Seiring alunan kata Alhamdulillah, segala puji syukur semata-mata hanya untuk Allah
SWT. Yang telah melimpahkan karunia, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga
penulis dapat merampungkan makalah ini. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah
atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW. Pembawa risalah kebenaran bagi seluruh umat
di alam ini.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya makalah ini berkat dorongan dan arahan dan
menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Renie Tri Herdiani, M. Pd
2. Teman-teman mahasiswa yang telah membantu memberikan sumbang saran penulisan
makalah ini.
Terlalu banyak yang penulis peroleh dari mereka. Untuk itu, semoga amal dan kebaikan
Ibu dan rekan-rekan mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis juga menyadari sepenuhnya
bahwa kemampuan yang ada pada penulis sangat tebatas. Untuk itu, dengan segala
kerendahan hati, penulis mohon kepada pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang
membangun demi kebaikan penulisan makalah selanjutnya.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
ii
DAFTAR ISI
JUDUL ........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tuna rungu dan tuna wicara.................................... 3
B. klasifikasi tuna rungu................................................................ 6
C. Karakteristik tuna wicara dan tuna rungu ................................. 9
D. Terapi Terpadu untuk anak tuna rungu.................................... 12
E Perkembangan pendidikan tunarungu dan tuna wicara.............15
F. Peranan orang tua Dalam Pendidikan Anak Tunarungu ..........19
G. Penyebab Terjadinya Tunarungu ......................................................21
H. Cara Pencegahan Terjadinya Tunarungu..........................................22
I. Analisis Kasus....................................................................................23
J. Layanan Yang Diperlukan..................................................................30
K. Implementasi Model Pembelajaran Anak Tunarungu......................32
L. Kurikulum Pendidikan Khusus Anak Tunarungu.............................36
M. Alat Pendidikan Khusus...................................................................39
N. Bimbingan dan Konseling bagi Anak Tunarungu.............................41
A. Latar Belakang
Manusia memiliki tiga sifat penting sifat atau tritunggal yaitu mampu mendengar,
mampu berfikir sebagai manusia, dan mampu bercakap-cakap. Ketiga fungsi itu mempunyai
hubungan yang sangat erat. Fungsi pendengaran tergolong yang paling tua dan
mempengaruhi fungsi berfikir, sedangkan fungsi berfikir itu sendiri melatih dan
mempergunakan fungsi berbicara sebagai alat untuk menyatakan kepada dunia luar apa yang
tersembunyi dalam alam pikirannya.
Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian terpenting dari
perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak. Kehilangan pendengaran yang ringan
atau parsial saja dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk berbicara dan memahami
bahasa. Bagi anak-anak, pendengaran dan kemampuan berbahasa adalah alat yang sangat
penting untuk belajar, bermain dan membangun kemampuan sosial. Anak belajar untuk
berkomunikasi dengan meniru suara yang mereka dengar. Jika mereka memiliki gangguan
pendengaran yang tidak diketahui sebelumnya dan tidak ditangani, informasi untuk
perkembangan bahasa dari lingkungan mereka akan terbuang sia-sia. Hal ini akan
mengakibatkan lambatnya perkembangan kemampuan verbal serta menimbulkan masalah
soaial dan akademik.
Tuna rungu wicara biasanya terjadi yang diawali dengan tuna rungu(gangguan
pendengaran) pada awal anak tersebut lahir, baik dapatan ataupun kongenital. Selanjutnya
tuna rungu ini, anak dengan tuna rungu ini disertai dengangangguan keterbelakangan mental,
gangguan emosional, gangguan bahasa atau bicara(tuna wicara). Gangguan pendengaran
dibedakan antara tuli sebagian (hearing impaired) dan tuli total (deaf). Tuli sebagian (hearing
impaired) adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan
untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar, sedangkan tuli total (deaf)
adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehinggatidak dapat
berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi (amplikasi). Tuna rungu adalah
individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran permanen maupun temporer (tidak
permanen).
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tuna rungu dan tuna wicara?
2. Bagaimana sistem dan implementasi pendidikan tuna wicara dan tuna rungu?
C. Tujuan penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tunarungu dan Tunawicara
Menurut Pernamari Somad dan Tati Herawati (1996, hal. 27) menyatakan bahwa
“Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan
mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya
sebagaian atau seluruh alat pendenganran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat
pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupan
secara kompleks”.
Sedangkan menurut Sardjono (1997, hal. 7) mengatakan bahwa: “Anak tunarungu
adalah anak yang kehilangan pendengaran sebelum belajar bicara atau kehilangan
pendengaran demikian anak sudah mulai belajar bicara karena suatu gangguan pendengaran,
suara dan bahasa seolah-olah hilang”.
Sedangkan sebagian tunawicara adalah mereka yang menderita tuna rungu sejak
bayi/lahir, yang karenanya tidak dapat menangkap pembicaraan orang lain, sehingga tak
mampu mengembangkan kemampuan bicaranya meskipun tak mengalami ganguan pada alat
suaranya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa anak penyandang tunarungu dan tunawicara adalah
anak yang kehilangan kemampuan untuk mendengar baik sebagian maupun seluruhnya yang
mengakibatkan tidak mampu untuk menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupannya
sehari-hari dan juga tidak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya.
Adapun Moh Amin dalam buku Ortopedagogik umum mengemukakan bahwa anak
tuna rungu adalah mereka yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan
mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh
organ pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembanganya sehingga
memerlukan bimbingan pendidikan khusus. (1991: 1).
Ahli lainnya memberikan batasan mengenai tunarungu ditinjau dari segi medis dan
pedagogis sebagai berikut : “Tunarungu berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan
mendengar yang disebabkan oleh kerusakan seluruh alat pendengaran yang mengakibatkan
hambatan dalam perkembangan bahasa sehingga memerlukan bimbingan dan pelayanan
khusus”. ( Salim, 1984 : 8).
Orang tuli adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan untuk mendengar
sehingga tidak dapat mengembangkan, biasanya pada tingkat 70 dB ISO atau lebih besar
sehinga menghalangi untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengaranya sendiri
tanpa mengunakan alat bantu dengar. Seseorang dikatakan kurang mendengar adalah ketidak
mampuan untuk mendengar sehingga tidak dapat mengembangkan, bisanya pada tingkat 35
sampai 69 Db ISO tetapi tidak menghalangi untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui
pendengaranya sendiri tanpa atau menggunakan alat bantu dengar.
Atau dengan menggunakan bahasa lain, bahwa anak tuna rungu adalah anak yang
mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang diakibatkan oleh
kerusakan atau tidak berfungsinya indra pendengaran sehingga mengalami hambatan dalam
perkembanganya. Dengan demikian anak tuna rungu memerlukan pendidikan secara khusus
untuk mencapai kehidupa lahir batin yang layak.
B. Klasifikasi Tunarungu
Ketunarunguan dapat diklasifikasikan berdasarkan empat hal, yaitu tingkat kehilangan
pendengaran, saat terjadinya ketunarunguan, letak gangguan pendengaran secaraanatomis,
serta etiologis.
1. Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran yang diperoleh melalui tes dengan
menggunakan audiometer ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Tunarungu ringan (mild hearing loss)
b) Tunarungu sedang (moderate hearing loss)
c) Tunarungu agak berat (moderately csevere hearing loss)
d) Tunarungu berat (severe hearing loss)
e) Tunarungu berat sekali (profound hearing loss)
2. Berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
a) Ketunarunguan prabahasa (prelingual deafness), yaitu kehilangan pendengaran yang terjadi
sebelum kemampuan bicara da bahsa berkembang.
b) Ketunarunguan pascabahasa (post lingual deafness), yaitu kehilangan pendengaran yang
terjadi beberapa tahun setelah kemampuan bicara dan bahasa berkembang.
6
3. Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis, ketunarunguan dapat
diklasifasikan sebagai berikut.
a) Tunarungu tipe konduktif, yaitu kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh terjadinya
kerusakan pada telinga bagian luar dan tengah, yang berfungsi sebagai alat konduksi atau
pengantar getaran suara menuju telinga bagian dalam.
b) Tunarungu tipe sensorineural, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan
pada telinga dalam serta saraf pendengaran (nervus chochlearis).
c) Tunarungu tipe campuran yang merupakan gabungan tipe konduktif dan sensorineural,
artinya kerusakan terjadi pada telinga luar/tengah dengan telinga dalam/saraf pendengaran.
4. Berdasarkan etiologi atau asal usul ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut.
a) Tunarungu endogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh faktor genetik (keturunan)
b) Tunarungu eksogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh factor nongenetik (bukan
keturunan).
Tuna rungu diklasifikasikan berdasarkan tingkat gangguan pendengaran, yaitu
gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB), gangguan pendengaran ringan(41-55 dB),
gangguan pendengaran sedang(56-70 dB), gangguan pendengaran berat(71-90 dB), gangguan
pendengaran ekstrem/tuli(diatas 91 dB).
Berikut ini diuraikan karakteristik anak tunarungu dilihat dari segi intelegensi, bahasa
dan bicara, emosi serta sosial :
10
11
Keywords: terapi mendengar / terapi dengar, auditory verbal therapy / terapi auditori
verbal, auditory oral therapy, AVT / TAV, terapi wicara, implan koklea / cochlea implant,
alat bantu dengar / ABD, komunikasi, tunarungu.
12
Prinsip Dasar Terapi Ellen (Terapi terpadu = terapi mendengar + terapi wicara) :
1. Mendengar melalui telinga yang dibantu ABD, bukan karena melihat gerakan tangan atau
gerakan mulut.
2. Keterbatasan si anak dalam merespon pembicaraan kita adalah karena belum mengerti
kata/kalimat yang didengar (keterbatasan kosa kata, karena baru mulai mendengar selama 2
tahun), sehingga perlu dibantu dengan gambar/gerakan tangan. Tetapi bantuan inipun sifatnya
hanya sesaat dalam rangka memasok kata baru, setelah kata tersebut dimengerti, bantuan
visual dihilangkan.
3. Karena itu yang penting adalah memasok kosa kata ke telinga Ellen, tanpa menuntut dia
segera/langsung dapat mengerti apalagi mengucapkan. John Tracy Clinic menuliskan: untuk
dapat mengerti suatu kata si anak harus mendengar 100 kali, untuk dapat mengucapkan ia
harus mendengar 1000 kali. Jadi sejak Ellen memakai ABD kami konsentrasi memasok dan
memasok kata ke telinganya (saat bercakap-cakap normal, maupun saat spesifik mengajarkan
kata-kata baru).
4. Teknik berbicara adalah dengan volume suara normal di dekat telinganya. Hal ini bertujuan
agar suluruh konsonan dapat ditangkap. Bicara pada jarak yang lebih jauh dengan suara keras
(berteriak) menyebabkan yang ditangkap hanya vokal saja.
13
5. Kami telah menerapkan point 1-4 selama 1 tahun dan telah terbukti menunjukkan hasil
yang baik. Pada akhir tahun pertama, dia baru memiliki bahasa reseptif (paham beberapa kata
yang kami ucapkan tanpa dia melihat gerak bibir, tapi dia belum bisa mengucapkannya), lalu
setelah itu mulai muncul kata-kata pertamanya (walau pengucapan tidak sempurna, tetapi
konsisten), dan langsung disusul dengan kata-kata berikutnya. Metode ini biasa disebut
teknik auditory verbal.
6. Kendala yang muncul adalah pengucapan yang masih sangat lemah, karena itulah atas saran
John Tracy Clinic kemudian Ellen dibantu terapi wicara (di suatu RS). Terapis wicara
membantu membentuk pengucapan Ellen dengan teknik terapi wicara terhadap kata-kata
yang sudah dimengerti Ellen tetapi belum bagus pengucapannya. Walaupun hanya 4 bulan
(terpaksa quit karena tidak tertampung jadwal baru mereka yang hanya pagi–siang), pola ini
telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Metode auditory verbal + terapi wicara ini
biasa disebut auditory oral. Ini yang kami lanjut-terapkan saat ini (dengan bantuan terapis
wicara di sekolah).
Catatan:
- Penelitian modern menyatakan hampir semua anak tuna rungu masih punya sisa
pendengaran (tidak 100% tuli). Sisa pendengaran ini dapat dioptimalkan dengan bantuan alat
bantu dengar (ABD, walaupun tidak secanggih implan koklea).
14
- Tetapi memakai ABD tidak sama dengan orang memakai kaca mata, yang langsung bisa
melihat dengan lebih jelas. Karena respon atas stimuli visual adalah langsung, sedangkan
respon atas stimuli auditori adalah melalui tahap pemahaman/interpretasi dulu. Untuk
mencapai tahap pemahaman yang penting adalah harus sering mendengar dan mendengar,
dengan pengucapan yang jelas, kalimat pendek, dan jika perlu disertai bantuan visual: gambar
& gerakan tangan (kadang tanpa bantuan akan sulit anak memahami kata-kata baru, mirip
kita nonton film berbahasa asing dimana kita mendengar pemain berbicara cas-cis-cus tanpa
kita menangkap artinya). Tetapi bantuan itu perlahan dihilangkan, sehingga nantinya hanya
akan berkomunikasi secara verbal. (by: mama Ellen, edited by papa Ellen).
E. Perkembangan pendidikan Tunarungu dan Tunawicara
Salah satu literatur tertua mengenai tunarungu dan tunawicara tercatat pada abad
kelima SM, dalam Plato Cratylus, di mana Socrates berkata: "Jika kami tidak memiliki suara
atau lidah, dan ingin mengungkapkan hal-hal yang satu sama lain, tidak akan kami mencoba
untuk membuat tanda-tanda dengan menggerakkan tangan, kepala, dan seluruh tubuh kita,
seperti orang bodoh lakukan saat ini ?” Disini tampak bahwa orang yang disebut Socrates
sebagai orang bodoh adalah sekelompok orang yang tidak bersuara dan tidak berlidah.
Terdapat juga literatur pada abad ke-2 Yudea, rekaman dalam traktat Mishnah Gittin
menyatakan bahwa untuk tujuan transaksi komersial "Seorang tuli-bisu dapat mengadakan
percakapan melalui suatu gerakan tertentu.”
15
Di masa yang lebih modern, yaitu pada tahun 1620, Juan Pablo Bonet menerbitkan
“Reducción de las letras y arte para enseñar a hablar mudos los” (Pengurangan huruf dan
seni untuk mengajar orang bisu untuk berbicara') di Madrid. Sejumlah esai modern pertama
Fonetik dan Logopedia, kemudian menetapkan metode pendidikan oral bagi penyandang
tunarungu dengan cara penggunaan tanda-tanda manual, dalam bentuk alfabet manual untuk
memperbaiki komunikasi dari penyandang tunarungu dan tunawicara. Terinpirasi dari bahasa
tanda-tanda Bonet ini, Charles-Michel de l'Épée kemudian menerbitkan alfabet manualnya di
abad ke-18, yang sampai kini terus bertahan di Perancis dan Amerika Utara. Ini merupakan
masa-masa awal berkembangnya pendidikan khusus penyandang tunarungu dan tunawicara.
Pada 1755, Abbé de l'Épée mendirikan sekolah pertama untuk anak-anak penyandang
tunarungu dan tunawicara di Paris. Salah satu lulusannya yang juga berperan dalam
pengembangan pendidikan ini Laurent Clerc. Clerc melakukan migrasi ke Amerika Serikat
bersama Thomas Hopkins Gallaudet untuk mendirikan Sekolah Amerika untuk Tuli di
Hartford, Connecticut, pada tahun 1817. Perjuangan ini diteruskan oleh Edward Miner
Gallaudet (putra T.H Gallaudet) yang mendirikan sekolah untuk penyandang tunarungu pada
tahun 1857 di Washington, DC. Pada tahun 1864 sekolah ini menjadi National Deaf-Mute
College. Universitas ini kemudian disebut Gallaudet University, dan masih merupakan
universitas seni liberal hanya untuk orang-orang tunarungu dan tunawicara di dunia.
16
17
18
Masa-masa yang paling kritis dalam kehidupan orang tua adalah ketika mereka harus
mengakui bahwa anaknya berkelainan. Keadaan tersebut akan menimbulkan bermacam-
macam reaksi. Beberapa diantaranya akan berusaha menghindarkan diri dari kenyataan ini,
seperti dengan menyembunyikan anak tersebut. Selain itu ada juga yang berhati mulia
menghadapi kenyataan tersebut bahkan sekaligus memikirkan masa depan anaknya yang
berkelainan. Penting untuk disadari bahwa penerimaan yang secepatnya dari orang tua
terhadap anaknya serta membuat rencana untuk masa depan anaknya adalah merupakan suatu
kebajikan untuk kebahagiaan anak itu sendiri maupun bagi orang tua/keluarganya sendiri.
19
Sikap positif yang dituntut dari orang tua adalah sikap menerima sebagaimana adanya
yaitu sikap yang bijaksana yang mencerminkan ketulusan terhadap kehendak ilahi, sehingga
dapat membahagiakan anak tunarungu. Sikap menerima berarti adanya pengakuan terhadap
eksistensi anak tunarungu sebagai mahkluk tuhan dan anggota keluarga yang sederajat dan
berhak memperoleh kasih sayang seperti halnya anak yang lain.
Pendidikan kepada anak tunarungu hendaknya didasarkan pada aspek penerimaan
yang tulus atas kondisi kelainannya. Pendidikan pertama-tama adalah merupakan tanggung
jawab orang tuanya. Pendidikan dan latihan harus diberikan kepada anak tunarungu sedini
mungkin untuk menghindari / mengurangi kemungkinan terjadi kelainan tambahan, seperti
tunawicara atau bisu.
Agar dapat mendidik dan melatih anak tunarungu sebaik-baiknya, orang tua dituntut
memiliki berbagai pengetahuan dan keterampilan antara lain :
- Pengetahuan tentang jenis dan tingkat ketunarunguan
- Pengetahuan tentang karakteristik anak tunarungu
- Pengetahuan tentang cara-cara mendidik anak tunarungu yang meliputi segi-segi teori
maupun praktek.
20
- Pengetahuan tentang cara mamilih, menggunakan, serta merawat alat bantu dengar.
- Pengetahuan dan keterampilan tentang cara berkomunikasi dengan anak tunarungu agar
kemampuan berbicara dan berbahasanya makin berkembang.
G. Penyebab Terjadinya Tunarungu
1) Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar yang dapat disebabkan antara lain oleh:
· tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar (atresia meatus akustikus externus), dan
2) Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah, yang dapat disebabkan antara lain
oleh hal-hal berikut:
· Ruda Paksa, yaitu adanya tekanan/benturan yang keras pada telinga seperti karena jatuh
tabrakan, tertusuk, dan sebagainya.
21
· Otosclerosis, yaitu terjadinya pertumbuhan tulang pada kaki tulang stapes.
· Tympanisclerosis, yaitu adanya lapisan kalsium/zat kapur pada gendang dengar (membran
timpani) dan tulang pendengaran.
· Anomali congenital dari tulang pendengaran atau tidak terbentuknya tulang pendengaran
yang dibawa sejak lahir.
· Disfungsi tuba eustaschius (saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan
rongga mulut), akibat alergi atau tumor pada nasopharynx.
1) Pada saat sebelum nikah (pra nikah) antara lain: menghindari pernikahan sedarah atau
pernikahan dengan saudara dekat; melakukan pemeriksaan darah; dan melakukan konseling
genetika.
22
2) Upaya yang dapat dilakukan pada waktu hamil,antara lain: menjaga kesehatan dan
memeriksakan kehamilan secara teratur; mengkonsumsi gizi yang baik/seimbang; tidak
meminum obat sembarangan; dan melakukan imunisasi tetanus.
3) Upaya yang dapat dilakukan pada saat melahirkan, antara lain: tidak menggunakan alat
penyedot dan apabila Ibu tersebut terkena virus herpes simplek pada daerah vaginanya,maka
kelahiran harus melalui operasi caesar.
4) Upaya yang dapat dilakukan pada masa setelah lahir antara lain: melakukan imunisasi dasar
serta imunisasi rubela yang sangat penting, terutama bagi wanita; mencegah sakit influenza
yang terlalu lama (terutama pada anak); dan menjaga telinga dari kebisingan.
I. Analisis Kasus
Kasus 1
Cerita Shafa: Tuna Rungu Jangan Menjadi Hambatan
Shafa, adalah seorang anak yang merupakan inspirator untuk anak-anak lain agar tidak
menyerah dengan ke”tidak normal”an pada pendengaran. Berikut merupakan penuturannya.
23
Namaku Shafa Husnul Khatimah, aku lahir di Bandung tanggal 20 Juni 1991. Aku
adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Aku dilahirkan dengan keadaan normal, aku cucu
pertama dari keluarga ibuku, aku sangat disayang dan diperhatikan oleh keluarga besar ibuku.
Ibu dan keluargaku bercerita bahwa aku adalah anak yang sangat lucu dan menggemaskan.
Ketika aku bayi sampai usiaku 20 bulan tidak ada yang dikhawatirkan terhadap diriku sebab
aku tumbuh dengan sangat wajar, namun pamanku sedikit takut dengan pendengaranku,
karena setiap mereka memanggil namaku, tak penah sekalipun aku menoleh, sehingga
pamanku menyarankan kepada ibuku untuk memeriksakan pendengaranku, ketika itu ibuku
marah besar karena menurut beliau tidak ada masalah dengan pendengaranku. Namun
akhirnya ibuku ikut juga saran paman untuk memeriksakan pendengaranku.
Aku diperiksa oleh dokter THT namun dokter tidak yakin apakah aku tuli atau tidak,
untuk meyakinkan apakah aku punya masalah pada pendengaranku akhirnya aku periksa
BERA (test pendengaran dengan peralatan computer). Setelah selesai pemeriksaan dan
mendapatkan hasilnya betapa terkejutnya keluargaku karena dokter menyatakan bahwa aku
termasuk anak tuna rungu berat, ini semua dilihat dari hasil tes BERA yang menunjukkan
bahwa untuk telinga kanan tidak tembus ambang 110 Db (Decibel) - kekerasan suara yang
terdengar diatas 110 Db - , dan telinga kiri mencapai 110 db.
24
Setelah mendapatkan hasil tes BERA tersebut keluarga besarku mencari solusi untuk
pengobatanku baik melalui dokter sampai ke alternatif, karena mereka beranggapan bahwa
kita harus berusaha dan berdoa semaksimal mungkin karena Allah akan memberikan hasil
sesuai dengan usaha dan doa kita.
Saat aku memasuki bangku sekolah, aku masuk TK umum di Cimahi ketika usiaku 4
tahun. Aku belum bisa bicara seperti teman-teman yang lain, namun aku tidak berkecil hati
sebab aku terus belajar dan mengikuti terapi bicara, namun orang tuaku kasihan melihatku
yang sering kali dibicarakan oleh teman-temanku. Akhirnya aku dipindahkan ke sekolah
khusus anak tuna rungu di Jakarta. Padahal ketika itu banyak sekali hal-hal yang dikorbankan
termasuk karir ayahku dimana ayahku harus cari kerja baru di Jakarta, padahal karir ayahku
saat itu cukup bagus, namun demi aku mereka rela memulai dari awal lagi. Di samping itu
juga aku sangat sedih harus berpisah dengan ibu Dewi Tirtatawati, beliau adalah salah satu
orang yang sangat berharga bagiku, karena tanpa beliau aku belum tentu bisa berbicara
seperti sekarang ini. Ibu Dewi adalah guru terapi bicaraku, dia sangat sabar dan sayang
kepadaku, aku terapi setiap hari dari hari Senin sampai Jum’at, di rumah sakit Hasan Sadikin
Bandung.
Ketika kami pindah ke Jakarta aku dimasukkan ke sekolah SLB-B Santi Rama,
namun aku hanya bisa sekolah di sana 2 minggu sebab ibuku melihat aku tidak cocok sekolah
di sana. Akhirnya aku dipindahkan lagi ke TK umum Mutiara Indonesia cabang Kayu
Putih,selama 2 tahun.
25
Alhamdulilah ketika aku bersekolah di sana aku punya banyak teman, karena mereka
sangat peduli dan mau berteman denganku, walaupun aku belum lancar bicara tapi mereka
mau mengerti dan memahamiku. Setelah itu aku pindah lagi ke Cimahi untuk masuk SD. Di
Cimahi aku masuk sekolah SD umum yaitu SDN 2 Cimahi. Aku masuk SD berumur 7 tahun.
Alhamdulillah aku bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan bicaraku pun semakin baik juga
sebab aku tetap terapi bicara terus sampai usiaku 7 tahun.
Ketika aku baru masuk SD sampai kelas 4 aku sering dihina teman-temanku, mereka
bilang aku si kuping robot sebab di telingaku ada alat bantu dengar, tapi aku tak
menghiraukan mereka yang penting aku tidak merugikan mereka dan tidak membalasnya.
Alhamdulillah setelah kelas 5 teman-temanku tidak lagi menghinaku. Aku di sekolah tidak
minder. Aku berpikir, aku seperti ini adalah kehendak Allah. Aku, orang tuaku dan keluarga
besarku tidak ingin aku dikasihani, sehingga aku diperlakukan sama seperti yang lain. Aku di
sekolah memang tidak dapat ranking 5 besar tapi nilaiku cukup bagus terbukti dengan nilai
UPMPku sehingga aku bisa masuk SMPN 1 Cimahi.yang menurut orang-orang SMPN
favorit yang sangat bagus dan berat untuk bisa masuk ke sana.
Ketika aku duduk di kelas 1 SMP, aku memutuskan untuk menggunakan kerudung.
Alhamdulillah aku punya banyak teman. Teman-temanku tidak menyangka kalau aku adalah
anak tuna rungu, bahkan guru-guru juga. Ibuku selalu bercerita kepada guru-guru BP,
padahal aku tidak ada masalah dengan pelajaran di sekolah, kecuali setiap ada pelajaran
mendengar (listening), aku sangat susah untuk mengikuti. Alhamdulillah pada pelajaran lain
aku dapat menerima dengan cukup baik.
26
Sekarang aku kelas 3 SMP, aku pernah ikut olimpiade matematika se-kota Cimahi
ketika kelas 2 SMP, alhamdulillah aku dapat peringkat 3 ketika tes tertulis. Ketika SD aku
juga sering juara lomba Sempoa Aritmatika dan Mewarnai. Aku juga belajar drum sampai
sekarang sebab setelah aku belajar drum aku bisa belajar alat musik lain seperti gitar,
keyboard, recorder. Sebelum aku belajar drum aku tidak bisa belajar alat musik apapun dan
entah kenapa setelah aku belajar drum aku bisa belajar alat musik yang lain. Mungkin di
drum aku belajar ketukan sehingga aku sedikit tahu tentang alat musik yang ditentukan
dengan tempo (ketukan). Aku juga tidak malu kalau tampil main drum dan aku pernah tampil
ketika kota Cimahi berulang tahun. Orang-orang yang tidak tahu tentang keadaanku mereka
tidak menyangka bahwa aku anak tuna rungu berat sebab aku bisa bicara seperti anak normal.
Namun, memang aku sering tidak bisa mendengar kalau orang bicara pelan walaupun aku
sudah pakai Alat Bantu Dengar.
Aku dan keluargaku ingin sekali berbagi kepada semua orang yang memiliki anak
tuna rungu, sebab orang sering beranggapan kalau anak tuna rungu itu tidak bisa berbicara
dengan lancar. Aku ingin tunjukkan bahwa yang tuna rungu bisa berbicara dengan lancar dan
baik sebagaimana orang normal. Kami ingin menginformasikannya kepada semua orang.
27
Kasus II
Epi merupakan seorang anak yang tinggal di daerah desa Padang Alai, Kecamatan V
Koto Timur, Kabupaten Padang Pariaman. Epi awalnya dibesarkan oleh orang tua
kandungnya sendiri. Orang tua kandungnya merupakan tuna wicara yang berprofesi sebagai
petani. Orang tua Epi membesarkannya dengan penuh kasih sayang, meskipun serba
kekurangan. Namun sayang sekali, dikarenakan orang tuanya tuna wicara, maka Epi pun
berangsur-angsur tidak dapat berbicara. Padahal menurut bidan yang mengurus
persalinannya, pada saat ia dilahirkan hingga umur beberapa bulan, ia masih bisa menangis
seperti anak normal pada umumnya. Epi tinggal di daerah terpencil sehingga sangat jarang
berkomunikasi dengan orang lain. Uniknya, Epi dapat meniru suara gonggongan anjing. Ini
dikarenakan orang tuanya memelihara seekor anjing. Suara anjing tersebut sering didengar
oleh Epi dan ditirunya. Jadi meskipun Epi tidak bisa berbicara, ia masih bisa meniru suara-
suara yang ia dengar disekelilingnya. Saat ini, Epi diasuh oleh saudara ibunya. Meskipun
telah diajarkan mengucapkan kata-kata oleh orang tua angkatnya, ternyata Epi tetap tidak
dapat berbicara. Ia hanya bisa meniru bunyi-bunyian yang pernah didengarnya dahulu
sewaktu masih dibesarkan oleh otang tua kandungnya. Kenyataan inilah yang membuat
penulis tertarik untuk menganalisis pemerolehan bahasa pertamanya selama dibesarkan oleh
orang tua yang tua wicara. Pemerolehan bahasa pertama pada anak tergantung pada bunyi-
bunyian atau kata-kata yang mereka dengar pada masa-masa awal mereka tumbuh. Sejauh
mana mereka bisa meniru, membunyikan, dan mengucapkan suatu kata tergantung dari
bahasa ibu yang mereka dapatkan.
28
Karenanya jika mereka tidak mendapatkan bunyi-bunyian untuk ditiru, maka alat
ucap mereka menjadi tidak berfungsi. Ini disebabkan karena mereka tidak mengoptimalkan
penggunaan alat ucap mereka.
Hal ini yang terjadi pada Epi. Selama dibesarkan oleh orang tuanya yang tuna wicara,
Epi tidak pernah mendengar bunyi-bunyian atau kata-kata yang dapat ia tiru untuk kemudian
diucapkan. Padahal, pada awalnya Epi mamapu bersuara seperti anak-anak pada umumnya.
Ia mampu menangis seperti pada umumnya. Namun, setelah berumur beberapa bulan hingga
umur 4 tahun, ia tidak pernah mendengar kata-kata dari orang tuanya. Sehingga ia pun tidak
bisa berbicara. Epi hanya bisa membunyikan bunyi-bunyian tertentu, dimana bunyi-bunyi
tidak pernah ia dapatkan dari kedua orang tuanya. Bunyi-bunyian yang ia dengungkan pun
tidak jelas maknanya dan tidak berupa kata-kata, hanya berupa lenguhan-lenguhan singkat.
Epi mengalami masa-masa pertumbuhan yang tidak seperti biasa dialami oleh anak-
anak pada umumnya. Ia tidak pernah mengalami masa-masa membabel, holofrasa, dan dua
kata seperti yang biasa dialami anak-anak pada umumnya. Ia tidak pernah berusaha
menggunakan alat ucapnya untuk mengucapkan suatu kata, ini dikarenakan tak ada kata-kata
yang bisa ia tiru.
Dengan demikian jelas sudah. Terdapat hubungan antara cara mendidik orang tua dengan
pemerolehan bahasa pertama anak. Seorang anak apabila tidak mendapatkan kata-kata untuk
ia tiru pada masa-masa ia seharusnya meniru sebuah kata, maka alat ucapnya tidak akan
berfungsi lagi.
29
30
c. Permasalannya adalah bahwa akibat ketunarunguan anak tidak hanya tidak dapat
mendengar/ terganggu pendengarannya, tetapi juga tidak berbahasa, artinya tidak dapat
berkomunikasi secara wajar (secara oral/lisan). Menurut kenyataan, tidak semua anak
tunarungu berhasil dididik untuk menungkapkan bahasanya dengan cara yang lazim dipakai
orang dengar, yaitu secara oral. Dari sinilah muncul pemikiran untuk mencarikan berbagai
cara berkomunikasi, di samping mencarikan metode untuk pengajaran bahasanya.
Kebanyakan guru SLB-B tidak menyadari perbedaan antara kedua hal tersebut. Ada empat
Aliran dalam Media Komunikasi dalam pembelajaran yakni (1) Aliran Oral : ada yang secara
murni + membaca ujaran, ada juga secara oral + aural (memanfaatkan sisa pendengarannya).
(2) Aliran Manual : Ada juga dengan isyarat/gesti saja. Ada pula yang dengan isyarat baku +
abjad jari/SIBI (3) Aliran Campuran : secara oral + salah satu media lain atau semua media
lain dalam Komunikasi Total, (4) Aliran Auditory Verbal/AVT : mengandalkan kemampuan
dengar saja tanpa membaca ujaran. Sedangkan pendekatan pemerolehan / pengajaran bahasa
bagi siswa tunarungu meliputi , pertama aliran Konstruktif/Struktural/gramatikal : yaitu
pengajaran bahasa secara Formal, kedua aliran Natural yaitu pengajaran bahasa secara
informal dengan pendekatan percakapan atau menggunakan bahasa ibu. Pada pertengahan
abad 20 ini muncul sebuah metode pengajaran bahasa yang menggabungkan antara
pendekatan Informal dengan Formal menjadi Semi Formal, yang terkenal dengan Metode
Maternal Reflektif atau Metode Pengajaran Bahasa Ibu yang Reflektif. Dengan Metode
Maternal Reflektif kita akan membawa anak tunarungu dari keadaan tak berbahasa hingga
menguasai bahasa seperti yang dipakai oleh lingkungannya.
30
d. Metode Maternal Reflektif tersebut dalam pelaksanaannya ditunjang dengan pelaksanaan
Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama, yang terdiri dari : Bina Wicara, Bina Persepsi
Bunyi dan Irama Musik maupun Bahasa serta Bina Isyarat, secara terprogram , kontinyu dan
berkesinambungan. Bagaimana Bina Wicara, BPBI, Bina Isayarat tersebut dilaksanakan di
SLB B ?
e. Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa Tunarungu yang Ideal
f. Mengubah peran guru dari pendidik yang spesialis ke generalis, pendekatan interdisipliner
dengan meningkatkan kelenturan dalam menggunakan pendekatan/metode pembelajaran bagi
tunarungu.
g. Perlunya pengkaderan pengurus yayasan, kepala sekolah, baik sebagai manager maupun
leader yang memahami atau menguasai bidang keahliannya dalam pendidikan tunarungu,
sehingga terampil mengelola sistem pendidikan tunarungu.
h. Dalam kegiatan belajar mengajar, menggunakan “Kurikulum Lintas Bahasa”, dengan
pendekatan metode pemerolehan bahasa dan sistem komunikasi tunarungu yang tepat
(metode pemerolehan bahasa yang ditawarkan Metode Maternal Reflektif).
i. Terlaksananya layanan deteksi dan intervensi dini, dengan memberikan layanan Bina
Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama secara terprogram, terarah, kontinyu dan
berkesinambungan.
j. Pemanfaatan sisa pendengaran dengan mengoptimalkan alat bantu dengar secara benar,
meliputi : pemilihan, pemanfaatan dalam rehabilitasi dan habilitasinya, serta sistem
perawatanya.
31
1. Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak tunarungu
dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat
menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi dan mampu
berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tunarungu mampu
mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton di
dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu hanya sebagai hiasan di kelas
inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru.
2. Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki
guru pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika guru pendamping
tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian yang sama
dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi.
3. Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat
mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang
diberikan dapat dipahami dengan mudah.
32
4. Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu
seperti prinsip keterarah wajahan, keterarah suaraan, prinsip intersubyektivitas dan
prinsip kekonkritan.
5. Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak
berkebutuhan khusus.
6. Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus.
Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas inklusi
bagi anak tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran tunarungu yang paling utama dan
terutama adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan.
Untuk mencapai kepada pembelajaran yang bermakna bagi tunarungu dibutuhkan pendekatan
khusus yaitu metode maternal reflektif (MMR).
Pembelajaran bagi tunarungu berbeda dari pembelajaran yang ada pada umumnya.
Hal ini dikarenakan tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan
untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan tunarungu menyerap
informasi.
Melalui metode maternal reflektif ini tunarungu diolah bahasanya. Mulai dari
mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga
tunarungu mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan
benar.Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas
kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas
secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-
kaidah percakapan.
33
Kegiatan percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode maternal reflektif,
karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan. Dalam
metode ini dikenal dua jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau conversation
form heart to heart dan percakapan linguistik atau linguistic conversation (Uden, 1977).
Percakapan dari hati ke hati merupakan percakapan yang spontan, fleksibel untuk
mengembangkan empati anak. Ungkapan yang dimaksud anak melalui kata-kata atau suara
yang kurang jelas, gesti atau gerakan-gerakan lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru
(seizing method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta anak untuk
mengucapkannya kembali (play a double part). Namun dalam kegiatan ini guru tetap
menjaga lajunya percakapan dan pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap
(anak dengan anak atau anak dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan,
imbauan, atau komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi.
34
Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami anak secara global intutif karena apa yang
ditulisi dan dibacanya merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca
merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca permulaan pada anak tunarungu
menurut MMR merupakan membaca ideo visual. Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan
konsonan) diberikan menyatu dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih bermakna yang
pada akhirnya anak mengenal huruf, kata, cara pengucapan, dan cara penulisannya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan kemampuan berbahasa anak berlangsung
secara serempak.
35
Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi bagi guru reguler hendaknya mengikuti teknik
atau kaidah-kaidah guru sekolah luar biasa dalam membelajarkan anak tunarungu, prinsip-
prinsip MMR harus dipahami oleh guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas regular
anak tunarungu tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung.
Kemampuan guru dalam melibatkan anak tunarungu dalam proses pembelajaran memang
tidak semudah membelajarkan anak-anak yang mendengar, dikarenakan setiap kata yang
diucapkan oleh guru harus dimengerti dan dipahami anak terlebih dahulu sebelum masuk ke
dalam substansi materi yang akan diberikan.
Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi haruslah benar-benar terprogram dan selalu
berbasis pada pengembangan bahasa anak yang dilakukan secara berkesinambungan, karena
tanpa bahasa yang dikuasai anak tunarungu, maka pembelajaran di kelas inklusi tidak akan
bermanfaat.
36
Sistem segregatif ini baik, jika hanya untuk kepentingan pembelajaran, namun jika
sampai kepada layanan pendidikan, segregatif tentu saja akan merugikan anak. Mereka akan
kehilangan haknya untuk belajar, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya
yang mendengar. Sistem pendidikan segregatif (SKh) sangat tidak membantu perkembangan
sosialitas peserta didik. Sehingga tetap sulit bagi anak khusus, khususnya anak tunarungu
yang sudah tamat dari SKh untuk dapat diterima sebagai anggota masyarakat. Hal ini
merupakan akibat dari adanya penyederhanaan strategi pembelajaran yang tidak
memperhitungkan bahwa pergaulan antar peserta didik dalam komunitasnya merupakan
bentuk proses pembelajaran natural yang seharusnya tidak boleh diabaikan.
37
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari Language Across the Curricullum itu
adalah sebuah metode pembelajaran yang senantiasa disajikan melalui konteks kebahasaan
melalui percakapan, yang tahapannya dari mulai penguasaan bahasa, aturan bahasa, hingga
ke pengetahuan umum.Untuk itu perlu dikembangkan satu model kurikulum bagi anak
dengan gangguan pendengaran yang berbasiskan Kompetensi Berbahasa dan Komunikasi
untuk menuju kecakapan hidup.
2. Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran rendah dapat
menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan menganyam dan
sebagainya.
38
3. Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan otomotif, percetakan,
sablon, mengukir atau membatik.
39
3) Cermin
Untuk memberikan cantoh-contoh ucapan dengan artikulasi yang baik diperlukan
sebuah cermin. Dengan bantuan cermin kita dapat menyadarkan anak terhadap posisi bicara
yang kurang tepat. Dengan bantuan cermin kita dapat mengucapkan beberapa contoh
konsonan, vokal dan kata-kata atau kalimat dengan baik.
4) Alat bantu wicara (speech trainer)
Speech trainer ialah sebuah alat elektronik terdiri dari amplifaer, head phone dan
mickrophone. Gunanya untuk memberikan latihan bicara individual. Bagi yang masih
mempunyai sisa pendengaran cukup banyak akan sangat membantu pembentukan ucapannya.
Bagi yang sisa pendengarannya sedikit akan membantu dalam pembentukan suara dan irama.
Alat Peraga
Untuk memperkaya perbendaharaan bahasa anak hendaknya jangan dilupakan alat-
alat peraga tradisional seperti:
1) Miniatur binatang-binatang
2) Miniatur manusia
3) Gambar-gambar yang relevan
4) Buku perpustakaan yang bergambar
5) Alat-alat permainan anak.
40
Sesuai dengan kemampuan anak tunarungu dalam kurikulum lebih diutamakan mata
pelajaran keterampilan yang menuju kearah irama. Untuk itu diperlukan alat-alat
keterampilan untuk pria dan atau wanita antara lain sebagai berikut :
1) Alat pertukangan
2) Alat pertanian
3) Alat perbengkelan
4) Alat tenun
5) Alat masak memasak
6) Alat jahit menjahit
7) Alat salon kecantikan
8) Alat potong rambut (barber shop)
9) Komputer
N. Bimbingan dan Konseling bagi Anak Tunarungu
42
43
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. anak penyandang tunarungu dan tunawicara adalah anak yang kehilangan kemampuan
untuk mendengar baik sebagaian maupun seluruhnya yang mengakibatkan tidak
mampu untuk menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupannya sehari-hari
dan juga tidak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya.
2. Masalah yang utama pada diri seorang tunawicara adalah mengalami
kehilangan/terganggunya fungsi pendengaran (tunarungu) dan atau fungsi bicara
(tunawicara), yang disebabkan karena bawaan lahir, kecelakaan maupun penyakit.
3. Masa-masa yang paling kritis dalam kehidupan orang tua adalah ketika mereka harus
mengakui bahwa anaknya berkelainan.
4. Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam
berkomunikasi, dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan
pendidikannya.
5. Masalah-masalah bimbingan anak tunarungu bukan karena anak memiliki kelainan
( tunarungu ) tetapi karena ia seorang anak yang sedang berkembang.
44
DAFTAR PUSTAKA
http://www. sejarah-berkembangnya-kependidikan.html
http: //www. Pendidikan anak tuna rungu.com
www.google.com
Bunawan, Lani dan C. Susila Yuwati (2000), Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu, Yayasan
Santi Rama, Jakarta
Departemen Pendidikan Nasional (2000), Pengajaran Bina Persepsi Bunyi dan Irama untuk
Anak Tunarungu, Jakarta
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004), Pedoman Pendidikan Terpadu/Inklusi Alat
Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, Jakarta
Gatty (1994), Mengajarkan Wicara kepad anak-anak Tunarungu, Alih bahasa Hartotanojo,
Yayasan Karya Bakti, Wonosobo
Nugroho Bambang (2004), Pentingnya Intervensi Dini Secara Edukatif Bagi Anak
Tunarungu, Makalah Pelatihan Teknis Tunarungu, Jakarta
Satmoko Budi Santoso (2010), Sekolah Alternatif, Diva press, Jogjakarta
45
Secara umum penyebab ketunarunguan dapat terjadi sebelum lahir (prenatal), ketika
lahir (natal) dan sesudah lahir (post natal) (Sutjiahati Sumantri, 1996: 75).
1) Pada saat sebelum dilahirkan (prenatal)
Karena keturunan : salah satu atau kedua orang tua anak menderita tunarungu atau
mempunyai gen sel pembawa sifat abnormal. Misalnya: dominant gent, resesiv gen dan lain-lain.
Infeksi maternal, yaitu si Ibu hamil terserang penyakit rubella.
Karena keracunan obat-obatan: pada saat hamil ibu minum obat-obatan terlalu banyak, atau
ibu seorang pecandu alcohol, tidak dikehendaki kelahiran anaknya atau minum obat penggugur
kandungan akan dapat menyebabkan ketunarunguan pada anak yang dilahirkan.
penyedot (tang)
Prematuritas yaitu bayi yang lahir sebelum waktunya.
Daftar Pustaka:
Abdurrachman Muljono. & S. Sudjadi. (1994). Pendidikn Luar Biasa Umum. Jakarta:
B3PTKSM.
Wardani IG. A. K. dkk. (2011). Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta : Universitas
Terbuka.
TUNA RUNGU
A. PENGERTIAN TUNARUNGU & GANGGUAN PENDENGARAN
Anak tuna rungu/ gangguan pendengaran adalah anak yang karena berbagai hal menjadikan
pendengarannya mendapatkan gangguan atau mengalami kerusakan sehingga sangat mengganggu
aktifitas kehidupannya, (Edja Sadjaah, 2005). Selanjutnya Greg Leigh (1994) menemukakan bahwa
anak tuli pada umumnya menderita ketidakmampuan berkomunikasi lisan (bicara). Biasanya akibat
kekurangannya tersebut akan membawa dampak yaitu terhambatnya perkembangan kemampuan
berbahasa, sehingga dapat berpengaruh terhadap masalah bahasa dan komunikasi pada diri.
Menilik dari kurun terjadinya ketunarunguan, Krik (1970) mengemukakan bahwa anak yang
lahir dengan kelainan pendengaran atau kehilangan pendengarannya pada masa kanak-kanak sebelum
bahasa dan bicaranya terbentuk, kondisi anak yang demikian disebut anak tuna rungu pre-lingual.
Jenjang ketunarunguan yang dibawa sejak lahir, atau diperoleh pada masa kanak sebelum bahasa dan
bicaranya terbentuk, ada kecenderungan termasuk dalam kategori tuna rungu berat. Sedangkan anak
lahir dengan pendengaran normal, namun setelah mencapai usia di mana anak sudah memahami suatu
percakapan tiba-tiba mengalami kehilangan ketajaman pendengaran, kondisi anak yang demikian
disebut anak tunarungu post-lingual. Jenjang ketunarunguan yang diperolah setelah anak memahami
percakapan atau bahasa dan bicaranya sudah terbentuk, ada kecenderungan termasuk dalam kategori
sedang atau ringan.
Kelainan pendengaran atau tunarungu dalam percakapan sehari-hari di masyarakat awam
sering diasumsikan sebagai orang tidak mendengar sama sekali atau tuli. Hal ini didasarkan pada
anggapan bahwa kelainan dalam aspek pendengaran dapat mengurangi fungsi pendengaran. Namun
demikian, perlu dipahami bahwa kelainan pendengaran dilihat dari derajat ketajamannya untuk
mendengar dapat dikelompokkan dalam beberapa jenjang. Asumsinya, makin berat kelainan
pendengaran berarti semakin besar intensitas kekurangan ketajaman pendengarannya (hearing loss).
D. DAMPAK KETUNARUNGUAN
Anak yang mengelami kelainan pendengaran akan menanggung konsekuensi yang sangat
kompleks, terutama berkaitan dengan masalah kejiwaanya. Pada diri penderita seringkali dihinggapi
rasa keguncangan sebagai akibat tidak mampu mengontrol lingkungannya. Kondisi ini semakin tidak
menguntungkan bagi penderita tunarungu yang harus berjuang dalam meniti tugas perkembangannya.
Disebabkan rentetan yang muncul akibat gangguan pendengaran ini, penderita akan mengalami
berbagai hambatan dalam meniti perkembangannya, terutama dalam aspek bahasa, keceerdasan, dan
penyesuaian sosial. Oleh karena itu, untuk mengembangkan potensi anak tunarungu secara optimal
praktis memerlukan layanan atau bantuan secara khusus.
Proses internalisasi suara pada sesorang yang mengalami ketunarunguan mengalami masalah,
sebab organ pendengaran di bagian luar, bagian tengah dan bagian dalam yang mengubungkan ke
saraf pendengaran sebagai organ terakhir dari rangkaian proses pendengaran mengalami gangguan.
Terganggunya organ ini berpengaruh terhadap kepekaan penerima suara. Variasi kepekaan menerima
suara berupa kepekaan suara nada rendah dan tinggi.
Ada dua bagian penting mengikuti dampak terjadinya hambatan, antara lain :
1. Konsekuensi akibat gangguan pendengaran atau tuarungu tersebut bahwa penderitanya akan
mengalami kesulitan dalam menerima segala macam rangsang atau peristiwa bunyi yang ada di
sekitarnya.
2. Akibat kesulitan menerima rangsang bunyi tersebut konsekuensinya penderita tunarungu akan
mengalami kesulitan pla dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang terdapat disekitarnya.
Sebagaimana yang diketahui, peranan bahasa, bicara, pendengaran dalam konteks komunikasi
kehidupan sehari-hari merupakan tiga serangkai potensi manusia yang mampu menjembatani proses
momunikasi, sebab ketiga unsur tersebu dalam proses komunikasi masing-masing dapat menjadi
pengontrol efektif dan tidaknya sebuah komunikasi. Oleh sebab itu, kepincangan salah satu komponen
komunikasi tersebut berarti kehilangan kontributor besar yang dapat membantumanusia dalam meniti
fase tugas perkembangannya.
Banyak anggapan bahwa anak berkelainan pendengaran atau anak tunarungu diantara penderita
kelainan yang lain dianggap paling ringan , sebab terganggunya hanya terjadi pada aspek
pendengaran. Penderita tunarungu seringan apapun kondisinya tetap tidak luput dari problem
yangmenyertainya terutama yang berkaitan dengan masalah kemampuan fisiknya yang lain, kejiwaan,
dan penyesuaian sosial dengan lingkungannya.
b. Terjadi infeksi
1. Infekso bakteri; antara lain berakibat kerusakan pada selaput gendang telinga, otitis media (congean)
dan infeksi tulang pendengaran.
2. Terjadinya infeksi alat keseimbangan di telinga dalam, otitis internal (telinga dalam) dan lain-lain
3. Keracuan, terjadi oleh karena ibu hamil meminum obat-obatan antibiotic dengan over dosis, obat
kimia terlalu banyak atau obat-obat penggugur kehamilan.
4. Traumatis, terjadi akibat tusukan benda keras, atau akibat operasi tulang temporal, kerusakan tulang-
tulang pendengaran lainnya, atau kebisingan keras yang mengganggu pendengaran dalam waktu lama.
5. Gangguan circulasi, antara lain pecahnya pembuluh darah, dan terjadinya pendarahan pada ibu
hamil atau bayi.
6. Gangguan persyarafan, antara lain sistem syaraf muka terganggu, diabetes yang menyerang sistem
syaraf pendengaran seta gangguan-gangguan lain di telinga bagian dalam.
7. Gangguan pertumbuhan metabolisme dan karenadisebabkan oleh usia, bisa disebabkan oleh
diabetes, pengeroposan tulang pendengaran , dsb
8. Keganasan, penyakit primary neoplasma dan other neoplastic disease.
9. Penyakit-penyakit lain yang tidak diketahui penyebabnya antara lain Meniere Desiase dan Sudden
Deafness, dsb
Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri anak tunarungu, yaitu ketidakmampuan menerima
ransangan pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidaktetapan emosi, dan keterbatasan intelegensi di
hubungkan denagn sikap lingkungan terhadapnya menghambat perkembangan kepribadiannya.
DAFTAR PUSTAKA