Disusun oleh :
Kelompok IX Semester IV
Puji syukur kehadirat Allah SWT , yang telah melimpahkan rahmat, taufik,
hidayah, serta inayah-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah berjudul “Pendidikan anak bagi anak penyandang autis dan karakteristik
dan pendidikan anak berkesulitan belajar” ini dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini telah kami susun secara maksimal atas bantuan dari berbagai pihak
sehingga bisa selesai dengan lancar. Pada kesempatan ini pula dengan kerendahan
hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas rumusan masalah yang dapat diambil
adalah :
1. Apakah pengertian dan penyebab anak penyandang autis?
2. Bagaimanakah karakteristik anak penyandang autis?
3. Bagaimanakah klasifikasi anak penyandang autis?
4. Bagaimanakah diagnosa autisme?
5. Bagaimanakah pengobatan autisme?
6. Bagaimanakah pendidikan bagi anak penyandang autis?
7. Apakah definisi, penyebab, dan jenis-jenis kesulitan belajar?
8. Bagaimanakah karakteristik anak berkesulitan belajar?
9. Apa sajakah gejala gangguan belajar?
10. Bagaimanakah diagnosa ganguan belajar?
11. Bagaimanakah layanan bantuan terhadap anak berkesulitan belajar?
12. Apa sajakah jenis-jenis ketidakmampuan belajar?
1.3 Tujuan
BAB II
2
PEMBAHASAN
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu
‘aut’yang berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang secara tidak langsung
menyatakan ‘orientasi atau arah atau keadaan (state). Sehingga autism dapat
didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asik dengan dirinya
sendiri (Reber, 1985 dalam Trevarthendkk dalam Sasmita). Pengertian ini
menunjuk pada bagaimana anak-anak autis gagal bertindakdengan minat pada
orang lain, tetapi kehilangan beberapa penonjolan perilaku mereka. Ini, tidak
membantu orang lain untuk memahami seperti apa dunia mereka.
Menurut Sasmita faktor penyebab autisme masih terus dicari dan masih
dalam penelitian para ahli. Beberapa teori terakhir mengatakan bahwa faktor
genetika (keturunan memegang peranan penting dalam proses terjadinya
autisme.
1. Faktor Genetik
3
Lebih kurang 20% dari kasus-kasus autisme disebabkan oleh faktor
genetik.Penyakit genetik yang sering dihubungkan dengan autisme adalah
tuberous sclerosis (17-58%) dan sindrom fragile X (20-30%). Disebut fragile
X karena secara sitogenetik penyakit ini ditandai oleh adanya kerapuhan
(fragile) X. Sindrome fragile X merupakan penyakit yang diwariskan secara
X-linked (X terangkai) yaitu melalui kromosome X. Pola penurunannya tidak
umum, yaitu tidak seperti penyakit dengan pewarisan X-linked lainnya,
karena tidak bisa digolingkan sebagai dominan atau resesi, laki-laki dan
perempuan dapat menjadi penderita maupun pembawa sifat (carrier). (Dr.
Sultana MH Faradz, Ph.D, dalam Sasmita)
3. Ketidakseimbangan Kimiawi
Beberapa peneliti menemukan sejumlah kecil dari gejala autistik
berhubungan dengan makanan atau kekurangan kimiawi di badan. Alergi
terhadap makanan tertentu, seperti bahan-bahan yang mengandung susu,
tepung gandum, daging, gula, bahan pengawet, penyedap rasa, bahan
pewarna, dan ragi. Untuk memastikan pernyataan tersebut, dalam tahun 2000
sampai 2001 telah dilakukan pemeriksaan terhadap 120 orang anak yang
memenuhi kriteria gangguan autisme menurut DSM IV. Rentang umur antara
1 – 10 tahun, dari 120 orang itu 97 adalah anak laki-laki dan 23 orang adalah
anak perempuan. Dari hasil pemeriksaan diperoleh bahwa anak anak ini
mengalami gangguan metabolisme yang kompleks, dan setelah dilakukan
pemeriksaan untuk alergi, ternyata dari 120 orang anak yang diperiksa: 100
anak (83,33%) menderita alergi susu sapi, gluten dan makanan lain, 18 anak
4
(15%) alergi terhadap susu dan makanan lain, 2 orang anak (1,66 %) alergi
terhadap gluten dan makanan lain. (Dr. Melly Budiman dalam Sasmita).
Penelitian lain menghubungkan autism dengan ketidakseimbangan hormonal,
peningkatan kadar dari bahan kimiawi tertentu di otak, seperti opioid, yang
menurunkan persepsi nyeri dan motivasi.
4. Kemungkinan Lain
Autisme juga diduga dapat disebabkan oleh virus, seperti rubella, toxo,
herpes, jamur, nutrisi yang buruk, pendarahan dan keracunan makanan pada
masa kehamilan yang dapat menghambat pertuimbuhan sel otak yang
menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi
pemahaman komunikasi dan interaksi (Depdiknas dalam Sasmita).
Kemungkinan yang lain adalah faktor psikologis, karena kesibukan orang
tuanya sehingga tidak memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan anak,
atau anak tidak pernah diajak berbicara sejak kecil, itu juga dapat
menyebabkan anak menderita autisme.
a. Interaksi sosial
b. Komunikasi (bicara dan bahasa)
c. Perilaku – emosi
d. Pola bermain
e. Gangguan sensorik – motorik
f. Perkembangan terlambat atau tidak normal
Menurut Depdiknas dalam Sasmita, mendeskripsikan anak dengan
autisme berdasarkan jenis masalah gangguan yang dialami anak dengan
autisme. Karakteristik dari masing-masing masalah/gangguan itu di
deskripsikan sebagai berikut:
6
2. Masalah/gangguan di bidang interaksi sosial dengan karakteristik
berupa:
a. anak autistic lebih suka menyendiri
b. anak tidak melakukan kontak mata dengan orang lain atau
meghindari tatapan muka atau mata orang lain.
c. Tidak tertarik bermain bersama dengan teman, baik yang sebaya
maupun yang lebih tua.
d. Bila diajak bermain, anak autistik itu tidak mau dan menjauh.
3. Masalah/gangguan di bidang sensoris degan karakteristiknya
berupa:
a. Anak autistik tidak peka terhadap sentuhan, seperti tidak suka
dipeluk.
b. Anak autistik bila mendengar suara keras langsung menutup
telinga.
c. Anak autistic senang mencium-cium atau menjilat-jilat mainan
atau benda-benda yang ada disekitarnya.
d. Tidak peka terhadap rasa sakit dan rasa takut
4. Masalah/gangguan di bidang pola bermain karakteristiknya
berupa:
a. Anak autistic tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
b. Anak autistik tidak suka bermain dengan teman sebayanya
c. Anak autistik tidak bermain sesuai dengan fungsi mainan,
misalnya sepeda dibalik lalu rodanya diputar.
5. masalah/gangguan di bidang perilaku karakteristiknya berupa:
a. Anak autistik dapat berperilaku berlebihan atau terlalu aktif
(hiperaktif) dan berperilaku berkekurangan (hipoaktif).
b. Anak autistik memperlihatkan stimulasi diri atau merangsang diri
sendiri seperti bergoyang-goyang mengepakan tangan seperti burung.
c. Anak autistik tidak suka kepada perubahan
d. Anak autistik duduk bengong dengan tatapan kosong.
1. Masalah/gangguan di bidang emosi karakteristiknya berupa:
7
a. Anak autistic sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-
tawa dan menangis tanpa alasan
b. Anak autistik kadang agresif dan merusak
c. Anak autistik kadang-kadang menyakiti dirinya sendiri
d. Anak autistik tidak memiliki empati dan tidak mengerti perasaan
orang lain yang ada di sekitarnya.
2.3 Klasifikasi Anak Autistik (Autisme)
Menurut Sasmita, dalam berinteraksi sosial anak autistikdikelompokan
atas 3 kelompok yaitu:
1. Kelompok menyendiri
Terlihat menghindari kontak fisik dengan lingkungannya
Bertedensi kurang menggunakan kata-kata, dan kadang-kadang
sulit berubah meskipun usianya bertambah lanjut. Dan
meskipun ada ada perubahan, mungkin hanya bisa
mengucapkan beberapa patah kata yang sederhana saja.
Menghabiskan harinya berjam-jam untuk sendiri, dan kalu
berbuat sesuatu, akan melakukannya berulang-ulang.
Gangguan perilaku pada kelompok anak ini termasuk bunyi-
bunyi aneh, gerakan tangan, tabiat yang mudah marah, melukai
diri sendiri, menyerang teman sendiri, merusak dan
menghancurkan mainannya.
2. Kelompok anak autisme yang pasif
Lebih bisa bertahan dengan kontak fisik, dan agak mampu
bermain dengan kelompok teman bergaul dan sebaya, tetapi
jarang sekali mencari teman sendiri.
Mempunyai perbendaharaan kata yang lebih banyak meskipun
masih agak terlambat bisa berbicara dibandingkan dengan anak
sebaya.
Kadang-kadang malah lebih cepat merangkai kata meskipun
kadang-kadang pula dibumbui kata yang kurang dimengerti.
8
Kelompok pasif ini masih bisa diajari dan dilatih dibandingkan
dengan anak autisme yang menyendiri dan yang aktif tetapi
menurut kemauannya sendiri.
3. Kelompok anak autisme yang aktif tetapi menurut kemauannya
sendiri
Kelompok ini seperti bertolak belakang dengan kelompok anak
autisme yang menyendiri karena lebih cepat bisa bicara dan
memiliki perbendaharaan kata yang paling banyak
Meskipun dapat merangkai kata dengan baik, tetapi tetap saja
terselip kata-kata yang aneh dan kurang dimengerti.
Masih bisa ikut berbagi rasa dengan teman bermainnya.
Dalam berdialog, seringmengajukan pertanyaan dengan topik
yang menarik, dan bila jawaban tidak memuaskan atau
pertanyaannya dipotong, akan bereaksi sangat marah.
2.4 Diagnosa Autisme
Menurut Sasmita, perkembangan anak menurun dan tidak normal, yang
mulai terlihat sejak anak usia 3 tahun, disertai salah satu gejala berikut:
1. Menggunakan bahasa yang tidak wajar dalam berkomunikasi
sehari-hari.
2. Tidak mampu menciptakan hubungan persahabatan yang akrab dan
hangat
3. Tidak mampu berakting (peran), misalnya kadang-kadang berperan
sebagai bapak atau guru dll.
Paling tidak ditemukan sebanyak enam (6) gejala dari No. 1, 2, dan 3:
Sekurang-kurangnya dua (2) gejala dari No. 1, serta paling tidak satu (1)
gejala dari No.2 dan No. 3. berikut:
1. Secara kualitas interaksi sosial sangat kurang, yang terlihat paling
tidak 2 gejala pada keadaan berikut:
Tidak mau berpandangan secara kontak mata, raut wajah
gerakan tubuh dan tangan dalam mengekspresikan keakraban pergaulan
sehari-hari.
9
Gagal mengembangkan pemkiran yang wajar dalam
menghadapi sejumlah kesempatan, menghadapi teman sebaya,berbagi
perhatian , bebagi kegiatan dan emosi.
Tidak mampu berbagi rasa terhadap perasaan orang sekitar,
dalam hal hubungan antarteman sepergaulan dan perilaku berkomunikasi.
Kurang mampu mencari kegembiraaan bersama-sama dengan
teman sepergaulan dan kurang bisa memperlihatkan atau menunjuk
seseorang yang menjadi perhatiannya.
2. Kurangnya kualitas dalam berkomunikasi, seperti terlihat paling
tidak 1 gejala berikut:
Terlambat atau tidak mampu sama sekali berbahasa sehingga
kadang-kadang didimbangi dengan bahasa isyarat melalui gerakan tangan,
mimik, dan gerakan tubuh. Keadaan ini sering dimulai dengan bersungut-
sungut.
Kurang mampu bercakap-cakap dengan teman sepergaulan
meskipun mungkin masih ada kemampuan berbahasa.
Mengulang-ulang kata atau kalimat-kalimat.
Tidak bisa spontan mempercayai teman bermain
3. Perilaku dan perhatian yang berulang-ulang, seperti terlihat paling
tidak 1 gejala berikut:
Buah pikiran yang berulang-ulang dan perhatian terbatas baik
itensitas maupun isinya.
Kegiatan rutin dan gerakan ritual seperti dipaksakan
Gerakan otot berulang-ulang, seperti melambai-lambaikan
tangan atau memutar-mutar tangan, atau menggerak-gerakakan tubuh.
Perhatian terpaku pada atu bahan/benda permainan, (seperti
mencium-cium bau, meraba-raba halusnya permukaan mainan.
2.5 Pengobatan Anak Autistik (Autisme)
Menurut ahli dalam Sasmita, sebagian besar anak autisme bila
diagnosanya cepat di tegakkan dan di tanggulangi dengan baik oleh penyakit
jiwa, bisa tumbuh samapai dewasa dan masih bisa berbuat dan berguna untuk
10
sesama meskipun mungkin cara hidup kesehariannya masih autistik (menurut
keinginan dan caranya sendiri).
11
4. Psycoterapy lebih diperlukan pada autisme anak yang lebih
besar dari pada untuk anak autisme yang masih balita.
Perencanaan pengobatan yang paripurna terhadap anak autisme,
termasuk :
Program pendidikan
Petunjuk bagi pengasuh dan keluarga dalam menghadapi anak autisme
Perhatian pada pengaruh langkah pengibatan yang di ambil
Obat-obat psikotropik kadang-kadang bermanfaat pada beberapa
penderita autisme. Fasilitas pengobatan untuk anak prasekolah biasnya
dipersiapkan untuk anak autisme yang masih kecil dan berat. Sekolah
pemerintah, sebaiknya tanggap untuk menyediakan fasilitas untuk menangani
anak autisme.
12
4. tentukan perubahan mana yang perlu untuk meningkatkan atau
mengurangi penyimpangan perilaku.
5. rencanakan program tersebut.
6. yakinkan dan usahakan agar semua pihak yang terlibat ikut peduli dengan
program tersebut.
7. periksa dan usahakan agar semua program yang direncanakan bisa
berjalan secara konsisten.
8. Adakan penilaian program secara teratur dan jangan terlalu mengharapkan
hasilnya dalam waktu singkat.
9. adakan modifikasi atau hentikan program setelah hasil yang anda
harapkan tercapai. Ingat, beberapa jenis kelainan perilaku tidak mudah
untuk di ubah. Salah seorang ahli menganjurkan, paling tidak, 3 bulan
setelah program dilaksanakan baru dilakukan penilaian apakah berhasil
atau gagal. Bila terlalu buru-buru mengubah langkah pengelolaan, bisa
menimbulkan malapetaka bagi si penderita.
10. memberikan permainan yang rutin dan tetap merupakan jenis pengobatan
bagi anak autisme, yang bisa mengurangi kecemasan dan meningkatkan
rasa aman dalam dunianya.
11.bergaul akrab dengan penderita, menuntun dalam berjalan, misalnya
berekreasi, juga di anjurkan oleh para profesional.
12. pengobatan secara psikologi dan secara bermain, termasuk yang
dianjurkan juga.
13. begitu juga latihan memilih dan latihan berkomunikasi.
13
Tindakan lain yang perlu diperhatikan oleh para orang tua anak autistik
adalah memberikan penanganan kepada anaknya berdasarkan masalah dan
gejala perilaku yang nampak pada diri anak autistik.
Para orang tua tidak boleh lupa bahwa meskipun anaknya autistik,
namun anaknya yang autistik tersebut terus mengalami perubahan atau
perkembangan. Karena itu, para orangtua anak autistik harus juga selalu
berkembang dengan cara para orang tua harus selalu berusaha dan belajar
terus menerus untuk mempelajari berbagai hal yang berhubungan dengan
semua aspek kehidupan anak yang autistik.
Orang tua harus dapat mengenali keadaan anak apa adanya. Para orang
tua perlu ingat bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang terjadi
pada anak usia dibawah tiga tahun. Perwujudan gangguan perkembangan ini
mencangkup tiga aspek utama, yaitu gangguan komunikasi, gangguan
perilaku, dan gangguan interaksi (puspita dalam Sasmita).
14
orang tua perlu memberi makna pada kehidupan anaknya (puspita dalam
Sasmita).
15
khusus dan terapi wicara meupakan kompenen yang penting. Namun yang
tidak boleh dilakukan oleh pihak guru khususnya dan pihak lain yang terkait
ialah bahwa masing-masing individu anak yang autistik adalah unik, sehingga
jangan beranggapan bahwa satu metode berhasil untuk satu anak dan metode
tersebut berhasil pula untuk anak autistik yang lain. Jadi suatu metode yang
diterapkan disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan dari masing-
masing anak yang autistik.
Untuk anak autistik yang berusia remaja dan dewasa muda. Program
pendidikan dan latihan yang perlu diberikan oleh guru kerjasama dengan
pihak yang terkait (orang tua, terapis, dan tenaga medis, ahli terapi wicara,
psikolog, dan lainnya) ialah masalah yang berkenaan dengan kekurangan
dalam interaksi sosial, hubungan timbal balik, memahami aturan-aturan
sosial, memusatkan perhatian bila anak berada dalam suatu kelompok, dan
kemampuan mengerjakan cara-cara yang di ajarkan oleh pembimbingnya
(widyawati dalam Sasmita).
16
konsultasikan anak ke ahli endokrinologi untuk mengatasi agresivitas seksual
anak dan konsultasi neurologi untuk mengatasi adanya serangan kejang lobus
temporalis dan sindrom hipo talamik. Guru harus menciptakan lingkungan
sekolah yang aman, teratur, dan responsif terhadap anak autistik. Guru harus
berusaha untuk membangkitkan rasa percaya diri pada anak dan membantu
orang tua untuk mengerti dan mempraktekkan teknik-teknik perilaku yang di
ajarkan bersama-sama dengan anak autistik agar meningkatkan persepsi
orang tua, sehingga para orang tua dapat membantu dengan efektif dan
mengintrol perilaku anak mereka. Selain itu, guru perlu juga
mengembangkan berbagai keterampilan sebagai pengganti agresivitas, seperti
keterampilan sosial, keterampilan berkomunikasi, kerjasama, menggunakan
waktu senggang, dan keterampilan berekreasi (widyawati dalam Sasmita).
Ada beberapa teknik yang dapat digunakan oleh guru disekolah dan
para orang tua dirumah untuk mencegah timbulnya perilaku agresivitas pada
diri anak. Teknik-teknik tersebut, yaitu dengan :
Guru perlu juga mengetahui gaya belajar anak autistik. Berupa: Rote
Learner, yaitu anak cenderung mengafalkan informasi apa adanya tanpa
memahami arti simbol yang dihapalkan itu; Gestalt Learner, yaitu anak dapat
17
mengahafalkan kalimat-kalimat secara utuh tanpa mengerti arti kata perkata
yang terdapat pada kalimat itu dan anak cenderung belajar menggunakan
gaya gestalt, yaitu melihat sesuatu secara keseluruhan; Visual Learner, yaitu
anak senang melihat buku, gambar-gambar dan tv dan mudah memahami
sesuatu yang dilihat daripada yang mereka dengar; Hands on Learner, yaitu
anak senang mencoba-coba dan mendapatkan pengetahuan dari
pengalamannya mencoba-coba ini; dan Auditory Learner, yaitu anak autistik
senang bicara dan lebih mudah memahami terhadap yang mereka dengar dari
pada terhadap apa yang mereka lihat. Dengan mengetahui gaya belajar dari
setiap anak autistik, maka guru diharapkan dapat menyesuaikan proses
pendidikan, bimbingan, dan latihannya terhadap gaya belajar anak autistik
tersebut.
Guru perlu juga mengetahui masalah belajar yang dialami anak autistik.
Ada empat masalah belajar yang mempengaruhi proses berpikir yang
mempengaruhi proses belajar anak autistik disekolah menurut paull dan
jordan dalam Sasmita, yaitu: masalah persepsi, msalah kesadaran akan
pengalaman, masalah daya ingat, dan masalah emosi. Anak autistik
bermasalah persepsi karena tidak dapat mempersepsi stimulus dari
lingkungan seperti dilingkungan anak normal. Anak autistik bermasalah
dalam hal kesadaran terhadap pengalaman karena anak autistik sulit
memahami bahwa sesuatu itu telah dialaminya, anak autistik bermasalah
dalam hal daya ingat karena anak autistik daya ingatnya lemah, sehingga
anak autistik seulit mengaitkan ingatan dengan pengalaman mereka sebagai
pribadi dan anak autistik bermasalah emosi karena emosi anak autistik tidak
stabil dan cenderung subjektif.
19
berbeda. Di satu pihak, penggunaan istilah learning differences lebih bernada
positif, namun di pihak lain istilah learning disabilities lebih menggambarkan
kondisi faktualnya. Untuk menghindari bias dan perbedaan rujukan, maka
digunakan istilah Kesulitan Belajar.
20
Pola kegagalan dalam mencapai prestasi belajar ini terjadi berulang-
ulang.Tampaknya memantapkan harapan untuk gagal sehingga
melemahkan usaha.
2. Hambatan fisik/tubuh atau lingkungan berinteraksi dengan kesulitan
belajar, Adanya kelainan fisik, misalnya penglihatan yang kurang jelas
atau pendengaran yang terganggu berkembang menjadi kesulitan belajar
yang jauh di luar jangkauan kesulitan fisik awal.
3. Kelainan motivasional
Kegagalan berulang, penolakan guru dan teman-teman sebaya, tidak
adanya reinforcement. Semua ini ataupun sendiri-sendiri cenderung
merendahkan mutu tindakan, mengurangi minat untuk belajar, dan
umumnya merendahkan motivasi atau memindahkan motivasi ke kegiatan
lain.
4. Kecemasan yang samar-samar,mirip kecemasan yang mengambang
Kegagalan yang berulang kali, yang mengembangkan harapan akan gagal
dalam bidang akademik dapat menular ke bidang-bidang pengalaman lain.
Adanya antisipasi terhadap kegagalan yang segera datang, yang tidak pasti
dalam hal apa, menimbulkan kegelisahan, ketidaknyamanan, dan semacam
keinginan untuk mengundurkan diri. Misalnya dalam bentuk melamun
atau tidak memperhatikan.
5. Perilaku berubah-ubah,dalam arti tidak konsisten dan tidak terduga, Rapor
hasil belajar anak dengan kesulitan belajar cenderung tidak konstan. Tidak
jarang perbedaan angkanya menyolok dibandingkan dengan anak lain. Ini
disebabkan karena naik turunnya minat dan perhatian mereka terhadap
pelajaran.Ketidakstabilan dan perubahan yang tidak dapat diduga ini lebih
merupakan isyarat penting dari rendahnya prestasi itu sendiri.
6. Penilaian yang keliru karena data tidak lengkap
Kesulitan belajar dapat timbul karena pemberian label kepada seorang
anak berdasarkan informasi yang tidak lengkap. Misalnya tanpa data yang
lengkap seorang anak digolongkan keterbelakangan mental tetapi terlihat
perilaku akademiknya tinggi, yang tidak sesuai dengan anak yang
keterbelakangan mental.
7. Pendidikan dan pola asuh yang didapat tidak memadai
21
Terdapat anak-anak yang tipe, mutu, penguasaan, dan urutan pengalaman
belajarnya tidak mendukung proses belajar. Kadang-kadang kesalahan
tidak terdapat pada sistem pendidikan itu sendiri, tetapi pada
ketidakcocokan antara kegiatan kelas dengan kebutuhan anak.Kadang-
kadang pengalaman yang didapat dalam keluarga juga tidak mendukung
kegiatan belajar.
22
Seringkali berbicara tak teratur.
c. Gangguan funsi motorik
Seringkali gemetar atau menunjukkan kekakuan gerak.
Hiperaktivitas.
Hipoaktivitas.
d. Kemunduran prestasi dan penyesuaian akademik
Ketidakcakapan membaca.
Ketidakcakapan berhitung.
Ketidakcakapan mengeja.
Ketidakcakapan menulis dan menggambar.
Kelambanan menyelesaikan pekerjaan.
Kebimbangan memahami instruksi.
e. Karakteristik emosional
Impulsif.
Eksplosif.
Kelemahan kendali emosi dan dorongan.
Toleransi rendah terhadap frustasi.
f. Gangguan proses berpikir
Ketidakcakapan berpikir abstrak.
Umumnya berpikir konkret.
Kesulitan membentuk konsep.
Seringkali berpikirnya tak terorganisasi.
Keterbatasan rentang memori.
Seringkali berpikir autistik.
2. Aphasia
Aphasia merujuk kepada suatu kondisi dimana anak gagal
menguasai ucapan-ucapan bahasa yang bermakna pada usia sekitar 3
tahunan. Ketidakcakapan bicara ini tidak dapat dijelaskan karena
faktor ketulian, keterbelakangan mental, gangguan organ bicara, atau
faktor lingkungan.
Aphasia tampak dalam berbagai bentuk dengan simptom yang
cukup kompleks.Secara garis besar simptom aphasia dapat
digolongkan ke dalam tiga karakteristik utama berikut ini.
a. Receptive aphasia
Tidak dapat mengidentifikasi apa yang didengar.
Tidak dapat melacak arah.
Kemiskinan kosakata.
23
Tidak dapat memahami apa yang terjadi dalam gambar.
Tidak dapat memahami apa yang dia baca.
b. Expressive aphasia
Jarang bicara di kelas.
Kesulitan dalam melakukan peniruan.
Banyak pembicaraan yang tidak sejalan dengan ide.
Jarang menampilkan gesture (gerak tangan).
Ketidakcakapan menggambar dan menulis.
c. Inner aphasia
Tidak mampu melakukan asosiasi; oleh karena itu sulit
berpikir abstrak.
Memberikan respon yang tak layak atas panggilan/sahutan.
Lamban merespon.
3. Dyslexia
Disleksia (dyslexia) atau ketidakcakapan membaca, adalah jenis
lain gangguan belajar. Semula istilah disleksia ini digunakan di dalam
dunia medis, tetapi saat ini digunakan pada dunia pendidikan dalam
mengidentifikasi anak-anak berkecerdasan normal yang mengalami
kesulitan berkompetisi dengan temannya di sekolah. Simptom umum
yang sering ditampilkan anak disleksa ialah:
24
secara benar. Kata yang diucapkan tidak sesuai dengan apa yang
dilihatnya.
4. Kelemahan Perseptual atau Perseptual-Motorik
Kelemahan perseptual dan perseptual-motorik sebenarnya merujuk
kepada masalah yang sama. Sebenarnya persepsi dapat diidentifikasi
tanpa mengaitkan dengan aspek motorik.Persepsi itu sendiri berfungsi
membedakan stimulus sensoris, yang pada gilirannya harus
diorganisasikan ke dalam pola-pola yang bermakna.Seorang anak
membedakan dan menafsirkan objek sebagai suatu kesatuan. Akan
tetapi jika kelemahan perseptual-motorik itu terjadi, hubungan antara
persepsi dan gerak motorik akan terganggu. Kondisi ini menjadikan
anak tidak dapat melakukan pengamatan secara tepat dan tidak mampu
menterjemahkan pengamatan itu ke dalam alur gerak motorik, dan
bahkan anak tidak dapat mendengar dan melihat secara
normal.Biasanya anak yang mengalami gangguan perseptual motorik
ini mengalami kesulitan dalam memahami dan menyatakan ide.
25
prinsip dasar evaluasi bagi seluruh anak berkesulitan belajar perlu
diketahui dan dipahami. Prinsip-prinsip dasar tersebut ialah:
1. Tes atau teknik evaluasi lain harus diberikan dalam bahasa anak, dapat
dipahami oleh anak.
2. Evaluasi harus dilakukan oleh tim dari berbagai disiplin, setidak-
tidaknya terdiri atas seorang guru atau ahli lain yang mengetahui
masalah kesulitan belajar.
3. Kriteria penetapan kesulitan belajar hendaknya mempertimbangkan
hal-hal berikut:
a) Seorang anak dikatakan mengalami kesulitan belajar jika anak
tidak mampu mencapai prestasi sesuai dengan usia dan tingkat
kecakapan dalam satu atau lebih bidang:
Ekspresi lisan
Mendengarkan pemahaman
Ekspresi tulisan
Keterampilan membaca dasar
Membaca pemahaman
Perhitungan matematis, atau
Berpikir matematis
b) Seorang anak tidak diidentifikasikan sebagai mengalami kesulitan
belajar jika kesenjangan antara kecakapan dan prestasi disebabkan
oleh:
Hambatan visual, pendengaran, atau motorik
Keterbelakangan mental
Gangguan emosional
Ketidakberuntungan lingkungan, budaya, atau ekonomis.
4. Pelaporan hasil identifikasi hendaknya menyatakan:
a) Kesulitan belajar khusus apa yang dialami anak,
b) Dasar yang digunakan untuk menentukan jenis kesulitan,
c) Perilaku-perilaku yang relevan yang tercatat selama dilakukan
pengamatan,
d) Hubungan antara perilaku tersebut dengan keberfungsian akademik
anak,
e) Temuan-temuan medis yang relevan dengan pendidikan,
26
f) Kesenjangan antara prestasi dan kecakapan yang tak dapat diatasi
tanpa pendidikan dan layanan khusus,
g) Pertimbangan tentang pengaruh ketakberuntungan lingkungan,
budaya, dan ekonomi.
2.11 Pelayanan dan Bimbingan Anak Berkesulitan Belajar
1. Berbagai Pilihan Penempatan
Dalam memilih sistem penempatan untuk memberikan pelayanan
pendidikan kepada anka berkesulitan belajar, ada faktor yang perlu
dipertimbangkan. Berbagai faktor tersebut adalah tingkat kesulitan,
kebutuhan anak untuk memperoleh pelayanan yang sesuai, dan
keterampilan social dan akademik anak. Suatu tim yang menangani
anak berkesulitan belajar biasanya menganjurkan untuk memilih suatu
sistem pemberian pelayanan yang menggabungkan beberapa tipe
pelayanan.
Menurut Lerner dalam Maesari, ada tiga sistem penempatan yang
banyak dipilih oleh sekolah, yaitu kelas khusus (special class), ruang
sumber (resource room), dan kelas regular (regular class). Menurut
Lerner, 20 persen anak berkesulitan belajar di Amerika Serikat
memperoleh pelayanan di kelas khusus, 62 persen di ruang sumber,
dan 15 persen di kelas regule. Berikut ini secara berturut-turut akan
dibahas pemberian pelayanan pendidikan dalam kelas khusus, ruang
sumber, dan kelas regular.
a. Kelas khusus
Sekolah yang menyelenggarakan kelas khusus biasanya
menempatkan 10 atau 20 anak berkesulitan belajar dalam satu
kelas, pengelompokan, dapat didasarkan atas taraf kesulitan atau
faktor-faktor lain. Ada dua macam kelas khusus yang biasa
digunakan yaitu kelas khusus sepanjang hari belajar dan kelas
khusus untuk bidang studi tertentu.
27
anak berkesulitan belajar dengan anak yang tidak berkesulitan
belajar dalam sistem pendidikan integratif.
b. Ruang sumber
Ruang sumber merupakan ruang yang disediakan oleh sekolah
untuk memberikan pelayanan pendidikan khusus bagi anak yang
membutuhkan, terutama yang tergolong berkesulitan belajar. Di
dalam ruang tersebut terdapat guru remedial dan berbagai media
pembelajaran. Aktivitas di dalam ruang sumber umumnya
28
berkonsentrasi pada memperbaiki keterampilan dasar seperti
membaca, menulis, dan berhitung. Guru sumber atau guru remedial
dituntut untuk menguasai bidang keahlian yang berkenaan dengan
pendidikan bagi anak berkesulitan belajar. Guru sumber diharapkan
juga dapat menjadi “pengganti” guru kelas dan menjadi konsultan
bagi guru regular. Anak belajar di ruang sumber sesuai dengan
jadwal yang telah ditentukan. Guru di ruang sumber biasanya
menangani 15 sampai 20 anak tiap hari.
Pemberian pelayanan dalam bentuk sumber memiliki
keuntungan tetapi juga kekurangan. Kelebihannya adalah (1) anak
yang memerlukan bantuan khusus di bidang akademik atau sosial
memperoleh bantuan dari guru yang terlatih dan (2) anak
berkesulitan belajar tetap berada di dalam kelas regular sehingga
mereka dapat bergaul dengan anak yang tidak tergolong
berkesulitan belajar. Adapun kekurangan sistem pemberian
pelayanan jenis ini adalah (1) meningkatkan jumlah waktu
terbuang untuk pindah dari kelas regular ke ruang sumber, (2)
mengurangi kemampuan guru kelas atau guru regular untuk
menangani anak secara individual, (3) meningkatkan kemungkinan
adanya inkosnsistensi pendekatan pembelajaran, (4) meningkatkan
jumlah spesialis yang bekerja untuk anak yang dapat menimbulkan
pelayanan yang terpecah-pecah, dan (5) dapat meningkatkan
konflik antara kebutuhan kelompok dan kebutuhan individual.
c. Kelas Regular
Jenis pelayanan dalam bentuk kelas regular dimaksudkan untuk
mengubah citra tentang adanya dua tipe anak, yaitu anak yang
berkesulitan belajar dan anak yang tidak berkesulitan belajar.
Dalam kelas regular dirancang untuk membantu anak berkesulitan
belajar diciptakan suasana belajar koperatif sehingga
memungkinkan semua anak, baik yang berkesulitan belajar
maupun yang tidak berkesulitan belajar. Suasana belajar kopereatif
diciptakan untuk menghindari terjadinya duplikasi pemberian
29
pelayanan. Program pelayanan pendidikan individual diberikan
kepada semua anak yang membutuhkan, baik yang berkesulitan
belajar maupun yang tidak, dan bahkan juga diberikan kepada anak
berbakat (gifted and talented). Dalam kelas regular semacam ini,
berbagai metode untuk kedua jenis anak digunakan bersama.
30
2. Hubungan Orang Tua Dan Guru
Dalam menjalin hubungan dengan orang tua, guru perlu
memehami bahwa ada berbagai reaksi para orang tua terhadap anak
mereka yang berkesulitan belajar. Menurut Lerner (1988: 154) ada tiga
macam reaksi para orang tua terhadap anak mereka yang berkesulitan
belajar, yaitu (1) menolak atau tidak menerima kenyataan, (2)
kompensasi yang berlebihan, dan (3) menerima anak sebagaimana
adanya.
Menurut Mercer dalam Maesari, sikap menerima anak apa adanya
adalah tahapan akhir dari penyesuaian orang tua dalam menghadapi
anaknya yang berkesulitan belajar. Ada lima tahapan penyesuaian
orang tua dalam menghadapi anaknya yang berkesulitan belajar, yaitu
(1) menyadari adanya masalah, (2) mengenal masalah, (3) mencari
penyebab, (4) mencari penyembuhan, dan yang terakhir adalah (5)
menerima anak apa adanya.
Dalam menjalin hubungan dengan orang tua, sekolah perlu
menyelenggarakan antara orang tua dan guru. Pertemuan orang tua –
guru dapat menjadi suatu jembatan antara rumah dan sekolahBerbagai
kesulitan hendaknya dibicarakan dalam suasana tenang dan
menghindari istilah-istilah teknis. Para orang tua umumnya ingin
memahami sifat masalah, dan karena itu data diagnostic dan
pendekatan pembelajaran yang digunakan hendaknya dijelaskan
kepada orang tua. Para orang tua hendaknya juga dibantu untuk
menjadi peka terhadap berbagai kesulitan yang dihadapi oleh anak
mereka di sekolah.
3. Program Bimbingan dan Latihan Bagi Orang Tua
Meskipun peranan orang tua terhadap keberhasilan anak di sekolah
telah lama dikenal, penyediaan layanan bimbingan dan latihan bagi orang tua
di sekolah, terutama TK dan SD, masih sangat terbatas. Berikut ini akan
dikemukakan program bimbingan dan program latihan bagi orang tua.
a. Program Bimbingan bagi Orang Tua
Menurut McDowell dalam Maesari, ada dua macam pendekatan dalam
memberikan bimbingan bagi orang tua, yaitu pendekatan informasional dan
pendekatan psikoterapetik. Pendekatan informasional menekankan pada
penyediaan pengetahuan bagi orang tua tentang kesulitan belajar. Mercer
31
mengemukakan contoh pendekatan ini dengan suatu pertemuan berangkai
yang diselenggarakan oleh McWirter. Sekolah menyelenggarakan suatu
rangkaian pertemuan bagi orang tua anak berkesulitan belajar dan kepada
mereka diberikan informasi tentang anak berkesulitan belajar dan latihan
untuk menanggulanginya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertemuan-
pertemuan semacam itu sangat berharga bagi orang tua.
Pendekatan psikoterapetik memusatkan perhatian pada usaha membantu
orang tua memahami konflik keluarga dan gangguan emosional yang
disebabkannya. Menurut Abrams dan Kaslow seperti dikutip oleh Mercer
dalam Maesari, ada beberapa macam strategi pemberian bantuan bagi anak
berkesulitan belajar seperti dikemukakan berikut ini.
- Hanya intervensi pendidikan. Strategi ini ditujukan kepada anak
berkesulitan belajar tanpa gangguan emosional, yang memiliki keluarga
stabil dan harmonis.
- Hanya terapi individual. Strategi ini ditujukan kepada anak berkesulitan
belajar yang orang tuanya memiliki gangguan yang sulit disembuhkan
seperti orang tua yang pecandu obat bius, peminum alcohol, psikotik, atau
yang menolak anak.
- Bimbingan kelompok orang tua. Strategi ini untuk orang tua yang baik,
yang dirasakan akan memperoleh keuntungan dari pertemuan-pertemuan
kelompok yang berupaya memecahkan masalah kesulitan belajar anak-
anak mereka.
- Terapi individual dan tutorial. Strategi ini untuk anak berkesulitan belajar
yang membutuhkan intervensi akademik yang sistematik dan orang tuanya
memiliki gangguan yang sulit disembuhkan.
- Terapi bersamaan anak dan orang tua dengan pemberian terapi yang
berbeda. Strategi ini digunakan jika pemberian terapi kepada anak dan
orang tua secara bersamaan dapat menimbulkan kecemasan dan perasaan
tertekan.
- Terapi bersamaan anak dan orang tua dengan pemberian terapi yang sama.
Strategi ini tepat digunakan jika orang tua dan anak dapat menjalin
interaksi koperatif.
- Terapi keluarga yang terdiri dari anak, orang tua, dan saudara-saudara
kandung. Strategi ini tepat digunakan bagi keluarga yang dapat
32
memecahkan masalah dengan menciptakan lingkungan sosial yang saling
menunjang atau koperatif.
- Strategi psikoterapetik dapat dipandang sebagai strategi yang cenderung
menekankan pada peran orang tua dalam memecahkan masalah emosional
anak, yang memandang perlu adanya perbaikan keseluruhan lingkungan
keluarga.
b. Program Latihan bagi Orang Tua
Program ini ditujukan kepada orang tua untuk memperoleh
keterampilan mengajar, berinteraksi, dan mengelola perilaku anak secara
efektif di rumah. Menurut McDowell seperti dikutip oleh Mercer dalam
Maesari ada dua pendekatan dalam program latihan bagi orang tua, yaitu (a)
pendekatan komunikasi (communication approach) dan (b) pendekatan
keterlibatan (involvement approach).
Pendekatan komunikasi menekankan pada penyelenggaraan komunikasi
langsung antara orang tua dengan anak; sedangkan pendekatan keterlibatan
menekankan pada upaya pemecahan masalah praktis melalui kerja sama
kelompok.
Dinkmeyer dan Carbon seperti dikutip oleh Mercer dalam Maesari
mengembangkan suatu strategi keterlibatan yang disebut “C-Group” yang
membantu orang tua memecahkan masalah praktis melalui kerja sama
(collaboration), konsultasi (consultation), klarifikasi (clarification),
konfrontasi (confrontation), perhatian dan pengasuhan (concern and caring),
kerahasiaan (confidentiality), dan tanggung jawab (commitment) pada
perubahan. Dalam pendekatan ini orang tua diminta untuk menyajikan
masalah-masalah praktis kepada kelompok dan kemudian mereka mencoba
memecahkan masalah sesuai dengan saran yang dikemukakan oleh kelompok.
2.12. Jenis-Jenis Ketidakmampuan dalam Belajar
33
Ada klasifikasi lain yang berdasarkan jenis gangguan atau kesulitan
yang dialami anak yaitu:
Dispraksia: merupakan gangguan pada keterampilan motorik, anak
terlihat kurang terampil dalam melakukan aktivitas motorik. Seperti
sering menjatuhkan benda yang di pegang, sering memecahkan gelas
kalau minum.
Disgraphia: kesulitan dalam menulis ada yang memang karena
gangguan pada motoris sehingga tulisannya sulit untuk dibaca orang
lain, ada yang sangat lambat aktivitas motoriknya, dan juga adanya
hambatan pada ideo motorik sehingga sering salah atau tidak sesuai
apa yang dikatakan dengan yang ditulis .
Diskalkulia: adalah kesulitan dalam berhitung dan matematika hal ini
sering dikarenakan adanya gangguan pada memori dan logika
Disleksia: merupakan kesulitan membaca baik membaca permulaan
maupun pemahaman
Disphasia: kesulitan berbahasa dimana anak sering melakukan
kesalahan dalam berkomunikasi baik menggunakan tulisan maupun
lisan.
Body awareness: Anak tidak memiliki akan kesadaran tubuh sering
salah prediksi pada aktivitas gerak mobilitas seperti sering menabrak
bila berjalan.
34
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1) Pengertian dan Penyebab Anak Penyandang Autis
Pengertian Anak Penyandang Autis ialah sebagai kondisi
seseorang yang luar biasa asik dengan dirinya sendiri (Reber,
1985 dalam Trevarthen dkk dalam Sasmita).
Penyebab Anak Penyandang Autis antara lain factor genetic,
gangguan pada system syaraf, ketidak seimbangan kimiawi dan
kemungkinan lainnya.
2) Karakteristik Autisme memiliki ciri-ciri utama:
a) Tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya
b) Tidak bisa bereaksi normal dalam pergaulan sosialnya
c) Perkembangan bicara dan bahasa tidak normal
d) Reaksi/pengamatan terhadap lingkungan terbatas atau berulang-
ulang.
35
Menurut Power dalam Sasmita, karakteristik anak dengan
autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang :
a) Interaksi sosial
b) Komunikasi (bicara dan bahasa)
c) Perilaku – emosi
d) Pola bermain
e) Gangguan sensorik – motorik
f) Perkembangan terlambat atau tidak normal
3) Klasifikasi Autisme
Menurut Sasmita, dalam berinteraksi sosial anak
autistikdikelompokan atas 3 kelompok yaitu:
a) Kelompok menyendiri
Terlihat menghindari kontak fisik dengan lingkungannya
Bertedensi kurang menggunakan kata-kata, dan kadang-kadang
sulit berubah meskipun usianya bertambah lanjut. Dan
meskipun ada ada perubahan, mungkin hanya bisa
mengucapkan beberapa patah kata yang sederhana saja.
Menghabiskan harinya berjam-jam untuk sendiri, dan kalu
berbuat sesuatu, akan melakukannya berulang-ulang.
Gangguan perilaku pada kelompok anak ini termasuk bunyi-
bunyi aneh, gerakan tangan, tabiat yang mudah marah, melukai
diri sendiri, menyerang teman sendiri, merusak dan
menghancurkan mainannya.
b) Kelompok anak autisme yang pasif
Lebih bisa bertahan dengan kontak fisik, dan agak mampu
bermain dengan kelompok teman bergaul dan sebaya, tetapi
jarang sekali mencari teman sendiri.
Mempunyai perbendaharaan kata yang lebih banyak meskipun
masih agak terlambat bisa berbicara dibandingkan dengan anak
sebaya.
Kadang-kadang malah lebih cepat merangkai kata meskipun
kadang-kadang pula dibumbui kata yang kurang dimengerti.
36
Kelompok pasif ini masih bisa diajari dan dilatih dibandingkan
dengan anak autisme yang menyendiri dan yang aktif tetapi
menurut kemauannya sendiri.
c) Kelompok anak autisme yang aktif tetapi menurut kemauannya
sendiri
Kelompok ini seperti bertolak belakang dengan kelompok anak
autisme yang menyendiri karena lebih cepat bisa bicara dan
memiliki perbendaharaan kata yang paling banyak
Meskipun dapat merangkai kata dengan baik, tetapi tetap saja
terselip kata-kata yang aneh dan kurang dimengerti.
Masih bisa ikut berbagi rasa dengan teman bermainnya.
Dalam berdialog, sering mengajukan pertanyaan dengan topik
yang menarik, dan bila jawaban tidak memuaskan atau
pertanyaannya dipotong, akan bereaksi sangat marah.
4) Diagnosa Autisme
Menurut Sasmita, perkembangan anak menurun dan tidak
normal, yang mulai terlihat sejak anak usia 3 tahun, disertai salah
satu gejala berikut:
a) Menggunakan bahasa yang tidak wajar dalam berkomunikasi
sehari-hari.
b) Tidak mampu menciptakan hubungan persahabatan yang akrab dan
hangat
c) Tidak mampu berakting (peran), misalnya kadang-kadang berperan
sebagai bapak atau guru dll.
5) Pengobatan Autisme
Menurut ahli dalam Sasmita, sebagian besar anak autisme
bila diagnosanya cepat di tanggulangi dengan baik, sampai dewasa
masih bisa berbuat dan berguna untuk sesama meskipun mungkin
cara hidup kesehariannya masih autistik (menurut keinginan dan
caranya sendiri). Jangan dikira tidak ada cara pengobatannya.
Banyak yang bisa dilakukan terhadap penderita autisme, antara lain :
37
a) terutama melalui program pendidikan dan latihan di ikuti
pelayanan dan perlakuan lingkungan yang wajar.
b) untuk mngurangi perilaku anak yang tidak wajar, pengasuh
dan orang tua harus di ajari cara menghadapi anak autisme.
c) pengobatan yang dilakukan adalah untuk membatasi
memberatnya gejala dan keluhan, sejalan dengan pertambahan
usia anak.
d) diusahakan agar anak meningkatkan perhatian dan tanggung
jawab terhadap orang sekitarnya.
e) untuk mencapai keadaan tersebut, bimbingan dan pendidikan
harus dilakukan secara perorangan, dan tidak mungkin efektif
bila di lakukan secara kelas.
f) orang tua, saudara atau pelatih sukarela, harus ikut
menyediakan waktu dan perhatian beesama-sama tenaga
penolong sehingga anak tidak mempunyai peluang untuk
kembali pada kebiasaannya yang kurang baik, yang sudah
terbiasa dia lakukan sebelumnya.
g) perlunya menegakkan diagnosa autisme secara dini.
6) Pendidikan Bagi anak Penyandang Autis
a) Program playgroup untuk anak autisme usia prasekolah.
b) Program wisata dan rekreasi.
c) Konsultasi disertai pelatihan bagi orang tua dan kelurga anak
autisme.
d) Tempat tinggal/ruang perawatan anak autisme bila keluarganya
tidak mampu menanggulangi di dalam keluarga.
e) Latihan kerja dan beberapa program persiapan bergaul dan
bekerja dimasyarakat bagi anak autisme yang sudah agak besar
dan remaja.
f) Fasilitas perawatan gigi, dan pelayanan kesehatan khusus untuk
penderita autisme.
g) Persiapan fasilitas lain di dalam masyarakat sehingga penderita
autisme tidak terlalu tergantung pada orang sekitarnya.
38
7) Definisi, Penyebab, dan Jenis-Jenis Kesulitan Belajar
Definisi Kesulitan Belajar ialah istilah generik yang merujuk
kepada keragaman kelompok yang mengalami gangguan dimana
gangguan tersebut diwujudkan dalam kesulitan-kesulitan yang
signifikan yang dapat menimbulkan gangguan proses belajar.
39
c) Hambatan fisik/tubuh atau lingkungan berinteraksi dengan
kesulitan belajar, Adanya kelainan fisik, misalnya penglihatan
yang kurang jelas atau pendengaran yang terganggu berkembang
menjadi kesulitan belajar yang jauh di luar jangkauan kesulitan
fisik awal.
d) Kelainan motivasional
e) Kegagalan berulang, penolakan guru dan teman-teman sebaya,
tidak adanya reinforcement.
f) Kecemasan yang samar-samar, kegagalan yang berulang kali,
yang mengembangkan harapan akan gagal dalam bidang
akademik dapat menular ke bidang-bidang pengalaman lain.
g) Perilaku berubah-ubah, dalam arti tidak konsisten dan tidak
terduga. Rapor hasil belajar anak dengan kesulitan belajar
cenderung tidak konstan. Tidak jarang perbedaan angkanya
menyolok dibandingkan dengan anak lain. Ini disebabkan karena
naik turunnya minat dan perhatian mereka terhadap pelajaran.
h) Penilaian yang keliru karena data tidak lengkap
i) Kesulitan belajar dapat timbul karena pemberian label kepada
seorang anak berdasarkan informasi yang tidak lengkap.
j) Pendidikan dan pola asuh yang didapat tidak memadai
k) Terdapat anak-anak yang tipe, mutu, penguasaan, dan urutan
pengalaman belajarnya tidak mendukung proses belajar.
9) Gejala Gangguan Belajar
Menurut Maesari gelala gangguan belajar antara lain:
a) Ketidakberfungsian Minimal Otak (minimal brain dysfunction)
b) Aphasia
c) Dyslexia
d) Kelemahan Perseptual atau Perseptual Motorik
10)Diagnosa Gangguan Belajar
Menurut Maesari, keragaman definisi kesulitan belajar
membawa keragaman pula dalam orientasi filosofis tentang
identifikasi dan pengajaran bagi anak berkesulitan belajar.
Meskipun demikian prinsip-prinsip dasar evaluasi bagi seluruh
anak berkesulitan belajar perlu diketahui dan dipahami. Prinsip-
prinsip dasar tersebut ialah:
40
a) Tes atau teknik evaluasi lain harus diberikan dalam bahasa anak,
dapat dipahami oleh anak.
b) Evaluasi harus dilakukan oleh tim dari berbagai disiplin,
setidak-tidaknya terdiri atas seorang guru atau ahli lain yang
mengetahui masalah kesulitan belajar.
c) Kriteria penetapan kesulitan belajar hendaknya
mempertimbangkan hal-hal berikut:jika tidak mampu mencapai
prestasi sesuai dengan usia dan tingkat kecakapannya,
kesenjangan antara kecakapan dan prestasinya.
11)Layanan Bantuan Terhadap Anak Berkesulitan Belajar
Yang pertama tentang berbagai pilihan penempatan bagi
siswa atau anak yang berkesulitan belajar. Menurut Lerner dalam
Maesari, ada tiga sistem penempatan yang banyak dipilih oleh
sekolah, yaitu kelas khusus (special class), ruang sumber (resource
room), dan kelas regular (regular class). Yang kedua perlunya
hubungan komunikasi yang baik antara orang tua dan guru.
12)Jenis-Jenis Ketidakmampuan Belajar
Ada klasifikasi lain yang berdasarkan jenis gangguan atau
kesulitan yang dialami anak yaitu:
Dispraksia
Disgraphia
Diskalkulia
Disleksia
Disphasia
Body awareness
3.2. Saran
41
seperti anak lain pada umumnya. Dengan tahu dan faham cara
menangani mereka, sangat membantu meningkatnya kemajuan potensi
dan prestasi mereka. Sejatinya mereka juga makhluk Tuhan sama
seperti kita tanpa harus dipandang sebelah mata, diacuhkan apalagi
ditinggalkan.
DAFTAR PUSTAKA
42