Anda di halaman 1dari 3

Anak tunarungu adalah mereka yang pendengarannya tidak berfungsi sehingga

membutuhkan pelayanan pendidikan khusus. Bagi anak yang tipe gangguan pendengaran lebih
ringan dapat diatasi dengan alat bantu dengar dan dapat sekolah biasa di sekolah formal.

Gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan sesuai dengan frekuensi dan intensitasnya.


Frekuensi dijabarkan dalam bentuk cps (cycles per sound) atau hertz (Hz). Orang normal dapat
mendengar dalam frekuensi 18-18.000 Hertz. Intensitas diukur dalam desibel (dB). Kesemuanya
itu diukur dengan audiometer yang dicatat dalam audiogram.

Perbedaan antara ketulian dengan gangguan pendengaran menurut Hallahan dan Kauffman
(2006) yakni orang tuli adalah mereka yang ketidakmampuan mendengarnya menghambat
keberhasilan memproses informasi bahasa melalui pendengaran, dengan ataupun tanpa alat bantu
dengar. Namun gangguan pendengaran adalah gangguan pendengaran baik yang permanen
maupun berfluktuasi namun tidak tuli.

Anak tunarungu membutuhkan perlakuan khusus dan penanganan sejak dini. Ada beberapa
penanganan yang terdiri dari terapi non medis yang dapat dilakukan seperti memberikan
pendidikan khusus, occupational therapy, terapi bicara dan terapi bahasa, terapi komunikasi
makaton, diit terapi, terapi fisik dengan melatih otot-otot mereka, Applied Behavioral Analysis
(ABA) untuk membantu mengenal perilaku mana yang positif atau negatif, picture exchange
communication system, yang merupakan metode belajar melalui gambar, mengekspresikan kata
melalui gambar yang mudah ditangkap penderita autis, terapi Cognitive Behavior Therapy (CBT),
dan Social Skill Training (SST).

1. Penanganan Anak Tunarungu dengan Terapi Bermain


Ada dua jenis kegiatan bermain yang dapat digunakan sebagai terapi bagi anak tuna rungu.
Pertama, kegiatan bermain yang dapat mengembangkan kemampuan pendengarannya. Kedua,
kegiatan bermain yang dapat menjadikan anak mampu membedakan suara dan nada. Berbagai
kegiatan bermain tersebut misalnya berikut ini :
a. Kegiatan bermain yang dapat mengembangkan kemampuan pendengarannya. Misalnya
permainan panjang dan pendek, rintangan manusia, kau semakin dekat, kucing dan tikus,
serta membingungkan si penyanyi.
b. Kegiatan bermain yang dapat menjadikan anak mampu membedakan suara dan nada.
Misalnya permainan telepon, memainkan ketukanku, sembunyi dan mendengar, serta
mendengarkan sekolah.
Terapi bermain bagi anak tunarungu adalah pemberian kegiatan yang menyenang kan bagi
anak tunarungu secara intensif untuk meminimalisir bahkan menghilangkan gangguan
pendengarannya. Bermain sangat tepat sekali untuk digunakan sebagai media terapi bagi anak
tunarungu karena dapat mengoptimalkan perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan
fisiknya. Selain itu karena melalui kegiatan bermain anak tunarungu akan mendapatkan
kesenangan-kesenangan dan tanpa disadari mereka sebenarnya sedang diterapi agar gangguan
pendengarannya kembali normal.
2. Social Skill Training (SST)
SST adalah salah satu intervensi dengan teknik modifikasi perilaku didasarkan prinsip
bermain peran, praktek dan umpan balik guna meningkatkan kemampuan klien dalam
menyelesaikan masalah pada klien dengan gangguan perilaku kesulitan berinteraksi,
mengalami fobia sosial, dan klien yang mengalami kecemasan (Stuart, 2011).
SST dirancang untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan keterampilan sosial
bagi seseorang yang mengalami kesulitan dalam berinteraksi meliputi keterampilan
memberikan pujian, mengeluh karena tidak setuju, menolak permintaan orang lain, tukar
menukar pengalaman, menuntut hak pribadi, memberi saran pada orang lain, pemecahan
masalah yang dihadapi dan bekerjasama dengan orang lain. Ada empat kelompok keterampilan
sosial yang diajarkan bagi individu yang mengalami hambatan dalam hubungan interpersonal
dengan orang lain yakni : kemampuan berkomunikasi, menjalin persahabatan, terlibat dalam
aktifitas bersama, dan dalam menghadapi situasi sulit (Mercer, 1997).
Penelitian tentang SST pernah dilakukan oleh Sambodo (2012) mengenai pengaruh SST
terhadap keterampilan sosialisasi dan social anxiety remaja tunarungu hasil penelitian
didapatkan rata-rata peningkatkan keterampilan sosialisasi sebesar 8,38% dan didapatkan rata-
rata penurunan skor social anxiety 8,97%, maka disimpulkan diketahui perbedaan yang
bermakna skor keterampilan sosialisasi dan social anxiety pada remaja tunarungu sebelum dan
sesudah diberikan terapi SST.
3. Picture Exchange Communication System (PECS)
PECS adalah singkatan dari Picture Exchange Communication System adalah sebuah
teknik yang memadukan pengetahuan yang mendalam dari terapi berbicara dengan memahami
komunikasi dimana pelajar tidak bisa mengartikan kata, pemahaman yang kurang dalam
berkomunikasi, tujuannya adalah membantu anak secara spontan mengungkapkan interaksi
yang komunikatif, membantu anak memahami fungsi dari komunikasi, dan mengembangkan
kemampuan berkomunikasi. PECS adalah suatu pendekatan melalui gambar atau kata-kata
yang dikembangkan untuk anak-anak yang mengalami kekurangan dalam komunikasi sosial
(Bondy dan Frost dalam Yani dan Caryoto: 2013, 101).
Keunggulan PECS ini antara lain setiap pertukaran gambar/kata menunjukkan tujuan yang
jelas dan mudah dipahami, anak didorong untuk secara mandiri memperoleh “jembatan”
komunikasinya dan terjadi secara alamiah, material (bahan-bahan) yang digunakan cukup
murah, mudah disiapkan, dan bisa dipakai kapan saja dan dimana saja.
Penelitian tentang PECS pernah dilakukan oleh Rina Trimailani, Armaini, Damri (201)
mengenai efektifitas PECS untuk meningkatkan kemampuan komunikasi anak tunarungu kelas
VII SMPLB. Hasil penelitian didapatkan Berdasarkan analisis data secara keseluruhan,
penggunaan PECS berpengaruh positif terhadap peningkatan kemampuan komunikasi anak
tunarungu kelas VII SMPLB. Ini berarti bahwa hipotesis penelitian ini diterima. Adapun
hipotesis tersebut adalah “PECS efektif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi anak
tunarungu kelas VII SMPLB di SLB YPPLB Padang”. Jawaban dari hipotesis ini adalah
hipotesis diterima karena intervensi yang diberikan melalui PECS meningkatkan kemampuan
komunikasi anak tunarungu kelas VII SMPLB di SLB YPPLB Padang”.

Anda mungkin juga menyukai