Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ELEMEN PENDIDIKAN INKLUSI

Dosen Pengampu:
Utomo, M.Pd.
Rohmah Ageng Mursita, M.Pd.

Oleh:
Arlin Dwi Yani (1610121120002)
Elia Hervina Anri (1610121120003)
Siti Juhroh (1610121120009)
Wardhatul Jannah (1610121120012)
Clinton Purba (1610121310001)
Frans Septian Hasiholan Sianipar (A1C415044)
Maulida Fatmah (A1C415204)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji hanya milik Allah tuhan semesta


alam. Kami panjatkan kehadirat-Nya yang telah memberikan limpahan rahmat,
karunia dan kekuatan sehingga makalah dengan judul “Elemen Pendidikan
Inklusif” dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini diajukan guna
memenuhi tugas matakuliah Pendidikan Inklusi.
Dalam pembuatan makalah ini, Kami menyadari banyaknya bantuan dari
berbagai pihak sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Untuk itu dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasi kepada pihak-pihak lain yang
telah membantu atau memberikan dukungan baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam pembuatan makalah ini.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari
sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat menambah
wawasan pembacanya mengenai perkembangan teori atom umunya dan strukut
atom menurut Rutherford dan Bohr khususnya.

Banjarmasin, Oktober 2018

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan..............................................................................................2
1.4. Manfaat Penulisan............................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
PEMBAHASAN................................................................................................................3
2.1. Welcoming School (Sekolah yang Ramah)......................................................3
2.2. Welcoming Teacher dan Pembelajaran yang Ramah.....................................5
2.3. Menekankan Kerjasama daripada Persaingan..............................................6
BAB III............................................................................................................................12
PENUTUP.......................................................................................................................12
3.1. Kesimpulan.....................................................................................................12
3.2. Saran...............................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Pendidikan adalah langkah
mencerdaskan kehidupan bangsa demi terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia
yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, setiap bangsa harus
mengeyam pendidikan, bukan hanya anak tanpa berkebutuhan khusus, namun
juga Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Pendidikan dilakukan dalam proses pembelajaran, secara formal maupun
tidak formal. Secara formal, pendidikan sekurang-kurangnya di jalani selama 9
tahun, dari SD/Sederajat hingga SMP/Sederajat. Pendidikan bangsa Indonesia
merupakan tanggungjawab setiap bangsa yang terdidik, artinya seluruh bangsa
Indonesia yang telah merasakan cerahnya pendidikan harus melanjutkan proses
pendidikan dengan mengajarkannya ke generasi berikutnya. Generasi Indonesia
meliputi seluruh bangsa Indonesia yang masih muda, tidak terkecuali Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK).
Anak Bekebutuhan Khusus (ABK) seringkali dianggap tidak berpotensi
melanjutkan estafet pembangunan bangsa. Padahal, mereka sejatinya merupakan
makhluk Tuhan seperti manusia lainnya yang dibekali dengan kelebihan dan
kekurangan. Adanya bimbingan mengembangkan bakat dan potensinya secara
tepat dapat membuat mereka berprestasi dan dibanggakan. Oleh sebab itu, lahirlah
pendidikan inklusi sebagai wadah mengakomodasi anak sesuai dengan
kebutuhannya, dari segala jenis perbedaan peserta didik.
Pendidikan inklusi merupakan model pendidikan yang memberi kesempatan
bagi siswa yang berkebutuhan khusus untuk belajar bersama siswa-siswa lain
seusianya yang tidakberkebutuhankhusus.Pendidikan inklusi lahir atas dasar
prinsip bahwa layanan sekolah seharusnya diperuntuhkan untuk semua siswa
tanpa menghiraukan perbedaan yang ada, baik siswa dengan kondisi kebutuhan
khusus, perbedaan sosial, emosional, cultural, maupun bahasa.

1
Pendidikan tergantung kepada elemen yang mendukungnya, diantaranya
guru, siswa, kurikulum, lingkungan dan lain sebagainya. Elemen pendidikan
itulah yang dapat diperbaiki demi terciptanya paradigma pendidikan humanis,
yaitu pendidikan inklusi. Makalah ini membahas mengenai elemen pendidikan
inklusi yang membuatnya dapat mengembangkan bakat dan potensi setiap anak
sesuai kebutuhannya.

1.2. Rumusan Masalah


Apa saja elemen pendidikan Inklusi?

1.3. Tujuan Penulisan


Mengetahui elemen pendidikan inklusi.

1.4. Manfaat Penulisan


Menambah wawasan mengenai elemen pendidikan inklusi sebagai bekal
seorang pendidik untuk menjalankan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa,
termasuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Welcoming School (Sekolah yang Ramah)


Prinsip utama Sekolah Ramah Anak adalah non diskriminasi kepentingan,
hak hidup serta penghargaan terhadap anak. Sebagaimana dalam bunyi pasal 4
UU No.23/2002 tentang perlindungan anak, menyebutkan bahwa anak
mempunyai hak untuk dapat hidup tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi. Sekolah Ramah Anak adalah sekolah yang
terbuka melibatkan anak untuk berpartisipasi dalam segala kegiatan, kehidupan
sosial, serta mendorong tumbuh kembang dan kesejahteraan anak.
Harris dkk. (2004:3) menyatakan bahwa, dengan menciptakan lingkungan
belajar yang ramah, semua anak, dapat belajar secara efektif. Hal ini berarti bahwa
dengan menciptakan sekolah sebagai lingkungan belajar yang ramah semua anak
dapat belajar dengan efektif. Menjadi inklusif, harus: (1) tidak mengecualikan
atau diskriminatif terhadap dasar perbedaan; (2) menyediakan pendidikan yang
gratis dan wajib, terjangkau dan dapat diakses; dan (3) menghargai dan meyambut
keragaman dan meresponnya sebagai sebuah kesempatan dan bukannya sebagai
sebuah masalah. Hal ini memiliki beberapa implikasi terhadap apa yang harus
dilakukan sekolah ramah-anak:
1. Mereka harus memiliki sebuah mekanisme untuk mengidentifikasi dan
mendaftar yang terabaikan - sebuah sekolah yang berpusat pada anak dan
EMIS berbasis masyarakat yang mengumpulkan data pada semua anak,
usia 0-6 tahun dan seterusnya, kondisi keluarga mereka, riwayat kesehatan
mereka, dan prestasi belajar mereka. Dengan berbasis lokal, struktur
tingkat masyarakat dan data seperti sensus pemerintah pedesaan, atau
menjadi fungsi dari asosiasi orangtua-guru-masyarakat atau komite
sekolah, atau menjadi tanggung jawab dari para siswa itu sendiri,
pemetaan rumah untuk masyarakat dengan anak-anak tidak bersekolah dan
bekerja dengan para guru agar mereka dapat terdaftar.

3
2. Mereka harus memiliki sebuah sekolah yang berbudaya inklusif yang
sehat, protektif, dan lingkungan belajar - higienis, aman, bebas dari
hukuman fisik, dan menghargai perbedaan dan keragaman. Tidak
terkecuali pada perbedaan dasar (bahasa, gender, pendapatan, kasta,
kemampuan). Oleh karena itu, menolak segala jenis test yang berarti -
keuangan atau akademis yang menjadi semakin lazim di sekolah di seluruh
wilayah, dimulai dari TK; misalnya, survei UIS sekolah mengungkapkan
bahwa performa pada test masuk sekolah menjadi sebuah prioritas utama
di hampir 13% sekolah di Filipina dan Sri Lanka.
3. Mereka harus mempromosikan yang lebih bertarget, kegiatan yang
afirmatif terhadap pelajar yang terabaikan. Ini dapat menghilangkan biaya
sekolah dan biaya lainnya bagi beberapa atau (lebih baik) bagi seluruh
siswa, program makanan sekolah yang terencana, bantuan transportasi,
membantu guru mengenali anak-anak dengan masalah tingkah laku sosial,
kecakapan konseling dasar bagi para guru, penyediaan guru bantu dan
bantuan khusus lainnya (disebut juga "alat bantu") bagi anak-anak dengan
disabilitas, dan remediasi bagi anak-anak dengan kesulitan belajar seperti
lambat tulis dan baca.
4. Mereka harus mampu untuk menilai perbedaan pembelajaran di antara
para siswa dan kemudian mempersonalisasikan instruksi untuk
mencocokkan dengan perbedaan-perbedaan ini. Ini dapat berarti
memahami bahasa ibu para siswa (bahkan ketika lebih dari satu yang
digunakan di dalam kelas), menyediakan bantuan khusus bagi anak-anak
dengan disabilitas (misalnya dengan menempatkan anak-anak dengan
gangguan penglihatan dan pendengaran di bangku depan), dan mengajar
dalam cara yang lebih tanggap gender dalam konteks di mana jenis
kelamin peserta didik membuat sebuah perbedaan.
5. Mereka harus memiliki sebuah disain dan infrastruktur sekolah yang
inklusif. Secara umum, dan dengan beberapa pengecualian (misalnya, di
Kamboja, yang berfokus khusus pada para korban ranjau), sekolah-sekolah
di Asia dan Pasifik jarang didisain untuk melayani keragaman para

4
siswanya yang hadir; isu sanitasi dan higinitas yang berhubungan dengan
anak-anak perempuan tetap sering terabaikan (Shaeffer, 2004).

2.2. Welcoming Teacher dan Pembelajaran yang Ramah


Sampai saat ini profesi pendidik masih mendapat tempat yang mulia di
tengah-tengah masyarakat, walaupun diyakini tidak sebaik pada zaman dahulu.
Perkembangan zaman, termasuk perkembangan teknologi membuat pergeseran
cara pandang masyarakat terhadap guru. Apapun pergeseran yang ada, profesi
guru tetap harus ada, sebab guru menjadi jembatan peralihan generasi ke generasi
selanjutnya. Oleh karena itu, guru tetap dituntut kompetensinya. Setidaknya da
empat kompetensi yang banyak dituntut oleh masyarakat, yaitu kompetensi
kepribadian, kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, dan kompetensi
sosial. Bahkan sejak zamannya Ki Hajar Dewantara, guru dituntut untuk “ing
ngarsa sing tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”.
Munculnya paradigma pendidikan inklusif, selain kompetensi di atas, guru
dipersyaratkan mempunyai predikat welcoming teacher. Welcoming teacher dapat
dimaknai menjadi guru yang ramah. Guru yang ramah bukan hanya berarti guru
yang lemah lembut dan santun, akan tetapi mempunyai arti yang lebih luas yaitu
guru yang dapat memenuhi kebutuhan peserta didik. Secara garis besar kebutuhan
siswa dapat dibagi menjadi tiga ranah yaitu kebutuhan pengembangan kognitif,
afektif, dan psikomotor. Pendidikan sering kali mengabaikan kebutuhan afektif
dan biasanya lebih menonjolkan pemenuhan kebutuhan kognitif, bahkan sering
kali guru tidak memahami akan kekuatan kognitif seseorang.
Kebutuhan afektif anak antara lain kebutuhan akan rasa kasih saying, harga
diri, penghargaan, dan sebagainya. Hal-hal yang bisa dilakukan untuk menjadi
guru yang berstatus “Welcoming Teacher” adalah:
1. Guru harus mengetahui kondisi fisik maupun psikis peserta didik,
termasuk kesehatan, inteligensi anak, sifat/karakter anak, dan sebagainya.
2. Guru yang penolong, bukan guru yang mudah memberikan
hukuman/panisment.
3. Guru yang tidak mempermalukan anak.

5
4. Guru yang dapat mengatasi jika ada anak yang dipermalukan oleh anak
lain.
5. Guru yang empati terhadap hambatan belajar siswa.
6. Guru yang sesegera mungkin berusaha mengatasi hambatan belajar siswa.
7. Guru yang selalu memperhatikan perkembangan anak.
8. Guru yang dapat menjalin hubungan baik dengan orang tua anak dan
pihak-pihak lain.
Inti dari guru yang ramah adalah guru yang sangat dinantikan
kehadirannya oleh siswa. Jika guru tidak hadir maka siswa merasa ada
sesuatu yang hilang. (Imam Yuwono dan Utomo, 2016)

2.3. Menekankan Kerjasama daripada Persaingan


Sifat kompetisi (bersaing) memang selalu ada pada diri manusia. Hal ini
sudah menjadi kodrati. Namun, jika sifat tersebut tidak dikelola dengan baik akan
bisa menimbulkan dampak yang tidak baik bagi diri seseorang maupun bagi orang
lain. Sebagian orang mengatakan bahwa persaingan berpotensi menimbulkan
sesuatu yang menyakitkan. Berbagai fenomena persaigan terbukti membuat
kondisi yang sering tidak kondusif, misalnya dalam pertandingan sepakbola. Para
pemain bisa saja suportif, namun terkadang para supporter yang sering tidak bisa
menerima kekalahan sehingga justru membuat kegaduhan bahkan tidak jarang
berujung kerusakan dan beberapa orang menjadi korban kematian.
Nuansa kompetisi juga selalu ada di lembaga pendidikan yang disebut
sekolah. Kompetisi sering dijadikan cara oleh sekolah maupun orangtua untuk
memotivasi belajar siswa. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kompitisi cukup
efektif untuk bisa meningkatkan motivasi belajar, bahkan prestasi belajar siswa.
Sejauh ini belum dikaji secara mendalam apakah motivasi belajar dan prestasi
belajar yang didorong dengan kompetisi berdampak kepada perkembangan
lainnya, misalnya perkembangan social dan emosi. Kompetisi bisa jadi dapat
menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Hal ini terkadang membuat seseorang
tergadaikan kejujurannya karena untuk meraih yang terbaik disekolahnya.

6
Secara kodrati manusia juga dituntut untuk selalu bisa kerjasama. Dalam
ilmu social, manusia disebut sebagai makhluk sosial, maknanya bahwa manusia
ternyata tidak bisa hidup sendiri dan selalu memrlukan orang lain. Aktifitas
kerjasama dalam belajar menjadi unsur yang penting dalam
mengimplementasikan paradigm pendidikan inklusif. Jika kita analisa, sebenarnya
kehidupan yang normal justru paling banyak dituntut untuk kerjasama. Misalnya
didunia pekerjaan, fenomena kerjasama antar karyawan sangat dipersyaratkan
agar perusahaan bisa berkembang. Atas dasar gambaran tersebut, selama ini
terdapat kontradiktif antara fenomena dilembaga pendidikan dengan tempat
dimana para lulusannya nanti bekerja. Disatu sisi, nuansa persaingan sangat
kentara disekolah dalam rangka mendewasakan peserta didik, namun disisi lain
dimana mereka nantinya bekerja dituntut untuk kerjasama. Memang tetap ada saja
kompetisi didunia kerja. Namun kerjasama menjadi sebuah prioritas. Motivasi
belajar siswa akan lebih langgeng dan bermakna jika didorong oleh sebuah
kebutuhan. Guru sebaiknya memotivasi belajar siswa dengan memunculkan
bahwa belajar sebagai sebuah kebutuhan.
Kerjasama akan mendidik siswa menjadi manusia yang santun, berlatih
empati dan tentu untuk mengasah kepedulian sosial. Kerjasama juga akan
membuat setiap siswa untuk saling melengkapi dan menerima. Kerjasama
membuat semua siswa tidak ada yang tidak berperan. Manusia tidak ada yang
sempurna. Pada diri manusia tentu ada kelebihan dan kekurangan. Kesempurnaan
akan tercipta jika kita melakukan kerjasama. Membiasakan kerjasama membuat
manusia berbudaya, berkarakter, saling menghargai, saling menyayangi sesama.
Jika seseorang mempunyai kelebihan, hidup akan bermakna jika saling berbagi.
Jika manusia ada sesuatu yang kurang, tentu membutuhkan uluran/bantuan orang
lain. Betapa indahnya jika kerjasama tercipta dalam kehidupan. (Imam Yuwono
dan Utomo,2016)

2.1. Aksesibilitas Fisik dan Non-Fisik


Target Akseibilitas adalah terciptanya fasilitas baikfisik maupun non fisik
yang membuat para pengguna merasa aman, mudah, dan nyaman. Aksesibilitas

7
merupakan kunci kemudahan manusia. Lembaga sekolah sebenarnya juga
termasuk fasilitas umum. Salah satu undang-undang yang mengatur tentang
aksesibilitas bagi penyadang disabilitas yaitu undang-Undang No 28 tahun 2002
tentang Bangunan Gedung. Pasal 31 dinyatakan: (1) penyediaan fasilitas
aksesibiitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam
pasal 27 ayat (2) merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali
rumah tinggal. (2) fasilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), termasuk penyediaan fasilitas aksesibilitas dan fasilitas
lainnya dalam bangunan gedung dan lingkngannya. (3) ketentuan mengenai
penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Selama ini penciptaan lingkungan fisik maupun nonfisik memang lebih
diperuntkkan bagi penyandang disabilitas, sebab masyarakat yang tidak
mengalami disabilitas memamg tidak terlalu memerlukan aksesibilitas. Seperti
pendapat Tarsidi (2008) : “ sesungguhnya para penyandang ketunaan tidak
mengharapkan dan tidak pula memerlukan lebih banyak hak daripada orang-orang
pada umumnya. Mereka hanya menghendaki agar dapat bergerak di dalam
lingkungannya dengan tingkat kenyamanan, kemudahan dan keselamatan yang
sama dengan warga masyarakat lainnya, memperoleh kesempatan yang sama
untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang normal, dapat semandiri mungkin
dalam batas-batas kemampuannya.”
Penyandang disabilitas (ABK) yang paling banyak memerlukan aksesibilitas
fisik adalah penyandang tunadaksa dan tunanetra. Kedua jenis penyandang
tersebut banyak mengalami hambatan mobilitas. Bentuk aksebilitasnya tergantung
dari jenis hambatannya. Misalnya anak-anak tunarungu memerlukan aksebilitas
yang dapat mengatasi akibat ketunarunguannya. Anak-anak hiperaktif dan anak-
anak yang mempunyai hambatan perilaku memerlukan tingkat keamanan
lingkungan yang baik. Anak-anak dengan hambatan kecerdasan, misalnya
tunagrahita memerlukan kemudahan imformasi/petunjuk.
Hambatan arsitektural mempengaruhi tiga kategori kecacatan utama, yaitu:

8
1. kecacatan fisik, yang mencakup mereka yang menggunakan kursi roda,
semi-ambulant, dan mereka yang memiliki hambatan manipulatoris yaitu
kesulitan gerak otot.
2. kecacatan sensoris (alat indra) yang meliputi orang tunanetra dan
tunarungu;
3. kecacatan intelektual (tunagrahita).
Hambatan yang dihadapi oleh para pengguna kursi roda sebagai akibat dari
desain arsitektural saat ini mencakup:
1. Perubahan tingkat ketinggian permukaan yang mendadak seperti pada
tangga atau parit.
2. Tidak adanya pertautan landai antara jalan dan trotoar.
3. Permukaan jalan yang renjul (misalnya karena adanya bebatuan)
menghambat jalannya kursi roda.
4. Pintu yang terlalu berat dan sulit dibuka.
5. Tekan tombol yang terlalu tinggi.

Masalah-masalah Yang Dihadapi Penyandang Semi-ambulant Semi-


ambulant adalah tunadaksa yang mengalami kesulitan berjalan tetapi tidak
memerlukan kursi roda. Hambatan arsitektural yang mereka hadapi antara lain
mencakup: (1)Tangga yang terlalu tinggi. (2) Lantai yang terlalu licin. (3)
Bergerak cepat melalui pintu putar atau pintu yang menutup secara otomatis. (4)
Pintu lift yang menutup terlalu cepat. (5) Tangga berjalan tanpa pegangan yang
bergerak terlalu cepat.
Hambatan Arsitektural bagi Tunanetra Yang dimaksud dengan tunanetra
adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga
mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak cukup baik untuk dapat
membaca tulisan biasa meskipun sudah dibantu dengan kaca mata. Kesulitan-
kesulitan yang dihadapi para tunanetra sebagai akibat dari desain arsitektural
selama ini antara lain: - Tidak adanya petunjuk arah atau ciri-ciri yang dapat
didengar atau dilihat dengan penglihatan terbatas yang menunjukkan nomor lantai
pada gedung-gedung bertingkat. - Rintangan-rintangan kecil seperti jendela yang

9
membuka ke luar atau papan reklame yang dipasang di tempat pejalan kaki. -
Cahaya yang menyilaukan atau terlalu redup. - Lift tanpa petunjuk taktual (dapat
diraba) untuk membedakan bermacam-macam tombol, atau petunjuk suara untuk
menunjukkan nomor lantai.
Masalah Yang Dihadapi Tunarungu Para tunarungu tidak mungkin dapat
memahami pengumuman melalui pengeras suara di bandara atau terminal
angkutan umum. Mereka juga mengalami kesulitan membaca bibir di auditorium
dengan pencahayaan yang buruk, dan mereka mungkin tidak dapat mendengar
bunyi tanda bahaya.
Masalah yang dihadapi tunagrahita adalah para penyandang kecacatan
intelektual akan mengalami kesulitan mencari jalan di dalam lingkungan baru jika
di sana tidak terdapat petunjuk jalan yang jelas dan baku.
Aksesibilitas Di Indonesia ini penjelasan atas Undang-undang RI Nomor 4
Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Pasal 10:1, menyatakan: "Penyediaan
aksesibilitas bagi penyandang cacat diupayakan berdasarkan kebutuhan
penyandang cacat sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta standar yang
ditentukan. Standardisasi yang berkenaan dengan aksesibilitas ditetapkan oleh
instansi yang berwenang. Penyediaan aksesibilitas berupa fisik dan non- fisik,
antara lain sarana dan prasarana umum serta informasi yang diperlukan bagi
penyandang cacat untuk memperoleh kesamaan kesempatan." Ketentuan di atas
mengandung implikasi sebagai berikut:
Aksesibilitas bagi penyandang cacat mencakup bidang yang seluas-luasnya
sesuai dengan kebutuhan penyandang cacat dengan berbagai jenis dan derajat
kecacatannya. Akan tetapi, pelaksanaan peraturan tersebut harus diatur lebih
lanjut oleh instansi yang berwenang, dalam hal ini terutama Departemen
Pekerjaan Umum dan departemen lain yang terkait setelah dikeluarkanya
Peraturan Pemerintah mengenai hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15,
"Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah." Apakah aksesibilitas bagi penyandang cacat di Indonesia
sudah terwujud? Penjelasan atas Pasal 15 mengatakan, "Peraturan Pemerintah
yang dimaksud dalam pasal ini diupayakan dalam waktu tidak terlalu lama sudah

10
diundangkan. Mengenai aksesibilitas, khususnya sarana dan prasarana umum
yang sebelum diundangkannya Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya
belum ada, diberikan kesempatan mengadakan penyesuaian dengan ketentuan
Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya selambat-lambatnya lima tahun
sejak Peraturan Pemerintah diundangkan." Secara teknis, aksesibilitas pada
fasilitas gedung dan lingkungan telah diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan
Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Namun demikian,
implementasi dokumen-dokumen kebijakan tersebut masih terlalu langka.

11
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Semua elemen yang ada pada pendidikan inklusif yakni Welcoming Teacher
dan Pembelajaran yang Ramah, Kerjasama, serta Aksesibilitas baik fisik maupun
nonfisik semua nya bertujuan agas terbentuknya Welcoming School yang dapat
menerima dengan baik ABK. Dan juga agar masyarakat dari semua kalangan
dengan berbagai keterbatasan yang dialami dapat menempuh pendidikan yang
sama sehingga dapat tercapai pemerataan dalam pendidikan di Indonesia.

3.2. Saran
Pendidikan sejatinya dilakukan dengan melihat perkembangan peserta didik,
bukan mengenai mengenai kecerdasan kognitif, tapi juga dengan perkembangan
bakat dan potensinya. Pendidikan harus mencakup semua peserta didik, anak
tanpa berkebutuhan khusus dan anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu,
pemahaman mengenai pendidikan inklusi sebaiknya dikuasai oleh semua tenaga
pendidik, agar setiap anak dapat terfasilitasi potensi dan bakatnya melalui
pendidikan, terutama elemen pendidikan inklusi yang menjadi kunci perbedaan
paradigma ini dengan yang lain. Pembaca dapat menggunakan literature yang
valid, seperti buku maupun jurnal penelitian untuk memperjelas mengenai elemen
pendidikan inklusi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Harris, dkk. 2004. Menciptakan Kelas Inklusif, Ramah Terhadap Peserta Didik.
Diakses melalui http://www.idp-europe.org/docs/LIRP_4.pdf.
Purwanto, E. 2007. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta; Depdiknas
Shaeffer, S. 2004. Mewujudkan Pendidikan Inklusif Melalui Sekolah Ramah
Anak - Bagian 2/2. Diakses melalui http://www.idp-europe.org/eenet-
asia/eenet-asia-9-ID/page24.php
Tarsidi,didi.2008.Aksisibilitas Lingkungan Fisik Bagi Penyandang
Cacat.Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Yuwono, Imam dan Utomo.2016. Pendidikan Inklusif.Banjarmasin:Pustaka
Banua.

13

Anda mungkin juga menyukai