Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PENDIDIKAN INKLUSI
(AKDK6501)

ELEMEN-ELEMEN PENDIDIKAN INKLUSIF

DOSEN PENGAMPU:
Utomo, M.Pd.
Rohmah Ageng Mursita, M.Pd.

OLEH:
( KELOMPOK 3)
Agnes Surya Hartono (1610121220001)
Ika Ragillia Pravita Sari (1610121320003)
Puteri Najariyani (1610121220020)
Rusdatul Nida (1610121320006)
M. Reza Pahlawan (1610121310004)
Selviy Noraini (1610121220024)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2018
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat,
rahmat, dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan
makalah ini. Sholawat serta salam tak lupa tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, kerabat dan pengikut
beliau hingga akhir zaman.
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk melaksanakan tugas
perkuliahan Pendidikan Inklusi dan agar mahasiswa mampu memahami, dan
mengetahui lebih mendalam mengenai elemen-elemen pendidikan inklusi.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Utomo, M.Pd. dan
Ibu Rohmah Ageng Mursita, M.Pd. sebagai dosen pengampu mata kuliah
Pendidikan Inklusi, serta teman–teman yang telah membantu menyelesaikan
makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum terlalu sempurna dan
mungkin memiliki kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran
agar pembuatan makalah kedepannya bisa lebih baik dan sempurna.
Wassalamuaiaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Banjarmasin, September 2018

Tim Penyusun
(Kelompok 3)

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I..................................................................................................................1
PENDAHULUAN..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan Makalah...............................................................2
BAB II.................................................................................................................3
PEMBAHASAN................................................................................................3
2.1 Pengertian Pendidikan Inklusif.........................................................3
2.2 Elemen-elemen Pendidikan Inklusif.................................................3
BAB III.............................................................................................................19
PENUTUP........................................................................................................19
3.1 Kesimpulan........................................................................................19
3.2 Saran..................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................20

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Pendidikan adalah
langkah mencerdaskan kehidupan bangsa demi terwujudnya cita-cita bangsa
Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu,
setiap bangsa harus mengeyam pendidikan, bukan hanya anak tanpa
berkebutuhan khusus, namun juga Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Pendidikan dilakukan dalam proses pembelajaran, secara formal
maupun tidak formal. Secara formal, pendidikan sekurang-kurangnya di
jalani selama 9 tahun, dari SD/Sederajat hingga SMP/Sederajat. Pendidikan
bangsa Indonesia merupakan tanggungjawab setiap bangsa yang terdidik,
artinya seluruh bangsa Indonesia yang telah merasakan cerahnya pendidikan
harus melanjutkan proses pendidikan dengan mengajarkannya ke generasi
berikutnya. Generasi Indonesia meliputi seluruh bangsa Indonesia yang
masih muda, tidak terkecuali Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Anak Bekebutuhan Khusus (ABK) seringkali dianggap tidak berpotensi
melanjutkan estafet pembangunan bangsa. Padahal, mereka sejatinya
merupakan makhluk Tuhan seperti manusia lainnya yang dibekali dengan
kelebihan dan kekurangan. Adanya bimbingan mengembangkan bakat dan
potensinya secara tepat dapat membuat mereka berprestasi dan dibanggakan.
Oleh sebab itu, lahirlah pendidikan inklusi sebagai wadah mengakomodasi
anak sesuai dengan kebutuhannya, dari segala jenis perbedaan peserta didik.
Pendidikan inklusi merupakan model pendidikan yang memberi
kesempatan bagi siswa yang berkebutuhan khusus untuk belajar bersama
siswa-siswa lain seusianya yang tidak berkebutuhan khusus. Pendidikan
inklusi lahir atas dasar prinsip bahwa layanan sekolah seharusnya
diperuntuhkan untuk semua siswa tanpa menghiraukan perbedaan yang ada,
baik siswa dengan kondisi kebutuhan khusus, perbedaan sosial, emosional,
kultural, maupun bahasa.

1
Pendidikan tergantung kepada elemen yang mendukungnya, diantaranya
guru, siswa, kurikulum, lingkungan dan lain sebagainya. Elemen pendidikan
itulah yang dapat diperbaiki demi terciptanya paradigma pendidikan
humanis, yaitu pendidikan inklusi. Makalah ini membahas mengenai elemen
pendidikan inklusi yang membuatnya dapat mengembangkan bakat dan
potensi setiap anak sesuai kebutuhannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut:

1. Apa saja elemen pendidikan inklusi?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui elemen pendidikan inklusi.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif adalah sebuah paradigma pendidikan yang


humanis. Pendidikan inklusi adalah sebuah falsafah pendidikan yang dapat
mengakomodasi anak sesuai dengan kebutuhannya. Pada tataran operasional
layanan pendidikannya menggeser pola segregasi menuju pola inklusi, hal
ini mengandung konsekuensi logis terhadap penyelenggaran pendidikan di
sekolah umum dan sekolah kejuruan, antara lain sekolah harus lebih terbuka,
ramah terhadap anak, dan tidak diskriminatif.

2.2 Elemen-elemen Pendidikan Inklusif


A. Kurikulum yang Fleksibel
Sekolah regular yang menyelenggarakan pendidikan inklusi ramah
anak harus mampu mengembangkan kurikulum yang fleksibel atau
disesuaikan dengan kebutuhan anak, karena hambatan dan kemampuan
yang dimilikinya bervariasi. Fleksibilitas kurikulum sangat diperlukan,
terlebih jika sekolah penyelenggara pendidikan inklusif ada siswa yang
berkebutuhan khusus (ABK).
Ada empat model kurikulum pendidikan inklusif untuk
disesuaikan dengan kondisi ABK, yaitu:
1. Duplikasi kurikulum
Model duplikasi kurikulum adalah model kurikulum untuk
ABK yang menggunakan kurikulum yang ada di sekolah reguler.
Model ini diterapkan karena anak mempunyai tingkat kesulitan yang
setara dengan siswa rata-rata/reguler. Model kurikulum ini cocok
untuk peserta didik yang tidak mengalami hambatan intelektual,
seperti pada anak tunanetra, tunarungu wicara, tunadaksa, dan
tunalaras. Alasannya peserta didik tersebut tidak mengalami hambatan
intelegensi. Namun demikian kecenderungannya perlu memodifikasi

3
proses dan modifikasi evaluasi. Misalnya peserta didik tunanetra
menggunakan huruf Braille, dan tunarungu wicara menggunakan
bahasa isyarat, bahasa bibir (lips reading), maupun penggunaan
komunikasi total (komtal) dalam penyampaiannya.
2. Modifikasi Kurikulum
Modifikasi kurikulum adalah penggunaan kurikulum siswa
rata-rata/reguler yang disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan/potensi ABK. Modifikasi kurikulum baik sebagian atas
seluruh perangkat kurikulum mulai dari ranah tujuan (misalnya
Kompetensi Dasar, Indikator materi pembelajaran), isi kurikulum
proses pembelajaran, maupun bentuk evaluasinya. Tidak semua ABK
memerlukan modifikasi pada seluruh perangkat kurikulum.
Kecenderungannya hanya memerlukan modifikasi pada sebagian
perangkat kurikulum saja. Anak yang memerlukan modifikasi pada
seluruh komponen kurikulumnya yaitu anak yang mengalami
ketunagrahitaan ABK jenis ini cenderung memerlukan modifikasi
mulai dari tujuan kurikulum, isi kurikulum, proses pembelajaran dan
evaluasi. Bentuk modifikasi kurikulum yang diperuntukan bagi anak
tunagrahita yaitu berkisar pada penurunan tingkat kesulitan materi
pembelajaran yang berimbas pada semua aspek perangkat kurikulum.
Bagiamana untuk ABK yang lain? Modifikasi kurikulum
untuk ABK yang tidak mengalami hambatan intelegensi,
modifikasinya disesuaikan dengan hambatan dan potensi anak. Bisa
jadi untuk komponen tujuan dan isi kurikulum tidak memerlukan
modifikasi, tetapi pelaksanaan pembelajaran atau evaluasi
memerlukan modifikasi kurikulum.
3. Substitusi Kurikulum
Substitusi kurikulum adalah penggantian sebagian komponen
kurikulum yang ada (kurikulum bagi anak reguler) untuk disesuaikan
bagi ABK. Model kurikulum ini mengisyaratkan beberapa bagian
kurikulum anak rata-rata ditiadakan dan diganti dengan yang kurang

4
lebih setara. Model kurikulum ini untuk ABK dengan melihat apakah
kurikulum yang ada dibutuhkan oleh ABK dan juga disesuaikan
dengan situasi dan kondisinya. Jika memang materi yang ada tidak
dibutuhkan oleh ABK atau ABK yang tidak mungkin untuk
melakukannya, maka dipikirkan materi penggantinya.
4. Omisi Kurikulum
Yaitu bagian dari kurikulum umum untuk mata pelajaran
tertentu ditiadakan total, karena tidak memungkinkan bagi ABK
untuk dapat berfikir setara dengan anak rata-rata.

Fleksibilitas kurikulum bagi anak berkebutuhan khusus tertentu


misalnya bagi peserta didik yang memiliki hambatan kecerdasan perlu
diimplementasikan dalam bentuk Program Pembelajaran Individual (PPI).
PPI merupakan program pembelajaran yang disusun sesuai kebutuhan
individu dengan bobot materi berbeda dari kelompok dalam kelas dan
dilaksanakan dalam setting klasikal. Setelah menyusun rencana
pelaksanaan pembelajaran atau program pembelajaran individual,
selanjutnya guru melakukan penyesuaian-penyesuaian strategi,
pendekatan, model, metode, media pembelajaran, penilaian, dan lain
sebagainya. Artinya, metode, media, pendekatan juga harus sesuai dengan
kebutuhan peserta didik karena kemampuannya juga berbeda. Berikut
adalah gambaran kecenderungan model kurikulum bagi ABK:

KECENDERUNGAN MODEL KURIKULUM ABK


(Kategori ABK yang tidak mengalami hambatan kecerdasan)

MODEL/ Tujuan Proses Evaluasi


KOMPON Mate
EN KI/S K indikat ri Metod Medi Soa Car Ala
K D or e a l a t

5
Duplikasi v v V v v

Modifikas v v v v
i

Substitusi v

Omisi

KECENDERUNGAN MODEL KURIKULUM ABK


(Kategori ABK yang mengalami hambatan kecerdasan)

MODEL/ Tujuan Proses Evaluasi


KOMPON Mate
EN KI/S K indikat ri Metod Medi Soa Car Ala
K D or e a l a t

Duplikasi

Modifikas v v V v V v v v v
i

Substitusi v

Omisi v

Secara umum semua anak berkebutuhan khusus yang bersekolah


di setiap satuan pendidikan ada yang menggunakan kurikulum standar,
kurikulum di atas standar, dan kurikulum di bawah standar.
N Kurikulum IQ Keterangan

6
O
Kurikulum di atas Ujian
1 IQ Scala Wechlers 130 ke atas
standar Nasional
IQ Scala Wechlers di atas 70 Ujian
2 Kurikulum standar
sampai kurang dari 130 Nasional
Kurikulum di bawah Ujian
3 IQ Scala Wechlers 70 ke bawah
standar Nasional

Penggunaan Kurikulum PDBK berdasarkan IQ

Kurikulum yang digunakan di sekolah penyelenggaraan


pendidikan inklusif adalah kurikulum yang disesuaikan (fleksibilitas
kurikulum) dengan kebutuhan setiap peserta didik yang meliputi standar
kompetensi lulusan dan standar isi (Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar).
Karakteristik satuan pendidikan yang melakukan fleksibilitas
kurikulum antara lain :

a. Memiliki kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang


mengakomodasi kebutuhan semua peserta didik termasuk peserta
didik berkebutuhan khusus (PDBK).
b. Memiliki KTSP yang lebih peka dalam mempertimbangkan
keragaman peserta didik agar pembelajarannya relevan dengan
kemampuan dan kebutuhan peserta didik.
c. Melaksanakan asesmen yaitu proses pengumpulan informasi tentang
seorang peserta didik yang akan digunakan untuk membuat
pertimbangan dan keputusan yang berhubungan dengan peserta didik
tersebut.
d. Selain memiliki rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), satuan
memiliki program pembelajaran individual (PPI) yang disusun sesuai
dengan kebutuhan peserta didik dengan bobot materi berbeda dari
kelompok dalam kelas dan dilaksanakan dalam setting klasikal.

7
e. Merancang atau membuat bahan ajar atau materi pendidikan yang
sensitive gender dan tidak mempromosikan peran gender yang
mendiskriminasi.
f. Guru mampu menggunakan berbagai pendekatan mengajar yang
sesuai dengan kebutuhan semua peserta didik termasuk peserta didik
berkebutuhan khusus.
g. Menjamin tersedianya fasilitas, kurikulum, buku dan pengajaran yang
sesuai baik untuk peserta didik laki-laki maupun perempuan.
h. Melakukan penyesuaian-penyesuaian materi, cara dan waktu dalam
penilaian hasil belajar.
i. Memiliki tim pengemang kurikulum yang komprehensif, antara lain
beranggotakan guru pembimbing khusus, guru sekolah umum, kepala
sekolah, orang tua, dan ahli yang berkaitan dengan kebutuhan khusus
peserta didik.
j. Menyediakan program khusus bagi peserta didik yang mempunyai
kebutuhan khusus, termasuk peserta didik yang berkesulitan belajar
atau peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa (PKBI).
k. Bekerjasama dengan pusat sumber (resource center) untuk
meningkatkan kemampuan guru dalam memahami keberagaman
peserta didik, identifikasi dan asesmen, PPI, penguasaan program
khusus (orientasi dan mobilitas untuk peserta didik tunanetra, bina
komunikasi persepsi bunyi dan irama untuk peserta didik tunarungu,
bina diri untuk peserta didik tunagrahita ringan dan sedang, bina diri
dan bina gerak untuk peserta didik tunadaksa, bina pribadi dan social
untuk peserta didik tunalaras) dan teknis pendampingan khusus bagi
peserta didik berkebutuhan khusus.
l. Menyediakan sarana dan prasarana khusus yang sesuai dengan
kebutuhan khusus peserta didik (contoh untuk peserta didik tunanetra :
riglet dan pen, serta mesin tik Braille).

8
m. Orang tua peserta didik terlibat dalam penyusupan dan dalam
pembelajaran peserta didik yang diimplementasikan dalam berbagai
bentuk kegiatan.
n. Disamping menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk
peserta didik pada umumnya, sekolah/guru menentukan juga KKM
berdasarkan baseline untuk peserta didik berkebutuhan khusus yang
low function dan high function.
B. Layanan Individual
Tidak dipungkiri bahwa, pelaksanaan pembelajaran akan lebih
efektif dan efisien jika dilaksanakan secara klasikal. Rasio guru-siswa
menjadi perdebatan yang sampai saat ini belum meiliki titik temu. Di
Indonesia, biasanya hanya terdapat satu orang guru untuk menangani
seluruh siswa dalam satu kelas. Di sisi lain, beberapa ahli pendidikan
mengatakan bahwa pendidikan yang baik setidaknya di dalam satu kelas
terdapat dua orang guru yang menangani siswa. Apalagi jika salah satu
ada di kelas ada anak yang memerlukan kebutuhan khusus karena
memiliki hambatan belajar.
Kajian tentang efektifitas dan efesiensi sering kali mengabaikan
mutu pendidikan, kekuatan guru untuk menangani siswa, dan hal-hal lain
yang berkaitan dengan kualitas pendidikan. Seringkali kajian tentang
efektifitas dan efesiensi hanya mempertimbangkan faktor ekononomi,
efesiensi tenaga, dan efesiensi waktu. Maka dari itu Indonesia dalam satu
kelas sudah terbiasa satu orang guru ada yang menangani 45 siwa, bahkan
di beberapa sekolah bisa lebih dari itu.
Di beberapa negara yang telah memulai pendidikan inklusif
dengan baik (Australia dan Norwegia), satu kelas setidaknya dua orang
guru untuk menangani sekita 20-25 siswa. Hal itu merupakan standar
umum. Jika didalam kelas ada siswa yang cukup berat, bisa lebih dari dua
orang guru yang menanganinya.
Teori tentang layanan individual dalam setting pendidikan
inklusif, dimaksudkan jika ada siswa yang tidak bisa mengikuti

9
pembelajaran secara klasikal. Siswa yang tidak bisa mengikuti
pembelajaran secara klasikal terbut maka dilayani kebutuhan
pendidikannya dengan layanan individual (layanan pendidikan yang
berbeda dengan anak pada umumnya). Anak-anak yang paling banyak
mendapatkan layanan individual yaitu anak-anak yang termasuk kategori
ABK.
Sebenarnya layanan individual tidak hanya diberlakukan pada
anak berkebutuhan khusus (ABK permanen) saja, namun bisa jadi bagi
anak yang sebenarnya tidak berkebutuhan khusus permanen (ABK
temporer). ABK temporer adalah anak yang mengalami hambatan belajar
tetapi sifatnya sementara dan jika ditangani dengan benar maka anak akan
bisa mengikuti pembelajaran layaknya anak-anak pada umumnya (anak
reguler). Jika anak sudah kembali seperti layaknya anak-anak pada
umumnya maka anak tersebut tidak disebut ABK lagi.
Bagaimana implementasi layanan individual di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif? Untuk menjawab pertanyaan tersebut
perlu diawali pemahaman bahwa sekolah yang menyelenggarakan
paradigma pendidikan inklusif tidak dipermanenkan untuk menghomogen
siswa dan juga sebisa mungkin anak-anak dalam keadaan apapun tetap
dilayani kebutuhan pendidikannya dalam satu kelas. Menurut Sapon
Shevin (2004), anak-anak akan belajar dengan nyaman jika belajar
dengan teman sebaya. Berdasarkan hal tersebut maka sebisa mungkin
layanan individual tetap dilakukan didalam kelas dimana teman-teman
lainnya belajar secara klasikal. Jika memang ada yang mengalami
hambatan belajar dan hambatan belajarnya tersebut menggangu anak-anak
lainnya (misalnya ada anak Autis sedang tantrum), maka diperkenankan
untuk sementara layanan individual dilakukan diluar kelasnya yaitu
dengan cara ditarik dari kelasnya dan jika telah selesai maka anak tersebut
dikembalikan ke kelasnya.
Contoh prasarana layanan individual untuk ABK pemanen
maupun ABK temporer :

10
a. Anak Tunanetra
Untuk peserta didik tunanetra diperlukan ruang untuk
melaksanakan kegiatan asesmen,  konsultasi, orientasi dan mobilitas,
remedial teaching, latihan menulis braille, latihan mendengar, latihan
fisik, keterampilan, dan penyimpanan alat.
b. Anak Tunarungu
Untuk peserta didik tunarungu / gangguan komunikasi diperlukan
ruang untuk melaksanakan kegiatan asesmen,  konsultasi, latihan bina
wicara, bina persepsi bunyi dan irama, remedial teaching,  latihan
fisik, keterampilan, dan penyimpanan alat.
c. Anak Tunagrahita
Untuk peserta didik tunagrahita / anak lamban belajar diperlukan
ruang untuk melaksanakan kegiatan assesmen,  konsultasi, latihan
sensori, bina diri, remedial teaching,  latihan perseptual, keterampilan,
dan penyimpanan alat.
d. Anak Tunadaksa
Untuk peserta didik tunadaksa diperlukan ruang untuk
melaksanakan kegiatan assesmen,  konsultasi, latihan fisik, bina diri,
remedial teaching,  keterampilan, dan penyimpanan alat.
e. Anak Tunalaras
Untuk peserta didik tunalaras diperlukan ruang untuk
melaksanakan kegiatan assesmen,  konsultasi, latihan perilaku, terapi
permainan, terapi fisik, remedial teaching, dan penyimpanan alat.
f. Anak Cerdas Istimewa
Di samping memberdayakan atau mengoptimalkan penggunaan
prasarana yang ada apabila di sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif peserta didiknya ada yang berkecerdasan istimewa, prasarana
khusus yang perlu disediakan adalah ruang assesmen.
g. Anak Berbakat Istimewa
Untuk anak berbakat istimewa di samping memberdayakan atau
mengoptimalkan penggunaan prasarana yang ada apabila di sekolah

11
penyelenggara pendidikan inklusif peserta didiknya ada yang
berbakat, prasarana khusus yang perlu disediakan adalah ruang
assesmen.
h. Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar
Untuk peserta didik yang Mengalami Kesulitan Belajar diperlukan
ruang untuk melaksanakan kegiatan assesmen,  dan remedial. Sebagai
catatan, pada dasarnya di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
cukup disiapkan satu unit ruang sebagai ”Resource Room” atau ruang
sumber.
C. Mengakomodir Perbedaan
Sesuai dengan filosofi pendidikan inklusif, bahwa pada dasarnya
setiap manusia yang satu dengan manusia yang lain pasti berbeda.
Beberapa diantaranya ada yang mirip. Mirip bukan berarti sama.
Perbedaan merupakan sesuatu yang kodrati. Secara garis besar perbedaan
dibagi menjadi dua, yaitu perbedaan yang “wajar” dan perbedaan yang
“ekstrim”.
Perbedaan yang wajar maksudnya perbedaan yang biasa dan
sebagian besar menjadi ciri pembeda untuk mengenal seseorang.
Beberapa contoh yang termasuk kategori perbedaan yang wajar antara
lain : warna kulit, tinggi badan, bentuk wajah, latar belakang ekonomi,
agama, dan lain-lain. Selama ini perbedaan kategori wajar sudah tidak
menjadi masalah di sekolah, terutama di sekolah umum. Misalnya siswa
yang berasal dari latar belakang ekonomi yang miskin sudah dapat
bersekolah. Begitu juga di sekolah-sekolah umum sudah terbiasa dengan
siswa yang berbeda-beda warna kulit. Bagaimana dengan perbedaan yang
ekstrim?
Perbedaan yang ekstrim dimaknai sebagai sebuah perbedaan yang
mencolok. Seseorang yang termasuk kategori perbedaan yang ekstrim
bisa jadi hanya orang tersebut yang mengalami atau memiliki. Contohnya
ada satu anak yang hanya mempunyai kaki satu, sedangkan anak-anak
lainnya kakinya lengkap. Contoh lainnya ada anak yang mempunyai IQ di

12
bawah 70 (tunagrahita), sedangkan anak-anak lainnya ber-IQ rata-rata
(90-110). Perbedaan yang ekstrim paling banyak berasal dari mereka yang
termasuk ABK (anak berkebutuhan khusus). Perbedaan yang ekstrim
masih sering dipermasalahkan di sekolah umum. Mereka yang berbeda
ekstrim (ABK) masih banyak yang bersekolah di SLB. Di era pendidikan
inklusif ini, bagaimana mereka bisa ditangani di sekolah umum.
Sekolah yang baik adalah sekolah yang siswa-siswanya heterogen,
bukan homogeny. Beberapa sekolah yang berusaha untuk
menghomogenkan siswanya tetap saja tidak bisa seratus persen
homogeny. Contohnya sekolah hanya menerima anak-anak yang
mempunyai rangking 10 besar, ada juga sekolah yang hanya menerima
anak-anak yang gifted. (penulis yakin, kemampuan anak pasti berbeda
walaupun hasil tes IQ yang sama). Kedua contoh fenomena tersebut bisa
jadi homogeny dalam IQ, namun tetap saja masih terdapat keunikan pada
masing-masing individu. Kesimpulannya manusia ternyata tidak bisa
dihomogenkan. Kehidupan yang normal adalah kehidupan yang
heterogen.
Kondisi sekolah (lebih spesifik kondisi kelas) yang heterogen,
sangat memungkinkan berbagai strategi atau metode pembelajaran yang
mengarah kepada pendewasaan sosial bagi peserta didik akan bisa
diterapkan. Salah satu contohnya yaitu metode belajar dengan teman
sebaya atau tutor teman sebaya. Bagaimana bisa terjadi jika seluruh
siswanya adalah mempunyai kemampuan yang tinggi, atau seluruh
siswanya mempunyai kemampuan yang rendah? Jika seluruh siswanya
mempunyai kemampuan yang tinggi, sangat sulit untuk menerapkan
metode belajar teman sebaya, sebab mereka tidak perlu kawan lain
mengajarinya. Sebaliknya jika seluruh siswa satu kelas kemampuannya
rendah, maka tidak ada yang mampu untuk mengajarinya. Fenomena
tersebut sering terjadi di sekolah umum.
D. Kerjasama dengan Berbagai Pihak

13
Idealnya, implementasi pendidikan inklusif disetiap sekolah perlu
didukung oleh sebuah lembaga supporting Salah satu lembaga yang
diharapkan muncul adalah resource center (pusat sumber penanganan
ABK). Penanganan anak-anak pada umumnya dalam setting pendidikan
inklusif, bisa jadi cukup ditangani oleh sekolah reguler penyelenggara
pendidikan inklusif. Namun jika di sekolah penyelenggara inklusif
tersebut ada ABK, maka penanganannya perlu mendapatkan dukungan
dari pihak lain, salah satunya yaitu lembaga pusat sumber.
Pusat sumber sebaiknya dibentuk oleh pemerintah, agar bisa
menjangkau lebih banyak sekolah-sekolah reguler. Setidaknya setiap
kabupaten/kota (distrik) terdapat satu lembaga pemerintah dibawah dinas
pendidikan (setingkat UPT). Munculnya gagasan lembaga pusat sumber
di Indonesia selama ini masih belum menggembirakan.
Sebenarnyagagasan berdirinya lembaga pusat sumber sudah dirintis
setidaknya tahun 2000-an. Gagasan pusat sumber akan memanfaatkan
sekolah-sekolah luar biasa. Beberapa sekolah luar biasa ada yang ditunjuk
sebagai ”senter”, ada yang ditunjuk sebagai ”pendukung” dan ada yang
ditunjuk sebagai ”imbas”.
Pusat Sumber idealnya mempunyai bangunan sendiri yang
dibangun oleh pemerintah dan atau masyarakat/swasta yang digunakan
secara khusus sebagai Pusat Sumber, namun karena untuk mempercepat
keberadaannya dan pemanfatannya serta dalam rangka efektivitas dan
efisiensi maka Pusat Sumber yang ada sekarang di Indonesia banyak
menggunakan Sekolah Luar Biasa yang telah ada. SLB yang dijadikan
Pusat Sumber disebut juga dengan ”Centra PK dan PLK”.
Fungsi Pusat Sumber adalah :
1. Memberikan informasi/penerangan kepada sekolah-sekolah (sekolah
umum dan SLB) mengenai pendidikan inklusif.
2. Menyediakan bantuan asesmen yang rutin terhadap peserta didik
berkebutuhan khusus.

14
3. Memberikan layanan dan bimbingan kependidikan bagi peserta didik
berkebutuhan khusus.
4. Menjadi konsultan bagi semua pihak yang membutuhkan informasi,
layanan, bimbingan, dan penanganan khusus.
5. Mengadakan kerjasama dengan Dinas/Instansi/LSM dalam upaya
implementasi pendidikan inklusif.
6. Melakukan inovasi di bidang Pendidikan Luar Biasa/Pendidikan Khusus
dan Pendidikan Inklusif.
7. Melakukan penelitian dan pengembangan implementasi pendidikan
inklusif, serta strategi dan metode pembelajaran yang sesuai diterapkan
pada layanan pendidikan bagi semua anak di dalam dan luar kelas.
8. Merencanakan dan menyelenggarakan pelatihan bagi guru sekolah reguler
dan guru SLB serta pihak lain yang membutuhkan pelatihan mengenai
pendidikan inklusif dan atau pendidikan khusus.
9. Menyediaan (memproduksi) alat bantu mengajar/alat bantu khusus/media
pembelajaran khusus dan alat kehidupan sehari-hari lainnya untuk anak-
peserta didik berkebutuhan khusus.
10. Menyediakan bantuan kepada berbagai pihak untuk meningkatkan
layanan kepada anak/peserta didik termasuk mereka yang berkebutuhan
khusus.
11. Menjadi Fasilitator dan mediator bagi semua pihak dalam implementasi
pendidikan inklusif.
12. Memberi dan menerima rujukan/rekomendasi/referal dalam layanan
pendidikan inklusif.
13. Mengatur guru yang ada di SLB untuk melakukan tugas tambahan
sebagai Guru Pembimbing Khusus di Sekolah Umum yang
menyelenggarakan pendidikan inklusif.
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif (ada atau belum ada
pusat sumber) tetap harus menjalin kerjasama dengan pihak-pihak lain
yang memang mendukung terselenggaranya layanan yang prima terhadap
perkembangan peserta didik. Misalnya dengan PUSKESMAS, Perguruan

15
Tinggi, Psikolog, tokoh-tokoh masyarakat, lembaga keberbakatan
(misalnya ada anak didik yang mempunyai potensi/bakat musik), dan lain
sebagainya.
Kerjasama antara guru-guru di Sekolah Luar Biasa dan guru-guru
di sekolah umum juga diperlukan dalam upaya meningkatkan
pembelajaran anak. Kerjasama antara guru dan orang tua serta kerjasama
orang tua di antara para orang tua itu sendiri akan memperkaya semua
yang terlibat serta akan menjamin pendidikan inklusif yang lebih baik lagi
dan lebih bermakna. Kerjasama dengan masyarakat seperti tokoh-tokoh
masyarakat, organisasi-irganisasi penyandang cacat, organisasi-organisasi
sosial lainnya, dalam berbagai bidang sangat diperlukan dan akan
memberikan pengayaan dalam implementasi pendidikan inklusif.
Mayarakat merupakan konteks menyeluruh, termasuk peserta didik
berkebutuhan khusus hidup dan belajar, dan menerapkan apa-apa yang
telah diajarkan di sekolah. Keterlibatan keluarga, tokoh masyarakat dan
anggota masyarakat lainnya sangat penting dalam implementasi
pendidikan inklusif.
E. Bekerja Tim
Paradigma pendidikan inklusif sangat menyadari bahwa manusia
merupakan makhluk yang mempunyai keterbatasan. Manusia tidak
mungkin mempunyai semua keahlian dan kemampuan yang diperlukan
dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Kebutuhan keahlian yang
diperlukan di dalam paradigma pendidikan inklusif tidak mungkin hanya
dipegang oleh sekelompok bahkan tidak mungkin oleh satu orang guru.
Oleh karena itu setiap orang yang terlibat dalam pendidikan harus
berkerjasama atau bekerja secara team dan sangat mustahil bisa bekerja
sendiri. Semua keberhasilan merupakan hasil karya bersama sesuai
dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing.
Siapa yang harus bekerjasama? Tentu semua orang yang terlibat,
seperti kepala sekolah, guru komite, orang tua siswa, staf sekolah, bahkan
orang lain yang sehari-hari berkerja di lingkungan sekolah seperti tukang

16
kebun, penjual makanan di kantin dan sebagainya. Semua orang harus
mendapat pemahaman tentang paradigma pendidikan inklusif agar mereka
tidak enggan mengimplementasikan paradigma pendidikan inklusif agar
mereka tidak enggan mengimplementasikan pradigma pendidikan inklusif
dan justru diharapkan untuk memberikan dukungan yang positif serta
bekerja sesuai dengan kewenangan masing-masing, selalu koordinasi jika
memerlukan kewenangan dari pihak lain.
Pendidikan inklusif akan berjalan dengan baik jika prinsip
piramida inklusif terpenuhi dengan baik. Ketiga dimensi dalam piramida
inklusif harus berjalan seiring dan tidak bisa hanya sebagian saja
dilaksanakan. Piramida tersebut yaitu :
1. Kebijakan inklusif
Paradigma pendidikan inklusif akan berjalan dengan baik jika
didukung oleh para pengambil kebijakan serta pejabat yang
berwenang menentukan arah kebijakan pendidikan, pengawas, kepala
sekolah dan pihak-pihak lain penentu kebijakan pendidikan.
2. Budaya inklusif
Paradigma pendidikan inklusi harus mengakar disetiap orang
yang terlibat dalam pelaksanaan pendidikan. Sekolah dapat
memprogramkan sosialisasi tentang seluk beluk pendidikan inklusif
secara berkelanjutan bagi setiap guru, komite, staf dan orang lain
yang terlibat.
Pendidikan inklusif harus menjadi budaya setiap orang yang
terlibat. Budaya inklusif terwujud dengan dukungan dan sebuah
komitmen selalu mengatasi hambatan.
3. Praktek secara nyata
Paradigma pendidikan inklusif hanya akan menjadi sebuah
wacana saja jika tidak diimplementasikan secara nyata dalam
kehidupan di sekolah. Setiap program sekolah harus bernuansa
inklusif. Praktek nyata merupakan wujud keberhasilan tertinggi dalam

17
hirarki pelaksanaan pendidikan inklusif. Jangan hanya teori saja,
namun paradigma pendidikan inklusif nyata ada di sekolah.
F. Perlunya Guru Pendamping Khusus
Konsep tentang adanya GPK terbilang masih baru di Indonesia.
Sebenarnya paradigma pendidikan inklusif mengisyaratkan adanya
profesi-profesi pendidik diberbagai bidang. Selain profesi sebagai guru
kelas, Guru Bimbingan Konseling, dan guru bidang studi, maka muncul
adanya tuntutan profesi GPK. GPK lebih banyak bertugas menangani
hambatan belajar terutama hambatan belajar yang disebabkan karena anak
didik tergolong ABK.
Teori tentang paradigma pendidikan inklusif sebenarnya terdapat
profesi yang disebut itenerant teacher lebih banyak bertugas sebagai
konsultan dan berkedudukan/berkantor di pusat sumber. Sedangkan
special teacher adalah guru khusus yang mempunyai kualifikasi
penanganan ABK yang ditugaskan/berkantor di sekolah umum/reguler.
Special teacher direkrut dari sarjana special need education( di Indonesia
Sarjana PLN) atau direkrut dari guru reguler yang spesifik mendapatkan
training tentang penanganan ABK. Guru khusus tersebut langsung secara
praktis bekerjasama dengan guru kelas untuk menangani hambatan anak
belajar anak termasuk hambatan belajar dari anak-anak yang tergolong
ABK. Jabatan iteneran teacher berasal dari guru-guru yang mempunyai
prestasi sebagai special teacher. Di Indonesia sepertinya yang bekembang
adalah GPK yang lebih mirip itenerant teacher sepertinya masih jauh.

18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari paparan kami di atas, dapat di tarik kesimpuan semua elemen yang
ada pada pendidikan inklusif yakni Welcoming Teacher, Kerjasama,
Kurikulum yang Fleksibel, Layanan Individual, Mengakomodir perbedaan,
Guru pendidikan Khusus, serta Aksesibilitas baik fisik maupun nonfisik
semua nya bertujuan agas terbentuknya Wlcoming School yang dapat
menerima dengan baik ABK. Dan juga agar masyarakat dari semua kalangan
dengan berbagai keterbatasan yang dialami dapat menempuh pendidikan
yang sama sehingga dapat tercapai pemerataan dalam pendidikan di
Indonesia.
3.2 Saran

Menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,


kedepannya kami akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang
makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang dapat
dipertanggung jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa
untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah
dijelaskan.

19
DAFTAR PUSTAKA
Dika96. (2010, November 29). Pendidikan Inklusi. Dipetik Oktober 15, 2017, dari
Dika96's Blog: https://dika96.wordpress.com/2010/11/29/pendidikan-inklusi/
Mansur, S. (2013, April 1). Pendidikan Inklusi Dalam Perspektif Islam. Dipetik Oktober
15, 2017, dari LOMBOKITA: http://arsip.lombokita.com/blog-
warga/pendidikan-inklusi-dalam-perspektif-islam
Masyitah, S. (2014, Januari 1). Pendidikan Inklusi. Dipetik Oktober 15, 2017, dari
Blogspot.co.id: http://masyitah-masyithah.blogspot.co.id/2013/07/pendidikan-
inklusi-menurut-perpsektif.html
Utomo. (2016). Pendidikan Inklusif. Banjarmasin: Pustaka Banua.
Yuwono, Imam & Utomo. 2016. Pendidikan Inklusif. Banjarmasin : Pustaka Banua.
Sistem Dukungan Pendidikan Inklusif. (Internet). (Terdapat di:
https://googleweblight.com/i?
u=https://suaidinmath.wordpress.com/2010/05/08/sistem-dukungan-pendidikan-
inklusif/&hl=id-ID). [Diakses pada 27 September 2018].
Asep dan Sri Widati. 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunadaksa.
Bandung: PT. Luxima Metro Media.
Kustawan, Dedy. 2012. Pendidikan Inklusi & Upaya Implementasinya. Jakarta Timur:
PT Luxima Metro Media.
Yuwono, Imam & Utomo. 2015. Pendidikan Inklusif Paradigma Pendidikan Ramah
Anak. Banjarmasin: Pustaka Banua.
Muhammad, Jamila. 2008. Special Education For Special Children. Bandung: PT.
Mizan Publika.

20

Anda mungkin juga menyukai