Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH DASAR ILMU PENDIDIKAN

Kelompok 12

“Pendidikan Inklusif”

Dosen Pembimbing :

Hafidh Kurniawan, M.Pd

Disusun Oleh:

Muhammad Gilang Hanafi

(2210007721011)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PPKN

STKIP YAYASAN ABDI PENDIDIKAN PAYAKUMBUH

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah swt.Yang atas rahmatnya lah kami masih
diberikan kesehatan. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad
saw. Yang mana berkat beliau kita masih menikmati ilmu pengetahuan. Sehingga kami bias
diberikan kesehatan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah “Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan”
tentang “Pendidikan Inklusif“.

Makalah ini disusun berguna untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Dasar-Dasar Ilmu
Pendidikan di kampus ”STKIP ABDI PENDIDIKAN PAYAKUMBUH”.Selain itu, penulis juga
berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.“Hubungan pendidikan dan
sumber daya manusia, Hubungan sekolah dan masyarakat.“Penulis mengucapkan terimakasih
yang sebesar–besarnya kepada Bapak Hafidh Kurniawan selaku dosen pembimbing mata kuliah
ini, serta kepada pihak–pihak yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan
makalah ini”.

Penulis menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan baik pada teknik maupun
penulisan materi,maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari
pembaca demi kesempurnaan.

Payakumbuh, 15 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………...i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………….ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……………………………….….…………………………………..……1
B. Rumusan Masalah………………………………………..………………………………2
C. Tujuan Penulisan……….…………………………………..…………………………….2

BAB II PEMBAHASAN

1. Hakikat Pendidikan Inklusif ………………………………..…………….………………3


2. Pengertian Pendidikan Inklusif……………………………………………………………4
3. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus…………………………………………………..4
4. Tujuan Pendidikan Inklusi………………………………………………………………...6
5. Landasan Pendidikan Inklusif …………………………………………………..………...7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………...…………….……………10
B. Saran………………………………….………………………………………………….10

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan inklusif merupakan seseuatu yang baru di dunia pendidikan
Indonesia.Istilah pendidikan inklusif  atau inklusi, mulai mengemuka sejak tahun
1990,ketika konferensi dunia tentang pendidikan untuk semua, yang diteruskan dengan
pernyataan tentang pendidikan inklusif pada tahun 1994. Pendidikan khusus merupakan
pendidikan yang diperuntukan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
dan memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Keberadaannya mulai dihargai
dan memiliki hak yang sama seperti anak normal lainnya. Hal ini sesuai dengan apa yang
diharapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa
Negara memberikan jaminan sebenarnya kepada anak-anak berkebutuhan khusus untuk
memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas.

B. Rumusan Masalah
1. Hakekat Pendidikan Inklusif
2. Pengertian Pendidikan Inklusi
3. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
4. Tujuan Pendidikan Inklusi
5. Landasan Pendidikan Inklusi

C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan Hakekat Pendidikan Inklusif
2. Jelaskan Pengertian Pendidikan Inklusi
3. Mendeskripsikan Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
4. Jelaskan Tujuan Pendidikan Inklusi
5. Menjelaskan Landasan Pendidikan Inklusi
BAB III
PEMBAHASAAN

A. Hakikat Pendidikan Inklusif


Pada awalnya pendidikan khusus menerapkan pembelajaran model “segregasi”
yaitu yang menempatkan anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah khusus/Sekolah
Luar Biasa, terpisah dari teman sebayanya. Dengan kata lain, di sekolah ini Anak
Berkebutuhan Khusus dipisahkan dari sistem sekolah yang diselenggrakan secara reguler.
Misalnya, Sekolah Luar Biasa mulai jenjang Taman Kanak-Kanak Luar Biasa , Sekolah
Dasar Luar Biasa , Sekolah Menengah Luar Biasa , sampai Sekolah Menengah Atas Luar
Biasa . Sekolah dengan model segregasi tersebut menerima siswa dengan hambatan yang
sama, maka ada Sekolah Luar Biasa Tunanetra, Tunarungu, Tunagrahita, Tunadaksa, dan
Tunalaras Dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Kerugian
tersebut sebagaimana pandangan Reynolds dan Birch (1988) antara lain bahwa model
segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkebutuhan khusus mengembangkan
potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah
biasa. Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan
peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat pada umumnya. Akan
tetapi, mereka dipisahkan dengan masyarakat pada umumnya. Kelemahan lain yang tidak
kalah penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal. Berbeda halnya dengan
TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan
khusus, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
tunadaksa, tunalaras, autis, ataupun hambatan majemuk. Sekolah-sekolah tersebut
memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru
khusus. Dari segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah
bagi guru dan administrator. Akan tetapi, dari sudut pandang peserta didik, model
segregasi bisa jadi pada kondisi tertentu merugikan peserta didik.

B. Pengertian Pendidikan Inklusif


Menurut Stubbs (Depdiknas,2007:23) mendefinsikan bahwa ‘inklusif atau
pendidikan inklusif bukan nama lain untuk pendidikan kebutuhan khusus. Pendidikan
inklusif menggunakan pendekatan yang berbeda dalam mengidentifikasi dan mencoba
memecahkan kesulitan yang muncul di sekolah’.
Definisi berikutnya dikemukakan oleh Sapon-Shevin dan O’Neil, 1994 (Dir. Pem.
SLB, 2007:5 ‘pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan
anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama
teman teman seusianya’.
Definisi pendidikan inklusif yang dirumuskan dalam Seminar Agra pada tahun
1998 yang disetujui oleh 55 peserta dari 23 negara merumusakan poin-poin sebagai
berikut:
1. lebih luas daripada pendidikan formal: mencakup pendidikan di rumah, masyarakat,
sistem nonformal dan informal.
2. mengakui bahwa semua anak dapat belajar.memungkinkan struktur, sistem dan
metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak.
3. mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik,
bahasa, hambatan, status HIV/AIDS dll.
4. merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya
dan konteksnya.
5. merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan masyarakat
yang inklusif.

C. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus


1. Tunanetra
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra
dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision.
Definisi Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang memiliki
lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau
tidak lagi memiliki penglihatan.

2. Tunarungu
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik
permanen maupun tidak permanen.
3. Tunagrahita
Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada
dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi prilaku yang
muncul dalam masa perkembangan.

4. Tunadaksa
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh
kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat
kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh.

5. Tunalaras
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan
emosi dan kontrol sosial. individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku
menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya.
Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh
dari lingkungan sekitar.

6. Autisme
Dari pengertiannya Autisme berasal dari kata auto yang artinya sendiri.
Penyandang autisme seperti hidup di dunianya sendiri.

7. ADHD(Attention Deficit Diperatif Desorder)


Attention Deficit Diperatif Desorder atau yang dikenal disingkat dengan ADHD
adalah kondisi anak yang memperlihatkan ciri atau gejala kurang konsentrasi,
hiperaktif dan impulsive yang dapat menyebabkan ketidak seimbangan pada sebagian
besar aktifitas hidupnya.

8. Lamban Belajar (Slow Learner)


Ini adalah contoh anak-anak yang berkebutuhan khusus dengan keterbatasan anak
learning disabilitas atau difabilitas. Beberapa ciri yang menonjol antara lain: prestasi
belajar selalu rendah, terlambat menyelesaikan tugas akademik, daya tangkap
pembelajaran dan kemampuan belajar lambat.
9. Anak Berbakat
Anak berbakat menunjuk pada anak-anak yang memiliki kemampuan-
kemampuan yang unggul, mampu memberikan prestasi yang tinggi baik disekolah
maupun ekskul dan kegiatan minat bakatnya. Anak berbakat dengan kemampuan dan
bakat luar biasa ini memerlukan pelayanan pendidikan khusus untuk membantu
mereka mencapai prestasi sesuai dengan bakat-bakat mereka yang unggul.

10. Anak Kesulitan Belajar Spesifik


Adalah individu yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar
psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan
menulis yang dapat memengaruhi kemampuan berfikir, membaca, berhitung,
berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minimal
otak, dislexia, dan afasia perkembangan. individu kesulitan belajar memiliki IQ rata-
rata atau diatas rata-rata, mengalami gangguan motorik persepsi-motorik, gangguan
koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang.

D. Tujuan Pendidikan Inklusi


Secara umum, tujuan pendidikan inklusi masih berpatokan pada UU No. 20 tahun
2003 mengenai Sisdiknas, pasal 1 ayat 1, yakni pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi pribadinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara Oleh karena itu,  tujuan utama
dari pendidikan inklusi adalah untuk memenuhi hak asasi manusia atas pendidikan.
Sementara itu menurut Tarmansyah (2007, hlm. 112-113) tujuan praktis yang
ingin dicapai dalam pendidikan inklusi dapat dibagi menjadi tujuan langsung oleh peserta
didik, guru, orang tua, dan masyarakat.
E. Landasan Pendidikan Inklusif
1. Landasan Filosofis
Abdulrahman dalam Kemdikbud (2011) mengemukakan bahwa landasan filosofis
penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima
pilar sekaligus cita–cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yaitu
Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik
kebinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat
Tuhan di muka bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan,
kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri,
dan sebagainya, sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku
bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan
sebagainya.

2. Landasan Yuridis
Dalam Undang-Undang Dasar Amandemen 1945, Pasal 31 ayat (1) menyatakan
bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ditambahkan juga
dalam ayat (2) dalam pasal yang sama, bahwa “’Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.Selanjutnya terkait dengan
perlindungan anak, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, padal Pasal 48, menyatakan bahwa “Pemerintah wajib
menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua
anak”.Kemudian pada Pasal 48 dari Undang-Undang tentang Perlindungan Anak,
dinyatakan bahwa “’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orang tua wajib memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”.
Dalam konteks pendidikan nasional, penyelenggaraan pendidikan inklusif
memiliki dasar hukum yang jelas. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam
UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5
ayat (1) “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu”. Ayat (2): “Warga negara yang memiliki hambatan fisik,
emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus”.
Dalam hal aksesibilitas pendidikan, dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2)
“Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi”. Pasal 32 ayat (1) “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena hambatan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa”.
Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa “Pendidikan khusus
merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau
peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara
inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah”. Pasal 45 ayat (1) “Setiap satuan pendidikan formal dan non formal
menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial,
emosional, dan kejiwaan peserta didik”.

3. Landasan Empiris
Terkait dengan landasan empiris, hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi
dan penempatan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah, kelas, atau tempat
khusus tidak efektif dan diskriminatif, peneliti merekomendasikan pendidikan khusus
secara segregatif hanya diberikan secara terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang
tepat (Heller, Holtzman dan Messick, 1982).
Hasil metaanalisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50
buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker
(1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif
berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak
berkebutuhan khusus dan teman sebayanya. Selain itu, Depdiknas (2007)
mengemukakan bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif mendapatkan dukungan
dari berbagai event atau moment, baik internasional maupun nasional.
Diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights), tahun 1948
b) Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), Tahun 1989
c) Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (World Conference on
Education for All) Tahun 1990
d) Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi
Orang Berkelainan (The Standard Rules on The Equalization of Opportunities for
Persons with Disabilities)
e) Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi (The Salamanca Statement on
Inclusive Education) Tahun 1994
f) Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua (The Dakar Commitment on
Education for All) Tahun 2000
g) Deklarasi Bandung Tahun 2004 dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan
inklusi”
h) Rekomendasi Bukittinggi Tahun 2005, menyatakan bahwa pendidikan inklusif
dan ramah terhadap anak semestinya.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan inklusif adalah pendidikan regular yang disesuaikan dengan
kebutuhan peserta didik yang memiliki kelainan dan atau memiliki potensi kecerdasan da
n bakat istimewa pada sekolah regular dalam satu kesatuan yang sistemik.Pendidkan
inklusif mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus yang mempunyai IQ normal,
diperuntukan bagi yang memiliki kelainan, bakat istimewa, kecerdasan istimewa dan
atau yang memerlukan pendidkan layanan khusus.
Manfaat pendidikan inklusif antara lain: ”Membangun kesadaran dan
konsensus pentingnya pendidikan inklusif sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yangd
iskriminatif, melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis
situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi semua anak pada setiap distrik dan
mengidentifikasi alasan mengapa mereka tidak sekolah, mengidentifikasi hambatan
berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan masalahlainnya terhadap akses dan
pembelajaran, melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring
mutu pendidikan bagi semua anak”.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini penulis berharap pembaca dapat memahami isi
darimakalah ini dan tentu dapat menambah pengetahuan seputar dunia pendidikan
inklusif. Semoga pembaca bisa terus menggali wawasanya dengan terus mencari
referensi lain selain dari makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Mulyasa,E. 2007. Implementasi Kurikulum 2004: Perpaduan Pembelajaran KBK. Bandung:


Rosdakarya.
Effendi,Mohammad Pengantar Pdikopedagogik Anak Berkebutuhan Khusus Autistik. 2006.
Jakarta: Bumi Aksara
Hadis, Abdul. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik. 2006. Bandung: Alfabeta.
MIF,Baihaqi dan M.Sugiarmin. 2006. Memahami dan Membantu Anak ADHD. Bandung: PT.
Refika Aditama
Menteri Pendidikan Nasional.(2009).Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 tahun 2009
Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki
Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Jakarta: KEMENDIKNAS.
Direktorat PLB.(2003).Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Buku 2 Identifikasi
Anak Luar Biasa.Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.
Departemen Pendidikan Nasional.2006. Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Stubbs,Sue.Tanpa tahun. Pendidikan Inklusif: Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber.Terjemahan
Susi septaviana.2012. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
P. Hallahan, Daniel dkk. 2009. Exceptional Learners: An Introduction to Special Education.
Boston: Pearson Education
Somantri,sutjihati. Psikologi Anak Luar Biasa. 2006. Bandung: Refika Aditama
Budiyanto.Supena Asep.Sujarwanto. Yusuf, Munawir. Modul Pelatihan Pendidikan Inklusi.
2010. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional

Anda mungkin juga menyukai