Anda di halaman 1dari 12

SURVEI KENDALA PEMBUATAN PPI DI SDN GADANG 2

BANJARMASIN

Hastitie Rennesiyah
Pendidikan Khusus, FKIP, Universitas Lambung Mangkuat
hastitie@gmail.com

Abstrak
Permasalahan pada penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya sekolah-sekolah
dalam penerapan sekolah inklusif sering ditemukan bahwa tidak adanya program
pembelajaran individual (PPI). Penelitian ini dilakukan di salah satu sekolah dasar
inklusif yang ada di Banjarmasin yaitu SDN Gadang 2 Banjarmasin. Penelitian ini
bertujuan untuk mengungkap kendala yang dialami oleh guru pembimbing khusus
selama pembuatan program pembelajaran individual. Penelitian ini menggunakan
jenis penelitian survei deskriptif. Informasi dari penelitian ini diperoleh dengan
kuesioner terbuka. Hasil dari penelitian ini ialah kurangnya kemampuan dalam
mendeskripsikan kemampuan siswa berkebutuhan khusus, kurangnya kemampuan
guru dalam mengembangkan media pembelajaran serta minimnya ketersediaan
guru pembimbing khusus yang mumpuni, sarana dan prasarana, media serta
pengetahuan kurikulum yang masih minim.

Kata Kunci : program pembelajaran individual, guru pembimbing khusus,


pendidikan inklusif

Abstract
The problem in this study is motivated by the existence of schools in the
implementation of inclusive schools often found that there is no individualized
educational program (IEP). This research was conducted at one of the inclusive
elementary schools in Banjarmasin, SDN Gadang 2 Banjarmasin. This study aims
to uncover the obstacles experienced by special supervisors during the making of
individual learning programs. This research uses descriptive survey research type.
Information from this study was obtained by using an open questionnaire. The
results of this study are the lack of ability to describe the abilities of students with
special needs, the lack of ability of teachers to develop learning media and the lack
of qualified special tutors, facilities and infrastructure, media and curriculum
knowledge that is still minimal.

Keywords: individualized educational program, shadow teacher, inclusive


education

PENDAHULUAN
Di Indonesia sendiri, telah gencar menyuarakan pendidikan untuk semua
kalangan tanpa adanya diskriminasi serta pembatasan, sebagai warga negara

1
Indonesia memiliki kewajiban untuk mengikuti pendidikan dasar dari usia tujuh
tahun hingga lima belas tahun. Setiap warga negara Indonesia memiliki hak dalam
menerima serta mengenyam pendidikan bermutu serta sesuai dengan kondisi
setiap warganya serta pemberian layanan pendidikan untuk semua (education for
all). Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan,pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pada pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
menjelaskan tentang hak dan kewajiban warga negara dari ayat 1 hingga ayat 5
telah menyebutkan apa saja hak-hak dan kewajiban bagi setiap warga Indonesia
dalam perihal memperoleh pendidikan. Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa
setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu. Dilanjutkan dengan ayat 2 yang bebunyi warga negara yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai hak yang
sama halnya dengan anak-anak lain.
Pendidikan inklusif merupakan pilihan yang ditawarkan oleh pemerintah
untuk mengakomodasi semua keadaan siswa tanpa menilai bagaimana keadaan
fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa atau kondisi lainnya (Agustin , Sari, dan
Fitriyaningsih, 2017). Siswa berkebutuhan khusus memiliki pola belajar sendiri
karena anak berkebutuhan khusus memiliki kemampuan dan kebutuhan yang
berbeda dengan siswa reguler. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang
membutuhkan penanganan secara khusus dikarenan adanya hambatan pada
perkembangan dan kelainan-kelaianan yang terjadi pada anak (Desiningrum,
2017). Berhubungan dengan kata disability, maka anak berkebutuhan khusus ialah
anak yang memiliki hambatan pada salah satu atau lebih disetiap kemampuannya,
kemampuan yang bersifat fisik contohnya seperti tunanetra atau tunarungu, dan
kemampuan yang bersifat psikologis contohnya seperti autism atau ADHD. Pola

2
pembelajaran siswa berkebutuhan khusus tidak dapat disamakan dengan siswa
reguler lainnya. Pola pembelajaran tersebut dikenal dengan Individualized
Educational Program (IEP), yang dalam bahasa Indonesia disebut Program
pembelajaran individual (PPI) (Bestarina, 2018). Program pembelajaran
individual (PPI) sudah terlebih dahulu diterapkan pada negara-negara maju.
Persyaratan program pembelajaran individual (PPI) hanya ada sebagai satu aspek
dari serangkaian persyaratan yang lebih luas sesuai dengan evaluasi
nondiskriminatif, penempatan yang setidaknya pengaturan setting restriktif dan
proses yang seharusnya (Turnbull, Strickland dan Hammer, 1978).
Pendidikan inklusif akan selalu terikat dengan program pembelajaran
individual (PPI). Hal tersebut ialah mutlak sifatnya, program pembelajaran
individual (PPI) merupakan program yang menyesuaikan dengan kebutuhan dan
hambatan siswa. Maka sebelum seorang guru memberikan program pembelajaran
individual (PPI) kepada siswa terlebih dahulu harus melakukan identifikasi untuk
menggali informasi siswa dilanjutkan dengan asesmen untuk menilai bagaimana
hambatan, kemampuan dan kebutuhan pada siswa tersebut. Hasil asesmen
dijadikan penetapan kemampuan awal siswa bekebutuhan khusus, dari penetapan
kemampuan awal peserta didik ini menjadi dasaran dalam menentukan program
pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus, seperti penetapan kurikulum bagi
siswa berkebutuhan khusus (Fitriana dan Sulthoni, 2016).
Dalam pembuatan program pembelajaran individual (PPI) guru pembimbing
khusus (GPK) memegang peranan penting, dimana program pembelajaran
individual (PPI) dibuat oleh guru pembimbing khusus (GPK). Tugas guru
pembimbing khusus (GPK) dalam pendidikan inklusif terdapat dalam
Permendiknas No. 70. Tahun 2009, tugas dan tanggung jawab Guru Pembimbing
Khusus (GPK) dalam pembelajaran pada pendidikan inklusif yang meliputi: (1)
merancang dan melaksanakan program kekhususan; (2) melakukan proses
identifikasi, assesmen dan menyusun program pembelajaran individual; (3)
memodifikasi bahan ajar; (4) melakukan evaluasi program pembelajaran bersama
guru kelas; dan (5) membuat laporaan program dan perkembangan anak
berkebutuhan khusus (Kurniawan, 2017).

3
Dalam pembuatan program pembelajaran individual (PPI) seringkali
ditemukan kendala-kendala yang menghambat dalam pembuatan program
pembelajaran individual (PPI). Tujuan dari penelitian ini ialah mengetahui
kendala selama proses pembuatan program pembelajaran individual di SDN
Gadang 2 Banjarmasin.

METODE
Metode penelitian pada penelitian ini menggunakan kualitatif dengan
pendekatan deskriptif dengan menggunakan metode survei. Lokasi yang dipilih
untuk dilaksanakan penelitian adalah di SDN Gadang 2 Banjarmasin. Sesuai
dengan fokus pada penelitian ini yaitu mengetahui kendala yang terjadi semala
proses pembuatan PPI di SDN Gadang 2 Banjarmasin, sumber utama dalam
penelitian ini ialah GPK. Kendala dalam proses pembuatan PPI merupakan fokus
utama dalam penelitian ini. Sumber data dalam penelitian ini ialah data primer
yang diperoleh dengan kuesioner campuran. Data yang diperoleh melalui
kuesioner selanjutnya dianalisis. Pertama, dilakukan pengumpulan data pada data
yang diperolah selanjutnya dilakukan reduksi atau penyederhanaan dalam data.
Dilakuakan display data untuk menampilkan hasil dari reduksi. Terakhir
dilakukan penarikan kesimpulan pada data-data tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Diambil dari hasil penelitian Agustin, Sari dan Fitriyaningsih (2017) hasil
yang diperoleh ialah, GPK memiliki keterkaitan dengan pengalaman dalam
melaksanakan tugas sebagai GPK yang dalam orientasinya masih mengalami
banyak kesulitan. Diawali dengan mengukur pemahaman, sikap, dan perilaku
guru pembimbing khusus terkait dengan hakekat dan tugas GPK sebelum
dilakukan tindakan dan diakhiri dengan posttest untuk mengukur hasil. Pretest dan
posttes yang diberikan berbentuk kuesioner yang terdiri dari 13 pernyataan yang
terdiri dari tiga aspek tersebut

4
Tabel 1. Kuesioner

Aspek Pernyataan
Pemahaman  Pemahaman tentang hakekat dan konsep dasar guru
pembimbing khusus (GPK)
 Pemahaman tentang tugas guru pembimbing khusus
 Pemahaman tentang anak berkebutuhan khusus dan
pemberian layanan pendidikan
 Pemahaman tentang cara menyusun program
pembelajaran individual (PPI)
 Pemahaman tentang pengembangan adaptasi media
dalam kegiatan pembelajaran
Sikap  Keinginan memperdalam pengetahuan dan
pemahaman mengenai tugas dan peran GPK
 Kepercayaan bahwa filosofi pendidikan inklusi akan
membawa keberhasilan pendidikan bagi semua
 Prasangka baik/harapan terhadap anak berkebutuhan
khusus
 Perhatian terhadap pendidikan anak berkebutuhan
khusus
Perilaku  Keterampilan dalam implementasi program
pembelajaran individual dalam kegiatan pembelajaran
 Perlakuan terhadap anak berkebutuhan khusus
 Keterampilan dalam pengembangan adaptasi media
pembelajaran
 Keterampilan dalam bekerjasama dengan
orangtua/keluarga anak

Berdasarkan hasil yang diperoleh data tentang berbagai permasalahan yang


dihadapi oleh GPK, yaitu:
a. Ketersediaan GPK dengan kualifilasi lulusan pendidikan luar biasa
b. Ketersediaan sarana dan prasarana dalam mendukung pemberian layanan
pendidikan bagi ABK
c. Ketersediaan media dan alat peraga adaptif bagi terselenggaranya proses
pembelajaran di kelas inklusi
d. Ketersediaan kurikulum adaptif, silabus, dan RPP yang sesuai kebutuhan ABK.

5
Dari kegiatan evaluasi yang dilakukan terhadap hasil penyusunan program
pembelajaran individual ada beberapa catatan yaitu:
a. GPK masih mengalami kesulitan dalam mendeskripsikan kemampuan
akademik dan non akademik siswa berkebutuhan khusus
b. Adaptasi media masih bersifat sederhana dan belum menunjukkan tingkat
kreativitas yang tinggi
c. Bentuk evaluasi yang dikembangkan disesuaikan dengan indikator yang ingin
dicapai
Dari hasil yang didapat dalam pembuatan PPI seringkali ditemukan
beberapa kendala sehingga berdampak kepada pelaksanaan PPI kepada siswa
berkebutuhan khusus. Menurut Yuwono, Utomo dan Widodo (2017)
menyebutkan seyogyanya peranan seorang GPK menjadi hal yang penting untuk
menciptakan sekolah inklusif yang diharapkan. GPK memiliki peranan penting
dalam pembuatan program pembelajaran individual. Tugas GPK sendiri ialah
menyelenggarakan asesmen untuk siswa berkebutuhan khusus, menyelenggarakan
kurikulum modifikasi dan pengembangan program untuk siswa berkebutuhan
khusus, menyelenggarakan layanan pembelajaran khusus dan menyelenggarakan
kunjungan ke rumah (Agustin, 2016). GPK harus memiliki kemampuan yang
mempuni untuk merancang sebuah PPI. GPK dengan latar belakang pendidikan
luar biasa memiliki pengetahuan mengenai klasifikasi ABK serta pengetahuai
tentang identifikasi dan asesmen. Namun, ditemukan bahwa sebagian tenaga guru
pembimbing khusus berasal dari latar belakang yang berbeda. Guru yang tidak
memiliki kompetensi dan keterampilan khusus dalam pendidikan ABK akan
mengalami kesulitan dalam membantu ABK di sekolah regular, demikian halnya
dengan pengetahuan yang kurang memadai tentang anak berkebutuhan khusus
akan menimbulkan persepsi yang kurang tepat yang akibatnya dapat
memunculkan sikap yang negatif terhadap anak berkebutuhan khusus (Zakia,
2015). Amka, Utomo, Kusumastuti dan Thaibah (2018) mengemukakan bahwa
kompetensi GPK khususnya dalam melakukan identifikasi dan asesmen anak
berkebutuhan khusus adalah latar belakang pendidikan guru pembimbing khusus,
pengalaman yang didapat melalui pelatihan dan saat mengajar, dan keaktifan

6
untuk mencari referensi terkait identifikasi dan asesmen anak berkebutuhan
khusus, serta komunikasi yang intens dengan guru pembimbing khusus berlatar
belakang PLB, guru kelas, dan kepala sekolah, serta orangtua murid sebagai
bahan evaluasi terkait saran dan tindak lanjut pada anak.
Budiman (2016) menyebutkan bahwa keefektivitasan dan efisiensi
pembelajaran tidak hanya bergantung pada rencana dan model pembelajaran,
tetapi yang terutama adalah pada kemampuan guru untuk memanfaatkan setiap
peluang yang muncul pada saat-saat pembelajaran sedang berlangsung. Bahwa
guru pendamping khusus menyusun materi ajar sendiri disesuaikan dengan
kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus serta melihat karakteristiknya
GPK sering mengalami kesulitan dalam mendeskripsikan kemampuan akademik
dan non akademik siswa berkebutuhan khusus (Yuwono dkk., 2017). Kurangnya
kemampuan dalam asesmen akan mempengaruhi guru pembimbing khusus dalam
mendeskripsikan potensi, kebutuhan, hingga kelemahan siswa berkebutuhan
khusus. Menurut Jalanidhi (2017) guru yang bertanggung jawab melakukan
asesmen adalah guru yang mengetahui dan memahami langkah asesmen serta
sudah berpengalaman dalam melakukan asesmen. İlik dan Sarı (2017)
menemukan sejumlah fakta alasan sebagaimana mengapa guru tidak dapat
memperoleh informasi siswa, karena setiap kekurangan perlu ditangani sesuai
dengan kekhasannya sendiri, sehingga mereka tidak dapat memutuskan
pengaturan mana yang perlu dibuat di kelas. Hal tersebut mempengaruhi performa
GPK dalam membuat PPI. Nyatanya saat dilapangan, untuk karakteristik anak
berkebutuhan khusus yang diterima sendiri belum memenuhi sesuai dengan
kebijakan, seperti perihal penerimaan jenis kekhususan, IQ masih dibawah rata-
rata, belum ada ketentuan pembatasan jumlah siswa yang diterima, serta belum
adanya sarana prasaranan khusus (Darma dan Rusyidi, 2015). Di dalam penelitian
Jozwik, Cahill, dan Sánchez (2018) mengungkapkan hasil dari setiap langkah
identifikasi hasil pembelajaran ialah menghasilkan daftar hasil belajar yang
diharapkan sesuai dengan tujuan jangka khusus untuk setiap bidang pada program
pembelajaran. Al-Shammari dan Hornby (2020) menyatakan bahwa guru
pendidikan khusus mampu melakukan merancang dokumen program

7
pembelajaran individual dan menetapkan kriteria untuk mengejar dan mencapai
tujuannya untuk setiap siswa berkebutuhan khusus, tetapi beberapa guru
pendidikan khusus ini ternyata tidak dapat merancang dan menggunakannya
untuk setiap siswa berkebutuhan khusus. Kurangnya komponen-komponen ini
dalam program pembelajaran individual merupakan hambatan bagi penerapan
layanan secara kohesif bagi siswa berkebutuhan khusus di kelas inklusif (Rakap,
Yucesoy-Ozkan, dan Kalkan, 2019).
Dalam pembuatan program pembelajaran individual harus memiliki alat
pendukung, saat pembuatan guru pembimbing khusus tidak mengabaikan
komponen-komponen PPI sehingga dapat meminimalisir kendala saat pembuatan
PPI. Komponen-komponen yang direkomendasikan untuk dimasukkan ke dalam
PPI ialah komponen-komponen yang dimasukkan dalam PPI dikembangkan
kepada siswa berkebutuhan khusus saat belajar di ruang kelas (Rakap dkk., 2019).
Pentingnya media pembelajaran yang dapat diterima dan dipahami dengan mudah
oleh anak, dengan tersedianya media pembelajaran maka anak dapat memahami
materi dengan mudah (Mulyani dan Marlina, 2017). Penggunaan media sendiri
untuk menunjang kemudahan pemahanan anak berkebutuhan khusus terhadap
pembelajaran sehingga hasil belajar memuaskan (Wulandari, Susilawati, dan
Kustiawan, 2019). Model pembelajaran yang kreatif dan bervariasi akan
melibatkan minat dan motivasi peserta didik dalam mengikuti proses belajar
mengajar di kelas (Asiyah, 2018).
Selama pembuatan program pembelajaran komunikasi dan kerja sama
antar guru kelas dan GPK akan terjalin. Di dalam penelitan disebutkan bahwa
GPK di SDN Gadang 2 Banjarmasin dalam menjalankan perannya tidak
bekerjasama dengan guru reguler dalam menyiapkan materi ajar (Yuwono dkk.,
2017). Guru regulerlah yang menentukan materi kemudian mengkomunikasikan
kepada guru pembimbing khusus, sehingga guru pendamping khusus dapat
merencanakan apa yang dapat dilakukan terhadap peserta didik berkebutuhan
khusus yang didampingi. GPK membantu guru kelas dengan memerhatikan
murid yang mempunyai masalah pembelajaran atau masalah tingkah laku dan
membantu guru kelas atau guru mata pelajaran dengan strategi intervensi

8
yang sesuai bagi menerapkan proses pengajaran dan pembelajaran (PdP)
(Salleh dan Omar, 2018). Dalam pembuatan program pembelajaran tidak hanya
komunikasi dan kerja sama antara GPK dan guru kelas serta lapisan-lapisan di
lingkungan sekolah, pemenuhan komponen-komponen dalam program
pembelajaran harus lengkap yang disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan
khusus, dan dukungan sarana dan prasarana serta dukungan dari orangtua.
Yuwono (2015) menyebutkan tujuan pembelajaran, materi, proses dan
pelaksanaan evaluasi lepas dari kurikulum umum, dikarenakan tujuan
pembelajaran, materi, proses dan pelaksanaan evaluasi disesuaikan dengan
kemampuan siswa. Untuk sarana dan prasarana, Mirnawati, Rachman, dan Warni
(2019) mengemukakan bahwa sarana dan prasarana harus memberikan manfaat
tidak hanya untuk anak berkebutuhan khusus, namun bertujuan untuk
memudahkan bagi semua orang antara lain: menunjang pelaksanaan
pembelajaran, dan mewujudkan kemandirian. Selain itu, aksesibilitas fisik
maupun non fisik yang menunjang akan memegang peranan strategis dalam
memberikan peluang dan kemudahan bagi ABK. Dalam penelitian Yuwono,
Rapisa dan Damastuti (2018) menyebutkan bahwa di SDN Gadang 2
Banjarmasin, orang tua telah mendampingi ABK sehingga layanan dapat optimal,
orang tua juga mengusahakan hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan
yang sesuai dengan kondisi anak berkebutuhan khusus.

PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan dari pemarapan dalam pembahasan dapat diambil kesimpulan
bahwa kendala-kendala yang ditemui dalam pembuatan program pembelajaran
individual ialah kurangnya kemampuan dalam mendeskripsikan kemampuan
siswa berkebutuhan khusus, kurangnya kemampuan guru dalam mengembangkan
media pembelajaran serta minimnya ketersediaan guru pembimbing khusus yang
mumpuni, sarana dan prasarana, media serta pengetahuan kurikulum yang masih
minim.

9
Saran
Saran untuk kedepannya, untuk sekolah selalu memberikan atau
mengikutsertakan guru pembimbing khusus dalam acara seminar atau workshop
mengenai pendidikan inklusif serta pembuatan program pembelajaran individual.
Untuk guru pembimbing khusus ialah untuk mencari referensi dan mengikuti
kegiatan seminar maupun workshop.

DAFTAR PUSTAKA
Agustin, I., Sari, M. P., & Fitriyaningsih, S. 2017. Pelatihan Program
pembelajaran individual (PPI) Bagi Guru Pembimbing Khusus (GPK) Se
Kabupaten Tuban. Prosiding SNasPPM, 1(1), 135-139.

Al-Shammari, Z., & Hornby, G. 2020. Special Education Teachers’ Knowledge


and Experience of IEPs in the Education of Students with Special
Educational Needs. International Journal of Disability, Development and
Education, 67(2), 167-181

Amka, Utomo, Kusumastuti, D. E, & Thaibah, H. 2018. Kompetensi Guru


Pembimbing Khusus Dalam Melaksanakan Identifikasi Dan Asesmen Anak
Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Kota
Banjarmasin. 

Asiyah, D. 2018. Dampak Pola Pembelajaran Sekolah Inklusi Terhadap Anak


Berkebutuhan Khusus. Prophetic: Professional, Empathy and Islamic
Counseling Journal, 1(01).

Budiman, A. 2016. Efektivitas Pembelajaran Agama Islam Pada Peserta Didik


Berkebutuhan Khusus. At-Ta'dib, 11(1).

Darma, Indah. P., & Rusyidi, Binahayati. 2015. Pelaksanaan Sekolah Inklusi Di
Indonesia. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(2),
147-300.

Desiningrum, D. R. 2017. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta:


Psikosain.

Fitriana, Dina Astika dan Sulthoni. (2016). Inclusive Education Implementation


At SDN Sumbersari 1 Malang. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan Luar Biasa, 3(1), 46-53.
İlik, Ş. Ş., & Sarı, H. 2017. The Training Program For Individualized Education
Programs (IEPs): Its Effect On How Inclusive Education Teachers Perceive

10
Their Competencies In Devising IEPs. Educational Sciences: Theory &
Practice, 17(5).

Jalanidhi, D. G. 2017. Identifikasi Hambatan-Hambatan Guru Dalam


Pembelajaran Di Sekolah Inklusif SD Negeri 2 Petir Piyungan,
Bantul. WIDIA ORTODIDAKTIKA, 6(8), 823-833.

Jozwik, S. L., Cahill, A., & Sánchez, G. 2018. Collaboratively Crafting


Individualized Education Program Goals For Culturally And Linguistically
Diverse Students. Preventing School Failure: Alternative Education for
Children and Youth, 62(2), 140-148.

Kurniawati, L. 2017. Pembelajaran Pendidikan Inklusi Pada Sekolah Dasar.


EDUTECH, 16(2), 157-169.

Mirnawati, M., Rachman, A., & Warni, A. 2019. Persepsi Guru Terhadap
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Di Banjarmasin. Buana Pendidikan:
Jurnal Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 15(27), 61-66.

Mulyani, G., & Marlina, M. 2017. Pelaksanaan Tugas Pokok Guru Pendidik
Khusus di Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif. Jurnal Penelitian
Pendidikan Khusus, 5(2).

Morrisan. 2012. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Kencana.

Rakap, S., Yucesoy-Ozkan, S., & Kalkan, S. 2019. How Complete Are
Individualized Education Programmes Developed For Students With
Disabilities Served In Inclusive Classroom Settings?. European Journal of
Special Needs Education, 34(5), 663-677

Salleh, F. S., Omar M.C. 2018. Masalah Pengajaran Guru Dalam Program
Pendidikan Inklusif Di Sekolah. Asian People Journal (APJ), 1(2), 243-263.

Turnbull, A. P., Strickland, B., & Hammer, S. E. 1978. The Individualized


Education Program-Part 1: Procedural Guidelines. Journal of learning
disabilities, 11(1), 52-58.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional. Jakarta.

Wulandari, L. M., Susilawati, S. Y., & Kustiawan, U. 2019. Pelaksanaan


Program Bina Diri bagi Siswa Berkebutuhan Khusus di Sekolah
Inklusi. Jurnal ORTOPEDAGOGIA, 5(1).

Yuwono, I. 2015. Penerapan Identifikasi, Asesmen dan Pembelajaran pada Anak


Autis Di Sekolah Dasar Inklusif. JRR-Jurnal Rehabilitasi & Remediasi.

11
Yuwono, I., Rapisa, D. R., Damastuti, E. 2018. Laporan Penelitian: Implementasi
Kurikulum Fleksibel Di Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Kota
Banjarmasin.

Yuwono, Imam, Utomo, & Widodo, A.P.A. 2017. Problematika Interaksi Sosial
Guru Pendam ping Khusus Di SD N Gadang 2 Banjarmasin.

Zakia, D. L. (2015). Guru Pembimbing Khusus (GPK): Pilar Pendidikan


Inklusi. Prosiding Ilmu Pendidikan, 1(2).

12

Anda mungkin juga menyukai