Anda di halaman 1dari 13

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF

BAGI ANAK TUNANETRA

Oleh :

Kelompok 1 :

Hikma Ramadhani 20041184092

Afdhal Gani Yuerisman 20020074160

Mayang Aprilya 20020074140

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

2020
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI ANAK TUNANETRA

Hikma Ramadhani1 , Afdhal Gani Yuerisman2 , Mayang Aprilya3

Pendahuluan

Masyarakat yang adil dan makmur secara material dan spiritual berdasarkan pancasila
merupakan tujuan pembangunan nasional. Salah satu komponen penting dalam masyarakat
indonesia adalah anak. Karena anak adalah tongkat masa depan bangsa sekaligus pemilik
bangsa, karena ditangan merekalah diteruskan sejarah kehidupan manusia Indonesia
selanjutnya, begiru pentingnya mereka dalam rantai kelangsungaan tradisi suatu bangsa (Latif,
2013).

Tidak satu orangpun menginginkan menjadi anak berkebutuhan khusus atau


peyandang disabilitas. Istilah anak berkebutuhan khusus secara eksplisit ditujukan kepada
anak yang dianggap mempunyai kelainan/penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal
pada umunya, dalam hal fisik, mental maupun karakteristik perilaku sosialnya.Menurut
Nandiyah (2013), Anak dikategorikan berkebutuhan khusus dalam aspek fisik meliputi;
kelainan dalam indera penglihatan (tunanetra), kelainan indera pendengaran (tuna rungu),
kelainan kemampuan berbicara (tuna wicara) dan kelainan fungsi anggota tubuh (tuna daksa).

Tunanetra adalah orang yang memiliki keterbatasan pada indera penglihatannya atau
bahkan memiliki ketidakmampuan untuk melihat. Berdasarkan tingkat kebutaannya,
tunanetra dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu buta total dan low vision. Sedangkan
berdasarkan usia kebutaan, dibedakan menjadi: buta sejak lahir dan buta tidak sejak lahir
(sempat memiliki pengalaman untuk melihat baru kemudian mengalami kebutaan).

Keterbatasan atau bahkan ketidakmampuan seorang tunanetra untuk melihat,


mengakibatkan keterbatasan atau bahkan ketidakmampuan pula dalam menerima
stimulus/informasi melalui indera penglihatan (mata). Oleh karena itu, diperlukan peran alat
indera yang lain untuk menggantikannya. Dalam hal ini indera pendengar (telinga) serta
indera peraba (tangan) menjadi alternatif utama dalam penerimaan stimulus/informasi dari
luar (Erin dan Koenig, 1997).

Semua anak berhak mendapatkan pendidikan sebagaimana diatur dalam UU. No. 23
Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Salah satunya
adalah bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
perkembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

Pendidikan bagi penyandang disabilitas seperti tunanetra dikenal dengan Pendidikan


Inklusif. Pendidikan inklusif merupakan suatu komitmen untuk melibatkan siswa-siswa yang
memiliki hambatan dalam setiap tingkat mereka, yang artinya penerimaan anak-anak yang
memiliki hambatan kedalam Kurikulum, lingkungan, Interaksi dan konsep sosial Sekolah
Smith J. David (2012:45).

Program inklusi bertujuan memberikan kesempatan bagi seluruh peserta didik untuk
Pentingnya pendidikan inklusi terus menerus dikembangkan karena memiliki kelebihan
mengoptimalkan potensinya dan memenuhi kebutuhan belajarnya melalui program
pendidikan inklusif.

Menurut penelitian Staub dan Peck (1994/1995), ada lima manfaat atau keuntungan
dari pendidikan iklusi 1. Anak non-ABK akan menjadi toleran terhadap orang lain setelah
memahami kebutuhan pribadi dari temannya yang berkebutuhan khusus, 2.Anak non-ABK
mengalami perkembangan pada etika pribadi dan prinsip moral, 3.Anak non-ABK yang tidak
menolak ABK mengatakan bahwa mereka senang berteman dengan ABK, 4.Penelitian
menunjukkan bahwa manfaat menguntungkan bagi semua siswa, tidak hanya mereka yang
menerima layanan pendidikan khusus. Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa pendidikan
inklusif memiliki efek positif jangka pendek dan jangka panjang pada semua siswa. 5.
Frekuensi ketidakhadiran anak berkebutuhan pendidikan khusus di kelas inklusif lebih jarang.
Mereka mengembangkan keterampilan yang lebih kuat dalam membaca dan matematika.
Mereka juga sering memiliki pekerjaan dan melanjutkan pendidikan setelah lulus SMA.

Di Indonesia, sistem pendidikan segregasi sudah berlangsung selama satu abad lebih,
sejak di mulainya pendidikan anak tunanetra pada tahun 1901 di Bandung. Konsep special
education dan sistem pendidikan segregasi lebih melihat anak dari segi kecacatannya
(labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan pendidikan. Oleh karena itu, terjadi
dikotomi antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Pendidikian khusus dan
pendidikan regular dianggap dua hal yang sama sekali berbeda.

Secara paedagogis, sistem pendidikan segregasi mengabaikan eksistensi anak sebagai


individu yang unik dan holistik, sementara itu kecacatan anak lebih ditonjolkan. Secara
psikologis, sistem segregasi kurang memperhatikan kebutuhan dan perbedaan individual.
Terdapat kesan menyamakan layanan pendidikan anak berdasarkan kecacatan yang
disandangnya. Secara filosofis sistem pendidikan segregasi menciptakan dikotomi
masyarakat eklusif normal dan tidak normal.

Konsep dan pemahaman mengenai pendidikan anak penyandang disabilitas terus


berkembang, sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat. Pemikiran yang berkembang
saat ini, melihat persoalan pendidikan anak penyandang cacat dari sudut pandang yang lebih
bersifat humanis, holistik, perbedaan individu dan kebutuhan anak menjadi pusat perhatian.
Dengan demikian, layanan pendidikan tidak lagi didasarkan atas label kecacatan anak, akan
tetapi didasarkan pada hambatan belajar dan kebutuhan setiap individu anak. Seiring dengan
ini kemudian muncul konsep pendidikan inklusif.

Salah satu kesepakatan internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan


inklusif adalah Conventional on the Right of Person with Disabiliteis and optional Protocol
yang disahkan pada Maret 2007. Yang mana pada pasal 24 dalam konvensi ini dijelaskan
bahwa setiap Negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusif di
setiap tingkatan pendidikan.6

Untuk memahami lebih dalam mengenai implementasi/penerapan pendidikan inklusif


bagi anak tunanetra berikut akan dipaparkan penjelasan mengenai awal mula serta
perkembangan implementasi pendidikan inklusif di Indonesia bagi penyandang disabilitas
khususnya tunanetra.

Kajian Teori

1. Tunanetra
Keterbatasan kemampuan melihat merupakan gangguan dalam fungsi penglihatan.
Keadaan ini disebabkan oleh kerusakan secara anatomis pada organ mata sehingga mereka
tidak dapat melihat dengan detil, jelas, dan langsung apa yang sedang dikerjakan oleh orang
lain yang berada disekitarnya. Mereka yang mengalami gangguan penglihatan atau sering
disebut juga dengan tunanetra. Tunanetra adalah seseorang yang mempunyai penglihatan
yang kurang akurat/kurang baik dibandingkan dengan orang awas, walaupun mereka sudah
dibantu dengan alat bantu visual, dan menyebabkan mereka memerlukan energi dan waktu
yang banyak untuk mengerjakan tugas- tugas visual (Ratnasari, 2015).
Definisi Tunanetra menurut Kaufman & Hallohan adalah individu yang memiliki
lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi
memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan maka
proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra
pendengaran.

Harley (1973) mengemukakan defenisi pendidikan tunanetra yaitu peserta didik yang
buta secara total atau yang mempunyai kelainan penglihatan berat (severe visual impairment)
harus diberikan pengajaran membaca dengan menggunakan huruf Braille.

Hurlock dalam Dadan Rachmayana (2013:35) mengemukakakan: Kecacatan yang


diderita anak mempunyai sebab yang cukup banyak, antara lain faktor keturunan, lingkungan
pralahir yang tidak menguntungkan atau kerusakan tertentu pada proses kelahiran dan ada
pula yang disebabkan oleh kecelakaan atau penyakit.

Menurut Yulianti (2019), Anak tunanetra dibagi menjadi dua bagian yaitu buta total
dan kerusakan sebagian atau low vision, seorang anak dikatakan buta total jika anak tidak
dapat melihat sama sekali karena tidak adanya cahaya yang masuk kedalam mata, sedangkan
seorang anak dikatakan low vision jika anak masih bisa melihat atau masih mempunyai sisa
penglihatan walaupun hanya sedikit karena cahaya dapat masuk ke dalam matanya,
penglihatan anak low vision dapat dibantu dengan menggunakan alat khusus seperti kaca
pembesar. Dengan tidak berfungsinya penglihatan dengan baik menyebabkan keterbatasan
kepada anak tunanetra seperti keterbatasan dalam memperoleh keanekaragaman pengalaman,
mengenal lingkungan, berpindah tempat, dan berinetraksi dengan lingkungan.

Karakteristik Khas Tunanetra a) Secara fisik diantaranya; mata merah, mata berair,
juling, ukuran pupil tidak seperti biasanya, kelopak mata tertutup, nystagmus (gerakan bola
mata yang tidak teratur dan terkontrol) b) Sering menggosok-gosok mata ketika melakukan
suatu pekerjaan yang memerlukan penglihatan dalam jarak dekat c) Memejamkan/ menutup
sebelah mata atau mendongakkan kepala kearah depan apabila dia mengalami kesulitan
dalam melihat suatu objek d) Gerakan wajah yang tidak biasa e) Tidak mampu mengambil
dan meletakkan benda kecil pada suatu tempat dengan baik f) Mengalami kesulitan melihat
dalam suatu tempat.

Keterbatasan yang dimiliki oleh penyandang tunanetra dapat diminimalisir dengan


cara mengoptimalkan indera lain yang masih berfungsi seperti pendengaran, perabaan,
penciuman, dan pengecapan dan juga memberikan layanan pendidikan yang tepat bagi anak
tunanetra, seperti memasukkan anak tunanetra kesekolah khusus atau disebut juga sekolah
luar biasa (SLB). Tetapi perlu kita ketahui, salah satu hambatan yang dialami anak tunanetra
yaitu berpindah dari sebuah tempat ketempat lainnya, sehingga untuk meminimalkan
keterbatasan tersebut, anak tunanetra harus diberikan layanan pendidikan berupa
pembelajaran mengenai orientasi dan mobilitas.

Pada survey yang telah dilakukan oleh Hatton, Bailey, Burchinal, dan Ferrell (1997)
menyatakan bahwa seseorang yang memiliki keterbatasan dalam indera penglihatannya
cenderung mengalami hambatan dalam perkembangannya. Sependapat dengan survey
tersebut, Campbell (2006) juga menyatakan hal yang serupa. Beberapa faktor yang
mempengaruhi hal tersebut adalah: penyebab kebutaan, usia memperoleh kebutaan,
lingkungan, serta adanya disabilitas lain yang dimilikinya (Lechelt dan Hall, 1999). Menurut
Dick dan Kubiak (1997) perkembangan konseptual seorang tunanetra sangat bergantung pada
tingkat kebutaan serta usia memperoleh kebutaan. Sebagai contoh, seorang tunanetra yang
memperoleh kebutaan tidak sejak lahir akan memperoleh pengalaman melihat yang dapat
membantu mereka dalam memahami konsep baru, sedangkan siswa tunanetra yang
mengalami kebutaan sejak lahir akan sangat bergantung pada indera perabaan mereka
(Warren dan Rossano, 1991).

2. Pendidikan Inklusif
Semua anak berhak mendapatkan pendidikan sebagaimana diatur dalam UU. No. 23
Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Salah satunya
adalah bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
perkembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
Menurut Susanti (2018), di perguruan tinggi, pembelajaran bagi penyandang
tunanetra berbeda dengan mahasiswa dalam kondisi normal. Perbedaan itu dapat dilihat dari
segi; kebutuhan pendidikannya, dan cara yang dilakukan untuk membantu agar mereka
berhasil dalam proses pendidikan tersebut. Dilain hal, dosen-dosen di lembaga ini tidak diberi
persiapan khusus untuk melaksanakan pendidikan bagi penyandang tunanetra. Tetapi
walaupun mereka mengalami keterbatasan pada penglihatannya, diantara mereka ada juga
yang memiliki prestasi dalam belajar dan juga dibidang lainnya, yang menonjol dibandingkan
dengan mahasiswa-mahasiswa dengan kondisi fisik yang normal.
Pendidikan merupakan sistem pengubahan karakter seseorang yang betujuan untuk
mendewasakan dan merupakan suatu proses yang sadar akan tujuan. Pendidikan pada
dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan potensi sumber daya manusia
terutama peserta didik yang dilakukan dengan cara membimbing dan memfasilitasi kegiatan
belajar mereka (Astalini, 2018).

Bagi penyandang disabilitasi seperti tunanetra, terdapat suatu pendidikan khusus yang
disebut pendidikan inklusif. Pendidikan Inklusi merupakan suatu komitmen untuk melibatkan
siswa-siswa yang memiliki hambatan dalam setiap tingkat pendidikan mereka yang
memungkinkan, ini berarti penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam
kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri (visi-misi) sekolah, (Smith J. David,
2012:45).

Menurut Rachmayana (2013:91), pendidikan inklusif tidak hanya dilaksanakan


disekolah formal, tetapi juga dilembaga pendidikan dan tempat lain. Pendidikan inklusif
adalah pendidikan yang menghargai semua perbedaan peserta didik. Pendidikan yang
memberikan pelayanan kepada semua peserta didik tidak terkecuali. Pendidikan yang
memberikan pelayanan terhadap semua peserta didik tanpa memandang kondisi fisik, mental,
intelektual, sosial, emosi, ekonomi, jenis kelamin, suku, budaya, tempat tinggal, bahasa dan
sebagainya.

Tujuan pendidikan inklusif adalah memberikan intervensi bagi anak berkebutuhan


khusus sedini mungkin. Di antara tujuannya adalah: (1) Untuk meminimalkan keterbatasan
kondisi pertumbuhan dan perkembangan anak dan untuk memaksimalkan kesempatan anak
terlibat dalam aktivitas yang normal. (2) Jika memungkinkan untuk mencengah terjadinya
kondisi yang lebih parah dalam ketidak teraturan perkembangan sehingga menjadi anak yang
tidak berkemampuan. (3) Untuk mencengah berkembangnya keterbatasan kemampuan
lainnya sebagai hasil yang diakibatkan oleh ketidakmampuan utamanya (Yusraini, 2013).

Susanti (2018), menyebutkan teknik dan konsep pendidikan inklusi yaitu: 1)


Kerjasama dan pembelajaran kolaboratif (cooperatitive and collaborative learning) 2)
Tutorial teman sebaya (Peer tutoring). Selanjutnya Schultz (1994) dalam Smith J. David
(2012:398) telah menemukakan 10 kategori utama kesiapan yang merupakan prasyarat bagi
sekolah yang lebih ramah dan inklusif: 1) Sikap (Attitudes), 2) Persahabatan (Relationship), 3)
Dukungan bagi peserta didik (Support for Students), 4) Dukungan untuk pendidik (Support
for teacher), 5) Kepemimpinan Administratif (Administrative Leadership), 6) Kurikulum
(Curriculum), 7) Penilaian (Assesment), 8) Program dan Evaluasi Staff (Program and Staff
Evaluation), 9) Keterlibatan Orang tua (Parental Involvement), 10) Keterlibatan Masyarakat
(Community Involvement)

Adapun model sekolah inklusi yang dapat dilakukan di Indonesia adalah (1) Kelas
Reguler (Inklusi Penuh) yaitu Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak normal
sepanjang hari di kelas regular dengan menggunakan kurikulum yang sama. (2) Kelas regular
dengan Cluster yaitu Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak normal di kelas regular
dalam kelompok khusus. (3) Kelas Reguler dengan Pull Out, yaitu Anak berkebutuhan
khusus belajar bersama anak normal di kelas regular namun dalam waktu-waktu tertentu
ditarik dari kelas regular ke ruang lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. (4)
Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out, yaitu Anak berkebutuhan khusus belajar bersama
anak norma di kelas regular dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik
dari kelas regular ke kelas lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. (5) Kelas
Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian, yaitu Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam
kelas khusus pada sekolah regular, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar
bersama anak normal di kelas regular. (6) Kelas Khusus Penuh, yaitu Anak berkebutuhan
khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah regular (Permata, 2018).

Berdasarkan semua definisi di atas, dapat disimpulkan pemerintah Indonesia telah


berusaha mewujudkan pendidikan inklusif yang baik bagi para penyandang disabilitas untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Tentunya konsep dan pemahaman
mengenai pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas terus mengalami perubahan sejalan
dengan dinamika kehidupan masyarakat.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
dengan pendekatan kualitatif. Metode ini dipilih karena data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini berupa kata-kata. Data diperoleh melalui sumber-sumber dari penelitian
terdahulu. Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu metode penelitian
masalah empiris dengan mengikuti serangkaian prosedur yang telah ditentukan sebelumnya.
Jenis studi kasus yang digunakan adalah studi kasus deskriptif.

Pembahasan
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra
dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan mereka yang masih
memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca
tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan
kaca mata (kurang awas / low vision).

Keterbatasan atau bahkan ketidakmampuan seorang tunanetra untuk melihat,


mengakibatkan keterbatasan atau bahkan ketidakmampuan pula dalam menerima
stimulus/informasi melalui indera penglihatan (mata). Oleh karena itu, diperlukan peran alat
indera yang lain untuk menggantikannya. Dalam hal ini indera pendengar (telinga) serta
indera peraba (tangan) menjadi alternatif utama dalam penerimaan stimulus/informasi dari
luar.

Dengan menerima informasi/stimulus dalam bentuk suara, baik yang bersumber dari
objek itu sendiri maupun berasal dari orang lain di sekitar, dapat menambah pengetahuan
bagi seorang tunanetra. Sebagai contoh, seorang tunanetra ingin mengetahui tentang binatang
burung, karena tidak memungkinkan untuk merabanya secara langsung maka mereka dapat
menanyakan kepada orang di sekitar untuk memberikan deskripsi binatang tersebut.
Kemudian, dengan mendengarkan suara burung secara langsung dapat memberikan tambahan
informasi bagi mereka.

Selain pendengaran, indera peraba (tangan) sebagai alternatif lain untuk menerima
informasi dapat membantu seorang tunanetra dalam mendeskripsikan bentuk, berat, ukuran,
suhu, serta letak/posisi suatu benda/objek. Tangan juga berperan sebagai “mata” bagi seorang
tunanetra untuk membaca tulisan yang berbentuk Braille. Selanjutnya, indera-indera yang
lain seperti indera perasa (lidah) dan indera penciuman (hidung) digunakan sebagai
pelengkap informasi yang telah didapat melalui pendengaran (telinga) dan rabaan (tangan).
Kedua indera pendengar dan peraba yaitu telinga dan tangan memberikan kontribusi yang
sangat penting bagi seorang tunanetra dalam penerimaan informasi. Namun tetap saja
keduanya masih memiliki kekurangan. Sebagai contoh, indera pendengaran tidak dapat
menberikan informasi yang kongkrit mengenai kualitas serta warna suatu benda/objek. Selain
itu, informasi berupa suara dapat terdistorsi oleh suara lain disekitar serta bersifat sementara
atau terbatas oleh waktu.

Oleh karenanya diperlukan konsentrasi penuh saat mendengarkan informasi yang di


dapat. Serupa dengan indera pendengar, indera peraba juga memiliki kekurangan. Kelemahan
utama dari rabaan terletak pada aspek ukuran serta posisi/letak suatu objek. Seorang
tunanetra akan merasa kesulitan untuk meraih/menyentuh suatu objek/benda apabila suatu
objek/benda berukuran sangat besar (seperti gajah, pesawat, atau kereta api) atau jika
objek/benda tersebut lerletak di tempat yang cukup jauh (tidak terjangkau).

Sebagaimana anak normal lainnya, anak penyandang disabilitas seperti tunanetra juga
memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang layak. Pendidikan bagi anak tunanetra
dikenal dengan sebutan pendidikan inklusif.

Pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara
Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh
Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk
mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk
diterapkan di Amerika Serikat.

Pada tahun 1991 dimulai nya memperkenalkan sebuah konsep pendidikan inklusif
dengan ditandai adanya pergeseran sebuah model pendidikan untuk anak berkebutuhan
khusus dari segregatif ke integratif. Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia
semakin nyata terjadi terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak pada anak pada
tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang berbuah
hasil deklarasi ’education for all’. Implikasi dari statemen ini mengkaitkan bagi semua
anggota konferensi agar semua anak tanpa terkecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus)
mendapatkan layanana pendidikan secara layak atau memadai.Sebagai tindak lanjut deklarasi
Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang
mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca
statement on inclusive education”.

Sejak di keluarkan undang-undang pendidikan nomor 12 tahun 1954 pendidikan bagi


anak-anak yang memiliki kelaianan pada fisik dan mental sudah sangat terjamin secara
hukum. Jaminan itu diberikan dalam bentuk sekolah bagi anak-anak kebutuhan khusus yang
di akan di lakukan oleh berbagai macam sekolah luar biasa. SLB-A untuk Tuna netra, SLB-B
bagi tuna rungu-wicara, SLB-C untuk tuna grahita, SLB-D untuk tuna daksa, SLB-E untuk
tuna laras, SLB-G untuk tuna ganda.

Jaminan pada pendidikan itu semakin kuat ketika semejak di keluarkan program
pemerintah pada tahun 1984 tentang program wajib belajar selama 6 tahun. Berbagai
program pendukungpun disusun, mulai dari pendirian sekolah baru, paket A, sekolah kecil
hingga sekolah terbuka. Perubahan juga dirasakan oleh sekolah-sekolah luar biasa yang ada,
dengan daya tampung yang terbatas maka pemerintah melebur SLB yang ada menjadi SDLB
(Sekolah Dasar Luar Biasa), SMPLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) dan SMALB (Sekolah
Menengah Atas Luar Biasa).

Keseriusan Pemerintah indonesia tentang hak-hak penyandang disabilitas dalam pada


bidang pendidikan di buktikan di lahirkan atau di buat undang-undang Nomor 20 Tahun 2003.
Yang di dalamnya termasuk hak-hak penyandang disabilitas, yakni dalam Bab IV Pasal 5
ayat 1 dan 2.

Berbagai undang-undang lainnya juga banyak memberikan perlindungan dan


kepastian hukum bagi para penyandang disabilitas, namun baru pada Permendikbud Nomor
70 Tahun 2009 Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memberikan solusi
baru dalam dunia pendidikan. Dimana dalam Permendikbud tersebut ditetapkan tentang
Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Lebih lanjut dikatakan dalam Permendikbud ini
didefenisikan Pendidikan inklusif adalah Sistem penyelenggaraan pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran
dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Lebih lanjut dalam diklasifikasikan peserta didik yang dikategorikan memiliki


kelainan dan menambahkan dengan anak-anak yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa diantaranya: a) Tunanetra; b) Tunarungu; c) Tunawicara; d) Tunagrahita; e)
Tunadaksa; f) Tunalaras; g) Berkesulitan belajar; h) Lamban belajar; i) Autis; j) Memiliki
gangguan motorik; k) Menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat
adiktif lainnya; l) Memiliki kelainan lainnya; dan m) Tunaganda.

Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di sekolah-sekolah biasa memberikan dampak


secara tidak langsung kepada para penyandang disabilitas, dimana keberadaan anak-anak
normal yang berada dilingkunganbelajar mereka dapat melupakan sejenak kekurangan yang
mereka alami. Begitupun sebaliknya, anak-anak normal yang menjadi teman sekelas mereka
menjadi lebih empati, suka menolong, berbagi dan mendahulukan kepentingan teman mereka
yang lebih membutuhkan bantuan daripada ego mereka sendiri. Hal ini susah mereka
dapatkan ketika mereka hanya bergaul dengan sesama anak normal, terkadang tidak mau
mengalah karena mereka sama-sama merasa lebih satu dengan yang lain. Akan tetapi dengan
bergaulnya mereka dengan penyandang disabilitas mereka melihat langsung teori-teori yang
dipaparkan oleh Guru mereka tentang budi pekerti yang harus mereka miliki dalam
kehidupan sehari-hari.

Kesimpulan

Penyelenggaran pendidikan inklusif bagi anak penyandang tunanetra di Indonesia


tergolong baik, dikarenakan pemerintah Indonesia telah mengusahakan semaksimal mungkin
agar terselenggaranya pendidikan bagi penyandang disabilitas seperti tunanetra. Hak
pendidikan bagi penyandang disabilitas di Indonesia pun telah tercantum diberbagai undang-
undang yang artinya Indonesia menjamin pendidikan bagi penyandang disabilitas. Adapun
kekurangan dari penyelenggarannya masih dangat banyak yakni kurangnya tenaga pengajar,
minimnya sarana dan prasarana bagi penyandang tunanetra, dan masih banyak lagi.

Daftar Rujukan

Abdullah, Nandiyah. 2013. Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus, Jurnal Magistra No. 86
Th XXV Desember.
Campbell, J.J. 2006. “Early language experience: learning from young children who are
blind”. Doctoral Dissertation, University of Western Sydney, College of Arts, School
of Psychology. Dick, T. and Kubiak, E. 1997.
Erin, J.N. and Koenig, A.J. 1997. “The Student with a Visual Disability and a Learning
Disability”. Journal of Learning Disabilities. Vol. 30 (3), hal: 309-320.
Fitriyah, Chusniatul & Rahayu, S. A. (2013). Konsep Diri pada Remaja Tunanetra Di
Yayasan Pendidikan Anak Buta ( YPAB ) Surabaya Chusniatul Fitriyah. Jurnal
Penelitian Psikologi, 4(1), 46–60.
Hatton, D.D., Bailey, D.B., Burchinal, M., and Ferrell, K.A. 1997. “Developmental growth
curves of preschool children with vision impairments”. Child Development. Vol. 68
(5), hal: 788-806.
Indriastuti, Faiza. (2015). efektifitas media pembelajaran audio melalui cerita pendidikan
berkarakter untuk tunanetra JENJANG SMP. JRR. 24 (1) : 1-15.
Kebung, Konrad. 2011. Filsafat Ilmu Pengetahuan Jakarta : PT Prestasi Pustakaraya.
Ratnasari, M. N. I. (2015). Penerapan Model Pembelajaran Langsung Untuk Meningkatkan
Orientasi dan Mobilitas Anak Tunanetra Merrynda. Jurnal Pendidikan Khusus
Penerapanmodel, 1–11.
Smart A. (2010). Anak cacat bukan kiamat: metode pembelajaran & terapi untuk anak
berkebutuhan khusus. Yogyakarta: Katahati. (Hal. 37-41).
Yusraini, Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Inklusif, Media Akademika, Vol. 28,
No. 1, Januari 2013, 31.

Anda mungkin juga menyukai