Anda di halaman 1dari 52

KETERKAITAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN, PENDIDIKAN

SEPANJANG HAYAT, 4 PILAR PENDIDIKAN, TAKSONOMI BELAJAR


DAN MITRA DALAM PENDIDIKAN

Ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Pendidikan yang diampu
oleh Ibu Dr. Murni Sapta Sari, M.Si.
Disajikan pada hari Jumat, 4 Oktober 2019

Oleh
Kelompok 5
Hesty Nurwijayati (190341764449)
Nurul Annisa Husain (190341764444)
Refsya Aulia Fikri (190341864413)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
limpahan rahmat, kemudahan, dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah Landasan Pendidikan yang berjudul “Keterkaitan Pendidikan dan
Pembelajaran, Pendidikan Sepanjang Hayat, 4 Pilar Pendidikan, Taksonomi
Belajar, dan Mitra dalam Pendidikan”.
Dalam proses penyusunan makalah ini, penulis mendapatkan banyak bantuan
dari berbagai pihak hingga mampu menyelesaikan tugas dengan baik. Penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
terlibat dan membantu penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini,
Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun para pembacanya.

Malang, 3 Oktober 2019

Penulis

i
ABSTRAK
Pembelajaran dan pendidikan atau dalam bahasa arab disebut ta’alim dan
menurut ilmu tarbiah adalah dua perkara penting di dalam membina manusia.
Pembelajaran dan pendidikan adalah dua perkara yang berbeda tetapi banyak orang
yang tidak faham tentang kedua perkara ini. Pembelajaran khusus ditujukan pada
akal. Sedangkan pendidikan adalah pembinaan insan yang tidak saja melibatkan
perkara fisik dan mental tetapi juga hati dan nafsu karena sesungguhnya yang
dididik adalah hati dan nafsu. Konsep pendidikan dan pembelajaran yang diajarkan
oleh pakar pendidkan Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara adalah pembelajaran dan
pendidikan yang berlangsung dimana saja dan kapan saja. Setiap orang adalah guru
dan setiap rumah dan tempat adalah sekolah. Pendidikan dan Pembelajaran sudah
menjadi perhatian utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga
UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization)
yang bergerak di bidang pendidikan, pengetahuan dan budaya mencanangkan
empat pilar pendidikan yakni: (1) learning to Know, (2) learning to do (3) learning
to be, dan (4) learning to live together. Taksonomi dalam bidang pendidikan,
digunakan untuk klasifikasi tujuan instruksional; ada yang menamakannya tujuan
pembelajaran, tujuan penampilan, atau sasaran belajar. Taksonomi tujuan
instruksional ialah adanya hierarki yang dimulai dari tujuan instruksional pada
jenjang terendah sampai jenjang tertinggi. Perubahan zaman modern ke zaman
postmodern telah membentuk model baru sebuah keluarga yang bersifat permeabel
dan keluarga pekerja. Anak-anak yang berkembang pada kedua zaman ini memiliki
perkembangan yang berbeda. Masyarakat membentuk iklim di sekolah dengan cara
menjadikan masyarakat itu sendiri, baik masyarakat pedesaan, pinggiran kota dan
perkotaan sebagai sumber daya dalam lingkungan sekolah dan menghargai nilai
dalam sebuah keluarga.

ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
ABSTRAK ........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang……………………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................................ 2
D. Manfaat ......................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 4
A. Keterkaitan Pendidikan dan Pembelajaran .................................................. 4
B. Pendidikan Sepanjang Hayat ..................................................................... 11
C. 4 Pilar Pendidikan menurut UNESCO ...................................................... 13
D. Taksonomi Belajar......................................................................................18
E. Mitra dalam Pendidikan..............................................................................20
BAB III PENUTUP ........................................................................................... 44
A. Kesimpulan ................................................................................................ 44
B. Saran ......................................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 45

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan dalam alam demokrasi bersifat individual yang sekaligus juga
bersifat sosial. Bersifat individual karena pendidikan itu memperhatikan aspek-
aspek pribadi yang unik dengan segala kemungkinannya, dan bersifat sosial karena
pendidikan mengaitkan pribadi dengan lingkungan masyarakat. Pendidikan tidak
hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab orang tua dan
masyarakat. Dalam UU Sisdiknas Nomor 23 Tahun 2013 disebutkan bahwa orang
tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar
kepada anaknya, masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan, masyarakat
berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan.. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa peran serta masyarakat dan orang
tua bertujuan mendayagunakan kemampuan yang ada pada orang tua dan
masyarakat bagi pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan, sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal hidup dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk
masyarakat. Masyarakat memiliki potensi-potensi yang dapat digunakan dalam
mendukung program-program sekolah, untuk itu agar sekolah dapat tumbuh dan
berkembang, maka program sekolah harus sejalan dengan kebutuhan masyarakat.
Partisipasi orang tua, keluarga, dan masyarakat di sekitar sekolah sangat
penting. Di satu sisi sekolah memerlukan masukan dari masyarakat dalam
menyusun program yang relevan, sekaligus memerlukan dukungan masyarakat
dalam melaksanakan program tersebut. Dilain pihak, masyarakat memerlukan jasa
sekolah untuk mendapatkan program-program pendidikan sesuai dengan yang
diinginkan. Jalinan semacam itu dapat terjadi, jika orang tua, keluarga, dan
masyarakat dapat saling melengkapi untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan
pendidikan. Partisipasi orang tua, keluarga, masyarakat hendaknya diperhatikan
oleh pihak sekolah. Pada akhirnya apabila partisipasi telah terpelihara dengan baik,
maka sekolah tidak akan mengalami kesulitan yang berarti dalam
mengembangkan berbagai jenis program, karena semua pihak telah memahami dan

1
2

merasa bertanggung jawab terhadap keberhasilan suatu program yang akan


dikembangkan oleh pihak sekolah.
Agar semua terpelihara dengan baik, maka harus ada komunikasi timbal
balik antara sekolah dengan semua pihak yang berkepentingan, terutama
masyarakat setempat dan orang tua siswa, sehingga sekolah, masyarakat dan orang
tua merupakan satu kesatuan yang utuh dalam menyelenggarakan proses
pendidikan yang bermutu di sekolah. Melalui upaya-upaya yang dilakukan pihak
sekolah diharapkan masyarakat dan orang tua siswa dapat berpartisipasi aktif dan
optimal dalam proses pendidikan di sekolah. Hal ini berarti bahwa pemberdayaan
masyarakat harus menjadi tujuan utama dan peran serta masyarakat bukan hanya
pada stakeholders, tetapi menjadi bagian mutlak dari sistem pengelolaan. Hal ini
jelas menggambarkan bahwa sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan
hendaknya melibatkan masyarakat dan orang tua siswa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang
dikemukakan sebagai berikut:
1. Apakah pengertian Pendidikan dan pembelajaran?
2. Apakah yang dimaksud Pendidikan sepanjang hayat?
3. Apakah yang dimaksud 4 pilar Pendidikan UNESCO?
4. Apakah yang dimaksud taksonomi belajar?
5. Apakah peran mitra sekolah dalam Pendidikan anak?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian Pendidikan dan pembelajaran.
2. Memahami maksud Pendidikan sepanjang hayat.
3. Memahami maksud 4 pilar Pendidikan UNESCO.
4. Mengetahui maksud taksonomi belajar.
5. Memahami peran mitra sekolah dalam Pendidikan.
3

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan menulis dan
memahami kajian Landasan Pendidikan tentang keterkaitan pendidikan dan
pembelajaran, pendidikan sepanjang hayat, 4 pilar pendidikan menurut
UNESCO, taksonomi belajar dan mitra dalam pendidikan.
2. Bagi pembaca dapat memperoleh manfaat dan menambah referensi dan
pengetahuan mengenai keterkaitan pendidikan dan pembelajaan, pendidikan
sepanjang hayat, 4 pilar pendidikan menurut UNESCO, taksonomi belajar,
dan mitra dalam pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendidikan dan Pembelajaran


Pembelajaran dan pendidikan atau dalam bahasa arab disebut ta’alim dan
menurut ilmu tarbiah adalah dua perkara penting di dalam membina manusia.
Pembelajaran dan pendidikan adalah dua perkara yang berbeda tetapi banyak orang
yang tidak faham tentang kedua perkara ini. Pembelajaran khusus ditujukan pada
akal. Sedangkan pendidikan adalah pembinaan insan yang tidak saja melibatkan
perkara fisik dan mental tetapi juga hati dan nafsu karena sesungguhnya yang
dididik adalah hati dan nafsu. Oleh karena itu pendidikan lebih rumit dan susah.
Kedua perkara ini harus kita fahami benar dalam membina insan. Keduanya
diperlukan dalam pembinaan pribadi agar pandai berbakti pada Tuhan dan pada
sesama manusia.
1. Pengertian Pendidikan
Manusia tidak bisa lepas dari pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu
sektor penting dalam pembangunan di setiap negara. Menurut Undang-Undang No.
20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dalam pasal satu disebutkan bahwa pendidikan
merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui
proses pembelajaran.
Pengertian pendidikan menurut Ahmad D. Marimba adalah bimbingan atau
bimbingan secara sadar oleh pendidik terdapat perkembangan jasmani dan rohani
terdidik menuju terbentuknya keperibadian yang utama. Sedangkan Menurut
H.Horne Pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian
yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan
mental, yang bebas dan sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam
sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia. Pendidikan secara
umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik
individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang
4
5

diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoatmojo, 2003). Pendidikan adalah proses


pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara,
perbuatan mendidik. (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002).
Pendidikan dibagi menjadi 3 yaitu Pendidikan secara Luas (Makro), Pendidikan
secara Sempit (Mikro) dan Pendidikan secara Alternatif.
A. Pendidikan secara Luas (Makro)
Menurut Purwanto (2004) Pendidikan dalam arti makro (luas) adalah proses
interaksi antara manusia sebagai individu atau pribadi dan lingkungan alam
semesta, lingkungan sosial, masyarakat, sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-
budaya. Pendidikan dalam arti luas juga dapat diartikan hidup (segala pengalaman
belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup). Segala
situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu, suatu proses
pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan
lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia
lahir. Karakteristik khusus pendidikan secara luas adalah:
1. Masa pendidikan.
Pendidikan berlangsung seumur hidup dalam setiap saat selama ada pengaruh
lingkungan.
2. Lingkungan pendidikan.
Pendidikan berlangsung dalam segala lingkungan hudup, baik yang khusus
diciptakan untuk kepentingan pendidikan maupun yang ada dengan sendirinya.
3. Bentuk kegiatan.
Terentang dari bentuk-bentuk yang misterius atau tak disengaja sampai dengan
terprogram.pendidikan berbentuk segala macam pengalaman belajar dalam
hidup. Pendidikan berlangsung dalam beraneka ragam bentuk, pola, dan
lembaga. Pendidikan dapat terjadi sembarang, kapan dan dimana pun dalam
hidup. Pendidikan lebih berorientasi pada peserta didik.
4. Tujuan.
Tujuan pendidikan terkandung dalam setiap pengalaman belajar, tidak
ditentukan dari luar. Tujuan pendidikan adalah pertumbuhan, tujuan
pendididkan adalah sama dengan tujuan hidup (Mudyahardjo, 2012).
6

B. Pendidikan secara sempit (Mikro)


Pendidikan dalam arti mikro (sempit) merupakan proses interaksi antara
pendidik dan peserta didik baik di keluarga, sekolah maupun di masyarakat. Namun
pendidikan dalam arti sempit sering diartikan sekolah (pengajaran yang di
selenggarakan disekolah sebagai lembaga pendidikan formal, segala pengaruh yang
di upayakan sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar
mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-
hubungan dan tugas-tugas sosial mereka) (Purwanto, 2004). Karakteristik khusus
pendidikan secara sempit adalah:
1. Masa pendidikan.
Pendidikan berlangsung dalam lingkungan waktu terbatas, yaitu masa anak dan
remaja.
2. Lingkungan pendidikan.
Pendidikan berlangsung dalam lingkungan pendidikan yang diciptakan khusus
untuk menyelenggarakan pendidikan. Secara teknis pendidikan berlangsung di
kelas.
3. Bentuk kegiatan.
Isi pendidikan tersusun secara terprogram dalam bentuk kurikulum. Kegiatan
pendidikan lebih beorientasi pada kegiatan guru sehingga guru mempunyai
peranan yang sentral dan menentukan. Kegiatan pendidikan terjadwal, tertentu
waktu dan tempatnya.
4. Tujuan.
Tujuan pendidikan ditentukan oleh pihak luar. Tujuan pendidikan terbatas pada
pengembangan kemampuan-kemampuan tertentu. Tujuan pendidikan adalah
mempersiapkan hidup (Mudyahardjo, 2012).
C. Definisi Pendidikan secara Alternatif
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat,
dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan, yang
berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan
peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup
secara tepat di masa yang akan datang. Pendidikan adalah pengalaman-pengalaman
belajar terprogram dalam bentuk pendidkan formal, non-formal, dan informal di
7

sekolah, dan luar sekolah, yang berlangsung seumur hidup yang brtujuan
optimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan individu, agar dikemudian
hari dapat memainkan peranan hidup secara tepat (Mudyahardjo, 2012).
Karakteristik khusus pendidikan secara alternatif adalah:
1. Masa pendidikan.
Pendidikan berlangung seumur hidup,yang kegiatan-kegiatannya tidak
berlangsung sembarang, tetapi pada saat-saat tertentu.
2. Lingkungan pendididkan.
Pendidikan berlangsung dalam sebagian dari lingkungan hidup. Pendidikan
tidak berlangsung dalam lingkungan hidup yang tergelar dengan sendirinya.
Lingkungan alam sekitar yang alami tidak merupakan lingkungan pendidikan.
Pendidikan hanya berlangsung dalam lingkungan hidup kultural.
3. Bentuk kegiatan.
Pendidikan dapat berbentuk pendidikan formal, pendidikan informal, dan
pendidikan non-formal. Kegiatan pendidikan dapat berbentuk
bimbingan,pengajaran,dan atau latihan. Pendidikan selalu merupakan usaha
sadar yang tercakup di dalamnya usaha pengelolaan pendidikan, baik dalam
bentuk pengelolaan pendidikan nasional maupun satuan pendidikan, serta usaha
melaksanakan kegiatan pendidikan. Pendidikan berorientasi kepada
komunikasi pendidikan-pendidkan. Kegiatan pendidikan berbentuk belajar
mengajar.
4. Tujuan.
Tujuan pendidikan merupakan perpaduan tujuan-tujuan pendidikan yang
bersifat pengembangan kemampuan-kemampuan pribadi secara optimal dengan
tujuan-tujuan sosial yang bersifat manusia seutuhnya yang dapat memainkan
peranannya sebagai warga dalam berbagai lingkungan persekutuan hidup dan
kelompok sosial. Tujuan pendidikan mencakup tujuan-tujuan setiap jenis
kegiatan pendidikan (bimbingan, pengajaran, dan latihan), tujuan-tujuan satuan
pendidikan sekolah dan luar sekola, dan tujuan-tujuan pendidikan nasional.
Tujuan pendidikan adalah sebagian dari tujuan hidup, yang bersifat menunjang
terhadap pencapaian tujuan-tujuan hidup (Mudyahardjo, 2012).
8

2. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah usaha
mempengaruhi emosi, intelektual, dan spiritual seseorang agar mau belajar dengan
kehendaknya sendiri. Melalui pembelajaran akan terjadi proses pengembangan
moral keagamaan, aktivitas, dan kreativitas peserta didik melalui berbagai interaksi
dan pengalaman belajar. Pembelajaran berbeda dengan mengajar yang pada
prinsipnya menggambarkan aktivitas guru, sedangkan pembelajaran
menggambarkan aktivitas peserta didik (Abuddin, 2009).
Pembelajaran harus menghasilkan belajar pada peserta didik dan harus
dilakukan suatu perencanaan yang sistematis, sedangkan mengajar hanya salah satu
penerapan strategi pembelajaran diantara strategi-strategi pembelajaran yang lain
dengan tujuan utamanya menyampaikan informasi kepada peserta didik. Kalau
diperhatikan, perbedaan kedua istilah ini bukanlah hal yang sepele, tetapi telah
menggeser paradigma pendidikan, pendidikan yang semula lebih berorientasi pada
“mengajar” (guru yang lebih banyak berperan) telah berpindah kepada konsep
“pembelajaran” (merencanakan kegiatan-kegiatan yang orientasinya kepada siswa
agar terjadi belajar dalam dirinya) (Evelin, 2010).
Secara garis besar, ada 4 pola pembelajaran. Pertama, pola pembelajaran guru
dengan siswa tanpa menggunakan alat bantu atau bahan pembelajaran dalam bentuk
alat raga. Kedua, pola (guru+alat bantu) dengan siswa, ketiga, pola (guru)+(media)
dengan siswa. Keempat, pola media dengan siswa atau pola pembelajaran jarak
jauh menggunakan media atau bahan pembelajaran yang disiapkan.
Berdasarkan pola-pola pembelajaran diatas, maka pembelajaran bukan hanya
sekedar mengajar dengan pola satu, akan tetapi lebih dari pada itu seorang guru
harus mampu menciptakan proses pembelajaran yang bervariasi. Menurut paham
konvensional, pembelajaran diartikan sebagai bantuan kepada anak didik yang
dibatasi pada aspek intelektual dan keterampilan. Unsur utama dari pembelajaran
adalah pengalaman anak sebagai seperangkat event sehingga terjadi proses belajar.
3. Keterkaitan Pendidikan dan Pembelajaran
Pendidikan dan pembelajaran adalah dua istilah yang memiliki konteks
berbeda dalam lingkup pekerjaan yang sama. Perbedaan konotasi kedua istilah ini
telah turut dijelaskan oleh banyak ilmuwan lain di dunia. Dalam bahasa Inggris,
9

misalnya, dibedakan makna konotatif education and teaching. Begitu juga dalam
bahasa Arab, para ahli pendidikan membedakan antara al-tarbiyah wa altaâlim.
Mahatma Ghandi, seorang tokoh pergerakan India, memberikan perspektif,
bahwa pendidikan tidak berakhir dengan kemampuan membaca, menulis dan
berhitung. Baginya, kemampuan membaca, menulis dan berhitung, bukan awal dari
sebuah pendidikan. Lebih dari itu, kata Ghandi, pendidikan merupakan proses
pengembangan dan pembinaan rasa percaya diri serta membina dan
mengembangkan kemampuan untuk menghidupi diri sendiri, mandiri dan
kemampuan melepaskan diri dari ketergantungan ekonomi pada orang lain. Untuk
itu, pendidikan harus memberikan penekanan pada pembentukan karakter, dan
semua aspek perkembangan fisik, mental, sosial, moral, rasa keindahan, dan juga
agama. Dia berpandangan, bahwa pendidikan harus mampu membina anak untuk
menjadi anggota masyarakat yang ideal (Gupta, 2014). Oleh sebab itu, sekolah,
menurutnya harus sudah sampai pada tahap mengembangkan cara berpikir dan
bertindak. Sekolah bukan sekedar untuk mendengar, tapi menurutnya, sekolah
harus mampu menghubungkan antara materi yang dipelajari dengan realitas sosial
kehidupan masyarakat. Belajar bukan semata akademik dan pemahaman
pengetahuan, tapi justru bisa membawa perubahan.
Pendidikan adalah segala daya upaya dan semua usaha untuk membuat
masyarakat dapat mengembangkan potensi manusia agar memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan,
berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota
masyarakat dan warga negara. Di samping itu pendidikan merupakan usaha untuk
membentuk manusia yang utuh lahir dan batin cerdas, sehat, dan berbudi pekerti
luhur.
Sedangkan pembelajaran adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru secara
terprogram dalam disain instruksional yang menciptakan proses interaksi antara
sesama peserta didik, guru dengan peserta didik dan dengan sumber belajar.
Pembelajaran bertujuan untuk menciptakan perubahan secara terus-menerus dalam
perilaku dan pemikiran siswa pada suatu lingkungan belajar.
Ada beberapa hal yang dapat menunjukkan sebuah perbedaan antara
pendidikan dan pembelajaran. Bahwa secara sederhana, pendidikan merupakan
10

usaha sadar dan sengaja untuk mendewasakan peserta didik dengan mentransfer
nilai-nilai (value). Sedangkan pembelajaran merupakan usaha sadar dan sengaja
untuk mendewasakan peserta didik dengan mentransfer pengetahuan.
Secara mendasar, perbedaan antara pendidikan dan pembelajaran dapat
dilihat dari perbedaan antara kata mengajar dan mendidik. Mengajar ialah
memberikan pengetahuan atau melatih kecakapan-kecakapan (keterampilan)
kepada anak-anak. Sedangkan mendidik adalah membentuk budi pekerti dan watak
anak-anak. Jadi, dengan pengajaran, guru membentuk kecerdasan. Dan dengan
pendidikan, guru membentuk kesusilaan pada anak. Namun pada pendidikan dan
pembelajaran juga terdapat keterkaitan yaitu:
1. Sama-sama proses utama dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya
manusia dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, baik
pembelajaranmaupun pengajaran merupakan aktivitas yang paling utama.
Karenamerupakan proses komunikatif-interaktif antara sumber belajar, guru,
dansiswa yaitu saling bertukar informasi.
2. Menggunakan guru sebagai pelaku, transfer dan pembimbing peran yang
dimiliki oleh seorang guru dalam tahap ini adalah sebagai fasilitator dengankata
lain ialah sebagai pelaku dalam pentransferan pengetahuan sekaligussebagai
pembimbing. Untuk menjadi fasilitator yang baik.
3. Tujuannya sama-sama untuk perubahan atas sikap dan perilaku untuk
memperoleh suatu perubahan yang dilakukan secara sadar dan
untukmemperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya dan menetap
dalamtingkah laku sebagai akibat atau hasil dari pengalaman yang lalu dan
latihan berinteraksi dengan lingkungannya.
4. Akan dapat mencapai tujuan jika pembelajaran bermakna dengan
pengajaranyang tepat. Sebaliknya pendidikan tidak akan mencapi tujuan
jika pembelajaran tidak bermakna dengan pengajaran yang tidak tepat.
Antara pendidikan, pembelajaran dan pengajaran saling terkait. Pendidikan
akan dapat mencapai tujuan jika pembelajaran bermakna dengan pengajaran yang
tepat. Sebaliknya pendidikan tidak akan mencapi tujuan jika pembelajaran tidak
bermakna dengan pengajaran yang tidak tepat.
11

B. Pendidikan Sepanjang Hayat


1. Hakikat Pendidikan Sepanjang Hayat
Konsep pendidikan dan pembelajaran yang diajarkan oleh pakar pendidkan
Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara adalah pembelajaran dan pendidikan yang
berlangsung dimana saja dan kapan saja. Setiap orang adalah guru dan setiap rumah
dan tempat adalah sekolah. Perkembangan dan padangan Ki Hajar berkembang
melampaui zamannya. Beliau sangat visioner dan paham mengenai esensi
pembelajaran yang digunakan dan diterapkan pada konsep pendidikan modern
dalam bentuk life long education .
Pendidikan sepanjang hayat (life long education) adalah sebuah sistem
pendidikan yang dilakukan oleh manusia ketika lahir sampai meninggal dunia.
Pendidikan sepanjang hayat merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi.
Melalui pendidikan sepanjang hayat, manusia selalu belajar melalui peristiwa-
peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau pengalaman yang telah
dialami. Konsep pendidikan sepanjang hayat tidak mengenal batas usia, semua
manusia baik yang masih kecil hingga lanjut usia tetap bisa menjadi peserta didik,
karena cara belajar sepanjang hayat dapat dilakukan dimanapun, kapanpun, dan
oleh siapapun.
Menurut pendapat Sudjana (2001: 217-218) pendidikan sepanjang hayat harus
didasarkan atas prinsip-prinsip pendidikan di bawah ini :
a. Pendidikan hanya akan berakhir apabila manusia telah meninggal dunia.
b. Pendidikan sepanjang hayat merupakan motivasi yang kuat bagi peserta didik
untuk merencanakan dan melakukan kegiatan belajar secara terorganisi dan
sistimatis.
c. Kegiatan belajar bertujuan untuk mempeoleh, memperbaharui, dan
meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang telah dimiliki.
d. Pendidikan memiliki tujuan-tujuan berangkai dalam memenuhi kebutuhan
belajar dan dalam mengembangkan kepuasan diri setiap manusia yang
melakukan kegiatan belajar.
e. Perolehan pendidikan merupakan prasyarat bagi perkembangan kehidupan
manusia, baik untuk meningkatkan kemampuannya, agar manusia selalu
melakukan kegiatan belajar guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
12

2. Tujuan Pendidikan Sepanjang Hayat (Life long education)


Manurut Faturrahman dkk (2012), tujuan Pendidikan Sepanjang Hayat (Life
long education) adalah:
a. Mengembangkan potensi kepribadian manusia sesuai dengan kodrat dan
hakekatnya, yakni seluruh aspek pembaurannya seoptimal mungkin.
b. Dengan mengingat proses pertumbuhan dan perkembangan kepribadian
manusia bersifat hidup dinamis, maka pendidikan wajar berlangsung seumur
hidup.
3. Alasan Pendidikan Sepanjang Hayat (Life long education)
Menurut Nidawati (2013), beberapa alasan mengenai urgensi Pendidikan
Sepanjang Hayat (Life long education) yang dilihat dari beberapa aspek, yakni:
a. Aspek Idelogis
Setiap manusia hidup mempunyai hak yang sama dalam hal pengembangan diri,
untuk mendapatkan pendidikan seumur hidup, untuk peningkatan pengetahuan
dan keterampilan hidup. Pendidikan Sepanjang Hayat (Life long education)
akan memungkinkan setiap individu untuk mengembangkan potensinya sesuai
dengan kebutuhan hidupnya.
b. Aspek Ekonomi
Pendidikan Sepanjang Hayat (Life long education) dalam aspek ekonomi
memungkinkan seseorang untuk memelihara produktivitasnya, memelihara dan
mengembangkan potensi yang dimilikinya, memungkinkan hidup dalam
lingkungan yang sehat dan menyenangkan dan memiliki motivasi dalam
mengasuh dan mendidik anak-anak secara tepat sehingga peranan pendidikan
dalam keluarga menjadi sangat besar dan penting.
c. Aspek Filosofis
Pendidikan Sepanjang Hayat (Life long education) secara filosofis akan
memberikan dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara pastinya akan selalu ada perubahan dan semua itu
perlu dipelajari oleh semua rakyat, di sinilah terlihat peran Pendidikan
Sepanjang Hayat (Life long education).
13

d. Aspek Sosiologis
Pendidikan seumur hidup yang dilakukan oleh orang tua merupakan solusi
untuk memecahkan masalah pendidikan. Dengan orang tua bersekolah maka
anak-anak juga bersekolah.
e. Aspek Teknologis
Semakin maju zaman semakin berkembang pula ilmu pengetahuan dan
teknologinya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut setiap
orang untuk terus belajar agar bisa bertahan hidup. Selain itu dengan teknologi
maka Pendidikan Sepanjang Hayat (Life long education) akan semakin mudah.
Begitu pula sebaliknya, dengan majunya ilmu pengetahuan 5 dan teknologi,
para pemimpin, teknisi, guru dan sarjana dari berbagai disiplin ilmu senantiasa
menyesuaikan perkembangan ilmu teknologi untuk menambah pengetahuan di
samping keterampilannya.
f. Aspek psikologis dan pedagogis
Pendidikan pada dasarnya dipandang sebagai pelayanan untuk membantu
pengembangan personal sepanjang hidup yang disebut development.
Konseptualisasi pendidikan seumur hidup merupakan alat untuk
mengembangkan individu yang akan belajar seumur hidup agar lebih bernilai
bagi masyarakat.
C. 4 Pilar Pendidikan menurut UNESCO
1. Pengertian pilar pendidikan
Dalam kamus umum, pilar adalah tiang penyangga/ penguat, dari beton dan
sebagainya, juga sekaligus dipakai untuk keindahan/ keserasian, penunjang untuk
kegiatan (Bahri, 1993).
M.J. Langelveld mengatakan bahwa : “Pendidikan adalah setiap usaha,
pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak didik yang
bertujuan pada pendewasaan anak itu”.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pilar pendidikan
UNESCO adalah tiang atau penunjang dari suatu kegiatan usaha, pengaruh,
perlindungan dan bantuan yang akan diberikan kepada anak didik yang bertujuan
pada pendewasaan anak dan direkomendasikan oleh UNESCO (Kiswati, 2012).
14

2. Makna pilar pendidikan UNESCO


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO (United
Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) yang bergerak di
bidang pendidikan, pengetahuan dan budaya mencanangkan empat pilar
pendidikan yakni: (1) learning to Know, (2) learning to do (3) learning to be, dan
(4) learning to live together. Keempat pilar tersebut secara sinergi membentuk
dan membangun pola pikir pendidikan di Indonesia. Adapun empat pilar tersebut
adalah sebagai berikut (Laksana, 2016) :
a. Learning to know
Pilar pertama ini memeliki arti bahwa para peserta didik dianjurkan untuk
mencari dan mendapatkan pengetahuan sebanyak-banyaknya, melalui
pengalaman-pengalaman. Hal ini akan dapat memicu munculnya sikap kritis dan
semangat belajar peserta didik meningkat. Learning to know selalu mengajarkan
tentang arti pentingnya sebuah pengetahuan, karena didalam learning to know
terdapat learning how to learn, artinya peserta didik belajar untuk memahami apa
yang ada di sekitarnya, karena itu adlah proses belajar. Hal ini sesuai pendapat
Ahmadi dan Supriyono (2004: 128) yaitu belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya.
Sedangkan menurut Purwanto (2004: 44), belajar merupakan proses dalam
diri individu yang berinteraksi dengan lingkungan untuk mendapatkan perubahan
dalam perilakunya. Dari dua pendapat diatas menunjukkan bahwa belajar bukan
saja berasal dari bangku sekolahan saja tetapi belajar dapat terjadi melalui
interaksi dengan lingkungan. Belajar bukan hanya dinilai dari segi hasilnya saja,
melainkan dinilai dari segi proses, bagaimana cara anak tersebut memperoleh
pengetahuan, bukan apa yang diperoleh anak tersebut. Learning to know juga
mengajarkan tentang live long of education atau yang disebut dengan belajar
sepanjang hayat. Arti pendidikan sepanjang hayat (long life education) adalah
bahwa pendidikan tidak berhenti hingga individu menjadi dewasa, tetapi tetap
berlanjut sepanjang hidupnya (Suprijanto, 2008: 4). Hal ini menegaskan bahwa
pendidikan di sekolah merupakan kelanjutan dalam keluarga. Sekolah merupakan
15

lembaga tempat dimana terjadi proses sosialisasi yang kedua setelah keluarga,
sehingga mempengaruhi pribadi anak dan perkembangan sosialnya. Sekolah
diselenggarakan secara formal. Di sekolah anak akan belajar apa yang ada di
dalam kehidupan, dengan kata lain sekolah harus mencerminkan kehidupan
sekelilingnya. Oleh karena itu, sekolah tidak boleh dipisahkan dari kehidupan dan
kebutuhan masyarakat sesuai dengan perkembangan budayanya.
Learning to know tidak hanya sekedar memperoleh pengetahuan saja, tetapi
harus mengusai teknik cara memperoleh pengetahuan tersebut. Secara implisit
learning to know bermakna belajar sepanjang hayat. Pilar ini berpotensi untuk
mencetak generasi muda yang memiliki intelektual dan akademik yang tinggi.
(Muhardi, 2012).
b. Learning to do
Pendidikan juga merupakan proses belajar untuk bisa melakukan sesuatu.
Dalam pilar ini, belajar dimaknai sebagai upaya untuk membuat peserta didik
bukan hanya mengetahui, mendengar dan melihat dengan tujuan akumulasi
pengetahuan, tetapi lebih kepada dapat melakukan, terampil berbuat atau
mengerjakan kegiatan tertentu (sesuatu) sehingga menghasilkan sesuatu yang
bermakna bagi kehidupan. Fokus pembelajaran dalam pilar ini lebih
memfokuskan pada ranah psikomotorik. Jenis belajar ini sebagai bentuk
aktualisasi dari materi yang didapatnya yaitu berkarya dan berbuat. Berkarya
berdasarkan potensi yang dimiliki dibarengi materi yang didapatnya. Dengan
berkarya, tidak saja membuat ma ndiri tapi juga dapat membantu orang lain
melalui karyanya tersebut.
Learning to do mengupayakan terhadap diberdayakannya peserta didik agar
mau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya sehingga
mampu menyesuaikan diri dan berpartisipasi dalam masyarakat. Dengan
demikian seorang individu perlu belajar berkarya, dan belajar berkarya erat
kaitannya dengan belajar mengetahui, karena pengetahuan melandasi suatu
perbuatan. Peserta didik diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam situasi konkrit
yang tidak hanya terbatas pada penguasaan ketrampilan yang mekanitis melainkan
juga terampil dalam berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, mengelola
dan mengatasi suatu konflik. Melalui pilar kedua ini, dimungkinkan mampu
16

mencetak generasi muda yang cerdas dalam bekerja dan mempunyai kemampuan
untuk berinovasi.
Learning to do merupakan konsekuensi dari learning to know. Learning to
do bukanlah kemampuan berbuat yang mekanis dan pertukangan tanpa pemikiran
tetapi action in thingking dan learning by doing. Dengan ini peserta didik akan
terus belajar bagaimana memperbaiki dan menumbuhkembangkan kerja, juga
bagaimana mengembangkan teori atau konsep intelektualitasnya (Ma’arif, 2005).
Belajar berbuat, memberi kesempatan kepada peserta didik untuk tidak
hanya memperoleh keterampilan kerja, tetapi juga memperoleh kompetensi untuk
menghadapi pelbagai situasi serta kemampuan bekerja dalam tim, berkomunikasi,
serta menangani dan menyelesaikan masalah dan perselisihan. Termasuk didalam
pengertian ini adalah kesempatan untuk memperoleh pengalaman dalam
bersosialisasi maupun bekerja di luar kurikulum seperti magang kerja, aktivitas
pengabdian masyarakat, berorganisasi serta mengikuti pertemuan-pertemuan
ilmiah dalam konteks lokal maupun nasional, ataupun dikaitkan dengan program
belajar seperti praktek kerja lapangan, kuliah kerja nyata atau melakukan
penelitian bersama.
Learning to do yaitu proses pembelajaran dengan penekanan agar peserta
didik menghayati proses belajar dengan melakukan sesuatu yang bermakna
“Active Learning”. Peserta didik memperoleh kesempatan belajar dan berlatih
untuk dapat menguasai dan memiliki standar kompetensi dasar yang
dipersyaratkan dalam dirinya. Proses pembelajaran yang dilakukan menggali dan
menemukan informasi (information searching and exploring), mengolah dan
informasi dan mengambil keputusan (information processing and decision
making skill), serta memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving
skill).
c. Learning to be
Learning to be yaitu mengembangkan kepribadian dirinya sendiri dan
mampu berbuat dengan kemandirian yang lebih besar, perkembangan dan
tanggung jawab pribadi. Dalam hubungan ini, pendidikan harus berhubungan
dengan setiap aspek dari potensi pribadi yang berupa: mengingat, menalar, rasa
17

estetis, kemampuan- kemampuan fisik, dan keterampilan- keterampilan


berkomunikasi (Mudyahardjo, 1998).
Di samping itu, Learning to be ini juga merupakan pelengkap dari learning to
know dan learning to do. Robinson Crussoe berpendapat bahwa manusia itu hidup
sendiri tanpa kerja sama atau saling tergantung dengan manusia lain. Manusia di
era sekarang ini bisa hanyut ditelan masa jika tidak berpegang teguh pada jati
dirinya. Learning to be akan menuntun peserta didik menjadi ilmuwan sehingga
mampu menggali dan menentukan nilai kehidupannya sendiri dalam hidup
bermasyarakat sebagai hasil belajarnya (Suwarno, 2006).
Di dalam Learning to be ini mengandung prinsip sebagai berikut:
1) Berfungsi sebagai andil terhadap pembentukan niali- nilai yang dimiliki
bersama.
2) Menghubungkan antara tangan dan pikiran, individu dengan masyarakat
pembelajaran kognitif dan non- kognitif serta pembelajaran formal dan non-
formal.
(Shofan, 2007).
Pada Learning to be ini ditekankan pada pengembangan potensi insani
secara maksimal. Setiap individu didorong untuk berkembang dan
mengaktualisasikan diri. Dengan Learning to do seseorang akan mengenal jati
diri, memahami kemampuan dan kelemahannya dan kompetensi-kompetensinya
akan membangun pribadi yang utuh (Kunandar, 2007).
d. Learning to live together
Learning to live together merupakan kelanjutan yang tidak dapat dielakkan
dari learning to know, leaning to do dan learning to be. Learning to live together
ini menuntun seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi educated person
yang bermanfaat baik bagi diri dan masyarakatnya, maupun bagi seluruh umat
manusia sebagai amalan agamanya (Ma’arif, 2005).
Learning to live together dilakukan melalui perkembangan suatu
pemahaman tentang orang lain dan suatu penghargaan terhadap saling
ketergantungan- pelaksana proyek bersama dan belajar mengelola konflik dalam
semangat menghargai nilai- nilai kejamakan, pemahaman bersama dan
perdamaian (Mudyohardjo, 1998).
18

Learning to live together ini mengandung prinsip (Shofan, 2007) sebagai


berikut:
Membangun sistem nilai
Pembentukan identitas melalui proses pemilikan konsep luas
sehingga pendidikan tidak hanya membekali generasi muda untuk menguasai iptek
dan kemampuan bekerja serta memecahkan masalah, melainkan kemampuan untuk
hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian
dan tanpa prasangka. Learning to live together ini menekankan pada seseorang atau
pihak yang belajar untuk mampu hidup bersama, dengan memahami orang lain,
sejarahnya, budayanya dan mampu berinteraksi dengan orang lain secara harmonis
(Kunandar, 2007).
D. Taksonomi Belajar
1. Hakikat Taksonomi
Menurut Yaumi (2013), taksonomi berasal dari bahasa Yunani taxis yang
berarti pengaturan dan nomos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi, taksonomi
berarti hierarkhi klasifikasi atas prinsip dasar atau aturan. Istilah ini kemudian
digunakan oleh Benjamin Samuel Bloom, seorang psikolog bidang pendidikan
yang melakukan penelitian dan pengembangan mengenai kemampuan berpikir
dalam proses pembelajaran (Utari, 2011).
Taksonomi dalam bidang pendidikan, digunakan untuk klasifikasi tujuan
instruksional; ada yang menamakannya tujuan pembelajaran, tujuan penampilan, atau
sasaran belajar. Taksonomi tujuan instruksional ialah adanya hierarki yang dimulai dari
tujuan instruksional pada jenjang terendah sampai jenjang tertinggi. (Gunawan dan
Palupi, 2016).
Taksonomi tujuan pembelajaran adalah pengelompokkan tujuan
pembelajaran didasarkan kepada domain (ranah kawasan) yang dimiliki oleh siswa.
Tujuan pembelajaran merupakan unsur penting yang harus dipertimbangkan untuk
mencapai keberhasilan dalam proses pembelajaran.
2. Taksonomi Bloom (Sebelum Revisi)
Istilah taksonomi pertama kali digunakan oleh Benjamin Samuel Bloom,
seorang psikolog bidang pendidikan yang melakukan penelitian dan pengembangan
19

mengenai kemampuan berpikir dalam proses pembelajaran. Bloom, lahir pada


tanggal 21 Februari 1913 di Lansford, Pennsylvania dan berhasil meraih doktor di
bidang pendidikan dari The University of Chicago pada tahun 1942. Ia dikenal
sebagai konsultan dan aktivis internasonal di bidang pendidikan dan berhasil
membuat perubahan besar dalam sistem pendidikan di India. Ia mendirikan the
International Association for the Evaluation of Educational Achievement, the IEA
dan mengembangkan the Measurement, Evaluation, and Statistical Analysis
(MESA) program pada University of Chicago. Di akhir hayatnya, Bloom menjabat
sebagai Chairman of Research and Development Committees of the College
Entrance Examination Board dan The President of the American Educational
Research Association (Utari dkk, 2011).
Sejarah taksonomi bloom bermula ketika awal tahun 1950-an, dalam
Konferensi Asosiasi Psikolog Amerika, Bloom dan kawan-kawan mengemukakan
bahwa dari evaluasi hasil belajar yang banyak disusun di sekolah, ternyata
persentase terbanyak butir soal yang diajukan hanya meminta siswa untuk
mengutarakan hapalan mereka. Konferensi tersebut merupakan lanjutan dari
konferensi yang dilakukan pada tahun 1948. Menurut Bloom, hapalan sebenarnya
merupakan tingkat terendah dalam kemampuan berpikir (thinking behaviors).
Masih banyak level lain yang lebih tinggi yang harus dicapai agar proses
pembelajaran dapat menghasilkan siswa yang kompeten di bidangnya.
Akhirnya pada tahun 1956, Bloom, Englehart, Furst, Hill dan Krathwohl
berhasil mengenalkan kerangka konsep kemampuan berpikir yang dinamakan
Taxonomy Bloom. Jadi, Taksonomi Bloom adalah struktur hierarki yang
mengidentifikasikan skills mulai dari tingkat yang rendah hingga yang tinggi.
Tentunya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, level yang rendah harus
dipenuhi lebih dulu.
Menurut Idris dan Jamal (1992: 32) taksonomi yang dicetuskan oleh
Benjamin S.Bloom adalah klasifikasi sasaran atau tujuan pendidikan menjadi tiga
domain (ranah kawasan),yaitu: ranah kognitif, ranah afektif serta ranah psikomotor,
dan setiap ranah tersebut dibagi kembali kedalam pembagian yang lebih rinci
berdasarkan hierarkinya.
20

Ranah Kognitif berisi perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti


pengetahuan, dan keterampilan berpikir. Ranah afektif mencakup perilaku terkait
dengan emosi, misalnya perasaan, nilai, minat, motivasi, dan sikap. Sedangkan
ranah Psikomotorik berisi perilaku yang menekankan fungsi manipulatif dan
keterampilan motorik / kemampuan fisik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
Para trainer biasanya mengkaitkan ketiga ranah ini dengan Knowledge, Skill and
Attitude (KSA). Kognitif menekankan pada Knowledge, Afektif pada Attitude, dan
Psikomotorik pada Skill. Sebenarnya di Indonesia pun, kita memiliki tokoh
pendidikan, Ki Hajar Dewantara yang terkenal dengan doktrinnya Cipta, Rasa dan
Karsa atau Penalaran, Penghayatan, dan Pengamalan. Cipta dapat diidentikkan
dengan ranah kognitif, Rasa dengan ranah afektif dan Karsa dengan ranah
psikomotorik.
Ranah kognitif mengurutkan keahlian berpikir sesuai dengan tujuan yang
diharapkan. Proses berpikir menggambarkan tahap berpikir yang harus dikuasai
oleh siswa agar mampu mengaplikasikan teori kedalam perbuatan. Ranah kognitif
ini terdiri atas enam level, yaitu: (1) knowledge (pengetahuan), (2) comprehension
(pemahaman atau persepsi), (3) application (penerapan), (4) analysis (penguraian
atau penjabaran), (5) synthesis (pemaduan), dan (6) evaluation (penilaian). Masing–
masing jenjang pada taksonomi bloom dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Pengetahuan / Knowledge (C1)
Pengetahuan (knowledge) adalah jenjang paling dasar dalam Taksonomi
bloom. Meskipun pengetahuan adalah jenjang paling dasar, tapi jenjang ini adalah
komponen yang penting. Penerapan dalam jenjang ini misalnya: siswa mengetahui
istilah, atau mengetahui fakta spesifik. Menurut Suyono dan Hariyanto (2014:169)
jenjang ini menekankan pada kemampuan siswa menguraikan isi pokok bacaan,
mendefinisikan istilah serta memaparkan fakta-fakta.
b. Pemahaman / Comprehension (C2)
Jenjang ini adalah tinggkat kedua stelah pengetahuan, siswa memahami dan
dapat mengunahkan bahan atau materi yang telah disampaikan oleh guru. Siswa
harus mengetahui fakta–fakta tertentu dahulu sebelum memahami konsep yang
dikembangkan dari saling hubungan diantaranya. Menurut W.S. Winkel (1987
21

:150) pada tingkat ini, seseorang memiliki kemampuan untuk menangkap makna
dan arti tentang hal yang dipelajari.
c. Penerapan / Application (C3)
Pada jenjang ini siswa mampu menggunakan materi yang bersifat abstrak
disalam situasi yang kongkret. Materi yang bersifat abstrak bisa berupa
gagasan,prinsip–prinsip,dan kaidah–kaidah. Menurut W.S. Winkel (1987:150),
penerapan merupakan suatu kaidah atau metode untuk menghadapi suatu kasus atau
problem yang konkret atau nyata dan baru.
d. Analisa / Analysis (C4)
Menurut Hamalik (2010:79) jenjang ini menuntut siswa untuk membuat
jenjang gagasan–gagasan dalam satu kesatuan materi secara jelas atau membuat
hubungan-hubungan antara gagasan-gagasan secara eksplisit. Analisis diartikan
sebagai pemecahan atau pemisahan konsep menjadi unsur–unsur peyusunnya,
sehingga ide itu relative menjadi lebih jelas. Menurut John W.Santrock (2007:468)
pada tingkat ini, seseorang mampu memecahkan informasi yang kompleks menjadi
bagian–bagian kecil dan mengaitkan informasi dengan informasi lain.
e. Sintesa/ Synthesis (C5)
Jenjang perilaku ini menuntut siswa untuk memadukan bagian-bagian
menjadi satu kesuluruhan atau kesatuan. Kemampuan untuk mengenali data-data
serta informasi yang didapat kemudian menghubungkannya untuk mendapat
solusi yang dibutuhkan.
f. Evaluasi/ Evaluation (C6)
Pada evaluasi terdapat pertimbangan tentang nilai materi dan metode yang
digunakan untuk maksud tertentu. Menurut Dimyanti dan Mudjiono (2009:28)
evaluasi adalah kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap suatu materi
pembelajaran, argumen yang berkenaan dengan sesuatu yang diketahui, dipahami,
dilakukan, dianalisis, dan dihasilkan.
Tiga level pertama (terbawah) merupakan Lower Order Thinking Skills,
sedangkan tiga level berikutnya Higher Order Thinking Skill. Namun demikian
pembuatan level ini bukan berarti bahwa lower level tidak penting. Justru lower
order thinking skill ini harus dilalui dulu untuk naik ke tingkat berikutnya. Skema
22

ini hanya menunjukkan bahwa semakin tinggi semakin sulit kemampuan


berpikirnya.

Gambar 1. Taksonomi Bloom sebelum Revisi

3. Revisi Taksonomi Bloom


Pada tahun 1994, salah seorang murid Bloom, Lorin Anderson Krathwohl
dan para ahli psikologi aliran kognitivisme memperbaiki taksonomi Bloom agar
sesuai dengan kemajuan zaman. Hasil perbaikan tersebut baru dipublikasikan pada
tahun 2001 dengan nama Revisi Taksonomi Bloom. Revisi hanya dilakukan pada
ranah kognitif. Revisi tersebut meliputi:
1. Perubahan kata kunci dari kata benda menjadi kata kerja untuk setiap level
taksonomi.
2. Perubahan hampir terjadi pada semua level hierarkhis, namun urutan level
masih sama yaitu dari urutan terendah hingga tertinggi. Perubahan mendasar
terletak pada level 5 dan 6. Perubahan-perubahan tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:

 Pada level 1, knowledge diubah menjadi remembering (mengingat)

 Pada level 2, comprehension dipertegas menjadi understanding


(memahami)

 Pada level 3, application diubah menjadi applying (menerapkan)

 Pada level 4, analysis menjadi analyzing (menganalisis)

 Pada level 5, synthesis dinaikkan levelnya menjadi level 6 tetapi dengan


perubahan mendasar, yaitu creating (mencipta)
23

 Pada level 6, Evaluation turun posisisinya menjadi level 5, dengan sebutan


evaluating (menilai).
Jadi, Taksonomi Bloom baru versi Kreathwohl pada ranah kognitif terdiri dari enam
level: remembering, (mengingat), understanding (memahami), applying
(menerapkan), analyzing (menganalisis, mengurai), evaluating (menilai) dan
creating (mencipta). Revisi Krathwohl ini sering digunakan dalam merumuskan
tujuan belajar yang sering kita kenal dengan istilah C1 sampai dengan C6.
Perubahan istilah dan pola level taksonomi bloom dapat digambarkan
sebagai berikut:

Gambar 2. Perubahan Pola Level Taksonomi Bloom Sebelum dan Sesudah Revisi.

Sama dengan sebelum revisi, tiga level pertama (terbawah) merupakan


Lower Order Thinking Skills, sedangkan tiga level berikutnya Higher Order
Thinking Skill. Jadi, dalam menginterpretasikan piramida di atas, secara logika
adalah sebagai berikut:
 Sebelum kita memahami sebuah konsep maka kita harus mengingatnya
terlebih dahulu
 Sebelum kita menerapkan maka kita harus memahaminya terlebih dahulu
 Sebelum kita menganalisa maka kita harus menerapkannya dulu
 Sebelum kita mengevaluasi maka kita harus menganalisa dulu
 Sebelum kita berkreasi atau menciptakan sesuatu, maka kita harus mengingat,
memahami, mengaplikasikan, menganalisis dan mengevaluasi
Taksonomi Bloom ranah kognitif yang telah direvisi Anderson dan Krathwohl
(2001:66-88) yakni: mengingat (remember), memahami/mengerti (understand),
24

menerapkan (apply), menganalisis (analyze), mengevaluasi (evaluate), dan


menciptakan (create).
a. Mengingat (Remember)
Mengingat merupakan usaha mendapatkan kembali pengetahuan dari memori
atau ingatan yang telah lampau, baik yang baru saja didapatkan maupun yang sudah
lama didapatkan. Mengingat merupakan dimensi yang berperan penting dalam proses
pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) dan pemecahan masalah (problem
solving). Kemampuan ini dimanfaatkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan
yang jauh lebih kompleks. Mengingat meliputi mengenali (recognition) dan
memanggil kembali (recalling). Mengenali berkaitan dengan mengetahui pengetahuan
masa lampau yang berkaitan dengan hal-hal yang konkret, misalnya tanggal lahir,
alamat rumah, dan usia, sedangkan memanggil kembali (recalling) adalah proses
kognitif yang membutuhkan pengetahuan masa lampau secara cepat dan tepat.
b. Memahami/mengerti (Understand)
Memahami/mengerti berkaitan dengan membangun sebuah pengertian dari
berbagai sumber seperti pesan, bacaan dan komunikasi. Memahami/mengerti berkaitan
dengan aktivitas mengklasifikasikan (classification) dan membandingkan
(comparing). Mengklasifikasikan akan muncul ketika seorang siswa berusaha
mengenali pengetahuan yang merupakan anggota dari kategori pengetahuan tertentu.
Mengklasifikasikan berawal dari suatu contoh atau informasi yang spesifik
kemudian ditemukan konsep dan prinsip umumnya. Membandingkan merujuk pada
identifikasi persamaan dan perbedaan dari dua atau lebih obyek, kejadian, ide,
permasalahan, atau situasi. Membandingkan berkaitan dengan proses kognitif
menemukan satu persatu ciri-ciri dari obyek yang diperbandingkan.
c. Menerapkan (Apply)
Menerapkan menunjuk pada proses kognitif memanfaatkan atau
mempergunakan suatu prosedur untuk melaksanakan percobaan atau menyelesaikan
permasalahan. Menerapkan berkaitan dengan dimensi pengetahuan prosedural
(procedural knowledge). Menerapkan meliputi kegiatan menjalankan prosedur
(executing) dan mengimplementasikan (implementing).
Menjalankan prosedur merupakan proses kognitif siswa dalam menyelesaikan
masalah dan melaksanakan percobaan di mana siswa sudah mengetahui informasi
tersebut dan mampu menetapkan dengan pasti prosedur apa saja yang harus dilakukan.
25

Jika siswa tidak mengetahui prosedur yang harus dilaksanakan dalam menyelesaikan
permasalahan maka siswa diperbolehkan melakukan modifikasi dari prosedur baku
yang sudah ditetapkan.
Mengimplementasikan muncul apabila siswa memilih dan menggunakan
prosedur untuk hal-hal yang belum diketahui atau masih asing. Karena siswa masih
merasa asing dengan hal ini maka siswa perlu mengenali dan memahami permasalahan
terlebih dahulu kemudian baru menetapkan prosedur yang tepat untuk menyelesaikan
masalah. Mengimplementasikan berkaitan erat dengan dimensi proses kognitif yang
lain yaitu mengerti dan menciptakan.
Menerapkan merupakan proses yang kontinu, dimulai dari siswa
menyelesaikan suatu permasalahan menggunakan prosedur baku/standar yang sudah
diketahui. Kegiatan ini berjalan teratur sehingga siswa benar-benar mampu
melaksanakan prosedur ini dengan mudah, kemudian berlanjut pada munculnya
permasalahan-permasalahan baru yang asing bagi siswa, sehingga siswa dituntut untuk
mengenal dengan baik permasalahan tersebut dan memilih prosedur yang tepat untuk
menyelesaikan permasalahan.
d. Menganalisis (Analyze)
Menganalisis merupakan memecahkan suatu permasalahan dengan
memisahkan tiap-tiap bagian dari permasalahan dan mencari keterkaitan dari tiap-tiap
bagian tersebut dan mencari tahu bagaimana keterkaitan tersebut dapat menimbulkan
permasalahan. Kemampuan menganalisis merupakan jenis kemampuan yang banyak
dituntut dari kegiatan pembelajaran di sekolah-sekolah. Berbagai mata pelajaran
menuntut siswa memiliki kemampuan menganalisis dengan baik. Tuntutan terhadap
siswa untuk memiliki kemampuan menganalisis sering kali cenderung lebih penting
daripada dimensi proses kognitif yang lain seperti mengevaluasi dan menciptakan.
Kegiatan pembelajaran sebagian besar mengarahkan siswa untuk mampu membedakan
fakta dan pendapat, menghasilkan kesimpulan dari suatu informasi pendukung.
Menganalisis berkaitan dengan proses kognitif memberi atribut (attributeing)
dan mengorganisasikan (organizing). Memberi atribut akan muncul apabila siswa
menemukan permasalahan dan kemudian memerlukan kegiatan membangun ulang hal
yang menjadi permasalahan. Kegiatan mengarahkan siswa pada informasi-informasi
asal mula dan alasan suatu hal ditemukan dan diciptakan. Mengorganisasikan
menunjukkan identifikasi unsur-unsur hasil komunikasi atau situasi dan mencoba
mengenali bagaimana unsur-unsur ini dapat menghasilkan hubungan yang baik.
26

Mengorganisasikan memungkinkan siswa membangun hubungan yang sistematis dan


koheren dari potongan-potongan informasi yang diberikan. Hal pertama yang harus
dilakukan oleh siswa adalah mengidentifikasi unsur yang paling penting dan relevan
dengan permasalahan, kemudian melanjutkan dengan membangun hubungan yang
sesuai dari informasi yang telah diberikan.
e. Mengevaluasi (Evaluate)
Evaluasi berkaitan dengan proses kognitif memberikan penilaian berdasarkan
kriteria dan standar yang sudah ada. Kriteria yang biasanya digunakan adalah kualitas,
efektivitas, efisiensi, dan konsistensi. Kriteria atau standar ini dapat pula ditentukan
sendiri oleh siswa. Standar ini dapat berupa kuantitatif maupun kualitatif serta dapat
ditentukan sendiri oleh siswa.
Diketahui bahwa tidak semua kegiatan penilaian merupakan dimensi
mengevaluasi, namun hampir semua dimensi proses kognitif memerlukan
penilaian. Perbedaan antara penilaian yang dilakukan siswa dengan penilaian yang
merupakan evaluasi adalah pada standar dan kriteria yang dibuat oleh siswa. Jika
standar atau kriteria yang dibuat mengarah pada keefektifan hasil yang didapatkan
dibandingkan dengan perencanaan dan keefektifan prosedur yang digunakan maka
apa yang dilakukan siswa merupakan kegiatan evaluasi.
Evaluasi meliputi mengecek (checking) dan mengkritisi (critiquing).
Mengecek mengarah pada kegiatan pengujian hal-hal yang tidak konsisten atau
kegagalan dari suatu operasi atau produk. Jika dikaitkan dengan proses berpikir
merencanakan dan mengimplementasikan maka mengecek akan mengarah pada
penetapan sejauh mana suatu rencana berjalan dengan baik. Mengkritisi mengarah
pada penilaian suatu produk atau operasi berdasarkan pada kriteria dan standar
eksternal. Mengkritisi berkaitan erat dengan berpikir kritis. Siswa melakukan
penilaian dengan melihat sisi negatif dan positif dari suatu hal, kemudian
melakukan penilaian menggunakan standar ini.
f. Menciptakan (Create)
Menciptakan mengarah pada proses kognitif meletakkan unsur-unsur secara
bersama-sama untuk membentuk kesatuan yang koheren dan mengarahkan siswa untuk
menghasilkan suatu produk baru dengan mengorganisasikan beberapa unsur menjadi
bentuk atau pola yang berbeda dari sebelumnya. Menciptakan sangat berkaitan erat
dengan pengalaman belajar siswa pada pertemuan sebelumnya. Meskipun menciptakan
27

mengarah pada proses berpikir kreatif, namun tidak secara total berpengaruh pada
kemampuan siswa untuk menciptakan. Menciptakan di sini mengarahkan siswa untuk
dapat melaksanakan dan menghasilkan karya yang dapat dibuat oleh semua siswa.
Perbedaan menciptakan ini dengan dimensi berpikir kognitif lainnya adalah pada
dimensi yang lain seperti mengerti, menerapkan, dan menganalisis siswa bekerja
dengan informasi yang sudah dikenal sebelumnya, sedangkan pada menciptakan siswa
bekerja dan menghasilkan sesuatu yang baru.
Menciptakan meliputi menggeneralisasikan (generating) dan memproduksi
(producing). Menggeneralisasikan merupakan kegiatan merepresentasikan
permasalahan dan penemuan alternatif hipotesis yang diperlukan. Menggeneralisasikan
ini berkaitan dengan berpikir divergen yang merupakan inti dari berpikir kreatif.
Memproduksi mengarah pada perencanaan untuk menyelesaikan permasalahan yang
diberikan. Memproduksi berkaitan erat dengan dimensi pengetahuan yang lain yaitu
pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural, dan
pengetahuan metakognisi. Taksonomi Anderson dan Krathwohl (2001:66-88) disajikan
pada Tabel 1.
28

E. Mitra dalam Pendidikan (Partners in Education)


1. Orangtua
Pendidikan merupakan hal terbesar yang selalu diutamakan oleh para orang
tua. Saat ini masyarakat semakin menyadari pentingnya memberikan pendidikan
yang terbaik kepada anak-anak mereka sejak dini. Untuk itu orang tua memegang
peranan yang sangat penting dalam membimbing dan mendampingi anak dalam
kehidupan keseharian anak. Sudah merupakan kewajiban para orang tua untuk
menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga dapat memancing keluar potensi
anak, kecerdasan dan rasa percaya diri. Pendidikan anak dimulai dari pendidikan
orang tua di rumah dan orang tua yang mempunyai tanggung jawab utama terhadap
masa depan anak-anak mereka, sekolah hanya merupakan lembaga yang membantu
proses tersebut. Sehingga peran aktif dari orang tua sangat diperlukan bagi
keberhasilan anak-anak di sekolah. Kewajiban orang tua dalam mendidik anaknya
juga diterangkan dalam sebuah Hadist:

َ ‫ َو ُكلُّ ُك ْم َم ْسؤُو ٌل‬،ٍ‫الر ُج ُل َراع ََ ُكلُّ ُك ْم َراع‬


‫ َواْأل َ ِمي ُْر ر‬،‫ع ْن َر ِعيَّتِ ِه‬ َّ ‫ َو‬،ٍ‫ ٍَاع‬،‫علَى أ َ ْه ِل بَ ْيتِ ِه‬
َ
ُ ُّ ُ َ َ
‫ فكلك ْم ر‬،ِ‫ت زَ ْو ِج َها َو َول ِده‬ َ
ِ ‫على بَ ْي‬ ٌ ُ َ ْ
َ ‫ََوال َم ْرأة َرا ِعيَة‬ ْ
َ ‫عن َر ِعيَّتِ ِه‬ ُ ُّ ُ
َ ‫ َوكلك ْم َمسْؤُ و ٌل‬،ٍ‫اع‬.

“Kamu sekalian adalah pemimpin, dan kamu sekalian bertanggung jawab atas
orang yang dipimpinnya. Seorang Amir (raja) adalah pemimpin, seorang suami
pun pemimpin atas keluarganya, dan isteri juga pemimpin bagi rumah suaminya
dan anak-anaknya. Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan
diminta pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya.” (Diriwayatkan oleh al-
Bukhari (no. 893, 5188, 5200), Muslim (no. 1829), Ahmad (II/5, 54, 111) dari
Ibnu ‘Umar radhi-yallaahu ‘anhuma) (Jawas, 2006).

Pendampingan orang tua dalam pendidikan anak diwujudkan dalam suatu


cara-cara orang tua mendidik anak. Cara orang tua mendidik anak inilah yang
disebut sebagai pola asuh. Setiap orang tua berusaha menggunakan cara yang paling
baik menurut mereka dalam mendidik anak. Untuk mencari pola yang terbaik maka
hendaklah orang tua mempersiapkan diri dengan beragam pengetahuan untuk
menemukan pola asuh yang tepat dalam mendidik anak (Hurlock, 2000).
a. Pola Asuh Otoritative (Otoriter)
 Cenderung tidak memikirkan apa yang terjadi di kemudian hari fokus lebih pada
masa kini.
29

 Untuk kemudahan orang tua dalam pengasuhan.


 Menilai dan menuntut anak untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan
sepihak oleh orang tua.
Efek pola asuh otoriter terhadap perilaku belajar anak adalah:
 anak menjadi tidak percaya diri, kurang spontan ragu-ragu dan pasif, serta
memiliki masalah konsentrasi dalam belajar.
 Ia menjalankan tugas-tugasnya lebih disebabkan oleh takut hukuman.
 Di sekolah memiliki kecenderungan berperilaku antisosial, agresif, impulsive
dan perilaku mal adatif lainnya.
 Anak perempuan cenderung menjadi dependen
b. Pola Asuh Permisive (Pemanjaan)
 Segala sesuatu terpusat pada kepentingan anak, dan orang tua/pengasuh tidak
berani menegur, takut anak menangis dan khawatir anak kecewa.
Efek pola asuh permisif terhadap perilaku belajar anak:
 Anak memang menjadi tampak responsif dalam belajar, namun tampak kurang
matang (manja), impulsive dan mementingkan diri sendiri, kurang percaya diri
(cengeng) dan mudah menyerah dalam menghadapi hambatan atau kesulitan
dalam tugas-tugasnya.
 Tidak jarang perilakunya disekolah menjadi agresif.
c. Pola Asuh Indulgent (Penelantaran)
 Menelantarkan secara psikis.
 Kurang memperhatikan perkembangan psikis anak.
 Anak dibiarkan berkembang sendiri.
 Orang tua lebih memprioritaskan kepentingannya sendiri karena kesibukan.
Efek pola asuh indulgent terhadap perilaku belajar anak:
 Anak dengan pola asuh ini paling potensial telibat dalam kenakalan remaja
seperti penggunaan narkoba, merokok di usia dini dan tindak kriminal lainnya.
 Impulsive dan agresif serta kurang mampu berkonsentrasi pada suatu aktivitas
atau kegiatan.
 Anak memiliki daya tahan terhadap frustrasi rendah.
30

d. Pola Asuh Autoritatif (Demokratis)


 Menerima anak sepenuh hati, memiliki wawasan kehidupan masa depan yang
dipengaruhi oleh tinakan-tidakan masa kini.
 Memprioritaskan kepentingan anak, tapi tidak ragu-ragu mengendalikan anak.
 Membimbing anak kearah kemandirian, menghargai anak yang memiliki emosi
dan pikirannya sendiri
Efek pola asuh autoritatif terhadap perilaku belajar anak:
 Anak lebih mandiri, tegas terhadap diri sendiri dan memiliki kemampuan
introspeksi serta pengendalian diri.
 Mudah bekerjasama dengan orang lain dan kooperatif terhadapo aturan.
 Lebih percaya diri akan kemampannya menyelesaikan tugas-tugas.
 Mantap, merasa aman dan menyukai serta semangat dalam tugas-tugas belajar.
 Memiliki keterampilan sosial yang baik dan trampil menyelesaikan
permasalahan.
 Tampak lebih kreatif dan memiliki motivasi berprestasi.
a) Peran Serta Orang Tua dalam Perencanaan Pengembangan Sekolah
Dalam perencanaan pengembangan sekolah, orang tua merupakan salah
satu peran penting. Orang tua dapat berperan serta dalam meyediakan dana,
prasarana dan sarana sekolah sebagai upaya realisasi program-program sekolah
yang telah disusun bersama. Orang tua yang memiliki pendidikan, pengetahuan,
dan keterampilan khusus dapat berperan serta dalam membantu sekolah seperti
pada bidang proses pembelajaran, pengelolaan persekolahan, dan pengelolaan
keuangan sekolah. Orang tua siswa dapat berperan serta dalam perencanaan
pengembangan sekolah.
Misalnya saja ada orang tua siswa yang kebetulan seorang dokter. Sebagai
dokter tentunya sangat memahami betul apa itu arti hidup sehat, terutama bagi anak-
anak di sekolah. Dia dapat memberikan masukan yang berharga dalam perencanaan
pengembangan sekolah, terutama berkaitan dengan peningkatan mutu layanan
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), penataan warung jajan sehat bagi anak-anak,
serta pengaturan kamar mandi dan toilet sekolah yang sehat. Keterlibatan orang tua
siswa tersebut dalam perencanaan pengembangan sekolah yang berkaitan dengan
kesehatan, tentu sangat menguntungkan sekolah dan peserta didik.
31

Banyak cara yang dapat ditempuh orang tua siswa dalam perencanaan
pengembangan sekolah. Orang tua dapat datang ke sekolah tanpa/dengan undangan
sekolah yang mengundang. Sekelompok orang tua mengadakan pertemuan di luar
sekolah untuk bersama-sama membahas dan memberikan masukan untuk
peningkatan mutu sekolah, hasilnya kemudian diserahkan kepada sekolah.
Orang tua mendukung proses pendidikan di sekolah dengan cara:
1. Membimbing anak untuk terus melanjutkan apa yang sudah diberikan di
sekolah.
2. Menemukan minat-minat anak yang kemudian hasilnya dapat dikomunikasikan
dengan sekolah
3. Mengkomunikasikan masalah-masalah pendidikan sekolah anak dengan pihak
sekolah
4. Memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar (Djaelani, 2014)
b) Peran Serta Orang Tua dalam Pengelolaan Kelas
Keterlibatan orang tua siswa dalam pengelolaan kelas memiliki arti yang
sangat luas bukan berarti orang tua turut masuk ke kelas dan campur tangan
mengurusi tempat duduk siswa, memindah siswa yang suka mengganggu temannya
di kelas, dan sebagainya. Tetapi, pengaturan kelas dapat dilakukan berdasarkan
masukan dengan dan/atau kompromi dengan para orang tua.
Misalnya, dalam hal isi dan penataan pajangan kelas, serta pengaturan
tempat duduk dan kenyamanan kelas. Untuk mengetahui kebutuhan kelas yang
menunjang proses belajar di kelas sudah tentu Anda harus mengenali jenis peran
serta orang tua dalam pengelolaan kelas, mencatat keadaan sekarang, dan kondisi
yang dikehendaki, serta menemu-kenali hambatan-hambatan yang dihadapi.
c) Upaya-Upaya yang dilakukan Sekolah untuk Meningkatkan Peran Serta
Orang Tua
Sangat penting bagi sekolah untuk menjalankan peranan kepemimpinan
yang aktif dalam menggalakkan program-program sekolah melalui peran serta aktif
orang tua dan masyarakat. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam
mengupayakan partisipasi orang tua dan masyarakat terhadap keberhasilan program
sekolah, di antaranya:
32

1. Menjalin Komunikasi yang Efektif dengan Orang Tua dan Masyarakat


Partisipasi orang tua dan masyarakat akan tumbuh jika orang tua dan
masyarakat juga merasakan manfaat dari keikutsertaanya dalam program sekolah.
Manfaat dapat diartikan luas, termasuk rasa diperhatikan dan rasa puas karena dapat
menyumbangkan kemampuannya bagi kepentingan sekolah. Jadi prinsip
menumbuhkan hubungan dengan masyarakat adalah saling memberikan kepuasan.
Salah satu jalan penting untuk membina hubungan dengan masyarakat adalah
menetapkan komunikasi yang efektif. Ada beberapa pendekatan yang dapat
digunakan untuk membangun komunikasi dengan orang tua dan masyarakat, yaitu:
1) Mengidentifikasi orang-orang kunci, yaitu orang-orang yang mampu
mempengaruhi teman lain.
2) Melibatkan orang-orang kunci tersebut dalam kegiatan sekolah, khususnya yang
sesuai dengan minatnya.
3) Memilih saat yang tepat,
2. Melibatkan Masyarakat dan Orang Tua dalam Program Sekolah
Pepatah “Tak senang jika tak kenal” juga berlaku dalam hal ini. Oleh karena
itu sekolah harus mengenalkan program dan kegiatannya kepada masyarakat.
Dalam program tersebut harus tampak manfaat yang diperoleh masyarakat jika
membantu program sekolah. Untuk maksud di atas, sekolah dapat melakukan:
1) Melaksanakan program-program kemasyarakatan
2) Mengadakan open house yang memberi kesempatan masyarakat luas untuk
mengetahui program dan kegiatan sekolah.
3) Mengadakan buletin sekolah atau majalah atau lembar informasi yang secara
berkala memuat kegiatan dan program sekolah, untuk diinformasikan kepada
masyarakat.
4) Mengundang tokoh untuk menjadi pembicara atau pembina suatu program
sekolah
5) Membuat program kerja sama sekolah dengan masyarakat
3. Memberdayakan Dewan Sekolah
Keberadaan Dewan Sekolah akan menjadi penentu dalam pelaksanaan
otonomi pendidikan di sekolah. Melalui Dewan Sekolah orang tua dan masyarakat
ikut merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi pengelolaan pendidikan di
33

sekolah. Untuk meningkatkan komitmen peran serta masyarakat dalam menjunjang


pendidikan, termasuk dari dunia usaha, perlu dilakukan antara lain dengan upaya
sebagai berikut:
1) Melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan tentang pendidikan
terutama ditingkat sekolah.
2) Selanjutnya program imlab swadana,
3) Mengembangkan sistem sponsorship bagi kegiatan pendidikan.
2. Keluarga
Meskipun organisasinya bervariasi, keluarga adalah agen sosialisasi awal
yang utama di setiap masyarakat. Dengan demikian, ini adalah media pertama untuk
mentransmisikan budaya kepada anak-anak. Karena keluarga adalah seluruh dunia
bagi anak-anak kecil, anggotanya mengajarkan seorang anak apa yang penting
dalam kehidupan, sering kali tanpa menyadari pengaruh besar yang mereka pegang.
Itu perilaku orang dewasa mendorong dan mencegah dan cara-cara di mana mereka
memberikan disiplin juga mempengaruhi orientasi anak terhadap dunia. (Ornstein
& Levine, 2008)
Dalam memahami suatu keluarga, keluarga memiliki beberapa pengertian
Keluarga adalah kelompok sosial yang terdiri atas dua orang atau lebih yang
mempunyai ikatan darah, perkawinan, atau adopsi. Dengan demikian, dapat diambil
suatu intisari pengertian keluarga yaitu:
1) keluarga adalah kelompok sosial terkecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu,
dan anak
2) hubungan sosial diantara keluarga relative tetap yang didasarkan pada ikatan
darah, perkawinan atau adopsi
3) hubungan antar keluarga dijiwai oleh susunan afeksi dan rasa tanggung jawab
4) fungsi keluarga adalah memulihkan, merawat, dan melindungi anak dalam
rangka sosiolisasi agar mereka mampu mengendalikan diri dan berjiwa social
(Anwar, 2013)
Dilihat dari segi pendidikan, keluarga merupakan satu kesatuan hidup
(system sosial), dan keluarga menyediakan situasi belajar. Sebagai satu kesatuan
hidup bersama (system sosial), keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Ikatan
kekeluargaan membantu anak mengembangkan sifat persahabatan, cinta kasih,
34

hubungan antar pribadi, kerja sama, disiplin, tingkah laku yang baik, serta
pengakuan akan kewibawaan (Hasbullah, 2005)
Sementara itu, yang berkenaan dengan keluarga menyediakan situasi belajar, dapat
dilihat bahwa bayi dan anak-anak sangat bergantung kepada orang tua, baik karena
keadaan jasmaniahnya maupun kemampuan intelektual, sosial, dan moral. Bayi dan
anak belajar menerima dan meniru apa yang diajarkan oleh orang tua. Sumbangan
keluarga bagi pendidikan anak adalah sebagai berikut:
1) Cara orang tua melatih anak untuk menguasai cara-cara mengurusi diri, berjalan,
berdoa, sungguh-sungguh membekas dalam diri anak karena berkaitan erat
dengan perkembangan dirinya sebagai pribadi.
2) Sikap orang tua sangat mempengaruhi perkembangan anak. Sikap menerima
atau menolak, sikap kasih sayang atau acuh tak acuh, sikap sabar atau tergesa-
gesa, sikap melindungi atau membiarkan secara langsung mempengaruhi reaksi
emosional anak.
Sangat wajar dan logis jika tanggung jawab pendidikan terletak di tangan
kedua orang tua dan tidak bisa di pikulkan kepada orang lain karena ia adalah darah
daging nya, kecuali berbagai keterbatasan kedua orang tua ini. Maka sebagai
tanggung jawab pendidikan dapat di limpahkan kepada orang lain, yaitu melalui
sekolah.
Tanggung jawab pendidikan yang perlu di sadarkan dan dibina oleh kedua
orang tua terhadap anak antara lain:
1) Memelihara dan membesarkannya, tanggung jawab ini merupakan dorongan
alami untuk di laksanakan karena si anak memerlukan makan, minum, dan
perawatan agar ia dapat hidup secara berkelanjutan.
2) Melindungi dan menjamin kesehatannya, baik secara jasmaniah dan rohaniah
dari berbagai gangguan penyakit atau bahaya lingkungan yang dapat
membahayakan dirinya.
3) Mendidiknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
berguna bagi kehidupannya kelak sehingga bila ia telah dewasa mampu berdiri
sendiri dan membantu orang lain.
4) Membahagiakan anak untuk dunia dan akhirat dengan memberinya pendidikan
Agama sesuai dengan ketentuan Allah swt, sebagai tujuan akhir hidup muslim.
35

Adanya kesadaran akan tanggung jawab mendidik dan membina aanak


secara kontinu perlu dikembangkan kepada setiap orang tua sehingga pendidikan
yang dilakukan tidak lagi berdasarkan kebiasaan yang dilihat dari orang tua, tetapi
telah di dasri oleh teori-teori pendidikan modern, sesuai dengan perkembangan
zaman yang cenderung selalu berubah.
Tugas utama keluarga pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar bagi
pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagian
besar diambil dari kedua orang tuanya dan dari anggota keluarga yang lain.
a. Kerjasama antara Keluarga dengan Sekolah
Di dalam UU nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 10 ayat (4) dinyatakan bahwa: Pendidikan keluarga merupakan bagian dari
jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang
memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan.
Sementara itu, dalam GBHN 1993 dinyatakan: “Pendidikan nasional
dikembangkan secara terpadu dan serasi baik antarberbagai jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan, maupun antara sektor pendidikan dengan sektor pembangunan lainnya
serta anatardaerah. Masyarakat sebagai mitra pemerintah berkesempatan seluas-
luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional”
(Syarifudin, 2016).
Berdasarkan hasil riset bahwa pekerjaan guru (pendidik) di sekolah akan
lebih efektif apabila dia mengetahui latar belakang dan pengalaman anak didik di
rumah tangganya (Sukmadinata, 2007). Anak didik yang kurang maju dalam
pelajaran, berkat kerja sama orang tua anak didik dengan pendidikan banyak
kekurangan anak didik yang dapat diatasi lambat laun juga orang tua menyadari
bahwa pendidikan atau keadaan lingkungan rumah tangga dapat membantu atau
menghilangi kesukaran anak di sekolah. Apa-apa yang dibawa anak didik dari
keluarganya, tidak mudah mengubahnya. Kenyataan ini harus benar-benar disadari
dan diketahui oleh pendidik. Pada dasarnya cukup banyak cara yang dapat
ditempuh untuk menjalin kerja sama antara keluarga dengan sekolah
3. Masyarakat
Masyarakat merupakan lembaga pendidikan yang ketiga setelah pendidikan
di lingkungan keluarga dan pendidikan dilingkungan sekolah. Bila dilihat ruang
36

lingkup masyarakat, banyak dijumpai kenakeragaman bentuk dan sifat masyarakat.


Namun justru keanekaragaman inilah dapat memperkaya budaya bangsa Indonesia.
Lembaga pendidikan yang diselenggrakan oleh masyarakat adalah salah
satu unsur pelaksana asas pendidikan seumur hidup. Pendidikan yang diberikan di
lingkungan keluarga dan sekolah sangat terbatas, dimasyarakatlah orang akan
meneruskannya hingga akhir hidupnya. Segala pengetauan dan keterampilan yang
diperoleh di lingkungan pendidikan keluarga dan di lingkungan sekolah akan dapat
berkembang dan dirasakan manfaatnya dalam masyarakat.
Tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan sebenarnya masih belum
jelas, tidak sejelas tanggung jawab pendidikan di lingkungan keluarga dan di
lingkungan sekolah. Hal ini disebabkan faktor waktu, hubungan, sifat dan isi
pergaulan yang terjadi didalam masyarakat. Waktu pergaulan terbatas hubungannya
hanya pada waktu-waktu tertentu, sifat pergaulannya bebas, dan isinya sangat
kompleks serta beraneka ragam. Meskipun demikian, masyarakat mempunyai
peran yang besar dalam pelaksanaan pendidikan nasional.
Peran masyarakat itu anatara lain menciptakan suasana yang dapat
menunjang pelaksanaan pendidikan nasional, ikut menyelenggarakan pendidikan
non pemerintah (swasta), membantu pengadaan tenaga, biaya, sarana dan
prasarana, menyediakan lapangan kerja, membantu pengembangan profesi baik
secara langsung maupun tidak langsung. Peran masyarakat tersebut dilaksanakan
melalui jalur-jalur: a. Perguruan swasta; b. Dunia usaha; c. Kelompok profesi; d.
Lembaga swasta lainnya.
a. Peranan Perguruan Swasta
Perguruan swasta mempunyai tanggung jawab dan peranan yang penting
dalam usaha ikut serta melaksnakan pendidikan nasional karena itu pertumbuhan
dan kemampuan perlu dikembangkan berdasrkan pola pendidikan nasional yang
mantap dengan tetap mengindahkan ciri khas perguruan yang bersangkutan. Yang
dimaksud perguruan swasta yaitu usaha-usaha dari masyarakat yang secara
langsung mengelola dan menyelenggarakan pendidikan formal.
Perguruan swasta dapat menyelenggarakan semua jenis dan jenjang
pendidikan, kecuali pendidikan kedinasan dilingkungan pemerintah. Dalam
melaksanakan tugasnya perguruan swasta berkewajiban melaksanakan ketentuan-
37

ketentuan pokok pendidikan nasional seperti Peraturan Perundang-undangan,


Standarisasi dan Akreditasi. Karena itu perguruan swasta perlu dan harus dikelola
oleh suatu lembaga yang berbentuk badan hukum, sehingga hak dan kewajiban
kelangsungan pertumbuhannya mempunyai dukungan yang mantap.
b. Peranan Dunia Usaha
Sebagai bagian dari masyarakat dunia usaha mempunya kaitan yang erat
dengan unsur-unsur kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pendidikan.
Hubungan dunia usaha dengan dapat dilihat dari dua segi yaitu:
1) Dunia usaha sebagai konsumen pendidikan dalam arti dunia usaha
memanfaatkan dan mengambil dari hasil pendidikan yang berupa lulusan; dan
2) Dunia usaha sebagai pengembang dan pelaksana dalam penyelnngaran
pendidikan.
Peranan dunia usaha dalam penyenggaran sistem pendidikan nasional dapat
dilakukan dengan berbagai cara seperti misalnya:
1) Melaksnakan sistem magang;
2) Membentuk konsorsium pengadaan dana yang dapat dimanfaatkan untuk usaha-
usaha pendidikan;
3) Menyediakan fasillitas untuk kepentingan pendidikan dan latihan;
4) Mengadakan latihan prajabatan dan penataran;
5) Mengadakan program pendidikan kemasyarakatan seperti wajib program
pendidikan minimum untuk karyawan;
6) Mengadakan kerja sama dengan sekolah-sekolah kejuruan dan lembaga
pendidikan lainnya.
c. Peranan Kelompok Profesi
Di dalam masyarakat yang sedang membangun, ketrampilan dan keahlian
sangat diperlukan, sehingga dengan sendirinya kelompok profesi menjadi sangat
penting dan menentukan. Kita sadari bahwa pembinaan keterampilan dan keahlian
ini adalah merupakan bidang garapan dalam proses pendidikan. Karena itu peranan
kelompok profesi menjadi penting pula dalam dalam pelaksanaan sistem
pendidikan nasional.
Peran kelompok profesi dalam sistem pendidikan nasional anatara lain adalah:
1) Merencanakan dan menyelenggarakan latihan keterampilan dan keahlian;
38

2) Menjamin dan menguji kualitas keterampilan dan keahlian tersebut; dan


3) Menyediakan tenaga-tenaga pendidikan, terutama pendidikan kemasyarakatan
dan pendidikan khusus.
d. Peranan Lembaga Swasta Lainnya.
Kecuali peranan perguruan swasta, dunia usaha dan kelompok profesi,
didalam masyarakat berkembang pula lembaga-lembaga swasta nasional yang
mengelola dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sosial, kebudayaan,
keagamaan, penelitian, keterampilan dan keahlian. Peran lemabaga swasta nasional
itu terutama diharapkan dalam rangka pelaksanaan pendidikan kemasyarakatan
melalui kegiatan-kegiatan pendidikan yang mempunyai efek sosial (Djaelani,
2014).
4. Parents, Families and The Community Partners in Education
a. Perubahan bentuk keluarga di zaman modern dan postmodern dan
membentuk iklim sekolah.
Perubahan zaman modern ke zaman postmodern telah membentuk model
baru sebuah keluarga yang bersifat permeabel dan keluarga pekerja. Anak-anak
yang berkembang pada kedua zaman ini memiliki perkembangan yang berbeda.
Masyarakat membentuk iklim di sekolah dengan cara menjadikan masyarakat itu
sendiri, baik masyarakat pedesaan, pinggiran kota dan perkotaan sebagai sumber
daya dalam lingkungan sekolah dan menghargai nilai dalam sebuah keluarga.
Era Modern Era Post Modern
Kemajuan: menuju
Berbagai bentuk dan jenis kemajuan
kesetaraan dan harmoni
Universal: hukum alam
Asumsi Khusus: keadaannya berbeda dan
yang mengatur
Paradigma tidak dapat digeneralisasikan
generalisasi
Ketidakteraturan: dunia mulai tidak
Teratur
logis dan tidak teratur
Romantis: pemilihan Konsensual: realistis dan praktis;
pasangan atas dasar berdasarkan persetujuan antara
saling ketertarikan kedua pasangan
Maternal love: wanita
Parenting berbagi: membesarkan
Perasaan memiliki insting keibuan
anak bersama dengan ibu, ayah, dan
Keluarga dan kebutuhan untuk
pengasuh profesional
merawat anaknya
Rumah Tangga:
Berdasarkan realita: anak-anak
hubungan dalam rumah
didorong untuk tumbuh dengan cepat
tangga sangat kokh dan
39

terikat daripada di luar


rumah
Anak-anak Polos Cakap
Remaja Belum matang/dewasa Canggih

b. Peran keluarga dalam pendidikan


Peran keluarga dalam pendidikan dimana keluarga adalah agen sosialisasi
utama dalam setiap masyarakat. Sumbangan keluarga bagi pendidikan anak adalah
sebagai berikut.
a. Cara orang tua melatih anak untuk menguasai cara-cara mengurus diri,
seperti cara makan, buang air, berbicara, berjalan, berdoa, sungguh- sungguh
membekas dalam diri anak karena berkaitan erat dengan perkembangan
dirinya.
b. Sikap orang tua sangat memengaruhi perkembangan anak. Sikap
menerima atau menolak, sikap kasih sayang atau acuh tak acuh, sikap
sabar atau tergesa-gesa, sikap melindungi atau membiarkan secara
langsung memengaruhi reaksi emosianal anak.
Contoh prilaku yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah jangan
menghabiskan hari hanya bersama gadget, memiliki kesadaran tinggi akan
pentingnya.
c. Peranan masyarakat untuk sekolah
Masyarakat membentuk iklim di sekolah dengan cara menjadikan masyarakat
itu sendiri, baik masyarakat pedesaan, pinggiran kota dan perkotaan sebagai sumber
daya dalam lingkungan sekolah dan menghargai nilai dalam sebuah keluarga.
d. Kerja sama antara keluarga dan sekolah.
Kerja sama antara keluarga dan sekolah dengan sekolah membantu kelanjutan
pendidikan dalam keluarga dan peralihan bentuk pendidikan jalur luar sekolah ke
jalur pendidikan sekolah (formal) memerlukan “kerja sama” antara orang tua dan
sekolah (pendidik).
1) Adanya Kunjungan ke Rumah Anak Didik
Dampak positif kunjungan ke rumah anak didik antara lain:
a) Anak didik merasa sekolahnya selalu memerhatikan dan mengawasinya.
40

b) Pendidik dapat melihat sendiri dan mengobservasi langsung anak didik


belajar, latar belakang hidupnya, dan tentang masalah-masalah yang
dihadapinya dalam keluarga.
c) Pendidik berkesempatan untuk memberikan penerangan kepada orang tua
anak didik tentang pendidikan yang baik, cara-cara menghadapi masalah-
masalah yang sedang dialami anaknya (kalau anaknya bermasalah), dan
sebagainya.
d) Hubungan antara orang tua dengan sekolah akan bertambah erat.
e) Kunjungan dapat memberikan motivasi kepada orang tua anak didik untuk
lebih terbuka dan dapat bekerja sama dalam upaya memajukan pendidikan
anaknya.
f) Pendidik mempunyai kesempatan untuk mengadakan interview
mengenai berbagai macam keadaan atau kejadian tentang sesuatu yang ingin
ia ketahui.
g) Terjadinya komunikasi dan saling memberikan informasi tentang keadaan
anak serta saling memberi petunjuk antara guru dan orang tua.
2) Diundangnya Orang Tua ke Sekolah
Kalau ada berbagai yang diselenggarakan oleh sekolah yang
memungkinkan untuk dihadiri oleh orang tua, maka akan positif sekali artinya
bila orang tua diundang untuk datang ke sekolah. Kegiatan- kegiatan dimaksud
umpamanya class meeting yang berisi perlombaan- perlombaan yang
mendemonstrasiakn bakat anak dalam berbagai bidang, pameran hasil kerajinan
tangan anak, pemutaran film pendidikan, dan sebagainya. Seharusnya undangan
terhadap orang tua ke sekolah ini minimal dilaksanakan satu kali dalam setahun.
3) Case Conference
Case conference merupakan rapat atau konferensi tentang kasus.
Biasanya digunakan dalam bimbingan konseling. Peserta konferensi ialah orang
yang betul-betul mau ikut membicarakan masalah anak didik secara terbuka dan
sukarela, seperti orang tua anak didik, guru-guru, petugas bimbingan yang lain,
dan para ahli yang ada sangkut pautnya dengan bimbingan seperti social
worker dan sebagainya. Konferensi biasanya dipimpin oleh orang yang paling
mengetahui persoalan bimbingan konseling, khususnya tentang kasus dimaksud.
41

Semua data dari “commulative record” anak didik dipergunakan, kalau


memungkinkan didemonstrasikan. Materi dari pembicaraan di dalam konferensi
bersifat confidential (dijaga kerahasiannya), sesuai dengan sifat kerahasiaan
proses bimbingan dan konseling.
4) Badan Pembantu Sekolah
Badan pembantu sekolah ialah organisasi orang tua murid atau wali murid
dan guru. Organisasi dimaksud merupakan kerja sama yang paling terorganisasi
antara sekolah atau guru dengan orang tua murid. Sampai sekarang, organisasi
ini telah beberapa kali mengalami perubahan nama karena disesuaikan dengan
perkembangan situasi pendidikan dan masyarakat pada mulanya organisasi ini
bernama Perkembangan Orang Tua Murid dan Guru (POMG), kemudian
berubah menjadi Persatuan Orang Tua Murid (POM), Badan Pembantu
Penyelenggaraan Pendidikan (BP3), dan sekarang dikenal dengan istilah Komite
Sekolah.
5) Mengadakan Surat Menyurat antara Sekolah dan Keluarga
Surat-menyurat ini diperlukan terutama pada waktu-waktu bagi perbaikan
pendidikan anak didik, seperti surat peringatan dari guru kepada orang tua jika
anaknya perlu lebih giat, sering membolos, sering berbuat keributan, dan
sebagainya. Surat-menyurat ini juga sebenarnya sangat baik bila dilakukan oleh
tua kepada guru atau langsung ke kepala sekolah atau madrasah untuk memantau
keadaan anaknya di sekolah.
6) Adanya Daftar Nilai atau Rapor
Raport yang biasanya diberikan setiap semester kepada para murid ini
dapat dipakai sebagai penghubung antara sekolah dengan orang tua. Sekolah
dapat memberi surat peringatan atau meminta bantuan orang tua bila hasil raport
anaknya kurang baik, atau sebaliknya jika anaknya mempunyai keistimewaan
dalam suatu mata pelajaran, agar dapat lebih giat mengembangkan bakatnya
atau minimal mampu mempertahankan apa yang sudah dapat diraihnya.
Secara historis, menurut banyak analis, sistem pendidikan universal
menarik dukungan dari pengembangan keluarga inti (dua orang tua yang
hidup dengan anak-anak mereka), yang tumbuh menjadi terkenal di
masyarakat Barat selama dua abad terakhir. Keluarga inti telah digambarkan
42

sebagai sangat anak berpusat, mencurahkan banyak sumber daya untuk


mempersiapkan anak-anak untuk sukses di sekolah dan di kemudian hari
(Ornstein, 2008).
e. Hubungan masyarakat dan sekolah
Hubungan masyarakat dan sekolah merupakan sarana yang sangat
berperan dalam membina dan mengembangkan pertumbuhan pribadi peserta didik
di sekolah.
Bentuk Akti Masalah
vitas
Partisipasi dalam MBS Pihak masyarakat Berdasarkan
bermusyawarah dengan tangga partisipasi belum
sekolah. Pemerintah semua sekolah mampu
menyediakan sarana- menggerakkan partisipasi
prasarana sekolah. Komite masyarakat pada tangga
sekolah berpartisipasi aktif. yang tertinggi
Pemanfaatan potensi yang ada
Masyarakat memiliki gotong
royong
Partisipasi Kesiapan SDM secara Belum semua
masyarakat dalam profesional. Stakeholder masyarakat, khususnya
pendidikan mendukung program sekolah. orang tua pada sekolah
Menghadiri pertemuan sekolah menyadari bahwa untuk
untuk mengetahui terlibat secara aktif dalam
perkembangan siswa. pembangunan
Membantu murid belajar pendidikan.
Mencari sumber-sumber
lain/pendukung untuk
memecahkan masalah
pendidikan

Komunikasi yang baik dengan orang tua sangat diperlukan. Komunikasi alami
harus diuji lebih baik dari total jumlah interaksi sekolah dan orang tua (Finn, 1998
dalam Diaz, et.al., 2006). Sebagai sebuah peran umum, kesempatan orang tua
menjadi bagian kecil dari sekolah selama siswa tumbuh dan mandiri. Interkasi
orang tua dan guru juga untuk mengatasi kesulitan siswa di sekolah, perjanjian
orang tua dengan sekolah dan guru tidak seharusnya mengindikasi penilaian
akademik yang tinggi oleh siswa karena sekolah dengan banyak persoalan meminta
orang tua untuk membantu mengatasi masalah. Asosiasi nasional orang tua dan
43

guru menjelaskan lima area fokus sekolah dalam membangun mitra dengan orang
tua dan masyarakat.
Ketika pendidik mengetahui tentang keluarga dan masyarakat yang mereka
layani, kepercayaan diri dan rasa saling percaya untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat bisa dikembangkan, dan informasi yang didapat harus digunakan untuk
memberi manfaat bagi siswa. Pendidik juga harus mengerti bahwa beberapa
keluarga atau masyarakat mungkin tidak ingin mengungkapkan semua aspek
kehidupan mereka kepada perwakilan sekolah. Aspek tertentu mungkin terungkap
pada waktunya, ketika kepercayaan yang lebih besar telah terbentuk (Diaz, et.al.,
2006).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang dibuat, kesimpulan yang dapat dirumuskan
adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan dan pembelajaran memiliki arti dan makna yang berbeda, namun
Pendidikan dan pembelajaran mempunyai kaitan yang sangat erat
2. Pendidikan sepanjang hayat adalah Pendidikan yang dilakukan seumur hidup
manusia, baik melalui Pendidikan formal, informal, maupun non formal.
3. 4 pilar Pendidikan menurut UNESCO yakni: (1) Learning to Know, (2) Learning
to do (3) Learning to be, dan (4) Learning to live together. Keempat pilar
tersebut saling memiliki keterkaitan dan saling melengkapi satu sama lain
4. Taksonomi belajar memiliki tiga aspek yaitu ranah kognitif, ranah psikomotorik,
dan ranah afektif.
5. Orangtua, keluarga, dan masyarakat memiliki peranan yang penting dalam
Pendidikan anak. Selain itu orangtua, keluarga, dan masyarakat juga mempunyai
peranan dalam pelaksanaan Pendidikan di sekolah.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, saran yang dikemukakan
penulis adalah dalam mendidik anak kita harus mendidiknya secara mandiri, karena
Pendidikan anak di dalam keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
sikap anak di masa mendatang. Dalam pelaksanaan pendidikan orangtua, keluarga,
masyarakat memiliki peranannya masing-masing dan saling mengisi.

44
DAFTAR RUJUKAN

Ahmadi, W. & Supriyono, A. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.


Bahri, Z. 1993. Kamus Umum. Yogyakarta: Angkasa.
Diaz, Carlos F; Pelletier, Carol Marra; Provenzo, Eugene F. 2006. Touch The
Future Teach!. Pearson Education.Inc.
Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Djaelani, M., S. 2014. Dasar-Dasar Kependidikan. Tangerang: PT Pustaka
Mandiri.
Fakhrudin. 2010. Menjadi Guru Faforit. Yogyakarta: Diva Press.
Faturrahman, dkk. 2012. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher
Faturrahman, dkk. 2012. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher

Fauzet, F. D. 2016. Taksonomi Bloom–Revisi: Ranah Kognitif Serta Penerapannya


dalam Pembelajaran Bahasa Arab. Prosiding Konfererensi Nasional
Bahasa Arab, 1(2).
Gunawan, I., & Palupi, A. R. (2016). Taksonomi Bloom–revisi ranah kognitif:
kerangka landasan untuk pembelajaran, pengajaran, dan
penilaian. Premiere educandum: jurnal pendidikan dasar dan
pembelajaran, 2(02).
Hamalik, O. 2014. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
Hasbullah. 2005. Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada
Hurlock, E., B. 2000. Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta: Erlangga
Ibrahim, M. 2010. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Surabaya: Unesa
University Press.
Kiswati, K. 2012. Pengembangan pembelajaran Matematika dengan pendekatan 4
(empat) pilar pendidikan UNESCO pada subbab segiempat di kelas VII SMP
al Muhammad Cepu Blora (Doctoral dissertation, IAIN Sunan Ampel
Surabaya).
Kunandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
M.J. Langeveld, F. Bacher, H. Aebli. 1967. Paedagogica Europaea: The European
Yearbook Of Educational Research. (Council Of Europe).
Ma’arif, S. 2005. Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Jogjakarta: Logung Pustaka
45
Mudyahardjo, R. 1998. Pengantar Pendidikan. Bandung: PT RajagrafindoPersada.
Nidawati. 2013. Alam dan Sunnatullah dalam Implementasi Pendidikan Sepanjang
Hayat (Life Long Education). Seminar Nasional
Nidawati. 2013. Alam dan Sunnatullah dalam Implementasi Pendidikan Sepanjang
Hayat (Life long education). Seminar Nasional.
NK Gupta,N. K. Gupta, Kalyan Banerjee, Shveta Uppal, Gautam Ganguly, Mathew
John, Subodh Srivastava. 2014. Basics in Education,National Council of
Educational Research and Training, Sri Aurobindo Marg, New Delhi.
Ornstein, Allan C; Levine, Daniel U. 2008. Foundation of Education. Baston:
Hougton Miffin Company.
Purwanto. 2009. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Rahbini, D. K. “4-pilar-proses-pendidikan”. (Online) (html: http:/bani-
rabbini.blogspot.com.), diakses pada 25 September 2018
Santrock, J,W. 2007. Psikologi Pendidikan, Terj. Tri Wibowo. Jakarta: Kencana
Shofan, M. 2007. The Realistic Education. Yogyakarta: Ircisod.
Sukmadinata, N., S. 2007. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Suwarno, W. 2006. Dasar- Dasar Ilmu Pendidikan. Salatiga: Ar- Ruzz
Suwarno, W. 2006. Dasar- Dasar Ilmu Pendidikan. Salatiga: Ar- Ruzz.
Suyono dan Hariyanto. 2014. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Syarifudin, T. 2016. Landasan Pendidikan. Bandung: Sub Koordinator MKDP
LPDP FIP UPI
Undang-undang No 20. 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan
UNESCO. 2015. The four pillars of learning. (Online)
(www.unesco.org/new/en/education/networks/globalnetworks/aspnet/about-
us/strategy/the-four-pillars-of-learning ), diakses 25 Septemter 2018.
Utari, R., Madya, W., & Pusdiklat, K. N. P. K. (2011). Taksonomi Bloom. Jurnal:
Pusdiklat KNPK.
Winkel, W.S. 1987. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia
Yaumi, M. 2013. Prisip-Prinsip Desain Pembelajaran. Jakarta: Kencana

46
Yaumi, Muhammad. 2013. Prinsip-Prinsip Desain Pembelajaran, Jakarta:
Kencana.
Zahara Idris dan Lisma Jamal. 1992. Pengantar Pendidikan 1. Jakarta: Grasindo.

47
48

Anda mungkin juga menyukai