Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PENDIDIKAN INKLUSI (AKPC 3510)


INKLUSI SEBAGAI UPAYA MENGEMBALIKAN SEKOLAH UMUM
SESUAI JALURNYA

DOSEN PEMBIMBING :
Rohmah Ageng Mursita,M.pd

DISUSUN OLEH :
Ema Hainun Hadhiedae 1610121320002
Fahrul Reza 1610121210002
Miftahul Jannah 1610121220013
Ni Wayan Lisnawati 1610121120006
Nuraidayanti 1610121220019
Supriyadi 1610121310007

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Inklusi Sebagai Upaya Mengembalikan Sekolah
Umum Sesuai Jalurnya”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah pada
junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikut
beliau hingga akhir zaman.
Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Rohmah Ageng
Mursita,M.pd. Selaku dosen pengasuh yang telah membimbing kami dalam
menyelesaikan penulisan makalah ini. Serta terimakasih kepada semua orang yang
telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini memiliki banyak kekurangan. Kami selaku
penulis memohon maaf atas kekurangan dalam makalah kami. Oleh karena itu
kami sangat memerlukan kritik dan saran dari para pembaca.

Banjarmasin, Oktober 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................i

Daftar Isi................................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan.................................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................2

Bab II Pembahasan................................................................................................3

A. Inklusi Mengembalikan Sekolah Umum Sesuai jalurny...........................3


B. Paradigma Pendidikan Kebutuhan Khusus...............................................5
C. Pendidikan Inklusif Sebagai Bagian dari Inclusive Sociaty......................7
D. Jenis-jenis ABK.........................................................................................12

Bab III Penutup......................................................................................................18

A. Penutup......................................................................................................18

Daftar Pustaka.......................................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyelenggaraan sekolah inklusi di Indonesia, dilatarbelakangi oleh hak anak
untuk memperoleh pendidikan. Setiap makhluk mempunyai kebutuhan. Sebagai
makhluk Tuhan yang dianggap mempunyai derajat tertinggi di antara makhluk
lainnya, manusia mempunyai kebutuhan yang paling banyak dan kompleks.
Kebutuhan manusia secara umum mencakup kebutuhan fisik atau kesehatan,
kebutuhan sosial emosional,dan kebutuhan pendidikan
Tidak berbeda dengan orang-orang normal, anak-anak berkebutuhan khusus
juga mempunyai kebutuhan yang sama.Untuk memenuhi kebutuhan pendidikannya,
anak berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama dengan anak normal lainnya.
Dalam pasal 31 UUD 1945 disebutkan bahwa semua warga negara berhak mendapat
pendidikan. Hal ini dijabarkan lebih lanjut dalam BAB IV Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Berdasarkan isi pada
pasal 5, dapat disimpulkan bahwa anak luar biasa mempunyai hak yang menjamin ke-
langsungan pendidikan mereka, bahkan anak berkebutuhan khusus berhak mendapat
kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Pada ayat 2, 3, dan 4
menegaskan bahwa anak luar biasa berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
Anak luar biasa disini bukan saja mereka yang memiliki kelainan fisik, sosial,
emosional,danintelektual saja, melainkan mereka yang memiliki potensi kecerdasan
dan bakat istimewa juga berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana upaya untuk mengembalikan sekolah umum sesuai jalurnya?
2. Bagaimana Paradigma Pendidikan Kebutuhan Khusus?
3. Mengapa pendidikan inklusif sebagai bagian dari inclusive society?
4. Sebutkan jenis- jenis ABK?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Dalam Mengembalikan Sekolah Umum Sesuai
Jalurnya
2. Untuk Mengetahui Paradigm Kebutuhan Khusus
3. Untuk Mengetahui Pendidikan Inklusif Sebagai Bagian Dari Inclusive
Society
4. Untuk Mengetahui Jenis-Jenis ABK

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Inklusi Sebgai Upaya Mengembalikan Sekolah Umum Sesuai Jalurnya


Kebanyakan orang berpandangan bahwa sekolah umum/reguler diperuntukkan
bagi anak-anak normal (anak yang tidak memiliki kelainan/kebutuhan khusus).
Berpijak dari kesalahan memaknai “umum/reguler” tersebut maka segala
upaya/kegiatan hanya mengarah kepada kepentingan untuk anak-anak yang normal
saja. Mereka yang kebetulan tidak termasuk dalam kategori “normal” tersebut merasa
tersisihkan untuk mendapatkan layanan pendidikan di sekolah umum/reguler. Sekolah
umum/reguler biasanya berorientasi pemenuhan guru umum. Jarang terpikirkan
memenuhi guru atau tenaga lainnya yang bisa melayani siswa-siswa yang mempunyai
kebutuhan khusus dan sejenisnya (tidak dalam kategori normal). Seharusnya
pemenuhan SDM selain guru umum, perlu dipenuhi. Saat ini biasanya hanya guru
bimbingan konseling (BK)byang sudah menjadi program pemerintah, itupun mulai
sekolah menengah pertama. Pendidikan inklusif berharap sekolah umum justru justru
menjadi alat untuk memerangi tindak diskriminasi sesuai dengan peruntukannya yaitu
untuk masyarakat yang ingin belajar tanpa kecuali, termasuk mereka yang secara
kebetulan memiliki kebutuhan khusus.

Schultz (dalam Smith, 2009) telah menemukan 10 kategori utama kesiapan


yang merupakan prasyarat bagi sekolah yang lebih ramah dan inklusi. Adapun
kategori tersebut adalah :
1. Sikap (Attitudes): Guru dan administrator harus percaya bahwa inklusi yang
lebih besar akan menghasilkan proses pengajaran dan pembelajaran yang
meningkat bagi semua orang.
2. Persahabatan (Relationship): Persahabatan dan kerjasama antara siswa dengan
atau tanpa hambatan harus dipandang sebagai suatu norma yang berlaku. '

3
3. Dukungan bagi Siswa (Support for Students): Harus ada personil dan sumber
daya lain yang diperlukan untuk memberikan layanan kebutuhan bagi siswa
yang berbeda di kelas inklusi supaya berhasil.
4. Dukungan untuk Guru (Support for Teacher): Guru harus mempunyai
kesempatan latihan yang akan digunakan dalam menangani jumlah keragaman
siswa yang lebih berbeda.
5. Kepemimpinan Administratif (Administrative Leadership): Kepala Sekolah
dan staf lain harus antusias dalam memberikan dukungan dan kepemimpinan
di sekolah yang lebih inklusi
6. Kurikulum (Curriculum): Kurikulum harus cukup fleksibel sehingga tiap siswa
dapat tertantang meraih yang terbaik.
7. Penilaian (Assessment): Pencapaian prestasi dan tujuan belajar harus diberi
penilaian yang memberi gambaran akhir setiap siswa.
8. Program dan Evaluasi Staf (Program and Staf evaluation): Suatu sistem harus
diletakkan dalam mengevaluasi keberhasilan sekolah yang menyeluruh supaya
dapat memberikan suatu lingkungan inklusi dan ramah bagi siswa.
9. Keterlibatan Orang tua (Parental Involvement): Orang tua siswa dengan
ataupun tanpa hambatan harus memahami rencana untuk membentuk suatu
lingkungan inklusi dan ramah bagi setiap siswa.
10. Keterlibatan Masyarakat (Community Involvement): Melalui publikasi media
dan sekolah, masyarakat harus diberi tahu dan dilibatkan dalam usaha-usaha
meningkatkan keterlibatan dan diterimanya siswa penyandang hambatan di
dalam kehidupan sekolah. Penerimaan ini harus didorong untuk memperluas
penerimaan di dalam masyarakat itu sendiri.

B. Paradigma Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education)


Dalam konsep pendidikan kebutuhan khusus semua anak termasuk anak
penyandang cacat dipandang sebagai individu yang unik. Setiap individu anak
memiliki perbedaan dalam perkembangan dan memiliki kebutuhan khusus yang
berbeda pula. Anak-anak penyandang cacat memiliki hambatan perkembangan dan

4
hambatan belajar akibat dari kecacatan yang dimilinya.Oleh karena itu fokus utama
dari pendidikan kebutuhan khusus adalah hambatan belajar dan kebutuhan anak
secara individual (Miriam, 2001). Pendidikan kebutuhan khusus (special needs
education)memamdang anak termasuk anak penyandang cacat sebagai individu yang
khas dan utuh, keragaman dan perbedaan individu sangat dihormati.
Konsep pendidikan kebutuhan khusus (special needs education)  melihat
kebutuhan anak dari spektrum yang sangat luas, yaitu bahwa setiap anak memiliki
kebutuhan yang bersifat khusus, oleh karena itu anak berkebtuhan khusus meliputi
dua kategori yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporary
special needs) dan anak kebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanently
special needs). Anak berkebutuhan khusus temporer/sementra (temporary special
needs) adalah anak-anak yang mengalami hambatan akibat dari faktor-faktor
lingkungan seperti: (1) anak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat
sering menerima kekerasan dalam rumah tangga, (2) mengalami kesulitan konsentrasi
karena sering diperlakukan kasar oleh orang tuanya, (3) mengalami kesulitan
kumulatif dalam membaca dan berhitung akibat kekeliruan guru dalam mengajar atau
(4) anak-anak yang mengalami trauma akibat dari bencana alam yang mereka alami.
Anak- anak sepeti ini memerlukan bantuan khusus untuk mengatasi hambatan-
hambatan yang dialaminya. Apabila mereka tidak mendapatkan layanan pendidikan
yang tepat sesuai dengan kebutuhannya, tidak mustahil hambatan-hambatan tersebut
akan menjadi permanent. Anak berkebutuhan khusus yang bersifat
permanen (permanently special needs) adalah anak-anak yang mengalami hambatan
dan kebutuhan khusus akibat dari kecacatan tertentu, misalnya kebutuhan khusus
akibat dari kehilangan fungsi penglihatan, kehilangan fungsi pendengaran,
perkembangan kecerdasan/kognitif yang rendah, ganggauan fungsi gerak/motorik
dsb.

Anak berkebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat
permanen memerlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan hamabatan
belajar dan kebutuhan-kebutuhannya. Bidang studi yang membahas tentang

5
penyesuaian pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah pendidikan kebutuhan
khusus (Special Needs Education). Oleh sebab itu cakupan wilayah pendidikan
kebutuhan khusus menjadi sangat luas karena tidak dianalogikan dengan lokasi atau
tempat layanan yang bersifat khusus (sekolah khusus/sekolah luar biasa seperti pada
konsep Pendidikan Luar Biasa/PLB (special education), tetapi lebih bersifat
fungsional yaitu layanan pendidikan bagi semua anak yang membutuhkan layanan
khusus akan pendidikan (special educational needs) di manapun mereka berada baik
di sekolah biasa, di sekolah khusus, di rumah (home schooling), di rumah sakit (bagi
anak yang rawat inap sangat lama dan meningalkan sekolah), maupun mungkin di
lembaga-lembaga perawatan anak. Anak-anak dengan diagnosis yang sama (misalnya
: tunanetra atau tunagrahita), dalam paradigma Pendidikan Luar Biasa/luar biasa
dilayani dengan cara yang sama berdasarkan label kecacatannya. Sekarang disadari
bahwa anak dengan diagnosis medis yang sama ternyata dapat belajar dengan cara
yang jauh berbeda. Dengan kata lain, mereka dapat mempunyai kebutuhan
pendidikan (special educational needs) yang berbeda-beda.

Diagnosis seperti yang dilakukan pada masa lalu menyebabkan anak-anak


diberi label ketunaan yang mengakibatkan gurunya memfokuskan aktivitas layanan
pendidikan pada keterbatasan yang disebabkan oleh kecacatanya. Ini mengakibatkan
guru tidak menyadari potensi yang ada pada diri anak. Pemberian label dan layanan
pendidikan yang terlalu dispesialisasikan menyebabkan banyak guru khusus
kehilangan pemahaman yang holistic tentang anak dan, tidak menggunakan
pendekatan holistic dalam pembelajaran. Ini mengakibatkan
timbulnyaanemia pendidikan dan menghambat pengayaan.

C. Pendidikan Inklusif Sebagai Bagian Dari “Inclusive Society”


Pada mulanya pendidikan inklusif merupakan suatu strategi untuk
mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah
yang responsif terhadap beragam kebutuhan aktual dari anak dan masyarakat. Dengan
demikian, pendidikan inklusif menjamin akses dan kualitas.

6
Yang perlu mendapat perhatian adalah pengajaran yang terpusat pada diri
anak merupakan inti dari inklusif. Kurikulum yang fleksibel seyogyanya disesuaikan
dengan anak, bukan kebalikannya, inklusi merupakan sumber-sumber dan dukungan
yang tepat. Inklusi itu penting bagi harga diri manusia dan pelaksanaan hak asasi
manusia secara penuh. Sekolah inklusif memberikan manfaat untuk semua anak
karena membantu menciptakan masyarakat yang inklusif.

Sekolah reguler dengan orientasi inklusif merupakan cara yang paling efektif
untuk memerangi sikap deskriminatif , menciptakan masyarakat yang terbuka,
membangun suatu masyarakat inklusif dan mencapai pendidikan untuk semua , lebih
dari itu, sekolah inklusif memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak
dan menningkatkan efisiensi sehingga menekan biaya untuk keseluruhan sistem
pendidikan. Terlebih lagi Indonesia yang beberapa tahun terakhir ini segala lapisan
masyarakat menyoroti pemerataan pendidikan bagi semua rakyat yang difasilitasi
oleh Negara dan dilindungi Undang-Undang Dasar 1945.

Inklusi dalam pendidikan merupakan proses peningkatan prestasi siswa dan


mengurangi keterpisahannya dari bdaya, kurikulum dan komunitas sekolah setempat.

Inkusi juga melibatkan:

1. Restrukturisasi budaya, kebijakan dan praktek unntuk merespon terhadap


keberagaman siswa dalam lingkungannya.
2. Pembelajaran dan partisipasi semua anak yang rentan akan tekanan
ekslusi (bukan hanya siswa penyandang cacat)
3. Meningkatkan mutu sekolah untuk stafnya maupun siswanya
4. Mengatasi hambatan akses dan partisipasinya
5. Hak siswa untuk dididik di dalam lingkungan masyarakat
6. Memandang keberagaman sebagai kekayaan sumber, bukan sebagai
masalah
7. Saling memeliharan hubungan antara sekolah dan masyarakat

7
8. Memandang pendidikan inklusi sebagai satu asfek dari masyarakat
inklusif. (Firdaus,2010)

Tugas sekolah inklusi adalah mengoptimalkan potensi dan kekuatan ABK


disamping mengembangkan sensitifitas peserta didik normal bersama ABK untuk
mereduksi tindakan diskriminatif. Tujuan yang bisa dicapai dengan cara ini
adalah terwujudnya masyarakat inklusif yang mau dan mampu menerima
keragaman dan kemajemukan masyarakat dari berbagai status, strata, dan kelas
sosial.15 Hasil capaian usaha seperti ini adalah masyarakat integratif yang tidak
mempersoalkan perbedaan yang seringkali menimbulkan perselisihan,
permusuhan bahkan peperangan, tetapi masyarakat
yang mau dan mampu membangun kegotong royongan dan kebersamaan sebagai
budaya luhur bangsa. Masyarakat demikian menuntut semua anggotanya menjadi
inklusif, dan sekolah harus menyediakan calon-calon anggotanya sesuai dengan
tuntutannya. Tanpa usaha demikian, maka peserta didik akan mengalami kesulitan
untuk kembali (berintegrasi) ke masyarakatnya kalau mereka di sekolah hanya
berinteraksi sesama ABK. (Kadir,2015: 19-20)

Dalam beberapa dekade terakhir, pendidikan inklusif telah mendefinisi


ulang sekolah orang-orang dengan cacat. The Salamanca Statement (UNESCO,
1994) berusaha untuk memenuhi ‘Pendidikan untuk semua’, yang hanya dapat
dipenuhi melalui semua yang dimasukkan siswa di sekolah umum. Menurut
Pernyataan ini, sekolah umum dengan
orientasi inklusif memerangi diskriminasi, menciptakan komunitas terbuka
dan membantu mengembangkan masyarakat yang inklusif. Perbedaan di antara
orang-orang diakui sebagai normal dan setiap anak memiliki karakteristik, minat,
kemampuan, dan kebutuhan belajar tertentu, sedangkan penekanannya harus pada
kekuatan daripada defisit. Karena itu, sekolah harus diaktualisasikan sesuai
dengan kebutuhan khusus setiap anak, bukan mencoba untuk menyesuaikannya
dalam spesifikasi kurikulum yang ada (Peters 2007;UNESCO, 1994

8
Kesetaraan dan kesetaraan dalam pendidikan merupakan aspek penting dari
pendidikan modern. Ini telah menghasilkan perubahan dalam filsafat pendidikan
dan karenanya, model yang berbeda seperti pendidikan yang terpisah, terintegrasi
dan inklusif telah berevolusi. Kecenderungan saat ini termasuk anak-anak
penyandang cacat di sekolah umum adalah global. Fenomena dan India telah
mendukungnya. Padahal, India adalah salah satu dari sekian banyak negara yang
telah meratifikasi UNCRPD (Konvensi Persatuan Hak Penyandang Cacat) pada
tahun 2007. Sarva Shiksha Abhiyan (SSA) (2002) program unggulan
Kementerian Agama Pengembangan Sumber Daya Manusia di bawah Pemerintah
India, memiliki 'penolakan nol' kebijakan dan sugestif bahwa setiap anak dengan
kebutuhan khusus diberikan sesuai lingkungan sehingga anak-anak menerima
pendidikan yang bermakna dan berkualitas.
(Galaterou,2017:644)
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif sebenarnya bagian dari
masyarakat yang inklusif (inclusive society) , masyarakat yang inklusif ( inclusive
society) adalah masyarakat yang mampu menerima berbagai bentuk keberagaman
dan keberbedaan serta mengakomodasinya ke dalam berbagai tatanan maupun
infra struktur yang ada di masyarakat.

Adapun yang dimaksud dengan berbagai bentuk perbedaan dan


keberagaman diantaranya adalah keberagaman budaya, bahasa, gender, ras, suku
bangsa, strata ekonomi, serta termasuk juga didalamnya adalah keberbedaan
kemampuan fisik/mental yang selanjutnya kita sebut juga dengan difabilitas.
Masyarakat yang inklusif dapat diartikan sebagai sebuah masyarakat yang
mampu menerima berbagai bentuk keberagaman dan keberbedaan serta
mengakomodasinya ke dalam berbagai tatanan maupun infra struktur yang ada di
masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan berbagai bentuk perbedaan dan
keberagaman diantaranya adalah keberagaman budaya, bahasa, gender, ras, suku

9
bangsa, strata ekonomi, serta termasuk juga didalamnya adalah keberbedaan
kemampuan fisik/mental yang selanjutnya kita sebut juga dengan difabilitas.

kelompok yang paling berkepentingan terhadap terwujudnya sebuah


masyarakat yang inklusif adalah kelompok masyarakat difabel. Dan berawal dari
sebuah logika berfikir bahwa dorongan menuju sebuah masyarakat inklusif ini
muncul atas kenyataan terjadinya sebuah penolakan sosial (social exclusion) atas
sekelompok masyarakat atau lebih, maka beberapa bentuk penolakan sosial
terhadap difabel setidaknya dapat terlihat dalam beberapa ranah yaitu ranah
pemahaman dan perlakuan , ranah kebajikan dan ranah akomodasi.

Yang pertama adalah ranah pemahaman dan perlakuan. Difabel seringkali


dipahami sebagai kelompok yang tidak normal, tidak utuh, yang bahkan secara
popular diistilahkan sebagai yang cacat, dan tidak sesederhana itu, difabilitas yang
dialami oleh seseorang bahkan seringkali diikuti dengan pelabelan, anggapan serta
pemahaman yang tidak rasional seperti anggapan bahwa itu merupakan sebuah
dosa turunan, kutukan, atau bahkan akibat dari aib keluarga. Hal tersebut
kemudian berakibat pada berbagai bentuk penerimaan yang salah seperti rasa
malu, penolakan atas keberadaan difabel, perlindungan yang berlebihan serta
berbagai sikap yang secara social merugikan difabel mulai dari tingkat keluarga
sampai dengan masyarakat yang lebih luas.

Berikutnya adalah ranah kebijakan. Satu-satunya undang-undang yang


secara explisit mengatur perlindungan atas hak difabel adalah undang-undang no.4
tahun 1997 tentang penyandang cacat, yang di dalamnya hanya mengatur
setidaknya empat hak pokok saja ya itu hak atas pendidikan, pekerjaan,
aksesibilitas, serta kesejahteraan sosial. Terlepas dari bagaimana ke empat hak
tersebut diatur penyelenggaraan dan pemenuhannya bagi difabel, tapi dengan
hanya dicantumkannya empat hak tersebut, penulis yakin bahwa secara

10
konstitusional, difabel belum mempunyai cukup payung hukum untuk menjamin
hak-hak mereka. Sebut saja hak atas akses peradilan yang saat ini masih menjadi
masalah besar bagi difabel dengan dianggapnya kelompok difabel tertentu (difabel
netra, difabel rungu dan difabel grahita) sebagai kelompok yang tidak cakap
hukum. Contoh lain adalah pendefinisian cacat sebagai tidak sehat jasmani yang
dalam catatan .

Sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif sebenarnya bagian dari


masyarakat yang inklusif (inclusive society). Savon sevin (2008) menggambarkan
masyarakat yang inklusif dengan pola sebagai berikut
Masyarakat
 Dihargainya perbedaan : suku, agama, jenis kelamin, usia, kecerdasan,
bahasa
 Tidak ada diskriminasi
 Semuanya berpartisipasi

Sistem pendukung

 Pusat sumber dan imbas pusat sumber


 pendidikan usia dini dan nonformal
 Keluarga, LSM, posyandu, puskesmas

Sekolah inklusif

 Pengajaran fleksibel dan berpusat pada anak


 Semua siswa dihargai
 Menghargai keragaman
 Guru reguler dan guru pembimbing khusus bekerja pada tim
 Lingkungan sekolah nyaman, aman dan sehat

11
Gambaran masyarakat yang inklusif merupakan masnyarakat yang
berbhineka, yaitu masyarakat yang heterogen dan saling melengkapi. Sekolah
sebagai tempat untuk menyiapkan agar para siswa nantinya akan mempunyai
kesiapan untuk menempuh kehidupan di masyarakat yang heterogen dan saling
melengkapi. (Yuwono dan Utomo, 2016:52)

D. Jenis-Jenis Abk
1) Tunanetra
Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya,
berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi
pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan pelayanan
pendidikan khusus.
Ciri-ciri:
 Tidak mampu melihat,
 Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter,
 Kerusakan nyata pada kedua bola mata,
 Sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan,
 Mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya,
 Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/besisik/kering,
 Peradangan hebat pada kedua bola mata,
 Mata bergoyang terus.

2) Tunarungu
Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya
pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara
verbal dan walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar
masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Ciri-ciri:
 Tidak mampu mendengar,

12
 Terlambat perkembangan bahasa,
 Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi,
 Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara,
 Ucapan kata tidak jelas,
 Kualitas suara aneh/monoton,
 Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar,
 Banyak perhatian terhadap getaran,
 Keluar cairan ‘nanah’ dari kedua telinga.

3) Tunalaras
Tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian
diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam
lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga
merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan
pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya.
Ciri-ciri:
 Bersikap membangkang,
 Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah
 Sering melakukan tindakan aggresif, merusak, mengganggu
 Sering bertindak melanggar norma social/norma susila/hukum.
4) Tunadaksa
Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada
alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan
pelayanan pendidikan khusus.
Ciri-ciri:
 Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh,

13
 Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali),
 Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih
kecil dari biasa,
 Terdapat cacat pada alat gerak,
 Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam,
 Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh
tidak normal,
 Hiperaktif/tidak dapat tenang.
5) Berbakat/memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa
Anak berbakat adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (inteligensi),
kreativitas, dan tanggungjawab terhadap tugas (task commitment) di atas anak-
anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi
prestasi nyata, memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Ciri-ciri:
 Membaca pada usia lebih muda,
 Membaca lebih cepat dan lebih banyak,
 Memiliki perbendaharaan kata yang luas,
 Mempunyai rasa ingin tahu yang kuat,
 Mempunayi minat yang luas, juga terhadap masalah orang dewasa,
 Mempunyai inisiatif dan dapat berkeja sendiri,
 Menunjukkan keaslian (orisinalitas) dalam ungkapan verbal,
 Memberi jawaban-jawaban yang baik,
 Dapat memberikan banyak gagasan,
 Luwes dalam berpikir,
 Terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan,
 Mempunyai pengamatan yang tajam,

14
 Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu panjang, terutama terhadap tugas
atau bidang yang diminati,
 Berpikir kritis, juga terhadap diri sendiri,
 Senang mencoba hal-hal baru,
 Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi,
 Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan-pemecahan masalah,
 Cepat menangkap hubungan sebabakibat,
 Berperilaku terarah pada tujuan,
 Mempunyai daya imajinasi yang kuat,
 Mempunyai banyak kegemaran (hobi),

6) Tunagrahita
Tunagrahita (retardasi mental) adalah anak yang secara nyata mengalami
hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah rata-rata
sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik,
komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan
khusus.
Ciri-ciri
 Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/ besar,
 Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia,
 Perkembangan bicara/bahasa terlambat,
 Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan
kosong),
 Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali), Sering keluar
ludah (cairan) dari mulut
7) Lamban belajar
Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual
sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal

15
mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan
adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang tunagrahita,
lebih lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu yang lebih
lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik
maupun non akademik, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan
khusus.
Ciri-ciri :
 Rata-rata prestasi belajarnya selalu rendah (kurang dari 6),
 Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan
teman-teman seusianya,
 Daya tangkap terhadap pelajaran lambat,
 Pernah tidak naik kelas.
8) Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik
Anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang secara nyata
mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus (terutama dalam hal
kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematik.
9) Autisme
Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang
kebanyakan diakibatkan oleh faktor hereditas dan kadang-kadang telah dapat
dideteksi sejak bayi berusia 6 bulan

Adapun ciri-ciri autisme antara lain:

 Tidak menyahut atau tidak memandang mata si pembicara, ketika diajak


berbicara.
 Karakteristik yang menonjol pada seseorang yang mengidap kelainan ini
adalah kesulitan membina hubungan sosial, berkomunikasi secara normal
maupun memahami emosi serta perasaanorang lain.

16
 Autisme bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu gangguan
yang terjadi pada otak sehingga menyebabkan otak tersebut tidak dapat
berfungsi selayaknya otak normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku
penyandang autisme.
 Menunjukkan perilaku yang repetitif, dan mengalami perkembangan yang
terlambat atau tidak normal.

Dan yang ke tiga adalah ranah akomodasi dalam rangka mendukung partisipasi
difabel. Ini dapat berupa adaptasi, modifikasi, maupun berbagai bentuk langkah
afirmasi yang diarahkan untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel
dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa difabel
setidaknya telah terlupakan kebutuhan mereka pada ranah ini. Ketika jalan-jalan,
tempat peribadatan, pusat perbelanjaa, terminal, alat transportasi, perkantoran, serta
sarana publik lainnya dibangun, yang terbayang hanyalah pengguna yang berkaki
dua, bertangan dua, berpenglihatan, berpendengaran serta cakap secara mental.
Keberadaan difabel pun tidak terbaca yang pada akhirnya, fasilitas publik yang kita
punyai pun tidak dapat mengakomodasi akses seluas-luasnya yang dibutuhkan oleh
difabel.

Inklusi dalam masyarakat kebanyakan membahas tentang pendidikan inklusi


yang berkonsentrasi pada kurikulum, system pastoral sikap dan metode pengajaran
tetapi gagasan yang lebih luas tentang inklusi dalam masyarakat adalah
pertimbangan-pertimbangan berbasis sekolah. Inklusi baru-baru ini sebagai gagasan
dalam pendidikan. Juga filosofi inklusif sedang bangkit kebali dan berkembang
sehingga inklusi akan semakin berkembang pada abad ini.

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan inklusif berharap sekolah umum justru menjadi alat untuk
memerangi tindak diskriminasi sesuai dengan peruntukannya yaitu untuk masyarakat
yang ingin belajar tanpa kecuali, termasuk mereka yang secara kebetulan memiliki
kebutuhan khusus. Paradigma baru pendidikan inklusi   adalah merujuk pada
kebutuhan belajar bagi semua peserta didik dengan suatu fokus spesifik pada mereka
yang rentan terhadap marjinalisasi atau pemisahan.

Pendidikan inklusif bukanlah sebuah label sekolah, namun merupakan


fenomena paradigma layanan bagi anak-anak bangsa yang menginginkan pendidikan
yang adil, bermutu, dan tanpa diskriminasi. Terobosan berupa pemberian kesempatan
dan peluang kepada anak-anak berkelainan untuk memperoleh pendidikan di sekolah
umum bersama-sama dengan anak normal di sekolah terdekat sesuai dengan
kebutuhannya disebut sebagai inklusi.

Gambaran masyarakat yang inklusif merupakan masnyarakat yang berbhineka,


yaitu masyarakat yang heterogen dan saling melengkapi. Sekolah sebagai tempat
untuk menyiapkan agar para siswa nantinya akan mempunyai kesiapan untuk
menempuh kehidupan di masyarakat yang heterogen.

18
DAFTAR PUSTAKA

Kadir, Abdul .2015.Penyelenggaran Sekolah Inklusi di Indonesia. International


Journal of Speciall Education.32(4)

Firdaus, Endis. (2017).Pendidikan Inklusi dan Implitasinya di Indonesia.Jurnal


Nasional

Galaterou, Joanna. (2017). Teachers’ Attitudes towards Inclusive Education: The


Role of Job Stressors and Demographic Parameters. International Journal of
Speciall Education.32(4)

Tauzia , Elsipa dkk. 2013. https://enje14.wordpress.com/2013/10/31/122/. Diakses


pada tanggal 23 Oktober 2018.

19

Anda mungkin juga menyukai