Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PENDIDIKAN INKLUSIF

AKDK 6501
“LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSIF”

DOSEN PENGAMPU:
UTOMO, S.PD., M.PD.
ROHMAH AGENG MURSITA, M.PD.

OLEH:
KELOMPOK 1
ABDUL MUIS (1610121110001)
FAUZIA DWI SASMITA (1610121220004)
HANA PERTIWI (1610121220007)
MISNA (1610121220014)
NITA PURNAMA HIDAYAH (1610121220018)
RINA RAMADHANI (1610121220021)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh


Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT, karena berkat limpahan
rahmat, karunia, serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mata
kuliah Pendidikan Inklusif dengan judul “Landasan Pendidikan Inklusif”.
Didalam pembuatannya, makalah ini mengacu pada beberapa sumber yang ada,
baik itu media cetak, maupun media elektronik.
Makalah yang telah kami selesaikan ini berisi pembahasan tentang landasan
filosofis, landasan yuridis, landasan pedagogik, landasan religius, landasan
psikologis, dan landasan empiris. Kami berharap semoga Makalah ini dapat
memberikan informasi, wawasan serta pemahaman tentang Landasan Pendidikan
Inklusif.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar–besarnya kepada dosen
dalam mata kuliah Pendidikan Inklusif yakni Bapak Utomo, S.Pd., M.Pd. dan Ibu
Rohmah Ageng Mursita, M.Pd. dan teman–teman yang turut serta dalam
penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Banjarmasin, 12 September 2018

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL..................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................4
C. Tujuan...........................................................................................................4
D. Manfaat.........................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5
A. Landasan Filosofis........................................................................................5
B. Landasan Yuridis..........................................................................................5
C. Landasan Pedagogik...................................................................................10
D. Landasan Religius.......................................................................................11
E. Landasan Psikologis....................................................................................12
F. Landasan Empiris........................................................................................12
BAB III PENUTUP...............................................................................................21
A. Kesimpulan.................................................................................................21
B. Saran............................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diadakan tahun
1989, telah mendeklarasikan hak-hak anak, dan ditegaskan bahwa semua
anak berhak memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi dalam bentuk
apapun. Deklarasi tersebut dilanjutkan dengan The Salamanca Statement and
Framework for Action on Special Needs Education yang memberikan
kewajiban bagi sekolah untuk mengakomodasi semua anak termasuk anak-
anak yang memiliki kelainan fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik
maupun kelainan lainnya. Sekolah-sekolah juga harus memberikan layanan
pendidikan untuk anak-anak yang berkelainan maupun yang berbakat, anak-
anak jalanan, pekerja anak, anak-anak dari masyarakat terpencil atau
berpindah-pindah tempat, anak-anak dari suku-suku yang berbahasa, etnik
atau budaya minoritas dan anak-anak yang rawan termarjinalkan lainnya.
Sejalan dengan hal tersebut, UNESCO mencetuskan filsafat
Educational for All. Educational for All mengandung makna bahwa
pendidikan “ada” untuk semua atau wajib mengakomodasi keberagaman
kebutuhan siswa yang normal maupun yang memiliki kebutuhan khusus (An
Efa Flagship, 2004). Filosofi Educational for All lahir sebagai konsekuensi
logis dari adanya pernyataan Salamanca yang menegaskan perlu adanya
penyelenggaraan pendidikan yang inklusif dan tidak diskriminatif (UNESCO,
1994).
Di Indonesia, Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Pasal 5, ayat 1 s.d. 4 telah menegaskan bahwa:
1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu.
2. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

1
3. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat
yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
4. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
berhak memperoleh pendidikan khusus.
Sebelum dicetuskan pendidikan inklusif, usaha untuk mengakomodasi
keberagaman dalam pendidikan pertama-tama dilaksanakan dalam bentuk
Sekolah Luar Biasa. Sayangnya, sistem pendidikan SLB ini membangun
tembok eksklusivisme bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan
masyarakat sehingga para ABK menjadi komunitas yang teralienasi dalam
masyarakat (Skjorten, 2001). Mereka yang berbeda karena kecacatannya
seperti lumpuh, lembah pikiran, autis, dan sebagainya, menjadi tidak percaya
diri dan menjadi terasing dalam masyarakat. Mereka biasanya terkurung,
tidak memperoleh kasing sayang dan kontak sosial yang bermakna (IDP,
Norway, 2005, Kompas 2005).
Sebagai upaya untuk mengatasi persoalan tersebut, diluncurkan
program pendidikan integrasi yang merupakan sistem pendidikan di mana
anak berkebutuhan khusus dididik dalam sebuah kelas khusus dan kemudian
diintegrasikan dalam kelas reguler setelah dianggap siap. Namun hal ini
membuat siswa berkebutuhan khusus merasa dirinya sebagai tamu. Mereka
akan melakukan segala sesuatu untuk menyenangkan pihak mayoritas.
Mereka bahkan akan membeli hak partisipasinya dengan memberi permen,
selalu berbuat baik dan bersikap melayani, teman-teman mereka. Dengan kata
lain, anak berkebutuhan khusus harus menyesuaikan diri dengan ketentuan
sistem dan aktivitas kelas reguler. Dan tidak jarang juga, anak berkebutuhan
khusus sering dianggap aneh oleh para guru dan siswa reguler (Skjorten,
2001, Stubbs, 2002).
Program integrasi masih menyisakan persoalan, UNESCO lantas
mencetuskan kebijakan pendidikan inklusif. Kebijakan ini menjadi penting
karena sudah sejak lama anak berkebutuhan khusus juga memiliki keinginan
yang besar untuk belajar di sekolah reguler dan juga bersoalisasi dengan
anak-anak normal (Kompas, 2005).

2
Lebih jauh lagi, kebijakan pendidikan inklusif merupakan sebuah
kebijakan yang perlu disambut dengan baik karena banyak anak Indonesia
yang memiliki kebutuhan khusus dan belum mendapat layanan pendidikan
secara memadai bahkan tidak mendapat layanan pendidikan sama sekali.
Berdasarkan data Susenas tahun 2003, penyandang cacat di Indonesia
berjumlah 1,48 juta orang (0,7% dari jumlah penduduk Indonesia).
Sedangkan jumlah penyandang cacat usia sekolah (5-18 tahun) berjumlah
21,42% dari seluruh penyandang cacat. Jadi jumlah penyandang cacat usia
sekolah sekitar 2 juta orang. Dan yang baru menikmati pendidikan sekitar
800.000 orang (Direktorat PSLB, 2006).
Di Indonesia, implementasi pendidikan inklusif ditandai dengan
terbitnya Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Nomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal
20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif yang menyatakan bahwa
penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan inklusif di setiap
kabupaten/kota sekurang-kurangnya empat sekolah yang terdiri dari SD,
SMP, SMA, dan SMK. Hal ini dikukuhkan lagi dengan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi
peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa. Selanjutnya, Rencana Strategis Depdiknas tahun
2005-2009 menyatakan bahwa dalam rangka memperluas akses pemerataan
dan akses pendidikan bagi anak usia sekolah 7-15 tahun, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak/belum terlayani di jalur pendidikan formal
untuk memiliki kesempatan mendapatkan layanan pendidikan di jalur
nonformal maupun program pendidikan terpadu/ inklusif bagi anak-anak
yang berkebutuhan khusus terutama untuk daerah-daerah yang tidak tersedia
layanan pendidikan khusus/luar biasa (Renstra Depdiknas: 49). Bagi peserta
didik berkebutuhan khusus, dilakukan kebijakan strategis dalam
melaksanakan program pendidikan inklusif (Renstra Depdiknas: 50).
Selain itu juga telah dikembangkan buku-buku pedoman untuk sekolah
inklusif, kepala sekolah, guru-guru, peserta didik maupun orangtua peserta
didik dan masyarakat. Buku-buku tersebut meliputi pedoman alat identifikasi

3
anak berkebutuhan khusus, pengembangan kurikulum, pengadaan dan
pembinaan tenaga kependidikan, pengadaan dan pengelolaan sarana-
prasarana, kegiatan belajar mengajar, manajemen sekolah, dan pemberdayaan
masyarakat. Namun masih banyak sekolah inklusif yang belum mendapatkan
modul dan pedoman tersebut. Ketiadaan modul pada sekolah-sekolah umum
yang menerima anak berkebutuhan khusus mengakibatkan ketidakjelasan
dalam pelayanan pendidikan terhadap anak-anak berkebutuhan khusus di
sekolah tersebut. Di samping itu karena tidak adanya pedoman pembelajaran
bagi guru-guru di sekolah inklusif, menyebabkan guru-guru menggantungkan
diri pada guru sekolah luar biasa (SLB) sehingga guru-guru ini mengajar
berdasarkan nalurinya yang menyebabkan layanan pendidikan khusus di
sekolah inklusif tidak optimal. Mengingat hal tersebut di atas, maka
pengkajian terhadap pendidikan inklusif di Indonesia menjadi penting untuk
meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil rumusan masalah
sebagai berikut:

1. Apa saja landasan dari pendidikan inklusif ?


2. Apa saja isu-isu yang terkait dengan pendidikan inklusi terutama di Kota
Banjarmasin?
3. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu agar pembaca dapat:

1. Mengetahui saja landasan dari pendidikan inklusif


2. Mengetahui isu-isu yang terkait dengan pendidikan inklusi terutama di
Kota Banjarmasin
3. Manfaat
Makalah ini dibuat sebagai acuan dan panduan untuk para pembaca,
terutama bagi mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dalam
proses pembelajaran baik di sekolah maupun di luar sekolah. Diharapkan

4
setelah membaca makalah ini para pembaca mendapatkan pemahaman dan
ilmu yang lebih mengenai landasan pendidikan inklusif.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Filosofis
Bhineka Tunggal Ika yaitu pengakuan Ke-bhinekaan antar manusia
yang mengemban misi tunggal untuk membangun kehidupan bersama yang
lebih baik. Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan)
hanyalah suatu bentuk Ke-bhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras,
bahasa, budaya atau agama. Di dalam individu berkelainan pastilah dapat
ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam individu
anak normal maupun anak berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu,
karena tidak ada makhluk yang diciptakan sempurna. Hal ini juga sebaiknya
diterapkan dalam sistem pendidikan yang memungkinkan adanya pergaulan
atau interaksi antarsiswa yang beragam sehingga mendorong sikap penuh
toleransi dan saling menghargai.
B. Landasan Yuridis
1. Peraturan Internasional
On December 13, 2006, the United Nations (UN) adopted the
Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). The
CRPD is the first comprehensive human rights treatry of the 21 st century,
and the first treaty to specifically protect the rights of people with
disabilities to equality and non-discrimination in all areas of life, using a
human rights approach to disability (Kanter, 2007).
Pada 13 Desember 2006, United Nations mengadopsi CRPD
(Convention on the Rights of Persons with Disabilities). CRPD adalah
perjanjian terlengkap pertama tentang hak manusia pada abad 21 dan
perjanjian pertama yang khusus melindungi hak orang-orang penyandang
disabilitas untuk mendapatkan kesetaraan dan anti-diskriminasi di semua
bagian kehidupan menggunakan pendekatan hak-hak penyandang
disabilitas. (Kanter, 2006)

6
2. Peraturan Nasional
Peraturan Nasional mengenai Pendidikan Inklusi tertuang melalui
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70
Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang
Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat
Istimewa yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Oktober 2009. Dalam
peraturan tersebut dijelaskan bahwa sistem pendidikan inklusif sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama
dengan peserta didik pada umumnya.
Dalam peraturan tersebut, tepatnya pada Pasal 3 dikatakan bahwa
setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan
sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak
mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya yang terdiri atas:
a. tunanetra;
b. tunarungu;
c. tunawicara;
d. tunagrahita;
e. tunadaksa;
f. tunalaras;
g. berkesulitan belajar;
h. lamban belajar;
i. autis;
j. memiliki gangguan motorik;
k. menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat
adikti lainnya;
l. memiliki kelainan lainnya;
m. tunaganda

7
Berdasarkan Peraturan tersebut, Pemerintah Kabupaten/Kota
menunjuk paling sedikit 1 sekolah dasar, dan 1 sekolah menengah
pertama pada setiap kecamatan dan 1 satuan pendidikan menengah untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif. Setiap satuan pendidikan juga
mengalokasikan setidaknya paling sedikit satu peserta ddik dalam satu
romobingan belajar yang diterima.
Dalam Pasal 10 ayat 1, dipaparkan kewajiban Pemerintah
Kabupaten/Kota wajib untuk menyediakan paling sedikit 1 orang guru
pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif. Pemerintah dan pemerintah
provinsi juga membantu meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan
khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif melalui:
a. Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (P4TK);
b. Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP);
c. Perguruan tinggi (PT)
d. Lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya di lingkungan pemerintah
daerah, Departemen Pendidikan Nasional dan/atau Departemen
agama;
e. Kelompok Kerja Guru/Kepala Sekolah (KKG, KKS), Kelompok
Kerja Pengawas Sekolah (KKPS), MGMP, MKS, MPS dan
sejenisnya.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor


70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang
Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat
Istimewa yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Oktober 2009 oleh
Menteri Pendidikan Nasional.

8
3. Peraturan Gubernur
Peraturan gubernur tentang pendidikan inklusif tertuang pada
Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 065 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Khusus, Pendidikan Layanan Khusus,
Pendidikan Inklusif, Pendidikan Anak Cerdas Istimewa Dan/Atau Bakat
Istimewa Lembaga Pendukung Pendidikan. Dalam peraturan tersebut
dijelaskan bahwa Pendidikan inklusif adalah suatu upaya secara sadar
dari pihak tertentu untuk mengembangkan potensi individu dengan
menggunakan segala sumber daya seoptimal mungkin dalam upaya
mempersiapkan kehidupan individu tersebut, dengan tekanan pada kaji
ulang sistem sekolah dan perubahannya yang sesuai untuk setiap individu
serta kompetensi dan materi pembelajaran disesuaikan potensi/kebutuhan
individu yang bersangkutan, upaya ini dilaksanakan di lingkungan tempat
tinggal peserta didik. Anak berkebutuhan khusus yang bersekolah pada
satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pembelajaran dan
evaluasinya disesuaikan dengan kondisi kemampuan yang bersangkutan.
Pemerintah Kabupaten/Kota menunjuk paling sedikit 1 (satu)
sekolah pada satuan dan jenjang pendidikan, atau bentuk lain yang
sederajat untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib
menerima peserta didik berkebutuhan khusus. Satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif menggunakan kurikulum tingkat
satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan
peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan minatnya. Pembelajaran
pada pendidikan inklusif mempertimbangkan prinsip-prinsip
pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik belajar peserta didik.
Penilaian hasil belajar bagi peserta didik pendidikan inklusif mengacu
pada jenis kurikulum tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pemerintah Provinsi dan atau Kabupaten/kota wajib menyediakan
paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan
pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif.
Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak ditunjuk

9
oleh pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1
(satu) orang guru pembimbing khusus. Pengelolaan pendidikan inklusif
bagi peserta didik berkebutuhan khusus mencakup perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pelaporan, dan pertanggungjawaban yang
meliputi komponen :
a. kurikulum ;
b. proses dan hasil pembelajaran ;
c. administrasi dan manajemen satuan pendidikan ;
d. organisasi kelembagaan satuan pendidikan ;
e. sarana dan prasarana ;
f. ketenagaan ;
g. pembiayaan Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) ;
h. peserta didik ;
i. peran serta masyarakat ;
j. lingkungan/budaya sekolah ; dan
k. rehabilitasi sosial, edukatif, dan medis.

4. Peraturan Walikota
Kota Banjarmasin telah memberlakukan Peraturan Daerah Kota
Banjarmasin Nomor 9 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemenuhan
Hak Penyandang Disabilitas. Bentuk pemenuhan hak penyandang
disabilitas yakni : perlindungan dan pemenuhan hak-hak terhadap jenis-
jenis disabilitas, pemenuhan hak pendidikan penyandang disabilitas, baik
pendidikan formal maupun non formal serta pemenuhan hak dan
kesempatan yang sama penyandang disabilitas untuk mendapatkan
pekerjaan dan melakukan pekerjaan yang layak. Perda ini sebagai
komitmen Pemerintah Kota Banjarmasin bersama dengan DPRD Kota
Banjarmasin dalam mewujudkan Kota Banjarmasin sebagai kota Ramah
Difabel.

10
5. Peraturan Bupati
Peraturan Bupati tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi
kalimantan Selatan Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas yang ditetapkan di banjarmasin
pada tanggal 31 Desember 2013. Dalam peraturan tersebut tepat pada
pasal 14 diterangkan bahwa Pemerintah Daerah dan Pemerintah
Kabupaten/Kota menjamin terselenggaranya pemberian kesempatan dan
perlakuan yang sama untuk memperoleh pendidikan melalui jalur
pendidikan inklusif kepada Penyandang Disabilitas. Dan pada pasal 15
ayat (1) Pemerintah Daerah dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota
melakukan monitoring dan evaluasi dalam pelaksanan kewajiban untuk
memenuhi hak pendidikan bagi Penyandang Disabilitas. Ayat (2) untuk
melaksnaakan monitoring dan evaluasi sebagaimana yang dimaksud ayat
(1), Pemerintah Daerah membentuk tim. Ayat (3) Tim sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) beranggotakan unsur Pemerintah daerah dan
Pemerintah kabupaten/Kota. Berdasarkan pasal 14 dan 15 tersebut,
Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota menjamin
terselenggaranya pendidikan inklusif dan dimonitoring oleh tim yang
beranggotakan unsur Pemerintah Daerah dan Pemerintah
Kabupaten/Kota itu sendiri.

C. Landasan Pedagogik
Telah dirumuskan bahwa pendidikan pada hakekatnya adalah usaha
sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan anak didik di
dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Jelaslah melalui
rumusan tersebut bahwa pada hakekatnya pendidikan itu perlu atau
dibutuhkan oleh siapa saja dan dimana saja. Pada pasal 3 Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah
untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

11
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan
atau berkebutuhan khusus dibentuk menjadi warga Negara yang demokratis
dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan
dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil dicapai jika sejak
awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus.
Walaupun minoritas, mereka harus diberi kesempatan belajar bersama teman
sebayanya tanpa ada perbedaan. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi
kesempatan bersama teman sebayanya.
D. Landasan Religius
Pendidikan inklusif yaitu pendidikan yang dilaksanakan di
sekolah/kelas reguler dengan melibatkan seluruh peserta didik tanpa kecuali,
meliputi: anak yang memiliki perbedaan bahasa, beresiko putus sekolah
karena sakit, kekurangan gizi, tidak berprestasi, anak yang berbeda agama,
penyandang HIV/AIDS, anak berkebutuhan khusus, anak yang berbakat dan
sebagainya. Mereka dididik dan diberikan layanan pendidikan yang sesuai
dengan cara yang ramah dan penuh kasih sayang tanpa diskriminasi.
Sebagai bangsa yang beragama, penyelenggaraan pendidikan tidak
dapat dilepaskan kaitannya dengan agama. Di dalam Al-Qur’an disebutkan
bahwa hakikat manusia adalah:
1. Manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.
2. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang makhluk yang individual
differences.
Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama lain dengan maksud
agar dapat saling berhubungan dalam rangka saling membutuhkan,
sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi: “Hai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi

12
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat: 13).
Adanya siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus pada
hakikatnya adalah manifestasi dari hakikat manusia sebagai individual
differences tersebut. Interaksi manusia harus dikaitkan dengan upaya
pembuatan kebajikan. Ada dua jenis interaksi antar manusia, yaitu kooperatif
dan kompetitif (QS. Al-Maidah, 5:2 & 48). Begitu pula dengan pendidika,
yang juga harus menggunakan keduanya dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan dan pembelajaran.
Bertolak dari ayat-ayat Al-Qur’an yang telah diuraikan, menunjukkan
bahwa ada kesamaan antara pandangan filosofis dengan religi tentang hakikat
manusia. Keduanya merupakan upaya menemukan kebenaran hakiki; filsafat
menggunakan nalar belaka sedangkan agama menggunakan wahyu.
Keduanya akan bertemu karena sumber kebenaran hakiki hanya satu yaitu
Tuhan Yang Maha Esa. Landasan filosofis dan religi akan bertemu untuk
selanjutnya dapat menjadi landasan dalam pemanfaatan hasil-hasil penelitian
sebagai produk kegiatan keilmuan, termasuk di dalamnya untuk
penyelenggaran pendidikan.

E. Landasan Psikologis
Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang didasari semangat terbuka
untuk merangkul semua kalangan dalam pendidikan. Pendidikan inklusi
merupakan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural yang
dapat membantu peserta didik mengerti, menerima, serta menghargai orang
lain yang berbeda suku, budaya, nilai, kepribadian dan keberfungsian fisik
maupun psikologis.
Tujuan luhur pendidikan inklusi yang berdasar pada keunikan setiap
individu termasuk dalam tahapan perkembangannya sejalan sekali dengan
paham pada ilmu psikologi yang di semua referensinya menekankan bahwa
setiap individu akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan ritme serta
karakteristik khas masing – masing.

13
F. Landasan Empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara
barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the
National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan
bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau
tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan
agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas
berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick,
1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk
melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena
karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg,
1994/1995). Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis
lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh
Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker
(1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah
penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik
terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman
sebayanya.
Prisoner (2003) yang melakukan survey pada kepala sekolah tentang
sikap mereka terhadap pendidikan inklusif menemukan bahwa hanya satu dari
lima sekolah tersebut yang memiliki sikap postif tentang penerapan
pendidikan inklusif. Dalam suatu penelitian menemukan bahwa guru-guru
dalam sekolah inklusif lebih memiliki sikap positif  terhadap peran guru
inklusi dan dampaknya daripada guru pada sekolah regular. Meyer (2001)
mengatakan bahwa siswa yang memiliki kecacatan yang cukup ditemukan
untuk memiliki keberhasilan  yang lebih besar manakala mereka memperoleh
pendidikan dalam lingkungan yang menerima mereka khususnya yang
berkaitan dengan hubungan sosial dan persahabatan mereka dengan
masyarakatnya.
Pendidik khusus secara empiris menguji dan mengembangkan
instruksional. Banyak siswa berprestasi rendah melakukannya dengan baik

14
dengan instruksi kelas umum yang menggabungkan beberapa elemen dari
prinsip-prinsip ini. Namun, bagi banyak siswa penyandang cacat, tingkat atau
intensitas aplikasi yang diperlukan dapat melebihi apa yang dapat secara
wajar diberikan melalui program pendidikan umum. Program yang
disesuaikan untuk masing-masing siswa. Proses ini disebut pengambilan
keputusan yang dirujuk secara individual. Pengambilan keputusan yang
dirujuk secara individual mungkin merupakan ciri khas dari praktik
pendidikan khusus yang efektif, yang mencontohkan nilai dasar dan mewakili
asumsi inti dari persiapan profesional pendidik khusus. "Efektif"
didefinisikan sebagai keuntungan yang signifikan secara statistik dalam
keterampilan khusus. Pengambilan keputusan yang dirujuk secara individual
membutuhkan guru untuk membuat penilaian tentang kemanjuran metode
pembelajaran untuk siswa sampai metode terbukti efektif untuk individu itu
dan mendorong harapan pembelajaran yang tinggi. Ini membutuhkan guru
untuk merencanakan dan membuat penyesuaian dan revisi besar yang sedang
berlangsung sebagai respon terhadap pembelajaran seorang siswa, dan itu
membutuhkan pengetahuan tentang berbagai cara untuk menyesuaikan
kurikulum, memodifikasi metode pembelajaran, dan memotivasi siswa.
Implementasi dari pendidikan inklusif menghasilkan keanekaragaman,
mengurangi diskriminatif, dan menyetarakan akses kualitas pendidikan untuk
semua anak. Di samping itu, pendidikan inklusif juga memberikan kesempatan
kepada semua orang atau mereka penyandang disabilitas. Pendidikan iklusif
bertujuan untuk mencapai kesetaraan bagi semua orang untuk memperoleh
pendidikan yang baik, termasuk mereka yang cacat. Hanya dengan pendidikan
inklusiflah dapat memfasilitasi kualitas pendidikan dan perkembangan sosial bagi
orang-orang yang cacat. Pendidikan inklusif tidak hanya memperkenalkan siswa
dengan disabilitas di sekolah. Dengan ini, siswa dapat menerima dan apresiasi.
Pendidikan inklusif membangun nilai-nilai dalam meningkatkan kapabilitas
seseorang dalam meraih objektivitas dan menghadapi keanekaragaman sebagai
kesempatannya untuk belajar. Siswa-siswa dengan disabilitas membutuhkan

15
dukungan yang cukup agar dia dapat berpartisipasi dalam kondisi yang sama
dalam pendidikan (UNESCO, 2009).
Solusi sempurna untuk mengurangi diskriminasi menurut UNICEF
adalah setiap siswa harus memiliki hak yang sama untuk hadir di sekolah.
Membangun sekolah yang mudah diakses dan terbuka adalah langkah pertama
yang paling penting dalam melaksanakan hak tersebut, tapi tidak dapat menjamin
hal itu dapat terealisasi. Kesempatan yang sama hanya dapat dicapai dengan
merubah rintangan dalam organisasi dan di dalam sekolah. Bahkan keberadaan
sekolah, ekonomi, sosial, dan faktor budaya, termasuk di dalamnya: jenis
kelamin, disabilitas, AIDS, latar belakang kehidupan, etnik, status minoritas,
yatim piatu dan anak-anak yang menjadi buruh sering dikaitkan dengan anak-anak
yang dikeluarkan dari sekolah. Pemerintah harus membuat peraturan untuk
mengembangkan undang-undang, polisi, dan layanan pendukung untuk
menghilangkan rintangan-rintangan dalam keluarga dan komunitas yang
menghalangi akses anak-anak untuk ke sekolah.

Gambar 1 Pemko Banjarmasin bersama Disabbility Advisor Of Asia Foundation


https://kumparan.com/banjarhits/pemko-banjarmasin-libatkan-difabel-dalam-
pembangunan-kota
Pemerintah Kota Banjarmasin mengundang Disabbility Advisor Of Asia
Foundation dalam penataan pembangunan tata kota menuju raham difabel di
Banjarmasin. Perwakilan kaum difabel ini mendatangi Balai Kota Banjarmasin
pada Selasa (28/8/2018).

16
Wali Kota Banjarmasin, Ibnu Sina, menuturkan pemerintah kota mesti
melibatkan kaum difabel untuk penataan kota agar nantinya pembangunan tepat
guna bagi difabel. Menurut dia, pembangunan kota butuh dukungan semua pihak,
salah satunya kaum difabel di Banjarmasin.
Ia ingin menjadikan Banjarmasin sebagai kota inklusi untuk menjamin
kelompok minoritas. “Penyandang disabilitas tidak merasa disingkirkan,
mendapat faslitas, dan layanan yang setara dan mendapat keberadaan mereka serta
perlindungan secara utuh,” ucap Ibnu Sina selepas menerima perwakilan difabel,
Selasa (28/8/2018).
Ketua Disabbility Advissor Off Asia Foundation, Bahrul Fuad,
menyampaikan baru saja mencoba akses trotoar yang dibangun tahun 2016 di
daerah Belitung Laut. Fuad menilai trotoar itu belum sepenuhnya ramah difabel.
Fuad telah melakukan survey atas akses trotoar di Jalan Belitung Laut
pada Senin (27/8). “Saya coba dan menurut saya ini belum sepenuhnya ramah
difabel, karena masih ada lahan yang tidak bisa dilalui oleh kursi roda,” ucap
Bahrul Fuad.
Selain melakukan survey ke trotoar, mereka bertandang ke pusat
perbelanjaan Duta Mall Banjarmasin serta beberapa ruas Jalan Ahmad Yani. Fuad
mengapresiasi Pemerintah Kota Banjarmasin melibatkan kaum difabel dalam
proyek pembangunan fasilitas ramah difabel.
“Agar nantinya benar-benar proyek tersebut bisa dinikmati seluasa
mungkin bagi penyandang disabilitas seperti saya,” ucap Bahrul Fuad.
Sementara Kordinator Lapangan Tim SAPDA (Sentra Advokasi
Perempuan Difabel Anak), Fatum Ade menyebut kesadaran masyarakat sangat
diharapkan demi kelancaran pemerintah kota dalam mewujudkan Banjarmasin
sebagai kota Inklusi Ramah Difabel.
"Jalur trotoar untuk ramah difabel di Belitung Selatan yang sudah bagus
dan laik pakai kemudian dibuat lagi jalan masuk untuk toko sehingga jalur difabel
tadi terhambat. Ini merupakan kurangnya kesadaran masyarakat akan keberadaan
kami," kata Fatum.

17
Banjarmasin Susun Roadmap Kota Inklusi Menuju Kota Ramah Difabel
yakni :

http://jdih.banjarmasinkota.go.id/berita.php?id=65

Workshop ini merupakan kerjasama Pemerintah Kota Banjarmasin dengan


SAPDA (Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak) Yogyakarta. Dan di
inisiasi Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Republik
Indonesia.
Latar belakang Penyusunan Roadmap Kota Inklusi Menuju Kota
Banjarmasin Ramah Difabel yakni :
1. Pemerintah Kota Banjarmasin sudah mempunyai komitmen sebagai kota
inklusi.
2. Kota Banjarmasin sudah mendeklarasikan sebagai kota inklusi semenjak
Tahun 2013.
3. Mewujudkan kota inklusi adalah sebuah proses dengan tahapan-tahapan yang
harus dilalui dan dijalankan bersama.
4. Sebuah proses yang membutuhkan dukungan dari multi pihak yaitu Pimpinan
Daerah, SKPD, Masyarakat termasuk penyandang Disabilitas.
Adapun tujuan menjadikan Banjarmasin kota inklusi adalah : Kota yang
menjamin kelompok minoritas, penyandang disabilitas dan masyarakat miskin
merasakan kenyamanan, tidak disingkirkan, mendapat faslitas dan layanan yang
setara dan mendapatkan keberadaan mereka mendapatkan perlindungan secara

18
utuh. Dan kota yang bisa memberikan layanan, kemudahan bagi semua orang
untuk bermobilitas dan berinteraksi sosial.                
Dalam sambutan Kepala Bappeda Kota Banjarmasin Ir. Nurul Fajar
Desira, CES atas nama Walikota Banjarmasin menyampaikan bahwa pengertian
Difabel lebih positif daripada selama ini digunakan pada umumnya Disabilitas.
Kata Disabilitas (Dis-Ability) mengandung pengertian negatif, diskriminatif dan
ketidakmampuan. Sedangkan Difabel (Different-Ability) yang berarti berbeda tapi
mampu.
Kota inklusi harus memiliki tiga aspek utama yang saling berkaitan
signifikan yakni : (1) Kebijakan yang inklusi berpihak kepada kelompokrentan
yang marginaltermasuk penyandang difabel (2) Layanan publik yang
inklusiramah terhadap kelompok rentan misalkan lansia, anak, perempuan hamil
dan penyandang difabel disetiap tingkatan dan sektor (3) Masyarakatnya juga
harus inklusi yang mampu menerima berbagai bentuk keberagaman dan
perbedaan, dan mengakomodasikan dalam berbagai tananan dan infrastuktur yang
ada.
Program ini merupakan Kerjasama anatara Pemerintah Kota Banjarmasin
dengan Pemerintah Australia.
Hadir pada acara ini Walikota Banjarmasin Ibnu Sina, Wakil Walikota
Banjarmasin Hermansyah, Perwakilan The Asia Foundation Sujana Royat (Senior
Advisor PNPM Peduli), Angie Bexley, Marina Mory, Australian Embassy DFAT,
Natalie Cohen, Elena Rese, Andini Mulyawati, Direktur SAPDA Yogyakarta
Nurul Sa’adah dan jajarannya, Kepala Bappeda Kota Banjarmasin (Ketua Forum
SKPD Peduli Disabilitas Kota Banjarmasin) Ir. Nurul Fajar Desira, CES, Kepala
Dinas Bina Marga Kota Banjarmasin Ir. Gt. Ridwan Syofyani, MM, Kepala Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja Kota Banjarmasin Drs. Agus Surono, M.Si, Kepala
Dinas Cipta Karya dan Perumahan Kota Banjarmasin Ir. Ahmad Fanani
Saifuddin, MT, Perwakilan Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin, Perwakilan
Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin.
Walikota Banjarmasin Ibnu Sina menyampaikan apresiasi dan merasa
terbantu untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di Kota Banjarmasin. Salah

19
satunya terkait permasalahan dan keberadaan penyandang difabel. Dalam
kesempatan ini berharap ada saran selama program ini berlangsung di Kota
Banjarmasin.
Di kesempatan ini Angie Bexley dari The Asia Foundation menyampaikan
apresiasi atas komitmen Pemerintah Kota Banjarmasin dalam mewujudkan Kota
Inklusi. Ada kerjasama antara masyarakat dan pemerintah yang terwujud dalam
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin untuk Difabel.
Kota Banjarmasin telah memberlakukan Peraturan Daerah Kota
Banjarmasin Nomor 9 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak
Penyandang Disabilitas. Perda ini sebagai komitmen Pemerintah Kota
Banjarmasin bersama dengan DPRD Kota Banjarmasin dalam mewujudkan Kota
Banjarmasin sebagai kota Ramah Difabel. Bentuk pemenuhan hak penyandang
disabilitas yakni : Perlindungan dan pemenuhan hak-hak terhadap jenis-jenis
disabilitas, Pemenuhan hak pendidikan penyandang disabilitas, baik pendidikan
formal maupun non formal serta Pemenuhan hak dan kesempatan yang sama
penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan dan melakukan pekerjaan
yang layak.
Adanya pembentukan Forum SKPD Peduli Disabilitas sebagai sebuah
langkah awal pengarusutamaan isu disabilitas di lingkungan Pemerintahan Kota.
Bahwa isu difabel adalah tanggung jawab seluruh SKPD sehingga program
masing-masing SKPD mampu berperspektif ramah difabel. Program-program
SKPD yang ramah difabel terwujud dalam beberapa bidang, diantaranya :
Pendidikan : Program Pendidikan Inklusi, dari 640 sekolah se Kota
Banjarmasin sudah ada sampel (piloting) 9 sekolah inklusi dan hingga bulan Juli
2016 berkembang menjadi 37 sekolah dari TK, SD, SMP, SMA dan SMK di lima
kecamatan se Kota Banjarmasin. Untuk pengadaan guru-guru khusus inklusi,
Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin bekerjasama dengan Universitas Lambung
Mangkurat melalui Program Studi Pendidikan Luar Biasa (PLB) dan KKG (Guru
Khusus Inklusi). Ke depannya meminta semua sekolah reguler menerima difabel
ringan, pengadaan guru bimbingan khusus, dan peningkatan materi-materi
pelatihan.

20
Kesehatan : Membuat sarana untuk difabel di puskesmas-puskesmas.
Hingga Tahun 2016 sudah ada 14 tahap akreditasi puskesmas ramah difabel dari
target 26 tahap akreditasi. Sisanya 12 tahap akreditasi di Tahun 2017.
Infrastruktur : Pembangunan jalan dan jembatan beton sepanjang 27 km
dan lampu penerangan, sesuai Peraturan Walikota (Perwali).
Dengan SKPD berkontribusi terhadap Difabel, Kota Banjarmasin bisa
menjadi Kota Ramah Difabel, Nyaman Difabel dan Rumah bagi penyandang
Difabel. Sejak Tahun 2012 Kota Banjarmasin menunjukkan peningkatan yang
bagus dalam program-program inklusi dan dengan menyempurnakan data untuk
penyusunan menyusun Roadmap Kota Inklusi, Kota Banjarmasin bisa
mendeklarasikan sebagai Pilot Project di Indonesia sebagai Kota Ramah Difabel.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menempatkan anak luar
biasa atau anak dengan kebutuhan khusus belajar bersama denga anak normal
dalam satu kelas di sekolah umum yang dekat dengan tempat tinggalnya.
Penerapan pendidikan inklusif di Indonesia memiliki beberapa landasan
yaitu: landasan landasan filosofis, landasan yuridis, landasan pedagogik,
landasan religius, landasan psikologis, dan landasan empiris.
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia
adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan
atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhinneka Tunggal Ika.
Landasan yuridis tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009, Peraturan Gubernur Kalimantan
Selatan Nomor 065 Tahun 2012, Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor
9 Tahun 2013, dan Peraturan Bupati tertuang dalam Peraturan Daerah
Provinsi kalimantan Selatan Nomor 17 Tahun 2013. Secara empiris, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik
terhadap akademik maupun sosial anak berkebutuhan khusus dan teman
sebayanya.
B. Saran
Setelah membahas dan menyimpulkan makalah ini, maka kami
menyarankan agar memperhatikan dan memahami semua permasalahan ini.
Hendaknya kita mengaplikasikan semua apa yang telah kita bahas itu ke
dalam kehidupan sehari-hari.

22
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat PLB, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi, Pengembangan


Kurikulum, (Jakarta: Depdiknas, 2004), h.14
Kanter, etc. 2015. The Right To Inclusive Education Under International Law:
Following Italy’s Lead In Journal Of International Special Need
Education. Syracuse University.
Kusnandar, Dede. 2011. Pentingnya Pendidikan Inklusif. Melalui
http://dedekusn.com. Diakses pada 11 September 2018.
National Research Council. 1997. Educating One and All: Students with
Disabilities and Standards-Based Reform. Washington, DC: The National
Academies Press. doi: 10.17226/5788.
Nihai, Adelina. 2017. The Right To Innclusive Eduction Equal Opportunities For
All. University Of Craiova, Faculty Of Law. RSP NO.53.2017:125-134.
Sapariadi, dkk. 1982. Mengapa Anak Berkebutuhan Khusus Perlu Mendapat
Pendidikan. Jakarta: Balai Pustaka.
Utomo dan Imam Yuwono. 2015. Pendidikan Inklusif ( Paradigma Pendidikan
Ramah Anak). Banjarmasin : Pustaka Banua.
Wiyono, Bambang Dibyo. 2011. Pendidikan Inklusif. Malang: Program Studi
Bimbingan dan Konseling Program Pascasarjana Universitas Negeri
Malang.

23

Anda mungkin juga menyukai