Dosen Pengampu
Disusun oleh:
Penyusun makalah
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah Hak Asasi Manusia yang mendasar (basic human right),
hal ini tertuang dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia pada tahun 1948. Dengan
demikian maka semua anak berhak memperoleh pendidikan untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya, tidak terkecuali anak yang berkebutuhan khusus. Anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam proses pertumbuhan maupun
perkembangannya mengidap kelainan atau penyimpangan fisik, mental intelektual,
sosial dan emosi dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga
membutuhkan layanan pendidikan khusus (Departemen Pendidikan Nasional, 2009). 1
Pentingnya layanan pendidikan inklusif dan mulai dideklarasikan pada tahun
2004 di Bandung. Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan
inklusi sebagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan semua anak
berkelainan dilayani dengan baik di sekolah-sekolah terdekat, di kelas regular
bersama dengan teman seusianya. Seiring dengan penyelenggaraan pendidikan
inklusif di Indonesia ada ssejumlah persoalan yang muncul terkait kesiapan sekolah
dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif mulai dari level manajemen maupun
sumber daya manusia (pendidik) dan siswa.
Identifikasi siswa berkebutuhan khusus adalah upaya seseorang (orang tua,
pendidik, tenaga kependidikan lainnya) untuk melakukan proses penjaringan bagi
siswa yang mengalami kelainan sedari awal mungkin dalam rangka pemeberian
layanan pendidikan yang sesuai. Hasil dari proses identifikasi nantinya akan
ditemukan peserta didik dengan kebutuhan khusus yang perlu mendapat layanan
pendidikan secara khusus untuk di tindak lanjuti.
Dalam rangka mencapai keberhasilan dalam pendidikan inklusif, seorang
pendidik layaknya mampu mengenali dan memantau perkembangan anak dalam usia
sekolah, dengan mulai mengidentifikasi kondisi-kondisi seperti apakah anak
1
Armiya Nur Izzah, Identifikasi Siswa Berkebutuhan Khusus dan Pelayanan Sekolah Inklusif
di Kecamatan Kota Blora, Journal of Industrial Engineering & Management Research, Vol. 3 No.1
3
mengalami kemajuan atau keterlambatan dalam pembelajaran, penurunan intensitas
untuk berangkat sekolah dengan apa alasan yang mendasarinya dan lain-lain. Jika
tidak diberikan perhatian khusus, maka akan mengakibatkan layanan pendidikan yang
berisiko merugikan peserta didik. Untuk itu, kegiatan identifikasi dan pemberian
assesmen yang tepat akan menimbulkan pemberian layanan yang optimal dan sesuai
pada peserta didik.
B. Tujuan
Makalah ini dibuat bertujuan supaya pembaca mengetahui arti dan langkah
identifikasi berkubutuhan khusus dan mengetahui pemberian assesmen yang tepat
bagi anak berkebutuhan khusus untuk memberikan layanan pendidikan yang tepat dan
peserta didik mampu mendapatkan hak belajar seperti peserta didik pada umumnya
tanpa adanya diskriminasi.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
a. Kondisi fisik. Kondisi fisik ini mencakup anggota tubuh, panca indera
(organik dan fungsional), dalam arti apakah kondisi yang ada memang
mempengaruhi fungsinya atau tidak.
b. Kemampuan intelektual. Kemampuan intelektual dalam konteks anak
berkebutuhan khusus adalah kemampuan anak untuk melaksanakan tugas
akademik di sekolah, mampu mengikuti pelajaran yang diberikan oleh
pendidik.
c. Kemampuan berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi anak dalam
memahami dan mengekspresikan pendapatnya dalam saat berinteraksi pada
lingkungan sekitarnya, baik secara lisan, ucapan maupun tulisan.
d. Sosial dan emosional. Dalam konteks ini aktivitas sosial yang dilakukan
seorang anak dalam kegiatan interaksinya dengan teman sebaya atau dengan
orang dewasa, baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan luar sekolah.
Berikut beberapa contoh tingkatan hasil kegiatan identifikasi (khusus dalam kesulitan
belajar) yang diuraikan oleh Forness dan Kavale, 2001.
Setelah identifikasi dilakukan, hasil observasi dan data peserta didik sudah dianalisis,
pendidik memiliki hasil yang akurat dari yang telah diidentifikasinya, langkah
berikutnya yaitu dapat memberikan rekomendasi kepada psikolog atau ahli
2
Forness, S. R., dan Kavale, K. A. (2001). Ignoring The Odds: Hazards of Not Adding The
New Medical Model To Special Education Decisions. Behavioral Disorders, Halaman: 281.
6
neuropsikolog guna melakukan assesmen sebagai tindak lanjut pada peserta didik
untuk mengetahui tingkat kebutuhan khusus selanjutnya. 3
3
Dr. Rasmitadila, (2020). Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Depok: Rajawali Pers, 56.
7
diagnosis yang sudah dilaksanakan di awal, program pembelajaran individu
serta metode pembelajaran yang menjadi acuan pembelajaran selama ini.
Dengan lima tujuan khusus diatas, identifikasi perlu dilakukan lagi secara
terus menerus oleh pendidik, jika diperlukan dapat meminta bantuan atau membuat
kerja sama dengan tenaga professional yang dekat (ahli) dengan masalah yang
dihadapi oleh anak berkebutuhan khusus.
4
Kauffman, JM., Exceptional Children: Introduction to Special Education, 2008, Buston:
Houghton Mufflin Co.
8
a) Assesmen akademik, sensoris, motorik, psikologis, sosial dan
emosional.
b) Assesmen akademik minimal mencakup aspek kemampuan membaca,
menulis dan berhitung.
c) Assesmen sensoris dan motorik. Dalam kegiatan sensoris bertujuan
untuk melihat gangguan penglihatan, pendengaran.
d) Assesmen psikologis, emosi dan sosial, assesmen psikologis digunakan
untuk melihat dan mengetahui potensi kecerdasan dan kepribadian
anak, dan dapat meningkatkan tingkat emosi dan sosial nya juga secara
bersamaan.
2. Perencanaan pembelajaran
Dasar dari perencanaan pembelajaran adalah membuat program
pembelajaran berdasarkan hasil assesmen. Langkah selanjutnya menganalisa
kurikulum. Dengan menganalisa kurikulum, maka pendidik dapat memilih
bidang studi yang perlu dikembangkan dan di sesuaikan. Kemudian hasil
analisis kurikulum ini akan di buat searah dengan program hasil assesmen
sehingga tersusun sebuah program yang untuh berupa Program Pembelajaran
individu (PPI).
Dalam rangka penyusunan PPI, dalam sekolah, tidak sekurang-
kurangnya terdiri atas kepala sekolah, orang tua/wali murid, guru pembimbing
yang sesuai dengan anak serta penentuan tugas dan tanggung jawab
pelaksanaan kegiatan assesmen.
3. Pelaksanaan pembelajaran
Loughlin (2003) berpendapat bahwa pelaksanaan pembelajaran dapat
dilakukan dengan cara individualisasi pengajaran; artinya anak mampu belajar
pada topik dan tema yang sama, waktu dan ruang yang sama. Namun dengan
materi yang berbeda-beda. Cara lain dari proses belajar secara individual
adalah anak diberi layanan secara tersendiri dengan bantuan guru khusus.
Dalam proses pembelajaran seperti ini, dapat dilakukan secara terpisah atau
masih bida di dalam kelas tersebut selama tidak menimbulkan ketidak
nyamanan situasi belajar secara keseluruhan.
4. Pemantauan kemajuan belajar dan evaluasi
Untuk mengetahui keberhasilan seorang pendidik dalam rangka
membantu stimulasi atau mengatasi kesulitan belajar anak, perlu dilakukan
9
pemantauan secara sistematis guna kemajuan atau bahkan kemunduruan
belajar anak. Jika peserta didik mengalami kemjuan belajar, maka pendekatan
yang sudah dilakukan pendidik perlu dipertahankan, namun jika sebaliknya
maka perlu ditinjau kembali, dari segi meteri, pendekatan, media belajar dan
lainnya yang berkaitan untuk memperbaiki hambatan atau kekurangan yang ia
miliki.
5
Loughlin, MC. Assesing Special Student Columbus:Charles E. Merrill. (2003), Bab 11, 292.
6
Browder, D. M. (2001). Curriculum and Teaching Strategies For Students With Behavioral
Disorders. Englewood Cliffs. Nj: Prentice-Hail.
10
kematangan, bhasa, motorik, emosi, prestasi akademik dan non akademik, dan aspek
lain yang sesuai dengan keperluannya. Karena sifat dari assesmen lebih detail
daripada tahap identifikasi, maka alat yang digunakan untuk assesmen lebih terstandar
dan dilakukan oleh tenaga profesional bagi mereka yang memiliki kualifikasi. 7
Menurut Kitano dan Kibry (1986) dalam Mulyono (2009) menjelaskan ada lima
langkah dalam merumuskan tim PPI antara lain sebagai berikut.
7
Hays, P.A. (2007). Addressing Cultural Complexities in Practice: Assesment, Diagnosis and
Therapy. Washngton, Dc: American Psicology Association.
8
Hallahan, DP., Exceptional Learnears: Introduction to Special Education, 2006, New
Jersey: Pearson.
11
1. Membentuk tim PPI yang terdiri atas guru kelas, guru pembelajaran, kepala
sekolah, guru pendamping khusus, orangtua dan tenaga profesional layanan
terkait. Tenaga ahli yang terkait seperti dokter anak, dokter spesialis, terapis
okupasi, penyedia pendidikan jasmani adaptif dan psikolog.
2. Membuat penilaian terkait dengan kelemahan, kekuatan, minat dan bakat
peserta dididk dari enam aspek perkembangan anak.
3. Mengembangkan tujuan jangka panjang dan jangka pendek.
4. Menentukan metode evaluasi yang tepat untuk digunakan mengukur kemajuan
peserta didik.9
Oleh karena itu, proses assesmen sampai dengan penyusunan program layanan khusus
butuh keterlibatan satu tim multidisipliner, terdiri atas:
1. Tenaga kependidikan
a. Guru kelas. Guru kelas diharapkan mampu mengumpulkan informasi
yang berkaitan dengan prestasi akademik dan keadaan sosial emosional
anak dengan bantuan tes formal maupun alat pengumpul data
informasi yang lainnya.
b. Guru PLB. Guru PLB dapat membantu untuk mengumpulkan data
prestasi anak dalam kondisi yang lebih khusus dan individual.
2. Orang tua dan anak
Orang tua dan anak mampu memberikan informasi yang relevan tentang
semua aspek perkembangan anaknya.
3. Tenaga bantu kependidikan
a. Psikolog. Psikolog peranannya sangat penting dalam menetapkan
apakah memang memerlukan layanan pendidikan khusus, dan yang
terlebih penting untuk menafsirkan beberapa tes (Intelegensi,
kepribadian, prestasi belajar).
b. Ahli bina bahasa dan wicara. Ahli bina bahasa dan wiccara bertugas
mendiagnosa dan yang akan membina anak untuk menunjukkan
gangguan bahasa dan wicara.
4. Tenaga yang berkaitan dengan perkembangan motorik
9
Abdulrachman Mulyono, Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar, 2009, (Cetakan Kedua).
Jakarta: Depdikbud kerja sama dengan Rineka Cipta. N., 11
12
Ahli terapi fisik dan terapi okupasi bertugas untuk mengetahui semua
kemampuan fungsi motorik yang tidak dimiliki oleh anak untuk mendapatkan
terapi, baik motorik kasar maupun halus.
5. Tenaga yang berkaitan dengan kondisi sosial emosional
Guru bimbingan konselling dan pekerja sosial mampu melakukan
bimbingan pada anak berkebutuhan khusus. Mereka akan melakukan seperti
kunjungan rumah untuk melihat lebih banyak tentang latar belakang
kehidupan anak yang sebenarnya terjadi.
Hasil assesmen inilah yang nantinya akan di analisa oleh tim multidisiplin
untuk menentukan jenis intensitas layanan yang diperlukan oleh anak, dan jenis
penempatan anak di sekolah. Anak berkebutuhan khusus harapannya mampu
memperoleh kualitas layanan yang sesuai dengan kebutuhan individual anak.
13
Observasi adalah teknik assesmen yang bernilai tinggi. Tujua
observasi adalah mengenal peserta didik, menentkan masalah
penyebab tingkah laku, dan mampu menjelaskan pada (orang tua, guru
pendamping, pengasuh dan orang terdekat anak) masalah tingkah laku
anaknya.
c) Tes formal dan informal
Tes formal dirancang untuk kelompok maupun individu. Ada
tiga jenis tes formal antara lain: tes intelegensi, tes bakat, dan tes
ketajaman penglihatan.
d) Penilaian klinis
Penilaian klinis merupakan penilaian yang didasari oleh
pengetahuan, pengalaman dan data diagnosa. Penilaian klinis bersifat
penilaian yang benar dipahami, bukan penilaian yang di perkirakan.
14
Jenis kelamin:
Pendidikan:
Alamat:
Penyebab kebutaan:
Sejak kapan mengalami kebutaan:
b) Kemampuan yang dimiliki anak
Kemampuan keterampilan dasar, bagaimana reaksi anak?
Anak dapat mandiri dalam mengerjakan sesuatu tanpa
perintah?
Dengan gerakan tangan, anak baru mengerti perintah?
Anak menirukan membuka sesuatu, setelah guru terlebih
dahulu melakukannya?
Kemampuan dalam bidang akademik, Kemampuan dalam
bidang akademik meliputi berbahasa, menulis, membaca,
berhitung sehingga guru dapat menentukan program pengajaran
yang sesuai untuk anak.
Kemampuan bekerja dan berkarya, anak dilihat dari tingkat
potensi yang ia miliki atau disenangi sehingga program yang
dibuat sesuai dengan kemampuan daan bakat anak.
3. Kebutuhan
Setelah mengidentifikasi anak berkebutuhan khusus, selanjutnya ia
dipisah mana kebutuhan primer dan mana kebutuhan sekunder dalam arti
kebutuhan tersebut dapat ditunda dan tidak mengakibatkan hal yang
berbahaya. Tujuan diadakan pemeriksaan tunarungu dan tunawicara adalah
untuk mengetahui tingkat ketajaman pendengaran dan mennetukan tingkatan
fungsi daya dengar anak. Langkah dalam assesmen yang harus dilakukan
antara lain sebagai berikut.
a. Mengukur berapa jarak antara telinga anak dengan suara benda yang
disekitarnya atau yang digenggamnya.
b. Bagaimana anak mendengarnya.
c. Menggunakan kedua telinga sekaligus.
d. Hanya menggunakan telinga sebalah kiri, lalu selanjutnya telinga
sebelah kanan.
15
e. Mula-mula menggunakan telinga sebelah kanan.
f. Menggerakkan kepalanya dalam mendengarkan suara benda sampai
meneukan titik suara yang dimaksud.
g. Bagaimana dalam menangkap suara
h. Mampu mengerti suara yang didengar secara langsung
i. Mendengar secara bagian demi bagian
j. Mendengar tanpa arah
k. Komentar saat mendengar suara
l. Memberikan komentar
m. Menggerakkan tangan, kaki atau kepala sebagai respon apa yang ia
dengar
n. Bagaimana reaksi terhadap suara
o. Menghindari suara
p. Mencari sumber suara supaya terdengar jelas
q. Reaksi yang timbul lainnya
r. Membawa benda ke muluut dengan maksud untuk mengetahui benda
yang ia genggam.
s. Meraba benda yang ia genggam.
t. Mengubah posisi benda dari dekat menjadi jauh.
1. Terapis fisik.
2. Ahli terapis.
16
3. Psikolog, guru pendidikan khusus, terapi pendengaran
4. Konselor kejuruan.
5. Pekerja sosial medis
6. Perawat untuk aktivitas hidup anak sehari-hari.
Alat yang digunakan dalam memperoleh data melalui metode dalam kelas
adalah Chekcklist, yaitu dengan memberikan nilai pada setiap tingkah laku anak
10
Viola E. Cardwell, Cerebral Palsy, An Anvances in Understanding and Care, 2002, New
York: Assosiation For the Aid of Crippled Children.
11
Muchamad Irvan, Urgensi Identifikasi dan Assesmen Anak Berkebutuhan Khusus Usia
Dini, Jurnal Ortopedagogical, (2020),Vol. 6, No. 2, 110
17
dengan menggunakan pedoman nilai sesuai dengan kemampuan belajar anak. Dan
menggunakan skala nilai untuk melihat prestasi belajar anak.
18
sepanjang hari, sekolah khusus sepanjang hari dan memperoleh pelayanan pendidikan
di tempat tinggal anak.12
12
Munawir Yusuf, Edy Legowo, Mengatasi Kebiasaan Buruk Anak Dalam Belajar Melalui
Pendekatan Modifikasi Perilaku, 2007, Jakarta: Depdiknas.
19
Teknik assesmen anak tunadaksa dengan metode yaitu: inspeksi, palpasi,
perkusi, auskultasi dan uji laboratorium. Metode inspeksi adalah serangkaian kegiatan
yang dibuat oleh tenaga medis, untuk memeriksa secara lengkap anggota tubuh anak
tunadaksa. Metode palpasi merupakan cara assesmen yang lebih teliti karena
menggunakan peraba untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan. Metode
perkusi adalah metode assesmen yang digunakan dengan cara mengetuk suatu daerah
tubuh tertentu untuk menghasilkan suara yang di peroleh apakah nyaring, redup, datar
atau lain sebagainya.
Beberapa alat untuk pengamatan dalam assesmen anak tunadaksa seperti
checklist individual seperti berikut.
No. Gerakan anggota tubuh yang diamati Ya Tidak
1. Salah satu/kedua kaki bentuknya tidak normal
2. Salah satu/kedua kaki tidak berfungsi dengan baik
3. Gerakan tangan kaku/tremor/kejang
20
M. Assesmen anak gangguan emosi dan perilaku
Assesmen ketunalarasan hanya merupakan bagian dari proses assesmen secara
universal oleh tim multidisipliner. Mengukur perilaku merupakan proses assesmen
yang paling sulit dilakukan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
a. Terminologi yang dipakai dan di jadikan pedoman
Beberapa istilah yang sering dipakai, sering menyebabkan sulitnya
pemahaman, terkadang beberapa pakar menggunakan istilah gangguan emosi
dengan sebutan penyimpangan perilaku.
b. Definisi
Setelah adanya terminologi yang dipakai, maka muncul definisi. Variasi
definisi inilah yang nantinya menyebabkan kesulitan mengadakan assesmen
pada anak tunalaras. Adanya berbagai konsep tentang gangguan dan emosi
perilaku, setiap anak harus mendapatkan layanan yang layak, meskipun jika
dibandingkan dengan gangguan yang lain tuna laras lebih sulit, akan tetapi
harus dilakukan untuk memberikan layanan yang sesuai kepada mereka yang
mengalami tunalaras.
Kelompok besar yang dipakai (metode assesmen yang paling umum) yang digunakan
dalam proses assesmen anak tunalaras, yaitu: tes standar/baku, wawancara, observasi
dan identifikasi perilaku yang menyimpang.
1. Tes standar proses assesmen anak tunalaras
Dalam tes ini memungkinkan untuk mengetahui apa yang sudah
dipelajari oleh anak dalam perbandingan dengan teman sebayanya. Bentu tes
baku/satndar yang dapat digunakan oleh anak tunalaras adalah tes kepribadian
(Personality test). Tes intelegensi mengukur karakteristik psikis dasar anak
yang menyebabkan berbagai pole perilaku. Tes kepribadian dapat berupa
angket, melengkapi kalimat dan menulis bebas.
2. Wawancara proses assesmen anak tunalaras
Wawancara dilakukan bertujuan untuk mengetahui tentang anak, dapat
berupa percakapan terstruktur dan bebas dalam mengetahui perilaku tertentu.
Agar jawaban yang diberikan merupakan pernyataan yang benar, sebaiknya
pewawancara tetap bersifat objektif dalam menfasirkan hasil wawancara.
Kauffman (2008) mengidentifikasi hasil dan masalah yang diperoleh
dari metode wawancara, antara lain: mampu mengathui jenis perilaku yang
tidak dimiliki oleh anak, perilaku yang berlebihan (cemas, rendah diri), cara
21
anak merespon dirinya dengan tidak benar (tidak bisa menafsirkan perasaan
orang lain dengan benar), mengetahui cara lingkungan memperlakukan anak
dengan tidak tepat atau tepat (sering dimanjakan, sering ditegur, senang
membuat kesalahan).
3. Observasi proses assesmen anak tunalaras
Teknik observasi langsung dan merekam perilaku anak sudah
dikembangkan secara besar-besaran oleh para penggiat ilmu anak
berkebutuhan khusus. Meskipun masih ada masalah yang validitas, realibitas,
hal ini dapat dibuat dengan menggunakan realibitas antar observer. Dalam
observasi diharapkan mampu memeperoleh informasi tentang:
a. Frekuensi atau durasi tingkah laku anak.
b. Respon atau jenis tingkah laku yang menyimpang dan muncul.
c. Jenis perilaku yang baik yang mampu dilatihkan untuk mengurangi
perilaku penyimpangan pada anak.
Tiga poin diatas, observasi perilaku anak dapat ditugaskan kepada orang tua
dan orang terdekat anak untuk memantau perilakunya.
Ada beberapa contoh checklist yang telah di standarisasi. Sebagai perbandingan untuk
mengembangkan instrumen anak tunalaras, berikut deskripsi secara singkat model
assesmen anak tunalaras:
22
c. Diisi oleh teman sebaya: siapa diantara temanmu yang paling kau sukai
untuk belajar?
Hasil dari penilaian diatas, kemudian nantinya akan dijadikan satu profil yang
menunjukkan tingkat penyimpangan perilaku anak.
Dari 19 kategori ini, pendidik atau orang tua dapat memberi skala nilai
dari 1 sampai 5 dalam memberikan tanggapan perilaku diatas.
23
emosional dan perilaku di dalam kelas yang meliputi keterampilan anak dalam
menyesuaikan diri, sikap anak, interaksi dengan teman dan guru.
Dari hasil assesmen yang sudah diberikan oleh pendidik dapat dijadikan
sebagai dasar Perancangan Program Individual (PPI), sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhan peserta didik. Oleh karena itu, tujuan pembelajaran dapat tercapai sesuai
dengan yang telah di pikirkan dan dirancang. 14
13
Rose, R., Holwey, M. The Practical Guide To Special Educational Needs In Inclusive
Primary Classroom. London: Thousand Oaks, 2006, SAGE Publications.
14
Dr. Rasmitadila, (2020). Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Depok: Rajawali Pers, 57.
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Identifikasi merupakan sebuah kegiatan awal untuk mengetahui dan
mendeteksi anak berkebutuhan khusus, menandai sesuatu, yang dimaknai sebagi
proses penjaringan atau proses menemukan anak berkebutuhan khusus apakah
mengalami hambatan atau kelainan, atau proses pendeteksian dini pada anak
berkebutuhan khusus.
Pengamatan yang dilakukan dengan seksama mengenai kondisi dan
perkembangan anak tentu diperlukan dalam menggunakan identifikasi anak-anak
berkebutuhan khsusus di sekolah oleh pendidik, guru konselor sekolah bisa memulai
dengan cara pengamatan, pencatatan, dan pendokumentasian dan mencari informasi
dengan cermat serta sistematis untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat tentang
apakah anak mengalami kelainan atau memiliki hambatan dalam pertumbuhan atau
perkembangannya dari segi fisik, intelektual, sosial emosional, tingkah laku serta
mampu mengidentifikasi keadaan akademik peserta didik yang satu dengan lainnya.
program penempatan pendidikan anak dengan gangguan pendengaran dan
bicara pasca assesmen dilakukan adanya beberapa kemungkinan, semuanya
tergantung pada kemampuan dan ketidakmampuan anak dan lingkungannya, yaitu
anak dapat ditempatkan di: kelas biasa, kelas biasa dengan tambahan bimbingan
khusus oleh guru kelas, kelas biasa namun sebagian hari, kelas khusus sebagian hari
kelas reguler untuk sebagian hari yang lain, kelas khusus sepanjang hari, sekolah
khusus sepanjang hari dan memperoleh pelayanan pendidikan di tempat tinggal anak.
25
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrachman Mulyono, (2009). Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar, (Cetakan Kedua).
Jakarta: Depdikbud kerja sama dengan Rineka Cipta.
Armiya Nur Izzah, Identifikasi Siswa Berkebutuhan Khusus dan Pelayanan Sekolah Inklusif
di Kecamatan Kota Blora, Journal of Industrial Engineering & Management
Research, Vol. 3 No.1
Dr. Endang Pudjiastuti, Dr. Sujarwanto. (2019), Bimbingan dan Konselling Anak
Berkebutuhan Khusus, Perpustakaan Nasional RI, Surabaya: CV. Jakad Media
Publishing.
Hays, P.A. (2007). Addressing Cultural Complexities in Practice: Assesment, Diagnosis and
Therapy. Washngton, Dc: American Psicology Association.
Ibnu Syamsi, Haryanto, Pengantar Identifikasi dan Assesmen: Suatu Tinjauan Anak
Berkebutuhan Khusus, 2019, Perpustakaan Nasional RI, Yogyakarta: UNY Press.
Muchamad Irvan, Urgensi Identifikasi dan Assesmen Anak Berkebutuhan Khusus Usia Dini,
Jurnal Ortopedagogical, 2020, Vol. 6, No. 2.
Munawir Yusuf, Edy Legowo, (2007), Mengatasi Kebiasaan Buruk Anak Dalam Belajar
Melalui Pendekatan Modifikasi Perilaku, Jakarta: Depdiknas.
Rose, R., Holwey, M. (2006), The Practical Guide To Special Educational Needs In Inclusive
Primary Classroom. London: Thousand Oaks, SAGE Publications.
Viola E. Cardwell. (2002), Cerebral Palsy, An Anvances in Understanding and Care, New
York: Assosiation For the Aid of Crippled Children.
26