Anda di halaman 1dari 45

PENDIDIKAN BAGI ANAK PENYANDANG AUTIS DAN

KARAKTERISTIK DAN PENDIDIKAN ANAK


BERKESULITAN BELAJAR

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan


Khusus
Yang diampu oleh Tety Nur Cholifah, M.Pd

Disusun oleh :

Kelompok IX Semester IV

1. Catri Maulidiyah (1786206011)

2. Romita Sari Ayurani (1786206050)

3. M. Ulul Azmi (1786206042)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RADEN RAHMAT MALANG
Juni 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT , yang telah melimpahkan rahmat, taufik,
hidayah, serta inayah-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah berjudul “Pendidikan anak bagi anak penyandang autis dan karakteristik
dan pendidikan anak berkesulitan belajar” ini dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini telah kami susun secara maksimal atas bantuan dari berbagai pihak
sehingga bisa selesai dengan lancar. Pada kesempatan ini pula dengan kerendahan
hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Pendidikan Universitas Raden Rahmat


Malang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis selama
mengikuti kegiatan perkuliahan.
2. Kepada dosen pengampu yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan yang besar sekali manfaatnya bagi penulis dalam penyusunan
tugas testruktur.
3. Semua pihak yang sudah membantu dan memberikan saran serta nasehat
pada penulis dalam menyelesaikan tugas testruktur.
Kami menyadari, makalah yang kami buat jauh dari sempurna dan masih
banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca, guna menghasilkan makalah yang lebih baik dan
benar. Kami berharap, makalah yang kami susun ini bisa memberikan manfaat dan
inspirasi bagi pembaca.

Malang, 21 Juni 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................i


DAFTAR ISI ...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................... 2
1.3 Tujuan ...................................................................................... 2
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Penyebab Anak Penyandang Autis................3
2.2 Karakteristik Autisme.............................................................5
2.3 Klasifikasi Autisme.................................................................8
2.4 Diagnosa Autisme...................................................................9
2.5 Pengobatan Autisme...............................................................10
2.6 Pendidikan Bagi anak Penyandang Autis...............................13
2.7 Definisi, Penyebab, dan Jenis-Jenis Kesulitan Belajar ......... 20
2.8 Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar ...............................22
2.9 Gejala Gangguan Belajar........................................................ 25
2.10 Diagnosa Gangguan Belajar .................................................. 26
2.11 Layanan Bantuan Terhadap Anak Berkesulitan Belajar ........ 27
2.12 Jenis-Jenis Ketidakmampuan Belajar..................................... 34
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan .............................................................................36
3.2 Saran........................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA................................................................................43

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak berkebutuhan khusus di klasifikasikan atas beberapa kelompok
sesuai dengan jenis kelainan anak. Klasifikasi tersebut mencakup kelompok
anak yang mengalami keterbelakangan mental, ketidakmampuan belajar,
gangguan emosional, kelainan fisik, kerusakan atau gangguan pendengaran,
kerusakan atau gangguan penglihatan, gangguan bahasa dan wicara, dan
kelompok anak yang berbakat.

Ada bermacam-macam jenis anak dengan kebutuhan khusus, salah


satunya yaitu kesulitan belajar atau Learning Disabilities (LD =
ketidakmampuan belajar). Gangguan kesulitan belajar (learning disabilities/
LD) merupakan salah satu permasalahan yang banyak ditemui dalam dunia
pendidikan. LD menyangkut ketidak mampuan siswa untuk menyelesaikan
tugas-tugas akademiknya secara tepat. LD adalah kondisi yang dialami siswa
berkait dengan adanya hambatan, keterlambatan dan ketertinggalan dalam
kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Siswa yang berkesulitan
belajar adalah siswa yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-
tugas akademik khusus maupun umum, baik disebabkan oleh adanya
disfungsi neurologis, proses psikologis dasar maupun sebab-sebab lain
sehingga presatsi belajarnya rendah dan anak beresiko tinggi tinggal kelas.

Adanya perbedaan karakteristik setiap peserta didik berkebutuhan


khusus di SD, akan memerlukan kemampuan khusus guru kelas. Guru
dituntut memiliki kemampuan berkaitan dengan cara mengombinasikan
kemampuan dan bakat setiap anak dalam beberapa aspek. Aspek-aspek
tersebut meliputi kemarnpuan berpikir, melihat, mendengar, berbicara, dan
cara bersosialisasi. Hal-hal tersebut diarahkan pada keberhasilan dari tujuan
akhir pembelajaran, yaitu perubahan perilaku ke arah pendewasaan.
Kemampuan guru semacam itu merupakan kemahiran seorang guru dalam
menyelaraskan keberadaanya dengan kurikulum yang ada, kemudian diramu
menjadi sebuah program pembelajaran individual.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas rumusan masalah yang dapat diambil
adalah :
1. Apakah pengertian dan penyebab anak penyandang autis?
2. Bagaimanakah karakteristik anak penyandang autis?
3. Bagaimanakah klasifikasi anak penyandang autis?
4. Bagaimanakah diagnosa autisme?
5. Bagaimanakah pengobatan autisme?
6. Bagaimanakah pendidikan bagi anak penyandang autis?
7. Apakah definisi, penyebab, dan jenis-jenis kesulitan belajar?
8. Bagaimanakah karakteristik anak berkesulitan belajar?
9. Apa sajakah gejala gangguan belajar?
10. Bagaimanakah diagnosa ganguan belajar?
11. Bagaimanakah layanan bantuan terhadap anak berkesulitan belajar?
12. Apa sajakah jenis-jenis ketidakmampuan belajar?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dan penyebab anak penyandang autis.


2. Untuk mengetahui karakteristik anak penyandang autis.
3. Untuk mengetahui klasifikasi anak penyandang autis.
4. Untuk mengetahui diagnosa autisme.
5. Untuk mengetahui pengobatan autime.
6. Untuk mengetahui pendidikan bagi anak penyandang autis.
7. Untuk mengetahui definisi, penyebab, dan jenis-jenis kesulitan belajar.
8. Untuk mengetahui karakteristik anak berkesulitan belajar.
9. Untuk mengetahui gejala gangguan belajar.
10. Untuk mengetahui diagnosa ganguan belajar.
11. Untuk mengetahui layanan bantuan terhadap anak berkesulitan belajar.
12. Untuk mengetahui jenis-jenis ketidakmampuan belajar.

BAB II

2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Penyebab Anak Penyandang Autis

Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu
‘aut’yang berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang secara tidak langsung
menyatakan ‘orientasi atau arah atau keadaan (state). Sehingga autism dapat
didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asik dengan dirinya
sendiri (Reber, 1985 dalam Trevarthendkk dalam Sasmita). Pengertian ini
menunjuk pada bagaimana anak-anak autis gagal bertindakdengan minat pada
orang lain, tetapi kehilangan beberapa penonjolan perilaku mereka. Ini, tidak
membantu orang lain untuk memahami seperti apa dunia mereka.

Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks


menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Dan anak
autistik adalah anak yang mempunyai masalah atau gangguan dalam bidang
komunikasi, interaksi sosial, gangguan sensoris, pola bermain, perilaku dan
emosi. (Depdiknas dalam Sasmita). Autisme bukan suatu gejala penyakit
tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) dimana terjadi penyimpangan
perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap
lingkungan sekitar. Sehingga anak autisme seperti hidup dalam dunianya
sendiri. Dengan kata lain pada anak autisme terjadi kelainan emosi,
intelektual dan kemauan (gangguan pervasive). Autisme merupakan suatu
keadaaan dimana seorang anak berbuat semaunya sendiri baik cara berpikir
maupun berperilaku. Keadaan ini mulai terjadi sejak usia masih kecil
biasanya sekitar usia 2-3 tahun. Autisme bisa mengenai siapa saja, baik yang
sosio ekonomi mapan maupun kurang, anak maupun dewasa, dan semua
etnis.

Menurut Sasmita faktor penyebab autisme masih terus dicari dan masih
dalam penelitian para ahli. Beberapa teori terakhir mengatakan bahwa faktor
genetika (keturunan memegang peranan penting dalam proses terjadinya
autisme.

1. Faktor Genetik

3
Lebih kurang 20% dari kasus-kasus autisme disebabkan oleh faktor
genetik.Penyakit genetik yang sering dihubungkan dengan autisme adalah
tuberous sclerosis (17-58%) dan sindrom fragile X (20-30%). Disebut fragile
X karena secara sitogenetik penyakit ini ditandai oleh adanya kerapuhan
(fragile) X. Sindrome fragile X merupakan penyakit yang diwariskan secara
X-linked (X terangkai) yaitu melalui kromosome X. Pola penurunannya tidak
umum, yaitu tidak seperti penyakit dengan pewarisan X-linked lainnya,
karena tidak bisa digolingkan sebagai dominan atau resesi, laki-laki dan
perempuan dapat menjadi penderita maupun pembawa sifat (carrier). (Dr.
Sultana MH Faradz, Ph.D, dalam Sasmita)

2. Ganguan pada Sistem Syaraf


Banyak penelitian yang melaporkan bahwa anak autis memiliki
kelainan pada hampir semua struktur otak. Tetapi kelainan yang paling
konsisten adalah pada otak kecil. Hampir semua peneliti melaporkan
berkurangnya sel purkinye di otak kecil pada autisme. Otak kecil berfungsi
mengontrol fungsi luhur dan kegiatan motorik, juga sebagai sirkuit yang
mengatur perhatian dan pengindraan. Jika sirkuit ini rusak atau terganggu
maka akan mengganggu fungsi bagian lain dari sistem saraf pusat, seperti
misalnya sistem limbik yang mengatur emosi dan perilaku.

3. Ketidakseimbangan Kimiawi
Beberapa peneliti menemukan sejumlah kecil dari gejala autistik
berhubungan dengan makanan atau kekurangan kimiawi di badan. Alergi
terhadap makanan tertentu, seperti bahan-bahan yang mengandung susu,
tepung gandum, daging, gula, bahan pengawet, penyedap rasa, bahan
pewarna, dan ragi. Untuk memastikan pernyataan tersebut, dalam tahun 2000
sampai 2001 telah dilakukan pemeriksaan terhadap 120 orang anak yang
memenuhi kriteria gangguan autisme menurut DSM IV. Rentang umur antara
1 – 10 tahun, dari 120 orang itu 97 adalah anak laki-laki dan 23 orang adalah
anak perempuan. Dari hasil pemeriksaan diperoleh bahwa anak anak ini
mengalami gangguan metabolisme yang kompleks, dan setelah dilakukan
pemeriksaan untuk alergi, ternyata dari 120 orang anak yang diperiksa: 100
anak (83,33%) menderita alergi susu sapi, gluten dan makanan lain, 18 anak
4
(15%) alergi terhadap susu dan makanan lain, 2 orang anak (1,66 %) alergi
terhadap gluten dan makanan lain. (Dr. Melly Budiman dalam Sasmita).
Penelitian lain menghubungkan autism dengan ketidakseimbangan hormonal,
peningkatan kadar dari bahan kimiawi tertentu di otak, seperti opioid, yang
menurunkan persepsi nyeri dan motivasi.

4. Kemungkinan Lain
Autisme juga diduga dapat disebabkan oleh virus, seperti rubella, toxo,
herpes, jamur, nutrisi yang buruk, pendarahan dan keracunan makanan pada
masa kehamilan yang dapat menghambat pertuimbuhan sel otak yang
menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi
pemahaman komunikasi dan interaksi (Depdiknas dalam Sasmita).
Kemungkinan yang lain adalah faktor psikologis, karena kesibukan orang
tuanya sehingga tidak memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan anak,
atau anak tidak pernah diajak berbicara sejak kecil, itu juga dapat
menyebabkan anak menderita autisme.

2.2 Karakteristik Autisme


Menurut Sasmita, anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun
pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali
menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara
tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain.
Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak
responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya
(pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku
repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan
dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi
agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif.
Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal
mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-
ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain
yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-
respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima,
misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu
5
bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan
mereka.

Autisme ditandai oleh ciri-ciri utama antara lain:

a. Tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya


b. Tidak bisa bereaksi normal dalam pergaulan sosialnya
c. Perkembangan bicara dan bahasa tidak normal
d. Reaksi/pengamatan terhadap lingkungan terbatas atau berulang-
ulang.
Menurut Power dalam Sasmita, karakteristik anak dengan autisme
adalah adanya 6 gangguan dalam bidang :

a. Interaksi sosial
b. Komunikasi (bicara dan bahasa)
c. Perilaku – emosi
d. Pola bermain
e. Gangguan sensorik – motorik
f. Perkembangan terlambat atau tidak normal
Menurut Depdiknas dalam Sasmita, mendeskripsikan anak dengan
autisme berdasarkan jenis masalah gangguan yang dialami anak dengan
autisme. Karakteristik dari masing-masing masalah/gangguan itu di
deskripsikan sebagai berikut:

1. Masalah/gangguan di bidang komunikasi dengan karakteristiknya


sebagai berikut:
a. Perkembangan bahasa anak autistic lambat atau sama sekali tidak
ada. Anak tampak seperti tuli, dan sulit bicara.
b. Kadang-kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
c. Mengoceh tanpa arti secara berulang-ulang, dengan bahasa yang
tidak dapat dimengerti orang lain.
d. Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi senang meniru atau
membeo (echolalia)
e. Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa
yang ia inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu.

6
2. Masalah/gangguan di bidang interaksi sosial dengan karakteristik
berupa:
a. anak autistic lebih suka menyendiri
b. anak tidak melakukan kontak mata dengan orang lain atau
meghindari tatapan muka atau mata orang lain.
c. Tidak tertarik bermain bersama dengan teman, baik yang sebaya
maupun yang lebih tua.
d. Bila diajak bermain, anak autistik itu tidak mau dan menjauh.
3. Masalah/gangguan di bidang sensoris degan karakteristiknya
berupa:
a. Anak autistik tidak peka terhadap sentuhan, seperti tidak suka
dipeluk.
b. Anak autistik bila mendengar suara keras langsung menutup
telinga.
c. Anak autistic senang mencium-cium atau menjilat-jilat mainan
atau benda-benda yang ada disekitarnya.
d. Tidak peka terhadap rasa sakit dan rasa takut
4. Masalah/gangguan di bidang pola bermain karakteristiknya
berupa:
a. Anak autistic tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
b. Anak autistik tidak suka bermain dengan teman sebayanya
c. Anak autistik tidak bermain sesuai dengan fungsi mainan,
misalnya sepeda dibalik lalu rodanya diputar.
5. masalah/gangguan di bidang perilaku karakteristiknya berupa:
a. Anak autistik dapat berperilaku berlebihan atau terlalu aktif
(hiperaktif) dan berperilaku berkekurangan (hipoaktif).
b. Anak autistik memperlihatkan stimulasi diri atau merangsang diri
sendiri seperti bergoyang-goyang mengepakan tangan seperti burung.
c. Anak autistik tidak suka kepada perubahan
d. Anak autistik duduk bengong dengan tatapan kosong.
1. Masalah/gangguan di bidang emosi karakteristiknya berupa:

7
a. Anak autistic sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-
tawa dan menangis tanpa alasan
b. Anak autistik kadang agresif dan merusak
c. Anak autistik kadang-kadang menyakiti dirinya sendiri
d. Anak autistik tidak memiliki empati dan tidak mengerti perasaan
orang lain yang ada di sekitarnya.
2.3 Klasifikasi Anak Autistik (Autisme)
Menurut Sasmita, dalam berinteraksi sosial anak autistikdikelompokan
atas 3 kelompok yaitu:

1. Kelompok menyendiri
 Terlihat menghindari kontak fisik dengan lingkungannya
 Bertedensi kurang menggunakan kata-kata, dan kadang-kadang
sulit berubah meskipun usianya bertambah lanjut. Dan
meskipun ada ada perubahan, mungkin hanya bisa
mengucapkan beberapa patah kata yang sederhana saja.
 Menghabiskan harinya berjam-jam untuk sendiri, dan kalu
berbuat sesuatu, akan melakukannya berulang-ulang.
 Gangguan perilaku pada kelompok anak ini termasuk bunyi-
bunyi aneh, gerakan tangan, tabiat yang mudah marah, melukai
diri sendiri, menyerang teman sendiri, merusak dan
menghancurkan mainannya.
2. Kelompok anak autisme yang pasif
 Lebih bisa bertahan dengan kontak fisik, dan agak mampu
bermain dengan kelompok teman bergaul dan sebaya, tetapi
jarang sekali mencari teman sendiri.
 Mempunyai perbendaharaan kata yang lebih banyak meskipun
masih agak terlambat bisa berbicara dibandingkan dengan anak
sebaya.
 Kadang-kadang malah lebih cepat merangkai kata meskipun
kadang-kadang pula dibumbui kata yang kurang dimengerti.

8
 Kelompok pasif ini masih bisa diajari dan dilatih dibandingkan
dengan anak autisme yang menyendiri dan yang aktif tetapi
menurut kemauannya sendiri.
3. Kelompok anak autisme yang aktif tetapi menurut kemauannya
sendiri
 Kelompok ini seperti bertolak belakang dengan kelompok anak
autisme yang menyendiri karena lebih cepat bisa bicara dan
memiliki perbendaharaan kata yang paling banyak
 Meskipun dapat merangkai kata dengan baik, tetapi tetap saja
terselip kata-kata yang aneh dan kurang dimengerti.
 Masih bisa ikut berbagi rasa dengan teman bermainnya.
 Dalam berdialog, seringmengajukan pertanyaan dengan topik
yang menarik, dan bila jawaban tidak memuaskan atau
pertanyaannya dipotong, akan bereaksi sangat marah.
2.4 Diagnosa Autisme
Menurut Sasmita, perkembangan anak menurun dan tidak normal, yang
mulai terlihat sejak anak usia 3 tahun, disertai salah satu gejala berikut:
1. Menggunakan bahasa yang tidak wajar dalam berkomunikasi
sehari-hari.
2. Tidak mampu menciptakan hubungan persahabatan yang akrab dan
hangat
3. Tidak mampu berakting (peran), misalnya kadang-kadang berperan
sebagai bapak atau guru dll.
Paling tidak ditemukan sebanyak enam (6) gejala dari No. 1, 2, dan 3:
Sekurang-kurangnya dua (2) gejala dari No. 1, serta paling tidak satu (1)
gejala dari No.2 dan No. 3. berikut:
1. Secara kualitas interaksi sosial sangat kurang, yang terlihat paling
tidak 2 gejala pada keadaan berikut:
 Tidak mau berpandangan secara kontak mata, raut wajah
gerakan tubuh dan tangan dalam mengekspresikan keakraban pergaulan
sehari-hari.

9
 Gagal mengembangkan pemkiran yang wajar dalam
menghadapi sejumlah kesempatan, menghadapi teman sebaya,berbagi
perhatian , bebagi kegiatan dan emosi.
 Tidak mampu berbagi rasa terhadap perasaan orang sekitar,
dalam hal hubungan antarteman sepergaulan dan perilaku berkomunikasi.
 Kurang mampu mencari kegembiraaan bersama-sama dengan
teman sepergaulan dan kurang bisa memperlihatkan atau menunjuk
seseorang yang menjadi perhatiannya.
2. Kurangnya kualitas dalam berkomunikasi, seperti terlihat paling
tidak 1 gejala berikut:
 Terlambat atau tidak mampu sama sekali berbahasa sehingga
kadang-kadang didimbangi dengan bahasa isyarat melalui gerakan tangan,
mimik, dan gerakan tubuh. Keadaan ini sering dimulai dengan bersungut-
sungut.
 Kurang mampu bercakap-cakap dengan teman sepergaulan
meskipun mungkin masih ada kemampuan berbahasa.
 Mengulang-ulang kata atau kalimat-kalimat.
 Tidak bisa spontan mempercayai teman bermain
3. Perilaku dan perhatian yang berulang-ulang, seperti terlihat paling
tidak 1 gejala berikut:
 Buah pikiran yang berulang-ulang dan perhatian terbatas baik
itensitas maupun isinya.
 Kegiatan rutin dan gerakan ritual seperti dipaksakan
 Gerakan otot berulang-ulang, seperti melambai-lambaikan
tangan atau memutar-mutar tangan, atau menggerak-gerakakan tubuh.
 Perhatian terpaku pada atu bahan/benda permainan, (seperti
mencium-cium bau, meraba-raba halusnya permukaan mainan.
2.5 Pengobatan Anak Autistik (Autisme)
Menurut ahli dalam Sasmita, sebagian besar anak autisme bila
diagnosanya cepat di tegakkan dan di tanggulangi dengan baik oleh penyakit
jiwa, bisa tumbuh samapai dewasa dan masih bisa berbuat dan berguna untuk

10
sesama meskipun mungkin cara hidup kesehariannya masih autistik (menurut
keinginan dan caranya sendiri).

Jangan dikira tidak ada cara pengobatannya. Banyak yang bisa


dilakukan terhadap penderita autisme, antara lain :

1. terutama melalui program pendidikan dan latihan di ikuti


pelayanan dan perlakuan lingkungan yang wajar.
2. untuk mngurangi perilaku anak yang tidak wajar, pengasuh dan
orang tua harus di ajari cara menghadapi anak autisme.
3. pengobatan yang dilakukan adalah untuk membatasi memberatnya
gejala dan keluhan, sejalan dengan pertambahan usia anak.
4. diusahakan agar anak meningkatkan perhatian dan tanggung jawab
terhadap orang sekitarnya.
5. untuk mencapai keadaan tersebut, bimbingan dan pendidikan harus
dilakukan secara perorangan, dan tidak mungkin efektif bila di lakukan
secara kelas.
6. orang tua, saudara atau pelatih sukarela, harus ikut menyediakan
waktu dan perhatian beesama-sama tenaga penolong sehingga anak tidak
mempunyai peluang untuk kembali pada kebiasaannya yang kurang baik,
yang sudah terbiasa dia lakukan sebelumnya.
7. perlunya menegakkan diagnosa autisme secara dini.
Penanganan masalah dari anak autisme ini, antara lain adalah :

1. Mengurangi kepekaan terhadap bunyi, rasa perabaan kulit,


cahaya, rasa makanan, dan lain-lain serta mengusahakan perubahan
perilaku yang menyimpang.
2. Bila kebiasaan perilaku dan tutur bahasanya yang kacau
bertambah memburuk, saatnya anak ini memerlukan pembimbing
khusus.
3. latihan bicara berbahasa, dan bahasa isyarat, diperlukan untuk
memberikan pelatihan dan bimbingan bagi anak yang mengalami
ganguan berbahasa yang berat (sampai anak seperti orang bisu, tak mau
bicara).

11
4. Psycoterapy lebih diperlukan pada autisme anak yang lebih
besar dari pada untuk anak autisme yang masih balita.
Perencanaan pengobatan yang paripurna terhadap anak autisme,
termasuk :

 Program pendidikan
 Petunjuk bagi pengasuh dan keluarga dalam menghadapi anak autisme
 Perhatian pada pengaruh langkah pengibatan yang di ambil
Obat-obat psikotropik kadang-kadang bermanfaat pada beberapa
penderita autisme. Fasilitas pengobatan untuk anak prasekolah biasnya
dipersiapkan untuk anak autisme yang masih kecil dan berat. Sekolah
pemerintah, sebaiknya tanggap untuk menyediakan fasilitas untuk menangani
anak autisme.

Program pelatihan anak autisme antara lain :

a) Program playgroup untuk anak autisme usia prasekolah.


b) Program wisata dan rekreasi.
c) Konsultasi disertai pelatihan bagi orang tua dan kelurga anak
autisme.
d) Tempat tinggal/ruang perawatan anak autisme bila keluarganya
tidak mampu menanggulangi di dalam keluarga.
e) Latihan kerja dan beberapa program persiapan bergaul dan bekerja
dimasyarakat bagi anak autisme yang sudah agak besar dan remaja.
f) Fasilitas perawatan gigi, dan pelayanan kesehatan khusus untuk
penderita autisme.
g) Persiapan fasilitas lain di dalam masyarakat sehingga penderita
autisme tidak terlalu tergantung pada orang sekitarnya.
Berikut ini langkah-langkah yang diperlukan dalam pengelolaan
penderita autisme.

1. tentukan terlebih dahulu masalah penyimpangan perilaku dan perilaku


yang mana kira-kira kita perlu ditingkatkan.
2. tentukan berapa sering timbulnya penyimpangan perilaku tersebut.
3. tentukan apa faktor pencetus timbulnya penyimpangan perilaku tersebut.

12
4. tentukan perubahan mana yang perlu untuk meningkatkan atau
mengurangi penyimpangan perilaku.
5. rencanakan program tersebut.
6. yakinkan dan usahakan agar semua pihak yang terlibat ikut peduli dengan
program tersebut.
7. periksa dan usahakan agar semua program yang direncanakan bisa
berjalan secara konsisten.
8. Adakan penilaian program secara teratur dan jangan terlalu mengharapkan
hasilnya dalam waktu singkat.
9. adakan modifikasi atau hentikan program setelah hasil yang anda
harapkan tercapai. Ingat, beberapa jenis kelainan perilaku tidak mudah
untuk di ubah. Salah seorang ahli menganjurkan, paling tidak, 3 bulan
setelah program dilaksanakan baru dilakukan penilaian apakah berhasil
atau gagal. Bila terlalu buru-buru mengubah langkah pengelolaan, bisa
menimbulkan malapetaka bagi si penderita.
10. memberikan permainan yang rutin dan tetap merupakan jenis pengobatan
bagi anak autisme, yang bisa mengurangi kecemasan dan meningkatkan
rasa aman dalam dunianya.
11.bergaul akrab dengan penderita, menuntun dalam berjalan, misalnya
berekreasi, juga di anjurkan oleh para profesional.
12. pengobatan secara psikologi dan secara bermain, termasuk yang
dianjurkan juga.
13. begitu juga latihan memilih dan latihan berkomunikasi.

2.6 Pendidikan Anak Autistik (Autisme).


2.6.1 Peranan Orang Tua
Menurut Puspita dalam Samita, bahwa peranan orang tua anak autistik
dalam membantu anak untuk mencapai perkembangan dan pertumbuhan
optimal sangat menentukkan. Tindakan awal yang perlu dilakukan oleh para
orang tua anak autistik ialah orang tua perlu teliti dalam mengamati berbagai
gejala yang nampak pada diri anak yang autistik.

13
Tindakan lain yang perlu diperhatikan oleh para orang tua anak autistik
adalah memberikan penanganan kepada anaknya berdasarkan masalah dan
gejala perilaku yang nampak pada diri anak autistik.

Orang tua harus mengenali kelebihan dan kekurangan anak, lengkap


dengan ciri autisnya untuk mengetahui kebutuhan anak, mengenali
kemungkinan penanganan yang dapat diberikan kepada anak, menetapkan
beberapa jenis penanganan sesuai kebutuhan, melakukan pemantauan secara
terus menerus terhadap perkembangan anak, dan secara berkala kembali
kepada langkah pertama, yaitu mengetahui kelebihan dan kekurangan pada
diri anak yang autistik sesuai dengan proses perkembangan yang terjadi pada
diri anak autistik. (Puspita dalam Sasmita).

Para orang tua tidak boleh lupa bahwa meskipun anaknya autistik,
namun anaknya yang autistik tersebut terus mengalami perubahan atau
perkembangan. Karena itu, para orangtua anak autistik harus juga selalu
berkembang dengan cara para orang tua harus selalu berusaha dan belajar
terus menerus untuk mempelajari berbagai hal yang berhubungan dengan
semua aspek kehidupan anak yang autistik.

Orang tua harus dapat mengenali keadaan anak apa adanya. Para orang
tua perlu ingat bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang terjadi
pada anak usia dibawah tiga tahun. Perwujudan gangguan perkembangan ini
mencangkup tiga aspek utama, yaitu gangguan komunikasi, gangguan
perilaku, dan gangguan interaksi (puspita dalam Sasmita).

Para orang tua anak autistik adalah melakukan pendampingan yang


intensif. Pendampingan yang dimaksud adalah memastikan adanya interaksi
aktif antara anak dengan orang tua atau pengasuhnya yang ada disekitar nya.
Tujuan kegiatan pendampingan yang intensif ini ialah untuk membina kontak
batin secara terus menerus dengan anak dan untuk meningkatkan pemahaman
anak yang umumnya cenderung terbatas. Orang tua harus mengikuti anaknya
kemana ia pergi, memeberi tahu terhadap apa yang dipegang dan dilihat
anaknya, dan menjelaskan beberapa kejadian yang dialami anaknya, serta

14
orang tua perlu memberi makna pada kehidupan anaknya (puspita dalam
Sasmita).

Para orang tua perlu menanamkan pemahaman kepada anak bhawa


dalam kehidupan didunia ini ada aturan-aturan yang perlu ditaati. Aturan itu
ada disekolah, dirumah, dan dalam kehidupan masyarakat. Misalnya
mengajarkan anak untuk taat terhadap aturan waktu salat, maka orang tua
perlu memberikan contoh keteladanan berupa salat lima waktu sesuai dengan
waktu salat.

Orang tua juga perlu menerima bimbingan keluarga melalui kegiatan


“home training”. Pelatihan yang diterima oleh para orang tua dirumah (home
training) dapt berupa: para ahli yang terdiri dari dokter, psikolog, psikiater,
dan pedagog menerangkan tentang apa, bagaimana, dan di apakan anak
autisme itu; para guru dan pelatih memberikan latihan-latihan sederhana
untuk dipraktekkan dirumah khusus nya untuk memberi stimulasi kepada
anak nya dalam bidang latihan panca indera; orang perlu mendapatkan dan
mempelajari isi video home training dari lembaga yang menangani anak
autis. Orang tua anak autis membawa anaknya ke pusat-pusat terapi dan
mengikuti programnya. Di pusat-pusat terpadu tersebut dilakukan latihan-
latihan perkembangan anak yang mengarah kepada domain kognitif, afektif,
dan psikomotor (saragi dalam Sasmita).

2.6.2 Peranan Guru


Guru sebagai pengajar dan pendidik di sekolah memiliki peranan yang
ganda. Yaitu membantu orang tua anak autistik disekolah dan membantu
terapis atau pembimbing dan pelatih dalam program penata laksanaan
gangguan autisme. Widyawati dalam Sasmita mengemukakan bahwa tujuan
terapi pada gangguan autistik adalah untuk mengurangi masalah perilaku,
meningkatkan kemampuan dan perkembangan belajar anak autistik, terutama
dalam hal penguasaan bahsa, dan membantu anak autistik agr mampu
bersosialisasi dalm beradaptasi dilingkungan sosialnya.

Tujuan tersebut diatas dapat tercapai dengan baik melalui suatu


program terapi yang menyeluruh dan bersifat individual, dimana pendidikan

15
khusus dan terapi wicara meupakan kompenen yang penting. Namun yang
tidak boleh dilakukan oleh pihak guru khususnya dan pihak lain yang terkait
ialah bahwa masing-masing individu anak yang autistik adalah unik, sehingga
jangan beranggapan bahwa satu metode berhasil untuk satu anak dan metode
tersebut berhasil pula untuk anak autistik yang lain. Jadi suatu metode yang
diterapkan disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan dari masing-
masing anak yang autistik.

Guru perlu memperhatikan kelemahan dan kekuatan anak sebagai basis


dalam menyusun dan menerapkan pendidikan untuk anak autistik. Guru perlu
memberikan pelatihan yang terstruktur yang memperkecil kesempatan anak
untuk melepaskan diri dari teman-temannya dan guru segera bertindak bila
anak melakukan aktivitas sendiri. Anak perlu di ikut sertakan dalam proses
penyusunan program pelatihan struktur ini dengan tujuan agar anak dapat
mengatur sendiri pikiran dan tindakannya agar anak dapat bekerja atas dasar
kemampuan sendiri (mandiri).

Dalam mebelajarkan tetang bahasa, sebaiknya materinya membicarakan


tentang hal-hal yang ada di dalam kehidupan sehari-hari anak. Dengan materi
tersebut, anak lebih mudah mengembangkan kemampuannya dalam
berkomunikasi. Pada bebrapa anak dapat dilatih bahasa isyarat dan
keterampilan sosial yang ada sangkut pautnya dengan kehidupan sehari hari.

Untuk anak autistik yang berusia remaja dan dewasa muda. Program
pendidikan dan latihan yang perlu diberikan oleh guru kerjasama dengan
pihak yang terkait (orang tua, terapis, dan tenaga medis, ahli terapi wicara,
psikolog, dan lainnya) ialah masalah yang berkenaan dengan kekurangan
dalam interaksi sosial, hubungan timbal balik, memahami aturan-aturan
sosial, memusatkan perhatian bila anak berada dalam suatu kelompok, dan
kemampuan mengerjakan cara-cara yang di ajarkan oleh pembimbingnya
(widyawati dalam Sasmita).

Dalam menangani anak autistik yang agresif, peranan yang perlu


dilakukan oleh guru adalah mengajari berkomunikasi bukan kata-kata dan
tingkatan keterampilan sosial anak melalui peragaan. Guru perlu juga

16
konsultasikan anak ke ahli endokrinologi untuk mengatasi agresivitas seksual
anak dan konsultasi neurologi untuk mengatasi adanya serangan kejang lobus
temporalis dan sindrom hipo talamik. Guru harus menciptakan lingkungan
sekolah yang aman, teratur, dan responsif terhadap anak autistik. Guru harus
berusaha untuk membangkitkan rasa percaya diri pada anak dan membantu
orang tua untuk mengerti dan mempraktekkan teknik-teknik perilaku yang di
ajarkan bersama-sama dengan anak autistik agar meningkatkan persepsi
orang tua, sehingga para orang tua dapat membantu dengan efektif dan
mengintrol perilaku anak mereka. Selain itu, guru perlu juga
mengembangkan berbagai keterampilan sebagai pengganti agresivitas, seperti
keterampilan sosial, keterampilan berkomunikasi, kerjasama, menggunakan
waktu senggang, dan keterampilan berekreasi (widyawati dalam Sasmita).

Ada beberapa teknik yang dapat digunakan oleh guru disekolah dan
para orang tua dirumah untuk mencegah timbulnya perilaku agresivitas pada
diri anak. Teknik-teknik tersebut, yaitu dengan :

Membina hubungan yang kuat dengan anak, memastikan anak memiliki


rutinitas yang teratur(terutama dirumah), meninjau kembali bermacam
tuntunan terhadap anak autistis, mengatur perubahan
rutinitas(sebelum/sesudah hari libur), menjelaskan dan menyiapkan anak
terhadap perubahan, mengurangi suara dan keributan disekitar anak,
membuat rencana untuk “hari-hari buruk” dengan memilih suatu tempat yang
tenang agar anak autistis dapat lebih tenang, pergunakan relaksasi dan kontrol
diri sebagai cara untuk memberi lebih banyak keterampilan pada anak,
pertemuan rutin dengan anggota tim terapis/pembimbing/pendidik/pelatih
agar mereka menyadari anggota tim menyadari tanda-tanda agresivitas yang
muncul pada anak autistis, dan supervisi dari ahli ilmu jiwa atau psikolog
yang terlatih dalam perilaku kognitif anak autistik (widyawati dalam
Sasmita).

Guru perlu juga mengetahui gaya belajar anak autistik. Berupa: Rote
Learner, yaitu anak cenderung mengafalkan informasi apa adanya tanpa
memahami arti simbol yang dihapalkan itu; Gestalt Learner, yaitu anak dapat

17
mengahafalkan kalimat-kalimat secara utuh tanpa mengerti arti kata perkata
yang terdapat pada kalimat itu dan anak cenderung belajar menggunakan
gaya gestalt, yaitu melihat sesuatu secara keseluruhan; Visual Learner, yaitu
anak senang melihat buku, gambar-gambar dan tv dan mudah memahami
sesuatu yang dilihat daripada yang mereka dengar; Hands on Learner, yaitu
anak senang mencoba-coba dan mendapatkan pengetahuan dari
pengalamannya mencoba-coba ini; dan Auditory Learner, yaitu anak autistik
senang bicara dan lebih mudah memahami terhadap yang mereka dengar dari
pada terhadap apa yang mereka lihat. Dengan mengetahui gaya belajar dari
setiap anak autistik, maka guru diharapkan dapat menyesuaikan proses
pendidikan, bimbingan, dan latihannya terhadap gaya belajar anak autistik
tersebut.

Guru perlu juga mengetahui masalah belajar yang dialami anak autistik.
Ada empat masalah belajar yang mempengaruhi proses berpikir yang
mempengaruhi proses belajar anak autistik disekolah menurut paull dan
jordan dalam Sasmita, yaitu: masalah persepsi, msalah kesadaran akan
pengalaman, masalah daya ingat, dan masalah emosi. Anak autistik
bermasalah persepsi karena tidak dapat mempersepsi stimulus dari
lingkungan seperti dilingkungan anak normal. Anak autistik bermasalah
dalam hal kesadaran terhadap pengalaman karena anak autistik sulit
memahami bahwa sesuatu itu telah dialaminya, anak autistik bermasalah
dalam hal daya ingat karena anak autistik daya ingatnya lemah, sehingga
anak autistik seulit mengaitkan ingatan dengan pengalaman mereka sebagai
pribadi dan anak autistik bermasalah emosi karena emosi anak autistik tidak
stabil dan cenderung subjektif.

2.6.3 Peranan Masyarakat


Keterlibatan masyarakat dalam usaha membantu anak autistik dalam
berbagai hal, khususnya dalam masalah pemberian pendidikan, pelatihan, dan
bimbingan dibidang pendidikan, sosial, karier, pribadi, dan keterampilan
sensorik dan motorik sangat besar peranannya. Hanafi dalam Sasmita,
mengemukakan bahwa anak autistik yang menunjukan perbaikan gejala yang
menggembirakan, memerlukan dukungan, bantuan dan kesempatan serta
18
toleransi dari lingkungan diluar keluarga dan sekolah khusus atau klinik
untuk anak autistik. Untuk mengembangkan potensi anak autistik sebagai
makhluk sosial, maka masyarakat pendidikan dan masyarakat diluar sekolah
sangan dibutuhkan kontribusinya.

Kontribusi yang perlu dilakukan oleh masyarakat pendidikan ialah:


memberikan kesempatan kepada anak autistik untuk bersosialisai atau
diintegrasikan keseolah umum sesuai dengan potensi dan kemampuan yang
dimiliki. Selain itu, masyarakat juga perlu memberikan informasi secara jujur
dan berimbang atau proporsional tentang dan hasil dan segala sesuatu yang
berkenaan dengan penanganan pendidikan autisme, dan membantu usaha
sosialisasi tentang autisme dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya
bagi masyarakat luas melalui media cetak dan elektronik.

Sedangkan kontribusi yang diharapkan dari masyarakat luas ialah


berupa: membantu menciptakan situasi lingkungan yang kondusif atau
mendukung bagi anak autistik. Selain itu, para orang tua “anak yang normal”
diharapkan dapat memahami dan menerima kebutuhan pendidikan anak
autistik untuk diintegrasikan kedalam lingkungan normal, dan masyarakat
luas baik sebagai individu maupun sebagai pemilik fasilitas umum, bersedia
memberikan kesempatan kepada anak autistik untuk menggunakan fasilitas
umum yang dimilikinya sebagai sarana belajar dan interaksi sosial bagi anak
yang autistik. Misalnya pemilik pusat perbelanjaan atau swalayan dapat
memberikan kesempatan kedapa anak autistik untu belajar berbelanja, belajar
antri, belajar membayar sendiri harga barang yang dibeli, dan bahkan jika
memungkinkan untuk membuka kasier khusus untuk anak yang autistik

2.7 Definisi, Penyebab dan Jenis-Jenis Kesulitan Belajar


Menurut Maesari, secara harfiah kesulitan belajar merupakan
terjemahan dari Bahasa Inggris “Learning Disability” yang berarti
ketidakmampuan belajar. Kata disability diterjemahkan ”kesulitan” untuk
memberikan kesan optimis bahwa anak sebenarnya masih mampu untuk
belajar. Istilah lain learning disabilities adalah learning difficulties dan
learning differences. Ketiga istilah tersebut memiliki nuansa pengertian yang

19
berbeda. Di satu pihak, penggunaan istilah learning differences lebih bernada
positif, namun di pihak lain istilah learning disabilities lebih menggambarkan
kondisi faktualnya. Untuk menghindari bias dan perbedaan rujukan, maka
digunakan istilah Kesulitan Belajar.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kesulitan belajar atau


learning disabilities merupakan istilah generik yang merujuk kepada
keragaman kelompok yang mengalami gangguan dimana gangguan tersebut
diwujudkan dalam kesulitan-kesulitan yang signifikan yang dapat
menimbulkan gangguan proses belajar.

Ada beberapa penyebab kesulitan belajar yang terdapat pada


literatur dan hasil riset (Harwell dalam Diniya), yaitu :
1. Faktor keturunan/bawaan
2. Gangguan semasa kehamilan, saat melahirkan atau premature
3. Kondisi janin yang tidak menerima cukup oksigen atau nutrisi dan
atau ibu yang merokok, menggunakan obat-obatan (drugs), atau
meminum alkohol selama masa kehamilan.
4. Trauma pasca kelahiran, seperti demam yang sangat tinggi, trauma
kepala, atau pernah tenggelam.
5. infeksi telinga yang berulang pada masa bayi dan balita. Anak
dengan kesulitan belajar biasanya mempunyai sistem imun yang
lemah.
6. Awal masa kanak-kanak yang sering berhubungan dengan
aluminium, arsenik, merkuri/raksa, dan neurotoksin lainnya.
Jenis-jenis kesulitan belajar menurut Harwell dalam Diniya antara lain
adalah sebagai berikut :
a. Kesulitan membaca ( disleksia )
b. Kesulitan menulis ( disgrafia )
c. Kesulitan berhitung ( diskalkulia )
d. Kesulitan lain-lain ( emosional- social)

6.8 Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar


Menurut Valett dalam Maesari, terdapat tujuh karakteristik yang
ditemui pada anak dengan kesulitan belajar. Kesulitan belajar disini diartikan
sebagai hambatan dalam belajar, bukan kesulitan belajar khusus.
1. Sejarah kegagalan akademik berulang kali

20
Pola kegagalan dalam mencapai prestasi belajar ini terjadi berulang-
ulang.Tampaknya memantapkan harapan untuk gagal sehingga
melemahkan usaha.
2. Hambatan fisik/tubuh atau lingkungan berinteraksi dengan kesulitan
belajar, Adanya kelainan fisik, misalnya penglihatan yang kurang jelas
atau pendengaran yang terganggu berkembang menjadi kesulitan belajar
yang jauh di luar jangkauan kesulitan fisik awal.
3. Kelainan motivasional
Kegagalan berulang, penolakan guru dan teman-teman sebaya, tidak
adanya reinforcement. Semua ini ataupun sendiri-sendiri cenderung
merendahkan mutu tindakan, mengurangi minat untuk belajar, dan
umumnya merendahkan motivasi atau memindahkan motivasi ke kegiatan
lain.
4. Kecemasan yang samar-samar,mirip kecemasan yang mengambang
Kegagalan yang berulang kali, yang mengembangkan harapan akan gagal
dalam bidang akademik dapat menular ke bidang-bidang pengalaman lain.
Adanya antisipasi terhadap kegagalan yang segera datang, yang tidak pasti
dalam hal apa, menimbulkan kegelisahan, ketidaknyamanan, dan semacam
keinginan untuk mengundurkan diri. Misalnya dalam bentuk melamun
atau tidak memperhatikan.
5. Perilaku berubah-ubah,dalam arti tidak konsisten dan tidak terduga, Rapor
hasil belajar anak dengan kesulitan belajar cenderung tidak konstan. Tidak
jarang perbedaan angkanya menyolok dibandingkan dengan anak lain. Ini
disebabkan karena naik turunnya minat dan perhatian mereka terhadap
pelajaran.Ketidakstabilan dan perubahan yang tidak dapat diduga ini lebih
merupakan isyarat penting dari rendahnya prestasi itu sendiri.
6. Penilaian yang keliru karena data tidak lengkap
Kesulitan belajar dapat timbul karena pemberian label kepada seorang
anak berdasarkan informasi yang tidak lengkap. Misalnya tanpa data yang
lengkap seorang anak digolongkan keterbelakangan mental tetapi terlihat
perilaku akademiknya tinggi, yang tidak sesuai dengan anak yang
keterbelakangan mental.
7. Pendidikan dan pola asuh yang didapat tidak memadai

21
Terdapat anak-anak yang tipe, mutu, penguasaan, dan urutan pengalaman
belajarnya tidak mendukung proses belajar. Kadang-kadang kesalahan
tidak terdapat pada sistem pendidikan itu sendiri, tetapi pada
ketidakcocokan antara kegiatan kelas dengan kebutuhan anak.Kadang-
kadang pengalaman yang didapat dalam keluarga juga tidak mendukung
kegiatan belajar.

2.8 Gejala Gangguan Belajar


Menurut Maesari gelala gangguan belajar antara lain:
1. Ketidakberfungsian Minimal Otak (minimal brain dysfunction)
Ketidakberfungsian minimal otak digunakan untuk merujuk suatu
kondisi gangguan syaraf minimal pada anak. Ketidakberfungsian ini
bisa didapatkan dalam berbagai macam kombinasi kesulitan seperti:
persepsi, konseptualisasi, bahasa, memori, pengendalian perhatian,
impulse(dorongan), atau fungsi motorik.
Sekalipun sistem seperti itu bisa mulai tampak pada usia taman
kanak-kanak, tetapi untuk anak tertentu mungkin belum tampak pada
saat anak memasuki sekolah dasar. Mereka mungkin menghadapi
kesulitan untuk mengikuti kegiatan kelas seperti membaca, mengeja,
dan berhitung; kesulitan dalam memahami konsep konkrit maupun
abstrak; penampilannya cenderung kacau atau tak beraturan-tinggi
dalam bidang tertentu dan rendah dalam bidang lainnya. Mereka sering
menunjukkan gejala kurang mampu memusatkan perhatian,
ketidakstabilan emosi, frustrasi, dan sikap permusuhan.
Beberapa simptom spesifik dari ketidakberfungsian otak minimal
ialah:
a. Kelemahan dalam persepsi dan pembentukan konsep
 Kelemahan dalam membedakan ukuran.
 Kelemahan dalam membedakan kiri-kanan dan atas-bawah.
 Kelemahan tilikan ruang.
 Kelemahan orientasi waktu.
 Kelemahan dalam memperkirakan jarak.
 Kelemahan membedakan bagian-keseluruhan.
 Kelemahan memahami keutuhan.
b. Gangguan bicara dan komunikasi
 Kelemahan membedakan stimulus auditif.
 Perkembangan bahasa yang lamban.
 Seringkali kehilangan pendengaran.

22
 Seringkali berbicara tak teratur.
c. Gangguan funsi motorik
 Seringkali gemetar atau menunjukkan kekakuan gerak.
 Hiperaktivitas.
 Hipoaktivitas.
d. Kemunduran prestasi dan penyesuaian akademik
 Ketidakcakapan membaca.
 Ketidakcakapan berhitung.
 Ketidakcakapan mengeja.
 Ketidakcakapan menulis dan menggambar.
 Kelambanan menyelesaikan pekerjaan.
 Kebimbangan memahami instruksi.
e. Karakteristik emosional
 Impulsif.
 Eksplosif.
 Kelemahan kendali emosi dan dorongan.
 Toleransi rendah terhadap frustasi.
f. Gangguan proses berpikir
 Ketidakcakapan berpikir abstrak.
 Umumnya berpikir konkret.
 Kesulitan membentuk konsep.
 Seringkali berpikirnya tak terorganisasi.
 Keterbatasan rentang memori.
 Seringkali berpikir autistik.
2. Aphasia
Aphasia merujuk kepada suatu kondisi dimana anak gagal
menguasai ucapan-ucapan bahasa yang bermakna pada usia sekitar 3
tahunan. Ketidakcakapan bicara ini tidak dapat dijelaskan karena
faktor ketulian, keterbelakangan mental, gangguan organ bicara, atau
faktor lingkungan.
Aphasia tampak dalam berbagai bentuk dengan simptom yang
cukup kompleks.Secara garis besar simptom aphasia dapat
digolongkan ke dalam tiga karakteristik utama berikut ini.
a. Receptive aphasia
 Tidak dapat mengidentifikasi apa yang didengar.
 Tidak dapat melacak arah.
 Kemiskinan kosakata.

23
 Tidak dapat memahami apa yang terjadi dalam gambar.
 Tidak dapat memahami apa yang dia baca.
b. Expressive aphasia
 Jarang bicara di kelas.
 Kesulitan dalam melakukan peniruan.
 Banyak pembicaraan yang tidak sejalan dengan ide.
 Jarang menampilkan gesture (gerak tangan).
 Ketidakcakapan menggambar dan menulis.
c. Inner aphasia
 Tidak mampu melakukan asosiasi; oleh karena itu sulit
berpikir abstrak.
 Memberikan respon yang tak layak atas panggilan/sahutan.
 Lamban merespon.
3. Dyslexia
Disleksia (dyslexia) atau ketidakcakapan membaca, adalah jenis
lain gangguan belajar. Semula istilah disleksia ini digunakan di dalam
dunia medis, tetapi saat ini digunakan pada dunia pendidikan dalam
mengidentifikasi anak-anak berkecerdasan normal yang mengalami
kesulitan berkompetisi dengan temannya di sekolah. Simptom umum
yang sering ditampilkan anak disleksa ialah:

 Kelemahan orientasi kanan-kiri.


 Kecenderungan membaca kata bergerak mundur; seperti “dia”
dibaca “aid”
 Kelemahan keterampilan jari.
 Kesulitan dalam berhitung, kesalahan hitung.
 Kelemahan memori.
 Kesulitan auditif.
 Kelemahan memori-visual, tidak mampu memvisualkan kembali
objek, kata, atau huruf.
 Dalam membaca keras tidak mampu menkonversikan simbol
visual kedalam simbol auditif yang sejalan dengan bunyi kata

24
secara benar. Kata yang diucapkan tidak sesuai dengan apa yang
dilihatnya.
4. Kelemahan Perseptual atau Perseptual-Motorik
Kelemahan perseptual dan perseptual-motorik sebenarnya merujuk
kepada masalah yang sama. Sebenarnya persepsi dapat diidentifikasi
tanpa mengaitkan dengan aspek motorik.Persepsi itu sendiri berfungsi
membedakan stimulus sensoris, yang pada gilirannya harus
diorganisasikan ke dalam pola-pola yang bermakna.Seorang anak
membedakan dan menafsirkan objek sebagai suatu kesatuan. Akan
tetapi jika kelemahan perseptual-motorik itu terjadi, hubungan antara
persepsi dan gerak motorik akan terganggu. Kondisi ini menjadikan
anak tidak dapat melakukan pengamatan secara tepat dan tidak mampu
menterjemahkan pengamatan itu ke dalam alur gerak motorik, dan
bahkan anak tidak dapat mendengar dan melihat secara
normal.Biasanya anak yang mengalami gangguan perseptual motorik
ini mengalami kesulitan dalam memahami dan menyatakan ide.

Ciri umum yang sering ditunjukkan oleh anak yang mengalami


kelemahan perseptual atau perseptual-motorik ialah:

 Kemiskinan koordinasi visual-motorik.


 Gangguan keseimbangan badan pada waktu berjalan maju, mundur,
dan menyamping.
 Kurang terampil dalam melompat.
 Kesulitan mengamati diri dalam konteks ruang dan waktu.
 Kesulitan melakukan gerak ritme normal; saat menulis cenderung
mengurangi atau menambah ukuran, bentuk, warna, ketebalan.
 Kesulitan dalam mengikuti konsistensi objek; d menjadi b.

2.10 Diagnosa Gangguan Belajar


Menurut Maesari, keragaman definisi kesulitan belajar membawa
keragaman pula dalam orientasi filosofis tentang identifikasi dan
pengajaran bagi anak berkesulitan belajar. Meskipun demikian prinsip-

25
prinsip dasar evaluasi bagi seluruh anak berkesulitan belajar perlu
diketahui dan dipahami. Prinsip-prinsip dasar tersebut ialah:
1. Tes atau teknik evaluasi lain harus diberikan dalam bahasa anak, dapat
dipahami oleh anak.
2. Evaluasi harus dilakukan oleh tim dari berbagai disiplin, setidak-
tidaknya terdiri atas seorang guru atau ahli lain yang mengetahui
masalah kesulitan belajar.
3. Kriteria penetapan kesulitan belajar hendaknya mempertimbangkan
hal-hal berikut:
a) Seorang anak dikatakan mengalami kesulitan belajar jika anak
tidak mampu mencapai prestasi sesuai dengan usia dan tingkat
kecakapan dalam satu atau lebih bidang:
 Ekspresi lisan
 Mendengarkan pemahaman
 Ekspresi tulisan
 Keterampilan membaca dasar
 Membaca pemahaman
 Perhitungan matematis, atau
 Berpikir matematis
b) Seorang anak tidak diidentifikasikan sebagai mengalami kesulitan
belajar jika kesenjangan antara kecakapan dan prestasi disebabkan
oleh:
 Hambatan visual, pendengaran, atau motorik
 Keterbelakangan mental
 Gangguan emosional
 Ketidakberuntungan lingkungan, budaya, atau ekonomis.
4. Pelaporan hasil identifikasi hendaknya menyatakan:
a) Kesulitan belajar khusus apa yang dialami anak,
b) Dasar yang digunakan untuk menentukan jenis kesulitan,
c) Perilaku-perilaku yang relevan yang tercatat selama dilakukan
pengamatan,
d) Hubungan antara perilaku tersebut dengan keberfungsian akademik
anak,
e) Temuan-temuan medis yang relevan dengan pendidikan,

26
f) Kesenjangan antara prestasi dan kecakapan yang tak dapat diatasi
tanpa pendidikan dan layanan khusus,
g) Pertimbangan tentang pengaruh ketakberuntungan lingkungan,
budaya, dan ekonomi.
2.11 Pelayanan dan Bimbingan Anak Berkesulitan Belajar
1. Berbagai Pilihan Penempatan
Dalam memilih sistem penempatan untuk memberikan pelayanan
pendidikan kepada anka berkesulitan belajar, ada faktor yang perlu
dipertimbangkan. Berbagai faktor tersebut adalah tingkat kesulitan,
kebutuhan anak untuk memperoleh pelayanan yang sesuai, dan
keterampilan social dan akademik anak. Suatu tim yang menangani
anak berkesulitan belajar biasanya menganjurkan untuk memilih suatu
sistem pemberian pelayanan yang menggabungkan beberapa tipe
pelayanan.
Menurut Lerner dalam Maesari, ada tiga sistem penempatan yang
banyak dipilih oleh sekolah, yaitu kelas khusus (special class), ruang
sumber (resource room), dan kelas regular (regular class). Menurut
Lerner, 20 persen anak berkesulitan belajar di Amerika Serikat
memperoleh pelayanan di kelas khusus, 62 persen di ruang sumber,
dan 15 persen di kelas regule. Berikut ini secara berturut-turut akan
dibahas pemberian pelayanan pendidikan dalam kelas khusus, ruang
sumber, dan kelas regular.
a. Kelas khusus
Sekolah yang menyelenggarakan kelas khusus biasanya
menempatkan 10 atau 20 anak berkesulitan belajar dalam satu
kelas, pengelompokan, dapat didasarkan atas taraf kesulitan atau
faktor-faktor lain. Ada dua macam kelas khusus yang biasa
digunakan yaitu kelas khusus sepanjang hari belajar dan kelas
khusus untuk bidang studi tertentu.

Dalam kelas khusus sepanjang hari belajar anak berkesulitan


belajar diajar oleh guru khusus. Mereka berinteraksi dengan anak
yang tidak berkesulitan belajar hanya pada saat beristirahat. Jenis
pelayanan ini adalah yang paling bersifat membatasi pergaulan

27
anak berkesulitan belajar dengan anak yang tidak berkesulitan
belajar dalam sistem pendidikan integratif.

Dalam kelas khusus untuk bidang studi tertentu anak-anak


belajar bidang studi yang tidak dapat mereka ikuti di kelas regular.
Untuk bidang-bidang studi seperti olahraga, musik, kerajinan
tangan, dan bidang studi lain yang dapat dilakukan bersama anak
yang tidak berkesulitan belajar, mereka melakukan bersama.
Sebagian besar dari waktu yang digunakan di dalam kelas khusus
jenis ini umumnya untuk pelajaran membaca, menulis, berhitung,
dan kadang-kadang juga tentang keterampilan sosial atau aspek
khusus dari bahasa.

Sistem pemberian pelayanan dalam kelas khusus tidak hanya


memiliki keuntungan tetapi juga memiliki kekurangan.
Keuntungan dari sistem pemberian pelayanan ini adalah : (1)
pembelajarannya menjadi lebih efektif karena pengelompokannya
homogen dan (2) anak berkesulitan belajar lebih banyak
menperoleh pelayanan yang bersifat individual dari guru. Adapun
kekurangan dari sitem pemberian pelayanan ini adalah : (1) anak
berkesulitan belajar sering memperoleh cap negatif yang dapat
mengganggu kepercayaan diri, sikap negatif dari keluarga, dan
harapan untuk berhsil yang rendah dari guru; dan (2) anak
berkesulitan belajar cenderung hanya dapat berimitasi dengan
sesama mereka.

b. Ruang sumber
Ruang sumber merupakan ruang yang disediakan oleh sekolah
untuk memberikan pelayanan pendidikan khusus bagi anak yang
membutuhkan, terutama yang tergolong berkesulitan belajar. Di
dalam ruang tersebut terdapat guru remedial dan berbagai media
pembelajaran. Aktivitas di dalam ruang sumber umumnya

28
berkonsentrasi pada memperbaiki keterampilan dasar seperti
membaca, menulis, dan berhitung. Guru sumber atau guru remedial
dituntut untuk menguasai bidang keahlian yang berkenaan dengan
pendidikan bagi anak berkesulitan belajar. Guru sumber diharapkan
juga dapat menjadi “pengganti” guru kelas dan menjadi konsultan
bagi guru regular. Anak belajar di ruang sumber sesuai dengan
jadwal yang telah ditentukan. Guru di ruang sumber biasanya
menangani 15 sampai 20 anak tiap hari.
Pemberian pelayanan dalam bentuk sumber memiliki
keuntungan tetapi juga kekurangan. Kelebihannya adalah (1) anak
yang memerlukan bantuan khusus di bidang akademik atau sosial
memperoleh bantuan dari guru yang terlatih dan (2) anak
berkesulitan belajar tetap berada di dalam kelas regular sehingga
mereka dapat bergaul dengan anak yang tidak tergolong
berkesulitan belajar. Adapun kekurangan sistem pemberian
pelayanan jenis ini adalah (1) meningkatkan jumlah waktu
terbuang untuk pindah dari kelas regular ke ruang sumber, (2)
mengurangi kemampuan guru kelas atau guru regular untuk
menangani anak secara individual, (3) meningkatkan kemungkinan
adanya inkosnsistensi pendekatan pembelajaran, (4) meningkatkan
jumlah spesialis yang bekerja untuk anak yang dapat menimbulkan
pelayanan yang terpecah-pecah, dan (5) dapat meningkatkan
konflik antara kebutuhan kelompok dan kebutuhan individual.

c. Kelas Regular
Jenis pelayanan dalam bentuk kelas regular dimaksudkan untuk
mengubah citra tentang adanya dua tipe anak, yaitu anak yang
berkesulitan belajar dan anak yang tidak berkesulitan belajar.
Dalam kelas regular dirancang untuk membantu anak berkesulitan
belajar diciptakan suasana belajar koperatif sehingga
memungkinkan semua anak, baik yang berkesulitan belajar
maupun yang tidak berkesulitan belajar. Suasana belajar kopereatif
diciptakan untuk menghindari terjadinya duplikasi pemberian

29
pelayanan. Program pelayanan pendidikan individual diberikan
kepada semua anak yang membutuhkan, baik yang berkesulitan
belajar maupun yang tidak, dan bahkan juga diberikan kepada anak
berbakat (gifted and talented). Dalam kelas regular semacam ini,
berbagai metode untuk kedua jenis anak digunakan bersama.

Sistem pemberian pelayanan dalam bentuk kelas regular


memiliki banyak keuntungan tetapi juga memiliki banyak
kekurangan. Berbagai keuntungan dari sistem ini adalah:

 Anak berkesulitan belajar akan menggunakan anak yang tidak


berkesulitan belajar sebagai model perilaku mereka;
 Mengelola anak berkesulitan belajar di kelas regular lebih
murah daripada menyediakan mereka pelayanan dan situasi
khusus;
 Anak yang tidak berkesulitan belajar dapat menjadi lebih
mudah memahami adanya perbedaan antarindividu; dan
 Guru regular dimungkinkan untuk menjadi lebih dapat
menyesuaikan pembelajaran mereka dengan karakteristik
individual semua anak.
Adapun berbagai kekurangan sistem pemberian pelayanan
dalam bentuk kelas regular adalah :

 Anak berkesulitan belajar kurang memperoleh pelayanan


individual;
 Anak berkesulitan belajar masih mungkin memperoleh cap
negatif dari anak yang tidak berkesulitan belajar;
 Anak berkesulitan belajar mungkin akan sering gagal karena
sulitnya bahan dan tugas;
 Anak berkesulitan belajar akan dirugikan karena memperoleh
pelayanan PLB yang sistematis dan latihan keterampilan dasar
yang cukup, dan
 Semangat juang (morale) guru kelas atau guru regular mungkin
akan terpengaruh secara negatif karena banyak di antara
mereka yang tidk dipersiapkan untuk menangani anak
berkesulitan belajar.

30
2. Hubungan Orang Tua Dan Guru
Dalam menjalin hubungan dengan orang tua, guru perlu
memehami bahwa ada berbagai reaksi para orang tua terhadap anak
mereka yang berkesulitan belajar. Menurut Lerner (1988: 154) ada tiga
macam reaksi para orang tua terhadap anak mereka yang berkesulitan
belajar, yaitu (1) menolak atau tidak menerima kenyataan, (2)
kompensasi yang berlebihan, dan (3) menerima anak sebagaimana
adanya.
Menurut Mercer dalam Maesari, sikap menerima anak apa adanya
adalah tahapan akhir dari penyesuaian orang tua dalam menghadapi
anaknya yang berkesulitan belajar. Ada lima tahapan penyesuaian
orang tua dalam menghadapi anaknya yang berkesulitan belajar, yaitu
(1) menyadari adanya masalah, (2) mengenal masalah, (3) mencari
penyebab, (4) mencari penyembuhan, dan yang terakhir adalah (5)
menerima anak apa adanya.
Dalam menjalin hubungan dengan orang tua, sekolah perlu
menyelenggarakan antara orang tua dan guru. Pertemuan orang tua –
guru dapat menjadi suatu jembatan antara rumah dan sekolahBerbagai
kesulitan hendaknya dibicarakan dalam suasana tenang dan
menghindari istilah-istilah teknis. Para orang tua umumnya ingin
memahami sifat masalah, dan karena itu data diagnostic dan
pendekatan pembelajaran yang digunakan hendaknya dijelaskan
kepada orang tua. Para orang tua hendaknya juga dibantu untuk
menjadi peka terhadap berbagai kesulitan yang dihadapi oleh anak
mereka di sekolah.
3. Program Bimbingan dan Latihan Bagi Orang Tua
Meskipun peranan orang tua terhadap keberhasilan anak di sekolah
telah lama dikenal, penyediaan layanan bimbingan dan latihan bagi orang tua
di sekolah, terutama TK dan SD, masih sangat terbatas. Berikut ini akan
dikemukakan program bimbingan dan program latihan bagi orang tua.
a. Program Bimbingan bagi Orang Tua
Menurut McDowell dalam Maesari, ada dua macam pendekatan dalam
memberikan bimbingan bagi orang tua, yaitu pendekatan informasional dan
pendekatan psikoterapetik. Pendekatan informasional menekankan pada
penyediaan pengetahuan bagi orang tua tentang kesulitan belajar. Mercer

31
mengemukakan contoh pendekatan ini dengan suatu pertemuan berangkai
yang diselenggarakan oleh McWirter. Sekolah menyelenggarakan suatu
rangkaian pertemuan bagi orang tua anak berkesulitan belajar dan kepada
mereka diberikan informasi tentang anak berkesulitan belajar dan latihan
untuk menanggulanginya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertemuan-
pertemuan semacam itu sangat berharga bagi orang tua.
Pendekatan psikoterapetik memusatkan perhatian pada usaha membantu
orang tua memahami konflik keluarga dan gangguan emosional yang
disebabkannya. Menurut Abrams dan Kaslow seperti dikutip oleh Mercer
dalam Maesari, ada beberapa macam strategi pemberian bantuan bagi anak
berkesulitan belajar seperti dikemukakan berikut ini.
- Hanya intervensi pendidikan. Strategi ini ditujukan kepada anak
berkesulitan belajar tanpa gangguan emosional, yang memiliki keluarga
stabil dan harmonis.
- Hanya terapi individual. Strategi ini ditujukan kepada anak berkesulitan
belajar yang orang tuanya memiliki gangguan yang sulit disembuhkan
seperti orang tua yang pecandu obat bius, peminum alcohol, psikotik, atau
yang menolak anak.
- Bimbingan kelompok orang tua. Strategi ini untuk orang tua yang baik,
yang dirasakan akan memperoleh keuntungan dari pertemuan-pertemuan
kelompok yang berupaya memecahkan masalah kesulitan belajar anak-
anak mereka.
- Terapi individual dan tutorial. Strategi ini untuk anak berkesulitan belajar
yang membutuhkan intervensi akademik yang sistematik dan orang tuanya
memiliki gangguan yang sulit disembuhkan.
- Terapi bersamaan anak dan orang tua dengan pemberian terapi yang
berbeda. Strategi ini digunakan jika pemberian terapi kepada anak dan
orang tua secara bersamaan dapat menimbulkan kecemasan dan perasaan
tertekan.
- Terapi bersamaan anak dan orang tua dengan pemberian terapi yang sama.
Strategi ini tepat digunakan jika orang tua dan anak dapat menjalin
interaksi koperatif.
- Terapi keluarga yang terdiri dari anak, orang tua, dan saudara-saudara
kandung. Strategi ini tepat digunakan bagi keluarga yang dapat

32
memecahkan masalah dengan menciptakan lingkungan sosial yang saling
menunjang atau koperatif.
- Strategi psikoterapetik dapat dipandang sebagai strategi yang cenderung
menekankan pada peran orang tua dalam memecahkan masalah emosional
anak, yang memandang perlu adanya perbaikan keseluruhan lingkungan
keluarga.
b. Program Latihan bagi Orang Tua
Program ini ditujukan kepada orang tua untuk memperoleh
keterampilan mengajar, berinteraksi, dan mengelola perilaku anak secara
efektif di rumah. Menurut McDowell seperti dikutip oleh Mercer dalam
Maesari ada dua pendekatan dalam program latihan bagi orang tua, yaitu (a)
pendekatan komunikasi (communication approach) dan (b) pendekatan
keterlibatan (involvement approach).
Pendekatan komunikasi menekankan pada penyelenggaraan komunikasi
langsung antara orang tua dengan anak; sedangkan pendekatan keterlibatan
menekankan pada upaya pemecahan masalah praktis melalui kerja sama
kelompok.
Dinkmeyer dan Carbon seperti dikutip oleh Mercer dalam Maesari
mengembangkan suatu strategi keterlibatan yang disebut “C-Group” yang
membantu orang tua memecahkan masalah praktis melalui kerja sama
(collaboration), konsultasi (consultation), klarifikasi (clarification),
konfrontasi (confrontation), perhatian dan pengasuhan (concern and caring),
kerahasiaan (confidentiality), dan tanggung jawab (commitment) pada
perubahan. Dalam pendekatan ini orang tua diminta untuk menyajikan
masalah-masalah praktis kepada kelompok dan kemudian mereka mencoba
memecahkan masalah sesuai dengan saran yang dikemukakan oleh kelompok.
2.12. Jenis-Jenis Ketidakmampuan dalam Belajar

Anak-anak usia sekolah yaitu usia di atas 6 tahun masuk dalam


kelompok kesulitan belajar akademik anak-anak ini mengalami kesulitan
bidang akademik di sekolah yang sangat spesifik yaitu kesulitan dalam satu
jenis/bidang akademik seperti berhitung/matematika (diskalkulia), kesulitan
membaca (disleksia), kesulitan menulis (disgraphia), kesulitan bebahasa
(dysphasia), kesulitan tidak terampil (dispraksia), dsb .

33
Ada klasifikasi lain yang berdasarkan jenis gangguan atau kesulitan
yang dialami anak yaitu:
 Dispraksia: merupakan gangguan pada keterampilan motorik, anak
terlihat kurang terampil dalam melakukan aktivitas motorik. Seperti
sering menjatuhkan benda yang di pegang, sering memecahkan gelas
kalau minum.
 Disgraphia: kesulitan dalam menulis ada yang memang karena
gangguan pada motoris sehingga tulisannya sulit untuk dibaca orang
lain, ada yang sangat lambat aktivitas motoriknya, dan juga adanya
hambatan pada ideo motorik sehingga sering salah atau tidak sesuai
apa yang dikatakan dengan yang ditulis .
 Diskalkulia: adalah kesulitan dalam berhitung dan matematika hal ini
sering dikarenakan adanya gangguan pada memori dan logika
 Disleksia: merupakan kesulitan membaca baik membaca permulaan
maupun pemahaman
 Disphasia: kesulitan berbahasa dimana anak sering melakukan
kesalahan dalam berkomunikasi baik menggunakan tulisan maupun
lisan.
 Body awareness: Anak tidak memiliki akan kesadaran tubuh sering
salah prediksi pada aktivitas gerak mobilitas seperti sering menabrak
bila berjalan.

34
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1) Pengertian dan Penyebab Anak Penyandang Autis
 Pengertian Anak Penyandang Autis ialah sebagai kondisi
seseorang yang luar biasa asik dengan dirinya sendiri (Reber,
1985 dalam Trevarthen dkk dalam Sasmita).
 Penyebab Anak Penyandang Autis antara lain factor genetic,
gangguan pada system syaraf, ketidak seimbangan kimiawi dan
kemungkinan lainnya.
2) Karakteristik Autisme memiliki ciri-ciri utama:
a) Tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya
b) Tidak bisa bereaksi normal dalam pergaulan sosialnya
c) Perkembangan bicara dan bahasa tidak normal
d) Reaksi/pengamatan terhadap lingkungan terbatas atau berulang-
ulang.

35
Menurut Power dalam Sasmita, karakteristik anak dengan
autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang :

a) Interaksi sosial
b) Komunikasi (bicara dan bahasa)
c) Perilaku – emosi
d) Pola bermain
e) Gangguan sensorik – motorik
f) Perkembangan terlambat atau tidak normal
3) Klasifikasi Autisme
Menurut Sasmita, dalam berinteraksi sosial anak
autistikdikelompokan atas 3 kelompok yaitu:

a) Kelompok menyendiri
 Terlihat menghindari kontak fisik dengan lingkungannya
 Bertedensi kurang menggunakan kata-kata, dan kadang-kadang
sulit berubah meskipun usianya bertambah lanjut. Dan
meskipun ada ada perubahan, mungkin hanya bisa
mengucapkan beberapa patah kata yang sederhana saja.
 Menghabiskan harinya berjam-jam untuk sendiri, dan kalu
berbuat sesuatu, akan melakukannya berulang-ulang.
 Gangguan perilaku pada kelompok anak ini termasuk bunyi-
bunyi aneh, gerakan tangan, tabiat yang mudah marah, melukai
diri sendiri, menyerang teman sendiri, merusak dan
menghancurkan mainannya.
b) Kelompok anak autisme yang pasif
 Lebih bisa bertahan dengan kontak fisik, dan agak mampu
bermain dengan kelompok teman bergaul dan sebaya, tetapi
jarang sekali mencari teman sendiri.
 Mempunyai perbendaharaan kata yang lebih banyak meskipun
masih agak terlambat bisa berbicara dibandingkan dengan anak
sebaya.
 Kadang-kadang malah lebih cepat merangkai kata meskipun
kadang-kadang pula dibumbui kata yang kurang dimengerti.
36
 Kelompok pasif ini masih bisa diajari dan dilatih dibandingkan
dengan anak autisme yang menyendiri dan yang aktif tetapi
menurut kemauannya sendiri.
c) Kelompok anak autisme yang aktif tetapi menurut kemauannya
sendiri
 Kelompok ini seperti bertolak belakang dengan kelompok anak
autisme yang menyendiri karena lebih cepat bisa bicara dan
memiliki perbendaharaan kata yang paling banyak
 Meskipun dapat merangkai kata dengan baik, tetapi tetap saja
terselip kata-kata yang aneh dan kurang dimengerti.
 Masih bisa ikut berbagi rasa dengan teman bermainnya.
 Dalam berdialog, sering mengajukan pertanyaan dengan topik
yang menarik, dan bila jawaban tidak memuaskan atau
pertanyaannya dipotong, akan bereaksi sangat marah.
4) Diagnosa Autisme
Menurut Sasmita, perkembangan anak menurun dan tidak
normal, yang mulai terlihat sejak anak usia 3 tahun, disertai salah
satu gejala berikut:
a) Menggunakan bahasa yang tidak wajar dalam berkomunikasi
sehari-hari.
b) Tidak mampu menciptakan hubungan persahabatan yang akrab dan
hangat
c) Tidak mampu berakting (peran), misalnya kadang-kadang berperan
sebagai bapak atau guru dll.
5) Pengobatan Autisme
Menurut ahli dalam Sasmita, sebagian besar anak autisme
bila diagnosanya cepat di tanggulangi dengan baik, sampai dewasa
masih bisa berbuat dan berguna untuk sesama meskipun mungkin
cara hidup kesehariannya masih autistik (menurut keinginan dan
caranya sendiri). Jangan dikira tidak ada cara pengobatannya.
Banyak yang bisa dilakukan terhadap penderita autisme, antara lain :

37
a) terutama melalui program pendidikan dan latihan di ikuti
pelayanan dan perlakuan lingkungan yang wajar.
b) untuk mngurangi perilaku anak yang tidak wajar, pengasuh
dan orang tua harus di ajari cara menghadapi anak autisme.
c) pengobatan yang dilakukan adalah untuk membatasi
memberatnya gejala dan keluhan, sejalan dengan pertambahan
usia anak.
d) diusahakan agar anak meningkatkan perhatian dan tanggung
jawab terhadap orang sekitarnya.
e) untuk mencapai keadaan tersebut, bimbingan dan pendidikan
harus dilakukan secara perorangan, dan tidak mungkin efektif
bila di lakukan secara kelas.
f) orang tua, saudara atau pelatih sukarela, harus ikut
menyediakan waktu dan perhatian beesama-sama tenaga
penolong sehingga anak tidak mempunyai peluang untuk
kembali pada kebiasaannya yang kurang baik, yang sudah
terbiasa dia lakukan sebelumnya.
g) perlunya menegakkan diagnosa autisme secara dini.
6) Pendidikan Bagi anak Penyandang Autis
a) Program playgroup untuk anak autisme usia prasekolah.
b) Program wisata dan rekreasi.
c) Konsultasi disertai pelatihan bagi orang tua dan kelurga anak
autisme.
d) Tempat tinggal/ruang perawatan anak autisme bila keluarganya
tidak mampu menanggulangi di dalam keluarga.
e) Latihan kerja dan beberapa program persiapan bergaul dan
bekerja dimasyarakat bagi anak autisme yang sudah agak besar
dan remaja.
f) Fasilitas perawatan gigi, dan pelayanan kesehatan khusus untuk
penderita autisme.
g) Persiapan fasilitas lain di dalam masyarakat sehingga penderita
autisme tidak terlalu tergantung pada orang sekitarnya.

38
7) Definisi, Penyebab, dan Jenis-Jenis Kesulitan Belajar
 Definisi Kesulitan Belajar ialah istilah generik yang merujuk
kepada keragaman kelompok yang mengalami gangguan dimana
gangguan tersebut diwujudkan dalam kesulitan-kesulitan yang
signifikan yang dapat menimbulkan gangguan proses belajar.

 Ada beberapa penyebab kesulitan belajar yang terdapat pada


literatur dan hasil riset (Harwell dalam Diniya), yaitu :
a) Faktor keturunan/bawaan
b) Gangguan semasa kehamilan, saat melahirkan atau premature
c) Kondisi janin yang tidak menerima cukup oksigen atau nutrisi dan
atau ibu yang merokok, menggunakan obat-obatan (drugs), atau
meminum alkohol selama masa kehamilan.
d) Trauma pasca kelahiran, seperti demam yang sangat tinggi, trauma
kepala, atau pernah tenggelam.
e) infeksi telinga yang berulang pada masa bayi dan balita. Anak
dengan kesulitan belajar biasanya mempunyai sistem imun yang
lemah.
f) Awal masa kanak-kanak yang sering berhubungan dengan
aluminium, arsenik, merkuri/raksa, dan neurotoksin lainnya.
 Jenis-jenis kesulitan belajar menurut Harwell dalam Diniya antara
lain adalah sebagai berikut :
a) Kesulitan membaca ( disleksia )
b) Kesulitan menulis ( disgrafia )
c) Kesulitan berhitung ( diskalkulia )
d) Kesulitan lain-lain ( emosional- social)
8) Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar
Menurut Valett dalam Maesari, terdapat tujuh karakteristik
yang ditemui pada anak dengan kesulitan belajar. Kesulitan belajar
disini diartikan sebagai hambatan dalam belajar, bukan kesulitan
belajar khusus.
a) Sejarah kegagalan akademik berulang kali
b) Pola kegagalan dalam mencapai prestasi belajar ini terjadi
berulang-ulang.Tampaknya memantapkan harapan untuk gagal
sehingga melemahkan usaha.

39
c) Hambatan fisik/tubuh atau lingkungan berinteraksi dengan
kesulitan belajar, Adanya kelainan fisik, misalnya penglihatan
yang kurang jelas atau pendengaran yang terganggu berkembang
menjadi kesulitan belajar yang jauh di luar jangkauan kesulitan
fisik awal.
d) Kelainan motivasional
e) Kegagalan berulang, penolakan guru dan teman-teman sebaya,
tidak adanya reinforcement.
f) Kecemasan yang samar-samar, kegagalan yang berulang kali,
yang mengembangkan harapan akan gagal dalam bidang
akademik dapat menular ke bidang-bidang pengalaman lain.
g) Perilaku berubah-ubah, dalam arti tidak konsisten dan tidak
terduga. Rapor hasil belajar anak dengan kesulitan belajar
cenderung tidak konstan. Tidak jarang perbedaan angkanya
menyolok dibandingkan dengan anak lain. Ini disebabkan karena
naik turunnya minat dan perhatian mereka terhadap pelajaran.
h) Penilaian yang keliru karena data tidak lengkap
i) Kesulitan belajar dapat timbul karena pemberian label kepada
seorang anak berdasarkan informasi yang tidak lengkap.
j) Pendidikan dan pola asuh yang didapat tidak memadai
k) Terdapat anak-anak yang tipe, mutu, penguasaan, dan urutan
pengalaman belajarnya tidak mendukung proses belajar.
9) Gejala Gangguan Belajar
Menurut Maesari gelala gangguan belajar antara lain:
a) Ketidakberfungsian Minimal Otak (minimal brain dysfunction)
b) Aphasia
c) Dyslexia
d) Kelemahan Perseptual atau Perseptual Motorik
10)Diagnosa Gangguan Belajar
Menurut Maesari, keragaman definisi kesulitan belajar
membawa keragaman pula dalam orientasi filosofis tentang
identifikasi dan pengajaran bagi anak berkesulitan belajar.
Meskipun demikian prinsip-prinsip dasar evaluasi bagi seluruh
anak berkesulitan belajar perlu diketahui dan dipahami. Prinsip-
prinsip dasar tersebut ialah:

40
a) Tes atau teknik evaluasi lain harus diberikan dalam bahasa anak,
dapat dipahami oleh anak.
b) Evaluasi harus dilakukan oleh tim dari berbagai disiplin,
setidak-tidaknya terdiri atas seorang guru atau ahli lain yang
mengetahui masalah kesulitan belajar.
c) Kriteria penetapan kesulitan belajar hendaknya
mempertimbangkan hal-hal berikut:jika tidak mampu mencapai
prestasi sesuai dengan usia dan tingkat kecakapannya,
kesenjangan antara kecakapan dan prestasinya.
11)Layanan Bantuan Terhadap Anak Berkesulitan Belajar
Yang pertama tentang berbagai pilihan penempatan bagi
siswa atau anak yang berkesulitan belajar. Menurut Lerner dalam
Maesari, ada tiga sistem penempatan yang banyak dipilih oleh
sekolah, yaitu kelas khusus (special class), ruang sumber (resource
room), dan kelas regular (regular class). Yang kedua perlunya
hubungan komunikasi yang baik antara orang tua dan guru.
12)Jenis-Jenis Ketidakmampuan Belajar
Ada klasifikasi lain yang berdasarkan jenis gangguan atau
kesulitan yang dialami anak yaitu:
 Dispraksia
 Disgraphia
 Diskalkulia
 Disleksia
 Disphasia
 Body awareness

3.2. Saran

Guru dan calon pendidik maupun masyarakat pada umumnya


haruslah menerima dan menghargai keberadaan anak-anak baik yang
autis maupun anak-anak yang berkesulitan belajar. Keberadaan mereka
membutuhkan uluran tangan dan kepedulian kita agar dalam tahap
perkembangan dan proses pendidikannya bisa berjalan lancer sama

41
seperti anak lain pada umumnya. Dengan tahu dan faham cara
menangani mereka, sangat membantu meningkatnya kemajuan potensi
dan prestasi mereka. Sejatinya mereka juga makhluk Tuhan sama
seperti kita tanpa harus dipandang sebelah mata, diacuhkan apalagi
ditinggalkan.
DAFTAR PUSTAKA

Diniya, FR. 2013. Identifikasi Anak Kesulitan Belajar. https://www.academia.edu.


(online) Diakses 30 Mei 2019.

Maesari. Mamay. Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkesulitan Belajar.


https://www.academia.edu. (online Diakses 30 Mei 2019.

Sasmita, Desri. Makalah Autis. https://www.academia.edu. (online) Diakses 30


Mei 2019.

42

Anda mungkin juga menyukai