Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Anak Berkebutuhan Khusus dan Orientasi Baru Pendidikan

OLEH:

PENGKI YUDISTIRA
NIM: P2A918007

DOSEN PEMBINA MATA KULIAH:

DR. DRS. H. HENDRA SOFYAN, M.Si


PROF. DRS.H. SUTRISNO. M.Sc. Ph.D
DRS. SAHARUDIN, M.Sc. M.App. Ph.D

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS KEGURUAN


DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
Rahmat, Hidayah dan Taufiknya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Anak Berkebutuhan Khusus dan orientasi pendidikan baru. Makalah ini disusun dalam rangka
memenuhi tugas mata Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.

Saya berharap makalah ini dapat dijadikan bahan untuk menambah pengetahuan dan
wawasan mengenai pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Sehingga sebagai
pendidik tidak hanya berpacu pada sekolah umum saja tetapi juga dapat memahami sistem
pendidikan Anak Berkebutuhan Khusu. Saya juga menyadari bahwa dalam menyelesaikan
penyusunan makalah ini memiliki banyak kekurangan. Untuk itu, saya berharap adanya kritik,
saran, dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang.

Semoga makalah saya ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya dan
sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi siapapun yang memebacanya.
Sebelumnya saya mohon maaf apabila dalam makalah ini terdapat kata-kata yang kurang
berkenan, dan saya mengucapkan terima kasih kepada pembaca dan sekiranya dapat
memberikan kritik dan saran.

Jambi , 12 Februari 2019

Pengki Yudistira
P2A918007

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................1

DAFTAR ISI...........................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang........................................................................................................3


1.2 Rumusan masalah...................................................................................................4
1.3 Manfaat...................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus .....................................................................5


B. Jenis-jenis Anak Berkebutuhan Khusus dan ciri-ciri nya............................................6
1. Tuna Netra (Gangguan Penglihatan)...................................................6
2. Tuna Rungu (Gangguan Pendengaran)................................................7
3. Tuna Grahita (Berkelainan Mental Emosional)....................................9
4. Tuna Daksa.........................................................................................10
5. Tuna Laras..........................................................................................11
C. Orientasi Baru Pendidikan.........................................................................................12
1. Sejarah Pendidikan Luar Biasa...........................................................12
2. Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).................14
a. Layanan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus...................................14
b. Bentuk-bentuk layanan..................................................................15
1) Bentuk Layanan Pendidikan Segregrasi..................................16
2) Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu/Integrasi.......................15
3) Bentuk Layanan Inklusif...........................................................20

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan...........................................................................................................25

Daftar Pustaka......................................................................................................................27

LAMPIRAN-LAMPIRAN

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai makhluk Tuhan yang dianggap mempunyai derajat tertinggi diantara


makhluk lainnya, Manusia mempunyai kebutuhan yang paling banyak dan kompleks.
Mulai dari kebutuhan yang sangat mendasar seperti makan, tempat tinggal, dan rasa
aman, sampai dengan kebutuhan tertinggi, yaitu aktualisasi diri. Namun pada dasarnya
Tuhan menciptakan manusia itu berbeda-beda. Di dunia ini ada anak yang memiliki
keluarbiasaan yang lebih dikenal dengan sebutan Anak Berkebutuhan
Khusus ( ABK). Keluarbiasaan ini dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
keluarbiasaan yang berada diatas normal dan keluarbiasaan yang dibawah normal. Jika
keluarbiasaan diatas normal hanya dikenal dengan satu istilah, maka keluarbiasaan
dibawah normal dikenal dengan berbagai istilah karena memang kondisi keluarbiasaan
dibawah normal sangat beragam. Jenis-jenis keluarbiasaan dibawah normal
diantaranya adalah (1) Tunanetra, (2) Tunarungu, (3) Gangguan komunikasi, (4)
Tunagrahita, (5) Tunadaksa, (6) Tunalaras, (7) berkesulitan belajar, dan (8)
Tunaganda

Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, istilah anak luar biasa yang kini
disebut sebagai anak berkebutuhan khusus masih disalah tafsirkan, yaitu anak luar
biasa selalu diartikan sebagai anak yang berkemampuan unggul atau berprestasi luar
biasa. Padahal pengertian anak luar biasa juga mengacu kepada pengertian yaitu anak
yang mengalami kelainan atau ketunaan, baik pada satu macam kelainan atau lebih
dari satu kelainan jenis kelainan. Tidak berbeda dengan orang-orang normal, anak
yang memiliki keluarbiasaanpun mempunyai kebutuhan yang sama dengan orang
normal. Seperti kebutuhan fisik/kesehatan, kebutuhan sosial-emosional, dan kebutuhan
pendidikan.

Pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu proses pemberdayaan yaitu


membebaskan individu dari jeratan suatu struktur kekuasaan yang terpusat, yang
menginjak;nginjak hak asasi manusia, yang membangun suatu struktur kekuasaan
yang hanya menguntungkan sekelompok kecil masyarakat menyengsarakan rakyat

4
banyak. Oleh karena itu untuk tetap mempertahankan pedagogik dalam artian sempit
harus dikaji ulang, dan sesegera mungkin dilakukan perubahan orientasi ke arah
pedagogik kritis atau pedagogik pemberdayaan (pembebasan dari penindasan).

Pedagogik kritis merupakan rekayasa pemikiran yang berupa menyempurnakan


pedagogik yang selama ini kita kenal sebagai pedagogik dalam arti sempi, yaitu
pedagogik yang cenderung melihat persoaalan pendidikan semata-mata pembelajaran,
namun pendidikan sangat berkaitan pula dengan seluruh aspek kehidupan manusia di
dalam masyarakat. Pendidikan bukan hanya saja membuat peserta didik pandai
menghapal, tetapi yang lebih penting adalah menjadikan mereka sebagai manusia,
pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia.

Pendidikan adalah proses hominisasi dan proses humanisasi seorang dalam


kehidupan keluarga, masyarakat yang berbudaya sekarang dan masa depan. Oleh
karena itu perubahan pradikma ini pun berimplikasi pada perlunya mengembalikan
pendidik ke tugas semula dan peserta didik dalam proses pendidikan dan
pembelajaran.

B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Anak Berkebutuhan Khusus?
2. Apa jenis-jenis Anak Berkebutuhan Khusus?
3. Apa ciri-ciri Anak Berkebutuhan Khusus?
4. Apa pengertian dari pendidikan?
5. Bagaimana sejarah Pendidikan Luar Biasa ?
6. Bagaimana bentuk pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus?
C. Manfaat
1. Menambah rasa syukur kita kepada Tuhan karana telah menciptakan kita
tanpa kurang suatu apapun.
2. Bisa manghargai keberadaan mereka dengan cara tidak merendahkan atau
mengolok-oloknya.
3. Menambah wawasan akan sistem pengajaran dan juga metode
pembelajaran yang diterapkan bagi Anak Berkebutuhan Khusus.
4. Melatih kita untuk belajar bersabar dan tulus ikhlas sebagai calon pendidik.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan anak


berkebutuhan khusus. Istilah anak berkebutuhan khusus merupakan istilah terbaru
yang digunakan, dan merupakan terjemahan dari child with special needs yang telah
digunakan secara luas di dunia internasional, ada beberapa istilah lain yang pernah
digunakan diantaranya anak cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak menyimpang,
dan anak luar biasa, ada satu istilah yang berkembang secara luas telah digunakan
yaitu difabel, sebenarnya merupakan kependekan dari diference ability.
Sejalan dengan perkembangan pengakuan terhadap hak azasi manusia
termasuk anak-anak ini, maka digunakanlah istilah anak berkebutuhan khusus.
Penggunaan istilah anak berkebutuhan khusus membawa sudut pandang yang berbeda
dengan istilah anak luar biasa yang pernah dipergunakan dan mungkin masih
digunakan. Jika pada istilah luar biasa lebih berfokus pada kondisi (fisik, mental,
emosi- sosial) anak, maka pada berkebutuhan khusus lebih pada kebutuhan anak
untuk mencapai prestasi sesuai dengan potensinya. Contoh, seorang anak tunanetra,
jelas dia memiliki keterbatasan pada bidang penglihatannya, tetapi dia juga memiliki
potensi kemampuan intelektual yang tidak berbeda dengan anak normal, maka untuk
dapat berprestasi sesuai kapasitas intelektualnya diperlukan alat bantu kompensatif
indera penglihatan seperti talking computer, talking books, buku tulisan Braille dsb.
Dengan dipenuhinya kebutuhan itu maka tunanetra akan dapat berprestasi sesuai
dengan kapasitas intelektualnya dan mampu berkompetisi dengan anak normal.

Individu berkebutuhan khusus (IBK) adalah seseorang atau anak yang


memiliki keterbatasan dalam fungsi kognitif, fisik maupun emosi yang meghalangi
kemampuan individu untuk berkembang baik yang terklasifikasi dalam kesulitan
belajar, ADHD, retardasi mental, gangguan fisik, Sensoris, Gangguan bicara dan
bahasa, Autisme maupun gangguan emosi dan perilaku (Santrock, 2009). Hallahan
dan Kauffman (2009) mendefinisikan IBK adalah mereka yang memerlukan
6
pendidikan khusus dan layanan terkait. Gearheart (dalam Mangunsong, 2009)
mengatakan bahwa seorang anak dianggap berkelainan bila memerlukan persyaratan
pendidikan yang berbeda dari rata-rata anak normal dan untuk dapat belajar secara
efektif memerlukan program, pelayanan dan materi khusus.

Mangunsong (2009) menyatakan bahwa individu berkebutuhan khusus adalah


anak yang menyimpang dari rata-rata anak normal dalam hal: ciri-ciri mental,
kemampuan-kemampuan Sensoris, fisik dan neuromaskular, perilaku sosial dan
emosional, kemampuan berkomunikasi, maupun kombinasi dua atau lebih dari hal-
hal diatas, sejauh mereka memerlukan modifikasi dari tugas-tugas sekolah, metode
belajar atau layanan terkait, yang ditujukan untuk mengembangkan potensi atau
kapasitas secara maksimal.

Ormrod (2009) mengklasifikasikan siswa berkebutuhan khusus ini ke dalam


kategori umum dan khusus. Kategori umum yaitu:

1. Siswa yang mengalami hambatan kognitif atau akademik khusus yaitu kesulitan
belajar, ADHD, gangguan bicara dan komunikasi.
2. Siswa yang mengalami masalah sosial atau perilaku yaitu: gangguan emosi
dan perilaku, gangguan spektrum autisme.
3. Siswa yang mengalami keterlambatan umum dalam fungsi kognitif dan sosial:
keterbelakangan mental, gangguan fisik dan kesehatan, gangguan penglihatan,
pendengaran dan ketidakmampuan atau hambatan yang parah dan majemuk,
4. Siswa yang perkembangan kognitifnya diatas rata-rata yaitu siswa gifted atau
memiliki keberbakatan luar biasa.

B. Jenis-jenis Anak Berkebutuhan Khusus dan ciri-ciri nya.

1. Tuna Netra (Gangguan Penglihatan)


Tunanetra berasal dari kata tuna dan netra, yang masing-masing berarti rusak/tidak
memiliki dan mata/penglihatan, jadi tunanetra berarti rusak penglihatan. Sedangkan
pengertian tunanetra dilihat dari kacamata pendidikan : menurut Barraga N (1983:25)
adalah “Individu yang mengalami gangguan fungsi penglihatan untuk mengikuti
belajar dan mencapai prestasi secara maksimal”. Ketidakmampuan melihat atau biasa

7
disebut dengan istilah visual handicapped yang mempengaruhi prestasi akademik
siswa, baik sebagian (partial seeing) maupun buta total (Blind).
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya ketunanetraan seperti:
a. Faktor Keturunan.
b. Faktor sebelum lahir (Pranatal).
 Ketika dalam kandungan kekurangan gizi, terkena infeksi, keracunan.
 Waktu hamil, ibunya menderita penyakit kronis.
 Aborsi yang gagal.
c. Faktor ketika lahir (Natal).
 Kelahiran yang lama, kehabisan cairan.
 Kelahiran dibantu alat mengenai syaraf.
d. Faktor sesudah lahir (Posnatal).
 Karena sakit.
 Karena salah obat.
 Karena kecelakaan.

2. Tuna Rungu (Gangguan Pendengaran)


Tunarungu adalah sebuah istilah yang merujuk pada kondisi ketidak fungsian
organ pendengaran atau telinga seseorang. Anak-nak dalam kondisi ini mengalami
hambatan atau keterbatasan dalam merespon bunyi-bunyi yang ada disekitarnya.
Gangguan pendengaran didefinisikan dari sudut pandang kebutuhan pembelajaran
yang dilihat juga dari tingkat berat kehilangan pendangaran dan usia seseorang
ketika kehilangan pendengaran, hal ini penting diketahui untuk mengoptimalkan sisa
pendengaran yang ada. Tunarungu terdiri atas beberapa tingkatan kemampuan
mendengar, yang umum dan khusus.

a. Umum.
 Tuli  (The deaf), yaitu penyandang tunarungu berat dan sangat berat dengan
tingkat ketulian di atas 90 dB.
 Kurang dengar (Hard of Hearing), yaitu penyandang tunarungu ringan atau
sedang, dengan derajat ketulian 20-90 dB.

8
b. Khusus.
 Tunarungu ringan, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian
25-45 dB. Yaitu anak yang mengalami ketunarunguan taraf ringan, dimana anak
dalam tahap ini mengalami kesulitan untuk merespon suara-suara yang datangnya
agak jauh. Pada kondisi yang demikian, seorang anak secara pedagogis sudah
memerlukan perhatian khusus dalam belajarnya di sekolah, misalnya dengan
menempatkan tempat duduk dibagian depan, dekat dengan guru.
 Tunarungu sedang, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian
46-70 dB. Yaitu anak yang mengalami ketunarunguan taraf sedang, dimana anak
dalam tahap ini hanya dapat mengerti percakapan pada jarak 3-5 feet secara
berhadapan, tetapi tidak dapat mengikuti diskusi-diskusi di kelas. Untuk anak
yang mengalami ketunarunguan taraf ini memerlukan adanya alat bantu
dengar (hearing aid,  dan memerlukan pembinaan komunikasi, persepsi bunyi dan
irama.
 Tunarungu berat, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian
71-90 dB. Dimana anak dalam tahap ini mengalami ketunarunguan taraf berat,
hanya dapat merespon bunyi-bunyi dalam jarak yang sangat dekat dan diperkeras.
Siswa dengan katagori ini juga memerlukan alat bantu dengar dalam mengikuti
pendidikannya di sekolah. Siswa juga sangat memerlukan adanya pembinaan atau
latihan-latihan komunikasi dan pengembangan bicaranya.
 Tunarungu sangat berat (profound), yaitu penyandang tunarungu yang mengalami
tingkat ketulian 90 dB keatas. Pada taraf ini, mungkin seseorang sudah tidak dapat
merespon suara sama sekali, tetapi mungkin masih bisa merespon melalui getaran-
getaran suara yang ada. Untuk kegiatan pendidikan dan aktivitas lainnya,
penyandang tunarungu katagori ini lebih mengandalkan kemampual visual atau
penglihatannya.

c. Segi Bahasa.
 Miskin akan kosa kata.
 Sulit mengartikan kata-kata yang mengandung ungkapan atau idiomatic.
 Tata bahasanya kurang teratur.

9
3. Tuna Grahita (Berkelainan Mental Emosional)
Istilah untuk anak tunagrahita bervariasi, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
nama: lemah pikiran, terbelakang mental, cacat grahita dan tunagrahita.
Dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Mentally Handicaped, Mentally Retardid.
Jadi, anak tuna grahita adalah anak yang mempunyai kekurangan atau keterbatasan dari
segi mental intelektualnya, dibawah rata-rata normal, sehingga mengalami kesulitan
dalam tugas-tugas akademik, komunikasi, maupun sosial, dan karena memerlukan
layanan pendidikan khusus.

a. Faktor penyebab terjadinya Ketunagrahitanan menurut penyelidikan para ahli


(tunagrahita) dapat terjadi :
 Sebelum lahir
Yaitu terjadi pada waktu bayi masih ada dalam kandungan, penyebabnya
seperti : campak, diabetes, cacar, virus tokso, juga ibu hamil yang kekurangan gizi,
pemakai obat-obatan (naza) dan juga perokok berat.

 Waktu lahir
Proses melahirkan yang sudah, terlalu lama, dapat mengakibatkan kekurangan
oksigen pada bayi, juga tulang panggul ibu yang terlalu kecil. Dapat menyebabkan
otak terjepit dan menimbulkan pendarahan pada otak (anoxia), juga proses
melahirkan yang menggunakan alat bantu (penjepit, tang).

 Sesudah lahir
Pertumbuhan bayi yang kurang baik seperti gizi buruk, busung lapar, demam
tinggi yang disertai kejang-kejang, kecelakaan, radang selaput otak (meningitis)
dapat menyebabkan seorang anak menjadi ketunaan (tunagrahita).

b. Klasifikasi Tuna Grahita.


 Tunagrahita Ringan (Debil).
Anak tunagrahita ringan pada umumnya tampang atau kondisi fisiknya tidak
berbeda dengan anak normal lainnya, mereka mempunyai IQ antara kisaran 50 s/d 70.
Mereka juga termasuk kelompok mampu didik, mereka masih bisa dididik (diajarkan)

10
membaca, menulis dan berhitung, anak tunagrahita ringan biasanya bisa
menyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV SD Umum.

 Tunagrahita Sedang atau Imbesil


Anak tunagrahita sedang termasuk kelompok latih. Tampang atau kondisi
fisiknya sudah dapat terlihat, tetapi ada sebagian anak tunagrahita yang mempunyai
fisik normal. Kelompok ini mempunyai IQ antara 30 s/d 50. Mereka biasanya
menyelesaikan pendidikan setingkat ke;las II SD Umum.

 Tunagrahita Berat atau Idiot


Kelompok ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya tidak mampu
menerima pendidikan secara akademis. Anak tunagrahita berat termasuk kelompok
mampu rawat, IQ mereka rata-rata 30 kebawah. Dalam kegiatan sehari-hari mereka
membutuhkan bantuan orang lain.

4. Tuna Daksa
Anak tuna daksa adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik, atau cacat
tubuh, yang mencakup kelainan anggota tubuh maupun yang mengalami
kelainan gerak dan kelumpuhan, yang sering disebut sebagai cerebral palsy (CP).
Menurut tingkat kelainannya, anak-anak Tuna Daksa dapat dibedakan sebagai
berikut:

a. Cerebral palsy (CP) :

 Ringan, dapat berjalan tanpa alat bantu, mampu berbicara dan dapat
menolong dirinya sendiri.
 Sedang, memerlukan bantuan untuk berjalan, latihan berbicara, dan
mengurus diri sendiri.
 Berat, memerlukan perawatan tetap dalam ambulansi, berbicara, dan
menolong diri sendiri.

b. Berdasarkan letaknya

 Spastic, kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya.


 Dyskenisia, gerakannya tak terkontrol (athetosis), serta terjadinya
11
kekakuan pada seluruh tubuh yang sulit digerakkan (rigid).
 Ataxia, gangguan keseimbangan, koordinasi mata dan tangan tidak
berfungsi, dan cara berjalannya gontai.
 Campuran, yang mengalami kelainan ganda

c. Polio

 Tipe spinal, kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan dan kaki
 Tipe bulbair, kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi
yang menyebabkan adanya gangguan pernapasan.
 Tipe bulbispinalis, gangguan antara tipe spinal dan bulbair.
 Encephalitis, yang umumnya ditandai dengan adanya demam,
kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang.

5. Tuna Laras
Anak tunalaras adalah anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, yang
ditunjukkan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun dalam
lingkungan sosialnya. Pada hakekatnya, anak-anak tuna laras memiliki kemampuan
intelektual yang normal, atau tidak berada di bawah rata-rata. Kelainan lebih banyak
terjadi pada perilaku sosialnya.

Beberapa klasifikasi yang menonjol dari anak-anak berkebutuhan khusus


yang mengalami kelainan perilaku sosial ini adalah:

a. Berdasarkan perilakunya

 Beresiko tinggi; hiperaktif suka berkelahi, memukul, menyerang, merusak


milik sendiri atau orang lain, melawan, sulit konsentrasi, tidak mau bekerjasama,
sok aksi, ingin menguasai oranglain, mengancam, berbohong, tidak bisa diam,
tidak dapat dipercaya, suka mencuri, mengejek, dan sebagainya.
 Beresiko rendah; autism, kawatir, cemas, ketakutan, merasa tertekan, tidak
mau bergaul, menarik diri, kurang percaya diri, bimbang, sering menangis,
malu, dan sebagainya.
 Kurang dewasa; suka berfantasi, berangan-anagan, mudah dipengaruhi, kaku,
pasif, suka mengantuk, mudah bosan, dan sebagainya
12
 Agresif; memiliki gang jahat, suka mencuri dengan kelompoknya, loyal
terhadap teman jahatnya, sering bolos sekolah, sering pulang larut malam, dan
terbiasa minggat dari rumah.

b. Berdasarkan Kepribadian
 Kekacauan perilaku
 Menarik diri (withdrawll)
 Ketidakmatangan (immaturity)
 Agresi sosial

C. Orientasi Baru Pendidikan

Pendidikan bukan hanya saja membuat peserta didik pandai menghapal, tetapi
yang lebih penting adalah menjadikan mereka sebagai manusia, pendidikan merupakan
proses memanusiakan manusia. Pendidikan adalah proses hominisasi dan proses
humanisasi seorang dalam kehidupan keluarga, masyarakat yang berbudaya sekarang
dan masa depan.

Pendidikan berarti suatu proses humanisasi, oleh sebab itu perlu dihormati hak-
hak asasii manusia. Anak didik bukanlah robot tetapi manusia yang harus dibantu
di dalam proses pendewasaannya agar dia dapat mandiri dan berpikir kristis. Selain itu
pendidikan merupakan hak asasi manusia, oleh karena itu pemerataan pendidikan
haruslah dilaksanakan secara merata. Pemerataan pendidikan berkaitan dengan
kemiskinan dan kekurangan setiap individual, dan oleh sebab itu kemiskinan dan
kekurangan individual merupkaan priorotas yang perlu ditanggulangi sejalan dengan
pelaksanaan pemerataan itu sendiri.

1. Sejarah Pendidikan Luar Biasa


Salah seorang pionir bernama Jean-Marc-Gaspard Itard, seorang dokter
berkebangsaan Perancis dianggap sebagai bapak pendidikan berkebutuhan khusus. Pada
tahun 1799 Irtad menemukan seorang anak laki-laki di hutan Perancis yang diberi nama
Victor. Viktor menderita kecacatan tubuh dan keterbelakangan mental dan terkucil dari
lingkungan. Dokter Irtad mengajari Viktor semua hal yang dipelajari anak-anak normal
dari keluarga mereka dan disekolah. Viktor belajar berbicara beberapa patah kata,

13
berdiri tegak, makan dengan piring dan peralatan makan lainnya dan berinteraksi
dengan orang-orang melalui teknik yang sudah dirancang dengan hati-hati. Irtad
merekam rincian semua teknik yang digunakan dan filosofi yang relevan dengan
kemajuan Victor. Banyak dari teknik-teknik tersebut masih digunakan hingga hari ini.
Pionir lainnya dalam bidang pendidikan khusus adalah Edouard Seguin, adalah
seorang murid dari dokter Irtad. Dia menerbitkan sebuah thesis pendidikan khusus yang
pertama yang berjudul “Perlakuan Mental, Kesahatan dan Pendidikan bagi Idiot dan
Anak-anak Terbelakang” (“ The Moral Treatment, Hygienene, and Educatian of Idiots,
and Other Backwaard ”), pada tahun 1846. Setelah pindah ke Amerika Serikat, dia
membantu dalam pendirian Asosiasi Petugas Medis Lembaga-lembaga Amerika Serikat
bagi penyandang Keterbelakangan Mental (idiots) dan orang-orang Lemah Mental
(Association of Medical Officers of American Institutions For Idiots and Feebleminded
Persons) pada tahun 1876. Organisasi ini kemudian menjadi persatuan Amerika bagi
kelemahan mental dan selanjutnya berubah menjadi persatuan Cacat/Keterbelakangan
Mental Amerika, merupakan Asosiasi profesional yang terbesar dan tertua dalam bidang
Cacat/keterbelakangan mental.
Gerakan hak asasi manusia secara signifikan telah membantu perkembangan
penyediaan laayanan-layanan pendidikan khusus bagi anak-anak penyandang cacat di
seluruh dunia pada abad ke-20. Konsep normalisasi telah membawa pergerakan
deinstitusionalisme yang selanjutnya melahirkan konsep dan gerakan lingkungan yang
paling sedikit keterbatasannya bagi anak-anak penyandang cacat.
Para ahli sejarah pendidikan biasanya menggambarkan mulainya pendidikan
luar biasa pada akhir abad ke 18 atau awal abad ke 19. Di Indonesia sejarah
perkembangan luar biasa dimulai ketika belanda masuk keindonesia, (1596-1942)
mereka memperkenalkan sistem persekolahan dengan orientasi barat. Untuk pendidikan
bagi anak-anak berkebutuhan khusus di buka lembaga –lembaga khusus. Lembaga
pertama untuk pendidikan anak tuna netra grahita tahun 1927 dan untuk tuna runggu
tahun 1930. ketiganya terletak dikota bandung.
Tujuh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah RI mengundang-
undangkan yang pertama mengenai pendidikan. Mengenai anak-anak yang mempunyai
kelainan fisik atau mental, undang-undang itu menyebutkan pendidikan dan pengajaran
luar biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasl 6 ayat 2)
dan untuk itu anak-anak tersebut, pasal 8 yang mengatakan:semua anak-anak yang

14
sudah berumur 6 tahun berhak dan sudah berumur 8 tahun di wajibkan belajar di
sekolah sedikitnya 6 tahun. Dengan di berlakukannya undang-undang tersebut   maka
sekolah-sekolah baru yang  khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Termasuk
untuk anak tuna daksa dan tuna laras, sekolah ini disebut sekolah luar biasa (SLB).
Sebagian berdasarkan urutan sejarah berdirinya SLB pertama untuk masing-
masing kategori SLB itu di kelompokkan menjadi :
1) SLB bagian A untuk anak tuna netra
2) SLB bagian B untuk anak tuna rungu
3) SLB bagian C untuk anak tuna Grahita
4) SLB bagian D untuk anak tuna daksa
5) SLB bagian E untuk anak tuna laras
6) dan SLB bagian F untuk anak cacat ganda
Konsep pendidikan terpadu di perkenalkan di Indonesia pada tahun 1978 yang
bertujuan khusus untuk anak tuna netra.

2. Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

Layanan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah pengajaran yang


dirancang untuk merespon karakteristik unik anak yang memiliki kebutuhan khusus
yang tidak dapat diakomodasi oleh kurikulum sekolah standar. Layanan pendidikan
merupakan satu kajian penting untuk memenuhi kebutuhan anak-anak
berkebutuhan khusus (ABK), yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan
karakteristiknya, dan membedakan mereka dari anak-anak normal pada umumnya.
Keadaan inilah yang menuntut adanya penyesuaian dalam pemberian layanan
pendidikan yang dibutuhkan. Keragaman yang terjadi, memang terkadang
menyulitkan guru dalam upaya pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Namun
apabila guru telah memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai cara
memberikan layanan yang baik, maka akan dapat dilakukan secara optimal

a. Layanan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus


Anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mengalami
keterbatasan atau hambatan dalam segi fisik, mental-intelektual, maupun sosial
emosional. Kondisi yang demikian, baik secara langsung atau tidak berdampak pada
berbagai aspek kehidupan mereka. Untuk itu layanan sangat diperlukan bagi mereka

15
untuk dapat menjalani kehidupannya secara wajar.

Secara umum kondisi anak-anak berkebutuhan khusus memang berbeda


dengan anak-anak pada umumnya. Namun keadaan yang demikian, bukan berarti
layanan yang diberikan selalu berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Mungkin
saja anak- anak berkebutuhan khusus secara umum memerlukan layanan
sebagaimana anak- anak pada umumnya (ini juga dapat lihat pada standar isi
kurikulum 2005 yang terstandarkan untuk anak tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan
tunalaras), dan hanya pada beberapa bidang yang memerlukan layanan atau
pendampingan khusus. Artinya, untuk beberapa jenis anak berkebutuhan tersebut
sebagian besar dapat mengikuti layanan pendidikan sebagaimana anak-anak normal
pada umumnya. Meskipun demikian, tentu ada anak-anak berkebutuhan khusus
yang memang memerlukan layanan individual atau secara pribadi, karena kondisi
dan keadaannya yang tidak memungkinkan untuk mengikuti layanan sebagaimana
anak-anak normal.
Sasaran layanan pendidikan untuk anak berkrbutuhan khusus adalah:
1) Anaka dengan hambatan komunikasi, interaksi dan bahasa
2) Anak dengan hambatan persepsi, motorik dan mobilitas
3) Anak dengan hambatan emosi dan perilaku
4) Anak dengan hambatan kecerdasan dan akademik.

Ada beberapa jenis layanan yang bisa diberikan kepada anak-


anak berkebutuhan khusus, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Namun
secara umum akan mencakup (1) layanan medis dan fisiologis, (2) layanan
sosial- psikologis, dan (3) layanan pedagogis/pendidikan. Beberapa jenis layanan
tersebut diberikan oleh para ahli yang kompeten pada bidangnya masing-masing,
dan dilakukan berdasarkan kebutuhan anak.

b. Bentuk-bentuk layanan
Menurut Hallahan dan Kauffman (1988) bentuk penyelenggaraan pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus ada berbagai pilihan, yaitu:
1) Reguler Class Only (Kelas biasa dengan guru biasa)
2) Reguler Class with Consultation (Kelas biasa dengan konsultan guru PLB)
3) Itinerant Teacher (Kelas biasa dengan guru kunjung)

16
4) Resource Teacher (Guru sumber, yaitu kelas biasa dengan guru biasa,
namun dalam beberapa kesempatan anak berada di ruang sumber dengan
guru sumber)
5) Pusat Diagnostik-Prescriptif
6) Hospital or Homebound Instruction (Pendidikan di rumah atau di rumah
sakit, yakni kondisi anak yang memungkinkan belum masuk ke sekolah
biasa)
7) Self-contained Class (Kelas khusus di sekolah biasa bersama guru PLB)
8) Special Day School (Sekolah luar biasa tanpa asrama)
9) Residential School (Sekolah luar biasa berasrama)

Secara spesifik bahwa bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak


berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar, yaitu:

1) Bentuk Layanan Pendidikan Segregrasi

Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang


terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan
khusus melalui sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan
yang dilaksanakan secara khusus, dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan
untuk anak normal. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus diberikan
layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan
khusus, seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah
Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menangah Atas Luar Biasa.

Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem pendidikan yang paling


tua. Pada awal pelaksanaan, sistem ini diselenggarakan karena adanya
kekhawatiran atau keraguan terhadap kemampuan anak berkebutuhan khusus
untuk belajar bersama dengan anak normal. Selain itu, adanya kelainan fungsi
tertentu pada anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan
dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka.
Misalnya, untuk anak tunanetra, mereka memerlukan layanan khusus berupa
braille, orientasi mobilitas. Anak tunarungu memerlukan komunikasi total, bina
persepsi bunyi; anak tuna daksa memerlukan layanan mobilisasi dan
aksesibilitas, dan layanan terapi untuk mendukung fungsi fisiknya.
17
Ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan sistem segregasi,
yaitu:

a) Sekolah Luar Biasa (SLB)

Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. SLB
merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan sekolah mulai
dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan
dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah. Pada awalnya
penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang sesuai
dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja), sehingga ada SLB untuk
tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita
(SLB-C), SLB untuk tuna daksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras
(SLB-E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar,
dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem
individualisasi.

b) Sekolah Luar Biasa Ber-asrama

Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa


yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB berasrama
tinggal diasrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan
pengelolaan sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat
dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannyapun
juga sama dengan bentuk SLB umum, sehingga ada SLB-A untuk anak
tunanetra, SLB- B untuk anak tunarungu, SLB-C untuk anak tunagrahita, SLB-
D untuk anak tunadaksa, dan SLB-E untuk anak tunalaras, serta SLB-AB
untuk anak tunanetra dan tunarungu.

c) Kelas jauh/Kelas Kunjung

Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk
memberi pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal
jauh dari SLB atau SDLB. Penyelenggaraan kelasjauh/kelas kunjung
merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib

18
belajar serta pemerataan kesempatan belajar.

Dalam penyelenggaraan kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung


jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut berasal
dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka berfungsi sebagai guru kunjung
(itenerant teacher). Kegiatan administrasinya dilaksanakan di SLB terdekat
tersebut.

d) Sekolah Dasar Luar Biasa

Dalam rangka menuntaskan kesempatan belajar bagi anak


berkebutuhan khusus, pemerintah mulai Pelita II menyelenggarakan
Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Di SDLB merupakan unit sekolah yang
terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB
terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa.

Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikulum yang


digunakan di SLB untuk tingkat dasar yang disesuikan dengan
kekhususannya. Kegiatan belajar dilakukan secara individual, kelompok,
dan klasikal sesuai dengan ketunaan masing-masing. Pendekatan yang
dipakai juga lebih ke pendekatan individualisasi. Selain kegiatan
pembelajaran, dalam rangka rehabilitasi di SDLB juga diselenggarakan
pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak tunanetra memperoleh
latihan menulis dan membaca braille dan orientasi mobilitas; anak tunarungu
memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total, bina persepsi
bunyi dan irama; anak tudagrahita memperoleh layanan mengurus diri
sendiri; dan anak tunadaksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan
koordinasi motorik.

2) Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu/Integrasi

Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang


memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar
bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum. Dengan demikian,
melalui sistem integrasi anak berkebutuhan khusus bersama-sama dengan anak

19
normal belajar dalam satu atap.

Sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu, yaitu


sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana
keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut dapat bersifat
menyeluruh, sebagaian, atau keterpaduan dalam rangka sosialisasi.

Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus, di


sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat
berfungi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah, atau anak
berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu, GPK juga berfungsi sebagai
pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas khusus.

Ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak


berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (2007). Ketiga bentuk tersebut adalah:

a) Bentuk Kelas Biasa

Dalam bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus belajar di kelas


biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena itu
sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru
bidang studi semaksimal mungkin dengan memperhatikan petunjuk-
petunjuk khusus dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas
biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut keterpaduan penuh. Dalam
keterpaduan ini guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan
bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orangtua anak
berkebutuhan khusus. Seagai konsultasn, guru pembimbing khusus berfungsi
sebagai penasehat mengenai kurikulum, maupun permasalahan dalam
mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang
konsultasi untuk guru pembimbing khusus.

Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini
tidak berbeda dengan yang digunakan pada sekolah umum. Tetapi untuk
beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan ketunaan anak. Misalnya, anak
tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca perlu

20
disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tunarungu mata pelajaran
kesenian, bahasa asing/bahasa Indonesia (lisan) perlu disesuaikan dengan
kemampuan wicara anak.

b) Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus


Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa
dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus
untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan
khusus bersama dengan anak normal. Pelayanan khusus tersebut diberikan di
ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK), dengan
menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Untuk
keperluan tersebut, di ruang bimbingan khusus dilengkapi dengan
peralatan khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus.
Misalnya untuk anak tunanetra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat
tulis braille, peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini
sering disebut juga keterpaduan sebagian.

c) Bentuk Kelas Khusus

Dalam keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti


pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada
sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini
disebut juga keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat
sosialisasi.

Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai


pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang
digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian yang biasa digunakan
di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, artinya
anak berkebutuhan khusus dapat dipadukan untk kegiatan yang bersifat non
akademik, seperti olahraga, keterampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam
istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.

3) Bentuk layanan pendidikan Inklusif

21
Pendidikan inklusif lahir diawali adanya kesadaran masyarakat terhadap
hak asasi manusia dan kesadaran terhadap perbedaan yang bukan menjadi
sesuatu yang menyimpang melainkan sebagai sesuatu yang patut disyukuri untuk
kemudian menjadi saling melengkapi.

Konsep inklusif lebih menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan


pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusif menurut
Sapon-Shevin dalam O’Neil (1994/1995) didefinisikan sebagai suatu sistem
layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan
khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman
seusianya. Untuk itu perlu adanya restrukturisasi di sekolah sehingga menjadi
komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus bagi setiap anak.
Sejalan dengan konsep ini, Smith (2006:45) mengemukakan, bahwa inklusi dapat
berarti penerimaan anak-anak yang mengalami hambatan ke dalam kurikulum,
lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri (visi- misi) sekolah. Gagasan utama
mengenai pendidikan inklusif ini menurut Johnsen (2004:181), adalah sebagai
beriku:
• Bahwa setiap anak merupakan bagian integral dari komunitas lokalnya dan
kelas dan kelompok reguler.
• Bahwa kegiatan sekolah diatur dengan sejumlah besar tugas belajar yang
kooperatif, individualisasi pendidikan dan fleksibilitas dalam pilihan
materinya.
• Bahwa guru bekerjasama dan memiliki pengetahuan tentang strategi
pembelajaran dan kebutuhan pengajaran umum, khusus dan individual, dan
memiliki pengetahuan tentang cara menghargai tentang pluralitas perbedaan
individual dalam mengatur aktivitas kelas.
Pendidikan inklusif merupakan sebuah strategi untuk mewujudkan
pendidikan universal guna menciptakan sekolah yang responsif terhadap beragam
kebutuhan aktual anak dan masyarakat (Stubbs, 2002) dan mensyaratkan IBK
belajar di sekolah-sekolah terdekat dikelas biasa bersama anak-anak seusianya
(Sapon-Shevin dalam Oneil, 1994). Arti dari pendidikan inklusi sendiri adalah
pendidikan yang menyertakan semua anak secara bersama-sama dalam suatu
iklim dan proses pembelajaran dengan layanan pendidikan yang layak dan

22
sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa membeda-bedakan anak
yang berasal dari latar suku, kondisi sosial, kemampuan ekonomi, politik,
keluarga, bahasa, geografis (keterpencilan) tempat tinggal, jenis kelamin, agama,
dan perbedaan kondisi fisik atau mental.

Di Indonesia sendiri Pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah didasarkan


pada beberapa landasan, filosofis dan yuridis-empiris. Secara filosofis,
implementasi inklusi mengacu pada beberapa hal, diantaranya, bahwa:
• Pendidikan adalah hak mendasar bagi setiap anak, termasuk anak
berkebutuhan khusus
• Anak adalah pribadi yang unik yang memiliki karakteristik, minat,
kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda
• Penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara orang
tua masyarakat dan pemerintah
• Setiap anak berhak mendapat pendidikan yang layak

• Setiap anak berhak memperoleh akses pendidikan yang ada di lingkungan


sekitarnya
Sedangkan landasan yuridis-empirisnya mengacu pada:

• UUSPN No 20 tahun 2003, Pasal 5 Ayat (1), (2)

• U U D 1945 pasal 31 ayat (1) & (2). dan (3)

• Permen No 22 dan 23 Tahun 2006

• Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948

• Konvensi Hak Anak, 1989

• Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990


• Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang

• Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan

• Pernyataan Salamanca (1994) tentang Pendidikan Inklusi Komitmen Dakar


(2000) mengenai Pendidikan untuk Semua Deklarasi Bandung (2004) &
Rekomendasi Bukittinggi (2005) komitmen “pendidikan inklusif”.
setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama yang tertuang
dalam UUD 45 pasal 28C ayat 1 dan pasal 9 ayat 1 bahwa setiap anak

23
berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
kepribadian dan kecerdasan sesuai minat bakatnya yang berlaku pula untuk anak
berkebutuhan khusus. Dari kesadaran tersebut kemudian muncullah pendidikan
inklusif yang dijadikan sebuah strategi untuk mewujudkan pendidikan universal
guna menciptakan sekolah yang responsif terhadap beragam kebutuhan aktual
anak dan masyarakat (Stubbs, 2002).
Model pelaksanaan pendidikan inklusif yang telah dilakukan selama ini
di dunia:

1) Inklusif Penuh
Dalam model ini semua murid yang memiliki keterbatasan khusus
ditempatkan disekolah yang dekat dengan rumahnya dan mengikuti
pendidikan dengan anak-anak normal secara penuh (tidak ada pemisahan atau
perpindahan kelas sewaktu-waktu) dan guru kelas memiliki tanggungjawab utama
dalam menangani anak berkebutuhan khusus tersebut (Hallahan & Kauffman,
2006), jadi dalam model inklusif penuh ini, tidak mempermasalahkan apakah anak
dapat mengikuti program reguler, akan tetapi lebih melihat pada kemampuan
dan keinginan guru, sekolah dan sistemnya untuk melakukan adaptasi atau
modifikasi program pendidikan sesuai dengan kebutuhan anak (Mangunsong,
2006).

2) Integrasi Model Umum


Dalam model ini anak-anak berkebutuhan khusus dididik dalam setting
terpisah terlebih dahulu, barulah setelah anak tampak siap, anak digabung kedalam
kelas reguler. Model ini diawal dengan menyiapkan anak melalui pendekatan
intervensi baik dari sisi emosi maupun dari sisi perilaku. Jika psikolog atau
terapis menyatakan bahwa anak dinilai telah siap untuk mengikuti kelas reguler,
barulah anak dapat mengikuti kelas yang ditunjuk.

3) Integrasi Model Lanjutan


Dalam model lanjutan ini kelompok atau individu-individu dari kelas khusus
mengunjungi kelas reguler untuk aktivitas bersama atau mata pelajaran tertentu.

24
Model ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus harus menyesuaikan
dengan ketentuan sistem dan kelas reguler, sehingga anak yang berkebutuhan
khusus sering dianggap "tamu" dikelas reguler.

4) Model Inklusif
Didalam pembelajaran inklusif, Hallahan dan Kaufman (2006) menegaskan
ada beberapa hal mendasar yang harus diperhatikan agar inklusif dapat berjalan
yaitu tidak melabel anak ABK sebagai sesuatu yang membahayakan, mengubah
pandangan dan hati untuk menerima perbedaan, reorientasi yang berkaitan
dengan assemen, metode pengajaran dan menejemen kelas termasuk
penyesuaian lingkungan, redefinisi peran guru dan realokasi sumber daya
manusia, penyediaan bantuan profesional dan pelatihan guru, pembentukan,
peningkatan dan pengembangan kemitraan antara guru, orangtua untuk berbagi
pengalaman, kurikulum dan evaluasi pembelajaran yang fleksibel.

Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, tentulah sedolah umum yang telah


memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Beberapa persyaratan
dimaksud diantaranya berkenaan dengan keberadaan siswa berkebutuhan khusus,
komitmen, manajemen sekolah, sarana prasarana, dan ketenagaan. Sekolah
penyelenggara pendidikan inklusis haruslah memiliki siswa berkebutuhan khusus,
memiliki komitmen terhadap pendidikan inklusi, penuntasan wajib belajar maupun
terhadap komite sekolah. Selain itu juga harus memiliki jaringan kerjasama dengan
lembaga-lembaga terkait, yang didukung dengan adanya fasilitas dan sarana
pembelajaran yang mudah diakses oleh semua anak.
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi juga harus menciptakan
lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran, yang memungkinkan semua siswa
dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan. Berbagai metode, atau strategi
belajar sangat mungkin dikembangkan pada sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan
inklusi, untuk menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan fleksibel.

25
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Adanya kesadaran kolektif untuk menggiring pendidikan ke arah yang lebih


baik, telah banyak melahirkan gagasan baru, yang salah satunya adalah pemikiran
perlunya orientasi baru dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus. Dalam
kehidupan sehari-hari di masyarakat, istilah anak luar biasa yang kini disebut sebagai
anak berkebutuhan khusus masih disalah tafsirkan, yaitu anak luar biasa selalu
diartikan sebagai anak yang berkemampuan unggul atau berprestasi luar biasa.
Padahal pengertian anak luar biasa juga mengacu kepada pengertian yaitu anak yang
mengalami kelainan atau ketunaan, baik pada satu macam kelainan atau lebih dari
satu kelainan jenis kelainan. Tidak berbeda dengan orang-orang normal, anak yang
memiliki keluarbiasaanpun mempunyai kebutuhan yang sama dengan orang normal.
Seperti kebutuhan fisik/kesehatan, kebutuhan sosial-emosional, dan kebutuhan
pendidikan.

Pendidikan adalah proses hominisasi dan proses humanisasi seorang dalam


kehidupan keluarga, masyarakat yang berbudaya sekarang dan masa depan. Oleh
karena itu perubahan pradikma ini pun berimplikasi pada perlunya mengembalikan
pendidik ke tugas semula dan peserta didik dalam proses pendidikan dan
pembelajaran. Pentingnya kesadaran masyarakat akan pendidikan khusus untuk
mereka yang mempunyai potensi besar untuk masa depan mereka.

Di era sekarng banyak jalan untuk mengembangkan bakat kretifitas seseorang


tidak lain juga mereka yang memiliki kemapuan luar biasa setara dengan mereka yang
normal. Pendidikan bukan hanya saja membuat peserta didik pandai menghapal, tetapi
yang lebih penting adalah menjadikan mereka sebagai manusia, pendidikan merupakan
proses memanusiakan manusia.

Gerakan hak asasi manusia secara signifikan telah membantu perkembangan


penyediaan laayanan-layanan pendidikan khusus bagi anak-anak penyandang cacat di

26
seluruh dunia pada abad ke-20. Konsep normalisasi telah membawa pergerakan
deinstitusionalisme yang selanjutnya melahirkan konsep dan gerakan lingkungan yang
paling sedikit keterbatasannya bagi anak-anak penyandang cacat.
Secara spesifik bahwa bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar, yaitu:

a. Bentuk Layanan Pendidikan Segregrasi

b. Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu/Integrasi

c. Bentuk layanan pendidikan Inklusif

Sebagian berdasarkan urutan sejarah berdirinya SLB pertama untuk masing-


masing kategori SLB itu di kelompokkan menjadi :
1) SLB bagian A untuk anak tuna netra
2) SLB bagian B untuk anak tuna rungu
3) SLB bagian C untuk anak tuna Grahita
4) SLB bagian D untuk anak tuna daksa
5) SLB bagian E untuk anak tuna laras
6) dan SLB bagian F untuk anak cacat ganda

27
DAFTAR PUSTAKA

Arifin. (2012). Pendidikan inklusi di indonesia: akar masalah dan solusinya.


Diakses pada 19 Desember 2014.

Depdiknas, 2007a Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Iklusif. Jakarta:


Depdiknas, Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.

Hallahan, DP & Kauffman, JM (1988), Exceptional Children, Introduction to


Spesial education, 4 th edition, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Johnson, BH & Skjorten, D Miriam (2004), Pendidikan Kebutuhan Khusus, Sebuah
Pengantar, terjemahan, Bandung: Program Pascasarjana UPI

Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan Pendidikan anak Berkebutuhan


Khusus. Jilid 1. LPSP3UI: Jakarta

Ni'matuzahroh & Nurhamida, Yuni. Individu Berkebutuhan Khusus dan Pendidikan


Inklusif, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2016

O’Neil, J. (1994). Building schools as communities: A conversation with


James Comer. Educational Leadership, 54, 6-10.

O’Neil, J (1994/1995), Can inclusion work? A conversation with James


Kauffman and Mara Sapon-Shevin, Educational Leadership, 52 (4) 7-11

Ormrod, J.E.(2009). Psikologi Pendidikan. Membantu Siswa tumbuh dan berkembang.


Jilid 1. Erlangga: Jakarta

Santrock, J.W.(2007). Remaja. Edisi 11 Jilid 1. Erlangga: Jakarta.

Smith, David. Inklusi Sekolah Ramah Untuk Semua. Jakarta: Pernerbit Nuansa 2006.

Stubbs, S. (2002). Inclusive Education where there are few resources, olso: The Atlas Alliance

Suparno, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.Jakarta: Depdiknas , 2008

28
29

Anda mungkin juga menyukai