Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENDIDIKAN INKLUSIF & MANAJEMEN PENDIDIKAN INKLUSIF


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Manajemen Berbasis Sekolah
Dosen Pengampu:
Dr Husnul Madihah M. Pd

Disusun oleh:
Abdul Rahim 2005030073

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS STUDI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI
BANJARMASIN TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmatnya
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang berarti
dan sesuai dengan harapan. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada ibu....sebagai
dosen pengampu mata kuliah Manajemen Berbasis Sekolah yang telah membantu
memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan kami.
Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.

Marabahan, 09 Mei 2023


Penulis

AR
DAFTAR ISI
COVER………………………………………………………....................................................................... I
KATA PENGANTAR……………………………...............................................................……………... ii
DAFTAR ISI……......................................................………………………………………………………….. iii

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG............................................................................................................
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................................................
C. TUJUAN PENULISAN........................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus ( ABK ).............................................................
B. Pengertian Inklusif...........................................................................................................
C. Tujuan Dan Manfaat Pendidikan Inklusif........................................................................
D. Perkembangan pendidikan ABK di Indonesia.................................................................
E. Implementasi Pendidikan Inlusif Di Indonesia................................................................

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN...........................................................................................................................
B. SARAN.....................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Saat ini diperkirakan sepuluh persen dari populasi anak di dunia adalah anak berkebutuhan
khusus (Dampingi anak, n.d.). Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia pun terus
meningkat, meskipun tidak dapat dipastikan. Dinas Pendidikan Luar Biasa Kementerian
Pendidikan Nasional mencatat terdapat 324.000 orang ABK di Indonesia (Pendidikan anak, 3
Maret 2010). Prevalensinya yang tinggi serta kesadaran masyarakat yang semakin
meningkat mengenai isu ini membuat ABK semakin mendapatkan perhatian. Direktorat
Pendidikan Luar Biasa. Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat istilah anak luar biasa
yang kini disebut sebagai anak berkebutuhan khusus masih disalah tafsirkan, yaitu anak luar
biasa selalu diartikan sebagai anak berkemampuan unggul atau yang berprestasi yang luar
biasa. Padahal pengertian anak luar biasa juga mengacu pada pengertian yaitu anak yang
menglami kelainan atau ketunaan.
Selain masyarakat yang masih keliru dalam menafsirkan pengertian anak yang luar biasa,
faktor penyebab sehingga anak menjadi anak luar biasa dan karakteristik dari masing-
masing jenis anak yang mengalami keluarbisaan. Dalam dunia pendidikan luar biasa seorang
anak diartikan sebagai anak luar biasa jika anak ersebut membutuhkan perhatian khusus
dan layanan pendidikan yang bersifat khusus oleh guru pendidik atau pembimbing khusus
yang berlatar belakang disiplin ilu pendidikan luar biasa atau disiplin ilmu lainnya yang
relevan dan memiliki sertifikasi kewenangan dalam mengajar, mendidik, membimbing dan
melatih anak luar biasa.4, dalam Mangunsong, 2010).
Oleh karena itu dalam pembahasan kali ini kami akan menjelaskan secara lebih holistik
mengenai pengertian anak ABK, pengertian, tujuan dan manfaat pendidikan inklusi dan
perkembangan serta implementasinya di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan ABK?
2. Apa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif bagi ABK?
3. Bagaimana tujuan dan manfaat pendidikan Inklusif?
4. Bagaimana perkembangan ABK di Indonesia?
5. Bagaimana implementasi pendidikan iklusif di Indonesia?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengertian ABK.
2. Untuk mengetahui pendidikan Inklusif bagi ABK.
3. Untuk mengetahui tujuan dan manfaat pendidikan Inklusif.
4. Untuk mengetahui perkembangan ABK di Indonesia.
5. Untuk mengetahui implementasi Inklusif di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ( ABK )


Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda
dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental,
emosi atau fisik. Sedangkan Lynch (1994:1) mendefinisikan anak yang membutuhkan
pendidikan khusus sebagai berikut.
“Children with special educational needs as all those who permanently or temporarity
during their school careers have need of special educational responses on the part of the
teacher, the institution and/or the system by dint of their physical, mental or multiple
impairment or emotional condition or for reasons of situasional disadvantage”
Pernyataan di atas memberikan makna bahwa anak yang membutuhkan pendidikan khusus
adalah anak yang secara permanen (individu dengan hambatan sesori penglihatan,
pendengaran, perkembangan intelektual, fisik dan motorik, emosi dan perilaku, individu
berbakat, tunaganda, individu berkesulitan belajar individu dengan autisme dan individu
dengan hambatan konsenterasi dan perhatian) atau temporer (kondisi sosial-emosi,
ekonomi dan politik) selama jenjang sekolah mereka memerlukan penanganan pendidikan
khusus dari pihak guru, institusi, dan/atau sistem sebagai akibat kelainan mereka baik
secara fisik, mental, atau gabungannya, atau kondisi emosi, atau karena alasan situasi yang
kurang menguntungkan.
Sedangkan untuk situasi Indonesia, Kebijakan Direktorat Pendidikan Luar Biasa tentang
Layanan Pendidikan Inklusi bag] Anak Berkebutuhan Pendidikan Khusus (Nasichin, 2002:5)
mengartikan anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang tergolong luar biasa, baik
dalam arti berkelainan, lamban belajar, maupun yang berkesulitan belajar. Berkelainan
diartikan sebagai anak yang mengalami kelainan fisik dan atau mental dan atau kelainan
perilaku. Kelainan fisik, meliputi tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa. Kelainan mental
meliputi anak tunagrahita ringan dan tunagrahita sedang. Sedangkan kelainan perilaku
meliputi anak tunalaras. Selanjutnya PP nomor 72/1991 menyebutkan bahwa jenis kelainan
peserta didik terdiri atas kelainan fisik dan/atau mental dan/atau kelainan perilaku. Kelainan
fisik meliputi tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa. Sedangkan kelainan mental meliputi
tunagrahita ringan dan tunagrahita sedang.
Kirk dan Gallagher (1986:5) mendefinisikan the exceptional child (anak berkebutuhan
khusus) sebagai anak yang berbeda dari anak rata-rata atau normal dalamhal (1)
karakteristik mental, (2) kemampuan sensori, (3) kemampuan komunikasi,c(4) perilaku
sosial, atau (5) karakteristik pisik. Anak-anak seperti ini amemerlukan pelayanan pendidikan
secara khusus untuk mengembangkan kapasitasnya secara maksimum. Hallahan dan
Kauffman (1986:5) membuat batasan exceptional children adalah anak-anak yang
memerlukan pendidikan khusus yang disebabkan karena mereka mempunyai perbedaan
yang sangat mencolok dari anak-anak pada umumnya dalam satu hal atau lebih berikut ME
mentally retarded, gifted, learning disabled, emotionally disturb, physically handicapped,
atau mempunyai gangguan bicara atau bahasa, gangguan pendengaran, atau gangguan
penglihatan. Istilah ini dipandang lebih luas ruang lingkupnya dari pada istilah sebelumnya,
karena bukan saja anak yang berkekurangan atau anak cacat, atau anak tuna, melainkan
anak yang memiliki kelebihanpun (gifted) namun memerlukan pelayanan pendidikan secara
khusus dapat dikategorikan sebagai anak luar biasa. Anak luar biasa pun dapat didefinisikan
sebagai anak berkebutuhan khusus karena dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya anak ini membutuhkan bantuan layanan pendidikan, layanan sosial layanan
bimbingan dan konseling dan berbagai jenis layanan lainnya yang bersifat khusus.
Berdasarkan pernyataan di atas, jelas bahwa kondisi-kondisi tersebut dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan anak balk jasmani, rohani, dan atau sosialnya, sehingga
mereka tidak dapat mengikuti pendidikan dengan wajar. Dengan perkataan lain, mereka
adalah anak-anak yang potensial bermasalah yang apabila mendapat layanan bimbingan
secara tepat, potensi mereka akan berkembang secara optimal.

B. PENGERTIAN INKLUSIF
Istilah inklusi yang dianggap istilah baru untuk mendiskripsikan penyatuan bagi anak-anak
berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program-program sekolah (dan juga
diartikan sebagai menyatukan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat)
dengan cara-cara yang realistis dan komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang
menyeluruh.
Pendidikan inklusif merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem
pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa
untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Pendidikan inklusif merupakan model
penyelenggaraan program pendidikan bagi anak berkelainan atau cacat dimana
penyelenggaraannya dipadukan bersama anak normal dan tempatnya di sekolah umum
dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga bersangkutan.
Stout (2001:1) mengemukakan tentang defnisi inklusi sebagai berikut.
“Inclusion is a term which expresses commitment to educate each child, to the maximum
extent appropriate, in the school and classroom he or she would otherwise attend. It
involves bringing the support services to the child (rather than moving the child to the
services) and requires only that the child will benefit from being in the class (rather than
having to keep up with the other student)”.
Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa inklusi merupakan suatu istilah yang
menyatakan komitmen terhadap pendidikan yang sedemikian tepatnya bagi setiap anak, di
mana is akan mengikuti pendidikan baik di sekolah maupun di kelas. Inklusi melibatkan
berbagai dukungan layanan terhadap anak dan hanya memerlukan bahwa anak akan
mendapat manfaat dari kehidupan di kelas (lebih baik mengalami untuk mengikuti siswa
yang lain).
Pada hakekatnya pendidikan inklusif tidaklah hanya sebatas untuk memberi kesempatan
kepada anak-anak berkebutuhan khusus, untuk menikmati pendidikan yang sama, namun
hak berpendidikan juga untuk anak-anak lain yang kurang beruntung, misalnya anak dengan
HIV/AIDS, anak-anak jalananan, anak yang tidak mampu (fakir-miskin), anak-anak korban
perkosaan, korban perang dan lainnya, tanpa melihat agama, ras dan bahasanya. Konsep
pendidikan inklusif memiliki lebih banyak kesamaan dengan konsep yang melandasi gerakan
‘Pendidikan untuk Semua’ dan ‘Peningkatan mutu sekolah’. Namun kebijakan dan praktek
inklusi anak berkebutuhan khusus (penyandang cacat) telah menjadi katalisator utama
untuk mengembangkan pendidikan inklusif yang efektif, yang fleksibel dan tangap terhadap
keanekaragaman gaya dan kecepatan belajar.
“Pendidikan inklusif merupakan perkembangan pelayanan pendidikan terkini dari model
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, dimana prinsip mendasar dari pendidikan
inklusif, selama memungkinkan, semua anak atau peserta didik seyogyanya belajar
bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada
mereka.” (pernyataan Salamanca,1994)
“Inklusi itu masa depan, milik ras manusia, hak asasi manusia, pengupayaan agar bisa hidup
berdampingan satu sama lain, bukanlah sesuatu hal yang harus dilakukan kepada seseorang
atau untuk seseorang, dilakukan bersama bagi satu sama lain, bukanlah sesuatu yang kita
lakukan sedikit saja”. (Marsha Forest, 2005: 19).
Adapun pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback
(1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua
siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak,
menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun
bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih
dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian
dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun
anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Menurut Heller, Holtzman & Messick (1982), mengatakan bahwa layanan ini
merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas
berdasarkan hasil identifikasi yang tepat. Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa
sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat,
karena karakteristik mereka yang sangat heterogen.
Dan pernyatan-pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa sekolah reguler yang berorientasi
inklusi merupakan alat untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang
ramah, mencapai pendidikan bagi semua, sehingga akan memberikan pendidikan yang
efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi karena akan menurunkan biaya
bagi seluruh sistem pendidikan.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENDIDIKAN INKLUSIF
Tujuan Pendidikan Inklusif

 Pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikut-


sertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di
sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya.
 Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan
penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun
sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik.
Manfaat pendidikan inklusif adalah :

 Membangun kesadaran dan konsensus pentingnya pendidikan inklusif sekaligus


menghilangkan sikap dan nilai yang diskriminatif.
 Melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi
pendidikan lokal, mengumpulkan informasi semua anak pada setiap distrik dan
mengidentifikasi alasan mengapa mereka tidak sekolah.
 Mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan masalah
lainnya terhadap akses dan pembelajaran.
 Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu
pendidikan bagi semua anak.

Hal-hal yang harus diperhatikan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif :

 Sekolah harus menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keaneka-
ragaman dan menghargai perbedaan.
 Sekolah harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum
dan pembelajaran yang bersifat individual
 Guru harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.
 Guru dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
 Guru dituntut melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses pendidikan.

D. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ABK DI INDONESIA


Konsep Dasar Anak Berkebutuhan Khusus Secara historis, istilah yang digunakan untuk
menyebut anak berkebutuhan khusus (ABK) mengalami perubahan beberapa kali sesuai
dengan paradigma yang diyakini pada saat itu. Perubahan istilah yang dimaksud mulai dari
anak cacat, anak tuna, anak berkekurangan , anak luar biasa, atau anak berkelainan sampai
menjadi istilah anak berkebutuhan khusus. Di Indonesia, penggunaan istilah-istilah tersebut
baru diundangkan secara khusus pada tahun 1950 melalui Undang-undang Nomor 4 ,
kemudian disusul dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 1954 dengan istilah anak cacat
atau anak tuna, atau anak berkekurangan.
Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus
2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan
pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat
berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan
(Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh
kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat
anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997
tentang penyandang cacat).
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badan-badan swasta
menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa disebut Sekolah Luar Biasa
(SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan. Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar
luas baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar
berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang
cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya
cukup tinggi yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah
yang dapat diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan
masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari
sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.
Akhir abad ke 20 muncul gerakan “Normalisasi ” bukan berarti membuat anak luar biasa
menjadi normal, tetapi penyediaan pola dan kondisi kehidupan sehari-hari bagi anak luar
biasa sedekat mungkin dengan pola dan kondisi kehidupan masyarakat pada umumnya
Perhatian dari pemerintah pun tampak dari layanan pendidikan khusus yang disediakan bagi
mereka, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Dirjen Manajemen Dikdasmen, 2006). Adapun istilah yang digunakan
di Indonesia adalah anak berkebutuhan khusus sebagai terjemahan dari istilah “Children
with Special needs “. Istilah ini muncul sebagai akibat adanya perubahan cara pandang
masyarakat terhadap anak luar biasa (Exceptional Children). Pandangan baru ini meyakini
bahwa semua anak luar biasa mempunyai hak yang sama dengan manusia pada umumnya.
Oleh karena itu semua anak luar biasa baik yang berat maupun yang ringan (tanpa kecuali)
harus dididik bersama-sama dengan anak-anak pada umumnya di tempat yang sama.
Dengan perkataan lain anak-anak luar biasa tidak boleh ditolak untuk belajar di sekolah
umum yang mereka inginkan. Sistem pendidikan seperti inilah yang disebut dengan
pendidikan inklusif.

E. IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INLUSIF DI INDONESIA


Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus
2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan
pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat
berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan
(Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh
kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat
anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997
tentang penyandang cacat).
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badan-badan swasta
menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa disebut Sekolah Luar Biasa
(SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan. Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar
luas baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar
berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang
cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya
cukup tinggi yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah
yang dapat diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan
masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari
sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.
Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah inklusi seperti di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi
daerah Khusus Ibukota Jogyakarta dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang
dijadikan perintis itu memang diuntukkan anak-anak lambat belajar dan anak-anak sulit
belajar sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rintisan
sampai sekarang belum ada informasi yang berarti dari sekolah-sekolah tersebut.
Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta) mengisahkan sekolah
Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah ini punya murid 120 anak, 2 anak laki-
laki diantaranya adalah Tuna Grahita, dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I
karena mau masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan.
Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke
SD. Muhamadiyah. Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak
mereka diterima sekolah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak
ceria dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain
dengan teman sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan
mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum untuk matematika dan mata
pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan kemampuan mereka. Hal yang sangat
penting disini yang berkaitan dengan guru adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan
diri dengan baik, bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di
tengah-tengah teman sekelas yang sedang belajar.
Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah sejak tahun 2001, secara formal
pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung tahun 2004 dengan beberapa sekolah reguler
yang mempersiapkan diri untuk implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak
ada tanda-tanda untuk itu, informasi tentang pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik,
isu ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah, sistem SKS
SMA dan lain-lain.

Lingkup Pengembangan Kurikulum


Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional)
yang dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan
khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya.

Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap:

 Alokasi waktu,
 Isi/materi kurikulum,
 Proses belajar-mengajar,
 Sarana prasarana,
 Lingkungan belajar, dan
 Pengelolaan kelas.

Pengembang Kurikulum
Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan inklusi dapat dilakukan oleh Tim
Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang mengajar di kelas inklusi bekerja
sama dengan berbagai pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru
Pendidikan Luar Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli
Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi
(Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan.

Pelaksanaan Pengembangan Kurikulum


Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:

 Modifikasi alokasi waktu


 Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa.
Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler
(Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam.
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal (anak
berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal dapat
dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam;
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak
lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk anak
tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.

 Modifikasi isi/materi
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi
dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam)
dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler,
tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi
dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat
kesulitannya diturunkan sedikit.
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak
lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi
atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian
tertentu.
 Modifikasi proses belajar-mengajar
 Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis,
evaluasi, dan problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki
inteligensi di atas normal;
 Menggunakan pendekatan student centerred, yang menenkankan perbedaan
individual setiap anak;
 Lebih terbuka (divergent);
 Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas
heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari
satu kelompok ke kelompok lain.
 Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan
pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak
dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara fair.
Melalui kompetisi, anak akan berusaha seoptimal mungkin untuk berprestasi yang
terbaik, “aku-lah sang juara”.
Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni
mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi egois.Untuk
menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu diimbangi dengan
pendekatan pembelajaran kooperatif.
Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama
dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan
tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok, dan
kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa
kerjasama serta saling tolong menolong akan berkembang dengan baik.
Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada yang bertipe
auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis).
Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera penglihatan.Tipe
auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera pendengaran.Tipe
kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera perabaan/gerakan.Guru
hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan anak yang
memiliki tipe belajar tertentu saja.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami gangguan yang signifikan baik
aspek psikis, sosial, emosional, dan indrawi yang menghambat proses pertumbuhan dan
perkembangan anak tersebut, sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk
mengembangkan potensi kemanusiaaan mereka. Pendidikan Inklusif muncul sebagai suatu
layanan pendidika program pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan
dimana penyelenggaraannya dengan cara memadukan anak-anak yang berkelainan atau
berkebutuhan khusus bersama anak normal lainnya, menggunakan kurikulum yang berlaku
di lembaga yang bersangkutan.

Tujuan pendidikan inklusif yaitu agar semua anak mendapatkan hak pendidikan dan
kedudukan yang sama tak terkecuali bagi mereka yang berkebutuhan khusus. Sekolah
reguler yang berorientasi inklusi ini merupakan alat untuk memerangi sikap diskriminasi,
menciptakan masyarakat yang ramah, mencapai pendidikan bagi semua, sehingga akan
memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi
karena akan menurunkan biaya bagi seluruh sistem pendidikan.

B. SARAN
Penyelenggaraan sekolah inklusif harus terus dikembangkan demi memberikan ruang gerak,
ruang belajar tertutama bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus agar mereka tidak
dipandang sebelah mata lagi. Untuk itu pemerintah harus memperhatikan betul, apa saja
kebutuhan mereka, baik dari sarana dan prasana maupun guru pembimbing untuk mereka.
Saya berharap sekali pemerintah beserta para kaum pemerhati pendidikan untuk terus
memberikan yang terbaik bagi dunia pendidikan tanpa membedakan siswa yang normal
maupun siswa berkebutuhan khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman. Anak “Berkebutuhan Khusus” (14 Pebruari 2016)
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Anak_berkebutuhan_khusus.html.
Dewi, setiani. “ Layanan Bimbingan bagi Anak Bekebutuhan Khusus” (14
Pebruari 2016) http://google.com/index.pdf?tittel=Layanan Bimbingan bagi Anak
Berkebutuhan
Hadis Abdul.2006.Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik.Bandung; Alfabeta.
Khusus di Sekolah Dasar Wilayah Kota Bandung Tesis Program BP-BAK PPs UPI Tahun
2003.html.
Mulyadi, Kiki. “Penerapan Pendidikan Inkulsi Di Indonesia” (14 pebruari 2016)
http://google.com/inclusive-education-where-there-are-few-resources-the-atlas-
alliance-gobal-support-to-disabled-people/2002.html.
Setiawan, Atang dkk.2006.Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: Tim UPI Press
Sugianto, Suparman. “Pendidikan Inklusi terhadap Anak” (14 pebruari 2016)
http://smanj.sch.id/115-pendidikan-inklusi-pendidikan-terhadap-anak berkebutuhan-
khusus.html..
Takdir, Ilahi Mohammad. 2013. Pendidikan Inklusif. Yogyakarta: Ar-Ruzzmedia

Anda mungkin juga menyukai