Anda di halaman 1dari 18

Makalah:

PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (PENDIDIKAN INKLUSI)

“Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus”

Dosen Pengampu:
Irmayani Halim S.Pd.,M.Pd

Di Susun Oleh
Kelompok 1:

1. MESTIN DUKALANG
2. SINTIA NURYANTO

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS POHUWATO KP. BOALEMO
T.A 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus (Mk
Inklusi) yang berjudul “Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus”.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Inklusi semester
5 dengan dosen pengampu Ibu Irmayani Halim, S.Pd., M.Pd. Tidak lupa kami sampaikan
terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Inklusi yang telah memberikan arahan
dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini dan orang tua yang selalu mendukung
kelancaran tugas kami.

Kami berharap semoga makalah ini dapat digunakan sebagaimana mestinya dan bisa
memberikan manfaat bagi kita semua khususnya untuk penulis dan para pembaca. Dengan
segala kerendahan hati, saran dan kritik yang konstruktif, sangat kami harapkan dari
pembaca guna meningkatkan pembuatan makalah pada tugas yang lain di waktu
mendatang.

Tilamuta, 09 September 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................. ix
DAFTAR ISI............................................................................................. iix
Bab I PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................ 2
1.3 Tujuan.............................................................................................. 2
Bab II PEMBAHASAN.............................................................................. 3
2.1 Latar Belakang Anak Berkebutuhan Khusus.................................... 3
2.2 Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus.......................................... 6
Bab III PENUTUP..................................................................................... 10
3.1 Kesimpulan....................................................................................... 10
3.2 Saran................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Allah SWT yang berada di bumi ini.
Dalam penciptaannya manusiapun beragam, dari yang besar sampai kecil, putih sampai
hitam, tinggi sampai pendek, semuanya beragam. Salah satu keberagamannya lagi yang
mencolok adalah manusia sempurna dan cacat, yang mana cacat ini tidak hanya berupa
cacat fisik melainkan juga cacat mental atau pikiran, itulah yang disebut orang
berkebutuhan khusus.

Anak berkebutuhan khusus tidak boleh kita acuhkan, karena ia juga merupakan
manusia yang diciptakan Allah yang dikehendaki tidak sempurna oleh-Nya. Kita tidak boleh
membedakan hak orang biasa dan orang yang berkebutuhan khusus, karena mereka
memiliki hak dan perlakuan serta fasilitas yang sama seperti orang normal pada umumnya.

Dalam perjalanan hidupnya seorang yang berkeburuhan khusus juga mendapatkan


hak untuk belajar yang dimulai dengan umur yang sama seperti orang yang normal yakni
dari anak-anak. Anak yang berkebutuhan khusus juga berhak mendapatkan pelayanan
pendidikan seperti anak normal yang lain, namun terkadang ia harus mendapat perhatian
yang khusus karena ketidaksempurnaannya. Dan dari setiap kecacatan yang berbeda juga
memiliki trik mengajar yang berbeda sesuai dengan kebutuhannya.

Dalam pembelajaran yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus ada berbagai
macam variasi, mulai dari digabung dengan anak yang normal namun perhatiaannya khusus
samapai dengan benar-benar mendapatkan pembelajaran yang khsus yang dipisah dari anak
yang normal. Dan dalam mengajar anak yang berkebutuhan khusus seorang pengajar juga
harus memiliki keterampilan yang khusus yang berkaitan dengan anak tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Anak Berkebutuhan Khusus ( ABK ) ?
2. Apa saja faktor-faktor penyebab Anak Berkebutuhan Khusus ?
3. Bagaimana layanan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus ?
4. Bagaimana cara menangani Anak Berkebutuhan Khusus ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari anak berkebutuhan khusus
2. Mengetahui jenis-jenis anak berkebutuhan khusus
3. Mengetahui sebab-sebab terjadinya anak berkebutuhan khusus
4. Mengetahui cara menangani anak berkebutuhan khusus
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Anak Berkebutuhan Khusus

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan anak yang memiliki ciri yang berbeda
dengan anak-anak pada umumnya, mereka mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan
perkembangannya. Mereka membutuhkan kegiatan dan layanan yang khusus agar dapat
mencapai perkembangan yang optimal. Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia
sudah mencapai 1,4 juta orang pada tahun 2014. Anak Berkebutuhan Khusus merupakan
jenis gangguan yang dapat terjadi pada siapa saja khususnya pada balita sehingga peran
orang tua sangat diperlukan dalam mengamati pertumbuhan dan perkembangan anaknya,
salah satunya, yaitu dengan mengidentifikasi atau mengenali jenis dan karakteristik anak
berkebutuhan khusus. Identifikasi anak berkebutuhan khusus diperlukan agar keberadaan
mereka dapat diketahui sedini mungkin sehingga selanjutnya orang tua dapat melakukan
tindakan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi anak yang teridentifikasi, dan dapat
melakukan pelayanan sesuai dengan kebutuhan anak.

Dalam mengidentifikasi anak berkebutuhan khusus diperlukan pengetahuan


mengenai ciri, tanda, dan karakteristiknya. Dalam hal ini yang memiliki pengetahuan
mengidentifikasi anak berkebutuhan khusus hanyalah orang-orang yang memiliki keahlian di
bidangnya, salah satunya adalah Konselor Psikolog. Ketika orang tua menemukan sikap atau
perilaku anak yang berbeda dengan anak-anak kebanyakan, maka yang dapat dilakukan
orang tua adalah menghubungi Konselor dan melakukan konsultasi mengenai sikap dan
perilaku anak yang berbeda tersebut.

Dengan kondisi di atas dan dengan berkembangnya teknologi saat ini, maka
diperlukan suatu sistem terkomputerisasi yang memiliki kemampuan layaknya seorang
konselor dalam mengidentifikasi anak berkebutuhan khusus. Sistem pakar merupakan
sebuah sistem komputer yang menyerupai manusia dalam menyelesaikan suatu masalah
layaknya seorang pakar. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam sistem pakar
adalah metode forward chaining. Metode ini merupakan metode pencarian suatu masalah
berdasarkan fakta yang ada untuk menuju ke kesimpulan sebagai solusinya sehingga melalui
gejala yang ada, maka dapat diketahui apakah anak termasuk dalam jenis anak
berkebutuhan khusus atau tidak.

Berdasarkan sejarah perkembangan pandangan masyarakat terhadap anak-anak


berkebutuhan khusus (ABK), maka dapat dicatat bahwa kebutuhan anak-anak berkebutuhan
khusus dan keluarganya masih banyak yang terabaikan selama bertahun-tahun hingga saat
ini. Sejarah juga mencatat bagaimana tanggapan sebagian besar masyarakat terhadap
keberadaan anak-anak tersebut dan keluarganya sehingga persoalan yang dihadapi oleh
anak berkebutuhan khusus menjadi semakin bertumpuk-tumpuk.

Membantu mengatasi permasalahan tersebut dibutuhkan pendidikan bagi anak


berkebutuhan khusus yang disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah
Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai
lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama
sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB
Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Adapun SDLB menampung berbagai jenis anak
berkebutuhan khusus sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu,
berkebutuhan khusus, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda, sedangkan pendidikan
terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkebutuhan khusus, dengan
kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun,
selama ini baru menampung anak tunanetra, itu pun perkembangannya kurang
menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak
berkebutuhan khusus.

Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang


Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan
bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkebutuhan
khusus atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara
inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih
operasional, hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.

Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus yang tidak dapat dipisahkan
sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkebutuhan khusus perlu diberi
kesempatan dan peluang yang sama dengan anak normal untuk mendapatkan pelayanan
pendidikan di sekolah (SD) terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat tersebut perlu
dipersiapkan segala sesuatunya. Pendidikan inklusi diharapkan dapat memecahkan salah
satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini.
Salah satu anak berkebutuhan khusus yang memang perlu mendapatkan kesempatan untuk
merasakan pendidikan di sekolah inklusi adalah tunagrahita karena melihat fenomena yang
banyak terjadi di sekolah luar biasa yang banyak terjadi sekarang ini yang dinilai kurang
begitu efektif.

Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah luar biasa, bertujuan


mengembangkan potensi yang masih dimiliki secara optimal agar mereka dapat hidup
mandiri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat mereka berada. Hasil
observasi lapangan menunjukkan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus yang telah dan
sedang mengikuti pendidikan di sekolah luar biasa, pada umumnya belum menunjukkan
perkembangan yang diharapkan. Sebagai contoh, anak yang telah mengikuti program
pendidikan selama 12 tahun dan kembali kepada orang tuanya, ternyata masih belum bisa
mandiri, masih mengalami kesulitan dalam memelihara diri (self care), belum mempunyai
keterampilan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari untuk kepentingan dirinya dan
ketergantungan kepada orang lain masih cukup tinggi.

Oleh karena itu, ada kesan bahwa pendidikan yang telah diikuti sekian lama itu
sepertinya tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan anak.
Keadaan seperti itu, bukan semata- mata karena keterbelakangan mental yang dialami
peserta didik, tetapi juga karena terdapat kesenjangan antara program pendidikan di
sekolah luar biasa dengan harapan orang tua dan harapan lingkungan.. Masyarakat dan
orang tua mengharapkan agar anak berkebutuhan khusus memiliki keterampilan yang
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan potensi yang dimiliki.

biasa saat ini masih sangat menekankan pada aspek pengajaran yang bersifat
akademik (semata-mata menyampaikan bahan ajar), itu pun dalam pelaksanaannya masih
bersifat klasikal dan belum memperhitungkan perbedaan hambatan belajar anak secara
individual. Padahal esensi dari pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah bahwa
pendidikan lebih bersifat individual karena perbedaan- perbedaan individu pada anak
berkebutuhan khusus sangat mencolok (Suhaeri H.N. & Edi Purwanto, 1996).

Bagi anak berkebutuhan khusus, sekurang-kurangnya diperlukan dua bidang


kemandirian yang harus dimiliki, yaitu: (1) keterampilan dasar dalam hal membaca, menulis,
komunikasi lisan, dan berhitung, (2) keterampilan perilaku adaptif, yaitu keterampilan
mengurus diri dalam kehidupan sehari-hari (personal living skills), dan keterampilan
menyesuaikan diri dengan lingkungan (social living skills).

Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami problema dalam belajar, hanya
saja problema tersebut ada yang ringan dan tidak memerlukan perhatian khusus dari orang
lain karena dapat diatasi sendiri oleh anak yang bersangkutan dan ada juga yang problem
belajarnya cukup berat sehingga perlu mendapatka perhatian dan bantuan dari orang lain.
Anak luar biasa atau disebut sebagai anak berkebutuhan khusus (children with special
needs), memang tidak selalu mengalami problem dalam belajar. Namun, ketika mereka
diinteraksikan bersama-sama dengan anak anak sebaya lainnya dalam system pendidikan
regular, ada hal-hal tertentu yang harus mendapatkan perhatian khusus dari guru dan
sekolah untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal.

Model pembelajaran terhadap peserta didik berkebutuhan khusus yang di


persiapkan oleh guru di sekolah, di tujukan agar peserta didik mampu berinteraksi terhadap
lingkungan social. Pembelajaran tersebut disusun secara khusus melalui penggalian
kemampuan diri peserta didik yang didasarkan pada kurikulum berbasis kompetensi.
Kompetensi ini terdiri atas empat ranah yang perlu diukur meliputi kompetensi fisik,
kompetensi afektif, kompetensi sehari hari dan kompetensi akademik. Dalam makalah ini
akan dibahas mengenai "Strategi Pembelajaran bagi Anak Berkebutuhan Khusus"

Tidak semua orang yang terlahir kedunia memiliki fisik dan mental yang normal
seperti pada umumnya kita bisa sebut ABK anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak
dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya yang selalu
menunjukkan pada ketidak mampuan mental emosi atau fisik Yang termasuk kedalam ABK
atau anak berkebutuhan khusus antara lain, tunanetra, tunarungu, kesulitan belajar,
gangguan prilaku, dan anak gangguan kesehatan

Banyak faktor penyebab yang mempengaruhi anak bisa terlahir berkebutuhan


khusus, menghadapi anak yang berkebutuhan khusus (special needs tidak semudah
membalikan telapak tangan. Mereka membutuhkan arahan bimbingan dan pendidikan yang
intensif agar dapat tumbuh dan berkembang seperti anak normal pada umumnya hingga
pada akhirnya mereka mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Namun di sisi lain
sistem yang terkait dengan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menghadapi
berbagai kendala yang muncul seiring dengan proses pembelajaran yang berlangsung
Beraneka ragam gangguan yang terjadi kepada anak tersebut.

2.2 Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan anak


berkebutuhan khusus. Istilah anak berkebutuhan khusus merupakan istilah terbaru yang
digunakan, dan merupakan terjemahan dari child with special needs yang telah digunakan
secara luas di dunia internasional, ada beberapa istilah lain yang pernah digunakan, di
antaranya anak cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak menyimpang, dan anak luar biasa,
ada satu istilah yang berkembang secara luas telah digunakan, yaitu difabel, sebenarnya
merupakan kependekan dari difference ability.

Sejalan dengan perkembangan pengakuan terhadap hak asasi manusia termasuk


anak-anak ini, maka digunakanlah istilah anak berkebutuhan khusus. Penggunaan istilah
anak berkebutuhan khusus membawa konsekuensi cara pandang yang berbeda dengan
istilah anak luar biasa yang pernah dipergunakan dan mungkin masih digunakan. Jika pada
istilah luar biasa lebih menitikberatkan pada kondisi (fisik, mental, emosi-sosial) anak, maka
pada berkebutuhan khusus lebih pada kebutuhan anak untuk mencapai prestasi sesuai
dengan potensinya.

Anak berkebutuhan khusus (special needs children) dapat diartikan sebagai anak
yang lambat (slow) atau mengalami gangguan (retarded) yang tidak akan pernah berhasil di
sekolah anak-anak pada umumnya atau sekolah umum. Anak berkebutuhan khusus (ABK)
juga dapat diartikan sebagai anak yang mengalami gangguan fisik, mental, inteligensi serta
emosi sehingga diharuskan pembelajaran secara khusus. Banyak nama lain yang
dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus, seperti disability, impairment, dan
handicap. Menurut World Health Organization (WHO) definisi dari masing- masing istilah
tersebut adalah sebagai berikut.

1. Disability, keterbatasan atau kurangnya kemampuan (yang dihasilkan dari impairment)


untuk menampilkan aktivitas sesuai dengan aturannya atau masih dalam batas normal,
biasanya digunakan dalam level individu.

2. Impairment, kehilangan atau ketidaknormalan dalam hal psikologis, atau untuk struktur
anatomi atau fungsinya, biasanya digunakan dalam level organ. 3. Handicap,
ketidakberuntungan individu yang dihasilkan dari impairment atau disability yang
membatasi atau menghambat pemenuhan peran yang normal pada individu.

Anak berkebutuhan khusus (ABK) dianggap berbeda dengan anak normal. Anak
berkebutuhan khusus dianggap anak yang tidak berdaya sehingga perlu dibantu dan
dikasihani. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Setiap anak mempunyai kekurangan dan
juga kelebihan. Oleh karena itu, dalam melihat anak berkebutuhan khusus, kita harus
melihat dari segi kemampuan dan tidak kemampuannya. Anak berkebutuhan khusus
memerlukan perhatian yang lebih, dengan demikian, ia akan dapat mengembangkan
potensi yang dimilikinya secara optimal.

Pada dasarnya kelainan anak memiliki tingkatan, yaitu dari yang paling ringan hingga
paling berat, dari kelainan tunggal, ganda, hingga kompleks yang berkaitan dengan emosi,
fisik, psikis, dan sosial. Anak berkebutuhan khusus merupakan kelompok heterogen,
terdapat di berbagai strata sosial, dan menyebar di daerah perkotaan, pedesaan bahkan di
daerah-daerah terpencil Kelainan anak tidak memandang suku, budaya atau bangsa.
Keadaan ini jelas memerlukan pendekatan khusus dalam memberikan pelayanan pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus.

Istilah berkelainan dalam percakapan sehari-hari dikonotasikan sebagai suatu kondisi


yang menyimpang dari rata-rata umumnya. Dalam pendidikan luar biasa atau pendidikan
khusus anak berkelainan, istilah penyimpangan secara eksplisit ditujukan kepada anak yang
dianggap memiliki kelainan penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal pada
umumnya, baik dalam hal fisik, mental, maupun karakteristik perilaku sosialnya (Kirk, 1970;
Heward & Orlansky, 1998), atau anak yang berbeda dari rata-rata umumnya, disebabkan
ada permasalahan dalam kemampuan berpikir, pendengaran, penglihatan, sosialisasi, dan
bergerak (Hallahan & Kauffman, 1991).

Berdasarkan pengertian tersebut, anak yang dikategorikan memiliki kelainan dalam


aspek fisik meliputi kelainan indra penglihatan (tunanetra), kelainan indra pendengaran
(tunarungu), kelainan kemampuan berbicara (tunawicara), dan kelainan fungsi anggota
tubuh (tunadaksa). Anak yang memiliki kelainan dalam aspek mental meliputi anak yang
memiliki kemampuan mental lebih (supranatural) yang dikenal sebagai anak berbakat atau
anak unggul, dan anak yang memiliki kemampuan sangat rendah (subnormal) yang dikenal
sebagai anak tunagrahita. Anak yang memiliki kelainan dalam bidang sosial adalah anak
yang mempunyai kesulitan dalam menyesuaikan perilakunya terhadap lingkungan sekitar.
Anak yang termasuk dalam kelompok ini dikenal dengan sebutan tunalaras.

Implikasi kedua pernyataan tersebut bahwa pelayanan pendidikan khusus (student


with special needs) hanya diberikan kepada anak yang memiliki hambatan untuk meniti
tugas perkembangannya, disebabkan oleh kelainan dalam aspek fisik, mental, dan sosial
emosi (Cole & Chan, 1990). Dengan pemberian layanan pendidikan khusus yang relevan
dengan kebutuhannya, sisa potensi yang dimiliki oleh anak berkelainan diharapkan dapat
berkembang secara optimum.

Sejalan dengan sudut pandang pendidikan, Hallahan dan Kauffman (2006) melihat
pengertian siswa berkebutuhan khusus adalah mereka yang memerlukan pendidikan khusus
dan pelayanan yang terkait, jika mereka menyadari akan potensi penuh kemanusiaan
mereka. Kekhususan relevan dari cara belajar, membutuhkan instruksi yang berbeda dari
yang diperlukan para siswa. Kekhususan mereka dapat mencakup bidang sensori, fisik,
kognitif, emosi atau kemampuan komunikasi atau kombinasinya.

Gearheart (1981) mengatakan bahwa seorang anak dianggap berkelainan bila


memerlukan persyaratan yang berbeda dari rata- rata anak normal, dan untuk dapat belajar
secara efektif memerlukan program, pelayanan, fasilitas, dan materi khusus. Adapun
pengertian tentang Pendidikan Khusus/Luar Biasa diberikan oleh Hallahan dan Kauffman
(2006) adalah instruksi yang didesain khusus untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang
tidak lazim dari siswa berkebutuhan khusus.

optimal untuk mencapai kemandirian bagi anak-anak berkebutuhan khusus serta


mempunyai potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Adapun misinya adalah sebagai
berikut.

1. Memperluas kesempatan dan pemerataan pendidikan bagi anak-anak yang


mempunyai kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran dan anak-anak yang
mempunyai potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

2. Meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan khusus dan pendidikan layanan


khusus. Meningkatkan kepedulian dan memperluas jejaring tentang

3.pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.

4. Mewujudkan pendidikan inklusif secara baik dan benar di lingkungan sekolah


biasa, sekolah luar biasa, maupun keluarga/ masyarakat.

A. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus (ABK) pada awalnya lebih dikenal Dengan istilah cacat,
anak berkelainan atau anak luar biasa. Anak luar biasa didefinisikan sebagai anak yang
menyimpang dari keriteria normal secara signifikan, baik dari aspek fisik, psikis, emosional,
dan social sehingga untuk mengembangkan potensinya di perlukan adanya layanan
pendidikan khusus (Kirk & Galleger, 1989). Dalam paradigm baru, ABK berarti anak yang
memiliki kebutuhan individual yang bersifat khas yang tidak bisa disamakan dengan anak
normal lainnya (Suyanto, 2005). Dalam hal ini Lync (1994) membedakan ABK menjadi 3
(tiga) kategori sebagai berikut:

1. Anak-anak usia sekolah yang saat ini berbeda dengan lembaga- lembaga pendidikan
formal tetapi tidak memiliki atau tidak menujukan kemajuan dalam belajarnya, kelompok ini
termasuk didalam kategori anak lambat dalam belajar, atau anak kesulitan dalam menelaah
pelajaran, anak ber IQ sedang, anak hieraktif, anak autis dan lain sebagainya.

2. Anak-anak yang secara nyata (signifikan) mengalami kecacatan baik dari fisik, social,
emosi dan mental. Kelompok ini termasuk dikategorikan kedalamm anak tuna netra, tuna
rungu, tuna grahita. tuna daksa, dan tna laras,

3. Anak-anak usia sekolah yang tidak terjangkau oleh layanan pendidikan formal sama
sekali, sehingga anak-anak ini menjadi anak yang terklupakan. Kelompok yang ketiga ini
termasuk didalamnya adalah anak-anak yang berkerja (pekerja anak), anak pperempuann
yang terpingit karena kultur, anak-anak miskin/gelandangan, anak- anak yang berdomisili di
perairan, kepulauan, dan daerah terpencil, dan anak-anak yang menjadi korban kerusakan,
dan lain sebagainya.

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan anak


berkebutuhan khusus. Istilah anak berkebutuhan khusus merupakan istilah terbaru yang
digunakan, dan merupakan terjemahan dari child with special needs yang telah digunakan
secara luas di dunia internasional, ada beberapa istilah lain yang pernah digunakan
diantaranya anak cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak menyimpang. dan anak luar
biasa, ada satu istilah yang berkembang secara luas telah digunakan yaitu difabel,
sebenarnya merupakan kependekan dari diference ability. Anak berkebutuhan khusus dapat
diartikan sebagai seoranganak yang memerlukan pendidikan yang disesuaikan dengan
hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual.

Sejalan dengan perkembangan pengakuan terhadap hak azasi manusia termasuk


anak-anak ini, maka digunakanlah istilah anak berkebutuhan khusus Penggunaan istilah
anak berkebutuhan khusus membawa konsekuensi cara pandang yang berbeda dengan
istilah anak luar biasa yang pernah dipergunakan dan mungkin masih digunakan. Jika pada
istilah luar biasa lebih menitik beratkan pada kondisi (fisik, mental, emosi-sosial) anak, maka
pada berkebutuhan khusus lebih pada kebutuhan anak untuk mencapai prestasi sesuai
dengan potensinya.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Anak berkebutuhan khusus (dulu di sebut sebagai anak luar biasa) di definisikan
sebagai anak yang memerlukan pendidikan dan layanan khusus untuk mengembangkan
potensi kemanusiaan mereka secara sempurna. Penyebutan sebagai anak berkebutuhan
khusus, dikarenakan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, anak ini membutuhkan
bantuan layanan pendidikan, layanan sosial, layanan bimbingan dan konseling, dan berbagai
jenis layanan lainnya yang bersifat khusus.

Klasifikasi anak-anak berkebutuhan khusus, yang mengalami kelainan fisik mencakup


anak-anak yang mengalami kelainan penglihatan (tunanetra), kelainan fungsi pendengaran
(tunarungu), dan anak-anak yang mengalami kelainan tubuh (tunadaksa). Derajat kelainan
masing-masing jenis ketunaan tersebut sangat beragam, dari kategori ringan sampai yang
berat, namun secara umum dapat dilihat klasifikasi secara umum maupun klasifikasi secara
khusus.

Klafifikasi anak-anak berkebutuhan khusus, yang mengalami kelainan mental


intelektual dan emosional mencakup anak-anak yang mengalami kelainan keterbelakangan
mental (tunagrahita), dan anak-anak yang mengalami kelainan perilaku sosial (tunalaras).
Derajat kelainan masing-masing jenis ketunaan tersebut juga sangat beragam, dari kategori
ringan sampai yang berat, namun secara umum dapat dilihat klasifikasi secara umum
maupun klasifikasi secara khusus.

Dalam penanganan anak berkebutuhan khusus, terdapat tiga hal yang perlu
diperhatikan, diantaranya yaitu penguatan kondisi mental orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus, dukungan sosial yang kuat dari tetangga dan lingkungan sekitar anak
berkebutuhan khusus tersebut, dan yang terakhir adalah peran aktif pemerintah dalam
menjadikan pelayanan kesehatan dan konsultasi bagi anak berkebutuhan khusus.

3.2 Saran

Setelah mengetahui dan memahami segala sesuatu hal yang berhubungan dengan
anak berkebutuhan khusus, sangat diharapkan bagi masyarakat indonesia terutama bagi
para pendidik dalam menyikapi dan mendidik anak yang menyandang berkebutuhan khusus
dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan. Karena pada dasarnya anak seperti itu
bukan malah dijauhi akan tetapi didekati dan diperlakukan sama dengan manusia normal
lainnya akan tetapi caranya yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT


Rineka Cipta.

Balitbang Yayasan Santi Rama. 1989. Metode Percakapan yang Reflektif (MPR) Dalam
Pendidikan Anak Tunarungu, Buku Seri 1: Landasan Teori. Jakarta.

Baron, Stephen, Sheila Riddell, and Alastair Wilson. 1999. "The Secret of Eternal Youth:
Identity, Risk and Learning Difficulties." British Journal of Sociology of Education 20(4):483-
499.

Blocher, D. H. 1987. The Professional Counselor. New York: Macmillan Publishing Company.

Boothroyd, Arthur, 1982. Hearing Impairments in Young Children. Englewood Cliffs, NJ.
07632: Prentice Hall, Inc.

Carrier, James G. 1983. "Explaining Educability: An Investigation of Political Support for the
Children with Learning Disabilities Act of 1969." British Journal of Sociology of Education
4(2): 125-140. 1986. Learning Disability: Social Class and the Construction of Inequality in
American Education. New York, NY: Greenwood Press.

Cartwright, G.P.Cartwright, C.A. & Ward, M.E. 1984. Educating Special Learners. Second Ed.
California: Wadsworth Publishing Company.

CDC-Autism Spectrum Disorder (ASDs)-NCBDDD www.cdc.gov/ncbddd/ autism/index.html


Diakses: 4/8/2013 21:19

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Cook, Thomas D. & Cambell, Donald T. 1979. Quasi-Experimentation, Design & Analysis
Issues for Field Settings. Chicago: Rand McNally College Publishing Company.

Cole, P. & Chan, L. 1990. Methods and Strategies for Special Education. New Jersey: Prentice
Hall.

Corn & Koenig. 1996. Foundation of Low Vision: Clinical and Functional Persfectives. New
York: American Foundation for the Blind Press.

C Devaraj, Sheila & Roslan, Samsilah. 2006. Apa Itu Disleksia? Panduan untuk Ibu Bapak
Guru dan Konselor. Selangor MY: PTS Professional.

Davenport, F.C.B. 1994. Physical Accessibility: A Step by Step Guide to Eliminate


Architectural Barriers. Victoria: Access and Mobility Sub-Committee.
Development of School Guidance and Counseling Services. Jurnal Ilmu Pendidikan LPTK dan
ISPI. 6 (Edisi Khusus), Desember 1999. Departemen Pendidikan Nasional. 1986. Keputusan
Mendikbud No.002/U/1986. Jakarta: Depdiknas.

Departemen Pendidikan Nasional. 1992. Keputusan Mendikbud No. 0491/U/1992. Jakarta:


Depdiknas.

Departemen Pendidikan Nasional. 1991. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor


72 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Depdiknas Departemen Pendidikan
Nasional. 1994. Kurikulum Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Depdiknas

Departemen Pendidikan dan kebudayaan/Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa


Indonesia (Edisi ke-3). Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Pedoman Pelayanan Pendidikan Terpadu bagi anak
berkebutuhan Khusus dan Berkesulitan Belajar. Jakarta: Depdiknas

Delphie, B. 2012. Pembelajaran Anak Tunagrahita, Suatu Pengantar dalam Pendidikan


Inklusi. Bandung: Refika Aditama.

Dudley-Marling, Curt. 2004. "The Social Construction of Learning Disabilities." Journal of


Learning Disabilities 37(6):482-489.

Dodds, A. 1993. Rehabilitating Blind and Visually Impaired People: Apsychological approach.
London: Chapman & Hall.

Fanu, James le. 2007. Deteksi Dini Masalah-Masalah Psikologi Anak. Yogyakarta: Think.

Frieda Mangunsong, 2009. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Depok:
Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.

Gallego, Margaret A., Grace Zamora Durán, and Elba I. Reyes. 2006. "It Depends: A
Sociohistorical Account of the Definition and Methods of Identification of Learning
Disabilities." Teachers College Record 108 (11):2195-2219.

Grandin, T and Scariano. 1986. Emergence: Labeled Autistic, p. 91. Warner Books,
Departemen of Animal Science. Colorado StateUnivercity, Fort Collins, CO 80526, Novato,
CA, Arena Press, USA.

Grandin, T. 1992. Calming Effects of Deep Touch Pressure in Patients with Autistic Disorder,
College Students, and Animals. Journal of Child and Adolescent Psychopharmacology.
Volume 2, Number 1, Mary Ann Liebert, Inc., Publishers.

Hallahan, D.P, & Kauffman, J.M. 1994. Exceptional Children: Introduction to Special
Education. Boston: Allyn and Bacon.
Handoyo, 2003. Autisme: Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi untuk Mengajar Anak
Normal, Autis, dan Perilaku Lain, Cetakan kedua. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

Heather Mason and Stephen Mc. Call. 1991. Visual Impairment. London: David Fulcon
Publisher Ltd..

Heward, W.L. 2000. Exceptional Children: An introduction to Special Education. Sixth


Edition, Columbus, Ohio: Merill, an imprint of Prentice Hall.

Ho, Anita, 2004. "To be Labeled, or Not to be Labeled: That is the Question." British Journal
of Learning Disabilities 32(2): 86-92.

https://bisamandiri.com/blog/2014/10/tunanetra-ketahui-penyebabnya-dari-sekarang/
diakses pada tgl 20/sep/2016.

https://bisamandiri.com/blog/2015/10/anak-tuna-rungu-dan-pengenalan-konsep-bahasa-
yang-tepat-bagian-1/ di akses pada tgl 23/sep/2016.
http://www.autismconferencesofamerica.com/Diakses: 15 Oktober 2012, jam 15:30.

http://www.therafin.com/squeezemachine.htm/Diakses: 15 Oktober 2012, jam 15:30.


Imandala, Lim. 2009. Remedial Membaca dengan Metode Fernade bagi Anak Deklesia:
Jurnal.

Ilahi Takdir Mohammad. 2013. Pendidikan inklusif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Kartadinata, S. 1999. Quality Improvement and Management System Development of


School Guidance and Counseling Services, the Journal of Education, Vol. 6. December 1999.

Kartadinata, Sunaryo, dkk. 2008. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling


dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan
dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.

Kirk, S.A. 1970. Educating Exceptional Children. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co.
Kluth, P. 2004. Autisme, Autobiography, and Adaptations. Teaching Exceptional Children,
vol.36 no.4, 42-27).

Mohammad Efendi. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan.. Jakarta: Bumi


Aksara.

Morag, Clark. 1989. Language through Living, London Sydney Auckland Toronto: Hodder
And Stoughton.

Partowisastro, Koestoer. 1986. Diagnosa dan Pemecahan Kesulitan Belajar Jilid 2. Jakarta:
Erlangga.

Prapodo, Soekini dkk. 1977. Pendidikan Anak-Anak Tunanetra. Jakarta: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan.
Rahardja, Djadja dkk. 2010. Pengantar Pendidikan Luar Biasa (Orthopedagogik). Surabaya:
UD Mapan.

Reid, D. Kim and Jan Weatherly Valle. 2004. "The Discursive Practice of Learning Disability:
Implications for Instruction and Parent- School Relations." Journal of Learning Disabilities
37(6):466-481.

Rourke, B. P. 1989. Nonverbal Learning Disabilities: The Syndrome and The Model. New
York: Guilford Press.

Rudiyati, Sari. 2002. Pendidikan Anak Tunanetra. Yogyakarta: Fakultas ilmu Pendidikan UNY.

Shaywitz SE, Morris R, Shaywitz BA. 2008. The Education of Dyslexic Children from
Childhood to Young Adulthood. Connecticut US: Department of Pediatrics, Yale University
School of Medicine.

Smith, R. M.; Neisworth, J. T.; Berlin, C. M. Jr. 1975. The Exceptional Child. New York:
McGraw-Hill Book Company.

Somad, Permanarian. 1996. Orthopedagogik Anak Tunarungu. Jakarta: Depdikbud, h. 29.

Somantri, Sutjihati. 2005. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT Refika Aditama.

Sumitro, Bosko. 1984. Kursus tentang Pendidikan Anak-anak Tuli yang Berinteligensi Normal.
Makalah. Wonosobo: Yayasan Don Bosco.

Sternberg, R.J. 2006. Cognitive Psychology, Fourth Edition. USA: Thomson Wadsworth.

The National Center for Learning Disabilities. 4 March 2009. http://


www.ncld.org/ld-basics/ld-explained/basic-facts/what-are-learning- disabilities. Retrieved 9
July 2012.

Thompson. C.Rudolph. L. & Henderson. D. 2004. Counseling Children: sixth ed. USA:
Brooks/Cole Company.

Widjajatin, Anastasia. 1996. Pendidikan Luar Biasa-Tunanetra. Jakarta: Depdikbud RI.

Williams, Val and Pauline Heslop. 2005. "Mental Health Support Needs of People with a
Learning Difficulty: A Medical or a Social Model?" Disability & Society 20(3):231-245.

Yusuf, Syamsu. 2006. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Zabel, M. K. 1982. "Characteristics of Handicapping Conditions". Dalam Neely, M. A. (1982).


Counseling and Guidance Practices with Special Education Students. Homewood, Illinois:
The Dorsey Press.

Nurjan, Syarifan, 2017. Perkembangan Peserta Didik Perspektif Islam. Yogyakarta: Titah
Surga.
Purwanto, Heri. Modul Pembelajaran: Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Bandung UPI.

Alimin, Zaenal. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus: Reorientasi
Pemahaman Konsep Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Implikasinya Terhadap Layanan
Pendidikan. Vol 3 No 1. Bandung: UPI

Aqila Smart, Rose. 2010. Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi untuk
Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Katahati

Purwanto, Heri. Modul Pembelajaran: Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Bandung UPI.

Alimin, Zaenal. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus: Reorientasi

Pemahaman Konsep Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Implikasinya Terhadap Layanan


Pendidikan. Vol 3 No 1. Bandung: UPI

Aqila Smart, Rose. 2010. Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi untuk

Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Katahati

Jaya Hendra. 2017. Keterampilan Vaksional Bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Fakultas MIPA
Universitas Negri Makasar

Anonim 2010 Anak Berkebutuhan Khusus.

Anda mungkin juga menyukai