Dosen Pengampu :
Dra. Jufrida, M.Si.
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat serta hidayahNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pemanfaatan Radioisotop dalam
Bidang Oseanografi” tepat pada waktu yang telah ditentukan. Makalah ini dibuat dalam
rangka memenuhi tugas mata kuliah Fisika Atom dan Inti.
Terimakasih kepada ibu Dra. Jufrida, M.Si. selaku dosen pengampu mata kuliah
Fisika Atom dan Inti. Serta terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis
dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini,
baik itu dalam segi materi maupun penulisan, oleh karena itu penulis akan sangat
menghargai kritikan dan saran untuk mebangun makalah ini lebih baik lagi. Terakhir semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
Cover......................................................................................................... i
Kata pengantar .......................................................................................... ii
Daftar isi..................................................................................................iii
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Laut merupakan tempat terjadinya lintas bidang keilmuan, seperti kimia, fisika,
biologi, dan geologi sehingga untuk mempelajari osenografi dengan baik maka kita juga
harus memahami proses-proses lain yang saling terkait satu sama lain. Laut tekah
menjadi sumber kehidupan bagi manusia sejak zaman dahulu kala karena ikan yang ada
dilautan menjadi salah satu sumber makanan bagi nelayan.
Berbagai jenis makhluk hidup beserta kehidupannya dapat kita temui di alam ini,
salah satunya dilautan. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa setiap makhluk hidup
terdiri atas berbagai macam sel, dan jaringan yang tersusun oleh atom-atom karbon,
hidrogen, oksigen, kalsium, magnesium, besi, dan unsur lainnya (Yahya, 2004). Setiap
atom terdiri dari sebuah inti yang mengandung proton dan neutron serta lapisan luar
yang terdiri dari elektron yang bergerak mengelilingi inti sebagaimana yang
dikemukakan oleh Rutherford. Jika jumlah proton sama dengan jumlah elektron maka
muatan listrik atom dikatakan netral. Jumlah proton atau elektron membedakan suatu
unsur kimia yang satu dengan yang lainnya (UNSCEAR, 2000).
Sebuah unsur yang identik dapat sedikit berbeda dalam beratnya. Karakteristik
ini dapat menerangkan bahwa atom pada unsur yang sama dapat mempunyai jumlah
neutron yang berbeda dalam intinya. Perbedaan bentuk ini dikenal dengan nama isotop.
Contoh unsur karbon yang mempunyai 3 isotop alamiah yaitu C-12, C-13, C-14. Ketiga
isotop ini mempunyai sifat kimia yang sama karena jumlah protonnya sama tetapi
jumlah neutronnya berbeda, hal inimempengaruhi sifat fisik pada tiap atom. Jika jumlah
neutron sama atau lebih dari jumlah proton maka inti jadi stabil dan disebut isotopstabil.
Bila jumlah neutron lebih sedikit dari jumlah proton, inti akan tidak stabil dan akan
melepaskan energinya yakni berupa radiasi. Isotop dengan inti tidak stabil ini dikenal
dengan nama radioisotop.
Pada tahun 1923 George Hevesy’s, Hans Geiger dan Ernst Rutherford
menggunakan isotop sebagai perunut dalam bidang biologi dengan menggunakan
Thorium untuk mempelajari absorbsi dan lokalisasi unsur Pb di tanaman. Pengembangan
pemakaian isotop sebagai perunut terus berkembang hingga membuka jalan untuk
membuat perunut berinilai secara fisiologi. Pemakaian radioisotop mulai digunakan
dalam bidang Biomedika setelah George Hevesy, Otto Chiewitz, Hardin Jones, Waldo
Cohn dan John Lawrence dengan sukses dalam menggunakan P-32 untuk berbagai
penelitian mengenai metabolisme pada tahun 1936 (IAEA, 1996). Kemudian John
Lawrence menggunakan P-32 untuk penelitian pada penyakit Leukimia.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu radioisotop.
2. Untuk mengetahui apa saja manfaat radioisotop dalam bidang oseanografi.
3. Untuk mengetahui bagaimana peluruhan dan waktu paruh radioisotop
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Radioisotop
Isotop merupakan dua atom yang memiliki jumlah proton yang sama, namun
massanya berbeda. Sedangkan yang dimaksud dengan radioisotop adalah sebuah isotop
yang tidak stabil atau radioaktif dari sebuah unsur yang dapat berubah menjadi unsur
lain dengan memberikan radiasi. Jadi, isotop yang memancarkan radiasi dapat
mengubah unsur menjadi radioisotop dan bentuknya berbeda-beda. Ada yang berupa
padatan atau cairan.
Radioisotop merupakan sumber energi masa depan, terutama melalui reaksi fisi
uranium dan reaksi fusi deuterium pada reaktor nuklir, pesawat antariksa, dan satelit.
Radioisotop adalah isotop radioaktif dari sebuah unsur. Isotop yang berbeda dari satu
unsur yang sama akan memiliki jumlah proton sama, tetapi jumlah neutronnya berbeda,
contohnya adalah isotop karbon C-14. Kombinasi proton dan neutron dari radioisotop
biasanya tidak stabil karena kelebihan energi inti atom (Firdaus, 2017). Jika jumlah
neutron sama atau lebih dari jumlah proton maka inti jadi stabil dan disebut isotopstabil.
Bila jumlah neutron lebih sedikit dari jumlah proton, inti akan tidak stabil dan akan
melepaskan energinya yakni berupa radiasi. Isotop dengan inti tidak stabil ini dikenal
dengan nama radioisotop (Darlina, 2006).
Pada tahun 1923 George Hevesy’s, Hans Geiger dan Ernst Rutherford
menggunakan isotop sebagai perunut dalam bidang biologi dengan menggunakan
Thorium untuk mempelajari absorbsi dan lokalisasi unsur Pb di tanaman. Pengembangan
pemakaian isotop sebagai perunut terus berkembang hingga membuka jalan untuk
membuat perunut berinilai secara fisiologi. Pemakaian radioisotop mulai digunakan
dalam bidang Biomedika setelah George Hevesy, Otto Chiewitz, Hardin Jones, Waldo
Cohn dan John Lawrence dengan sukses dalam menggunakan P-32 untuk berbagai
penelitian mengenai metabolisme pada tahun 1936 (IAEA, 1996). Kemudian John
Lawrence menggunakan P-32 untuk penelitian pada penyakit Leukimia.
Metode perunut (tracer) telah digunakan dalam hampir setiap bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi seperti kedokteran, biologi, kimia, pertanian, fisiologi,
nutrisi, fisika, instrumentasi, farmasi, toksikologi, bioteknologi dan sebagainya.
Aplikasi dalam metode ini adalah melakukan perunutan terhadap objek yang diteliti atau
disebut tracee. Tracee bisa berupa sebuah substan atau komponen dari substan seperti
radikal, molekul, atau atom. Perunut yang ideal harus mempunyai sifat fisika, kimia,
atau biologi sama dengan tracee yang diteliti. Adanya sifat karakteristik tersebut
memungkinkan untuk mendeteksi dalam sistem dimana tracee berada (UNEP, 1985).
Prinsip produksi perunut melibatkan suatu penggantian (substitusi) satu atau lebih
atom- atom dari posisi spesifik dalam molekul tracee dengan sebuah isotop pada atom
tersebut. Isotop stabil maupun isotop radioaktif dapat digunakan sebagai perunut.
Perbedaan massa dari isotop terletak pada perbedaan jumlah neutron, dengan demikian
sifat kimianya tidak berpengaruh. Alamtidak dapat membedakan antara isotop stabil dan
isotop radioaktif pada materi yang sama, keduanya dapat ambil bagian dalam reaksi
kimia pada materi atau unsur yang sama (UNSCEAR, 2000).
Penggunaan pelabelan perunut membutuhkan sebuah asumsi bahwa
tidak akan terjadi perbedaan antara molekul atau atom yang dilabel dengan molekul
yang tidak dilabel danakan merunut posisi atau gerakan pada molekul yang tidak dilabel.
Seperti yang telah diterangkan bahwa berbagai isotop pada sebuah unsur mempunyai
sifat fisik dan kimia yang hampir identik, hanya mempunyai perbedaan massa.
Perbedaan ini yang membuat sebuah isotop dapat dibedakan antara isotop satu dengan
yang lainnya. Pemakaian beberapa isotop untuk mengamati suatu proses evaporasi atau
root- uptake pada tumbuhan, bisa diamati menggunakan unsur-unsur dengan berat
molekul rendah. Radiasi yang dipancarkan oleh radioisotop selama peluruhan dapat
mengionisasi atom-atom disekelilingnya. Sejumlah senyawa akan memancarkan sinar
bila terkena radiasi, intensitas cahaya yang dipancarkan bergantung pada paparan radiasi.
Intensitas cahaya diukur dengan pencacah skintilasi dan pencacah Geiger atau kamar
ionisasi (ICRP, 1990).
Menurut Firdaus (2017), beberapa unsur Radioisotop beserta waktu paruh dan
pemanfaatannya dibidang oseanografi dituliskan pada gambar 2.1. Terlihat bahwa Rn
memiliki waktu paruh sekitar 4 hari dan bisa dimanfaatkan untuk mempelajari
pertukaran gas antara atmosfer dan permukaan laut. Thorium memiliki waktu paruh
yang sangat lama, yaitu 75-200 tahun sehingga bisa dimanfaatkan untuk mempelajari
proses sedimentasi di dasar laut, dan seterusnya.
Gambar 2.2.1 Beberapa unsur radioisotop beserta waktu paruh dan pemanfaatannya
dibidang Oseanografi.
Desintegritas : Peluruhan
Laju peluruhan radionuklida pada umumnya dinyatakan dalam waktu paruh (𝑡1/2). Waktu
paruh dari suatu isotop radioaktif didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan agar
aktivitas radiasi berkurang dari aktivitas semula atau dengan perkataan lain radionuklida
akan kehilangan separuh dari radioaktivitas asalnya. Sebagai contoh digambarkan pada
waktu paruh 32P yang ditunjukan oleh gambar 2.2
32
P waktu paruh = 14.3 hari
Waktu (hari)
Radioisotop adalah sebuah isotop yang tidak stabil atau radioaktif dari sebuah unsur
yang dapat berubah menjadi unsur lain dengan memberikan radiasi. Radioisotop
merupakan sumber energi masa depan, terutama melalui reaksi fisi uranium dan reaksi
fusi deuterium pada reaktor nuklir, pesawat antariksa, dan satelit. Produksi radioisotop
dapat dilakukan manusia dengan cara menembak isotop stabil dengan neutron kedalam
bahan atau target. Penembakan isotop dapat menambah jumlah neutron dalam inti target,
sehingga terbentuklah ketidakstabilan inti atom lalu sifatnya menjadi radioaktif.
Alzahrani, A.S., Bakheet, S., Mandil, M.A., et al. 2001. 123I isotope as a diagnostic
agent in the follow-up ofpatient with differentiated thyroid cancer
comparation with post 131I therapy whole body scannning. J Clin Endocrinol
Metab, 86: 5194–5300.
and for the Safety of Radiation Sources, Safety Series No. 115, IAEA, Vienna
(1996).
Anonim, Radiation : Doses, Effects, Risks, United Nations Environment Programme,
Aslani, A., Snowdon G.M., Bailey, D.L., et al. 2014. Gallium-68 DODATE production
with automated PET radiopharmaceutical synthesis system: a three year
experience. Asia OceanJournal of Nuclear Medicine &Biology, 2: 75–86.
Darlina. (2006). Aplikasi Perunut Isotop dalam Bidang Biomedika. Buletin Alara. 8 (2) :
75-82.
Firdaus, Lutfi. (2017). OSEANOGRAFI. Pendekatan dari Ilmu Kimia, Fisika, Biologi,
dan Geologi. Yogyakarta : LeutikaPrio.
Guo, R., Zhang, M., Xu, Y., et al. 2014. Theranostic studies of human sodium iodide
symporter imaging and therapy using 188Re : a human glioma study in mice.
Plos One, 9: 1–8.
Nurlaila. 2002. Radiofarmaka Peptida untuk diagnosis dan terapi. Maj Kedokt
Indonesia, 57: 265–273.
University Press.
Uccelli, L., Martini, P., Pasquali, M., et al. 2017. Monoclonal antibodies radiolabeling
with Rhenium-188 for radioimmunotherapy. BiomedResearch International:
1–7.
Wurdiyanto, G., Hermawan C., dan Pujadi. 2009. Standardisasi F-18 Menggunakan
Metode SpektrometriGamma. Prosiding Seminar Nasional Sains dan
Teknologi Nuklir PTNBR – BATAN : 227-231.
Zhang, Y., Zhang, Y., Yin, L., et al. 2017. Synthesis and bioevaluation of Iodine-
131 directly labeled cyclic RGD- PEGylated gold nanorods for tumor-
targeted imaging. Contrast Media &Molecular Imaging, 1: 1-10.