Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH PENDIDIKAN INKLUSIF

(DI LUAR DAN DI DALAM NEGERI)

Dosen Pengampu :
Siti Fadjryana Fitroh, S.Psi., MA

OLEH KELOMPOK 1 :
1. Dahlia Agustina R.H. 170611100041
2. Laili Dwi Hidayanti 170611100048
3. Septiana Revayana Eka Safitri 170611100052
4. Nuris Saadah 170611100053
5. Tika Vellina Rachman 170611100058
6. Agung Pramono 170611100062
7. Binti Aisah 170611100071
8.. Fajrina Zulfa Darumiarsi 170611100073

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2019
PENDIDIKAN INKLUSIF

A. LATAR BELAKANG DILAKSANAKANNYA PENDIDIKAN INKLUSIF


Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa negara
memberikan jaminan sepenuhnya kepada semua anak termasuk anak
berkebutuhan khusus (ABK) dalam memperoleh kesempatan dan layanan
Pendidikan yang bermutu. Sebagaimana tersurat pada Undang-Undang Nomor 20
tahun 2003, bab IV pasal 5 ayat 1, bahwa setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh Pendidikan yang bermutu. Selanjutnya pada ayat 2
dinyatakan, bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan sosial berhak mendapatkan Pendidikan. Pada Permendiknas,
No.70 Tahun 2009, pasal 2, disebutkan bahwa pemerintah mewujudkan
penyelenggaraan Pendidikan yang menghargai keaneragaman dan tidak
deskriminatif bagi semua peserta didik.

Bentuk layanan Pendidikan yang diberikan kepada peserta didik


berkebutuhan khusus selama ini ada tiga Lembaga Pendidikan yaitu, Sekolah Luar
Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Sekolah Terpadu. SLB
adalah sekolah khusus yang pada awal berdirinya menyelenggarakan Pendidikan
hanya bagi peserta didik dengan jenis kelainan yang sama, (seperti : SLB/A,
SLB/B, SLB/C, dst). SDLB adalah sekolah dasar khusus yang menampung
berbagai jenis kelainan. Adapun sekolah terpadu adalah sekolah regular, yang
menerima peserta didik berkebutuhan khusu, dengan kurikulum, guru, sarana, pra
sarana pembelajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama bagi seluruh
peserta didik. Lokasi SLB, SDLB dan Sekolah Terpadu pada umumnya berada di
Kota/Kabupaten, padahal ABK tersebar hampir di seluruh daerah kecamatan dan
desa, tidak hanya di kota/kabupaten. Akibatnya banyak ABK yang tidak dapat
bersekolah, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah. Kondisi ini
secara nyata menjadi kendala Pemerintah dalam upaya mensukseskan program
penuntasan wajib belajar bagi anak-anak bangsa.
Sejak Tahun 1997 Indonesia telah “meratifikasi” kesepakatan Salamanca
1994 tentang Pendidikan Inklusif, selanjutnya pada tahun 1998 s.d 2001 Balitbang
Dikbud melakukan uji coba penyelenggaraan Pendidikan inklusif di SD 7 di
Kecamatan Karangmojo Kabupaten Wonosari Gunung Kidul Yogyakarta. Hasil uji
coba tersebut selanjutnya oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) ,
dipergunakan sebagai dasar sosialisasi dan praktik implementasi Pendidikan
inklusif di Indonesia (Budiyanto, 2005).
Pada akhir tahun 2008 di Indonesia tercatat baru memiliki 814 sekolah
inklusif yang melayanisekitar 15.181 ABK (Dir PSLB, 2008). Kondisi ini masih
jauh dari prevalensi jumlah ABK yang seharusnya memperoleh layanan
Pendidikan. Sebagai wujud besarnya perhatian Pemerintah dan untuk
mempercepat penyelenggaraan Pendidikan inklusif, pada tahun 2009 Menteri
Pendidikan Nasional mengeluarkan Permendiknas No.70 tentang Pendidikan
Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan atau bakat istimewa. Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tersebut
selanjutnya oleh Pemerintah Daerah dipergunakan sebagai rujukan dalam
penetapan kebijakan implementasi Pendidikan inklusif di Wilayah kerja masing-
masing.
Menyadari urgensi posisi Permendiknas No.70 Tahun 2009 dalam
penyelenggaraan Pendidikan inklusif, maka Pedoman Umum Pendidikan Inklusif
yang telah ada perlu ditinjau kembali dan diselaraskan dengan Permendiknas
No.70 Tahun 2009 tersebut, agar dapat dipergunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan Pendidikan inklusif di Indonesia.
Penerapan pendidikan Inklusi memiliki beberapa landasan sebagai
azas dalam pelaksanaannya. Adapun landasan tersebut yaitu : landasan filosofis,
yuridis, pedagogis dan empiris.
 Landasan filosofis
Landasan filosofis pendidikan inklusi di Indonesia adalah Pancasila yang
merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih
mendasar lagi, yang disebut Bhinneka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman,
2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinnekaan manusia, baik
kebhinnekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai
umat Tuhan di bumi. Kebhinnekaan vertikal ditandai dengan perbedaan
kecerdasan, kekuatan hsik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan
pengendalian diri dan sebagainya. Sedangkan kebhinekaan horizontal diwarnai
dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal,
daerah, afiliasi, politik dan sebagainya. Bertolak dari filosofi Bhinneka Tunggal
Ika, “kebutuhan khusus” dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinnekaan
seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya atau agama. Kebutuhan khusus
dan keberbakatan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti
halnya perbedaan suku, bahasa, budaya atau agama.
Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus
memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam,
sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih dan silih asuh dengan semangat
toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicitacitakan dalam kehidupan sehari-
hari.

 Landasan yuridis
Landasan yuridis internasional pendidikan inklusi adalah Deklarasi Salamanca
(UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini adalah
penegasan kembali atas deklarasi lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar
PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu penyandang
disabilitas memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan
yang ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan,
semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan
ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Di Indonesia, penerapan
pendidikan inklusi dijamin oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa
penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkebutuhan khusus atau
memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan
pendidikan khusus (SLB).
 Landasan Pedagogis
Manusia dapat dididik sekaligus dapat mendidik serta saling mendidik
sesamanya. Seorang manusia akan menjadi manusia yang sebenarnya hanya
melalui pendidikan yang dilakukan oleh manusia lainnya. Pendidikan hanya
mungkin terjadi apabila manusia itu berhubungan dengan manusia lainnya yang
menyelenggarakan pendidikan.

 Landasan Empiris
Landasan empiris ditunjukkan melalui penelitian tentang inklusi yang telah
banyak dilakukan negara-negara barat sejak tahun 1980-an, namun penelitian
yang berskala besar dipelopori oleh Pte National Academy Of Sciences (Amerika
Serikat). Hasilnya, menunjukkan bahwa klasiiikasi dan penempatan anak
berkebutuhan khusus di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan
diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara
segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat
(Heller, Holtzman dan Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan
bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak
berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen
(Baker, Wang dan Walberg, 1994 1995).
Beberapa peneliti kemudian melakukan meta analisis (analisis lanjut) atas hasil
banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale
( 1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985 1986) terhadap 11
buah penelitian dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan
bahwa pendidikan inklusi berdampak positif, baik terhadap perkembangan
akademik maupun sosial anak berkebutuhan khusus dan teman sebayanya.
B. KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF
Pendidikan Inklusif adalah suatu filosofi Pendidikan dan sosial. Dalam
Pendidikan inklusif, semua orang adalah bagian yang berharga dalam
kebersamaan, apapun,perbedaan mereka. Pendidikan inklusif berarti bahwa semua
anak, terlepas dari kemampuan maupun ketidakmampuan mereka, jenis kelamin,
status sosial-ekonomi, suku, latar belakang budaya atau bahasa dan agama
menyatu dalam komunitas sekolah yang sama. Pendidikan inklusif merupakan
pendekatan yang memerhatikan cara mentransformasikan sistem Pendidikan,
sehingga dapat merespon keaneragaman peserta didik yang memungkinkan guru
dan peserta didik merasa nyaman dengan keaneragaman tersebut, serta melihatnya
lebih sebagai suatu tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar daripada
melihatnya sebagai suatu problem.

Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa Pendidikan inklusif


adalah penempatan anak berekalinan tingkat ringan, sedang dan berat secara
penuh di kelas regular. Hal ini menunjukkan bahwa kelas regular merupakan
tempat belajar yang sesuai bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan
bagaimanapun gradasinya.

Sementara itu, Sapon-Shevin (dalam O’Neil, 1995) menyatakan bahwa


Pendidikan inklusif sebagai sistem layanan Pendidikan mempersyaratkan agar
semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas regular
bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan restrukturisasi,
sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus
setiap peserta didik. Artinya, dalam Pendidikan inklusif tersedia sumber belajar
yang kaya dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu peserta didik, guru,
orang tua dan masyarakat sekitarnya. Melalui Pendidikan inklusif, peserta didik
berkebutuhan khusus di didik bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya
(normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freigberg, 1995). Hal
ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan
anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Pendidikan inklusif dalam Permendiknas No. 70 tahun 2009 didefinisikan sebagai
sistem penyelenggaraan Pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik berkelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat
istimewa untuk mengikuti Pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan
Pendidikan secara bersama-sama denga peserta didik pada umumnya. Dalam
pelaksanaannya, Pendidikan inklusif bertujuan untuk memberikan kesempatan
yang seluas-luasnya kepada peserta didik berkebutuhan khusus dan mewujudkan
penyelenggaraan Pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak
deskriminatif kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat
istimewa untuk memperoleh Pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuannya.

Sekolah inklusif menurut Stainback dan Stainback (1990) adalah sekolah yang
menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program
Pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan setiap peserta didik. Lebih dari itu, sekolah inklusif juga merupakan
tempat setiap peserta didik berterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan
saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat
lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.

Sekolah inklusif adalah satuan Pendidikan yang menyelenggarakan Pendidikan


bagi semua peserta didik pada sekolah yang sama tanpa diskriminasi, ramah dan
humanis untuk mengoptimalkan pengembangan potensi semua peserta didik agar
menjadi insan yang berdaya guna dan bermartabat. Suatu penyelenggaraan
Pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus semua peserta didik,
untuk itu sekolah perlu melakukan berbagai modifikasi dan atau penyesuaian,
mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem
pembelajaran, serta sistem penilaiannya.
C. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN INKLUSIF

1. Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif di Dunia


Sebelum munculnya pemikiran tentang pendidikan inklusif, setidaknya
dilatarbelakangi adanya sejumlah orang yang terpinggirkan atau ditolak sehingga
tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan
pendidikan.Faktor utama yang menyebabkan mereka terpinggirkan/tertolak adalah
faktor pendidikan (UNESCO, 1990) sehingga pendidikan menjadi isu utama,
untuk mengatasi masalah ini. Jika kita mengacu pada data International
Consultative Forum on Education for All (2000) di dunia ini terdapat 113 juta
orang anak-anak usia pendidikan dasar yang tidak sekolah. 90% dari jumlah itu
berada di negara yang penghasilannya rendah hingga menengah serta lebih dari
8O juta orang anak-anak seperti itu tinggal di negara-negara Afrika.Kalaupun ada
yang mampu sekolah, sebagian dari mereka putus sekolah padahal pendidikannya
belum selesai.
Selain data tersebut di atas, ada pula data yangmenyebutkan bahwa ada
sekelompok orang karena perbedaan jenis kelamin menyebabkan orang itu tidak
dapat sekolah, misalnya di Afghanistan, ada budaya yang melarang kaum
perempuan untuk bersekolah dan keluar rumah, kalaupun bisa sekolah dan keluar
rumah sangatlah terbatas.Masih banyak data lain yang menyebutkan persoalan
mengapa seseorang atau sejumlah orang-tidak dapat menikmati haknya untuk
memperoleh pendidikan, diantaranya karena masalah geografis, kondisi
peperangan, bencana alam, dan lain-lain. Kondisi itu tentunya sangat
memprihatinkan karena mereka akan menjadi orang yang termarginalkan dan
tertolak oleh masyarakat. Itu semua ternyata menjadi permasalahan disetiap
negara, bahkan di negara yang dikatakan sebagai negara maju sekalipun, hanya
saja di negara maju jumlahnya lebih sedikit dibandingkan negara "miskin" dan
berkembang. Jadi hampir di seluruh dunia memiliki persoalan yang sama,
bagairnana semua warganya dapat mengakses atau memperoleh pendidikan,
ternyata pendidikan itu adalah hak setiap warga negara, sehingga tidak ada lagi
sejumlah orang yang terpinggirkan (kaum marginal) dan tertolak dalam kehidupan
sosial, politik, ekonomi, budaya serta pendidikan. Semua negara memprihatinkan
itu semua.
Berdasarkan itu maka negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) mencoba mencari solusinya.Mereka, melaluilembaga di
bawah naungan PBB, yaitu UNESCO, mengusulkan untuk mengadakan suatu
konferensi internasional.Usulan itu diterima oleh PBB karena tidak bertentangan
dengan Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia (1948) dan konvensi Hak Anak
(1989).Konferensi pun terlaksana pada tahun 1990 di Thailand dengan nama The
Jomitien World Conference on Education for All, diikuti oleh hampir seluruh
negara anggota PBB, beberapa organisasi di bawah naungan PBB (UNESCO,
UNICEF, WHO, dll) serta Lembaga Swadaya Masyarakta (LSM) nasional dan
internasional. Di dalam konferensi itu, mereka berupaya serius mencari
solusi.Dalam konferensi ini lah munculnya konsep pendidikan untuk semua.
Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa konferensi tersebut dilandasi oleh
Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia (PBB, 1948) (yang menyatakan tentang hak
pendidikan dan partisipasi penuh bagi semua orang) dan Konvensi Hak Anak
(1989), itulah dokumen internasional pertama yang menjadi rujukan hukum
munculnya pemikiran pendidikan inklusif dikemudian hari.Selanjutnya, UU dan
dokumen hasil konferensi tersebut terus digunakan untuk menjadi landasan dalam
memecahkan masalah marginalisasi itu.
Hasil dari konferensi diantaranya menyatakan bahwa:
(1) memberi kesempatan kepada semua anak untuk sekolah, dan
(2) memberikan Pendidikan yang sesuai bagi semua anak. Dalam
kenyataannya hasil konferensi belum termasuk di dalamnya anak-anak
berkebutuhan khusus.
Mengingat hasil konferensi itu, memunculkan pemikiran kritis dari organisasi
penyandang cacat dan anak berkebutuhan khusus serta didukung oleh beberapa
negara.Kemudian mereka membuat suatu konferensi dengan landasan konferensi
sebelumnya ditambah dengan Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan
untuk anak-anak berkebutuhan khusus (PBB, 1993).Konferensi ini dinamai The
Salamanca World Conference on Special Needs Education (UNESCO, 1994).Dari
konferensi inilah muncul prinsip-prinsip dan konsep dasar dari pendidikan
inklusif, yang selanjutnya dikenal dengan pernyataan Salamanca tentang
pendidikan inklusif. Untuk mengukuhkan pernyataan dan konsep dating kan
inklusif yang dihasilkan di Salamanca dan diharapkan menjadi konsep milik
bersama maka PBB melalui UNESCO menyelenggarakan konferensi dating kan
untuk semua (PUS) kedua di Dakar tahun 2000.Dari Konferensi PUS kedua ini
lah mulai muncul kerangka aksi pelaksanaan dating kan inklusif yang dibagi
berdasarkan wilayah/region. Contohnya, pada bulan oktober 2002 kelompok kerja
Asia Pasifik meluncurkan Aksi Biwako Millenium Framework (BMF) sebagai
kerangka kerja regional untuk panduan negara-negara di Asia Timur dan Pasiflk
yang dalam pelaksanaannya diperluas menjadi Asia Pasifik untuk sepuluh tahun
yang akan dating.

1. Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia


Di indonesia, Pendidikan Inklusi sebenarnya telah di rintis sejak tahun
1986 namun dalam bentuk yang sedikit berbeda. Sistem pendidikan tersebut
dinamakan Pendidikan Terpadu dan disahkan dengan Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/ 1986 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Terpadu di Indonesia. Pada pendidikan terpadu, anak berkebutuhan
khusus juga ditempatkan di sekolah umum namun mereka harus menyesuaikan
diri pada sistem sekolah umum. Sehingga mereka harus siap dibuat “siap” untuk
diintegrasikan ke dalam sekolah umum. Apabila ada kegagalan pada anak maka
anak dipandang yang bermasalah. Sedangkan yang dilakukan oleh pendidikan
inklusi adalah sebaliknya, sekolah dibuat siap dan menyesuaikan diri terhadap
kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Apabila ada kegagalan pada anak maka
sistem dipandang yang bermasalah.
Menurut data Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Kemendiknas
awal tahun 2011 terdapat 624 sekolah inklusi baik SD, SMP, dan SMA. Namun
dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan
banyak persoalan terutama yang berkaitan dengan masih kurangnya kesadaran
dari banyak pihak.
 1960-an Integrasi siswa tunanetra di sekolah menengah umum dimulai
atas inisiatif individual.
 1978-1986 Proyek Pendidikan Terpadu bagi anak tunanetra dengan bantuan
Teknik HKI.
 l999 Pemerintah memperkenalkan gagasan Pendidikan inklusif
dengan bantuan teknis dari Universitas Oslo melalui seminar
dan lokakarya.
 2002 Rintisan sekolah inklusif di beberapa kota.

Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah inklusi seperti
di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah didaerah Gunung
Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta dengan 35 sekolah. Pada
tahun 2002 pemerintah secara resmi mulai melakukan proyek ujicoba di sembilan
propinsi yang memiliki pusat sumber dan sejak saat itu lebih dari 1500 siswa
berkelainan telah bersekolah di sekolah regular. Yang kemudian pada tahun 2005
meningkat menjadi 6.000 siswa atau 5,11% dari seluruh jumlah anak
berkebutuhan khusus, sedangkan pada tahun 2007 meningkat menjadi 7,5% atau
15.181 siswa yang tersebar di 796 sekolah inklusif yang terdiri dari 17 TK, 648
SD, 75 SLTP, dan 56 SLTA.
Pada tahun 2004, di Bandung diselenggarakan deklarasi Indonesia menuju
inklusi yang membahas khusus penyelenggaraan Pendidikan Inklusi di sekolah-
sekolah reguler Indonesia. Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal
dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat
menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak
termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak memperolah
pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1).
Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan
bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat
anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4
tahun 1997 tentang penyandang cacat).

Tujuan dilaksanakannya pendidikan Inklusif di Indonesia


Pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang
mengikut-sertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak
sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya.
Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan
penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun
sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik.
Secara umum, Tujuan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan seluas-
luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.
Selain itu, pendidikan inklusif juga menjamin hak setiap warga sekolah
mendapatkan pendidikan, menghilangkan diskriminasi terhadap anak
berkebutuhan khusus dan membantu meningkatkan mutu pendidikan.

Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan :


1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak
berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan
kebutuhannya.
2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar.
3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan
angka tinggal kelas dan putus sekolah.
4. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak
diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran.
5. Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps. 32 ayat 1 yang
berbunyi ’setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan’, dan ayat 2
yang berbunyi ’setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya’. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, khususnya Ps. 5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara mempunyai
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. UU No. 23/2002
tentang Perlindungan Anak, khususnya Ps. 51 yang berbunyi ’anak yang
menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikana kesempatan yang sama dan
aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
DAFTAR PUSTAKA

Dadang. 2015. Pengantar Pendidikan Inklusif. Bandung: Refika Aditama.

Dinie. 2016. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus.Yogyakarta. Tajuk Entri Utama.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 Tentang


Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki
Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa. Jakarta : Depdiknas.

Anda mungkin juga menyukai