PENDAHULUAN
Akhlak merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Akhlak yang
dibangun baik sejak dini akan membangun kepribadian yang luhur sebagai seorang muslim
sehingga mampu melaksanakan ajaran-ajaran Islam sebagaimana yang telah tertulis dalam Al-
Quran dan Hadits serta yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Di dalam Islam ada tiga
aspek yang menjadi dasar ajaran agama Islam yaitu aqidah, ibadah, dan akhlak. Akhlak sendiri
dibagi menjadi beberapa bagian, ada akhlak pribadi, akhlak dalam berkeluarga, akhlak dalam
bermasyarakat, dan akhlak dalam bernegara. Pernikahan merupakan fitrah manusia sehingga
Islam sangat menganjurkannya karena menikah merupakan gharizah insaniyah (naluri
kemanusiaan). Pernikahan merupakan sarana untuk menegakkan rumah tangga yang Islami,
mencari keturunan yang shalih serta untuk meningkatkan ibadah kepada Allah. Pernikahan
sebagai sarana untuk membangun keluarga yang nantinya hidup dalam masyarakat juga dapat
meningkatkan jalinan tali silaturahmi antar sesama muslim. Membangun keluarga yang damai
dan sejahtera bukanlah hal mudah. Hubungan komunikasi yang baik antara suami dan istri dan
bersikap dewasa dapat membantu ketika terjadi masalah. Salah satu hal yang paling penting
adalah bahwa ketika berumah tangga harus menyadari apa yang menjadi hak dan kewajiban
suami serta apa yang menjadi hak dan kewaiban istri. Sehingga apabila hal tersebut dijalankan
secara seimbang maka kerukunan dalam rumah tangga insyaallah akan selalu terjaga.
3. Apa saja persoalan seputar pernikahan, pacaran, nikah sirih, kawin kontrak, kawin antar
agama?
1.3 Tujuan
1.3 Persoalan Seputar Pernikahan, Pacaran, Tunangan, Nikah Siri, Kawin Kontrak,
Kawin Antar Agama
Pacaran’ bukanlah istilah yang ada dalam khazanah Islam. Maka memang tidak ditemukan
dalil yang bunyinya “janganlah kalian pacaran” atau “pacaran itu haram” atau semisalnya. Dan
dalam kitab para ulama terdahulu pun tidak ada bab mengenai pacaran. Jika kmelihat realita,
tidak bisa dipungkiri bahwa dalam pacaran terdapat hal-hal yang dilarang dalam Islam, yaitu:
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji. Dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al Isra': 32)
As Sa’di menyatakan: “larangan mendekati zina lebih keras dari pada sekedar larangan
berbuat zina, karena larangan mendekati zina juga mencakup seluruh hal yang menjadi
pembuka peluang dan pemicu terjadinya zina” (Tafsir As Sa’di, 457).
Maka ayat ini mencakup jima’(hubungan seks), dan juga semua kegiatan percumbuan,
bermesraan dan kegiatan seksual selain hubungan intim (jima’) yang dilakukan pasangan
yang tidak halal. Memang tidak semua yang berpacaran itu pasti berzina, namun tidak
berlebihan jika kita katakan bahwa pacaran itu termasuk mendekati zina, karena dua orang
sedang yang berkencan atau berpacaran untuk menuju ke zina hanya tinggal selangkah saja.
Dan perlu diketahui juga bahwa ada zina secara maknawi, yang pelakunya memang tidak
dijatuhkan hukuman rajam atau cambuk namun tetap diancam dosa karena merupakan
pengantar menuju zina hakiki. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ا بن# ا اللس## وزن، ر#ظ ه##ا العي بن الن## فزن، أدرك ذلك ل محال سة، ا##ه من الزن#على اب بن آد سم حظن
ه أو يكذب هه إن الل سه كتب# والفر هج يصدقه ذلك كلن، والنف هس تمنى وتشتهي، “المنطقه
sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari
perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah
penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan
dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya” (HR. Al
Bukhari 6243).
Hadits ini jelas melarang menyentuh wanita yang bukan mahram secara mutlak, baik dengan
syahwat maupun tanpa syahwat. Maka kegiatan bergandengan tangan, merangkul, membelai,
wanita yang bukan mahram adalah haram hukumnya. Kegiatan-kegiatan ini pada umumnya
dilakukan oleh orang yang berpacaran.
Lelaki mukmin dan wanita mukminah diperintahkan oleh Allah untuk saling menundukkan
pandangan, maka jika sengaja saling memandang malah menyelisihi 180 derajat perintah
Allah tersebut. Allah Ta’ala berfirman. Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
Lelaki muslim dilarang memandang wanita yang tidak halal baginya dengan sengaja, baik
dengan atau tanpa syahwat. Jika dengan syahwat atau untuk bernikmat-nikmat maka lebih
terlarang lagi. Adapun jika tidak sengaja maka tidak masalah. Namun yang lebih utama
adalah berusaha menundukkan pandangan sebagaimana diperintahkan dalam ayat.
4. Khulwah
Khulwah maksudnya berdua-duaan antara wanita dan lelaki yang bukan mahram. Para ulama
mengatakan, “yang dimaksud dengan khulwah yang terlarang adalah jika wanita berduaan
dengan lelaki di suatu tempat yang aman dari hadirnya orang ketiga” (Al Mausu’ah Al
Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah). Khulwah haram hukumnya. Nabi SAW bersabda,
Tidak boleh seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani
mahramnya” (HR. Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341).
Wanita muslimah dilarang melembutkan dan merendahkan suaranya di depan lelaki yang
bukan mahram, yang berpotensi menimbulkan sesuatu yang tidak baik di hati lelaki tersebut,
berupa rasa kasmaran atau pun syahwat. Dan bisa jadi hal ini juga termasuk zina dengan lisan
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits. Termasuk juga dalam cara berbicara yang
terdengar menggemaskan, atau dengan intonasi tertentu, atau desahan atau hiasan-hiasan
pembicaraan lain yang berpotensi membuat lelaki yang mendengarkan tergoda, timbul rasa
suka, kasmaran atau timbul syahwat. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa ini terjadi dalam
pacaran. Allah Ta’ala berfirman" قmaka janganlah kamu menundukkan suara dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah
perkataan yang baik” (QS. Al Ahzab: 32)
Sebagaimana dilarang berduaan antara lelaki dengan wanita yang bukan mahram, juga
diharamkan seorang wanita bersafar (bepergian jauh) dengan lelaki yang bukan mahram
tanpa ditemani mahramnya. Rasulullah SAW bersabda “دseorang wanita tidak boleh bersafar
tiga hari kecuali bersama mahramnya” (HR. Bukhari 1086, Muslim 1338)
7. Penyakit Al ‘Isyq
Dari semua hal yang di atas yang tidak kalah berbahaya dan bersifat destruktif dari pacaran
adalah penyakit al isyq. Makna al isyq dalam Al Qamus Al Muhith adalah kekaguman
seorang pecinta pada orang yang dicintainya, atau terlalu berlebihan dalam mencinta,
terkadang (kekaguman itu) pada kehormatan atau pada kemolekan, atau menjadi buta
terhadap aib-aibnya, atau timbulnya kegelisahan yang timbul dalam jiwanya yang memenuhi
pikirannya dengan gambaran-gambaran indah (tentang yang dicintainya)”. Singkat kata, al
‘isqy adalah mabuk asmara; kasmaran; kesengsem (dalam bahasa Jawa) Al Isyq adalah
penyakit, bahkan penyakit yang berbahaya. Ibnul Qayyim mengatakan: “ini (al isyq) adalah
salah satu penyakit hati, penyakit ini berbeda dengan penyakit pada umumnya dari segi dzat,
sebab dan obatnya. Jika penyakit ini sudah menjangkiti dan masuk di hati, sulit mencari
obatnya dari para tabib dan sakitnya terasa berat bagi orang yang terjangkiti” (At Thibbun
Nabawi, 199). Orang yang terjangkit al ‘isyq juga biasanya senantiasa membayangkan dan
mengidam-idamkan pujaannya, padahal ini merupakan zina hati sebagaimana disebutkan
dalam hadits. Dari al isyq ini akan timbul perbuatan-perbuatan buruk lain yang bahkan bisa
lebih parah dari poin-poin yang disebutkan di atas.
Di zaman sekarang ini tidak asing lagi bagi kita bila mendengar istilah Tunangan. Dapat
dikatakan tunangan saat ini merupakan sebuah lifestyle dalam menjalin hubungan sebelum
melangkah ke pintu pernikahan. Tunangan dianggap sebagai suatu pengikat bagi kedua
pasangan tersebut, sehingga dinilai sangat penting dilaksanakan sebelum melaksanakan
pernikahan itu sendiri. Namun sebenarnya apakah makna tunangan dalam ajaran islam itu
sendiri? apakah tunangan diperbolehkan dalam islam? istilah tunangan tidak dikenal dalam
syariah islam. tetapi syariah islam yang hampir mirip dengan tunangan ini adalah khitbah, yang
artinya meminang. Tetapi tetap saja tunang dan khitbah tidak bisa disamakan. Dalam
perkembangan zaman sekarang ini banyak yang berpikir bahwa tunangan itu dianggap bahwa
sepasang calon suami istri telah melakukan setengah menikah. Sehingga seakan ada hukum
tidak tertulis bahwa orang yang sudah bertunangan boleh berduaan layaknya suami-istri.
Tunangan itu sendiri mengharuskan kedua pasangan untuk saling memakaikan cincin tunangan
sebagai tanda ikatan. Tunangan yang disebut juga dengan istilah tukar cincin. Tukar cincin yang
dilaksanakan sebenarnya hanyalah tukar cincin biasa, namun tidak jarang diiringi suatu
kepercayaan sebagaimana diyakini oleh sebagian orang dengan menuliskan nama pasangan nya
masing-masing dengan keyakinan bahwa hal tersebut akan bisa mempererat tali ikatan antara
keduanya. Dalam keadaan seperti ini, hukum memakai cincin tunangan adalah haram, karena
berhubungan dengan keyakinan yang salah tersebut, selain itu juga tidak diperbolehkan bagi
laki-laki untuk memakaikan cincin tersebut kepada tunangannya karena belum halal menjadi
istri nya.
Sedangkan menurut Syari’at, Khitbah tersebut tidak menuntut hal demikian, bahkan saling
memakaikan cincin yang tentunya di antara kedua pasangan tersebut memegang tangan
pasangannya adalah sesuatu yang dilarang Syari’at, karena diantara keduanya belum sah dalam
sebuah ikatan pernikahan. Dan laki-laki yang mengkhitbah seorang perempuan hanya
diperbolehkan melihat dua anggota dari seorang perempuan yang dikhitbahnya, yaitu muka dan
kedua telapak tangan saja. Sedangkan khitbah itu sendiri adalah ajuan lamaran dari pihak calon
suami kepada wali calon istri yang tujuan nya mengajak berumah tangga. Khitbah itu sendiri
harus dijawab iya atau tidak. bila dijawab ia, maka jadilah wanita tersebut sebagai makhtubah
atau wanita yang telah resmi dilamar. Secara hukum dia tidak diperbolehkan menerima lamaran
dari lelaki lain, namun hubungan kedua calon pasangan suami-istri ini masih lah tetap seperti
orang asing yang diharamkan berduaan dan sejenisnya.
Nikah siri (dikenal juga nikah di bawah tangan), ada dua pengertian yang terkait dengan
istilah ini. Pertama, nikah sirri yang didefinisikan dalam fiqh, yakni nikah yang dirahasiakan dan
hanya diketahui oleh pihak yang terkait dengan akad. Pada akad ini dua saksi, wali dan kedua
mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak seorangpun dari mereka
diperbolehkan menceritakan akad tersebut kepada orang lain. (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh,
juz VII, 81). Kedua, nikah sirri yang dipersepsikan masyarakat, yakni pernikahan yang tidak
dicatatkan secara resmi ke KUA. Masyarakat menganggap bahwa pernikahan yang dilaksanakan
walaupun tidak dirahasiakan, tetap dikatakan nikah sirri selama belum didaftarkan secara resmi
ke KUA.
Mengenai hukum pernikahan yang dirahasiakan, Imam Malik menyatakan pernikahan
tersebut batal, sebab pernikahan itu wajib diumumkan kepada masyarakat luas. Sedangkan
pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah menyatakan nikah sirri hukumnya sah, tapi
makruh dilakukan. (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz VII, hal 71, Bidayatul Mujtahid, juz II,
hal 15 ). Dari pendapat ulama ini, tampak ada “keberatan” dari para ulama terhadap nikah sirri.
Mengingat pada prinsipnya, Rasulullah SAW tidak setuju dengan pernikahan jenis ini. Karena
Nabi Muhammad shallallahu SAW sangat menganjurkan untuk mengumumkan pernikahan
kepada masyarakat luas. Di samping sebagai pemberitahuan atas berlangsungnya pernikahan,
juga terkandung maksud agar masyarakat menjadi “saksi” atas adanya ikatan antara dua insan
tersebut. Masyarakat menjadi tahu bahwa sepasang insan itu telah terikat dalam perkawinan
yang sah dengan segala konsekuensinya. Jika ada pihak yang melanggar komitmen pernikahan,
minimal masyarakat dapat memberikan “sanksi moral” kepada pihak yang melanggar.
Sedangkan hukum nikah yang tidak dicatatkan ke KUA, walaupun tetap dianggap sah menurut
agama karena telah memenuhi syarat dan rukun nikah, namun perkawinan di bawah tangan ini
masih menyisakan beberapa persoalan, setidaknya orang tersebut dianggap telah berdosa karena
mengabaikan perintah al-Qur’an untuk mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah
(ulil amri), sebagaimana firman Allah SWT:
“Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu sekalian kepada Allah SWT dan patuhlah
kamu kepada Rasul dan ulul amri di antara kamu” (al-Nisa’, 4: 59)
Di sisi lain, perkawinan semacam ini mengandung risiko yang besar dan sangat
merugikan, terutama bagi pihak perempuan yang tidak dapat berbuat apa-apa, ketika terjadi
perselisihan dalam biduk rumah tangga. Ada banyak kasus di mana seorang perempuan
diterlantarkan suaminya akibat nikah sirri, tanpa tahu harus ke mana ia mencari perlindungan. Ia
tidak dapat menuntut secara hukum di Pengadilan Agama, sebab tidak memiliki surat bukti
pernikahan. Karena itu, demi kebaikan (mashlahah) bersama, terutama kaum perempuan, tradisi
nikah sirri dengan dua pengertian di atas yang biasa dilakukan di tengah masyarakat tidak
sejalan dengan tuntunan pernikahan menurut agama sebab berpotensi menimbulkan banyak
mafsadah (dampak negatif), terutama bagi perempuan.
A. Dalil Al-Qur'an:
1. QS. Al-Mu'minun: 5-7:
"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka, atau
hamba-hamba sahaya yang mereka miliki; maka mereka tidak tercela. Tetapi barang siapa
mencari di balik itu (zina dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas." Wanita yang dikawini dengan cara kontrak bukanlah isteri yang sah.
Dalam hubungan suami isteri yang sah ada hak saling mewarisi, berlaku ketentuan talak
yang tiga jika dibutuhkan, demikian juga 'iddah ketika terjadi talak. Sementara dalam
kawin kontrak itu tidak berlaku.
2. (QS. An-NIsa': 25)
"Dan barangsiapa di antara kamu yang tidak mempunyai biaya untuk mengawini wanita
merdeka yang beriman, maka (dihalalkan mengawini wanita) hamba sahaya yang beriman
yang kamu miliki… (hingga firman Allah:) Yang demikian itu (kebolehan mengawini
budak) adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari
perbuatan zina). Dan jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang". Jika kawin kontrak boleh, tentu Allah SWT akan menjadikannya
sebagai sebuah solusi bagi mereka yang tidak mampu dan takut terhadap perbuatan zina.
B. Dalil Hadits:
1. Rasulullah Saw bersabda: "Wahai manusia, dulu aku mengizinkan kalian untuk kawin
melakukan kawin kontrak. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari
kiamat… (HR. Muslim).
2. Ali bin Abi Thalib berkata kepada Ibnu Abbas: " Pada saat perang Khaibar, Rasulullah
Saw melarang nikah kontrak (mut'ah) dan (juga melarang) memakan daging himar yang
jinak." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dilarangnya kawin kontrak tidak terlepas dari dampak buruknya yang jauh dari kemaslahatan
ummat manusia, di antaranya:
1. Penyia-nyiaaan anak. Kehidupannya yang tidak mengenal ayah membuatnya jauh dari
tanggung jawab pendidikan orangtua, asing dalam pergaulan, sementara mentalnya
terbelakang. Keadaannya akan lebih parah jika anak tersebut perempuan.
2. Kemungkinan terjadinya nikah haram. Minimnya interaksi antara keluarga dalam kawin
kontrak apalagi setelah perceraian, membuka jalan terjadinya perkawinan antara sesama
anak seayah yang berlainan ibu, atau bahkan perkawinan anak dengan ayahnya. Sebab
tidak ada saling kenal di antara mereka.
3. Menyulitkan proses pembagian harta warisan. Ayah anak hasil kawin kontrak lebih-lebih
yang saling berjauhan sudah biasanya sulit untuk saling mengenal. Penentuan dan
pembagian harta warisan tentu tidak mungkin dilakukan sebelum jumlah ahli waris dapat
dipastikan.
4. Pencampuradukan nasab lebih-lebih dalam kawin kontrak bergilir. Sebab disini sulit
memastikan siapa ayah dari anak yang akan lahir. Setelah melihat sumber dari Al-Qur'an
dan Hadits serta sudut pandang maslahat dan mudrat kawin kontrak, dapat kita simpulkan
bahwa kawin kontrak tidak diperbolehkan di dalam ajaran agama Islam.
1.3.4 Nikah Beda Agama Menurut Pandanagan Islam
Di dalam Agama Islam terdapat beberapa masalah-masalah yang telah sah keberadaan
hukumnya. Dalil-dalil yang berkenaan dengan hukumnya pun qath’I atau pasti. Akan tetapi
dalam Islam juga terdapat masalah-masalah yang belum mendapat kesepakatan. Para ulama
masih berbeda pendapat karena di dalam Al-Quran dan Hadist tidak ada keterangan yang cukup
jelas tentang status hukumnya. Masalah-masalah yang diperselisihkan dalam hukum Islam
disebut masalah Khilafiyah. Pernikahan beda agama merupakan masalah Khilafiyah dalam
Agama Islam. Para ulama masih mempersoalkan kebolehan nikah beda agama. Hal ini timbul
karena dalil-dalil agama Islam yang menjelaskan pernikahan beda agama masih memerlukan
pemahaman yang lebih mendalam.
BAB III
KESIMPULAN
Islam merupakan agama yang mencakup semua sisi kehidupan dan juga sebagai
pedoman hidup dalam berkehidupan. Di dalam islam terdapat 3 (tiga) aspek dasar ajaran islam
yaitu akidah, ibadah, dan akhlak yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Akhlak dibagi menjadi beberapa bagian yang salah satunya adalah akhlak dalam berkeluarga
yang begitu luas penjabarannya. Demikianlah ajaran islam dalam perwujudan akhlak dalam
berkeluarga. Islam memandang bahwa pernikahan sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan
tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemayarakatan berdasarkan Islam yang
akan mempunyai pengaruh mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi ummat Islam.
Betapa sempurnanya Islam dalam menuntun umat disetiap langkah amalannya dengan tuntunan
yang baik agar selamat dalam kehidupan dunia dan akhiratnya.
DAFTAR PUSTAKA