Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Pendidikan Inklusi
Oleh Kelompok 8:
Zulaikha 22006052
Dosen Pengampu :
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang mana sudah memberikan
kenikmatan dan karunianya, sehingga penulis masih bisa melakukan kegiatan dengan sehat
wal afiat, dan dapat menelesaikan makalah ini dengan materi “Karakteristik Anak
Berkebutuhan Khusus”.
Kami sebagai penulis berterimakasih kepada Drs. H. Asep Ahmad Sopandi, M.Pd
selaku dosen mata kuliah Pendidikan Inklusi yang telah membimbing dalam menyusun
makalah ini dan menambah wawasan bagi penulis.
Penulis sadar bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya karena
keterbatasan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini bermanfaat
kepada yang membaca, menerapkannya serta mengamalkannya.
Penulis
I
DAFTAR ISI
II
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, istilah anak luar biasa yang kini disebut
sebagai anak berkebutuhan khusus masih disalah tafsirkan, yaitu anak luar biasa selalu
diartikan sebagai anak yang berkemampuan unggul atau berprestasi luar biasa. Padahal
pengertian anak luar biasa juga mengacu kepada pengertian yaitu anak yang
mengalami kelainan atau ketunaan, baik pada satu macam kelainan atau lebih dari satu
kelainan jenis kelainan.
Anak yang berkebutuhan khusus secara umum dikenal masyarakat umum sebagai
anak luar biasa.Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan
(bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, mental-intelektual, social, emosional)
dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain
seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Dengan demikian,
meskipun seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan tertentu, tetapi kelainan/
penyimpangan tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan
pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus.
Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami problem dalam belajar, hanya saja
problem tersebut ada yang ringan dan tidak memerlukan perhatian khusus dari orang lain
karena dapat diatasi sendiri oleh anak yang bersangkutan dan ada juga yang problem
belajarnya cukup berat sehingga perlu mendapatkan perhatian dan bantuan dari orang lain.
Anak penyandang cacat mulai diakui keberadaannya, dan oleh sebab itu mulai berdiri
sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah perawatan dan panti sosial yang secara khusus
mendidik dan merawat anak-anak penyandang cacat. Mereka yang menyandang kecacatan,
dipandang memiliki karakteristik yang berbeda dari orang kebanyakan, sehingga dalam
pendidikannya mereka memerlukan pendekatan dan metode yang khusus pula sesuai dengan
karakteristiknya.
1
Model pembelajaran terhadap peserta didik berkebutuhan khusus, yang dipersiapkan
oleh para guru di sekolah, ditujukan agar peserta didik mampu untuk berinteraksi terhadap
lingkungan sosial. Pembelajaran tersebut disusun secara khusus melalui penggalian
kemampuan diri peserta didik yang paling dominan dan didasarkan pada Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Model bimbingan terhadap peserta didik berkebutuhan khusus difokuskan
dahulu terhadap perilaku nonadaptif atau perilaku menyimpang sebelum mereka melakukan
kegiatan program pembelajaran individual. Bimbingan semacam ini dapat diterapkan melalui
upaya-upaya pengondisian lingkungan yang dapat mencapai perkembangan optimal dalam
upaya mengembangkan perilaku-perilaku efektif sesuai dengan tugas-tugas
perkembangannya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2.2 Karaktetistik anak berkebutuhan khusus.
4
o Emosi yang labil
o Kurang koordinasi
o Gangguan perhatian
o Impulsif
o Gangguan memori dan berpikir
o Kesulitan pada akademik khusus (membaca, menulis,dan matematika.
o Gangguan dalam berbicara dan mendengarkan
o Hasil electroencephalogram (EEG) tidak teratur serta tanda neurologis yang
tidak jelas.
5
b. Karakteristik Anak Lamban Belajar
Menurut Bala dan Rao (2014), anak lamban belajar atau slow learner memiliki
beberapa karakteristik, yaitu sebagai berikut:
1) Kesulitan belajar kognitif
Adapun ciri-ciri dari kesulitan belajar kognitif di antaranya adalah:
a) Slow learner membutuhkan waktu belajar yang lama dan kurang
memahami apa yang telah ia pelajari.
b) Mereka selalu menginginkan pembelajaran yang bersifat langsung
diberikan oleh guru karena tidak terlalu membutuhkan banyak
ketrampilan.
c) Pada umumnya slow learner berprestasi rendah.
2) Masalah yang berkaitan dengan bahasa Ciri-ciri masalah yang berkaitan
dengan bahasa antara lain yaitu:
a) Siswa bermasalah pada ekspresi verbalnya.
b) Membaca dengan bersuara lebih sulit daripada membaca dalam hati.
c) Slow learner mengalami permasalahan artikulasi.
3) Masalah auditori-perseptual
Ciri-ciri masalah yang berkaitan dengan auditori-perseptual yaitu:
a) Ketika didekte, slow learner mengalami
kesulitan dalam penulisannya entah itu lupa menulis sehingga kata yang
hendak ditulis menjadi kurang lengkap.
b) Slow learner gagal memahami perintah yang bersifat verbal, sering kali
mereka tidak segera memberikan jawaban ketika diberi sebuah pertanyaan.
c) Mereka lebih menyukai materi yang disajikan secara visual daripada
disajikan oral.
d) Ketika diberikan pertanyaan yang bersifat verbal, tidak jarang mereka
menjawab dengan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan.
4) Masalah visual-motorik
Adapun ciri-ciri anak slow learner yang berkaitan dengan masalah visual-motorik
adalah:
a) Slow learner lebih mudah diberikan stimulus secara visual.
b) Mereka merasa kesulitan dalam menentukan warna, ukuran dan bentuk
serta sulit mengingat-ingat kembali suatu objek yang pernah mereka lihat.
6
c) Slow learner pada umumnya memiliki tulisan tangan yang jelek,
mengalami kesulitan dalam aktivitas motorik dan tidak jarang mereka
sering mengeluh sakit.
5) Masalah sosial dan emosi
Ciri-ciri lain yang ditemukan pada anak slow learning terhadap masalah sosial dan
emosi yaitu:
a) Mencubit atau melakukan hal-hal yang menarik baginya adalah salah satu
karakteristik slow learner, kadang-kadang mereka juga menarik diri dari
aktivitas sosial (anti-sosial).
b) Suasana hati mereka berubah-ubah (moody) dan tingkat sosial emosinya
masih di bawah harapan.
Sedangkan menurut Kusuma dkk (2006), beberapa karakteristik anak lamban belajar
atau slow learning adalah sebagai berikut:
a. Keterbatasan Kapasitas Kognitif Keterbatasan kapasitas kognitif membuat
anak lambanbelajar mengalami hambatan dalam proses pembelajaran, meliputi:
1) tidak berhasil mengatasi situasi belajar dan berpikir abstrak; 2) mengalami
kesulitan dalam operasi berpikir kompleks; 3) proses pengembangan konsep
atau generalisasi ide yang mendasari tugas sekolah, khususnya bahasa dan
matematika, rendah; dan 4) tidak dapat menggunakan dengan baik strategi
kognitif yang penting untuk proses retensi.
b. Memori atau daya ingat rendah Kurangnya perhatian terhadap informasi yang
disampaikan adalah salah satu faktor penyebab anak lamban belajar
mempunyai daya ingat yang rendah. Anak lamban belajar tidak dapat
menyimpan informasi dalam jangka panjang dan memanggil kembali ketika
dibutuhkan.
c. Gangguan dan kurang konsentrasi Jangkauan perhatian anak lamban belajar
relatif pendek dan daya konsentrasinya rendah. Anak lamban belajar tidak
dapat berkonsentrasi dalam pembelajaran yang disampaikan secara verbal
lebih dari tiga puluh menit.
d. Ketidakmampuan mengungkapkan ide Kesulitan dalam menemukan dan
mengombinasikan kata, ketidak-dewasaan emosi, dan sifat pemalu membuat
anak lamban belajar tidak mampu berekspresi atau mengungkapkan ide. Anak
lamban belajar lebih sering menggunakan bahasa tubuh daripada bahasa lisan.
7
Selain itu, kemampuan anak lamban belajar dalam mengingat pesan dan
mendengarkan instruksi rendah.
3. Autisme
a. Pengertian
Kanner dalam Mega (2008) mengatakan autisme adalah merupakan suatu
keadaan ketidakmampuan seseorang melakukan kontak sosial dengan lingkungannya,
dengan berbagai komunikasi. Anak-anak dengan gangguan autistik ini cenderung
menampakkan gejala gangguan komunikasi, tidak mampu melakukan komunikasi
baik verbal maupun non verbal, berpotensi menjadi hiperaktif. Dalam memberikan
batasan autis ini seringkali terjadi kekeliruan, bahwa anak autis sama dengan anak
tunagrahita, namun mereka rata-rata memiliki intelegensi rata-rata, dan bahkan
berpeluang diatas rata-rata.
Depdiknas dalam Abdul (2006) mengemukakan autisme adalah suatu ganguan
perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, aktivitas
imajinasi. Dan anak autistik adalah anak yang mempunyai masalah atau ganguan
dalam bidang komunikasi, interaksi, sosial, ganguan sensoris, pola bermain, perilaku,
dan emosi.
Dan selanjutnya Ranuh dalam Agus (2004) mengatakan autis adalah
“gangguan kognitif (kemampuan untuk mengerti), gangguan tingkah laku sosial, dan
gangguan verbal”. Dalam seminar autis oleh Budiman dalam Agus (2004)
menguraikan autis sebagai “gangguan perkembangan yang luas dan berat”. Gangguan
tersebut mencakup bidang komunikasi, interaksi dan prilaku. Gejala ini timbul pada
anak usia 3 tahun. Pada sebagiaan anak gajala
tersebut sudah tampak sejak lahir.
8
artinya tidak dapat dimengerti. Selain itu, anak autis juga lebih banyak
menggunakan bahasa tubuh, anak autis sering menariknarik tangan orang lain
untuk menunjukkan sesuatu atau meminta orang tersebut melakukan apa yang
diinginkannya.
2. Masalah di bidang interaksi sosial
Dari segi interaksi sosial, anak autis tidak dapat melakukan kontak mata dan
menghindari tatap muka dengan orang lain, tidak tertarik jika diajak bermain
bersama teman-temannya dan lebih suka bermain sendiri.
3. Masalah di bidang kemampuan Sensoris
Anak autis tidak peka sentuhan, bahkan tidak suka dipeluk, bereaksi (spontan
menutup telinga) bila mendengar suara keras. Selain itu, mereka juga senang
mencium dan menjilati mainan atau benda yang menarik perhatiannya. Anak
autis tidak memiliki daya imajinasi dan tidak kreatif dalam bermain, mereka
tidak suka bermain dengan teman sebaya. Anak autis tidak bisa bermain sesuai
dengan fungsi mainannya, tertarik dengan mainan yang berputar seperti roda
sepeda. Bila menyukai suatu mainan, maka akan dibawa kemana-mana.
4. Masalah perilaku
Dari segi perilaku, anak autis sering memperlihatkan perilaku yang berlebihan
(hiperktif), berputar-putar, berlari-lari serta melakukan gerakan tertentu secara
beruang-ulang. Anak autis juga memiliki tatapan mata yang kosong.
5. Masalah emosi
Dari segi emosi anak autis sering terlihat marah-marah, tertawa dan menangis
tanpa alasan. Bila dilarang, anak autis akan mengamuk dan dapat merusak
benda-benda yang ada disekitarnya. Anak autis juga sering menyakiti diri
sendiri (tantrum) misalnya membenturkan kepalanya ke dinding.
4. Anak tunaganda
a. Pengertian
Tunaganda merupakan anak yang memiliki hambatan lebih dari dua macam
keterbatasan baik secara mental maupun fisik (Alawia, 2014). Anak tunaganda
memiliki karakteristik secara umum meliputi sulit berkomunikasi dan berinteraksi
sosial, terlambatnya perkembangan motorik dan fisiknya, seringkali bersikap aneh
dan tidak bertujuan, kurang bisa memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri, cenderung
9
lupa terhadap keterampilan yang sudah dikuasai, dan terhambat dalam membentuk
persepsi dari suatu kondisi ke kondisi lainnya (Mirnawati, 2019).
Adanya keterbatasan tersebut menyebabkan anak tunaganda terhambat pada
proses pembelajaran di sekolah utamanya pada aspek motorik dan sosial. Di sini
diperlukan peran serta dari orang dewasa di sekitarnya termasuk konselor untuk
memberikan layanan intervensi yang cocok dan sesuai dengan kebutuhan anak
tunaganda agar mencapai perkembangan optimal sesuai dengan sisa potensi yang
dimilikinya (Hallahan et al., 2009). Lalu, konselor juga butuh berkolaborasi secara
integral dan harmonis dengan beberapa ahli, siswa, guru, orang tua, dan staf sekolah
lainnya guna terlaksananya kegiatan dan layanan dengan baik (Nugraha 2017 &
Ramdani et al., 2020).
10
oksigen dan luka pada otak dalam proses kelahiran, dalam perkembangan
hidupnya mengalami cacat berat karena pada kepalanya mengalami
kecelakaan kendaraan, jatuh, pukulan atau siksaan, pemberian nutrisi yang
salah, anak yang tidak dirawat dengan baik, keracunan atau karena penyakit
tertentu yang dapat berpengaruh terhadap otak (seperti meningitas dan
encephalitis). Kepala mengalami kecelakaan kendaraan, jatuh dan mendapat
pukulan atau siksaan.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Kita sebagai calon pendidik harus tahu bagaimana cara mendidik anak sesuai
dengan minat bakat, karakter dan tentunya anak yang berkebutuhan khusus. Agar kita
lebih bijak dalam memberikan pelayanan khusus dalam menghadapi kasus anak yang
berkebutuhan khusus tersebut.
12
DAFTAR PUSTAKA
Agus, S. (2004). Terapi autisme Anak Berbakat dan Anak Hiperaktif. Jakarta: Pogres. Yusuf
Agustin, Mubiar. (2011). Permasalahan Belajar dan Inovasi Pembelajaran Panduan Untuk
Guru Konselor Psikolog Orang Tua dan Tenaga Kependidikan. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Hadis & Abdul (2006). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik. Bandung. Alfabeta.
Kusuma, dkk. (2006). Slow learners: Their psychology and instruction. New Delhi: Arora
Offset Press.
Mega, I. (2008). Kecakapan Hidup Bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Padang. UNP Press.
Munawir (2005). Pendidikan Bagi Anak Yang Mengalami Problema Belajar. Jakarta:
Depdiknas.
Nugraha, A., & Rahman, F. A. (2017). Strategi Kolaborasi Orangtua Dengan Konselor Dalam
Mengembangkan Sukses Studi Siswa. Jurnal Konseling Gusjigang,
Ramdani, R., Nasution, A. P., Ramanda, P., Sagita, D. D., & Yanizon, A. (2020). Strategi
Kolaborasi Dalam Manajemen Pelayanan Bimbingan Dan Konseling Di Sekolah.
Educational Guidance And Counseling Development Journal, 3(1), 1-7.
Sunanto Juang (2005). Pengantar Penelitian Dengan Subject Tunggal. Japan. University of
Tsukuba.
Triani, N & Amir. (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Lamban Belajar ( Slow
Learner ). Semarang: Luxima.
Yuwono Joko (2009). Memahami anak autistik (kajian teoritik dan empirik), Bandung
Alfabeta.
13