaya menemukan kebenaran hakiki; filsafat menggunakan
nalar belaka sedangkan agama menggunakan wahyu. Keduanya akan bertemu karena
sumber kebenaran hakiki hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Landasan filosofis
dan religi akan bertemu untuk selanjutnya dapat menjadi landasan dalam
pemanfaatan hasil-hasil penelitian sebagai produk kegiatan keilmuan, termasuk di
dalamnya untuk penyelenggaran pendidikan.
3. Landasan Historis
Masa-masa awal. Pada awalnya, masyarakat bersikap acuh tak acuh bahkan
menganggap sebagai sampah dan menolak, orang-orang yang memiliki
ketidakmampuan (disability) tertentu (Olsen&Fuller, 2003:161). Di satu sisi, hal ini
terjadi karena rasa takut akan takhayul bahwa ibu melahirkan anak cacat merupakan
hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab itu, harus dihindari,
penolakan itu juga terjadi karena takut tertular.
Namun dilain sisi penolakan itu terjadi karena perjuangan untuk bertahan hidup.
Anggota kelompok yang terlalu lemah dan tidak berkontribusi terhadap kelangsungan
hidup kelompoknya dikeluarkan dari keanggotaannya. Mereka sering kali tidak diberi
makanan yang cukup dan tidak memperoleh kasih saying dan kontak sosial yang
bermakna. Mereka kesepian, terasing dari kelompok sosialnya dan merasa tidak
berguna. Mereka yang berbeda karena kecacatannya akan dikurung atau dibiarkan
mati (Skjorten, 2001).
10
Zaman purbakala dan pada zaman pertengahan. Pada masa ini, muncul
seorang fisikawan yakni Hippokrates (460-377 SM) yang mulai mendobrak
paradigma lama dengan menggagas bahwa berbagai permasalahan emosional lebih
merupakan kekuatan natural daripada kekuatan supra natural sebagaimana yang
selama ini diyakini. Lebih tegas lagi pada tahun 427-347 SM, Plato, seorang filosof
besar Yunani, yang merupakan murid Socrates, mengatakan bahwa mereka yang
tidak stabil secara mental tidak bertanggungjawab atas perilaku mereka.
Gagasan kedua tokoh besar ini membawa perubahan. Hal ini terbukti dalam abad
pertengahan. Dimana dalam abad itu, muncul berbagai kelompok religious yang
memberikan pelayanan dan tempat tinggal bagi mereka yang diabaikan oleh
keluarganya (Olsen&Fuller, 2003:161).
Abad Sembilan belas dan abad dua puluh (masa transisi). Dalam abad ini,
masyarakat semakin terbuka bagi mereka yang mengalami ketidakmampuan tertentu.
Hal ini bertolak dari keyakinan bahwa setiap orang dapat belajar jika diberi stimulus
secara tepat. Dengan demikian, sejak abad sembilan belas di Amerika Serikat telah
berdiri sekolah bagi mereka yang buta dan tuli (Olsen&Fuller, 2003:162).
Pencetusan pendidikan inklusif ini terjadi karena selama jangka waktu yang
cukup lama, para siswa penyandang cacat dididik secara ekslusif (Watterdal, 2002).
Dengan kata lain, mereka tetap diperlakukan sebagai orang-orang yang bukan
11
merupakan bagian dari masyarakat. Akibatnya, masyarakat umum masih merasa aneh
dengan kehadiran mereka.
Tidak hanya itu, penggunaan sistem integrasi yang telah diterapkan dulu juga
meninggalkan berbagai persoalan. Sistem integrasi mengandung makna bahwa siswa
penyandang cacat diikutkan ke dalam sekolah reguler setelah anak tersebut mengikuti
kelas khusus dan dianggap siap untuk mengikuti suatu kelas di sekolah reguler.
Sayangnya, di sana mereka sering ditempatkan dalam suatu kelas berdasarkan tingkat
keberfungsiannya dan pengetahuannya bukan menurut usianya. Misalnya kita dapat
menemukan anak berusia 12 tahun berada di kelas satu.
Karena situasi tersebut dan semakin munculnya kesadaran akan kesamaan hak
dan martabat sebagai manusia maka disuarakanlah hak anak berkebutuhan khusus
untuk mendapatkan hak dan pelayanan yang sama. Di mana semua anak (atau orang
dewasa) adalah anggota kelompok yang sama, berinteraksi dan berkomunikasi satu
sama lain, membantu satu sama lain untuk belajar dan berfungsi, saling
mempertimbangkan satu sama lain, menerima kenyataan bahwa anak (atau orang
dewasa) tertentu mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan mayoritas dan kadang-
kadang akan melakukan hal yang berbeda. Dan hal itu dikukuhkan dengan adanya
Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif oleh UNESCO pada 1994.
4. Landasan Yuridis
12
khusus sedapat mungkin dintegrasikan dengan pendidikan reguler, pemisahan dalam
bentuk segregrasi hanya untuk keperluan pembelajaran (instruction), bukan untuk
keperluan pendidikan (education). Untuk keperluan pendidikan, anak-anak
berkebutuhan khusus harus disosialisasikan dalam lingkungan yang nyata dengan
anak-anak lain pada umumnya.
Instrumen Internasional
Instrumen Nasional
13
f. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Nomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari
2003 tentang pendidikan inklusif.
g. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang
pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
14
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran
Pendidikan inklusif sangat bagus untuk diterapkan di Indonesia dan sangat perlu
untuk terus dikembangkan agar tidak ada diskriminasi terhadap perbedaan terutama pada
peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan ini, pemerintah harus memperhatikan apa
saja kebutuhan mereka, baik dari sarana maupun prasarana dan guru pembimbing untuk
mereka. Harapan saya agar pemerintah untuk lebih memperhatikan pendidikan dan terus
memberikan yang terbaik bagi dunia pendidikan tanpa membeda-bedakan anak inklusi
dengan anak normal lainnya.
15
DAFTAR PUSTAKA
Stubbs, Sue. 2002. Pendidikan Inklusif Ketika hanya ada sedikit sumber. Bandung:
Ilahi, Mohammad Takdir. 2013. Pendidikan Inklusif Konsep dan Aplikasi. Jogyakarta:
Ar-Ruzz Media
16