Anda di halaman 1dari 9

RESUME

PERSPEKTIF PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN


ANAK TUNARUNGU
LAYANAN PENDIDIKAN BAGI ANAK HAMBATAN PENDENGARAN

DOSEN PEMBIMBING :

Dra. HJ. ZULMIYETRI, M.Pd

DISUSUN OLEH:

DESMA DAHLIAWATY
NIM 21003263

PENDIDIKAN LUAR BISA


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
LAYANAN PENDIDIKAN BAGI ANAK HAMBATAN PENDENGARAN

A Sejarah pendidikan bagi Anak Hambatan Pendengaran


Pertama kali pendidikan luar biasa dikenalkan oleh Jean March – Gaspard Itard pada
tahun 1775 hingga 1838. Pendidikan luar biasa yang dilakukan oleh Jean yakni
memberikan pelajaran kepada Vektor, seorang anak liar yang tidak bisa membaca,
berbicara, dan tidak dapat menulis. Melalui pendidikan luar biasa. Vektor diberi
pendidikan namun, Jean March merasa gagal karena pendidikan yang diberikan
kurang berhasil sehingga vektor tidak bisa apa-apa. 

Penelitian pendidikan luar biasa dilakukan lagi oleh Edouard Segun pada tahun 1812
sampai 1880. Edouard lebih maju, karena dirinya berhasil mengembangkan program
pembelajaran yang menggunakan aktifitas sensoris dan motoris untuk belajar.
Edouard meyakinkan bahwa semua anak dapat belajar, sekalipun anak berkebutuhan
khusus. Edoard kemudian berhasil mendirikan Amerikan Association on Mental
Retardation. 

Sejak adanya organisasi yang didikan oleh Edouard, para pionir pendidikan berusaha
untuk mengembangkan pendidikan luar biasa. Beberapa pionir pendidikan luar biasa
di dunia yang terlibat yaitu Jacob Rodrigues, Philippe Pinel, Thomas Gallaudet,
Samuel Gridley Howe,Dorothea Lynde Dix, Louis Braile, Francis Galton, Alfred
Binet, Maria Montessori, dan Lewis Terman. Pionor pendidikan bekerja sama untuk
membangun pendidikan luar biasa.

Di Indonesia, sejarah perkembangan pendidikan luar biasa dimulai ketika Belanda


masuk ke Indonesia (1596-1942), mereka memperkenalkan sistem persekolahan
dengan orientasi Barat. Untuk pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan pendidikan
khusus dibuka lembaga-lembaga khusus. Lembaga pertama untuk pendidikan anak
tunanetra dibuka pada tahun 1901, untuk anak tunagrahita tahun 1927, dan untuk
anak tunarungu tahun 1930, ketiganya di Bandung. Tujuh tahun setelah proklamasi
kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia mengundangkan undang-undang yang
pertama mengenai pendidikan. Mengenai anak-anak yang mempunyai kelainan fisik
dan/atau mental, undang-undang itu menyebutkan: Pendidikan dan pengajaran luar
biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasal 6 ayat 2) dan
untuk itu anak-anak tersebut terkena pasal 8 yang mengatakan : semua anak-anak
yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan
belajar di sekolah sedikitnya 6 tahun. Dengan diberlakukannya undang-undang
tersebut maka sekolah-sekolah baru yang khusus bagi anak berkebutuhan pendidikan
khusus, termasuk untuk anak tunadaksa dan tunalaras, dibuka. Sekolah-sekolah ini
disebut sekolah luar biasa (SLB).

Sebagian berdasarkan urutan sejarah berdirinya SLB pertama untuk masing masing
kategori kecacatan, SLB-SLB itu dikelompokkan menjadi:

(1) SLB bagian A untuk anak tunanetra,


(2) SLB bagian B untuk anak tunarungu,
(3) SLB bagian C untuk anak tunagrahita,
(4) SLB bagian D untuk anak tunadaksa,
(5) SLB bagian E untuk anak tunalaras, dan
(6) SLB bagian G untuk anak cacat ganda.

Eko (2006) mengemukakan bahwa dari jumlah keseluruhan 1.48 juta yang
dikategorikan berkelainan, 21.42% merupakan anak-anak usia sekolah. Meskipun
demikian, hanya 25% atau 79.061 anak yang sekarang ini berada di sekolah luar
biasa. Beberapa sekolah luar biasa yang mengakomodasi berbagai jenis kelainan
dibangun untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.

B Landasan Pemberian Layanan Pendidikan Bagi Anak Dengan Hambatan


Pendengaran
Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 disampaikan bahwa tiap warga Negara tanpa
terkecuali apakah dia mengalami kelainan atau tidak mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan. Kemudian pada tahun 2003, dikeluarkan UU No. 20
tentang system pendidikan nasional. Dimana dalam UU tersebt erat kaitannya dengan
pendidikan anak berkebutuhan khusus sbb:
BAB I (pasal 1 ayat 18), wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang
harus diikuti oleh warga Negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan
pemerintah daerah.
BAB II (pasal 4 ayat 1), pendidikan diselenggarakan secara demokratis berdasarkan
HAM, agama, cultural, dan kemajemukan bangsa.
BAB IV (pasal 5 ayat 1), setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, intelektual atau social berhak memperoleh pendidikan khusus.
BAB V bagian 11 (pasal 32 ayat 1), pendidikan khusus bagi peserta yang memiliki
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,
emosional, mental, social, atau memiliki potensi kecerdasan.

C Program Pendidikan bagi individu Anak hambatan pendengaran


Layanan pendidikan yang spesifik bagi anak tuna rungu adalah terletak pada
pengembangan persepsi bunyi dan komunikasi. Hallahan dan Kauffman, (1988)
menyatakan bahwa ada tiga pendekatan umum dalam mengajarkan komunikasi anak
tunarungu, yaitu:
1) Auditory training
2) Speechreading
3) Sing language and fingerspelling
Ada beberapa cara dalam mengembangkan kemampuan komunikasi anak tunarungu,
yaitu:

a. Metode oral,
yaitu cara melatih anak tunarungu dapat berkomunikasi secara lisan (verbal)
dengan lingkungan orang mendengar. Dalam hal ini perlu partisipasi lingkungan
anak tunarungu untuk berbahasa secara verbal. Dalam hal ini Van Uden,
menyarankan diterapkannya prinsip cybernetik, yaitu prinsip yang menekankan
perlunya suatu pengontrolan diri. Setiap organ gerak bicara yang menimbulkan
bunyi , dirasakan dan diamati sehingga hal itu akan memberikan umpan balik
terhadap gerakannya yang akan menimbulkan bunyi selanjutnya.

b. Membaca ujaran.

Dalam dunia pendidikan membaca ujaran sering disebut juga dengan membaca
bibir (lip reading). Membaca ujaran yaitu suatu kegiatan yang mencakup
pengamatan visual dari bentuk dan gerak bibir lawan bicara sewaktu dalam proses
bicara. Membaca ujaran mencakup pengertian atau pemberian makna pada apa
yang diucapkan lawan bicara di mana ekspresi muka dan pengetahuan bahasa turut
berperan. Ada beberapa kelemahan dalam menerapkan membaca ujaran, yaitu
1) tidak semua bunyi bahasa dapat terlihat pada bibir,
2) ada persamaan antara berbagai bentuk bunyi bahasa, misalnya bahasa bilabial
(p,b,m), dental (t,d,n) akan terlihat mempunyai bentuk yang sama pada bibir,
3) lawan bicara harus berhadapan dan tidak terlalu jauh,
4) pengucapan harus pelan dan lugas.

c. Metode manual.

Metode manual yaitu cara mengajar atau melatih anak tunarungu berkomunikasi
dengan isyarat atau ejaan jari. Bahasa manual atau bahasa isyarat mempunyai
unsur gesti atau gerakan tangan yang ditangkap melalui penglihatan atau suatu
bahasa yang menggunakan modalitas gesti-visual. Bahasa isyarat mempunyai
beberapa komponen, yaitu

(1) ungkapan badaniah;


(2) bahasa isyarat lokal; dan
(3) bahasa isyarat formal.
Ungkapan badaniah meliputi keseluruhan ekspresi badan seperti sikap badan
tentang ekspresi muka (mimik), pantomimik, dan gesti yang dilakukan orang
secara wajar dan alamiah Ungkapan badaniah tidak dapat digolongkan sebagai
suatu bahasa dalam arti sesungguhnya, walaupun lambang atau isyaratnya dapat
berfungsi sebagai media komunikasi. Bahasa isyarat lokal yaitu suatu ungkapan
manual dalam bentuk isyarat konvensional berfungsi sebagai pengganti kata.
Bahasa isyarat lokal berkembang di antara para tunarungu melalui konvensi
(kesepakatan). Bahasa isyarat formal adalah bahasa nasional dalam isyarat yang
biasanya menggunakan kosa kata isyarat dan dengan struktur bahasa yang sama
persis dengan bahasa lisan. Di Indonesia dikenal sebagai Isyando.

d. Ejaan jari.
Ejaan jari adalah penunjang bahasa isyarat dengan menggunakan ejaan jari. Ejaan
jari secara garis besar dapat dikelompokan dalam tiga jenis, yaitu
(1) ejaan jari dengan satu tangan (onehanded),
(2) ejaaan jari dengan kedua tangan (twohanded), dan
(3) ejaan jari campuran dengan menggunakan satu tangan atau dua tangan.

e. Komunikasi total.
Komunikasi total merupakan upaya perbaikan dalam mengajarkan komunikasi
bagi anak tunarungu. Istilah komunikasi total pertama hali dicetuskan oleh
Holcomb (1968) dan dikembangkan lebih lanjut oleh Denton (1970) dalam
Permanarian Somad dan Tatti Hernawati (1996). Komunikasi total merupakan
cara berkomunikasi dengan menggunakan salah satu modus atau semua cara
komunikasi yaitu penggunaan sistem isyarat, ejaan jari, bicara, baca ujaran,
amplifikasi, gesti, pantomimik, menggambar dan menulis serta pemanfaatan sisa
pendengaran sesuai kebutuhan dan kemampuan seseorang.

Strategi Pembelajaran Anak Tuna Rungu, yaitu :


a. Strategi Individualisasi
Strategi individualisasi merupakan strategi pembelajaran dengan mempergunakan
suatu program yang disesuaikan dengan perbedaan individu baik karakteristik,
kebutuhan maupun kemampuan secara perseorangan.
b. Strategi Kooperatif
Strategi kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang menekankan unsur
gotong royong atau saling membantu satu sama lain dalam mencapai
tujuanpembelajaran. Menurut Johnson, D.W. & Johnson, dalam strategi
pembelajaran kooperatif terdapat empat elemen dasar yaitu :
1) Saling ketergantungan positif
2) Interaksi tatap muka antarsiswa sehingga mereka dapat berdialog dengan
sesama lain.
3) Akuntabilitas individual.
4) Keterampilan menjalin hubungan interpersonal.

c. Strategi modifikasi perilaku


Strategi modifikasi perilaku merupakan suatu bentuk strategi pembelajaran yang
bertolak dari pendekatan behavioral (behavioral approach). Strategi ini bertujuan
untuk mengubah perilaku siswa ke arah yang lebih positif melalui conditioning
(pengondisian) dan membantunya agar lebih produktif sehingga menjadi individu
yang mandiri.

Media pembelajaran untuk anak tuna rungu adalah:

a. Media Visual (Media yang utama), seperti gambar, grafik, bagan, diagram,
objek nyata, dan sesuatu benda (misalnya mata uang, tumbuhan), objek tiruan dari
objek benda.

b. Media Audio, seperti program kaset untuk latihan pendengaran misalnya


membedakan suara binatang.

c. Media Audio Visual seperti televisi (bagi yang masih memiliki sisa
pendengaran atau menggunakan alat bantu dengar (hearing aid).

D Peranan sekolah bagi anak hambatan pendengaran


Sekolah untuk mengakomodasi anak berkebutuhan khusus yaitu Sekolah Luar
Biasa (SLB). Sekolah Luar biasa (SLB) sebagai lembaga pendidikan yang
dipersiapkan untuk menangani dan memberikan pelayanan pendidikan secara khusus
bagi penyandang kelainan tertentu (Paristiawan, 2017). Fungsi sekolah luar biasa itu
sendiri memang hanya untuk memberikan pengajaran sesuai dengan kemampuan
anak-anak berkebutuhan khusus dan tujuannya untuk memberikan sistem pengajaran
yang berbeda dengan anak umum lainnya yang hanya belajar membaca, menulis,
berkarya dan berhitung, sedangkan anak berkebutuhan khusus diajarkan pelajaran
khusus sesuai kebutuhannya untuk mempersiapkan anak berkebutuhan khusus
melanjutkan pendidikan formal dan untuk menjadi pribadi yang mandiri.

E Fasilitas Pendidikan Anak hambatan pendengaran


layanan pendidikan khusus untuk peserta didik dengan kategori tunarungu
mempunyai berbagai instrumen pendidikan untuk mendukung proses pembelajaran
Sesuai dengan Permendiknas Tahun 2008 Tentang Standar Sarana dan Prasarana
SDLB/SMPLB/SMALB yang mana pada kategori SDLB-B diharapkan dapat
melaksanakan proses pembelajaran yang didukung beberapa prasarana yang telah
ditentukan fungsi, penggunaan, standar, dan ketentuannya sebagai berikut

Ruang Bina komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI)

1. Ruang Bina Wicara berfungsi sebagai tempat latihan wicara perseorangan.


2. Sekolah yang melayani peserta didik SDLB dan/ atau SMPLB tunarungu memiliki
minimum satu buah ruang Bina Wicara dengan luas minimum 4 m2.
3. Ruang Bina Wicara dilengkapi dengan saran pendukung di dalamnya.

Ruang Bina Persepsi Bunyi dan Irama

1. Ruang Bina Persepsi Bunyi dan Irama berfungsi sebagai tempat mengembangkan
kemampuan memanfaatkan sisa pendengaran dan/atau perasaan vibrasi untuk
menghayati bunyi dan rangsang getar di sekitarnya, serta mengembangkan
kemampuan berbahasa khususnya bahasa irama.
2. Sekolah yang melayani peserta didik SDLB dan/atau SMPLB tunarungu memiliki
minimum satu buah ruang Bina Persepsi bunyi dan Irama yang dapat menampung
satu rombongan belajar dengan luas minimum 30 m2.
3. Ruang Bina Persepsi Bunyi dan Irama dilengkapi dengan sarana-prasarana
pendukung.

Ruang keterampilan

1. Ruang keterampilan berfungsi sebagai tempat kegiatan pembelajaran keterampilan


sesuai dengan program keterampilan yang dipilih oleh tiap sekolah.
2. Pada setiap sekolah yang menyelenggarakan jenjang pendidikan SMPLB dan/atau
SMALB minimum terdapat dua ruang keterampilan. Ruang tersebut digunakan
untuk kegiatan pembelajaran pada jenis keterampilan: keterampilan rekayasa,
keterampilan jasa atau keterampilan perkantoran.
3. Ruang keterampilan memiliki luas minimum 24 m2 dan lebar minimum 4 m.
4. Ruang keterampilan dilengkapi dengan sarana sesuai jenis keterampilan.

alat bantu khusus yang dinilai sangat menunjang dalam proses belajar-mengajar bagi
anak tunarungu yaitu:
1.      Audiometer
Audiometer adalah alat elektronik untuk mengukur taraf kehilangan pendengaran
seseorang. Melalui audimeter, kita dapat mengetahui kondisi pendengaran anak
tunarungu antara lain:
a. Apakah sisa pendengarannya difungsionalkan melalui konduksi tulang atau
konduksi udara
b. Berapa decibel anak tersebut kehilangan pendengarannya.
c. Telinga mana yang mengalami kehilangan pendengaran, apakah telinga
kanan, telinga kiri atau kedua-duanya, dan pada frekuensi berapa anak masih
dapat menerima suara.
2.      Hearing aids
Alat bantu dengar (ABD) mempunyai tiga unsur utama yaitu: microphone,
amplifier, dan receiver. Dengan menggunakan alat bantu dengar anak tunarungu
dapat berlatih mendengar, baik secara individual maupun secara berkelompok.
Alat bantu dengar tersebut lebih tepat digunakan bagi anak tunarungu yang
mempunyai kelainan pendengaran konduktif. Begitu pula alat bantu dengar akan
lebih efektif jika sesuai dengan program pendidikan yang sistematis yang
diajarkan oleh guru-guru yang profesional yang mampu memadukan ilmu
pengetahuan anak luar biasa dengan pengetahuan audiologi, dan pathologi
bahasa.
3.      Tape recorder
Tape recorder sangat berguna untuk mengontrol hasil ucapan yang telah
direkam, sehingga kita dapat mengikuti perkembangan bahasa lisan anak
tunarungu dari hari ke hari dan  dari tahun ke tahun. Disamping itu, tape recorder
sangat membantu anak tunarungu ringan dalam menyadarkan akan kelainan
bicaranya, sehingga guru artikulasi lbih mudah membimbing mereka dalam
memperbaiki kemampuan bicara mereka. Tape recorder dapat pula digunakan
mengajar anak tunarungu yang belum bersekolah dalam mengenal dalam
menangani gelak-tawa, suara-suara hewan, perbedaan antara suara tangisan
dengan suara omelan, dan sebagainya.
4.      Spatel
Spatel merupakan alat bantu untuk membetulkan posisi organ bicara. Dengan
menggunakan spatel, kita dapat membetulkan posisi lidah anak tunarungu,
sehingga mereka dapat bicara dengan lancar.
5.      Audiovisual
Alat bantu audiovisual berupa film, video tape, dan televisi. Penggunaan
audiovisual tersebut sangat bermanfaat bagi anak tunarungu, karena mereka
dapat memperhatikan ssuatu yang ditampilkan seakalipun dalam kemampuan
mendengar yang terbatas. Sebagai contoh, penayangan film-film pendidikan,
film ilmiah populer karikatur, dan siaran berita di televisi dengan bahasa isyarat.

6.      Cermin
Cermin digunakan sebagai alat bantu bagi anak tunarungu dalam belajar
mengucapkan sesuatu dengan artikulasi yang baik. Disamping itu anak
tunarungu dapat menyamakan ucapannya melalui cermin dengan apa yang
diucapkan oleh guru atau Arttikulator (Speech therapist). Dengan menggunakan
cermin, artikulator dapat mengontrol gerakan-gerakan yang tidak tepat dari anak
tunarungu, sehingga mereka menjadi sadar dalam mengucapkan konsonan,
vokal, kata-kata atau kalimat secara benar.

Media tersebut sangat membantu dalam keberhasilan proses pembelajaran anak


tunarungu. Media yang baik akan mendapatkan hasil yang baik pula begitu juga
sebaliknya apabila sarana prasarana kurang memadai hasil dari pembelajaran pun
kurang memuaskan. Jadi sudah jelas betapa pentingnya sarana prasarana dalam
membantu guru mengajar dan membantu siswa menerima pelajaran yang
disampaikan.
DAFTAR RUJUKAN

Anda mungkin juga menyukai