Anda di halaman 1dari 29

Konsep Dasar Anak Berkebutuhan Khusus Dan Pembelajaran Adaptif

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan


Khusus (ABK)
Yang Diampu Oleh Tety Nur Cholifah, M. Pd

Disusun Oleh:
Ahmad Zuhed Islami 17862060
Cholilatul Ummah 17862060
Maylin Putri Anifia 1786206063

i
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM RADEN RAHMAT MALANG
2019

KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirobbil ’alamiin, puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan
kesempatan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas penyusunan
makalah secara terstruktur dengan judul Konsep Dasar Anak Berkebutuhan
Khusus Dan Pembelajaran Adaptif Penulisan makalah ini berisi tentang media
pembelajaran yang dapat diterapkan pada pembelajaran Bahasa Indonesia di
sekolah khususnya tingkat Sekolah Dasar.

Pada kesempatan ini dengan kerendahan hati kami mengucapkan terima


kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Pendidikan Universitas Raden Rahmat
Malang yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk mengikuti
kegiatan perkuliahan.
2. Dosen Pengampu yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan yang
sangat bermanfaat bagi kami dalam menyusun tugas terstruktur ini.
3. Semua pihak yang sudah membantu dan memberikan sarkuan serta nasehat
pada kami untuk menyelesaikan tugas terstruktur ini.
Makalah ini memberikan sedikit gambaran tentang Konsep Dasar Anak
Berkebutuhan Khusus Dan Pembelajaran Adaptif. Akhir kata kami berharap akan
saran dan pendapat dari para pembaca terhadap makalah ini agar menjadi lebih
baik lagi. Semoga makalah ini bisa bermanfaat, aamiin.

Malang, 26 Maret 2019

ii
Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 1
1.3 Tujuan .............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
1.1 Media Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD …............................. 3
1.2 Penerapan Media Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD ............... 9

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


3.1 Kesimpulan .................................................................................... 16
3.2 Saran .............................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang berada di Indonesia ini belum mendapatkan
pendidikan, maka dilakukan suatu solusi kepada anak-anak berkelainan untuk memperoleh
pendidikan di sekolah umum di sekolah dasar terdekat. Pola pendidikan seperti ini disebut
pendidikan inklusif. pada dasarnya proses pembelajaran inklusif juga sama dengan
pembelajaran yang terjadi seperti di sekolah regular pada umumnya. Proses pembelajaran
inklusif bagi anak berkebutuhan khusus tersebut terdiri atas proses yang dimulai dari
perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian untuk mencapai tujuan pendidikan yang efektif dan
efisien.
Masalah utama dalam pembelajaran bagi anak dengan kebutuhan pendidikan khusus adalah
penggunaan metode atau model pembelajaran dalam menyampaikan materi pelajaran secara tepat,
yang memenuhi kebutuhan siswa, sehinga potensi yang dimiliki siswa dapat berkembang seoptimal
mungkin.

Metode pembelajaran dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) yang terkesan kaku, kurang fleksibel,
kurang demokratis, dan guru cenderung lebih dominan one way method dimana aktivitas guru lebih
dominan daripada siswa. Hal tersebut sangat merugikan siswa karena yang belajar adalah siswa
bukan guru, kondisi seperti ini disebabkan guru mengajar lebih banyak mengejar target yang
berorientasi pada nilai ujian akhir.

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan penanganan khusus karena adanya
gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami anak. Berkaitan dengan istilah disability,
maka anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki keterbatasan di salah satu atau
beberapa kemampuan baik itu bersifat fisik seperti tunanetra dan tunarungu, maupun bersifat
psikologis seperti autism dan ADHD.

Berbicara tentang anak dengan kebutuhan pendidikan khusus, maka dalam proses
pembelajarannyapun harus disesuaikan dengan kondisi siswa tersebut, oleh karena itu lahirlah
istilah pembelajaran adaptif. Bila kita merujuk pada kata adaptif yang merupakan kata dari bahasa
Inggris ”adapt” yang mempunyai arti ”menyesuaikan dengan”, maka pembelajaran adaptif bagi anak
berkebutuhan pendidikan khusus merupakan pembelajaran yang menyesuaikan dengan kondisi
siswa. Artinya yang menyesuaikan adalah pembelajaran itu sendiri, baik metode, alat/media
pembelajaran, dan lingkungan belajar, bukan siswanya.

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi dari anak berkebutuhan khusus?
2. Bagaimana hakikat anak berkebutuhan khusus?
3. Bagaimana macam-macam anak yang berkebutuhan khusus?
4. Bagaimana penyebab dan dampak kelainan anak berkebutuhan khusus?
5. Bagaimana konsep anak berkebutuhan khusus disekolah inklusif?
6. Bagaimana hakikat dari oembelajaran adaptif bagi anak berkebutuhan
khusus?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui definisi dari anak berkebutuhan khusus
2. Untuk mengetahui hakikat anak berkebutuhan khusus
3. Untuk menegetahui macam.macam anak berkebutuhan khusus
4. Untuk mengetahui penyebab dan dampak kelainan anak berkebutuhan
khusus
5. Untuk mengetahui konsep anak berkebutuhan khusus disekolah inklusi
6. Untuk mengetahui hakikat pembelajaran adaptif bagi anak
berkebutuhan khusus

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)


Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan penanganan khusus
karena adanya gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami anak. Berkaitan
dengan istilah disability, maka anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki
keterbatasan di salah satu atau beberapa kemampuan baik itu bersifat fisik seperti
tunanetra dan tunarungu, maupun bersifat psikologis seperti autism dan ADHD.
Pengertian lainnya bersinggungan dengan istilah tumbuh-kembang normal dan
abnormal, pada anak berkebutuhan khusus bersifat abnormal, yaitu terdapat
penundaan tumbuh kembang yang biasanya tampak di usia balita seperti baru bisa
berjalan di usia 3 tahun. Hal lain yang menjadi dasar anak tergolong berkebutuhan
khusus yaitu ciri-ciri tumbuh-kembang anak yang tidak muncul (absent) sesuai usia
perkembangannya seperti belum mampu mengucapkan satu katapun di usia 3 tahun,
atau terdapat penyimpangan tumbuh-kembang seperti perilaku echolalia atau membeo
pada anak autis.
Pemahaman anak berkebutuhan khusus terhadap konteks, ada yang bersifat
biologis, psikologis, sosio-kultural. Dasar biologis anak berkebutuhan khusus bisa
dikaitkan dengan kelainan genetik dan menjelaskan secara biologis penggolongan
anak berkebutuhan khusus, seperti brain injury yang bisa mengakibatkan kecacatan
tunaganda. Dalam konteks psikologis, anak berkebutuhan khusus lebih mudah
dikenali dari sikap dan perilaku, seperti gangguan pada kemampuan belajar pada anak
slow learner, gangguan kemampuan emosional dan berinteraksi pada anak autis,
gangguan kemampuan berbicara pada anak autis dan ADHD. Konsep sosio-kultural

6
mengenal anak berkebutuhan khusus sebagai anak dengan kemampuan dan perilaku
yang tidak pada umumnya, sehingga memerlukan penanganan khusus.
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia 2013, menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah: “Anak yang
mengalami keterbatasan atau keluarbiasaan,baik fisik, mental-intelektual, sosial,
maupun emosional, yang berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan
atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia dengannya”.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah
anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa
selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Istilah lain bagi
anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Anak dengan
kebutuhan khusus (special needs children) dapat diartikan secara simpel sebagai anak
yang lambat (slow) atau mangalami gangguan (retarded) yang sangat sukar untuk
berhasil di sekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan
khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan layanan yang spesifik yang
berbeda dengan anak-anak pada umumnya. (Heward, 2002).
Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus,
seperti disability, impairment, dan handicap. Menurut World Health Organization
(WHO), definisi masing-masing istilah adalah sebagai berikut: Disability yaitu
keterbatasan atau kurangnya kemampuan (yang dihasilkan dari impairment) untuk
menampilkan aktivitas sesuai dengan aturannya atau masih dalam batas normal,
biasanya digunakan dalam level individu. Impairment yaitu kehilangan atau
ketidaknormalan dalam hal psikologis, atau struktur anatomi atau fungsinya, biasanya
digunakan pada level organ. Handicap yaitu ketidakberuntungan individu yang
dihasilkan dari impairment atau disability yang membatasi atau menghambat
pemenuhan peran yang normal pada individu.
Dari beberapa pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami kelainan dengan karakteristik
khusus yang membedakannya dengan anak normal pada umumnya serta memerlukan
pendidikan khusus sesuai dengan jenis kelainannya.
2.2 Hakikat Anak Berkebutuhan Khusus

Memahami anak berkebutuhan khusus tidak dapat dilepaskan dari adanya


perbedaan, penggunaan pendekatan perkembangan untuk melihat perbedaan pada

7
anak usia dini sangatlah tepat. Perkembangan anak-anak pada umumnya sering kita
kenal dengan perkembangan normatif artinya perkembangan yang sesuai dengan
tahap dan tugas perkembangan sesuai dengan usia anak. Perkembangan yang tidak
sesuai dengan perkembangan normatif dikenal dengan perkembangan nonnormatif
yang mana menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan pada berbagai demensi
perkembangan normatif. Perbedaan perkembangan inilah yang dikenal dengan anak
berkebutuhan khusus. Pada prinsipnya ada 2 perbedaan yang dapat digunakan untuk
menjelaskan keadaan anak berkebutuhan khusus perbedaan tersebut adalah:

1. Perbedaan interindividual
Berarti membandingkan keadaan individu dengan orang lain atau
dengan standar tumbuh kembang normatif dalam berbagai demensi
diantaranya perbedaan keadaan mental (kapasitas kemampuan intelektual),
kemampuan panca indera (sensory), kemampuan gerak motorik, kemampuan
komunikasi, perilaku sosial, dan keadaan fisik. Pada anak usia sekolah dapat
digunakan perbedaan pencapaian prestasi belajar siswa dalam berbagai mata
pelajaran. Hal ini dimungkinkan dengan adanya standar kompetensi yang
harus dimiliki siswa untuk setiap tingkat atau level kelas yang telah
dirumuskan secara nasional. Standardisasi alat ukur untuk setiap mata
pelajaran pada setiap tingkat kelas memang harus segera diadakan sesuai
dengan kurikulum yang telah disusun (curiculum based assesment). Jika
memang prestasi anak berada jauh di bawah standar kelulusan, maka
dimungkinkan anak ini masuk kelompok anak berkebutuhan khusus. Selain
perbedaan dalam prestasi akademik juga perbedaan kemampuan akademik.
Untuk mengetahui kemampuan akademik ini biasanya digunakan tes
kecerdasan yang dapat mengukur potensi kemampuan intelektual yang
dinyatakan dengan satuan IQ. Secara teoretis keadaan populasi IQ anak akan
mengikuti kurve normal (Gb. 1), dimana anak yang memiliki IQ pada posisi
ekstrim -2 dan +2 standar deviasi kurve normal, maka perlu diperhatikan
sebagai anak berkebutuhan khusus. Perbedaan ini tidak sekedar berbeda
dengan rerata normal, tetapi perbedaan yang signifikan, sehingga anak
tersebut memang memerlukan praktek pendidikan dan pengajaran khusus
untuk mengembangkan potensinya secara optimal.
2. Perbedaan intraindividual

8
Adalah suatu perbandingan antar potensi yang ada dalam diri individu
itu sendiri, perbedaan ini dapat muncul dari berbagai aspek meliputi
intelektual, fisik, psikologis, dan sosial. Sebagai ilustrasi ada seorang siswa
yang memiliki prestasi belajar sangat cemerlang tetapi dia sangat tidak
disenangi oleh teman-temanya karena dia besifat tertutup dan individual, serta
sulit diajak kerja sama. Dari gambaran tersebut maka dapat dibandingkan
antara kemampuan intelektual dan kemampuan sosial siswa tersebut cukup
signifikan, sehingga siswa tersebut memerlukan treatmen atau perlakuan
khusus agar potensinya dapat berkembang optimal. Untuk lebih dapat
memahami perbedaan ini dapat digunakan pendekatan multiple intelgen yang
dikemukakan oleh Gardner, dapat juga dilihat dari berbagai aspek inteligensi
dari wechsler maupun Binet.
Selain masalah perbedaan, ada beberapa terminologi yang dapat
digunakan untuk memahami anak berkebutuhan khusus. Istilah tersebut yaitu:
1) Impairment
Merupakan suatu keadaan atau kondisi dimana individu mengalami
kehilangan atau abnormalitas psikologis, fisiologis atau fungsi struktur
anatomis secara umum pada tingkat organ tubuh. Contoh seseorang yang
mengalami amputasi satu kakinya, maka dia mengalami kecacatan kaki.
2) Disability
Suatu keadaan dimana individu mengalami kekurang mampuan yang
dimungkinkan karena adanya keadaan impairment seperti kecacatan
pada organ tubuh. Contoh pada orang yang cacat kakinya, maka dia akan
merasakan berkurangnya fungsi kaki untuk melakukan mobilitas.
3) Handicaped.
Keadaan dimana individu mengalami ketidakmampuan dalam
bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Hal ini
dimungkinkan karena adanya kelainan dan berkurangnya fungsi organ
individu. Contoh, orang yang mengalami amputasi kaki sehingga untuk
aktivitas mobilitas berinteraksi dengan lingkungannya dia memerlukan
kursi roda.
Dari berbagai pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan-perbedaan baik
perbedaan interindividual maupun intraindividual yang signifikan, dan

9
mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan lingkungan sehingga untuk
mengembangkan potensinya dibutuhkan pendidikan dan pengajaran khusus.
Sebagai catatan bahwa anak berkebutuhan khusus bukanlah anak sakit, tetapi
anak sehat memiliki kondisi sedemikan rupa, sehingga untuk mengembangkan
potensinya memerlukan pemenuhan kebutuhan khusus.
2.3 Jenis-jenis Anak Berkebutuhan Khusus

1. Kelainan Mental terdiri dari:


a. Mental Tinggi
Sering dikenal dengan anak berbakat intelektual, dimana selain memiliki kemampuan
intelektual di atas rerata normal yang signifikan juga memiliki kreativitas dan tanggung
jawab terhadap tugas.

b. Mental rendah
Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual (IQ) di bawah rerata dapat dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learners) yaitu anak yang memiliki
IQ antara 70 – 90. Sedangkan anak yang memiliki IQ di bawah 70 dikenal dengan anak
berkebutuhan khusus.

c. Berkesulitan Belajar Spesifik


Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar (achivement) yang diperoleh siswa.
Anak berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang memiliki kapasitas intelektual
normal ke atas tetapi memiliki prestasi belajar rendah pada bidang akademik tertentu.

2. Kelainan Fisik meliputi:


a. Kelainan Tubuh (Tunadaksa)
Adanya kondisi tubuh yang menghambat proses interaksi dan sosialisasi individu meliputi
kelumpuhan yang dikarenakan polio, dan gangguan pada fungsi syaraf otot yang
disebabkan kelayuhan otak (cerebral palsy), serta adanya kehilangan organ tubuh
(amputasi).

b. Kelainan indera Penglihatan (Tunanetra)


Seseorang yang sudah tidak mampu menfungsikan indera penglihatannya untuk
keperluan pendidikan dan pengajaran walaupun telah dikoreksi dengan lensa. Kelainan
penglihatan dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu buta dan low vision.

c. Kelaianan Indera Pendengaran (Tunarungu)


Kelainan pendengaran adalah seseorang yang telah mengalami kesulitan untuk
menfungsikan pendengaranya untuk interaksi dan sosialisasi dengan lingkungan termasuk

10
pendidikan dan pengajaran. Kelainan pendengaran dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu
tuli (the deaf) dan kurang dengar (hard of hearing).

d. Kelainan Wicara
Seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa
verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti orang lain. Kelainan wicara ini dapat
bersifat fungsional dimana mungkin disebabkan karena ketunaruguan, dan organik yang
memang disebabkan adanya ketidak sempurnaan organ wicara maupun adanya gangguan
pada organ motoris yang berkaitan dengan wicara.

3. Kelainan Emosi
Gangguan emosi merupakan masalah psikologis, dan hanya dapat dilihat dari indikasi
perilaku yang tampak pada individu (akan dibahas lebih dalam pada bab IV) adapun
klasifikasi gangguan emosi meliputi:

a. Gangguan Perilaku
mengganggu di kelas, tidak sabaran, terlalu cepat bereaksi, tidak menghargai, menentang,
menyalahkan orang lain, kecemasan terhadap prestasi di sekolah, dependen pada orang
lain, pemahaman yang lemah, reaksi yang tidak sesuai, melamun, tidak ada perhatian,
menarik diri.

b. Gangguan Konsentrasi (ADD/Atention Deficit Disorder)


Enam atau lebih gejala inattention, berlangsung paling sedikit 6 bulan, ketidakmampuan
untuk beradaptasi, dan tingkat perkembangannya tidak konsisten. Gejala-gejala
inattention tersebut ialah: Sering gagal untuk memperhatikan secara detail, atau sering
membuat kesalahan dalam pekerjaan sekolah atau aktivitas yang lain, sering kesulitan
untuk memperhatikan tuga-tugas atau aktivitas permainan, sering tidak mendengarkan
ketika orang lain bicara, sering tidak mengikuti instruksi untuk menyelesaikan pekerjaan
sekolah, kesulitan untuk mengorganisir tugas-tugas dan aktivitas-aktivitas, tidak
menyukai pekerjaan rumah dan pekerjaan sekolah, sering tidak membawa peralatan
sekolah seperrti pensil buku dan sebagainya, sering mudah beralih pada stimulus luar,
mudah melupakan terhadap aktivitas sehari-hari.

c. Anak Hiperaktive (ADHD/Atention Deficit with Hiperactivity Disorder)


Perlaku tidak bisa diam, ketidak mampuan untuk memberi perhatian yang cukup lama,
hiperaktivitas, aktivitas motorik yang tinggi, mudah buyarnya perhatian, canggung,
infleksibilitas, toleransi yang rendah terhadap frustrasi, berbuat tanpa dipikir akibatnya

2.4 penyebab dan dampak Timbulnya anak Kebutuhan Khusus

11
Terdapat tiga faktor yang dapat diidentifikasi tentang sebab musabab timbulnya kebutuhan
khusus pada seorang anak yaitu: 1) Faktor internal pada diri anak, 2) Faktor ekternal dari
lingkungan dan, 3) Kombinasi dari factor internal dan eksternal.

1. Faktor Internal

Faktor internal adalah kondisi yang dimiliki oleh anak yang bersangkutan. Sebagai contoh
seorang anak memiliki kebutuhan khusus dalam belajar karena ia tidak bisa melihat, tidak
bisa mendengar, atau tidak mengalami kesulitan untuk begerak. Keadaan seperti itu berada
pada diri anak yang bersangkutan secara internal. Dengan kata lain hambatan yang dialami
berada di dalam diri anak yang bersangkutan.

2. Faktor Ekternal

Faktor eksternal adalah Sesuatu yang berada di luar diri anak mengakibatkan anak menjadi
memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar, sehingga mereka memiliki
kebutuhan layanan khusus dalam pendidikan. Sebagai contoh seorang anak yang mengalami
kekerasan di rumah tangga dalam jangka panjang mengakibatkan anak teresbut kehilangan
konsentrasi, menarik diri dan ketakutan. Akibantnya anak tidak tidak dapat belajar.

Contoh lain, anak yang mengalai trauma berat karena bencana alam atau konflik
sosial/perang. Anak ini menjadi sangat ketakutan kalau bertemu dengan orang yang belum
dikenal, ketakutan jika mendengar gemuruh air yang diasosiasikan dengan banjir besar yang
pernah dialaminya. Keadaan seperti ini menyebabkan anak tersebut mengalami hambatan
dalam belajar, dan memerlukan layanan khusus dalam pendidikan.

3. Kombinasi Faktor Eksternal dan Internal

Kombinasi antara factor eksternal dan factor internal dapat menyebabkan terjadinya
kebutuhan khusus pada sorang anak. Kebutuhan khusus yang disebabkan oleh factor ekternal
dan internal sekaligus diperkirakan akan anak akan memiliki kebutuhan khusus yang lebih
kompleks. Sebagai contoh seorang anak yang mengalami gangguan pemusatan perhataian

dengan hiperaktivitas dan dimiliki secara internal berada pada lingkungan keluarga yang

12
kedua orang tuanya tidak memerima kehadiran anak, tercermin dari perlakuan yang diberikan
kepada anak yang bersangkutan. Anak seperti ini memiliki kebutuhan khusus akibat dari
kondisi dirinya dan akibat perlakuan orang tua yang tidak tepat.

Dampak-dampak anak berkebutuhan husus

Dampak Fisiologis

Dampak fisiologis, terutama pada anak-anak yang mengalami kelainan yang berkaitan
dengan fisik termasuk sensori-motor terlihat pada keadaan fisik penyandang berkebutuhan
khusus kurang mampu mengkoordinasi geraknya, bahkan pada berkebutuhan khusus taraf
berat dan sangat berat baru mampu berjalan di usia lima tahun atau ada yang tidak mampu
berjalan sama sekali. Tanda keadaan fisik penyandang berkebutuhan khusus yang kurang
mampu mengkoordinasi gerak antara lain: kurang mampu koordinasi sensori motor,
melakukan gerak yang tepat dan terarah, serta menjaga kesehatan.

Dampak Psikologis

Dampak psikologis timbul berkaitan dengan kemampuan jiwa lainnya, karena keadaan
mental yang labil akan menghambat proses kejiwaan dalam tanggapannya terhadap tuntutan
lingkungan. Kekurangan kemampuan dalam penyesuaian diri yang diakibatkan adanya
ketidaksempurnaan individu, akibat dari rendahnya ”self esteem” dan dimungkinkan adanya
kesalahan dalam pengarahan diri (self direction).

Dampak Sosiologis

Dampak sosiologis timbul karena hubungannya dengan kelompok atau individu di sekitarnya,
terutama keluarga dan saudara-saudaranya. Kehadiran anak berkebutuhan khusus di keluarga
menyebabkan berbagai perubahan dalam keluarga. Keluarga sebagai suatu unit sosial di
masyarakat dengan kehadiran anak berkebutuhan khusus merupakan musibah, kesedihan, dan
beban yang berat. Kondisi itu termanifestasi dengan reaksi yang bermacam-macam, seperti :
kecewa, shock, marah, depresi, rasa bersalah dan bingung. Reaksi yang beraneka ini dapat
mempengaruhi hubungan antara anggota keluarga yang selamanya tidak akan kembali seperti
semula.

13
Pada umumnya, ibu yang mengalami trauma paling berat dan mendapatkan peran yang
terkekang dengan kehadiran anak berkebutuhan khusus. Peran harus memelihara anak
berkebutuhan khusus dibutuhkan banyak waktu, sehingga banyak tugas lain semakin
berkurang. Dengan tumbuhnya anak berkebutuhan khusus yang semakin besar, muncullah
dilemma pada ibu yang fungsinya sebagai penjaga atau pemelihara dan tugasnya untuk
menumbuhkan kemandirian anak. Semua masalah di keluarga tersebut merupakan dampak
sosiologis yang harus ditanggung oleh keluarga.

Anak berkebutuhan khusus yang kurang mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan
lingkungan sosialnya, dapat menimbulkan respon yang negatif dari lingkungan sosial anak
berkebutuhan khusus. Hal ini berdampak anak dijauhi atau ditolak oleh lingkungan sosial,
dan dalam berkomunikasi akan terjadi jurang pemisah (communication gap) antara anak
berkebutuhan khusus dengan orang-orang di lingkungannya. Jurang pemisah dalam hal
berkomunikasi dapat terjadi karena orang di lingkungannya menyampaikan pesan verbal
yang tidak sesuai dengan kemampuan atau daya tangkap anak berkebutuhan khusus.
”Communication gap” ini merupakan dampak yang menimbulkan salah suai pada anak
berkebutuhan khusus.

Masalah-Masalah Yang Dihadapi Anak Berkebutuhan Khusus

Dampak keberkebutuhan khusus dari tiga dimensi tersebut menyebabkan pengaruh yang
cukup berarti dalam kehidupan mereka. Keterbatasan dan daya kemampuan yang mereka
miliki menimbulkan munculnya berbagai masalah. Masalah yang mereka hadapi relatif
berbeda-beda, walaupun ada kesamaan yang dirasakan oleh mereka ini sebagai dampak
keberkebutuhan kekhususan, dan yang ada kesamaan dirasakan mereka (Amin, 1995: 41-51)
meliputi:

Masalah kesulitan dalam kehidupan sehari-hari

14
Masalah ini berkaitan dengan kesehatan dan pemeliharaan diri sendiri. Kondisi keterbatasan
mereka banyak yang mengalami kesulitan dalam kehidupan sehari-hari terutama pada
berkebutuhan khusus kategori berat dan sangat berat. Keadaan itu diharapkan dalam program
penanganan memprioritaskan bimbingan dan latihan keterampilan aktifitas kehidupan sehari-
hari terutama memelihara diri sendiri, seperti: cara makan, menggosok gigi, memakai baju,
memasang sepatu, serta pekerjaan rumah tangga yang sangat sederhana.

Masalah penyesuaian diri

Kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan dipengaruhi beberapa faktor salah satunya
kecerdasan. Kecerdasan yang rendah berakibat hambatan penyesuaian diri, dan pada anak
berkebutuhan khusus. Kondisi itu menimbulkan kecenderungan diisolir oleh keluarga
maupun masyarakat. Kecenderungan terisolasi pada mereka mengakibatkan pembentukan
pribadinya tidak layak, untuk itu dalam program penanganan pada mereka perlu
menyarankan kepada keluarga supaya tidak mengisolir.

2.5 Konsep Pembelajaran ABK di Sekolah Inklusif

a. Proses Pembelajaran di Sekolah Inklusif

Pembelajaran adalah kegiatan terencana yang dilakukan untuk mengkondisikan atau


merangsang seseorang agar dapat belajar dan mencapai tujuan dari pembelajaran tersebut.
Kegiatan pelaksanaan pembelajaran merupakan inti dari pelaksanaan kurikulum, tak
terkecuali pembelajaran di sekolah inklusif. Pelaksanaan pembelajaran merupakan bagian
dari proses pembelajaran. Oleh karena itu pelaksanaan kegiatan pembelajaran harus
dirancang dengan baik, disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing anak.
Garnida (2015:84) menyatakan pendapatnya mengenai proses pembelajaran di sekolah
inklusif sebagai berikut.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya proses pembelajaran
inklusif juga sama dengan pembelajaran yang terjadi seperti di sekolah regular pada
umumnya. Proses pembelajaran inklusif bagi anak berkebutuhan khusus tersebut terdiri atas
proses yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian untuk mencapai tujuan

15
pendidikan yang efektif dan efisien. Berikut adalah proses pelaksanaan pembelajaran di
sekolah inklusif:

a. Perencanaan Pembelajaran

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam perencanaan pembelajaran ABK di sekolah inklusif telah
dijelaskan oleh Direktorat PSLB dan disebutkan kembali oleh Garinda (2015:122-123)
sebagai berikut, “1) Merencanakan pengelolaan kelas; 2) Merencanakan pengorganisasian
bahan; 3) Merencanakan strategi pendekatan kegiatan belajar mengajar; 4) Merencanakan
prosedur kegiatan belajar mengajar; 5) Merencanakan penggunaan sumber dan media belajar;
6) Merencanakan penilaian”. Komponen yang terdapat pada perecanaan pembelajaran adalah
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Program Pembelajaran Individual. Berikut
8penjelasannya:

1) Rencana Pelakasanaan Pembelajaran Modifikasi. Wulan dalam Erhaerista (2014:18)


mengemukakan bahwa kurikulum reguler dengan modifikasi, merupakan yang
dimodifikasi oleh pendidik pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada
program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan siswa
berkebutuhan khusus. Di dalam model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus
yang memiliki PPI. Pada sekolah inklusif RPP yang
2) digunakan untuk ABK haruslah dimodifikasi disesuaiakan dengan tingkat
perkembangan belajar siswa. Komponen RPP (Amri dalam Tyas, 2015:19 50) yaitu:
(a) Identitas mata pelajaran; (b) Alokasi waktu; (c) Kompetensi Inti; (d) Kompetensi
dasar; (e) Indikator; (f) Tujuan pembelajaran; (g) Materi ajar; (h) Metode
pembelajaran; (i) Kegiatan pembelajaran yang meliputi kegiatan pendahuluan,
kegiatan inti dan kegiatan penutup; (j) Sumber belajar dan media pembelajaran; dan
(k) Penilaian hasil belajar.

2) Program Pembelajaran Individual (PPI)

Program Pembelajaran Individual (PPI) disusun oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses
pembelajaran. Pihak-pihak tersebut diantaranya yaitu kepala sekolah, guru kelas atau guru
mata pelajaran, guru pembimbing khusus, psikolog atau psikiatris,orang tua, dan pihak-pihak
lain yang menunjang program belajar mengajar. Garnida (2013:111) mengungkapkan bahwa
PPI di lakukan di awal semester dan dievaluasi pada saat program berakhir, waktu evaluasi
disesuaikan dengan kebutuhan siswa, sehingga dapat dilakukan setiap satu bulan sekali atau

16
tiga bulan sekali. PPI ini bersifat fleksibel dengan memperhatikan tingkat perkembangan dan
kebutuhan setiap siswa. Sehingga PPI ini akan berbeda setiap individunya. Berikut adalah
komponen utama yang ada pada PPI menurut Delphie (2007:6):

a) Tingkat kemampuan atau prestasi (performance level), yang diketahui setelah dilakukan
asesmen melalui pengamatan dan tes-tes tertentu. Melalui informasi berkaitan dengan tingkat
kemampuan atau prestasi, maka diharapkan para guru kelas dapat mengetahui secara pasti
kebutuhan pembelajaran yang sesuai untuk siswa yang bersangkutan.

b) Sasaran program tahunan (annual goals). Komponen ini merupakan kunci komponen
pembelajaran karena dapat memperkirakan program jangkapanjang selama kegiatan sekolah,
dan dapat dipecah-pecah menjadi beberapa sasaran antara (terminal goals) yang dituangkan
ke dalam program semester.

c) Sasaran jangka-pendek atau Short-Term Objective. Sasaran jangka-pendek ini bersifat


sasaran antara yang diterapkan setiap semester dalam tahun yang berjalan.

b. Pelaksanaan Pembelajaran Pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan


karakteristik belajar siswa. Pelaksanaan pembelajaran ini merupakan transfer ilmu yang
dilakukan guru dengan mengacu pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ataupun PPI
yang telah disusun sebelumnya. Kegiatan pembelajaran inklusif akan berbeda, baik dalam
kegiatan, media maupun metode. Pada kelas reguler bahan belajar untuk ABK dengan siswa
reguler tidak berbeda secara signifikan, namun lain halnya dengan pembelajaran di kelas
khusus (Garnida, 2015:122). Berikut ini pelaksanakan kegiatan pembelajaran:

1) Berkomunikasi dengan siswa

2) Mengimplementasikan metode, sumber belajar dan bahan latihan yang sesuai

dengan tujuan pembelajaran.

3) Mendorong siswa untuk terlibat secara aktif.

4) Mendemonstrasikan penguasaan materi dan relevansinya dalam kehidupan.

5) Mengelola waktu, ruang, bahan dan perlengkapan pengajaran.

6) Mengelola pembelajaran kelompok yang kooperatif.

7) Melakukan evaluasi

17
c. Penilaian

Penilaian dilakukan untuk memperoeh informasi atau data yang tepat mengenai kinerja atau
prestasi siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Hasil penilaian yang diperoleh
digunakan sebagai bahan evaluasi terhadap ketuntasan belajar siswa. Hasil penilaian juga
digunakan untuk mengetahui efektivitas proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru
sebagai umpan balik atas rencana pembelajaran yang telah disusun. (Kustawan, 2013:82)
Data yang diperoleh dari penilaian tersebut dapat digunakan guru dan sekolah untuk menilai
apakah siswa tersebut mampu naik kelas ataupun menentukan kelulusan siswa dari sekolah.
Dari data yang didapatkan tersebut guru mampu menganalisis apakah strategi yang
digunakan memberikan makna untuk siswa atau tidak. Jika dirasa kurang memberikan makna
maka sebaiknya guru berinovasi lebih untuk menciptakan pembelajaran yang sesuai.

Adapun teknik penilaian yang digunakan SD penyelenggara inklusif menurut Kustawan


(2013:86-88) adalah sebagai berikut:

1) Tes tertulis, teknik penilaian yang menuntut jawaban secara tertulis, baik berupa tes
objektif maupun uraian.

2) Observasi, teknik penilaian yang dilakukan dengan cara mencatat hasil pengamatan
terhadap objek tertentu.

3) Tes kinerja, teknik penilaian yang menuntut siswa mendemonstrasikan kemahirannya


dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

4) Penugasan, suatu teknik penilaian yang menuntut siswa menyelesaikan tugas di luar
kegiatan pembelajaran di kelas atau di laboratorium. Penugasan dapat diberikan dapat berupa
tgas rumah ataupun projek.

5) Tes lisan, dilaksanakan melalui komunikasi langsung tatap muka antara siswa dengan
seorang guru. 6) Penilaian portofolio, penilaian yang dilakukan dengan caara menilai hasil
karya siswa.

7) Jurnal, merupakan catatan pendidik selama proses pembelajaran yang berisi informasi
kekuatan dan kelemahan siswa yang terkait dengan aspek kognitif, afektif dan psikomotor
yang dipaparkan secaara deskriptif. 8) Inventori, skala psikologis yang dipakai untuk
mengungkapkan sikap, minat, emosi, motiivasi, hubungan antar pribadi dan persepsi siswa
terhadap suatu objek psikologis yang dapat dilakukan melalui wawancara dan pemberian

18
angket. 9) Penilaian diri, merupakan teknik penilaian dengan cara meminta siswa untuk
mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam berbagai hal.b 10) Penilaian antar
teman, merupakan teknik penilaian dengan cara meminta siswa untuk mengemukakan
kekurangan dan kelebihan temannya dalam hal tertentu.

19
2.7 hakikat pembelajaran adaptif

Pembelajaran adaptif ,kata adaptif sendiri merupakan kata dari bahasa Inggris ”adapt” yang
mempunyai arti ”menyesuaikan dengan”, maka pembelajaran adaptif bagi anak berkebutuhan
khusus merupakan pembelajaran yang menyesuaikan dengan kondisi siswa. Artinya yang
menyesuaikan adalah pembelajaran itu sendiri, baik bahan ajar, metode, alat/media
pembelajaran, dan lingkungan belajar, Jadi pembelajaran adaptif pada intinya adalah
modifikasi aktivitas, metode, alat, atau lingkungan pembelajaran yang bertujuan untuk
menyediakan peluang dan memberikan kemudahan kepada anak dengan kebutuhan khusus
sehingga dapat mengikuti program pembelajaran dengan tepat, efektif serta mencapai
kepuasan.

mbelajaran adaptif merupakan pembelajaran biasa yang dimodifikasi dan dirancang sedemikian rupa
sehingga dapat dipelajari, dilaksanakan dan memenuhi kebutuhan pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK). Dengan demikian pembelajaran adaptif bagi ABK hakekatnya adalah Pendidikan Luar
Biasa (PLB). Sebab didalam pembelajaran adaptif bagi ABK yang dirancang adalah pengelolaan kelas,
program dan layanannya.

Jadi pembelajaran adaptif pada intinya adalah modifikasi aktivitias, metode, alat, atau lingkungan
pembelajaran yang bertujuan untuk menyediakan peluang kepada anak dengan kebutuhan khusus
mengikuti program pembelajaran dengan tepat, efektif serta mencapai kepuasan. Prinsip utama
dalam modifikasi aktivitas adalah pe-nyesuaian aktivitas pembelaja-ran yang disesuaikan dengan
potensi siswa dalam melakukan aktivitias tersebut.

. Ciri-ciri Pembelajaran Adaptif

Sebagai pembelajaran yang berpusat pada siswa (student center) pembelajaran adaptif mempunyai
ciri sebagai berikut:

a. Memperhatikan perbedaan individu siswa, pada dasarnya setiap manusia tidak ada yang sama,
oleh karena itu dalam pembelajaran yang adaptif, guru sangat memperhatikan perbedaan dari
setiap siswanya yang implikasinya dalam proses pembelajaran di kelas hal tersebut disesuaikan
dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh siswa. Program pengajaran adaptif harus
sesuaikan dengan jenis dan karakteristik kelainan siswa, sehingga siswa mendapatkan kesempatan

20
untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin dengan tepat, cepat, dan aman
bagi siswa tersebut.

b. Sebagai alat untuk memperbaiki atau meminimalkan dampak dari kelemahan yang siswa miliki.
Dengan pembelajaran adaptif ini harus dapat memperbaiki dan atau meminimalkan dampak dari
kelainan yang dimiliki siswa, bukan memperburuk kondisi siswa.

Contoh Anak dengan gangguan penglihatan namun masih mempunyai sisa penglihatan (low vision)
yang menetap, maka dalam proses pembelajarnya jangan dipaksakan menggunakan hurup braille
untuk baca tulisnya, namun gunakanlah hurup awas yang disesuikan dengan tingkat penglihatnnya.

c. Sebagai alat untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan siswa yang memiliki
kebutuhan khusus. Pembelajaran adaptif harus dapat mengakomodasi untuk pengembangan potensi
yang dimiliki anak dengan kebutuhan khusus. Contoh: anak dengan kemampuan IQ yang di atas rata-
rata (gifted) maka dalam proses pembelajaranya jangan disamakan dengan siswa yang lainnya,
namun berikanlah pengayaan baik dengan materi sama yang mempuyai tingkat kesulitannya lebih
tinggi atau melanjutkan pada materi selanjutnya.

Prinsip-prinsip Pembelajaran Adaptif

Pada dasarnya prinsip pembelajaran adaptif sama dengan prinsip pembelajaran pada umumnya,
yaitu:

a. Kesempatan Belajar, kegiatan pembelajaran perlu menjamin pengalaman siswa untuk secara
langsung mengamati dan mengalami proses, produk, keterampilan dan nilai yang diharapkan

b. Motivasi, Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah
dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar.

c. Latar/Konteks, Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh,


memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin
menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu penting
bagi anak.

d. Keterarahan, Setiap akan melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus merumuskan tujuan
secara jelas. menetapkan sasaran dan alat yang sesuai serta mengembangkan strategi pembelajaran
yang tepat.

e. Menyenangkan, kegiatan belajar perlu menyediakan pengalaman belajar yang menyenangkan


bagi siswa.

f. Hubungan sosial, Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan strategi


pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan
siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah.

21
g. Belajar sambil bekerja, Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan
kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan atau menemukan sesuatu melalui
pengamatan, penelitian, dan sebagainya.

h. Individualisasi, Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara
mendalam baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi
pelajaran. kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap
kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.i.
Menemukan, Guru perlu mengembangkan strategi pembela-jaran yang mampu memancing anak
untuk terlihat secara aktif baik fisik, mental, sosial, dan/atau emosional

Pendidikan jasmani adaptif

Penjelasan yang lebih lebih luas disampaikan oleh Auxter dkk. (2010), bahwa pendidikan
jasmani adaptif adalah seni dan ilmu dalam mengembangkan, melaksanakan, dan memantau
program pembelajaran pendidikan jasmani yang dirancang secara cermat bagi anak
penyandang cacat berdasarkan penilaian yang komprehensif, untuk memberikan keterampilan
yang diperlukan oleh anak sepanjang hayat agar mendapatkan pengalaman dalam menikmati
waktu luang, rekreasi, dan olahraga untuk meningkatkan kebugaran dan kesehatan.

Dari beberapa pengertian dan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan
jasmani adaptif adalah pendidikan jasmani yang telah disesuaikan atau diadaptasi agar sesuai
dengan kebutuhan ABK atau penyandang cacat, sehingga ABK memperoleh pembelajaran
yang tepat guna mengembangkan keterampilan, kebugaran, dan kesehatan. Berkaitan dengan
pengembangan pembelajaran permainan adaptif dalam tulisan ini, maka rancangan
pembelajarannya harus disesuaikan terhadap kondisi psikologis dan fisik anak penyandang
cacat.

Pada pembelajaran Pendidikan Jasmani Adaptif guru juga tidak hanya sekedar
menyampaikan materi saja, tetapi juga harus diimbangi dengan pengetahuan. Pemilihan
materi dan metode juga harus diperhatikan dan guru juga harus dapat memodifikasi materi
pembelajaran yang disampaikan sesuai dengan kondisi murid yang dihadapinya. Oleh karena
itu strategi pembelajaran harus dirancang dan direncanakan dengan baik, serta
diimplementasikan dengan benar.

Arma Abdoellah (1996: 4) memerinci tujuan pendidikan Jasmani adaptif bagi ABK sebagai
berikut: Untuk menolong siswa mengkoreksi kondisi yang dapat diperbaiki, Untuk membantu
siswa melindungi diri sendiri dari kondisi apapun yang memperburuk keadaannya melalui

22
Penjas tertentu, Untuk memberikan kesempatan pada siswa mempelajari dan berpartisipasi
dalam sejumlah macam olah raga dan aktivitas jasmani, waktu luang yang bersifat rekreatif,
Untuk menolong siswa memahami keterbatasan kemampuan jasmani dan mentalnya, Untuk
membantu siswa melakukan penyesuaian sosial dan mengembangkan perasaan memiliki
harga diri, Untuk membantu siswa dalam mengembangkan pengetahuan dan apresiasi
terhadap mekanika tubuh yang baik, Untuk menolong siswa memahami dan menghargai
macam olah raga yang dapat diminatinya sebagai penonton.

Prinsip adaptasi dalam pembelajaran

Yang membedakan antara pembelajaran yang ramah terhadap anak berkebutuhan khusus dan
pembelajaran konvensional adalah setting pembelajaran yang adaptif untuk semua peserta didik.
Telah disepakati bahwa setiap peserta didik memiliki perbedaan individu, namun terdapat toleransi
sejauh mana pembelajaran itu diperlukan adaptasi. Jika pembelajaran konvensional telah
mengakomodasi semua kebutuhan khusus peserta didik, maka adaptasi tidak diperlukan. Variabel
adaptasi sangat tergantung dari jenis dan tingkat karakteristik peserta didik khususnya kelainan yang
disandang, baik kelainan fisik, emosi, sosial dan intelektual.

Adaptasi tersebut memiliki empat tahap sebagai berikut:

1. Melakukan duplikasi, artinya mengambil seluruh materi dan strategi pembelajaran pada anak
”normal” ke dalam pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus tanpa melakukan perubahan,
penambahan, dan pengurangan apa pun.

2. Modifikasi terhadap materi, media dan strategi pembelajaran yaitu sebagian atau keseluruhan
materi, media, prosedur dan strategi pembelajaran yang dipergunakan pada pembelajaran anak
“normal” diadaptasi sedemikian rupa sehingga baik materi, media, dan strategi pembelajarannya
sesuai dengan karakteristik anak.

3. Substitusi, yaitu mengganti materi, media, dan strategi pembelajaran yang berlaku pada
pembelajaran anak “normal”, bahkan mengganti mata pelajaran tertentu, misalnya mata pelajaran
menggambar untuk anak tunanetra diganti dengan apresiasi seni suara atau sastra. Memberikan
tambahan pembelajaran/ kegiaatan ekstra kurikuler yang berkaitan dengan aktivitas kompensatif
yang tidak ada pada kurikulum reguler. Misalnya kursus orientasi mobilitas, Activity of dailly living
(ADL), computer bicara, terapi wicara, bina gerak, bina diri dan sosial, bina komunikasi, dll.

4. Omisi, yaitu penghilangan materi tertentu yang berlaku pada pembelajaran anak “normal”. Hal
tersebut dilakukan apabila ketiga prinsip di atas sudah tidak dapat dilakukan, misalnya meniadakan
materi pembiasan, proyeksi warna, pada mata pelajaran tertentu, dan lain sebagainya.

23
Macam-nacam model adaptasi bagi anak berkebutuhan khusus

Berdasarkan grand design pendidikan inklusi nasional yang telah disepakati di Palembang tanggal
27-30 November 2007 bahwa yang menjadi substansi implementasi pendidikan inklusi adalah
adaptasi. Adapun adaptasi itu meliputi kurikulum, pembelajaran, media dan alat pembelajaran,
bahan ajar, penilaian serta pelaporan hasil belajar.

Dalam makalah ini pembahasan adaptasi pembelajaran, media/ alat, bahan ajar, penilaian dan hasil
belajar akan dikemas dalam satu bahasan yaitu adaptasi pembelajaran sehingga secara
substansional yang amat diperlukan dalam adaptasi pada pendidikan inklusi adalah adaptasi
kurikulum dan adaptasi pembelajaran.

A. Adaptasi Kurikulum

# ABK (anak berkebutuhan khusus) dengan kecerdasan rata-rata dapat menggunakan kurikulum
reguler.

# ABK dengan kecerdasan di atas rata-rata (amat cerdas/ IQ ≥ 125) dapat diikutkan program
akselerasi.

# ABK dengan kecerdasan di bawah rata-rata (IQ ≤ 90) dapat menggunakan mengadaptasi kurikum
reguler sesuai dengan karakteristik ABK.

# Jenis ABK tertentu memerlukan program kurikulum plus yaitu program kurikulum tambahan yang
bersifat rehabilitatif-kompensatif dan tidak ada di sekolah reguler.

# ABK yang tidak mampu mengikuti alternatif a), b), c) di atas dapat digunakan program
pembelajaran individual (PPI) dimana kurikulum disusun atas dasar karakteristik ABK secara
individual.

B. Adaptasi Pembelajaran

# mengambil standar kompetensi dan kompetensi dasar yang sama dengan kurikulum baku (reguler
maupun PLB) namun menurunkan indikator (mengambil sebagian indikator).

24
# Mengambil standar kompetensi yang sama dengan kurikulum reguler dan merumuskan sendiri
standar kompetensinya.

C Adaptasi materi pelajaran

Tidak semua mata pelajaran dan atau materi pelajaran membutuhkan adaptasi. Hanya mata
pelajaran dan atau meteri pelajaran yang menimbulkan kesulitan sebagai akibat langsung dari
kelainannya yang membutuhkan adaptasi.

Maka dari itu untuk menghadapi berbagai kendala perlu adaptasi media, alat dan bahan ajar. Telah
banyak diciptakan alat-alat dari hasil adaptasi yang khusus dipergunakan untuk anak dengan
kebutuhan khusus. Adaptasi tersebut telah dirasakan manfaatnya oleh mereka yang menggunakan.
Komputer untuk tunanetra yang dilengkapi dengan screen reader (komputer bicara), kalkulator
bicara, mount botten, laser can untuk membantu tunanetra berjalan dll. Alat bantu dengar untuk
anak tunarunguwicara.

Adaptasi sarana/ alat pelajaran/ alat peraga dalam hal ini adalah adaptasi yang setiap saat dapat
dilakukan pendidik dalam pembelajaran di kelas. Melalui adaptasi tersebut anak dengan kebutuhan
khusus dapat melakukan/ merasakan/ mengamati seperti apa yang dilakukan oleh anak-anak lain.

D. Adapatasi bahan ajar

# untuk peserta didik tunanetra dapat bahan ajarnya diadaptasi dengan buku braille, buku bicara,
buku dgital, dll

# untuk peserta didik tunarungu dapat disertai gambar/ visualisasi yang dapat mewakili narasi/ teks.

# Dalam mempelajari bangun geometri anak tunanetra harus mempelajari benda asli/ model/
setidaknya gambar timbul, sehinga anak tunanetra dapat meraba, begitu pula mempelajari peta
suatu wilyah juga harus berupa peta timbul.

# Anak lamban belajar menulis harus dilihat kasus demi kasus. Mungkin tulisannya jelek, tidak dapat
membedakan antara huruf-huruf tertentu, menulisnya lamban.

# Anak autis perlu meja khusus yaitu meja yang tidak menjadikan anak banyak bergerak.

25
# Anak polio (kursi roda) diperlukan kursi dan meja yang dapat dijangkau (diturunkan) dan ruang
yang cukup untuk menempatkan kursi roda.

# Penempatan sarana dan alat/ buku-buku mudah dijangkau untuk semua anak

E. Adaptasi waktu pembelajaran

Akan lebih bijaksana bila dalam pemberian setiap tugas ada kaitannya dengan jenis/ tingkat
kesulitan yang dialami anak, waktu diberikan kelonggaran secara proporsional bila dibanding dengan
anak rata-rata lain. Mereka diberikan kesempatan untuk berprestasi seperti yang lain sekalipun
dalam waktu yang berbeda. Misalnya anak tunanetra dalam mengerjakan soal-soal ujian diberikan
kelonggaran 20% dengan waktu yang digunakan oleh anak “normal”. Anak tunarunguwicara
diberikan kesempatan yang longgar dalam memahami isi bacaan/ membaca. Anak lamban belajar
berhitung, bila pendidik menuntut sejumlah soal yang sama dengan anak rata-rata lain waktu
hendaknya diberikan kelonggaran yang cukup sesuai dengan tingkat kelambanannya atau jumlah
soal dikurangi.

F. Adaptasi pengelolaan kelas

Dalam pengorganisasian kelas membutuhkan strategi yang kadang tidak pernah dipikirkan
sebelumnya. Pengaturan tempat duduk terhadap anak-anak yang mengalami kelainan harus
mendapatkan prioritas khusus, sehingga mereka seperti halnya teman yang lain. Tanpa adaptasi
pengelolaan kelas mungkin mereka akan semakin tertinggal dengan teman yang lain.

Dibawah ini tempat duduk yang disarankan untuk anak dengan kebutuhan khusus.

O O O O O O

O O O O O O

X O O X X O

Keterangan:

X adalah tempat duduk anak dengan kebutuhan khusus

26
O adalah tempat duduk anak rata-rata/ normal

V meja/ kursi pendidik

Pembuatan kelompok belajar/ kelompok apapun sebaiknya anak dengan kebutuhan khusus tidak
dijadikan satu kelompok , mereka harus menyebar keseluruh kelompok yang ada. Sejauh anak
dengan kebutuhan khusus masih dapat mengerjakan tugas-tugas seperti anak yang lain sekalipun
minimal, mereka mendapatkan tugas seperti anak yang lain. Kelas-kelas yang terdapat peserta didik
berkelainan sebaliknya jangan diciptakan situasi belajar yang kompetitif, namun hendaknya anak
yang unggul dapat dimanfaatkan untuk memberikan/ membantu kesulitan yang dihadapi
memberikan/ membantu kesulitan yang dihadapi oleh anak-anak yang berkelainan secara
kooperatif. Bila kelas dikondisikan kompetitif maka anak dengan kebutuhan khusus akan selalu
ketinggalan dan tidak pernah memperoleh kesempatan untuk berprestasi sesuai dengan
kemampuannya

G. Adaptasi metodologi

Adaptasi metodologi sebenarnya tidak akan membebani pendidik dan peserta didik lain, namun
justru akan lebih menguntungkan anak normal pada umumnya, disamping dapat melayani anak
dengan kebutuhan khusus pada khususnya. Proses pembelajaran dengan berbagai metode telah
dikuasai oleh seluruh pendidik, namun adaptasi yang mampu menyentuh anak dengan kebutuhan
khusus dalam kelas reguler memang memerlukan kecermatan tersendiri.

BAB lll

Penutup

3.1 kesimpulan

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan penanganan khusus karena adanya
gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami anak. Berkaitan dengan istilah disability,
maka anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki keterbatasan di salah satu atau

27
beberapa kemampuan baik itu bersifat fisik seperti tunanetra dan tunarungu, maupun bersifat
psikologis

Jenis-jenis Anak Berkebutuhan Khusus

Kelainan Mental terdiri dari: 1. Mental Tinggi 2.Mental rendah


Kelainan Fisik meliputi: 1. Kelainan Tubuh (Tunadaksa) 2. Kelainan indera Penglihatan (Tunanetra)
3. Kelaianan Indera Pendengaran (Tunarungu) 4. Kelainan Wicara 5. Kelainan Emosi
Gangguan Perilaku, Gangguan Konsentrasi (ADD/Atention Deficit Disorder)

3.2 saran

Sebagai calon pendidik hendaknya kita tidak hanya mahir dalam menyampaikan materi
pembelajaran kepada peserta didik saja, namun.kita juga harus memperhatikan
karakteristik siswa serta keadaannya didalam proses pembelajaran karena tidak semua
peserta didik memiliki kemampuan sama didalam menerima dan memahami materi yang
disampaikan pendidi, disamping itu kita juga perlu mempelajari karakteristik setiap siswa
yang bermacam2 terutama siswa yang memerlukan.perlakuan khusus saat disekolah drngan
tujuan agar peserta didik tersebut dapat kenerima dan mengembangkan materi
dalam.pembelajaran yang akan disampaikan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Alimin, Zaenal (2004) Reorientasi Pemahaman Konsep Pendidikan Khusus Pendidikan


Kebutuhan Khusus dan Implikasinya terhadap Layanan Pendidikan. Jurnal Asesmen dan
Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus. Vol.3 No 1 (52-63)

Johsen, Berit and Skjorten D. Miriam, (2001) Education, Special Needs Education an
Intoduction. Unifub Porlag: Oslo

Foreman, Phil (2002), Integration and Inclusion In Action. Mc Person Printing Group
Australia.

28
Lewis, Vicky (2003), Development and Disability. Blckwell Publishing Company: Padstow,
Cornwall.

Stubbs, Sue (2002) Inclusive Education: Where there are few resources. The Atlas Alliance:
Gronland , Oslo.

dampak-terjadinya-anak-berkebutuhan-khusus.html ( ONLINE )

Isnaini Mukarromah, Pendidikan Luar Biasa, Universitas Negeri


Yogyakartaiznoel.qu@gmail.com

29

Anda mungkin juga menyukai