Anda di halaman 1dari 27

TUGAS KELOMPOK 11

IDENTIFIKASI ASSESMEN SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS


Diajukan sebagai tugas Mata kuliah Pendidikan Inklusif Anak Usia Dini

Dosen Pengampu

Teguh Fachmi, M.Pd.

Disusun oleh:

Putri Ihda Al-Husnayain 201260014


Julaihah 201260028

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN


2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam
cipataan-Nya. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan tetaplah kita curahkan
kepada baginda Habibillah Muhammad SAW. yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang lurus berupa ajaran agama yang sempunya dengan bahasa yang sangat indah. Penyusun
disini akhirnya dapat merasa sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang
kami beri judul “Identifikasi dan Assesmen Siswa Berkebutuhan Khusus” dengan dosen
pengampu bapak Teguh Fahmi M.Pd., Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya makalah ini. Dan penyusun
memahami jika makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami
butuhkan guna memperbaiki karya- karya kami dilain waktu.

Serang, 25 November 2022

Penyusun makalah

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... 1


DAFTAR ISI.........................................................................................Error! Bookmark not defined.
BAB I ............................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 3
A. Latar Belakang....................................................................................................................... 3
B. Tujuan ................................................................................................................................... 4
BAB II .............................................................................................................................................. 5
PEMBAHASAN .............................................................................................................................. 5
A. Identifikasi anak berkebutuhan khusus ................................................................................... 5
B. Tujuan identifikasi anak berkebutuhan khusus ........................................................................ 7
C. Sasaran identifikasi anak berkebutuhan khusus....................................................................... 8
D. Tindak lanjut kegiatan identifikasi anak berkebutuhan khusus ................................................ 8
E. Assesmen Siswa Berkebutuhan Khusus ................................................................................ 10
F. Hubungan assesmen dalam penyusunan program layanan bagi anak berkebutuhan khusus.... 11
G. Assesmen anak gangguan penglihatan, gangguan pendengaran dan bicara ............................ 13
H. Pendekatan assesmen anak gangguan penglihatan, gangguan pendengaran dan bicara .......... 14
I. Metode assesmen anak hambatan intelektual ........................................................................ 17
J. Pelaksanaan assesmen anak hambatan intelektual ................................................................. 18
K. Assesmen anak dengan hambatan fisik ................................................................................. 18
L. Objek assesmen anak dengan hambatan fisik ........................................................................ 19
M. Assesmen anak gangguan emosi dan perilaku ...................................................................... 21
BAB III .......................................................................................................................................... 25
PENUTUP...................................................................................................................................... 25
A. Kesimpulan.......................................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 26

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan adalah Hak Asasi Manusia yang mendasar (basic human right),
hal ini tertuang dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia pada tahun 1948. Dengan
demikian maka semua anak berhak memperoleh pendidikan untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya, tidak terkecuali anak yang berkebutuhan khusus. Anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam proses pertumbuhan maupun
perkembangannya mengidap kelainan atau penyimpangan fisik, mental intelektual,
sosial dan emosi dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga
membutuhkan layanan pendidikan khusus (Departemen Pendidikan Nasional, 2009). 1
Pentingnya layanan pendidikan inklusif dan mulai dideklarasikan pada tahun
2004 di Bandung. Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan
inklusi sebagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan semua anak
berkelainan dilayani dengan baik di sekolah-sekolah terdekat, di kelas regular
bersama dengan teman seusianya. Seiring dengan penyelenggaraan pendidikan
inklusif di Indonesia ada ssejumlah persoalan yang muncul terkait kesiapan sekolah
dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif mulai dari level manajemen maupun
sumber daya manusia (pendidik) dan siswa.
Identifikasi siswa berkebutuhan khusus adalah upaya seseorang (orang tua,
pendidik, tenaga kependidikan lainnya) untuk melakukan proses penjaringan bagi
siswa yang mengalami kelainan sedari awal mungkin dalam rangka pemeberian
layanan pendidikan yang sesuai. Hasil dari proses identifikasi nantinya akan
ditemukan peserta didik dengan kebutuhan khusus yang perlu mendapat layanan
pendidikan secara khusus untuk di tindak lanjuti.
Dalam rangka mencapai keberhasilan dalam pendidikan inklusif, seorang
pendidik layaknya mampu mengenali dan memantau perkembangan anak dalam usia
sekolah, dengan mulai mengidentifikasi kondisi-kondisi seperti apakah anak
1
Armiya Nur Izzah, Identifikasi Siswa Berkebutuhan Khusus dan Pelayanan Sekolah Inklusif
di Kecamatan Kota Blora, Journal of Industrial Engineering & Management Research, Vol. 3 No.1

3
mengalami kemajuan atau keterlambatan dalam pembelajaran, penurunan intensitas
untuk berangkat sekolah dengan apa alasan yang mendasarinya dan lain-lain. Jika
tidak diberikan perhatian khusus, maka akan mengakibatkan layanan pendidikan yang
berisiko merugikan peserta didik. Untuk itu, kegiatan identifikasi dan pemberian
assesmen yang tepat akan menimbulkan pemberian layanan yang optimal dan sesuai
pada peserta didik.

B. Tujuan
Makalah ini dibuat bertujuan supaya pembaca mengetahui arti dan langkah
identifikasi berkubutuhan khusus dan mengetahui pemberian assesmen yang tepat
bagi anak berkebutuhan khusus untuk memberikan layanan pendidikan yang tepat dan
peserta didik mampu mendapatkan hak belajar seperti peserta didik pada umumnya
tanpa adanya diskriminasi.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Identifikasi anak berkebutuhan khusus


Identifikasi merupakan sebuah kegiatan awal untuk mengetahui dan
mendeteksi anak berkebutuhan khusus, menandai sesuatu, yang dimaknai sebagi
proses penjaringan atau proses menemukan anak berkebutuhan khusus apakah
mengalami hambatan atau kelainan, atau proses pendeteksian dini pada anak
berkebutuhan khusus. Istilah identifikasi erat hubungannya dengan kata mengenali,
dan menemukan.
Dalam pendidikan luar biasa, identifikasi merupakan langkah awal yang
bersifat penting bagi menandai anak-anak yang mengalami kelainan atau anak dengan
kebutuhan khusus. Ada anak-anak yang dengan mudah dapat dikenali sebagai anak
berkebutuhan khusus, tetapi ada pula yang terlebih dahulu membutuhkan pendekatan
serta dibantu peralatan khusus untuk mengetahui apakah anak tergolong berkebutuhan
khusus. Anak-anak yang mengalami kelainan dalam segi intelektualnya maupun
emosional perlu menggunakan instrumen dan alasan yang rasional untuk menentukan
keberadaannya.
Pengamatan yang dilakukan dengan seksama mengenai kondisi dan
perkembangan anak tentu diperlukan dalam menggunakan identifikasi anak-anak
berkebutuhan khsusus di sekolah oleh pendidik, guru konselor sekolah bisa memulai
dengan cara pengamatan, pencatatan, dan pendokumentasian dan mencari informasi
dengan cermat serta sistematis untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat tentang
apakah anak mengalami kelainan atau memiliki hambatan dalam pertumbuhan atau
perkembangannya dari segi fisik, intelektual, sosial emosional, tingkah laku serta
mampu mnegidentifikasi keadaan akademik peserta didik yang satu dengan lainnya.
Kegiatan identifikasi ini sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih
menekankan pada pencarian hasil apakah seorang anak tergolong ABK atau non
ABK. Proses identifikasi dapat dilakukan bersama orang-orang terdekat anak, seperti
orang tua, pengasuh, guru dan pihak lain yang dekat dengan anak tersebut.
Identifikasi yang dilakukan untuk menemukan dan mengenali anak berkebutuhan
khusus, berorientasi pada ciri-ciri atau karakteristik yang ada pada seseorang anak,
yang mencakup 4 aspek berikut ini.

5
a. Kondisi fisik. Kondisi fisik ini mencakup anggota tubuh, panca indera
(organik dan fungsional), dalam arti apakah kondisi yang ada memang
mempengaruhi fungsinya atau tidak.
b. Kemampuan intelektual. Kemampuan intelektual dalam konteks anak
berkebutuhan khusus adalah kemampuan anak untuk melaksanakan tugas
akademik di sekolah, mampu mengikuti pelajaran yang diberikan oleh
pendidik.
c. Kemampuan berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi anak dalam
memahami dan mengekspresikan pendapatnya dalam saat berinteraksi pada
lingkungan sekitarnya, baik secara lisan, ucapan maupun tulisan.
d. Sosial dan emosional. Dalam konteks ini aktivitas sosial yang dilakukan
seorang anak dalam kegiatan interaksinya dengan teman sebaya atau dengan
orang dewasa, baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan luar sekolah.

Berikut beberapa contoh tingkatan hasil kegiatan identifikasi (khusus dalam kesulitan
belajar) yang diuraikan oleh Forness dan Kavale, 2001.

1. Tingkat 1, merupakan hasil identifikasi yang di kategorikan “prestasi rendah


atau di bawah performa”.
2. Tingkat 2, defisit yang sangat relevan dalam bidang keterampilan dasar,
terutama pada bidang akademik.
3. Tingkat 3, kurangnya dalam efisiensi kegiatan pembelajaran, seperti strategi
dan tingkat pencapaian pembelajaran.
4. Tingkat 4, kurangnya dalam bidang psikologis, defisitnya linguisitik, memori
dan metakognisi pada anak.
5. Tingkat 5, menyingkirkan terlebih dahulu alternatif kegagalan belajar,
keterbelakangan mental, gangguan pada sensorik halus dan kasar, gangguan
emosional dan defisitnya sarana pembelajaran.2

Setelah identifikasi dilakukan, hasil observasi dan data peserta didik sudah dianalisis,
pendidik memiliki hasil yang akurat dari yang telah diidentifikasinya, langkah
berikutnya yaitu dapat memberikan rekomendasi kepada psikolog atau ahli

2
Forness, S. R., dan Kavale, K. A. (2001). Ignoring The Odds: Hazards of Not Adding The
New Medical Model To Special Education Decisions. Behavioral Disorders, Halaman: 281.

6
neuropsikolog guna melakukan assesmen sebagai tindak lanjut pada peserta didik
untuk mengetahui tingkat kebutuhan khusus selanjutnya. 3

B. Tujuan identifikasi anak berkebutuhan khusus


Tujuan identifikasi secara umum adalah untuk mengumpulkan atau
menghimpun informasi apakah anak memiliki kelainan atau hambatan yang tentunya
jika dibandingkan dengan anak normal lainnya tidak sesuai dengan mereka. Secara
khusus, tujuan identifikasi adalah dapat memaksimalkan segala potensi yang dimiliki
peserta didik sesuai dengan kebutuhannya serta mencatat karakteristik kekhususan
peserta didik yang ditemukan untuk selanjutnya di tindak lanjuti berupa:
1. Penjaringan (Screening). Penjaringan dilakukan terhadap semua anak yang
biasanya dilakukan di awal waktu masuk sekolah dengan alat identifikasi anak
berkebutuhan khusus. Dengan alat identifikasi ini, orang tua dan pendidik
dapat mengetahui hambatan atau kelainan yang dimiliki oleh anak dan
hasilnya dapat digunakan untuk penanganan yang lebih lanjut.
2. Alih tangan (referal). Setelah anak berkebutuhan khusus teridentifikasi
membutuhkan pelayanan dan penaganan oleh pihak lain perlu dirujuk ke ahli
lain utnuk memperoleh penanganan lebih lanjut, contohnya psikiater,
psikolog, dokter ahli dan lain-lain.
3. Klasifikasi. Pada tahap klasifikasi, kegiatan identifikasi anak berkebutuhan
khusus, pendidik harus mampu mengklasifikasikan hambatan atau kelainan
yang dimiliki oleh anak, mengkomunikasikan kepada orang tua dan juga
pendidik lainnya, pendidik tidak bisa mengobati anak berkebutuhan khsusus,
tetapi hanya memfasilitasi dan meneruskan kepada orang tua tentang kondisi
anak yang berangkutan.
4. Perencanaan pembelajaran. Perencanaan pembelajaran dapat dilakukan untuk
penyusunan program pembelajaran Individu (PPI) yang dibuat atas dasar
klasifikasi. Setiap jenis (tingkat kelainan) yang di alami oleh anak
berkebutuhan khusus membutuhkan program yang berbeda-beda pada setiap
pembelajarannya.
5. Pemantauan kemajuan belajar. Kemajuan belajar peserta didik harus mampu
terpantau guna mengetahui keberhasilan dari program khusus yang telah
pendidik berikan. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pemantauan, yaitu

3
Dr. Rasmitadila, (2020). Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Depok: Rajawali Pers, 56.

7
diagnosis yang sudah dilaksanakan di awal, program pembelajaran individu
serta metode pembelajaran yang menjadi acuan pembelajaran selama ini.

Dengan lima tujuan khusus diatas, identifikasi perlu dilakukan lagi secara
terus menerus oleh pendidik, jika diperlukan dapat meminta bantuan atau membuat
kerja sama dengan tenaga professional yang dekat (ahli) dengan masalah yang
dihadapi oleh anak berkebutuhan khusus.

C. Sasaran identifikasi anak berkebutuhan khusus


Sasaran identifikasi anak secara global adalah keseluruhan anak usia pra-
sekolah dan usia SD (sekolah dasar). Sedangkan secara khusus (operasional) sasaran
identifikasi anak berkebutuhan khusus yaitu sebagai berikut.
1. Anak yang baru masuk masuk di sekolah regular
Tim khusus atau pendidik yang sudah ditugasi oleh sekolah, dengan
menggunkanan panduan cara mengidentifikasi secara ssederhana. Anak yang
masuk kriteria ABK melalui proses identifikasi ini, segera diberikan tindakan
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.
2. Anak yang sudah masuk di sekolah regular
Saat melakukan kegiatan penjaringan peserta didik yang ada di
sekolah, untuk menemukan anak-anak yang membutuhkan pelayanan khusus
setelah proses identifikasi maka perlu dilakukan langkah-langkah untuk
pemberian bantuan yang sesuai dengan kelainannya.

D. Tindak lanjut kegiatan identifikasi anak berkebutuhan khusus


Perlu adanya tindak lanjut dari kegiatan identifikasi anak berkebutuhan khusus
yang bertujuan untuk memberikan layanan pendidikan yang memiliki efisiensi yang
berkualitas, maka diambil tindak lanjut sebagai berikut.
1. Tindakan assesmen
Assesmen adalah kegiatan penyaringan pada anak yang telah
teridentifikasi anak berkebutuhan khusus. Kegiatan assesmen dapat dilakukan
oleh pendidik, orangtua (dalam beberapa hal) dan tenaga professional lainnya.
Menurut Kauffman JM. (2008) assesmen meliputi beberapa bidang kegiatan
sebagai berikut.4

4
Kauffman, JM., Exceptional Children: Introduction to Special Education, 2008, Buston:
Houghton Mufflin Co.

8
a) Assesmen akademik, sensoris, motorik, psikologis, sosial dan
emosional.
b) Assesmen akademik minimal mencakup aspek kemampuan membaca,
menulis dan berhitung.
c) Assesmen sensoris dan motorik. Dalam kegiatan sensoris bertujuan
untuk melihat gangguan penglihatan, pendengaran.
d) Assesmen psikologis, emosi dan sosial, assesmen psikologis digunakan
untuk melihat dan mengetahui potensi kecerdasan dan kepribadian
anak, dan dapat meningkatkan tingkat emosi dan sosial nya juga secara
bersamaan.
2. Perencanaan pembelajaran
Dasar dari perencanaan pembelajaran adalah membuat program
pembelajaran berdasarkan hasil assesmen. Langkah selanjutnya menganalisa
kurikulum. Dengan menganalisa kurikulum, maka pendidik dapat memilih
bidang studi yang perlu dikembangkan dan di sesuaikan. Kemudian hasil
analisis kurikulum ini akan di buat searah dengan program hasil assesmen
sehingga tersusun sebuah program yang untuh berupa Program Pembelajaran
individu (PPI).
Dalam rangka penyusunan PPI, dalam sekolah, tidak sekurang-
kurangnya terdiri atas kepala sekolah, orang tua/wali murid, guru pembimbing
yang sesuai dengan anak serta penentuan tugas dan tanggung jawab
pelaksanaan kegiatan assesmen.
3. Pelaksanaan pembelajaran
Loughlin (2003) berpendapat bahwa pelaksanaan pembelajaran dapat
dilakukan dengan cara individualisasi pengajaran; artinya anak mampu belajar
pada topik dan tema yang sama, waktu dan ruang yang sama. Namun dengan
materi yang berbeda-beda. Cara lain dari proses belajar secara individual
adalah anak diberi layanan secara tersendiri dengan bantuan guru khusus.
Dalam proses pembelajaran seperti ini, dapat dilakukan secara terpisah atau
masih bida di dalam kelas tersebut selama tidak menimbulkan ketidak
nyamanan situasi belajar secara keseluruhan.
4. Pemantauan kemajuan belajar dan evaluasi
Untuk mengetahui keberhasilan seorang pendidik dalam rangka
membantu stimulasi atau mengatasi kesulitan belajar anak, perlu dilakukan
9
pemantauan secara sistematis guna kemajuan atau bahkan kemunduruan
belajar anak. Jika peserta didik mengalami kemjuan belajar, maka pendekatan
yang sudah dilakukan pendidik perlu dipertahankan, namun jika sebaliknya
maka perlu ditinjau kembali, dari segi meteri, pendekatan, media belajar dan
lainnya yang berkaitan untuk memperbaiki hambatan atau kekurangan yang ia
miliki.

E. Assesmen Siswa Berkebutuhan Khusus


Menurut Loughlin (2003) assesmen dalam pendidikan anak berkebutuhan
khusus adalah suatu proses yang dirancang secara sistematik guna mengetahui
perilaku gaya belajar anak dalam tujuan penmepatan dan kegiatam pembelajaran.
Identifikasi dan assesmen merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan.
Assesmen adalah prosedur yang dibuat secara sistematis guna mengumpulkan
informasi tentang karakteristik seseorang. Dalam konteks pendidikan, penilaian atau
assesmen ini bertujuan untuk melihat kemampuan dan kesulitan yang dihadapi oleh
peserta didik, sebagai bahan untuk menentukan apa yang sesungguhnya dibutuhkan.
Hasil dari kegiatan assesmen nantinya diharapkan seorang pendidik mampu
menyusun program belajar yang sifatnya realistis dan objektif dari anak tersebut. 5
Menurut Browder tahun 2001, tujuan dari assesmen siswa berkebutuhan
khusus antara lain berikut ini.
a. Kepantasan dalam memberi pelayanan khusu kepada peserta didik, terlebih
evaluasi kriteria klasifikasi yang sudah di tentukan.
b. Perencanaan untuk mendukung tingkah laku yang positif,
c. Proses pengawasan. 6

Di sisi lain assesmen pada anak berkebutuhan khusu di sekolah berkebutuhan


khusus mengandung arti atau makna yang berbeda dengan assesmen yang dibuat dan
di pakai secara umum dalam dunia pendidikan. Umumnya, assesmen dianggap
sebagai penilaian saja, akan tetapi sesungguhnya asri assesmen dalam pendidikan
khusus yaitu memliki pengertian yang khas.

Menurut Hays, P.A. (2007) mengemukakan bahwa aspek yang menentukan


kegiatan assesmen diantaranya dapat mencakup: kecerdasan, persepsi, kepribadian,

5
Loughlin, MC. Assesing Special Student Columbus:Charles E. Merrill. (2003), Bab 11, 292.
6
Browder, D. M. (2001). Curriculum and Teaching Strategies For Students With Behavioral
Disorders. Englewood Cliffs. Nj: Prentice-Hail.

10
kematangan, bhasa, motorik, emosi, prestasi akademik dan non akademik, dan aspek
lain yang sesuai dengan keperluannya. Karena sifat dari assesmen lebih detail
daripada tahap identifikasi, maka alat yang digunakan untuk assesmen lebih terstandar
dan dilakukan oleh tenaga profesional bagi mereka yang memiliki kualifikasi. 7

F. Hubungan assesmen dalam penyusunan program layanan bagi anak


berkebutuhan khusus
Assesmen merupakan bagian proses penyusunan program bagi anak
berkebutuhan khusus. Assesmen dilakukan oleh tim multidisiplin, dapat meliputi
assesmen formal (penggunaan tes baku) atau informal (wawancara, observasi, analisis
dokumen). Tim assesmen ini selanjutnya menetapkan jenis dan banyaknya layanan
khusus yang dibutuhkan oleh anak.
Program individual disusun untuk anak yang nantinya dalam proses
pelaksanaan akan dievalusai secara berkala. Setiap akkhir tahun, dilakukan ulasan
tahunan untuk menentukan apakh anak masih membutuhkan layanan khusus atau
tidak. Halllahan (2006) mengemukakan pentingnya assesmen pada anak antara lain
sebagai berikut.
1. Proses assesmen melibatkan secara langsung anak dengan orang yang dekat
atau selalu bersamanya untuk mengetahui kondisi anak.
2. Masalah yang sebenarnya di hadapi oleh anak, terlebih yang berhubungan
dengan kelainan non fisik, sering berbeda dengan yang terlihat. Tanpa
dilakukan nya assesmen maka masalah yang terjadi pada anak tidak akan
pernah diketahui dan terselesaikan karena belum mendapatkan solusi atau
penanganan yang tepat.8

Untuk mendukung pendidikan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan


belajar peserta didik, anak berkebutuhan khusus memerlukan penanganan yang
berbeda-beda. Layanan pembelajaran indivdiual biasa disebut program pembelajaran
yang diindividualisasikan atau program pembelajaran individual (PPI).

Menurut Kitano dan Kibry (1986) dalam Mulyono (2009) menjelaskan ada lima
langkah dalam merumuskan tim PPI antara lain sebagai berikut.

7
Hays, P.A. (2007). Addressing Cultural Complexities in Practice: Assesment, Diagnosis and
Therapy. Washngton, Dc: American Psicology Association.
8
Hallahan, DP., Exceptional Learnears: Introduction to Special Education, 2006, New
Jersey: Pearson.

11
1. Membentuk tim PPI yang terdiri atas guru kelas, guru pembelajaran, kepala
sekolah, guru pendamping khusus, orangtua dan tenaga profesional layanan
terkait. Tenaga ahli yang terkait seperti dokter anak, dokter spesialis, terapis
okupasi, penyedia pendidikan jasmani adaptif dan psikolog.
2. Membuat penilaian terkait dengan kelemahan, kekuatan, minat dan bakat
peserta dididk dari enam aspek perkembangan anak.
3. Mengembangkan tujuan jangka panjang dan jangka pendek.
4. Menentukan metode evaluasi yang tepat untuk digunakan mengukur kemajuan
peserta didik.9

Oleh karena itu, proses assesmen sampai dengan penyusunan program layanan khusus
butuh keterlibatan satu tim multidisipliner, terdiri atas:

1. Tenaga kependidikan
a. Guru kelas. Guru kelas diharapkan mampu mengumpulkan informasi
yang berkaitan dengan prestasi akademik dan keadaan sosial emosional
anak dengan bantuan tes formal maupun alat pengumpul data
informasi yang lainnya.
b. Guru PLB. Guru PLB dapat membantu untuk mengumpulkan data
prestasi anak dalam kondisi yang lebih khusus dan individual.
2. Orang tua dan anak
Orang tua dan anak mampu memberikan informasi yang relevan tentang
semua aspek perkembangan anaknya.
3. Tenaga bantu kependidikan
a. Psikolog. Psikolog peranannya sangat penting dalam menetapkan
apakah memang memerlukan layanan pendidikan khusus, dan yang
terlebih penting untuk menafsirkan beberapa tes (Intelegensi,
kepribadian, prestasi belajar).
b. Ahli bina bahasa dan wicara. Ahli bina bahasa dan wiccara bertugas
mendiagnosa dan yang akan membina anak untuk menunjukkan
gangguan bahasa dan wicara.
4. Tenaga yang berkaitan dengan perkembangan motorik

9
Abdulrachman Mulyono, Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar, 2009, (Cetakan Kedua).
Jakarta: Depdikbud kerja sama dengan Rineka Cipta. N., 11

12
Ahli terapi fisik dan terapi okupasi bertugas untuk mengetahui semua
kemampuan fungsi motorik yang tidak dimiliki oleh anak untuk mendapatkan
terapi, baik motorik kasar maupun halus.
5. Tenaga yang berkaitan dengan kondisi sosial emosional
Guru bimbingan konselling dan pekerja sosial mampu melakukan
bimbingan pada anak berkebutuhan khusus. Mereka akan melakukan seperti
kunjungan rumah untuk melihat lebih banyak tentang latar belakang
kehidupan anak yang sebenarnya terjadi.
Hasil assesmen inilah yang nantinya akan di analisa oleh tim multidisiplin
untuk menentukan jenis intensitas layanan yang diperlukan oleh anak, dan jenis
penempatan anak di sekolah. Anak berkebutuhan khusus harapannya mampu
memperoleh kualitas layanan yang sesuai dengan kebutuhan individual anak.

G. Assesmen anak gangguan penglihatan, gangguan pendengaran dan bicara


Ada beberapa teknik yang digunakan pada pelaksanaan assesmen, antara lain:
Skala penilaian, wawancara (orang tua, guru pendamping, pengasuh dan orang
terdekat anak), observasi, tes formal dan infomral serta penilaian klinis.
1. Skala penilaian
Skala penilaian merupakan alat untuk mengassesmen anak dengan
identifikasi berkebutuhan khusus. Skala penilaian disebut penilaian non tes
karena tidak ada jawaban benar atau salah. Kelemahannya penilaian mudah
bias. Kelebihan dari skala penilaian adalah pelaksanaannya cepat, mudah
digunakan dibanding alat assesmen lainnya.
a) Wawancara
Wawancara yang dilakukan bertujuan mudah dipergunakan
untuk anak-anak. Kelebihan dari assesmen wawancara adalah dapat
melacak jawaban dan mendapatakan penjelasan yang legib luas.
Wawancara terdiri atas tiga tahapan: mengadakan pendekatan secara
pribadi kepada (orang tua, guru pendamping, pengasuh dan orang
terdekat anak) untuk terbentuknya keterbukaan dan penerimaan tujuan
wawancara secara umum, mengarahkan pembicara pada topik yang
yang ingin ditanyakan dan mampu mengambil kesimpulan dengan dua
teknik (parafrase dan persepsi).
b) Observasi

13
Observasi adalah teknik assesmen yang bernilai tinggi. Tujua
observasi adalah mengenal peserta didik, menentkan masalah
penyebab tingkah laku, dan mampu menjelaskan pada (orang tua, guru
pendamping, pengasuh dan orang terdekat anak) masalah tingkah laku
anaknya.
c) Tes formal dan informal
Tes formal dirancang untuk kelompok maupun individu. Ada
tiga jenis tes formal antara lain: tes intelegensi, tes bakat, dan tes
ketajaman penglihatan.
d) Penilaian klinis
Penilaian klinis merupakan penilaian yang didasari oleh
pengetahuan, pengalaman dan data diagnosa. Penilaian klinis bersifat
penilaian yang benar dipahami, bukan penilaian yang di perkirakan.

H. Pendekatan assesmen anak gangguan penglihatan, gangguan pendengaran dan


bicara
1. Model fungsional
Model fungsional digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan
anak. Model fungional ini akan menggunakan task analysis (analisis tugas).
Tahapan pertama, dapat membuat identifikasi tentang kemampuan-
kemampuan yang dimiliki anak sesuai dengan perkembangan anak. Tahapan
kedua, kita dapat mempelajari langkah-langkah dimana anak mengalami
hambatan. Tahapan ketiga, mengembangkan program bantuan yang telah
ditetapkan sesuai dari hasil diagnosa tahapan kedua. Contoh task analysis pada
anak gangguan penglihatan addalah dengan cara memasang pasta gigi pada
sikat gigi dan cara menggosok gigi.
2. Model membuat keputusan
Prinsip dari membuat keputusan adalah mencarin informasi assesmen
sebanyak-banyaknya sehingga mampu membuat suatu keputusan yang bersifat
sementara. Williems (2004) berpendapat, assesmen bagi tunarungu dan
tunawicara antara lain:
a) Identifikasi data anak
 Nama:
 Tempat/ tanggal lahir:

14
 Jenis kelamin:
 Pendidikan:
 Alamat:
 Penyebab kebutaan:
 Sejak kapan mengalami kebutaan:
b) Kemampuan yang dimiliki anak
 Kemampuan keterampilan dasar, bagaimana reaksi anak?
 Anak dapat mandiri dalam mengerjakan sesuatu tanpa
perintah?
 Dengan gerakan tangan, anak baru mengerti perintah?
 Anak menirukan membuka sesuatu, setelah guru terlebih
dahulu melakukannya?
 Kemampuan dalam bidang akademik, Kemampuan dalam
bidang akademik meliputi berbahasa, menulis, membaca,
berhitung sehingga guru dapat menentukan program pengajaran
yang sesuai untuk anak.
 Kemampuan bekerja dan berkarya, anak dilihat dari tingkat
potensi yang ia miliki atau disenangi sehingga program yang
dibuat sesuai dengan kemampuan daan bakat anak.
3. Kebutuhan
Setelah mengidentifikasi anak berkebutuhan khusus, selanjutnya ia
dipisah mana kebutuhan primer dan mana kebutuhan sekunder dalam arti
kebutuhan tersebut dapat ditunda dan tidak mengakibatkan hal yang
berbahaya. Tujuan diadakan pemeriksaan tunarungu dan tunawicara adalah
untuk mengetahui tingkat ketajaman pendengaran dan mennetukan tingkatan
fungsi daya dengar anak. Langkah dalam assesmen yang harus dilakukan
antara lain sebagai berikut.
a. Mengukur berapa jarak antara telinga anak dengan suara benda yang
disekitarnya atau yang digenggamnya.
b. Bagaimana anak mendengarnya.
c. Menggunakan kedua telinga sekaligus.
d. Hanya menggunakan telinga sebalah kiri, lalu selanjutnya telinga
sebelah kanan.

15
e. Mula-mula menggunakan telinga sebelah kanan.
f. Menggerakkan kepalanya dalam mendengarkan suara benda sampai
meneukan titik suara yang dimaksud.
g. Bagaimana dalam menangkap suara
h. Mampu mengerti suara yang didengar secara langsung
i. Mendengar secara bagian demi bagian
j. Mendengar tanpa arah
k. Komentar saat mendengar suara
l. Memberikan komentar
m. Menggerakkan tangan, kaki atau kepala sebagai respon apa yang ia
dengar
n. Bagaimana reaksi terhadap suara
o. Menghindari suara
p. Mencari sumber suara supaya terdengar jelas
q. Reaksi yang timbul lainnya
r. Membawa benda ke muluut dengan maksud untuk mengetahui benda
yang ia genggam.
s. Meraba benda yang ia genggam.
t. Mengubah posisi benda dari dekat menjadi jauh.

Selanjutya program penempatan pendidikan anak dengan gangguan


pendengaran dan bicara pasca assesmen dilakukan adanya beberapa kemungkinan,
semuanya tergantung pada kemampuan dan ketidakmampuan anak dan
lingkungannya, yaitu anak dapat ditempatkan di: kelas biasa, kelas biasa dengan
tambahan bimbinga khusus oleh guru kelas, kelas biasa namun sebagian hari, kelas
khusus sebagian hari kelas reguler untuk sebagian hari yang lain, kelas khusus
sepanjang hari, sekolah khusus sepanjang hari dan memperoleh pelayanan pendidikan
di tempat tinggal anak.

Menurut Viola F (2002) memeberikan gambaran anggota, tim assesmen di


suatu lembaga pendidikan yang mendidik anak tunarungu dan tunawicara setidaknya
terdiri atas:

1. Terapis fisik.
2. Ahli terapis.

16
3. Psikolog, guru pendidikan khusus, terapi pendengaran
4. Konselor kejuruan.
5. Pekerja sosial medis
6. Perawat untuk aktivitas hidup anak sehari-hari.

Mengingat kemampuan setiap lembaga yang ada di suatu pendidikan berbeda-


beda, maka setidaknya gambaran tim assesmen yang ideal tersebut mampu
memberikan motivasi kepada pengelola lembaga pendidikan untuk berusaha
menyediakan tim assesmen yang ideal. 10

Pada hakikatnya anak tunarungu tidak mengalami hambatan pada


perkembangan intelegensi dan aspek lainnya, oleh karena itu, sistem pelayanan
pendidikan bagi anak tunarungu memiliki kemampuan yang tidak berbeda dengan
anak-anak umunya. Pendidik harus mampu berbicara dengan mimik mulut yang jelas
dalam penyampaian pembelajaran, selain itu pendidik juga dituntut untuk mampu
menggunakan bahasa isyarat atau bahasa tubuh untuk membantu proses penyampaian
informasi kepada anak.11

I. Metode assesmen anak hambatan intelektual


Metode atau cara yang dapat dilakukan untuk melakukan assesmen pada anak
tunagrahita antara lain sebagai berikut.
1. Observasi, pengamatan yang dilakukan pada gaya belajar anak, tingkah laku
yang muncul saat anak belajar.
2. Tes hasil belajar, didapatkan dengan pendidik memberikan tes setiap
pengajaran.
3. Wawancara, dilakukan pada orang tua, guru pendamping, pengasuh dan orang
terdekat anak.

Alat yang digunakan dalam memperoleh data melalui metode dalam kelas
adalah Chekcklist, yaitu dengan memberikan nilai pada setiap tingkah laku anak

10
Viola E. Cardwell, Cerebral Palsy, An Anvances in Understanding and Care, 2002, New
York: Assosiation For the Aid of Crippled Children.
11
Muchamad Irvan, Urgensi Identifikasi dan Assesmen Anak Berkebutuhan Khusus Usia
Dini, Jurnal Ortopedagogical, (2020),Vol. 6, No. 2, 110

17
dengan menggunakan pedoman nilai sesuai dengan kemampuan belajar anak. Dan
menggunakan skala nilai untuk melihat prestasi belajar anak.

J. Pelaksanaan assesmen anak hambatan intelektual


Pada hakikatnya seorang pendidik mampu membantu individu supaya ddapat
belajar dengan baik dan mendapatkan hasil yang optimal (sesuai dengan
kemampuannya). Untuk menentukan apa saja yang harus di stimulasi pada anak,
berikut ada beberapa langkah yang perlu di perhatikan saat pengajaran pada anak:
1. Tentukan urutan keterampilan yang akan diajarkan pada anak.
2. Ambil kesepakatan perilkau apa yang akan dinilai.
3. Pilih kegiatan evaluasi.
4. Menyelenggarakan pelayanan evaluasi.
5. Pekam kinerja kegiatan anak.

K. Assesmen anak dengan hambatan fisik


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI tahuna 2004 pernah menerbitkan
buku pedoman pendataan anak berkebutuhan khusus. Untuk mengtahui ada tidaknya
kecacatan atau gangguan tumbuh kembang, sehingga dapabila ditemukan sapat segera
langsung diupayakan program intervensi yang tepat. Tujuan assesmen yang tepat
untuk anak tunadaksa adalah mengenal dan memahami mereka, tentang kemampuan
dan ketidakmampuan anak baik dalam kondisi fisik maupun mental dan
lingkungannya.
Kegunaan assesmen pada anak dengan hambatan fisik (tunadaksa) antara lain:
a. Klasifikasi, identifikasi dan data dasar anak tunadaksa.
b. Pembuatan keputusan program penempatan pendidikan anak.
c. Pembuatan keuputusan program rehabilitasi anak.
d. Pengembangan program pengajaran individual anak.

Munawir Yusuf (2007) berpendapat bahwa program pendidikan anak


berkebutuhan khusus, dan anak tunadaksa dibagi dalam beberapa kemungkinan
program penempatan pendidikannya tergantung kemampuan dan ketidakmampuan
anak dan lingkungannya, anak dapat ditempatkan di: kelas biasa, kelas biasa dengan
tambahan bimbingan khusus oleh guru kelas, kelas biasa dengan bagian sehari, kelas
khusus sebagian hari dan kelas reguler untuk sebagian hari lain, kelas khusus

18
sepanjang hari, sekolah khusus sepanjang hari dan memperoleh pelayanan pendidikan
di tempat tinggal anak.12

L. Objek assesmen anak dengan hambatan fisik


Aspek yang menjadi objek kegiatan assesmen dalam pendidikan anak tunadaksa
antara lain sebagai berikut.
a. Identitas anak tunadaksa.
b. Riwayat anak meliputi pertumbuhan dan perkembangan.
c. Pendidikan dan kesehatan.
d. Kondisi dan kemampuan fisik anak meliputi keadaan fisik anak.
e. Kemampuan melakukan kegiatan sehari-hari, terdiri atas:
 Kegiatan di tempat tidur
 Kegiatan dengan kursi roda
 Kegiatan makan
 Kegiatan berpakaian
 Kegiatan perawatan diri
f. Kondisi dan kemampuan psikis anak, meliputi:
 Tingkat intelegensi.
 Sikap kehidupan emosional anak.
 Kepribadian anak.
 Bakat, minat, hobi dan cita-cita anak.
g. Aspek sosial yang dimiliki anak, meliputi:
 Identitas keluarga anak.
 Sosialisasi anak.
Pihak yang dapat melaksanakan assesmen pada anak tunadaksa adalah guru
pendidikan khusus, psikolog pendidikan, terapis, dokter umum, administrator,
perawat. Kerja sama interdisipliner ini, sangat diperlukan dalam assesmen anak
tunadaksa. Adanya musyawarah yang terjalin antara ahli yang telah melakukan
assesmen sesuai dengan bidangnya masing-masing, nantinya program perlakuan yang
akan disusun akan lebih bagus dan lebih menghindari kemungkinan kecacatan yang
lebih fatal pada anak.

12
Munawir Yusuf, Edy Legowo, Mengatasi Kebiasaan Buruk Anak Dalam Belajar Melalui
Pendekatan Modifikasi Perilaku, 2007, Jakarta: Depdiknas.

19
Teknik assesmen anak tunadaksa dengan metode yaitu: inspeksi, palpasi,
perkusi, auskultasi dan uji laboratorium. Metode inspeksi adalah serangkaian kegiatan
yang dibuat oleh tenaga medis, untuk memeriksa secara lengkap anggota tubuh anak
tunadaksa. Metode palpasi merupakan cara assesmen yang lebih teliti karena
menggunakan peraba untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan. Metode
perkusi adalah metode assesmen yang digunakan dengan cara mengetuk suatu daerah
tubuh tertentu untuk menghasilkan suara yang di peroleh apakah nyaring, redup, datar
atau lain sebagainya.
Beberapa alat untuk pengamatan dalam assesmen anak tunadaksa seperti
checklist individual seperti berikut.
No. Gerakan anggota tubuh yang diamati Ya Tidak
1. Salah satu/kedua kaki bentuknya tidak normal
2. Salah satu/kedua kaki tidak berfungsi dengan baik
3. Gerakan tangan kaku/tremor/kejang

Selanjutnya ada skala penilaian untuk anak tunadaksa sebagai bentuk


menerangkan, menggolongkan dan menilai anak dengan gejala tertentu. Skala
penilaian macam-macam bentuknya, antara lain sebagai berikut. Contoh: bentuk
kuantitas menggunakan nilai atau peringkat.
gejala Score jumlah
Indikator 1 2 3 4 5
Ketekunan
Kerjasama
Semangat
Keberanian

Prosedur assesmen diatas, hanyalah salah satu dari banyaknya model


assesmen. Masih banyak lagi cara assesmen yang dapat dipakai utnuk bahan
pembanding pemberian layanan khusus bagi anak. Bahkan, setiap lembaga sekolah
atau bidang lainnya dapat mengembangkan model assesmen anak berkebutuhan
khusus dengan tujuan, arah dan sasaran yang dapat disamakan dengan sumberdaya
yang tersedia.

20
M. Assesmen anak gangguan emosi dan perilaku
Assesmen ketunalarasan hanya merupakan bagian dari proses assesmen secara
universal oleh tim multidisipliner. Mengukur perilaku merupakan proses assesmen
yang paling sulit dilakukan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
a. Terminologi yang dipakai dan di jadikan pedoman
Beberapa istilah yang sering dipakai, sering menyebabkan sulitnya
pemahaman, terkadang beberapa pakar menggunakan istilah gangguan emosi
dengan sebutan penyimpangan perilaku.
b. Definisi
Setelah adanya terminologi yang dipakai, maka muncul definisi. Variasi
definisi inilah yang nantinya menyebabkan kesulitan mengadakan assesmen
pada anak tunalaras. Adanya berbagai konsep tentang gangguan dan emosi
perilaku, setiap anak harus mendapatkan layanan yang layak, meskipun jika
dibandingkan dengan gangguan yang lain tuna laras lebih sulit, akan tetapi
harus dilakukan untuk memberikan layanan yang sesuai kepada mereka yang
mengalami tunalaras.
Kelompok besar yang dipakai (metode assesmen yang paling umum) yang digunakan
dalam proses assesmen anak tunalaras, yaitu: tes standar/baku, wawancara, observasi
dan identifikasi perilaku yang menyimpang.
1. Tes standar proses assesmen anak tunalaras
Dalam tes ini memungkinkan untuk mengetahui apa yang sudah
dipelajari oleh anak dalam perbandingan dengan teman sebayanya. Bentu tes
baku/satndar yang dapat digunakan oleh anak tunalaras adalah tes kepribadian
(Personality test). Tes intelegensi mengukur karakteristik psikis dasar anak
yang menyebabkan berbagai pole perilaku. Tes kepribadian dapat berupa
angket, melengkapi kalimat dan menulis bebas.
2. Wawancara proses assesmen anak tunalaras
Wawancara dilakukan bertujuan untuk mengetahui tentang anak, dapat
berupa percakapan terstruktur dan bebas dalam mengetahui perilaku tertentu.
Agar jawaban yang diberikan merupakan pernyataan yang benar, sebaiknya
pewawancara tetap bersifat objektif dalam menfasirkan hasil wawancara.
Kauffman (2008) mengidentifikasi hasil dan masalah yang diperoleh
dari metode wawancara, antara lain: mampu mengathui jenis perilaku yang
tidak dimiliki oleh anak, perilaku yang berlebihan (cemas, rendah diri), cara

21
anak merespon dirinya dengan tidak benar (tidak bisa menafsirkan perasaan
orang lain dengan benar), mengetahui cara lingkungan memperlakukan anak
dengan tidak tepat atau tepat (sering dimanjakan, sering ditegur, senang
membuat kesalahan).
3. Observasi proses assesmen anak tunalaras
Teknik observasi langsung dan merekam perilaku anak sudah
dikembangkan secara besar-besaran oleh para penggiat ilmu anak
berkebutuhan khusus. Meskipun masih ada masalah yang validitas, realibitas,
hal ini dapat dibuat dengan menggunakan realibitas antar observer. Dalam
observasi diharapkan mampu memeperoleh informasi tentang:
a. Frekuensi atau durasi tingkah laku anak.
b. Respon atau jenis tingkah laku yang menyimpang dan muncul.
c. Jenis perilaku yang baik yang mampu dilatihkan untuk mengurangi
perilaku penyimpangan pada anak.

Tiga poin diatas, observasi perilaku anak dapat ditugaskan kepada orang tua
dan orang terdekat anak untuk memantau perilakunya.

4. Identifikasi perilaku yang menyimpang


Metode assesmen yang paling sering digunakan adalah checklist dan
skala penilaian pada anak tunalaras. Pihak yang mengisi chechlist dan skala
penilaian harus mengetahui perilaku anak secara keseluruhan dan juga mampu
menentukan dari perilaku anak tersebut wajar atau tidak.

Ada beberapa contoh checklist yang telah di standarisasi. Sebagai perbandingan untuk
mengembangkan instrumen anak tunalaras, berikut deskripsi secara singkat model
assesmen anak tunalaras:

1. Behavior rating profile


Behavior rating profile ditujukan untuk anak usia 6 sampai 13 tahun. Penilaian
ini dapat diisi oleh anak tunalaras, pendidik, orang tua dan teman sebaya.
a. Diisi oleh anak tunalaras: saya sering melanggar aturan yang dibuat
orangtua, saya memiliki kesulitan duduk dengan tenang di kelas.
b. Diisi oleh orang tua: anak saya terlalu aktif dan tidak mau diam, anak
saya sering melanggar aturan yang telah dibuat.

22
c. Diisi oleh teman sebaya: siapa diantara temanmu yang paling kau sukai
untuk belajar?

Hasil dari penilaian diatas, kemudian nantinya akan dijadikan satu profil yang
menunjukkan tingkat penyimpangan perilaku anak.

2. Burk’s behavior rating scale


Burk’s behavior rating scale digunakan untuk mengidentifikasi pola perilaku
patologis yang ditunjukan oleh anak kelas 1 SD sampai kelas 3 SMP. Burk’s
behavior rating scale terdiri atas 110 item yang tersebar dalam 19 kategori,
yaitu:
a. Cemas secara berlebihan.
b. Kelemaham kemampuan mengendalikan ego.
c. Kelemahan intelektual.
d. Kelemahan akademik.
e. Menyelahkan diri sendiri secara berlebihan.
f. Menyembunyikan diri secara berlebihan.
g. Kelemaham perhatian.
h. Kelemahan pengendalian kemauan.
i. Kelemahan mengenal identitas diri.
j. Sakit secara berlebihan.
k. Kelemahan mengendalikan kemarahan.
l. Agresif secara berlebihan.
m. Menentang secara berlebihan.
n. Kelemahan mentaati aturan sosial.
o. Kesan disiksa secara berlebihan.
p. Kelemahan kontak dengan realitas.

Dari 19 kategori ini, pendidik atau orang tua dapat memberi skala nilai
dari 1 sampai 5 dalam memberikan tanggapan perilaku diatas.

Setelah teridentifikasi perilaku penyimpangan pada anak, langkah


berikut dalam asssesmen gangguan emosi dan perilaku anak adalah
megevaluasi secara lebih khusus perilaku anak dalam kondisi belajar di dalam
kelas. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat perkembangan sosial

23
emosional dan perilaku di dalam kelas yang meliputi keterampilan anak dalam
menyesuaikan diri, sikap anak, interaksi dengan teman dan guru.

Menurut Rose dan Holwey (2006) mengatakan bahwa dengan penggunaan


assesmen yang tepat, dapat memberikan berbagai dampak positif bagi peserta didik
seperti terjadinya keterlibatan peserta didik dalam kegiatan kelas, meningkatkan
kepercayaan diri terhadap peserta didik tentunya dalam aktivitas pembelajaran. Hasil
assesmen berupa informasi tentang pernyataan siswa dan tujuan assesmen itu sendiri
dapat dibuat dalam laporan tertulis yang memuat hasil karakteristik peserta didik
setelah dilakukan identifikasi dan tujuan assesmen. 13

Dari hasil assesmen yang sudah diberikan oleh pendidik dapat dijadikan
sebagai dasar Perancangan Program Individual (PPI), sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhan peserta didik. Oleh karena itu, tujuan pembelajaran dapat tercapai sesuai
dengan yang telah di pikirkan dan dirancang. 14

13
Rose, R., Holwey, M. The Practical Guide To Special Educational Needs In Inclusive
Primary Classroom. London: Thousand Oaks, 2006, SAGE Publications.
14
Dr. Rasmitadila, (2020). Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Depok: Rajawali Pers, 57.

24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Identifikasi merupakan sebuah kegiatan awal untuk mengetahui dan
mendeteksi anak berkebutuhan khusus, menandai sesuatu, yang dimaknai sebagi
proses penjaringan atau proses menemukan anak berkebutuhan khusus apakah
mengalami hambatan atau kelainan, atau proses pendeteksian dini pada anak
berkebutuhan khusus.
Pengamatan yang dilakukan dengan seksama mengenai kondisi dan
perkembangan anak tentu diperlukan dalam menggunakan identifikasi anak-anak
berkebutuhan khsusus di sekolah oleh pendidik, guru konselor sekolah bisa memulai
dengan cara pengamatan, pencatatan, dan pendokumentasian dan mencari informasi
dengan cermat serta sistematis untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat tentang
apakah anak mengalami kelainan atau memiliki hambatan dalam pertumbuhan atau
perkembangannya dari segi fisik, intelektual, sosial emosional, tingkah laku serta
mampu mengidentifikasi keadaan akademik peserta didik yang satu dengan lainnya.
program penempatan pendidikan anak dengan gangguan pendengaran dan
bicara pasca assesmen dilakukan adanya beberapa kemungkinan, semuanya
tergantung pada kemampuan dan ketidakmampuan anak dan lingkungannya, yaitu
anak dapat ditempatkan di: kelas biasa, kelas biasa dengan tambahan bimbingan
khusus oleh guru kelas, kelas biasa namun sebagian hari, kelas khusus sebagian hari
kelas reguler untuk sebagian hari yang lain, kelas khusus sepanjang hari, sekolah
khusus sepanjang hari dan memperoleh pelayanan pendidikan di tempat tinggal anak.

25
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrachman Mulyono, (2009). Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar, (Cetakan Kedua).
Jakarta: Depdikbud kerja sama dengan Rineka Cipta.
Armiya Nur Izzah, Identifikasi Siswa Berkebutuhan Khusus dan Pelayanan Sekolah Inklusif
di Kecamatan Kota Blora, Journal of Industrial Engineering & Management
Research, Vol. 3 No.1

Dr. Endang Pudjiastuti, Dr. Sujarwanto. (2019), Bimbingan dan Konselling Anak
Berkebutuhan Khusus, Perpustakaan Nasional RI, Surabaya: CV. Jakad Media
Publishing.

Hallahan, DP. (2006), Exceptional Learnears: Introduction to Special Education, New


Jersey: Pearson.

Hays, P.A. (2007). Addressing Cultural Complexities in Practice: Assesment, Diagnosis and
Therapy. Washngton, Dc: American Psicology Association.

Herdina Tyas Lestari, Pengembangan Panduan Identifikasi Assesmen Siswa Berkebutuhan


Khusus di SDN Inklusi X Surabaya, Jurnal Widya warta, Universitas Katolik Widya
Mandala Madiun, 2015.

Ibnu Syamsi, Haryanto, Pengantar Identifikasi dan Assesmen: Suatu Tinjauan Anak
Berkebutuhan Khusus, 2019, Perpustakaan Nasional RI, Yogyakarta: UNY Press.

Kauffman, JM., Exceptional Children: Introduction to Special Education, 2008, Buston:


Houghton Mufflin Co.

Loughlin, MC. (2003), Assesing Special Student Columbus:Charles E. Merrill.

Muchamad Irvan, Urgensi Identifikasi dan Assesmen Anak Berkebutuhan Khusus Usia Dini,
Jurnal Ortopedagogical, 2020, Vol. 6, No. 2.

Munawir Yusuf, Edy Legowo, (2007), Mengatasi Kebiasaan Buruk Anak Dalam Belajar
Melalui Pendekatan Modifikasi Perilaku, Jakarta: Depdiknas.

Rose, R., Holwey, M. (2006), The Practical Guide To Special Educational Needs In Inclusive
Primary Classroom. London: Thousand Oaks, SAGE Publications.

Viola E. Cardwell. (2002), Cerebral Palsy, An Anvances in Understanding and Care, New
York: Assosiation For the Aid of Crippled Children.

26

Anda mungkin juga menyukai