Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

ABK BERDASARKAN KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIKNYA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusi

Dosen Pengampu :

Dr. Sulistiyana, M.Pd

Disusun Oleh :

Aldi 1910125310088 (42)

Evi Hafizaturrahmi 1910125120018 (05)

Husna 1910125320068 (55)

M. Nasruddin Azharie 1910125210024 (12)

M. Syarqiel Ausath 1910125110028 (01)

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

BANJARMASIN

2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb.

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas limpahan
Karunia, Rahmat, dan Hidayah-Nya yang berupa kesehatan, sehingga makalah yang berjudul
“ABK Berdasarkan Klasifikasi & Karakteristiknya” dapat selesai tepat waktu. Makalah ini
dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala

2. Ibu Dr. Sulistiyana, M.Pd

3. Ayah dan Ibu tercinta

4. Teman-teman kelas 5C PGSD FKIP Universitas Lambung Mangkurat

Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok Mata Kuliah Pendidikan Inklusi. Kami
berusaha menyusun makalah ini dengan segala kemampuan, namun makalah ini
kemungkinan masih banyak memiliki kekurangan baik dari segi penulisan maupun segi
penyusunan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima
dengan senang hati demi perbaikan makalah selanjutnya.

Semoga makalah ini bisa memberikan informasi mengenai “ABK Berdasarkan


Klasifikasi & Karakteristiknya” dan bermanfaat bagi para pembacanya. Atas perhatian dan
kesempatan yang diberikan untuk membuat makalah ini kami ucapkan terima kasih.

Banjarmasin, Agustus 2021

Penyusun,

Kelompok 11

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................................iii
BAB I......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................4
A. Jenis-jenis Anak Berkebutuhan Khusus......................................................................................4
B. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus.......................................................................................8
C. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus................................................................................11
BAB III..................................................................................................................................................19
PENUTUP.............................................................................................................................................19
A. Kesimpulan..............................................................................................................................19
B. Saran........................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberadaan individu atau anak-anak berkebutuhan khusus, secara riil ada di sekolah
umum tidak hanya ada di sekolah luar biasa. Dalam kenyataannya, begitu banyak anak-anak
berkebutuhan khusus yang dapat kita temui di sekolah reguler terutama di sekolah-sekolah
tingkat rendah seperti di sekolah dasar.

Dengan adanya anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar, dimana ada


karakteristik anak berkebutuhan khusus yang tidak begitu mencolok secara signifikan,
menyebabkan guru mengalami kesulitan untuk mengenalinya. Sebut saja anak-anak
tunagrahita ringan dengan tingkat kecerdasan atau IQ 70/75 dan anak berkesulitan belajar
spesifik. Kondisi dan keberadaan anak ini di sekolah tentu secara fisik tidak akan
menampakkan perbedaannya secara signifikan. Untuk itulah guru-guru di sekolah dasar
tersebut mengalami kesulitan dalam mengenalinya. Dengan adanya ketidaktahuan guru
sekolah dasar dalam mengenali anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah atau di kelasnya,
maka hal ini akan berdampak bagi guru dalam memberikan layanan pembelajaran. Guru-guru
bahkan tidak jarang memberikan label bagi anak-anak tersebut dengan sebutan yang kurang
menguntungkan. Dengan adanya sebutan, persepsi yang salah dan akhirnya memberikan
layanan pendidikan yang salah atau kurang tepat bagi anak-anak berkebutuhan khusus maka
hal ini akan merugikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus tersebut. Dengan adanya
kesalahan persepsi dan kesalahan dalam memberikan layanan tentu akan berdampak dalam
pengembangan potensi dari anak-anak berkebutuhan khusus tersebut.

Model layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, yang sekarang ini
sedang banyak dicobakan adalah model inklusif. Pendidikan inklusif merupakan layanan
pendidikan yang mensyaratkan anak-anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan di
sekolah reguler. Penyelenggaraan pendidikan inklusif sangat memerlukan adanya
pengelolaan yang baik. Manajemen sekolah dan manajemen kelas sangat memengang
peranan penting dalam keberterimaan pendidikan inklusif di sekolah tersebut. Tanpa adanya
keterlibatan manajemen yang baik maka pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah tidak

1
akan terlaksana dengan baik pula.Keterlibatan manajemen sekolah tersebut antara lain: 1)
menyamakan persepsi oleh warga sekolah yang dimotori oleh kepala sekolah atau wakil
kepala sekolah urusan manajemen inklusif di sekolah tersebut, 2) menyusun program sekolah
atau program kelas, 3) melaksanakan implementasi, 4) melakukan pendampingan, dan 5)
melakukan sosialisasi ataupun publikasi. Dengan adanya keseriusan keterlibatan manajemen
sekolah, maka penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah tersebut dapat terselenggara
dengan baik. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tersebut dapat memberikan
keramahan dan keberterimaan bagi anak-anak berkebutuhan khusus

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja jenis-jenis anak berkebutuhan khusus ?
Jenis jenisnya :
a. Tunanetra
b. Tunarungu
c. Tunagrahita
d. Lamban Belajar (Slow Learner)

2. Bagaimana klasifikasi anak berkebutuhan khusus?


a. Tunanetra
b. Tunarungu
c. Tunagrahita
d. Lamban Belajar (Slow Learner)

3. Bagaimana karakteristik anak berkebutuhan khusus?


a. Tunanetra
b. Tunarungu
c. Tunagrahita
d. Lamban Belajar (Slow Learner)
e.

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis anak berkebutuhan khusus ?

2
Jenis jenisnya :
a. Tunanetra
b. Tunarungu
c. Tunagrahita
d. Lamban Belajar (Slow Learner)

2. Untuk memahami bagaimana klasifikasi anak berkebutuhan khusus?


a. Tunanetra
b. Tunarungu
c. Tunagrahita
d. Lamban Belajar (Slow Learner)

3. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik anak berkebutuhan khusus?


a. Tunanetra
b. Tunarungu
c. Tunagrahita
d. Lamban Belajar (Slow Learner)

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Jenis-jenis Anak Berkebutuhan Khusus


Konsep anak berkebutuhan khusus memiliki arti yang lebih luas dibandingkan dengan
pengertian anak luar biasa. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam pendidikan
memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda pada anak umumnya. Anak berkebutuhan
khusus ini mengalami hambatan dalam belajar dan perkembangan. Oleh karena itu, anak-
anak tersebut memerlukan layanan yang sesuai dengan kebutuhan belajar masing-masing
anak. Secara umum rentangan anak berkebutuhan khusus meliputi dua kategori yaitu: anak
berkebutuhan khusus yang bersifat permanen yaitu akibat dari kelainan tertentu dan anak
berkebutuhan khusus yang bersifat temporer yaitu anak-anak yang mengalami hambatan
belajar dan perkembangan yang disebabkan kondisi dan situasi lingkungan. Setiap anak
berkebutuhan khusus, baik yang bersifat permanen maupun temporer memiliki
perkembangan hambatan belajar dan kebutuhan belajar yang berbeda-beda.

Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak disebabkan oleh tiga hal: 1. Faktor
lingkungan 2. Faktor dalam diri anak sendiri 3. Kombinasi antara faktor lingkungan dan
faktor dalam diri anak. Setiap anak dengan kebutuhan khusus memiliki ciri-ciri tertentu yang
berbeda dengan antara yang satu dengan yang lainnya, yang termasuk kedalam ABK antara
lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, lamban
belajar, anak autis, anak berbakat dan anak hiperaktif. (Delphie, 2009)

Tujuan tingkat pendidikan dasar adalah untuk membentuk fondasi dasar kompetensi
baik itu menyangkut kecerdasan pengetahuan, keterampilan maupun kepribadian dan karakter
untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya dan hidup mandiri di masyarakat.
Kegagalan dalam pendidikan dasar akan mempengaruhi kompetensi siswa pada tataran
pendidikan selanjutnya. di Sambangan yang keduanya memiliki anak berkebutuhan khusus di
lembaga masing-masing (melalui program pendidikan inklusi) menyatakan bahwa jumlah
anak berkebutuhan khusus yang ingin diterima di lembaga mereka semakin banyak dan
bertambah setiap tahun yang mengindikasikan bahwa jumlah Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) yang diidentifikasi semakin banyak setiap tahunnya. Jenis ABK yang sering

4
didaftarkan di sekolah mereka adalah anak-anak yang secara fisik sehat tetapi mengalami
masalah dalam hal perhatian (tipe ADD), hiperaktivitas (tipe ADHD), fungsi sosial (tipe
Autistik), dan mereka yang mengalami masalah secara akademik (mereka yang kesulitan
membaca dyslexia, siswa yang lambat dalam perkembangan akademisnya).

Mereka mendaftar ke kedua lembaga tersebut karena menurut masyarakat, kedua


lembaga tersebut yang dipercaya masyarakat bisa dan mau menangani siswa ABK sedangkan
Sekolah Dasar pada umumnya kebanyakan kurang memahami tentang ABK, dan sering ABK
dianggap sebagai siswa yang nakal terutama yang jenis ADHD, sehingga sering tidak
mendapat penanganan yang baik. Kecendrungan tentang semakin banyak anak yang dikenal
sebagai berkebutuhan khusus juga dinyatakan dalam Padmadewi dan Artini (2017).

Ditegaskan dalam penelitian tersebut bahwa ada kecendrungan orang tua lebih
menyukai dan memilih untuk memasukkan anak mereka ke sekolah biasa, padahal
pemerintah Indonesia sudah menyediakan sekolah khusus untuk ABK yaitu Sekolah Luar
Biasa (SLB). Tetapi jumlah SLB di Bali Utara sangat sedikit (hanya 2 sekolah), yang
melayani semua anak berkebutuhan khusus untuk semua jenis ABK untuk semua tingkatan
dari TK sampai dewasa (SMA/SMK) di kabupaten Buleleng. Pemahaman masyarakat umum
tentang SLB adalah kebanyakan tentang siswa yang cacat secara fisik. Orang tua, meskipun
mengetahui bahwa SLB bisa menerima semua jenis ABK tetapi orang tua lebih suka
memasukkan anak ke sekolah reguler (sepanjang memungkinkan) karena jika dimasukkan ke
SLB dipastikan anak mereka akan mendapat label “cacat”. Kecendrungan ini disinyalir yang
melandasi kenapa lebih banyak orang tua ABK memilih untuk mendaftarkan anak mereka di
sekolah normal.

Masalah pendidikan dibidang penanganan Anak Berkebuthan Khusus sangat penting


untuk ditangani karena mereka adalah bagian dari warga negara Indonesia dan negara
menjamin kelangsungan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan sama seperti warga
negara Indonesia lainnya. Oleh sebab itu, disamping melalui SLB, pemerintah membuat
kebijakan bahwa penanganan ABK dapat ditangani melalui pendidikan inklusi. Peraturan
Menteri Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki

5
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan /atau bakat istimewa menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan pendidikan inklusi adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran
dalam satu lingkungan pendidikan secara bersamasama dengan peserta didik pada umumnya.

Tujuannya adalah 1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua


peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, dan 2) mewujudkan penyelenggaraan
pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta
didik. Dengan adanya Peraturan Menteri tersebut, maka setiap sekolah memiliki kewajiban
untuk melaksanakan pendidikan inklusi untuk memberikan pendidikan yang layak dan sesuai
dengan kondisi siswa ABK yang ada di sekolah mereka. Kepala Sekolah dan guru-guru harus
memiliki pemahaman tentang ciri-ciri anak berkebutuhan khusus, serta tatacara
penanganannya.

Pengetahuan ini sangat perlu bagi sekolah karena anak berkebutuhan khusus itu tidak
hanya mereka yang cacat fisik tetapi juga termasuk mereka yang sangat pintar, punya bakat
khusus, termasuk pula siswa yang sangat lambat dalam memahami pelajaran. Mereka ini
perlu dibantu secara khusus agar mereka bisa tumbuh dan berkembang secara maksimal.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa anak ABK terutama anak yang lambat “slow learner”
sering diabaikan, demikian juga anak yang hiperaktif sering dianggap sebagai anak yang
nakal.

Secara khusus tujuan yang ingin dicapai adalah:menumbuhkan kesadaran dan


pemahaman guru tentang Anak Berkebutuhan Khusus dan ciri-cirinya, dan mengetahui cara
penanganan yang bisa dilakukan sekolah dalam melayani Anak Berkebutuhan Khusus yang
ada di sekolah.

6
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) diartikan sebagai anak yang mengalami
keterbatasan atau keluarbiasaan, baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional,
yang berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya
dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia dengannya. Jenis ABK termasuk di
dalamnya adalah sebagai berikut (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Republik Indonesia (2013).

1) Tunanetra :Anak disabilitas penglihatan adalah anak yang mengalami gangguan


daya penglihatan berupa kebutaan menyeluruh (total) atau sebagian (low vision).

2)Tunarungu : Anak disabilitas pendengaran adalah anak yang mengalami gangguan


pendengaran, baik sebagian ataupun menyeluruh, dan biasanya memiliki hambatan dalam
berbahasa dan berbicara.

3) Tunagrahita :Anak disabilitas intelektual adalah anak yang memiliki intelegensia


yang signifikan berada dibawah rata-rata anak seusianya dan disertai dengan
ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku, yang muncul dalam masa perkembangan.

4) Anak lamban belajar atau slow learner adalah anak yang memiliki potensi
intelektual sedikit dibawah rata-rata tetapi belum termasuk gangguan mental. Mereka butuh
waktu lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun
non akademik.

Adapun jenis jenis yang lainnya yaitu:

1) Anak disabilitas fisik adalah anak yang mengalami gangguan gerak akibat
kelumpuhan, tidak lengkap anggota badan, kelainan bentuk dan fungsi tubuh atau anggota
gerak.

2) Anak disabilitas sosial adalah anak yang memiliki masalah atau hambatan dalam
mengendalikan emosi dan kontrol sosial, serta berperilaku menyimpang.

3) Anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) atau


attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD) adalah anak yang mengalami gangguan
perkembangan, yang ditandai dengan sekumpulan masalah berupa gangguan pengendalian

7
diri, masalah rentang atensi atau perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas, yang
menyebabkan kesulitan berperilaku, berfikir, dan mengendalikan emosi.

4) Anak dengan gangguan spektrum autisma atau autism spectrum disorders (ASD)
adalah anak yang mengalami gangguan dalam tiga area dengan tingkatan berbeda-beda, yaitu
kemampuan komunikasi dan interaksi sosial, serta polapola perilaku yang repetitif dan
stereotipi.

5) Anak dengan gangguan ganda adalah anak yang memiliki dua atau lebih gangguan
sehingga diperlukan pendampingan, layanan, pendidikan khusus, dan alat bantu belajar yang
khusus.

6) Anak dengan kesulitan belajar khusus atau specific learning disabilities adalah
anak yang mengalami hambatan atau penyimpangan pada satu atau lebih proses psikologis
dasar berupa ketidakmampuan mendengar, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja
dan berhitung.

7) Anak dengan gangguan kemampuan komunikasi adalah anak yang mengalami


penyimpangan dalam bidang perkembangan bahasa wicara, suara, irama, dan kelancaran dari
usia rata-rata yang disebabkan oleh faktor fisik, psikologis dan lingkungan, baik reseptif
maupun ekspresif.

8) Anak dengan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa adalah anak yang
memiliki skor inteligensi yang tinggi (gifted), atau mereka yang unggul dalam bidang-bidang
khusus (talented) seperti musik, seni, olah raga, dan kepemimpinan

Semua jenis ABK tersebut memerlukan penanganan yang berbeda dari anak biasa
lainnya yang perlu disesuaikan dengan kondisi mereka masing-masing. Perbedaan yang
dimiliki oleh ABK baik yang menyangkut karakteristik mereka maupun kebutuhan mereka
dibanding anak-anak pada umumnya memerlukan bentuk penanganan dan layanan khusus
yang sesuai dengan kondisi mereka. (Chamidah, n.d.).

B. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus


Menurut klasifikasi dan jenis kelainan, anak berkebutuhan dikelompokkan ke dalam
kelainan fisik, kelainan mental, dan kelainan karakteristik sosial

a. Kelainan Fisik

8
Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ tubuh
tertentu. Akibat kelainan tersebut timbul suatu keadaan pada fungsi fisik tubuhnya
tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal. Tidak berfungsinya anggota
fisik terjadi pada: alat fisik indra, misalnya kelainan pada indra pendengaran
(tunarungu), kelainan pada indra penglihatan (tunanetra), kelainan pada fungsi
organ bicara (tunawicara) alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot dan tulang
(poliomyelitis), kelainan pada sistem saraf di otak yang berakibat gangguan pada
fungsi motorik (cerebral palsy), kelainan anggota badan akibat pertumbuhan yang
tidak sempurna.

b. Kelainan Mental
Anak kelainan dalam aspek mental adalah anak yang memiliki penyimpangan
kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia sekitarnya.
Kelainan pada aspek mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan
mental dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan mental dalam arti kurang
(subnormal).

c. Kelainan Perilaku Sosial


Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami
kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tata 51 tertib, norma
sosial, dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam kelainan
perilaku sosial ini, misalnya kompensasi berlebihan, sering bentrok dengan
lingkungan, pelanggaran hukum/norma maupun kesopanan.

Dapat disimpulkan dari pembahasan di atas klasifikasi anak berkebutuhan


khusus itu terdapat beberapa kelainan yang terjadi pada anak, oleh sebab itu
perlunya peranan penting dari guru dan orangtua dalam memberikan stimulus dan
rangsangan kepada anak, sehingga anak mampu menyeseuaikan diri dengan
lingkungan sekitarnya, dan perlu adanya penangangan khusus sehingga terhindar
dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Menurut pendapat Garnida klasifikasi ABK menurut Garnida dapat dijelaskan


sebagai berikut:

9
1). Tunanetra

Menurut Pratiwi dan Afin, 2013: 18) Kebutaan merupakan salah satu klasifikasi
pada anak berkebutuhan khusus yang ditandai dengan hambatan indera penglihatan
. Garnida (2015: 5) mengemukakan bahwa anak tunanetra digolongkan menjadi dua,
yaitu anak tunanetra (low vision) dan anak tunanetra (buta total).

2). Tunarungu

Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya
sehingga mengalami kesulitan untuk berkomunikasi secara
lisan. Berdasarkan tingkat fungsi telinga dalam mendengar suara, gangguan
pendengaran dibagi menjadi
empat kategori sebagai berikut:
a.Gangguan pendengaran ringan (gangguan pendengaran ringan).
b.Gangguan pendengaran sedang (gangguan pendengaran sed
ang).
c.Gangguan pendengaran yang parah (gangguan pendengaran yang parah).
d.Gangguan pendengaran yang berat.

3). Tunagrahita
Anak tunagrahita adalah anak yang justru mengalami hambatan dan retardasi
mental
- intelektual di bawah rata
- rata, sehingga mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya.
Seseorang dikatakan retardasi mental yang memiliki tiga indikator, yaitu:

(1)keterlambatan fungsi kecerdasan secara umum atau dibawah rata-rata,


(2) ketidakmampuan dalam perilaku sosial / adaptif, dan
(3) hambatan perilaku
sosial / adaptif yang terjadi pada saat perkembangan. usia, yaitu sampai dengan
usia 18 tahun. Berdasarkan tingkat kecerdasannya, anak tunagrahita dikelompokkan
menjadi empat, yaitu:
a.Retardasi mental ringan yaitu seseorang yang memiliki IQ 55-70

10
b.Retardasi mental sedang, seseorang dengan IQ 40-55
c.Retardasi mental parah, seseorang yang memiliki IQ 25-40
d.Retardasi mental sangat parah, yaitu seseorang yang memiliki IQ <25
e.Anak dengan kelainan tingkah laku (Tunalaras)

4). Lamban belajar


Anak lamban belajar atau slow learner adalah anak yang memiliki potensi intelektual
sedikit dibawah rata-rata tetapi belum termasuk gangguan mental. Mereka butuh waktu
lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non
akademik.

C. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus


1. Tunanetra

Istilah anak tunanetra secara mendasar dapat diartikan sebagai anak-anak yang
mengalami gangguan pada fungsi penglihatan. Kita perlu mendefinisikan ketunanetraan
berdasarkan fungsi atau kemampuan penglihatan yang tersisa. Hal ini bertujuan untuk
membantu mempermudah dalam penyediaan layanan baik dalam bentuk akademik maupun
layanan tambahan sebagai keterampilan pendamping. Dengan mendefinisikan ketunanetraan
sesuai dengan tingkatan fungsi penglihatan, maka kita tidak akan mengartikan secara
mendasar bahwa anak tunanetra adalah anak yang mengalami kebutaan.

Beberapa ahli seperti Djaja Rahardja dan Sujarwanto (2010) serta Gargiulo (2006)
mendefinisikan ketunanetraan menjadi 3 kategori yaitu:

1) Buta
Seorang anak dikatakan mengalami kebutaan apabila mereka hanya memiliki sedikit
persepsi tentang rangsangan cahaya yang diterima atau mungkin tidak mempu
mengidentifikasi apapun dengan kemampuan penglihatannya dengan kata lain disebut
dengan buta total. Anak-anak pada kategori ini memanfaatkan indera pendegaran dan
perabanya sebagai alat utama untuk mendapatkan informasi tentang keadaan disekitar.

11
2) Buta fungsional
Seorang anak dikatakan mengalami buta fungsional apabila mereka memiliki sisa
penglihatan untuk mengidentifikasi cahaya disekitar. Anak-anak pada kategori ini
masih mampu mengidentifikasi stimulus cahaya di lingkungan sekitar. Beberapa dari
mereka masih mampu mengidentifikasi pantulan cahaya dari benda-benda disekitar,
sehingga dengan adanya sisa penglihatan ini dapat memudahkan mereka untuk belajar
orientasi mobilitas.

3) Low vision.
Sedangkan anak dikatakan low vision apabila mereka masih memiliki sisa penglihatan
untuk berorientasi dengan lingkungan sekitar. Bahkan, anak-anak low vision masih
mampu mengidentifikasi huruf dan angka dengan kata lain dapat digunakan untuk
membaca meskipun membutuhkan bantuan kaca pembesar. Pada kategori ini, anak
yang mengalami low vision masih mampu mengidentifikasi wajah seseorang dengan
kemampuan penglihatannya meskipun pada jarak yang sangat dekat.

Seseorang disebut mengalami kebutaan secara legal jika kemampuan penglihatannya


berkisar 20/200 atau dibawahnya, atau lantang pandangannya tidak lebih dari 20 derajat. Pada
pengertian ini, seorang anak di tes dengan menggunakan snellen chart (kartu snellen) dimana
anak harus dapat mengidentifikasi huruf pada jarak 20 kaki atau 6 meter. Dengan pengertian
lain anak-anak dikatakan buta secara legal jika mengalami permasalahan pada sudut pandang
penglihatan, yaitu kemampuan menggerakkan mata agar dapat melihat ke sisi samping kiri
dan kanan.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa anak-anak tunanetra


adalah anak yang mengalami permasalahan pada fungsi penglihatannya, sehingga mereka
mengalami permasalahan dalam berorientasi dengan lingkungan melalui indera
penglihatannya. Tentunya anak yang mengalami ketunanetraan akan menglami permasalahan
dalam proses belajarnya, berbeda dengan anak normal yang dapat menerima informasi dari
indera penglihatannya. Maka dalam hal ini anak tunanetra membutuhkan layanan khusus
dalam proses belajarnya. Secara umum, anak tunanetra harus belajar dengan menggunakan

12
tulisan braille, yaitu dengan memanfaatkan indera perabanya untuk mengidentifikasi tulisan
braille.

Meskipun demikian, anak-anak tunanetra juga dilatihkan memanfaatkan sisa


penglihatannya untuk berorientasi dengan lingkungan sekitar, misalnya yang mengalami buta
fungsional, mereka harus mampu memanfaatkan sisa penglihatannya untuk membantu
mereka dalam proses belajar orientasi mobilitas. Sedangkan anak low vision juga harus
dikenalkan dengan tulisan awas sehingga tidak terbatas belajar dengan tulisan braille.

Selain membutuhkan tulisan braille untuk dapat belajar, anak-anak dengan


ketunanetraan juga memerlukan pendekatan yang berbeda pada proses belajarnya. Guru perlu
menggunakan media pembelajaran yang mirip dengan bentuk nyata (tiruan,replika), sehingga
anak tunanetra dapat memanfaatkan indera perabanya untuk membantu mendapatkan
informasi dalam kegiatan belajarnya.

Namun demikian, anak tunanetra juga perlu pengalaman nyata untuk memperluas
pengetahuan dan mempermudah proses belajar seperti halnya anak-anak pada
umumnya.Lebih daripada itu, dalam lingkungan masyarakat anak-anak perlu bantuan
aksesibilitas untuk dapat memanfaatkan fasilitas umum yang tersedia. Sebagai contoh trotoar
atau lantai yang dilengkapi dengan bidang timbul yang dapat memudahkan mereka untuk
mengidenfi arah mereka berjalan. Selain itu diperlukan pula, tulisan-tulisan braile yang
terpasang pada ruang umum untuk memudahkan mereka dalam menemukan fasilitas yang
mereka perlukan.

2. Tunarungu

Tunarungu dapat diartikan sebagai gangguan pendengaran, dimana anak yang


mengalami ketunarunguan adalah menglami permasalahan pada hilangnya atau berkurangnya
kemampuanpendengaran.

13
Andreas Dwijosumarto (dalam Soemantri, 2007) menyatakan bahwa anak yang dapat
dikatakan tunarungu jika mereka tidak mampu atau kurang mampu mendengar. Menurutnya,
tunarungu dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu:

1. Tuli

a. Kurang dengar

Tuli merupakan suatu kondisi dimana seseorang benar-benar tidak dapat mendengar
dikarenakan hilangnya fungsi dengar pada telinganya. Sedangkan kurang dengar merupakan
kondisi dimana seseorang yang mengalami kerusakan pada organ pendengarannya tetapi
masih dapat berfungsi untuk mendengar meskipun dengan atau tanpa alat bantu dengar.

Sedangkan Boothroyd (dalam Winarsih, 2007) memiliki padangan berbeda tentang kasifikasi
anak tunarungu. Terdapat 4 klasifikasi anak tunarungu yaitu:

1. Tunarungu ringan (15-30 db)


2. Tunarungu sedang (31-60 db)
3. Tunarungu berat (61-90 db), dan
4. Tunarungu sangat berat (91-120 db).

Dampak secara khusus, hilangnya fungsi dengar pada seseorang dapat mempengaruhi
proses komunikasi dengan orang lain. Telinga atau indera pendengar merupakan organ yang
berperan sentral dalam proses penerimaan informasi berupa suara, yang kemudian diproses
oleh otak sehingga menghasilkan persepsi tertentu. Setiap manusia dapat berkomunikasi dan
berbicara secara verbal dikarenakan otak dapat merekam setiap informasi yang diterima oleh
telinga sejak usia dini. Dengan demikian, hilangnya fungsi pendengaran sejak usia dini sama
saja seorang anak akan mengalami miskin kosakata karena terhambatnya proses masuknya
informasi berupa suara melalui telinga (Soemantri, 2007).

14
Berdasarkan permasalahan tersebut dapat kita simpulkan bahwa pada dasarnya anak
tunarungu tidak mengalami hambatan pada perkembangan intelegensi dan aspek-aspek lain,
selain yang berkaitan dengan pendengaran dan komunikasi. Oleh karena itu, dalam segi
pelayanan pendidikan anak tunarungu memiliki kemampuan yang tidak berbeda dengan
anak-anak pada umumnya. Namun daripada itu, guru memerlukan metode khusus dalam
menyampaikan materi pelajaran kepada anak tunarungu. Guru harus mampu berbicara
dengan mimik mulut yang jelas, sehingga meskipun tanpa mendengar anak tunarungu dapat
mencerna informasi yang disampaikan. Lebih daripada itu, guru juga harus mampu
menggunakan bahasa isyarat atau bahasa tubuh untuk membantu proses penyampaian
informasi. Metode pembelajaran seperti ini dapat disebut dengan pendekatan Komtal
(Komunikasi Total) (Suparno, 1989).

3. Tunagrahita

Tunagrahita merupakan istilah yang disematkan bagi anak-anak berkebutuhan khusus


yang mengalami permasalahan seputar intelegensi. Di Indonesia istilah tunagrahita
merupakan pengelompokan dari beberapa anakberkebutuhan khusus, namun dalambidang
pendidikan mereka memiliki hambatan yang sama dikarenakanpermasalahan intelegensi.
Dalam bahasa asing, anak yang mengalamipermasalahan intelegensi memilikibeberapa istilah
penyebutan antara (IQ dibawah 35).

Sedangkan klasifikasi lain dapat didasarkan pada kemampuan yang dimiliki yaitu:

1. Ringan (Mampu didik),


2. Sedang (Mampu latih),
3. Berat (Mampu rawat).

Berdasarkan teori-teori tersebut maka kita dapat mengetahui kebutuhan mendasar


anak tunagrahita. Dalam proses pembelajran, anak tunagrahita memerlukan pendekatan yang
berbeda dengan anak-anak pada umumnya karena kecepatan proses penerimaan pengetahuan
tentu lebih lambat. Hal tersebut tentu hanya berlaku bagi anak tunagrahita yang memang
masih memeiliki kemampuan untuk menerima pelajaran, dengan kata lain adalah anak

15
tunagrahita mampu didik. Akan tetapi bagi anak tunagrahita yang mampu latih, maka
perlunya mereka mendapat latihan-latihan bina diri untuk dapat membantu dirinya lebih
mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Sedangkan bagi anak tunagrahitalain mental
retardasi, mental defectif, mental defisiensi, dan lain-lain (Somantri, 2007).

Berbagai istilah yang digunakan untuk menyebut anak tunagrahita pada dasarnya
memiliki arti yang sama, yaitu menjelaskan tentang anak yang memiliki keterbatasan
intelegensi di bawah rata-rata sehingga berdampak pada permasalahan akademik dan
kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari-hari (Somantri, 2007). Anak tunagrahita dapat
diklasifikasikan berdasarkan tingkatan intelegensi dengan dasar intelegensi normal manusia
dengan Skala Binet berkisar antara 90-110. Adapun klasifikasi berdasarkan tingkat
intelegensi adalah Ringan (IQ 65-80), Sedang (IQ 50-65), Berat (IQ 35-50), Sangat bera yang
memiliki tingkat berat atau sangat berat, mereka memiliki karkateristik lebih khusus dimana
mereka akan kesulitan untuk menjalani aktivitas sosial sehari-hari. Anak-anak pada kategori
tersebut membutuhkan bantuan orang lain untuk dapat mengurus dirinya sendiri.

4. Lambat Belajar (Slow Leaner)

Istilah Slow Learner atau yang biasa disebut lambat belajar menurut Oxford:
Advanced Learner’s Dictionary berasal dari dua kata yaitu “slow” dan “learner”. Istilah slow
mengandung arti not clever: not quick to learn: finding things hard to understand. Sedangkan
learner sendiri mengandung arti a person who is finding out about the subject or how to do
something: a slow/quick learner. Jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, slow learner
adalah pembelajar yang tidak pandai dan kurang cepat dlaam memahami pelajaran.

Ahli psikologi mengindikasikan bahwa kelambanan belajar secara langsung


disebabkan karena kemampuan intelektual (intellectual ability). Dewasa ini sebuah penelitian
menunjukkan bahwa faktor keturunan bukan satu-satunya penyebab keterbelakangan siswa
tetapi faktor lingkungan juga berpengaruh. Oleh karena itu, apabila hanya menggunakan IQ
sebagai acuan dalam menentukan taraf kemampuan belajar anak kita tidak bisa menyatakan
anak tersebut termasuk anak lambat belajar. Secara keseluruhan, satu-satunya yang

16
membedakan slow learner dengan siswa berkemampuan rata-rata adalah kelambanannya
dalam belajar.

Karakteristik slow learner berdasarkan Bala dan Rao (2014: 122-124) dikelompokkan
dalam beberapa kategori yaitu kognitif, bahasa, auditori-perseptual, visual-motor dan sosial-
emosial.

Pertama, karakteristik kesulitan belajar kognitif diantaranya:

1. Slow learner membutuhkan waktu belajar yang lama dan kurang memahami apa yang
telah ia pelajari
2. slow learner lebih memilih untu mempelajari hal-hal yang bersifat abstrak daripada
konkret
3. Mereka selalu menginginkan pembelajaran yang bersifat langsung diberikan oleh
guru karena tidak terlalu membutuhkan banyak ketrampilan dan
4. Pada umumnya slow learner berprestasi rendah.

Kedua, karakteristik masalah yang berkaitan dengan bahasa diantaranya:

1. Siswa bermasalah pada ekspresi verbalnya


2. Membaca dengan bersuara lebih sulit daripada membaca dalam hati
3. Slow learner mengalami permasalahan artikulasi.

Ketiga, karakteristik masalah auditori-perseptual meliputi:

1. Ketika didekte, slow learner mengalami kesulitan dalam penulisannya entah itu lupa
menulis sehingga kata yang hendak ditulis menjadi kurang lengkap
2. Slow learner gagal memahami perintah yang bersifat verbal, seringkali mereka tidak
segera memberikan jawaban ketika diberi sebuah pertanyaan
3. Mereka lebih menyukai materi yang disajikan secara visual daripada disajikan oral

17
4. Ketika diberikan pertanyaan yang bersifat verbal, tidak jarang mereka menjawab
dengan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan.

Keempat, karakteristik masalah visual-motor meliputi:

1. Slow learner lebih mudah diberikan stimulus secara visual


2. Mereka merasa kesulitan dalam menentukan warna, ukuran dan bentuk serta sulit
mengingat-ingat kembali suatu objek yang pernah mereka lihat
3. Slow learner pada umumnya memiliki tulisan tangan yang jelek, mengalami kesulitan
dalam aktivitas motorik dan tidak jarang mereka sering mengeluh sakit.

Terakhir, karakteristik masalah sosial dan emosi di antaranya:

1. Mencubit atau melakukan hal-hal yang menarik baginya adalah salah satu
karakteristik slow learner, kadang-kadang mereka juga menarik diri dari aktivitas
sosial (antisosial)
2. Suasana hati mereka berubah-ubah (moody) dan tingkat sosial emosinya masih
dibawah harapan.

Faktor karakteristik siswa lambat belajar sebenarnya terlatak pada segi belajanya.
Analisis karakteristik dikemukakan Wijaya (2007:20) diantaranya:

1. Anak slow learner kurang peka terhadap lingkungan.


2. Kurangnya antusias dalam proses pembelajaran.
3. Kurang fokus dalam mengerjakan suatu pekerjaan.
4. Kurangnya dalam proses berfikir.
5. Kelancaran Bahasa kurang.

18
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Guru-guru yang mengampu di sekolah dasar sebagian besar mengalami dan
menemukan adanya kasus siswa ditengarai berkebutuhan khusus, namun karena guru belum
mengetahui cara melakukan assesmen yang benar dan strategi pembelajaran untuk siswa
berkebutuhan khusus, maka dalam proses pembelajaran guru di sekolah dasar tetap
memberikan perlakukan kepada siswa berkebutuhan khusus dan siswa umumnya dengan cara
yang sama. Guru belum merencanakan pembelajaran secara khusus apalagi menyiapkan
penilaian. Berdasarkan hasil penelitian yang difokuskan pada kebutuhan guru di sekolah
inklusif, maka mereka sangat mengharapkan adanya banyak pelatihan untuk membekali diri
dalam merencanakan, proses pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran.Dengan demikian cara
pembelajaran untuk siswa yang heterogen di kelas inklusif tidak lagi diperlakukan dan
dikelola seperti kelas-kelas reguler atau ekslusif.

B. Saran
Efektivitas harus lebih ditanamkan kepada semua warga sekolah. Efektivitas tersebut
meliputi pemanfatan sarana dan prasarana, kurikulum, tenaga pendidik, serta monitoring dan
evaluasi. Guru harus lebih kreatif dan bervariasi dalam memberikan materi, sehingga siswa
dapat mengikuti pelajaran dengan lebih semangat serta materi yang disampaikan akan lebih
mudah di pahami oleh siswa. Pihak sekolah sebaiknya menyediakan sarana dan prasarana
yang lebih lengkap dalam menunjang kegiatan belajaran mengajar terutama untuk anak
berkebutuhan khusus .

19
DAFTAR PUSTAKA
Nisa, Khairun,dkk. 2018. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus. Jurnal Karakteristik Dan
Kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus, Vol. 02. No. 1, 34-37

Padmadewi, N. N., Artini, L. P., & Suarnajaya, W. (2020). PELATIHAN PENANGANAN


ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS BAGI GURU-GURU DI SEKOLAH
DASAR. Proceeding Senadimas Undiksha, 20.

Hakim, Z., & Rizky, R. (2020). Sistem Pakar Menentukan Karakteristik Anak Kebutuhan
Khusus Siswa Di SLB Pandeglang Banten Dengan Metode Forward Chaining. Jutis (Jurnal
Teknik Informatika), 7(1), 93-97.

Rezieka, D. G., Putro, K. Z., & Fitri, M. (2021). FAKTOR PENYEBAB ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN KLASIFIKASI ABK. Bunayya: Jurnal Pendidikan
Anak, 8(2), 40-53.

Sarah, R. A. P., & Neviyarni, S. (2020). Perkembangan Siswa Berkebutuhan Khusus dan
Siswa yang Tidak Biasa serta Implikasinya dalam Proses Belajar dan Pembelajaran. Jurnal
Ilmiah Wahana Pendidikan, 6(4), 938-945.

Link YouTube

https://www.youtube.com/watch?v=6PwdRGJR6A0

20

Anda mungkin juga menyukai