Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

“Pendidikan Formal Bagi Anak Autis”

KELOMPOK III

KELAS F/2017

Monica Rumapea 17003136

Mutiara Apriana Lusma 17003138

Sukma Wulandari 17003154

Taskia Hanum 17003157

Vika Ullya 17003158

DOSEN PENGAMPU

Dra. Kasiyati, M.Pd

PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah Subhanahu Wata’alaa. yang telah


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Makalah ini berisikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan “Pendidikan


Formal Bagi Anak Autis”, yang mana di dalamnya juga berisikan tentang
penjabaran kurikulum, persiapan, program dan penilaian/evaluasi pendidikan
formal bagi anak autis. Konsep kajian makalah ini disusun dengan efektif dan
menarik serta beruntun mulai dari latar belakang dan diakhiri dengan kesimpulan.

Akhir kata, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dosen pengampu
mata kuliah Pembelajaran Anak Autis, dan kepada tim yang telah konsisten dalam
menyelesikan makalah ini, juga semua pihak yang ikut membantu yang mana tidak
bisa kami sebutkan satu persatu.

Padang, 16 September 2019

Kelompok III

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Balakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan.............................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Formal Bagi Anak Autis ............................. 3
B. Kurikulum Pendidikan Formal Bagi Anak Autis ............................ 4
C. Persiapan Pendidikan Formal Untuk Anak Autis ............................ 8
D. Program Pendidikan Formal Untuk Anak Autis ............................ 11
E. Penilaian/Evaluasi Pendidikan Formal Bagi Anak Autis ............. 18

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .................................................................................... 21
B. Saran .............................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan formal bagi anak autis menurut Undang-undang No 20


tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bab II (pasal 4 ayat 1)
bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis berdasarkan HAM,
agama, kultular, dan kemajemukkan bangsa. Kemudian bab IV (pasal 5 ayat
1) bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual atau sosial berhak memeperoleh pendidikan
khusus; dan dalam kemudian dalam bab V bagian 11 pendidikan khusus
(pasal 32 ayat 1) pendidikan khusus bagi peserta yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,
emosional, mental, sosial atau memiliki potensi kecerdasan.

Dengan tetap memperhatikan aspek “individual differences” dimana


setiap anak dianggap sebagai individu yang unik dan spesifik, maka
seharusnya semua individu autis diberikan kesempatan seawal mungkin
untuk mencoba belajar di sekolah umum. Apalagi UUD 1945 pasal 31
mengatakan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pengajaran” dan
the Salamanca Statement pada tahun 1994 (UNESCO) tentang pendidikan
inklusi, dinyatakan bahwa setiap anak termasuk yang memerlukan
pendidikan khusus sementara dan permanen mempunyai hak untuk
mengikuti proses belajar di sekolah umum. Sekolah umum di sini adalah
berbagai lembaga formal (Kelompok Bermain, TK, Sekolah Dasar, dan
seterusnya) yang menggunakan kurikulum DEPDIKNAS.

1
2

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud pendidikan formal bagi anak autis ?
2. Bagaimana kurikulum pendidikan fomal bagi anak autis ?
3. Apa saja persiapan pendidikan formal untuk anak autis ?
4. Bagaimana program pendidikan formal untuk anak autis ?
5. Apa saja penilaian/evaluasi pendidikan formal bagi anak autis ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui maksud pendidikan formal bagi anak autis ?
2. Untuk mengetahui bagaimana kurikulum pendidikan fomal bagi anak
autis ?
3. Untuk mengetahui apa saja persiapan pendidikan formal untuk anak
autis ?
4. Untuk mengetahui bagaimana program pendidikan formal untuk anak
autis ?
5. Untuk mengetahui apa saja penilaian/evaluasi pendidikan formal bagi
anak autis ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Formal Bagi Anak Autis

Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga,


masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau
latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk
mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai
lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang (Lakhsita, 2012).

Yosfan Azwandi (2005 : 133), menjelaskan bahwa pendidikan formal


anak autistik adalah pendidikan yang diselenggarakan secara formal bagi anak
yang telah di terapi awal dengan baik dan memperlihatkan keberhasilan yang
menggembirakan, anak tersebut dapat dikatakan “sembuh” dari gejala
autismenya. Ini terlihat bila anak tersebut sudah dapat mengendalikan
perilakunya sehingga tampak berprilaku normal, berkomunikasi dan berbicara
normal, serta mempunyai wawasan akademik yang cukup sesuai anak
seusianya. Pada saat ini anak sebaiknya mulai diperkenalkan untuk masuk ke
dalam kelompok anak-anak normal, sehingga ia (yang sangat bagus dalam
meniru/imitating) dalam mempunyai figur (role model) anak normal dan meniru
tingkah laku anak normal seusianya.

Pendidikan formal adalah kegiatan yang sistematis, berstruktur,


bertingkat dimulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi dan yang
setaraf dengannya; termsuk didalamnya adalah kegiatan studi yang berorientasi
akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan profesional yang
dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus.

Sehingga dalam kaitannya dengan hal ini, peranan sekolah (sebagai


lembaga pendidikan formal) diharapkan mampu melakukan sinergi dalam
mendidik anak dengan autisme. Jadi sebagai sebuah proses untuk memunculkan
potensi yang dimiliki peserta didik, maka sebagai out put pendidikan, peserta
didik mesti memiliki adanya potensi tersebut. Dengan memiliki potensi, maka

3
4

ia telah mengalami proses pemberdayaan. Dengan kata lain, sang pendidik di


sini benar-benar telah berperan memberdayakan peserta didik melalui proses
pendidikan dengan cara yang benar. Dengan demikian pendidikan tidak hanya
menjejali anak dengan berbagai ‘doktrin’ dan intruksi sehingga pendidikan
kehilangan wataknya sebagai kekuatan budaya yang luhur dan bermartabat.
Pendidikan bagi anak autis, idealnya diberikan dalam bentuk sekelompok
penanganan untuk membantu mereka mengatasi kebutuhan khususnya.

Tujuan pendidikan formal bagi anak autis, antara lain:

1. Mengembangkan diri sesuia dengan potensinya serta menjadi manusia


mandiri dan berguna di masyarakat.
2. Agar anak mampu melakukan sosialisasi kedalam lingkungan yang umum
dan bahkan hanya dalam lingkungan keluarga.
3. Mengajarkan materi akademik
4. Meningkatkan kemampuan bina diri dan keterampilan diri
5. Membangun komunikasi dua arah yang aktif

B. Kurikulum Pendidikan Formal Bagi Anak Autis

Bagi anak penyandang autis tidak sama dengan anak biasa, kurikulum
pendidikan yang disiapkan umumnya sangat individual. Semua hal yang terkait
dengan pembelajaran untuk anak-anak autis berpedoman pada Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP). Namun Diknas memberikan kebebasan kepada
masing-masing sekolah untuk menentukan kurikulum bagi penyandang autis.
Ini disebabkan setiap sekolah memiliki kebutuhan yang berbeda dalam
mendidik penyandang autis.

Penentuan kurikulum yang tepat bagi penyandang autis bergantung dari


assessment (penilaian) awal yang dilakukan tiap sekolah. Penilaian ini perlu
dilakukan sebelum sekolah menerima anak autis baru. Biasanya, penilaian
melalui wawancara terhadap kedua orangtuanya. Wawancara ini untuk
5

mengetahui latar belakang, hambatan, dan kondisi lingkungan social anak.


(Ganda Sumekar, 2009).

Berdasarkan perspektif yuridis-formal, menurut undang-undang nomor


20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional Bab 1 Pasal 1 Ayat 19, kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Prayitno (2009:209), pengertian ini memiliki implikasi sebagai berikut:

1. Kurikulum adalah seperangkat rencana.


Rencana ini dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis yang dikenal
dengan konsep kurikulum. Rencana tersebut terkait dengan proses belajar
dan juga pengembangan peserta didik pada semua jenis dan jenjang
pendidikan. Rencana ini bersifat fleksibel dan bias berubah sesuai dengan
situasi dan kondisi.

2. Pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran.


Pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran yang dimaksud, adalah
pengaturan materi atau bahan ajar, baik cetak maupun noncetak yang harus
dipelajari oleh siswa. Di samping itu ada bahan pelajaran yang di atur oleh
pusat atau secara nasional, dan ada pula diatur oleh daerah setempat (muatan
lokal).

Bagi anak autis tentu saja kurikulum ini sudah ada juga di atur oleh
pemerintah yang kemudian disesuaikan oleh pengajar sesuai dengan kebutuhan
atau kemampuan dari peserta didiknya. Bagi ABK tentu saja mereka tidak bisa
mengikuti semua kurikulum yang telah diatur oleh pemerintah karena
sebenarnya yang lebih tahu peserta didik ialah guru yang berhadapan langsung
dengan peserta didik, dan setiap peserta didik memiliki kemampuan yang
berbeda.
6

Sasaran supervise dari kurikulum itu adalah kinerja guru dalam


merencanakan, melaksanakan, dan menilai kegiatan pembelajaran. Secara
khusus, sasaran itu antara lain sebagai berikut:

1. Kemampuan guru menyusun program tahunan.


2. Kemampuan guru menyusun program semester.
3. Kemampuan guru menyusun perangkat pembelajaran yang meliputi:
silabus, RPP, bahan ajar, lembar kegiatan siswa, media pembelajaran, dan
instrument penilaian.
4. Kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran.
5. Kemampuan guru dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar dan tindak
lanjut pembelajaran.

Bunga (2000:31), sejalan dengan prinsip-prinsip pengembangan


kurikulum tingkat satuan pendidikan yang antara lain adalah berpusat pada
potensi anak, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan
lingkungannya, maka:

1. Kurikulum di individualkan (IEP) artinya kurikulum dikembangkan secara


fleksibel sesuai dengan kebutuhan setiap individu anak autis. Kurikulum
harus disesuaikan dengan kemampuan anak masing-masing seperti
kurikulum di individ
2. Pengembangan kurikulum beragam dan terpadu artinya memperhatikan
keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis
pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan
agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial, ekonomi dan jender.
3. Pengembangan kurikulum harus relevan dengan kebutuhan kehidupan,
artinya pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berfikir,
keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional
merupakan keharusan untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya.
7

4. Kurikulum untuk anak autis pada umumnya meliputi 5 bidang, yaitu bidang
akademik, sensori motor, komunikasi, perilaku adaptif dan kurikulum
vokasional.

Dalam pembelajaran anak autis ada dikenal beberapa konsep kurikulum


seperti :

1. Kurikulum Ideal (ideal curriculum).


Kurikulum yang berisi sesuatu yang baik, yang diharapkan atau
dicita-citakan, sebagaimana dimuat dalam naskah atau dokumen kurikulum.

2. Kurikulum nyata (real curriculum or actuan curriculum).


Kegiatan-kegiatan nyata yang dilakukan dalam proses
pembelajaran, termasuk di dalamnya proses evaluasi dan penciptaan
suasana pembelajaran.

3. Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum).


Segala sesuatu yang mempengaruhi peserta didik secara positif
ketika sedang mempelajari sesuatu. Kurikulum ini tidak direncanakan, tidak
dirancang, tidak diprogram, akan tetapi mempunyai pengaruh baik secara
langsung terhadap output dari proses belajar. Kurikulum ini tidak bisa
datang dari guru, peserta didik, karyawan sekolah maupun suasana
pembelajaran. Tetapi, terjadi pada saat berlangsungnya kurikulum ideal atau
kurikulum nyata.

4. Kurikulum dan pembelajaran (curriculum and instruction).


Dua istilah yang berbeda tetapi tak dapat dipisahkan satu sama lain
ibarat dua sisi mata uang. Perbedaan antara kurikulum dan pembelajaran
hanya terletak pada tingkatannya dimana kurikkulum menunjuk pada suatu
program yang bersifat umum, untuk jangka lama, dan tidak dapat dicapai
dalam waktu seketika. Sedangkan pembelajaran bersifat realitas atau nyata.,
sifatnya khusus dan harus dicapai pada saat itu juga. Pembelajaran adalah
implementasi kurikulum nyata dan bertahap yang menurut peran aktif
peserta didik.
8

C. Persiapan Pendidikan Formal Bagi Anak Autis

Ada beberapa hal yang perlu Dipersiapkan dalam pendidikan formal


bagi anak autism (Mega Iswari, 2018) :

1. Persiapan Individu
Kesiapan individu dalam pendidikan anak autis sangat dibutuhkan,
karena banyak hal yang perlu diperhatikan. Adapun individu tersebut
adalah:
a. Tenaga kependidikan.
b. Tenaga non kependidikan para akademisi/ professional terkait.
c. Tenaga penyelenggara (pengurus yayasan).
d. Tenaga pengelola (pemimpin sekolah).

2. Persiapan Orangtua
a. Penghargaan keluarga.
b. Kebutuhan dari anggota keluarga yang lain.
c. Adanya dukungan lingkungan.

3. Persiapan Tenaga Professional


a. Dokter.
b. Psikolog.
c. Guru pendamping.
d. Terapi.
9

Lakhsita (2012), beberapa persiapan yang harus di perhatikan:

1. Persiapan Anak
Dua hal penting yang harus dipertimbangkan adalah apakah anak
siap untuk belajar dalam kelompok dan kesiapan anak mengikuti rutinitas
disekolah. Semua pihak perlu mempertimbangkan faktor berikut:
a. Fungsi kognitif, dimana tingkatan fungsi kognisi, verbal atau non
verbal.
b. Bahasa dan komunikasi, dimana tingkatan konsep bahasa, pemahaman
bahasa, tingkatan kemampuan berkomunikasi.
c. Kemampuan akademis, dimana pemahaman konsep bahasa,
matematika, kebutuhan akan bantuan dari orang lain.
d. Prilaku di kelas, dimana kesanggupan mengikuti proses belajar
mengajar di kelas.
e. Kesanggupan mengerjakan tugas secara mandiri.
f. Kesanggupan untuk menyesuaikan diri dengan transisi atau perubahan
dalam kelas.

2. Persiapan Sekolah
Saat ini sudah ada beberapa sekolah menerima keberadaan anak
autis di dalam kelas umum. Sikap menerima tadi harus diikuti dengan
beberapa penyesuaian, antara lain:
a. Modifikasi lingkungan, yaitu bangunan sekolah, tata letak didalam
kelas, lingkungan sekitar.
b. Pelatihan staf, yaitu menerima perbedaan anak dan mau belajar lagi.
Keterbukaan akan kerjasama dengan pihak lain terkait pengetahuan dan
keterampilan untuk membantu tata laksana anak autis.
c. Penyuluhan kepada orang tua atau anak lain, yaitu hal ini tidak mudah,
karena banyak orang tua lain beranggapan bahwa sekolah umum
seharusnya tidak menerima anak dengan masalah. Mereka khawatir sifat
autis anak akan menular pada anak-anak mereka.
10

d. Sikap terhadap saudara kandung, yaitu apakah keberadaan saudara


sekandung dengan autis ini menjadi suatu keuntungan atau kekurangan
baik kakak ataupun adik tersebut.

3. Persiapan Orang Tua


Keadaan orang tua sangat menentukan proses belajar mengajar dan
pencapaian masing-masing anak. Dalam hal ini yang penting diperhatikan
adalah:

a. Penghargaan keluarga, yaitu apa yang diharapkan dicapai dari


keberadaan anak berada disekolah. Pengharapan ini sangat menentukan
target pendidikan bagi anak di sekolah. Target yang “lepas dari konteks”
dalam arti tidak sesuai potensi yang ditampilkan anak atau berlebihan,
tentu akan membuat siapa pun yang terlibat menjadi frustasi. Anak
bahkan bisa tidak sukar belajar atau sekolah. Sebaliknya, target di
bawah kemampuan anak akan membuat ia bosan dan tidak suka sekolah.
b. Adanya dukungan lingkungan, lingkungan disini termasuk juga orang
tua lain disekolah tersebut. Bagaimanakah sikap mereka, apakah
mendukung atau tidak, bagaimana juga sikap anak lain di sekolah
tersebut, apakah menerima keberadaan anak autis ini atau tidak.

4. Persiapan Tenaga Profesional Terkait


a. Dokter, peran dokter disini amat penting karena proses belajar mengajar
anak tidak akan lancar kecuali ia dalam keadaan sehat.
b. Psikolog, Peran psikolog adalah untuk memberikan profil psikolog anak,
sehingga orang tua dan pihak sekolah paham kelebihan dan kekurangan
anak secara menyeluruh. Gambaran profil ini, dapat membantu semua
pihak terkait dalam mengarahkan anak sehingga potensi aktual dapat
terealisir secara optimal tanpa membuat anak tertekan.
11

5. Guru Pendamping
Pada umumnya anak autis memerlukan guru pendamping pada masa
awal penyesuaian di lingkungan kelas yang jelas berbeda dengan
lingkungan terapi individual. Tidak semua sekolah menyediakan guru
pendamping dengan kualifikasi yang jelas, atau tidak semua orang tua
bersedia menggunakan guru pendamping yang disediakan pihak sekolah
oleh karena berbagai alasan.

6. Terapis
Meskipun sudah bersekolah di sekolah umum, sebagian dari anak
autis masih memerlukan bimbingan khusus dirumah. Tugas ini biasanya
dibebenkan pada terapis rumah, yaitu terapis atau guru yang bertugas untuk
mengulang materi yang dipelajari disekolah lengkap dengan
generalisasinya, mempersiakan anak akan meteri yang akan datang, dan
membantu anak menkompensasi kelemahannya melalui berbagai teknik dan
kiat praktis.

D. Program Pendidikan Formal Bagi Anak Autis

Bunga (2000:35-37) mengatakan penyusunan program pembelajaran


didasarkan atas hasil analisis asesmen, kemudian di selaraskan dengan
kurikulum yang berlaku. Oleh karena itu, program pembelajaran harus
mempertimbangkan kemampuan dan ketidak mampuan serta kebutuhan anak,
sehingga pembelajaran akan manjadi fungsional. program pembelajaran
mencakup program umum dan program yang diindividualkan. Adapun
komponen program pembelajaran minimal mencakup: kemampuan awal siswa,
tujuan, materi pokok, strategi/metode, kegiatan pembelajaran/pelaksanaan,
evaluasi.

Menurut Handojo (2002) seorang guru hanya mampu menangani


seorang anak pada saat yang sama (one by one). Bahkan tidak jarang untuk
anak-anak autisma yang baru masuk, perlu ditangani oleh 2 guru sekaligus
12

(seorang bertugas menjadi guru dan yang lain bertugas memberikan dorongan
kepada anak).

Program materi biasanya dibuat untuk 3 bulan terlebih dahulu dan


diakhiri dengan evaluasi akhir. Dengan cara ini maka dapat dipastikan bahwa
semua materi pembelajaran yang diperlukan seorang anak autisma untuk
mengejar keterlambatannya dapat diberikan secara lengkap. Disamping itu
dengan mudah dapat dilihat tingkat kemajuan seorang anak. Apabila terjadi
stagnasi, maka juga dapat diteliti dimana terjadinya kesalahan, sehingga dapat
dikoreksi dengan segera. Pada tahap awal, jenis aktivitas/ materi yang akan
dajarkan sebaiknya tidak terlalu banyak, agar dapat dicapai suatu konsistensi.
Guru tidak perlu merasa dikejar-kejar target, sehingga dapat memberikan
program secara tenang dan mantap.

Kurniana, (2009 :103) menjelaskan program terapi anak autis di SLB


meliputi:

1. Tahap Diagnosa
Dimana pada tahap ini sebelum menentukan jenis terapi yang akan
diberikan terlebih dahulu guru terapi benar-benar melihat bahwa anak
memang menyandang autis. Diaknosa dilakukan dengan melihat hasil
pemeriksaan dari Konsultan Psikologi atau rujukan dan hasil perkembangan
anak dari sekolah autis asal anak sekolah sebelum pindah ke SLB.

2. Tahap Observasi
Pada tahap ini observasi dilakukan pada anak selama kurang lebih
satu sampai dua bulan disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak.
Observasi ini meliputi kontak mata dan kepatuhan, kemampuan bantu diri,
kemampuan sensomotorik, kemampuan kognitif, kemampuan bahasa
reseptif dan expresif, kemampuan bersosialisasi. Dalam kegiatan ini guru-
guru terapi melakukan “trial and error“ dengan mulai mengarahkan perilaku
dan meningkatkan kemampuan yang sudah dimiliki, serta memperbaiki
13

ketidakmampuan. Hasilnya akan dibahas sebagai dasar dan pertimbangan


penyusunan program terapi selanjutnya.

3. Tahap Penyusunan Program


Program disusun dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi
masing-masing anak sesuai dengan hasil observasi yang telah dilakukan.
Program yang dibuat meliputi program intervensi dini, program terapi
penunjang, dan program sekolah lanjutan. Idealnya program ini
dilaksanakan dengan prinsip satu terapi satu anak secara terstruktur,
konsisten dan berkesinambungan dari jam 08.00 sampai jam 15.00 (full day
school), namun mengingat terbatasnya guru terapi maka pelaksanaan
disesuaikan dengan jadwal yang dibuat. Guru terapi melakukan kegiatan
individual dan sekali waktu dilaksanakan dengan menggabungkan dua atau
tiga orang anak yang tingkat permasalahannya hampir sama. Untuk melatih
dan meningkatkan proses sosialisasi anak satu minggu sekali diadakan
program makan bersama dan program bermain bersama.

Kurniana, (2009 : 104-105) pelaksanaan pengelolaan program terapi


anak autis meliputi pelaksanaan program intervensi dini, program terapi
pendamping, dan sekolah lanjutan. Program intervensi dini dibuat berdasarkan
hasil observasi yang dilakukan oleh tim guru terapi. Setelah program ini selesai
dibuat, dikomunikasikan kepada orang tua agar mereka mengetahui apa yang
akan dilakukan oleh guru terapi dan oleh orang tua sebagai tim yang bekerja
sama untuk membantu tercapainya tujuan dan menyiapkan orang tua untuk
menerima keadaan anak apa adanya, sehingga orang tua siap melangkah
bersama guru terapi membantu anak menghadapi masa-masa sulit.

Program intervensi dini terdiri dari tiga kategori kemampuan, yakni


kemampuan tingkat dasar, tingkat menengah, dan tingkat lanjut. Program
intervensi dini anak autis di SLB menggunakan metode modifikasi perilaku atau
metode ABA (Applied Behavioral Analisis). Anak autis akan mendapatkan
program intervensi dini sesuai dengan jadwal yang sudah dibuat dan
14

dilaksanakan di ruang terapi. Tiap anak mendapatkan waktu belajar selama dua
jam penuh dengan ditangani oleh satu orang guru terapi. Penanganan anak pada
tahap ini berbeda-beda sesuai kondisi masing-masing anak. Masing-masing
anak autis dikategorikan masuk dalam kemampuan yang berbeda, yakni
kemampuan tingkat dasar, kemampuan tingkat menengah dan kemampuan
tingkat lanjut, sehingga kurikulum yang diikuti juga berbeda untuk masing-
masing tingkat kemampuan.

Kurikulum tingkat dasar berisi tentang kemampuan kepatuhan dan


kontak mata, kemampuan menirukan atau imitasi, kemampuan bahasa reseptif,
kemampuan bahasa ekspresif, kemampuan pra akademik, kemampuan bantu
diri. Pada kegiatan ini guru terapi selalu memberikan prompt dengan berbagai
cara diantaranya secara fisik anak dibantu merespon yang benar, secara model
anak diberi contoh agar dapat meniru, secara verbal anak dijelaskan apa yang
harus dikerjakan, juga secara isyarat dengan menunjuk astau gerakan kepala.
Prompt diberikan pada saat anak tidak dapat mengerjakan atau tidak dapat
memberi respon dengan benar (Maulana, 2007 : 56). Segera setelah anak dapat
melakukan atau mengerjakan tugas dengan benar, maka guru terapi mengatakan
“BAGUS” dan memberikan penguatan berupa sesuatu yang dapat
menyenangkan hati anak.

Reinforcers yang sering diberikan oleh guru terapi adalah pujian, elusan,
pelukan dan memberi makanan atau minuman kesukaan anak. Guru terapi akan
selalu mengatakan “TIDAK” untuk menyatakan bahwa instrusi yang dilakukan
oleh anak adalah salah dan perkataan “TIDAK” ini juga untuk menegaskan pada
anak tentang segala sesuatu yang tidak boleh dikerjakan oleh anak.

Pelaksanaan terapi kelompok tingkat menengah sudah jauh lebih baik


dibandingkan dengan kelompok tingkat dasar, prompt hanya diberikan kadang-
kadang saja sementara penguatan selalu diberikan setiap anak selesai
melakukan suatu aktivitas meskipun hanya dalam bentuk pujian.
15

Pelaksanaan terapi kelompok lanjut hasilnya sudah cukup bagus, guru


sudah jarang memberikan prompt karena pada umumnya anak sudah dapat
melakukan aktivitas dengan benar. Pada kelompok ini reinforcers masih selalu
diberikan dalam bentuk pujian setelah anak selesai melakukan aktivitas.

Menurut Vrugteveen (2006 : 4) terapi yang intensif dan terpadu secara


formal sebaiknnya dilakukan antara 4-8 jam sehari secara individual. Salah satu
teknik ABA adalah One-on One yang berarti satu guru terapi akan menangani
satu anak autis dan kalau perlu dibantu lagi oleh seorang co-terapis yang
bertugas sebagai pemberi prompt atau pemberi contoh. Kenyataannya jumlah
guru terapi di SLB belum memadai dibandingkan dengan jumlah siswa autis,
sehingga program terapi yang ada belum memenuhi kebutuhan anak autis
secara ideal, meskipun pada akhirnya kebutuhan itu dapat tercapai dengan
waktu yang relatif agak lama.

Program terapi pendamping diberikan kapada anak-anak autis yang


mengalami hambatan- hambatan khusus dan memerlukan terapi tertentu sesuai
dengan hambatan yang dialaminya Terapi pendamping yang dilaksanakan di
SLB adalah :

1. Terapi Okupasi
Bertujuan untuk melatih otot-otot halus anak karena hampir semua
anak autis mengalami keterlambatan dalam perkembangan motorik halus.
Pada terapi okupasi ini guru terapi akan mengajarkan kepada anak
bagaimana cara yang benar memegang benda. Alat terapi yang digunakan
diantarannya bola refleksi, pasang kancing, bola susun, memakai sepatu,
yang berguna untuk melatih motorik halus, merangsang taktil, menstimulasi
peredaran darah.

2. Terapi Integrasi Sensoris


Bertujuan melatih kemampuan untuk mengolah dan mengartikan
seluruh rangsang sensori yang diterima dari tubuh maupun lingkungan.
Untuk mengaktifkan rangsang terapi digunakan alat terapi diantaranya
16

kolam bola berduri dengan memasukkan anak ke dalam kolam dan


menimbun-nimbun anak dengan bola-bola berduri agar anak terlatih
merasakan rangsang dari luar, selain kolam bola juga ada bola berduri
ukuran besar yang dipakai oleh guru terapi dengan cara menyuruh anak
memegang-megang bola tersebut.

3. Terapi Fisik
Bertujuan untuk menguatkan otot-otot dan melatih keseimbangan
tubuh anak. Alat yang digunakan diantaranya titian untuk berjalan, bola-
bola besar, bola keseimbangan. Dengan bantuan alat-alat ini guru terapi di
bidang fisioterapi akan melakukan terapi yang bertujuan melatih otot-otot
anak autis yang lemah dan melatih keseimbangan tubuh.

Anak autis yang dinyatakan “sembuh” dari hasil terapi intervensi dini
maupun terapi penunjang dapat juga melanjutkan sekolah di sekolah reguler
yang melaksanakan program sekolah inklusi dan tidak harus sekolah di SDLB,
dan anak autis ini pada saat sekolah didampingi oleh guru terapi pendamping
yang berfungsi sebagai shadowl atau guru pembimbing khusus yang bertugas
khusus mendampingi dan membimbing perilaku anak autis.

Di SLB juga ada program-program kelompok yakni kegiatan anak autis


yang dilakukan secara kelompok dengan tujuan untuk melatih sosialisasi anak
dan sebagai sarana latihan berkomunikasi dengan sesama teman autis. Dalam
kegiatan kelompok ini pengaruh teman yang sudah “sembuh” sangat kelihatan,
karena anak ini akan menjadi model bagi anak yang lain. Kegiatan kelompok
yang ada adalah kegiatan makan bersama yang diadakan satu minggu sekali
pada hari Sabtu. Kegiatan ini dilakukan di ruang makan salah satu ruang di
ruang terapi, diikuti satu kelompok anak yang terdiri dari enam sampai delapan
anak, selama satu jam bergantian dengan kelompok lain. Satu kelompok anak
dibimbing oleh enam guru terapi. Kegiatan kelompok yang lain adalah kegiatan
bermain bersama yang dilakukan satu minggu sekali pada hari jumat, baik
bermain di ruang terapi maupun di lingkungan sekolah.
17

Setiap orang tua anak autis di SLB harus terlebih dahulu mengenali
kelebihan dan kekurangan anak, lengkap dengan ciri-ciri autisnya untuk
mengetahui kebutuhan anak, mengenali kemungkinan penanganan yang dapat
diberikan pada anak, menetapkan beberapa jenis penanganan sesuai kebutuhan,
melakukan pemantauan secara terus menerus terhadap perkembangan anak, dan
secara berkala kembali lagi pada langkah pertama, yaitu mengetahui kelebihan
dan kekurangan pada diri anak autis. Untuk mendapatkan pengetahuan tentang
bagaimana ciri-ciri dan penanganan anak autis, para orang tua di SLB diberikan
informasi mengenai ciri-ciri dan penanganan anak autis di rumah oleh orang
tua. Informasi ini diberikan oleh guru terapi pada saat pertemuan orang tua
dengan pihak sekolah sekaligus membahas kesepakatan belajar dan kerjasama
antara sekolah dengan orang tua.

Pihak sekolah menawarkan pinjaman buku-buku baru tentang anak autis


kepada orang tua dan diharapkan para orang tua mau membaca dan banyak
belajar dari buku-buku tersebut. Selain buku-buku baru tentang anak autis,
sekolah juga meminjamkan video berisi videohome training yang berisi latihan-
latihan sederhana khususnya dalam memberi stimulasi kepada anak dalam
latihan panca indra, latihan konsentrasi terhadap permainan, latihan berpakaian,
latihan bersosialisasi dalam kelompok bermain dan latihan makan sendiri.

Selain itu, pihak sekolah membuka kesempatan seluas-luasnya kepada


orang tua untuk melakukan konsultasi pada guru terapi. Orang tua di sekolah
berperan sebagai pendamping anak, karena anak autis tidak dapat dibiarkan
sendirian tanpa seorang pendamping, mengingat anak autis tidak dapat
mengontrol gerak dan kegiatan yang dilakukan. Jadi jika anak berada di luar
kelas saat istirahat atau melakukan kegiatan di luar kelas, orang tua di sekolah
berperan sebagai pendamping anaknya. Yang dilakukan orang tua pada saat
pendampingan, selain menjaga dan mengawasi perilaku anaknya, adalah
melakukan interaksi aktif dengan anak dalam rangka meningkatkan
pemahaman dalam berbagai bidang yaitu dengan cara memberikan informasi
dan pengalaman, dengan memberi tahu pada anak apa yang dipegang dan dilihat
18

dan menjelaskan berbagai kejadian yang dialami, mengenalkan aturan-aturan


yang perlu ditaati misalnya tentang jam masuk sekolah, jam masuk terapi, jam
istirahat, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak, dan
pembiasaan cara berperilaku santun pada orang lain. Orang tua harus selalu
mengikuti kemana saja anaknya berada, memberi tahu apa yang dipegang dan
dilihat oleh anak dan menjelaskan berbagai kejadian yang dialami oleh anak,
orang tua perlu memberi makna pada kehidupan anak.

E. Penilaian/Evaluasi

Hasil yang dicapai setiap hari oleh anakerlu dicatat dengan teliti agar
tidak terjadi kekhilafan dalam urutan materi yang diajarkan (Handojo, 2002).
Menurut Annisa (2016) terdapat 2 jenis evaluasi yang dapat dilakukan kepada
anak autis antara lain:

1. Evaluasi sumatif dilakukan pada akhir program yaitu akhir semester.


Evaluasi sumatif bertujuan untuk melihat sejauh mana kemampuan dan
penguasaan anak autis dalam menerima materi pembelajaran selama satu
semester.
2. Evaluasi formatif dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung
atau akhir proses pembelajaran. Evaluasi formatif bertujuan untuk melihat
sejauh mana kemampuan dan penguasaan anak autis dalam menerima
materi pembelajaran selama proses pembelajaran dan diakhir proses
pembelajaran.

Kurniana, (2009 : 106-107), memaparkan evaluasi kasus dilaksanakan


setiap bulan sekali yang fungsinya mengevaluasi realisasi dari program terapi
yang sudah dibuat. Di SLB evaluasi kasus ini diadakan setiap akhir bulan yang
diikuti oleh tim guru terapi dan Kepala Sekolah dan orang tua siswa. Dalam
evaluasi ini para guru terapi akan berdiskusi dan sharing tentang segala hal
mengenai permasalahan, kendala, kegagalan maupun keberhasilan program
terapi anak autis yang sudah dilakukan selama satu bulan.
19

Kepala Sekolah selaku penanggung jawab akan meminta laporan


kapada tim terapi mengenai pertanggungjawaban pelaksanaan program terapi.
Pada saat evaluasi kasus guru terapi akan melaporkan tentang penilaian harian
masing- masing anak. Penilaian harian menilai aktivitas anak berkaitan dengan
instruksi yang diberikasn guru terapi sesuai dengan materi kategori kemampuan
anak yang tertera pada program terapi. Jika terjadi tidak ada perkembangan
kemajuan pada anak selama proses terapi satu bulan maka akan didiskusikan
bersama seluruh tim terapi dan dicari jalan keluarnya. Hambatan ini kadang bisa
saja bukan dari anak tetapi dari guru terapi yang kurang trampil menangani
kasus-kasus tertentu sehingga perlu sharing antar guru terapi yang mungkin
pernah mengalami kasus yang serupa.

Jika hambatan disebabkan oleh anak, pada kasus semacam ini guru
terapi akan memanggil orang tua anak untuk berdiskusi apa yang sudah
dilakukan orang tua di rumah berkaitan dengan hambatan dan kemajuan yang
dirasakan orang tua tentang anaknya di rumah, kemudian bersama-sama
berdiskusi mencari jalan keluar dan membuat langkah baru yang akan dilakukan
orang tua di rumah pada bulan depannya.

Evaluasi program semester dilakukan setiap satu semester atau enam


bulan sekali yang bertujuan untuk mengukur atau menilai sejauh mana program
yang telah dirancang oleh seluruh tim terapi dapat dikuasai oleh anak, baik
program terapi maupun program pembelajaran di kelas anak autis. Evaluasi
program semester ini terdiri atas evaluasi terapi yang menjadi tanggung jawab
guru terapi dan evaluasi hasil belajar di kelas yang menjadi tanggung jawab
guru kelas. Hasil evaluasi program semester untuk program terapi akan
dilaporkan kepada orang tua dalam bentuk laporan hasil belajar yang lengkap
selama satu semester, dalam arti guru terapi akan mendeskripsikan seluruh
pelaksanaan program dan hasil yang dicapai anak oleh dalam bentuk narasi.
Hasil program semester untuk pembelajaran di kelas akan dilaporkan dalam
bentuk raport dan laporan hasil belajar yang dideskripsikan dalam bentuk
narasi. Dengan membaca laporan hasil belajar anak ini diharapkan orang tua
20

akan mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai hasil belajar


anaknya selama satu semester.

Tahap follow up dilakukan dengan melihat hasil evaluasi program


semester. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut guru terapi maupun guru kelas
akan menentukan program atau langkah selanjutnya. Langkah yang ditempuh
adalah apabila program sudah dikuasai anak, dilanjutkan pada program
kemampuan berikutnya dengan tetap memperhatikan pada kemampuan yang
sudah dikuasai harus tetap dipelihara dan dijaga dengan cara kemampuan-
kemampuan yang sudah dikuasai tersebut harus tetap dilakukan oleh anak.
Apabila program belum dikuasai oleh anak, akan dilakukan peninjauan kembali
atau pengkajian terhadap faktor penyebab. Setelah dilakukan pengkajian,
program akan diulangi lagi pada semester berikutnya dengan melakukan
perbaikan. Kalau ternyata kemampuan anak memang tidak memungkinkan,
maka akan mengganti program yang lebih memungkinkan dicapai oleh anak
autis.

Bagi anak yang sudah menguasai dan memiliki kemampuan dasar


seperti kemampuan dasar akademik, kemampuan dasar bersosialisasi,
kemampuan berkomunikasi dan perilaku anak sudah dapat dikendalikan, anak
autis ini akan diintegrasikan ke sekolah yang ada di SLB Negeri sesuai dengan
tingkat kemampuannya atau ke sekolah reguler yang mengadakan program
pendidikan inklusi.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendidikan formal anak autistik adalah pendidikan yang


diselenggarakan secara formal bagi anak yang telah di terapi awal dengan
baik dan memperlihatkan keberhasilan yang menggembirakan, anak
tersebut dapat dikatakan “sembuh” dari gejala autismenya. Ini terlihat bila
anak tersebut sudah dapat mengendalikan perilakunya sehingga tampak
berprilaku normal, berkomunikasi dan berbicara normal, serta mempunyai
wawasan akademik yang cukup sesuai anak seusianya. Pada saat ini anak
sebaiknya mulai diperkenalkan untuk masuk ke dalam kelompok anak-anak
normal, sehingga ia (yang sangat bagus dalam meniru/imitating) dalam
mempunyai figur (role model) anak normal dan meniru tingkah laku anak
normal seusianya.

Tujuan pendidikan formal bagi anak autis, antara lain :

1. Mengembangkan diri sesuia dengan potensinya serta menjadi manusia


mandiri dan berguna di masyarakat.
2. Agar anak mampu melakukan sosialisasi kedalam lingkungan yang
umum dan bahkan hanya dalam lingkungan keluarga.
3. Mengajarkan materi akademik
4. Meningkatkan kemampuan bina diri dan keterampilan diri
5. Membangun komunikasi dua arah yang aktif

21
DAFTAR PUSTAKA

Bunga. (2000). Buku Pedoman Penanganan dan Pendidikan Autisme. RBS.


Prizaldy Institute

Fred Vrugteveen. (2006). Spectrum Autisma. Makalah Pada ACS Tingkat Dasar
di SKA Fajar Nugraha.

Ganda Sumekar. (2009). Anak Berkebutuhan Khusus, Cara Membantu Mereka


Agar Berhasildalam Pendidikan Inklusif. Padang : UNP Press.

Handojo, Y. (2002). Autisma. Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Untuk Mengajarkan
Anak Normal, Autis dan Prilaku Lain. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.

Lakshita, Nattaya. (2012). Panduan Simpel Mendidik Anak Autis. Yogyakarta:


Javalitera.

Kurniana Bektiningsih. (2009). Program Terapi Anak Autis di SLB Negeri


Semarang. Jurusan PGSD – FIP - Universitas Negeri Semarang Gunung
Pati, Semarang. Volume XXXIX, Nomor 2.

Maulana, Mirza. (2007). Anak autis: Mendidik Anak Autis Dan Gangguan Mental
Lain Menuju Anak Cerdas Dan Sehat. Yogyakarta: AR. Russ Media
Group.

Mega Iswari. (2018). Pendidikan Anak Autisme. Jawa Barat: Goresan Pena.

Prayitno. (2009). Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Jakarta: Penerbit Grasindo.

22

Anda mungkin juga menyukai