Anda di halaman 1dari 19

“TUNA RUNGU”

Dosen Pengampu : Dr. Jumarddin La Fua, S.Si, M.Si

OLEH :

AYU WANDIRA (19010105053)


RAIDATUL AZIZAH (19010105066)
SALMA NUR PADILA (19010105042)
FITRIYANI (19010105043)

JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KENDARI

2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat dan kesehatan,

sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul “Tuna Rungu”. Tanpa

rahmat dan ridho-Nya saya tidak akan mampu menyelesaikan tugas ini dengan baik. Makalah

ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Neurosains.

Dalam pembuatan makalah ini saya mengucapkaan terima kasih kepada dosen

pembimbing kelas yang sudah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan

dan wawasan dalam mata kuliah ini. Dan saya mengucapkan terima kasih kepada semua

pihak yang telah membagi pengetahuannya dalam penyusunan makalah ini sehingga dapat

terselesaikan dengan baik dan lancar.

Dalam penulisan makalah ini, saya juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan

baik pada segi penulisan maupun materi. Maka dari itu, saya mengharapkan kritik dan saran

yang bersifat membangun dari semua pihak agar saya bisa memperbaiki dikedepannya.

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis

maupun pembaca.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2

DAFTAR ISI........................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................4

A. Latar Belakang........................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah...................................................................................................................5

C. Tujuan......................................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................................6

A. Definisi dan Klasifikasi Tuna Rungu.....................................................................................6

B. Penyebab Ketunarunguan.......................................................................................................9

C. Cara Belajar Anak Tuna Rungu..........................................................................................10

D. Cara Berinteraksi Anak Tuna Rungu..................................................................................13

BAB III PENUTUP...........................................................................................................................18

A. Kesimpulan............................................................................................................................18

B. Saran.......................................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................19

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kehilangan fungsi pendengaran,
baik sebagian maupun seluruhnya yang berdampak kompleks dalam kehidupannya. Anak
tunarungu secara fisik terlihat seperti anak normal, tetapi bila diajak berkomunikasi
barulah terlihat bahwa anak mengalami gangguan pendengaran. Anak tunarungu tidak
berarti anak itu tunawicara, akan tetapi pada umumnya anak tunarungu mengalami
ketunaan sekunder yaitu tunawicara. Penyebabnya adalah anak sangat sedikit memiliki
kosakata dalam sistem otak dan anak tidak terbiasa berbicara.

Kehilangan kemampuan mendengar mengakibatkan anak tidak pernah mengetahui


apa itu suara atau bunyi sehingga anak tersebut juga mengalami kesulitan dalam
memproduksi suara/bunyi. Kenyataanya, suara atau bunyi menjadi komponen utama
dalam komunikasi. Hal itu juga mengakibatkan pemahaman anak tuna rungu terhadap
bahasa dan penggunaanya menjadi terhambat.

Anak tunarungu memiliki tingkat intelegensi bervariasi dari yang rendah hingga
jenius. Anak tunarungu yang memiliki intelegensi normal pada umumnya tingkat
prestasinya di sekolah rendah. Hal ini disebabkan oleh perolehan informasi dan
pemahaman bahasa lebih sedikit bila dibanding dengan anak mampu dengar. Anak
tunarungu mendapatkan informasi dari indera yang yang masih berfungsi, seperti indera
penglihatan, perabaan, pengecapan dan penciuman.

Anak tunarungu mendapat pendidikan khusus di lembaga informal dan formal.


Pendidikan informal yang menangani anak tunarungu yaitu LSM, organisasi penyandang
cacat, posyandu dan klinik-klinik anak berkebutuhan khusus. Lembaga pendidikan formal
yang menangani anak tunarungu adalah home schooling, sekolah inklusi, dan Sekolah
Luar Biasa (SLB). Penyelenggaraan pendidikan khusus tersebut termuat dalam UU No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 ayat 1 yang menyatakan
bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

4
Pendidikan khusus yang dimaksud yaitu pemberian layanan pendidikan sesuai kebutuhan
anak tunarungu.

Multimedia merupakan teknologi yang berkembang dengan sangat pesat. Lima


komponen multimedia yaitu teks, suara, gambar, animasi, dan video yang digunakan
untuk menyampaikan informasi secara lengkap. Berdasarkan survey pendahulu, anak-
anak dengan gangguan pendengaran ini memiliki ketertarikan terhadap multimedia
melaui perangkat smartphone yang memiliki fitur komunikasi canggih [4]. Teknologi
Smartphone sebagai perangkat mobile telah mengalami perkembangan yang sangat pesat
dan menjadi bagian dari aktifitas sehari-hari anak dalam kegiatan belajar [5] [6].
Perangkat ini merupakan suatu teknologi yang tepat untuk digunakan sebagai media
pembelajaran yang mengandalkan visualisasi. Dalam penelitian ini, penulis mengusulkan
sebuah Perancangan multimedia pembelajaran bahasa indonesia untuk anak tuna rungu
dengan mengambil studi kasus pada Sekolah Luar Biasa B (SLBB) Karnnamanohara.

B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan definisi dan klasifikasi tuna rungu!


2. Apa penyebab ketunarunguan?
3. Bagaimana cara belajar anak tuna rungu?
4. Bagaimana cara berinteraksi anak tuna rungu?

C. Tujuan

1. Mengetahui definisi dan klasifikasi tuna rungu


2. Mengetahui penyebab ketunarunguan
3. Mengetahui cara belajar anak tuna rungu
4. Mengetahui cara berinteraksi anak tuna rungu

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi dan Klasifikasi Tuna Rungu

1. Definisi Tuna Rungu


Tunarungu adalah suatu kondisi atau keadaan dari seseorang yang mengalami
kekurangan atau kehilangan indera pendengaran sehingga tidak mampu menangkap
rangsangan berupa bunyi, suara atau rangsangan lain melalui pendengaran. Sebagai
akibat dari terhambatnya perkembangan pendengarannya, sehingga seorang tunarungu
juga terhambat kemampuan bicara dan bahasanya, yang mengakibatkan seorang
tunarungu akan mengalami kelambatan dan kesulitan dalam hal-hal yang
berhubungan dengan komunikasi.

Istilah tunarungu berasal dari kata tuna dan rungu, dimana tuna memiliki arti
kurang sedangkan rungu artinya pendengaran. Istilah lain yang menyebut mengenai
kelainan pendengaran, antara lain adalah tuli, bisu, tunawicara, cacat dengar, kurang
dengar atau tunarungu. Seseorang dikatakan tunarungu apabila tidak mampu atau
kurang mampu mendengar suara. Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak
berbeda dengan anak dengar pada umumnya. Pada saat berkomunikasi barulah
diketahui bahwa anak tersebut mengalami tunarunguan.

Secara medis ketunarunguan berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan


mendengar yang disebabkan oleh kerusakan dan non fungsi dari sebagian atau seluruh
alat-alat pendengaran. Sedangkan secara pedagogis, ketunarunguan ialah kekurangan
atau kehilangan pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan
sehingga memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus. Hal yang perlu diperhatikan
akibat dari ketunarunguan ialah hambatan dalam berkomunikasi, sedangkan
komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.
Kenyataan bahwa anak tunarungu tidak dapat mendengar membuatnya mengalami
kesulitan untuk memahami bahasa yang diucapkan oleh orang lain, dank arena tidak
dapat mengerti bahasa secara lisan atau oral.

Berikut definisi dan pengertian tunarungu dari beberapa sumber buku:

6
1. Menurut Winarsih (2007), tunarungu adalah suatu istilah umum yang
menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke
dalam tuli dan kurang dengar.
2. Menurut Suharmini (2009), tunarungu adalah keadaan dari seorang individu yang
mengalami kerusakan pada indera pendengaran sehingga menyebabkan tidak bisa
menangkap berbagai rangsang suara, atau rangsang lain melalui pendengaran.
3. Menurut Sutjihati (2006), tunarungu adalah suatu keadaan kehilangan
pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai
rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya.
4. Menurut Somad dan Hernawati (1995), tunarungu adalah seseorang yang
mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian
atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh
alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya
dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupananya
secara kompleks.

2. Klasifikasi Tuna Rungu


Kemampuan mendengar dari individu yang satu berbeda dengan individu
lainnya. Apabila kemampuan mendengar dari sesorang ternyata sama dengan
kebanyakan orang, berarti pendengaran anak tersebut dapat dikatakan normal. Bagi
tunarungu yang mengalami hambatan dalam pendengaran itu pun masih dapat
dikelompokkan berdasarkan kemampuan anak yang mendengar.

Klasifikasi anak tunarungu yang dikemukakan oleh Samuel A. Kirk


(Permanarian Somad 1996: 29) adalah sebagai berikut :

1. 0 dB : menunjukkan pendengaran optimal.


2. 0-26 dB : menunjukkan masih mempunyai pendengaran normal.
3. 27-40 dB : menunjukkan kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh,
membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi
wicara (tergolong tunarungu ringan).
4. 41-55 dB : mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas,
membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara (tergolong tunarungu sedang).

7
5. 56-70 dB : hanya bisa mendengar suara dari arak yang dekat, masih mempunyai
sisa pendengaran untuk belajar bahasa ekspresif ataupun reseptif dan bicara
dengan menggunakan alat bantu dengar serta dengan cara yang khusus (tergolong
tunarungu agak berat)
6. 71-90 dB : hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang dianggap tuli,
membutuhkan pendidikan luar biasa yang intensif, membutuhkan alat bantu
mendengar (ABM) dan latihan bicara secara khusus (tergolong tunarungu berat).
7. 91 dB keatas : mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak
tergantung pada penglihatan daripada pendengarannya untuk proses menerima
informasi dan yang bersangkutan dianggap tuli (tergolong tunarungu barat sekali).

Kehilangan pendengaran pada anak tunarungu dapat diklasifikasikan dari0dB-


91 dB ke atas. Setiap tingkatan kehilangan pendengaran mempunyai padakemampuan
mendengar suara atau bunyi yang berbeda-beda, sehinggamempengaruhi
kemampauan komunikasi anak tunarungu. Terutama, pada kemampuan anak
berbicara dengan artikulasi yang tepat dan jelas. Semakin tinggikehilangan
pendengarannya, maka semakin lemah kemampuan artikulasinya.

Berdasarkan tingkat kehilangan ketajaman pendengaran yang diukur dengan


satuan desiBell (dB), klasifikasi anak tunarungu menurut Heri Purwanto (1998: 7)
adalah seperti berikut :

1. Sangat ringan (light) 25 dB - 40 dB


2. Ringan (mild) 41 dB - 55 dB
3. Sedang (moderate) 56 dB - 70 dB
4. Berat (severe) 71 dB - 90 dB
5. Sangat berat (profound) 91 dB – lebih

Tingkat kehilangan pendengaran dapat di bagi menjadi 5 tingkatan, yaitu


sangat ringan, ringan, sedang, berat, sangat berat. Semakin tinggi kehilangan
pendengaran, semakin lemah kemampuan mendengar suara atau bunyi bahkan hanya
merasakan getaran dari suara saja. Selain itu juga, biasanya berdampak pada
kemampuan komunikasi, terutama kemampuan bicara dengan artikulasi yang jelas
sehingga pesan yang disampaikan dapat dipahami orang lain.

8
Klasifikasi anak tunarungu bermacam-macam dan dapat dilihat dari beberapa
sudut pandang. Klasifikasi subjek dalam penelitian ini adalah satu anak tunarungu
yang masih mempunyai sedikit sisa pendengaran tetapi belum dioptimalkan fungsinya
dan dua anak tunarungu yang sudah tidak mempunyai sisa pendengaran atau tuli.
Subjek belum dapat mengucapkan kata-kata dengan artikulasi yang tepat dan jelas,
anak terbiasa berkomunikasi dengan isyarat dan oral tetapi tidak mengeluarkan suara
yang jelas. Salah satu metode untuk meningkatkan kemampuan artikulasi anak
tunarungu adalah metode drill. Metode drill disini anak dituntut mengucapkan kata-
kata secara berulang-ulang, sehingga anak terbiasa bicara dengan ucapan yang tepat
dan jelas yang disertai suara.

B. Penyebab Ketunarunguan
Menurut Somad dan Hernawati (1995), penyebab ketunarunguan dapat terjadi
sebelum lahir (prental), ketika lahir (natal) dan sesudah lahir (post natal). Terdapat
beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab ketunarunguan, yaitu sebagai berikut:

a. Faktor Internal 

1. Keturunan dari salah satu kedua orangtuanya yang mengalami ketunarunguan.


Banyak kondisi genetik yang berbeda sehingga dapat menyebabkan
ketunarunguan. Transmisi yang disebabkan oleh gen yang dominan represif dan
berhubungan dengan jenis kelamin. Meskipun sudah menjadi pendapat umum
bahwa keturunan merupakan penyebab dari ketunarunguan, namun belum ada
kepastian berapa persen ketunarunguan yang disebabkan oleh faktor keturunan. 
2. Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit Campak Jerman (Rubella).
Penyakit Rubella pada masa kandungan tiga bulan pertama akan berpengaruh
buruk pada janin. Penelitian melaporkan 199 anak-anak yang ibunya terkena
Virus Rubella selagi mengandung selama masa tahun 1964 sampai 1965, 50% dari
anak-anak tersebut mengalami kelainan pendengaran. Rubella dari pihak ibu
merupakan penyebab yang paling umum yang dikenal sebagai penyebab
ketunarunguan. 
3. Ibu yang sedang mengandung menderita keracunan darah Toxaminia, hal ini bisa
menyebabkan kerusakan pada plasenta yang mempengaruhi terhadap

9
pertumbuhan janin. Jika hal tersebut menyerang syaraf atau alat-alat pendengaran
maka anak tersebut akan terlahir dalam keadaan tunarungu.

b. Faktor Eksternal 

1. Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan atau kelahiran. Misal, anak terserang
Harpes Imlex, jika infeksi ini menyerang alat kelamin ibu dapat menular pada saat
anak dilahirkan. Demikian pula pada penyakit kelamin yang lain, dapat ditularkan
melalui terusan jika virusnya masih dalam keadaan aktif. Penyakit-penyakit yang
ditularkan kepada anak yang dilahirkannya dapat menimbulkan infeksi yang dapat
menyebabkan kerusakan pada alat-alat atau syaraf pendengaran. 
2. Meningitis atau radang selaput otak, dari hasil penelitian para ahli ketunarunguan
yang disebabkan karena meningitis yang dilakukkan oleh Vermon (1968)
sebanyak 8,1%, Ries (1973) melaporkan 4,9%, sedangkan Trybus (1985)
memberikan keterangan sebanyak 7,33%. 
3. Otitis media (radang pada bagian telinga tengah) adalah radang pada bagian
telinga tengah, sehingga menimbulkan nanah, dan nanah tersebut mengampil dan
mengganggu hantaran bunyi. Jika kondisi ini kronis tidak segera diobati, penyakit
ini bisa menimbulkan kehilangan pendengaran yang tergolong ringan sampai
sedang. Otitis media adalah salah satu penyakit yang sering terjadi pada kanak-
kanak sebelum mencapai usia enam tahun. 
4. Penyakit lain atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerusakan alat-alat
pendengaran bagian tengah dan dalam.

C. Cara Belajar Anak Tuna Rungu

Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan
membaca ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan
kombinasi ketiga cara tersebut.

1) Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)

Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya


melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat

10
terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang
bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau
ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak
dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka
yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi
pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur
bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang
“tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan
pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat
bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik
daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman &
Elkins, 1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued
speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi
membaca ujaran (speechreading).

Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan


diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-
kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara,
isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued
Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun
1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian
pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan
tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat
ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi
mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik
dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek.
Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18
jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-
kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan
menggunakan cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-
teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).

2) Belajar Bahasa Melalui Pendengaran

11
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua
tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat
bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural
dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah
prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal
(mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal
(rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung
organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal
tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk
menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi
elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).

Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang
dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat
untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur
sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang
ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang
diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini
adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam
kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat
memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di
samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar
yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat
kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.

3) Belajar Bahasa secara Manual

Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi


manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah
mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins
(1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku
memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka
perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah
bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.

12
Secara umum, ada dua pendekatan dalam memberikan pembelajaran pada anak
tunarungu, yakni pendekatan komunikasi dan pendekatan pembelajaran Bahasa.
Pembelajaran dengan pendekatan komunikasi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu
dengan cara verbal, nonverbal, dan gabungan dari verbal-nonverbal.

Rata-rata skor kemampuan membaca pada anak-anak tuna rungu adalah 11, 889 (skor
maksimum 16) atau 74 %.

Media Pembelajaran Untuk Siswa Tunarungu

 Benda Nyata. Tunarungu mengalami hambatan pada pendengaran sehingga media


pembelajaran yang digunakan lebih menekankan ke visual. ...
 Pias Kata. Pias kata adalah media pembelajaran yang bisa digunakan untuk melatih
anak tunarungu membuat kalimat. .
 Media Gambar.
 Video.
 Cermin.

D. Cara Berinteraksi Anak Tuna Rungu


Interaksi sosial menurut H. Bonner merupakan hubungan antara dua individu atau
lebih, yang mana setiap perilaku individu di antaranya dapat mempengaruhi, mengubah
dan memperbaki perilaku individu yang lainnya. Maka pendapat H. Bonner adalah
adanya suatu hubungan atau keterkaitan yang melibatkan antara dua individu atau lebih.
Hubungan di antara dua individu ini dimulai sejak adanya proses komunikasi yang
terjadi. Suatu wujud dari interaksi sosial adalah adanya prilaku dari pihak kedua sebagai
respon terhadap prilaku pihak pertama. Misalnya saat kita bertemu dengan orang lain, kita
dapat berjabat tangan, saling menyapa, berkomunikasi, bercanda, tertawa bersama,
bahkan bertengkar. Bagi anakanak, interaksi sosial besar kemungkinan akan terjadi pada
saat di sekolah.

Interaksi sosial tidak saja terjadi di sekolah pada umumnya, namun di Sekolah Luar
Biasa atau lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat siswa berkebutuhan khusus
atau disabilitas pun bisa terjadi. Didalam proses interaksi sosial terhadap penyandang

13
disabilitas harus ada penyesuaian dengan kebutuhan penyandang disabilitas tersebut,
sehingga tenaga pengajarnya pun harus menguasai kebutuhan khusus itu, agar proses
interaksi berjalan dengan baik. Lain halnya dengan sekolah inklusif, yang mana anak
disabilitas dikelompokkan dan ditangani sebagaimana anak normal lainnya.

Anak disabilitas memiliki kategori yang bermacam-macam, diantaranya tunanetra,


tunawicara, autis, hiperaktif, cacat berupa fisik, tunarungu, dan berbagai macam
lainnya.Anak disabilitas tersebut yang memiliki hambatan dalam berinteraksi sosial
adalah autis, tunarungu, dan tunawicara. Misalnya anak tunarungu, pada anak tunarungu
akan mengalami menghambat interaksi sosialnya dengan orang lain karena kurangnya
kemampuan mereka untuk mendengarkan. Biasanya seorang tunarungu sulit berbicara,
gangguan pendengarannya membuat penyandang tunarungu tidak mengetahui persis kata-
kata, sehingga mempraktekan dengan ucapan akan merasa kesulitan. Itulah yang
menghambat dia dalam berkomunikasi.

Berkaitan dengan tunarungu, Hallahan dan Kauffan berpendapat bahwa anak


tunarungu merupakan anak yang kurang dapat atau kesulitan mendengar dari yang ringan
sampai yang berat. Oleh sebab itu, anak tunarungu akibat dari rusaknya pendengaran dan
menjadi terhambatnya potensi untuk berkembangnya kemampuan berbicara atau
berbahasa. Pernyataan ini, menggambarkan bahwa kemampuan berkomunikasi secara
umum terutama melalui bahasa verbal bagi anak tunarungu masih terhambat karena
mereka memiliki gangguan untuk menangkap gelombang suara.Hal itu dapat
menghambat perkembangan sosial mereka karena minimnya penguasaan bahasa.
Kekurangan bahasa ini membuat mereka tidak dapat berkomunikasi dengan baik dalam
proses interaksi sosialnya.

1. Komponen interaksi sosial pada anak tuna rungu


Menurut soekanto terdapat 2 komponen dikatakannya sebuah interaksi sosial harus
meliputi sebagai berikut:
a. Kontak sosial
Kontak sosial secara bahasa merupakan saling adanya sentuhan atau bersama-
sama menyentuh satu sama lain. Namun dalam pengertian sosiologi adanya
sentuhan secara fisik ini bukanlah syarat mutlak adanya sebuah interaksi sosial,
ada juga interaksi sosial yang terbentuk tanpa adanya interaksi secara fisik seperti

14
berkomunikasi melalui telfon atau media elektronik yang lain. Kontak sosial
memiliki sifat-sifat yaitu kontak sosial positif seperti adanya kerja sama antar satu
dengan yang lainnya dan kontak sosial negatif adanya pertentangan antar satu
dengan yang lain, serta kontak sosial bersifat primer dan sekunder. Kontak sosial
bersifat primer yaitu kontak sosial yang terjadi secara langsung misalnya saat
membeli sesuatu di pasar.Namun kontak sosial sekunder harus melalui perantara
dalam melakukan kontak sosial, seperti menelepon temannya yang jauh.
b. Komunikasi
Komunikasi merupakan adanya pemahaman perilaku dan perasaan-perasaan yang
disampaikan oleh lawan berkomunikasi kita. Adanya tiga tahap dalam proses
berkomunikasi. Pertama, encoding merupakan mengomunikasikan sebuah
gagasan melalui kalimat atau gambar.Kedua, penyampaian gagasan melalui
kalimat dan gambar tersebut berupa lisan, tulisan, dan gabungan antara dua hal
tersebut. Ketiga, decoding yaitu adanya penyerapan atau pemahaman atas apa
yangtelah disampaikan .
Menurut Marschark dan Spencer ada 2 jenis komunikasi yang digunakan oleh
anak tunarungu, yaitu:
1) Komunikasi nonlogistik Merupakan komunikasi yang tidak menggunakan
lisan/oral.Komunikasi ini, banyak menggunakan ekspresi wajah, gesture tubuh,
gerak tubuh dan aktivitas fisik.
2) Komunikasi logistic Merupakan komunikasi dengan menggunakan bahasa
bibir.Biasanya salah satu individu berbicara menggunakan mulut mereka dan
menggunakan bahasa yang dipahami.

2. Tahap-Tahap Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu


Menurut Yuhan, ada 2 tahapan yang dialami oleh anak tunarungu ketika berinteraksi
sosial, yaitu:
1) Inisiasi interaksi sebaya
Inisiasi adalah tahapan awal anak tunarungu dalam membangun sebuah interaksi.
Anak tunarungu berusaha mengamati lingkungan sekitar terlebih dahulu. Anak
tunarungu biasanya mempelajari dari bagaimana orang lain saling berinteraksi
satu sama lain. Mereka mengamati supaya membuat mereka bergabung dalam
melakukan interaksi.Komunikasi mereka gunakan biasanya dengan menggunakan
bahasa nonverbal atau gesture tubuh.

15
2) Memantau interaksi sebaya
Dalam tahap kedua ini, merupakan cara seorang anak tunarungu untuk
mempertahankan sebuah interaksi yang sudah terjadi. Anak tunarungu mengalami
kesulitan untuk mempertahankan sebuah interaksi sosial dalam jangka waktu
panjang. Dalam hal ini, ada faktor penghambat anak tunarungu dalam
berinteraksi.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial Anak Tunarungu


Menurut Yuhan ada beberapa faktor yang mempengaruhi interaksi sosial pada
anak tunarungu, yaitu:
1) Bahasa dan kemampuan bicara Anak tunarungu memiliki keterlambatan dalam
perkembangan berbicaranya.Mereka membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
mengucapkan suatu katasehingga memiliki masalah dengan interaksi sosialnya.
2) Familiaritas dan tingkat pendengaran yang sama dengan teman sebayanya Anak-
anak tunarungu lebih nyaman untuk berinteraksi dengan teman sebayanya yang
memiliki tingkat pendengaran yang sama. Salah satu kunci mereka untuk berinteraksi
adalah kesamaan pemahaman akan suatu hal Model komunikasi Model komunikasi
ini yang biasa dimiliki oleh anak tunarungu dibagi menjadi 2 yaitu: Pertama
komunikasi oral, yaitu komunikasi dengan membaca gerak bibir lawan bicara atau
mereka berusaha mengucapkan kata-kata dengan pelafalan yang jelas; Kedua adalah
bahasa isyarat. Beberapa anak tunarungu mampu dengan bahasa ini, tapi tidak banyak
karena bahasa isyarat ini sangat sulit untuk berinteraksi dan juga anak-anak yang
mendengar tidak memahami bahasa isyarat mereka.

Akibat kurang berfungsinya pendengaran, anak tunarugu mengalihkan


pengamatannya kepada mata, maka anak tunarungu disebut sebagai “Insan Pemata”.
Melalui mata anak tunarungu memahami bahasa lisan atau oral, selain melihat
gerakan dan ekspresi wajah lawan bicaranya mata anak tunarungu juga digunakan
untuk membaca gerak bibir orang yang berbicara. Pada anak mendengar hal tersebut
tidak terlalu penting, tetapi pada anak tunarungu untuk memahami bahasa sangatlah
penting. Dengan alasan tersebut anak tunarungu lebih banyak membutuhkan waktu.
Berapa banyak waktu yang dibutuhkan oleh anak tunarungu untuk belajar memahami
bahasa orang lain dan untuk belajar berbicara. Hal ini tergantung kepada kemampuan
masing-masing individu serta bantuan dari orang-orang disekelingnya.

16
4. Upaya untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Anak Tunarungu
Sekolah yang kondusif adalah sekolah yang mampu mengembangkan
pembelajaran yang dapat menjawab berbagai keanekaragaman potensi yang dimiliki
anak didiknya. Seharusnya sekolah mampu mengembangkan potensi peserta didik,
baik dari anak yang normal maupun anak berkebutuhan khusus. Salah satunya adalah
dalam mengembangkan kemampuan interaksi sosial anak tunarungu Lingkungan yang
dibangun oleh guru dan anak sangat mempengaruhi kemampuan interaksi sosial anak
tunarungu. Agar siswa dapat berinteraksi dengan baik maka siswa memerlukan
dukungan dan bimbingan. Lingkungan yang baik dapat membantu anak tunarungu
merasa lebih nyaman dan percaya diri untuk melaksanakan proses interaksi dengan
teman sebayanya.
Ada beberapa upaya-upaya yang dapat diterapkan oleh guru untuk
meningkatkan kemampuan interaksi sosial anak tunarungu yaitu: 1) Membagi kelas
menjadi beberapa kelompok kecil Melalui kelompok kecil anak tunarungu dapat
memperoleh kesempatan untuk lebih aktif selama kegiatan pembelajaran. 2)
Menciptakan pembelajaran yang ramah Penciptaan proses pembelajaran yang ramah
lebih berorientasi pada pembelajaran yang berpusat pada anak, artinya anak diberikan
keleluasaan untuk meningkatkan eksplorasi dan mmendapatkan sumber-sumber
informasi secara mudah serta lebih menekankan pada model kooperatif dan kreatif. 3)
Menekankan pentingnya kasih sayang dan kepercayaan dalam pembelajaran dan
belajar, mendorong anak untuk bersikap terbuka dan dilakukan melalui penciptaan
iklim yang tidak otoriter. 4) Guru bukan sekedar melakukan penanganan langsung
terhadap anak Guru hendaknya juga menjadikan orang tua secara konsisten dapat
terlibat lansung dalam kegiatan pengasuhan, menjalin interaksi yang berkualitas dan
mampu memberikan pengalaman yang berbeda kepada anaknya. 5) Membangun
kedekatan dan kontrol sentuhan (promaximity and touchcontrol).
Sebisa mungkin guru membangun hubungan yang baik dengan anak
tunarungu. Guru diharapkan dapat membangun kedekatan pada anak agar terciptanya
hubungan baik dan timbul kepercayaan dan kenyamanan. Hal ini dapat membantu
anak tunarungu agar tidak lagi malu-malu dalam berinteraksi sosial.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kemampuan berbahasa anak tunarungu dapat berkembang dengan baik atau
sebaliknya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Khususnya faktor di luar diri anak
yaitu orang tua. Orang tua sebagai pendidik pertama dan utama memberikan pengaruh
yang sangat besar terutama dalam mengembangkan kemampuan bahasa anak tunarungu.
Orang tua dituntut untuk dapat menerima anaknya secara realistis, positif serta mampu
menjalankan peran dalam mengembangkan bahasa anak tunarungu. Peran orang tua
dalam hal ini yaitu mencakup pada penerimaan terhadap anak, memahami perkembangan
bahasa anak, serta terampil dalam menciptakan dan memberikan kesempatan berbahasa
kepada anak sejak dini. Karena, keterampilan berbahasa didapat oleh anak dengan cara
proses meniru, peniruan terjadi apabila ada motivasi dari anak untuk mau
berbahasa/bicara dan motivasi tersebut akan muncul apabila orang tua dapat menjalankan
perannya dengan baik.

B. Saran
Sebaiknya guru melakukan terapi wicara pada anak agar kemampuan berbahasa
anak dapat berkembang sehingga apa yang di inginkan anak dapat diketahui dan dipenuhi
oleh guru atau orang tua. Jika hal tersebut dapat terlaksana dengan baik maka akan
meminimalisir atau menghilangkan perilaku anak yang mudah marah dan mudah
tersinggung.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abu, Ahmadi. 2002, Psikologi Sosial, Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Edja, Sadjaah. 2005. Pendidikan Bahasa Bagi Anak Gangguan Pendengaran Dalam
Keluarga (Jakarta Depdiknas).

Ilahi, Mohammad T. 2013. Pendidikan Inklusif: Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media)

I.G.A.K.Wardani,dkk. 2015. Pengantar pendidikan anak berkebutuhan khusus, Universitas


Terbuka : Tangerang Selatan

Yuhan,X.,Potmesil, M., & Peters, B. 2011. Children Who Are Deaf or Hard Of Hearing in
Inclusive Educational Settings: A literature Review on Interaction With Peers. Journal of
Deaf Studies and Deaf Education.

Ahmad Wasita, Seluk Beluk Tunarungu Dan Tunawicara Serta Strategi Pembeajarannya,
(Jogjakarta : Javalitera 2012),

Liando Joppy dan Aldijo Dapa. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Persepektif
Sistem Social. (Jakarta:Depdiknas, 2007)

19

Anda mungkin juga menyukai