OLEH :
2021
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat dan kesehatan,
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul “Tuna Rungu”. Tanpa
rahmat dan ridho-Nya saya tidak akan mampu menyelesaikan tugas ini dengan baik. Makalah
Dalam pembuatan makalah ini saya mengucapkaan terima kasih kepada dosen
pembimbing kelas yang sudah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan dalam mata kuliah ini. Dan saya mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membagi pengetahuannya dalam penyusunan makalah ini sehingga dapat
Dalam penulisan makalah ini, saya juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan
baik pada segi penulisan maupun materi. Maka dari itu, saya mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun dari semua pihak agar saya bisa memperbaiki dikedepannya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
maupun pembaca.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................4
A. Latar Belakang........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................5
C. Tujuan......................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................................6
B. Penyebab Ketunarunguan.......................................................................................................9
A. Kesimpulan............................................................................................................................18
B. Saran.......................................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................19
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kehilangan fungsi pendengaran,
baik sebagian maupun seluruhnya yang berdampak kompleks dalam kehidupannya. Anak
tunarungu secara fisik terlihat seperti anak normal, tetapi bila diajak berkomunikasi
barulah terlihat bahwa anak mengalami gangguan pendengaran. Anak tunarungu tidak
berarti anak itu tunawicara, akan tetapi pada umumnya anak tunarungu mengalami
ketunaan sekunder yaitu tunawicara. Penyebabnya adalah anak sangat sedikit memiliki
kosakata dalam sistem otak dan anak tidak terbiasa berbicara.
Anak tunarungu memiliki tingkat intelegensi bervariasi dari yang rendah hingga
jenius. Anak tunarungu yang memiliki intelegensi normal pada umumnya tingkat
prestasinya di sekolah rendah. Hal ini disebabkan oleh perolehan informasi dan
pemahaman bahasa lebih sedikit bila dibanding dengan anak mampu dengar. Anak
tunarungu mendapatkan informasi dari indera yang yang masih berfungsi, seperti indera
penglihatan, perabaan, pengecapan dan penciuman.
4
Pendidikan khusus yang dimaksud yaitu pemberian layanan pendidikan sesuai kebutuhan
anak tunarungu.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
5
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah tunarungu berasal dari kata tuna dan rungu, dimana tuna memiliki arti
kurang sedangkan rungu artinya pendengaran. Istilah lain yang menyebut mengenai
kelainan pendengaran, antara lain adalah tuli, bisu, tunawicara, cacat dengar, kurang
dengar atau tunarungu. Seseorang dikatakan tunarungu apabila tidak mampu atau
kurang mampu mendengar suara. Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak
berbeda dengan anak dengar pada umumnya. Pada saat berkomunikasi barulah
diketahui bahwa anak tersebut mengalami tunarunguan.
6
1. Menurut Winarsih (2007), tunarungu adalah suatu istilah umum yang
menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke
dalam tuli dan kurang dengar.
2. Menurut Suharmini (2009), tunarungu adalah keadaan dari seorang individu yang
mengalami kerusakan pada indera pendengaran sehingga menyebabkan tidak bisa
menangkap berbagai rangsang suara, atau rangsang lain melalui pendengaran.
3. Menurut Sutjihati (2006), tunarungu adalah suatu keadaan kehilangan
pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai
rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya.
4. Menurut Somad dan Hernawati (1995), tunarungu adalah seseorang yang
mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian
atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh
alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya
dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupananya
secara kompleks.
7
5. 56-70 dB : hanya bisa mendengar suara dari arak yang dekat, masih mempunyai
sisa pendengaran untuk belajar bahasa ekspresif ataupun reseptif dan bicara
dengan menggunakan alat bantu dengar serta dengan cara yang khusus (tergolong
tunarungu agak berat)
6. 71-90 dB : hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang dianggap tuli,
membutuhkan pendidikan luar biasa yang intensif, membutuhkan alat bantu
mendengar (ABM) dan latihan bicara secara khusus (tergolong tunarungu berat).
7. 91 dB keatas : mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak
tergantung pada penglihatan daripada pendengarannya untuk proses menerima
informasi dan yang bersangkutan dianggap tuli (tergolong tunarungu barat sekali).
8
Klasifikasi anak tunarungu bermacam-macam dan dapat dilihat dari beberapa
sudut pandang. Klasifikasi subjek dalam penelitian ini adalah satu anak tunarungu
yang masih mempunyai sedikit sisa pendengaran tetapi belum dioptimalkan fungsinya
dan dua anak tunarungu yang sudah tidak mempunyai sisa pendengaran atau tuli.
Subjek belum dapat mengucapkan kata-kata dengan artikulasi yang tepat dan jelas,
anak terbiasa berkomunikasi dengan isyarat dan oral tetapi tidak mengeluarkan suara
yang jelas. Salah satu metode untuk meningkatkan kemampuan artikulasi anak
tunarungu adalah metode drill. Metode drill disini anak dituntut mengucapkan kata-
kata secara berulang-ulang, sehingga anak terbiasa bicara dengan ucapan yang tepat
dan jelas yang disertai suara.
B. Penyebab Ketunarunguan
Menurut Somad dan Hernawati (1995), penyebab ketunarunguan dapat terjadi
sebelum lahir (prental), ketika lahir (natal) dan sesudah lahir (post natal). Terdapat
beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab ketunarunguan, yaitu sebagai berikut:
a. Faktor Internal
9
pertumbuhan janin. Jika hal tersebut menyerang syaraf atau alat-alat pendengaran
maka anak tersebut akan terlahir dalam keadaan tunarungu.
b. Faktor Eksternal
1. Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan atau kelahiran. Misal, anak terserang
Harpes Imlex, jika infeksi ini menyerang alat kelamin ibu dapat menular pada saat
anak dilahirkan. Demikian pula pada penyakit kelamin yang lain, dapat ditularkan
melalui terusan jika virusnya masih dalam keadaan aktif. Penyakit-penyakit yang
ditularkan kepada anak yang dilahirkannya dapat menimbulkan infeksi yang dapat
menyebabkan kerusakan pada alat-alat atau syaraf pendengaran.
2. Meningitis atau radang selaput otak, dari hasil penelitian para ahli ketunarunguan
yang disebabkan karena meningitis yang dilakukkan oleh Vermon (1968)
sebanyak 8,1%, Ries (1973) melaporkan 4,9%, sedangkan Trybus (1985)
memberikan keterangan sebanyak 7,33%.
3. Otitis media (radang pada bagian telinga tengah) adalah radang pada bagian
telinga tengah, sehingga menimbulkan nanah, dan nanah tersebut mengampil dan
mengganggu hantaran bunyi. Jika kondisi ini kronis tidak segera diobati, penyakit
ini bisa menimbulkan kehilangan pendengaran yang tergolong ringan sampai
sedang. Otitis media adalah salah satu penyakit yang sering terjadi pada kanak-
kanak sebelum mencapai usia enam tahun.
4. Penyakit lain atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerusakan alat-alat
pendengaran bagian tengah dan dalam.
Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan
membaca ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan
kombinasi ketiga cara tersebut.
10
terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang
bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau
ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak
dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka
yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi
pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur
bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang
“tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan
pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat
bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik
daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman &
Elkins, 1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued
speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi
membaca ujaran (speechreading).
11
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua
tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat
bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural
dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah
prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal
(mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal
(rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung
organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal
tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk
menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi
elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang
dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat
untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur
sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang
ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang
diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini
adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam
kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat
memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di
samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar
yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat
kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.
12
Secara umum, ada dua pendekatan dalam memberikan pembelajaran pada anak
tunarungu, yakni pendekatan komunikasi dan pendekatan pembelajaran Bahasa.
Pembelajaran dengan pendekatan komunikasi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu
dengan cara verbal, nonverbal, dan gabungan dari verbal-nonverbal.
Rata-rata skor kemampuan membaca pada anak-anak tuna rungu adalah 11, 889 (skor
maksimum 16) atau 74 %.
Interaksi sosial tidak saja terjadi di sekolah pada umumnya, namun di Sekolah Luar
Biasa atau lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat siswa berkebutuhan khusus
atau disabilitas pun bisa terjadi. Didalam proses interaksi sosial terhadap penyandang
13
disabilitas harus ada penyesuaian dengan kebutuhan penyandang disabilitas tersebut,
sehingga tenaga pengajarnya pun harus menguasai kebutuhan khusus itu, agar proses
interaksi berjalan dengan baik. Lain halnya dengan sekolah inklusif, yang mana anak
disabilitas dikelompokkan dan ditangani sebagaimana anak normal lainnya.
14
berkomunikasi melalui telfon atau media elektronik yang lain. Kontak sosial
memiliki sifat-sifat yaitu kontak sosial positif seperti adanya kerja sama antar satu
dengan yang lainnya dan kontak sosial negatif adanya pertentangan antar satu
dengan yang lain, serta kontak sosial bersifat primer dan sekunder. Kontak sosial
bersifat primer yaitu kontak sosial yang terjadi secara langsung misalnya saat
membeli sesuatu di pasar.Namun kontak sosial sekunder harus melalui perantara
dalam melakukan kontak sosial, seperti menelepon temannya yang jauh.
b. Komunikasi
Komunikasi merupakan adanya pemahaman perilaku dan perasaan-perasaan yang
disampaikan oleh lawan berkomunikasi kita. Adanya tiga tahap dalam proses
berkomunikasi. Pertama, encoding merupakan mengomunikasikan sebuah
gagasan melalui kalimat atau gambar.Kedua, penyampaian gagasan melalui
kalimat dan gambar tersebut berupa lisan, tulisan, dan gabungan antara dua hal
tersebut. Ketiga, decoding yaitu adanya penyerapan atau pemahaman atas apa
yangtelah disampaikan .
Menurut Marschark dan Spencer ada 2 jenis komunikasi yang digunakan oleh
anak tunarungu, yaitu:
1) Komunikasi nonlogistik Merupakan komunikasi yang tidak menggunakan
lisan/oral.Komunikasi ini, banyak menggunakan ekspresi wajah, gesture tubuh,
gerak tubuh dan aktivitas fisik.
2) Komunikasi logistic Merupakan komunikasi dengan menggunakan bahasa
bibir.Biasanya salah satu individu berbicara menggunakan mulut mereka dan
menggunakan bahasa yang dipahami.
15
2) Memantau interaksi sebaya
Dalam tahap kedua ini, merupakan cara seorang anak tunarungu untuk
mempertahankan sebuah interaksi yang sudah terjadi. Anak tunarungu mengalami
kesulitan untuk mempertahankan sebuah interaksi sosial dalam jangka waktu
panjang. Dalam hal ini, ada faktor penghambat anak tunarungu dalam
berinteraksi.
16
4. Upaya untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Anak Tunarungu
Sekolah yang kondusif adalah sekolah yang mampu mengembangkan
pembelajaran yang dapat menjawab berbagai keanekaragaman potensi yang dimiliki
anak didiknya. Seharusnya sekolah mampu mengembangkan potensi peserta didik,
baik dari anak yang normal maupun anak berkebutuhan khusus. Salah satunya adalah
dalam mengembangkan kemampuan interaksi sosial anak tunarungu Lingkungan yang
dibangun oleh guru dan anak sangat mempengaruhi kemampuan interaksi sosial anak
tunarungu. Agar siswa dapat berinteraksi dengan baik maka siswa memerlukan
dukungan dan bimbingan. Lingkungan yang baik dapat membantu anak tunarungu
merasa lebih nyaman dan percaya diri untuk melaksanakan proses interaksi dengan
teman sebayanya.
Ada beberapa upaya-upaya yang dapat diterapkan oleh guru untuk
meningkatkan kemampuan interaksi sosial anak tunarungu yaitu: 1) Membagi kelas
menjadi beberapa kelompok kecil Melalui kelompok kecil anak tunarungu dapat
memperoleh kesempatan untuk lebih aktif selama kegiatan pembelajaran. 2)
Menciptakan pembelajaran yang ramah Penciptaan proses pembelajaran yang ramah
lebih berorientasi pada pembelajaran yang berpusat pada anak, artinya anak diberikan
keleluasaan untuk meningkatkan eksplorasi dan mmendapatkan sumber-sumber
informasi secara mudah serta lebih menekankan pada model kooperatif dan kreatif. 3)
Menekankan pentingnya kasih sayang dan kepercayaan dalam pembelajaran dan
belajar, mendorong anak untuk bersikap terbuka dan dilakukan melalui penciptaan
iklim yang tidak otoriter. 4) Guru bukan sekedar melakukan penanganan langsung
terhadap anak Guru hendaknya juga menjadikan orang tua secara konsisten dapat
terlibat lansung dalam kegiatan pengasuhan, menjalin interaksi yang berkualitas dan
mampu memberikan pengalaman yang berbeda kepada anaknya. 5) Membangun
kedekatan dan kontrol sentuhan (promaximity and touchcontrol).
Sebisa mungkin guru membangun hubungan yang baik dengan anak
tunarungu. Guru diharapkan dapat membangun kedekatan pada anak agar terciptanya
hubungan baik dan timbul kepercayaan dan kenyamanan. Hal ini dapat membantu
anak tunarungu agar tidak lagi malu-malu dalam berinteraksi sosial.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kemampuan berbahasa anak tunarungu dapat berkembang dengan baik atau
sebaliknya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Khususnya faktor di luar diri anak
yaitu orang tua. Orang tua sebagai pendidik pertama dan utama memberikan pengaruh
yang sangat besar terutama dalam mengembangkan kemampuan bahasa anak tunarungu.
Orang tua dituntut untuk dapat menerima anaknya secara realistis, positif serta mampu
menjalankan peran dalam mengembangkan bahasa anak tunarungu. Peran orang tua
dalam hal ini yaitu mencakup pada penerimaan terhadap anak, memahami perkembangan
bahasa anak, serta terampil dalam menciptakan dan memberikan kesempatan berbahasa
kepada anak sejak dini. Karena, keterampilan berbahasa didapat oleh anak dengan cara
proses meniru, peniruan terjadi apabila ada motivasi dari anak untuk mau
berbahasa/bicara dan motivasi tersebut akan muncul apabila orang tua dapat menjalankan
perannya dengan baik.
B. Saran
Sebaiknya guru melakukan terapi wicara pada anak agar kemampuan berbahasa
anak dapat berkembang sehingga apa yang di inginkan anak dapat diketahui dan dipenuhi
oleh guru atau orang tua. Jika hal tersebut dapat terlaksana dengan baik maka akan
meminimalisir atau menghilangkan perilaku anak yang mudah marah dan mudah
tersinggung.
18
DAFTAR PUSTAKA
Edja, Sadjaah. 2005. Pendidikan Bahasa Bagi Anak Gangguan Pendengaran Dalam
Keluarga (Jakarta Depdiknas).
Ilahi, Mohammad T. 2013. Pendidikan Inklusif: Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media)
Yuhan,X.,Potmesil, M., & Peters, B. 2011. Children Who Are Deaf or Hard Of Hearing in
Inclusive Educational Settings: A literature Review on Interaction With Peers. Journal of
Deaf Studies and Deaf Education.
Ahmad Wasita, Seluk Beluk Tunarungu Dan Tunawicara Serta Strategi Pembeajarannya,
(Jogjakarta : Javalitera 2012),
Liando Joppy dan Aldijo Dapa. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Persepektif
Sistem Social. (Jakarta:Depdiknas, 2007)
19