OLEH:
PENGKI YUDISTIRA
NIM: P2A918007
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
Rahmat, Hidayah dan Taufiknya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Anak Berkebutuhan Khusus dan orientasi pendidikan baru. Makalah ini disusun dalam rangka
memenuhi tugas mata Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
Saya berharap makalah ini dapat dijadikan bahan untuk menambah pengetahuan dan
wawasan mengenai pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Sehingga sebagai
pendidik tidak hanya berpacu pada sekolah umum saja tetapi juga dapat memahami sistem
pendidikan Anak Berkebutuhan Khusu. Saya juga menyadari bahwa dalam menyelesaikan
penyusunan makalah ini memiliki banyak kekurangan. Untuk itu, saya berharap adanya kritik,
saran, dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang.
Semoga makalah saya ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya dan
sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi siapapun yang memebacanya.
Sebelumnya saya mohon maaf apabila dalam makalah ini terdapat kata-kata yang kurang
berkenan, dan saya mengucapkan terima kasih kepada pembaca dan sekiranya dapat
memberikan kritik dan saran.
Pengki Yudistira
P2A918007
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................25
Daftar Pustaka......................................................................................................................27
LAMPIRAN-LAMPIRAN
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, istilah anak luar biasa yang kini
disebut sebagai anak berkebutuhan khusus masih disalah tafsirkan, yaitu anak luar
biasa selalu diartikan sebagai anak yang berkemampuan unggul atau berprestasi luar
biasa. Padahal pengertian anak luar biasa juga mengacu kepada pengertian yaitu anak
yang mengalami kelainan atau ketunaan, baik pada satu macam kelainan atau lebih
dari satu kelainan jenis kelainan. Tidak berbeda dengan orang-orang normal, anak
yang memiliki keluarbiasaanpun mempunyai kebutuhan yang sama dengan orang
normal. Seperti kebutuhan fisik/kesehatan, kebutuhan sosial-emosional, dan kebutuhan
pendidikan.
4
banyak. Oleh karena itu untuk tetap mempertahankan pedagogik dalam artian sempit
harus dikaji ulang, dan sesegera mungkin dilakukan perubahan orientasi ke arah
pedagogik kritis atau pedagogik pemberdayaan (pembebasan dari penindasan).
B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Anak Berkebutuhan Khusus?
2. Apa jenis-jenis Anak Berkebutuhan Khusus?
3. Apa ciri-ciri Anak Berkebutuhan Khusus?
4. Apa pengertian dari pendidikan?
5. Bagaimana sejarah Pendidikan Luar Biasa ?
6. Bagaimana bentuk pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus?
C. Manfaat
1. Menambah rasa syukur kita kepada Tuhan karana telah menciptakan kita
tanpa kurang suatu apapun.
2. Bisa manghargai keberadaan mereka dengan cara tidak merendahkan atau
mengolok-oloknya.
3. Menambah wawasan akan sistem pengajaran dan juga metode
pembelajaran yang diterapkan bagi Anak Berkebutuhan Khusus.
4. Melatih kita untuk belajar bersabar dan tulus ikhlas sebagai calon pendidik.
5
BAB II
PEMBAHASAN
1. Siswa yang mengalami hambatan kognitif atau akademik khusus yaitu kesulitan
belajar, ADHD, gangguan bicara dan komunikasi.
2. Siswa yang mengalami masalah sosial atau perilaku yaitu: gangguan emosi
dan perilaku, gangguan spektrum autisme.
3. Siswa yang mengalami keterlambatan umum dalam fungsi kognitif dan sosial:
keterbelakangan mental, gangguan fisik dan kesehatan, gangguan penglihatan,
pendengaran dan ketidakmampuan atau hambatan yang parah dan majemuk,
4. Siswa yang perkembangan kognitifnya diatas rata-rata yaitu siswa gifted atau
memiliki keberbakatan luar biasa.
7
disebut dengan istilah visual handicapped yang mempengaruhi prestasi akademik
siswa, baik sebagian (partial seeing) maupun buta total (Blind).
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya ketunanetraan seperti:
a. Faktor Keturunan.
b. Faktor sebelum lahir (Pranatal).
Ketika dalam kandungan kekurangan gizi, terkena infeksi, keracunan.
Waktu hamil, ibunya menderita penyakit kronis.
Aborsi yang gagal.
c. Faktor ketika lahir (Natal).
Kelahiran yang lama, kehabisan cairan.
Kelahiran dibantu alat mengenai syaraf.
d. Faktor sesudah lahir (Posnatal).
Karena sakit.
Karena salah obat.
Karena kecelakaan.
a. Umum.
Tuli (The deaf), yaitu penyandang tunarungu berat dan sangat berat dengan
tingkat ketulian di atas 90 dB.
Kurang dengar (Hard of Hearing), yaitu penyandang tunarungu ringan atau
sedang, dengan derajat ketulian 20-90 dB.
8
b. Khusus.
Tunarungu ringan, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian
25-45 dB. Yaitu anak yang mengalami ketunarunguan taraf ringan, dimana anak
dalam tahap ini mengalami kesulitan untuk merespon suara-suara yang datangnya
agak jauh. Pada kondisi yang demikian, seorang anak secara pedagogis sudah
memerlukan perhatian khusus dalam belajarnya di sekolah, misalnya dengan
menempatkan tempat duduk dibagian depan, dekat dengan guru.
Tunarungu sedang, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian
46-70 dB. Yaitu anak yang mengalami ketunarunguan taraf sedang, dimana anak
dalam tahap ini hanya dapat mengerti percakapan pada jarak 3-5 feet secara
berhadapan, tetapi tidak dapat mengikuti diskusi-diskusi di kelas. Untuk anak
yang mengalami ketunarunguan taraf ini memerlukan adanya alat bantu
dengar (hearing aid, dan memerlukan pembinaan komunikasi, persepsi bunyi dan
irama.
Tunarungu berat, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian
71-90 dB. Dimana anak dalam tahap ini mengalami ketunarunguan taraf berat,
hanya dapat merespon bunyi-bunyi dalam jarak yang sangat dekat dan diperkeras.
Siswa dengan katagori ini juga memerlukan alat bantu dengar dalam mengikuti
pendidikannya di sekolah. Siswa juga sangat memerlukan adanya pembinaan atau
latihan-latihan komunikasi dan pengembangan bicaranya.
Tunarungu sangat berat (profound), yaitu penyandang tunarungu yang mengalami
tingkat ketulian 90 dB keatas. Pada taraf ini, mungkin seseorang sudah tidak dapat
merespon suara sama sekali, tetapi mungkin masih bisa merespon melalui getaran-
getaran suara yang ada. Untuk kegiatan pendidikan dan aktivitas lainnya,
penyandang tunarungu katagori ini lebih mengandalkan kemampual visual atau
penglihatannya.
c. Segi Bahasa.
Miskin akan kosa kata.
Sulit mengartikan kata-kata yang mengandung ungkapan atau idiomatic.
Tata bahasanya kurang teratur.
9
3. Tuna Grahita (Berkelainan Mental Emosional)
Istilah untuk anak tunagrahita bervariasi, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
nama: lemah pikiran, terbelakang mental, cacat grahita dan tunagrahita.
Dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Mentally Handicaped, Mentally Retardid.
Jadi, anak tuna grahita adalah anak yang mempunyai kekurangan atau keterbatasan dari
segi mental intelektualnya, dibawah rata-rata normal, sehingga mengalami kesulitan
dalam tugas-tugas akademik, komunikasi, maupun sosial, dan karena memerlukan
layanan pendidikan khusus.
Waktu lahir
Proses melahirkan yang sudah, terlalu lama, dapat mengakibatkan kekurangan
oksigen pada bayi, juga tulang panggul ibu yang terlalu kecil. Dapat menyebabkan
otak terjepit dan menimbulkan pendarahan pada otak (anoxia), juga proses
melahirkan yang menggunakan alat bantu (penjepit, tang).
Sesudah lahir
Pertumbuhan bayi yang kurang baik seperti gizi buruk, busung lapar, demam
tinggi yang disertai kejang-kejang, kecelakaan, radang selaput otak (meningitis)
dapat menyebabkan seorang anak menjadi ketunaan (tunagrahita).
10
membaca, menulis dan berhitung, anak tunagrahita ringan biasanya bisa
menyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV SD Umum.
4. Tuna Daksa
Anak tuna daksa adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik, atau cacat
tubuh, yang mencakup kelainan anggota tubuh maupun yang mengalami
kelainan gerak dan kelumpuhan, yang sering disebut sebagai cerebral palsy (CP).
Menurut tingkat kelainannya, anak-anak Tuna Daksa dapat dibedakan sebagai
berikut:
Ringan, dapat berjalan tanpa alat bantu, mampu berbicara dan dapat
menolong dirinya sendiri.
Sedang, memerlukan bantuan untuk berjalan, latihan berbicara, dan
mengurus diri sendiri.
Berat, memerlukan perawatan tetap dalam ambulansi, berbicara, dan
menolong diri sendiri.
b. Berdasarkan letaknya
c. Polio
Tipe spinal, kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan dan kaki
Tipe bulbair, kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi
yang menyebabkan adanya gangguan pernapasan.
Tipe bulbispinalis, gangguan antara tipe spinal dan bulbair.
Encephalitis, yang umumnya ditandai dengan adanya demam,
kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang.
5. Tuna Laras
Anak tunalaras adalah anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, yang
ditunjukkan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun dalam
lingkungan sosialnya. Pada hakekatnya, anak-anak tuna laras memiliki kemampuan
intelektual yang normal, atau tidak berada di bawah rata-rata. Kelainan lebih banyak
terjadi pada perilaku sosialnya.
a. Berdasarkan perilakunya
b. Berdasarkan Kepribadian
Kekacauan perilaku
Menarik diri (withdrawll)
Ketidakmatangan (immaturity)
Agresi sosial
Pendidikan bukan hanya saja membuat peserta didik pandai menghapal, tetapi
yang lebih penting adalah menjadikan mereka sebagai manusia, pendidikan merupakan
proses memanusiakan manusia. Pendidikan adalah proses hominisasi dan proses
humanisasi seorang dalam kehidupan keluarga, masyarakat yang berbudaya sekarang
dan masa depan.
Pendidikan berarti suatu proses humanisasi, oleh sebab itu perlu dihormati hak-
hak asasii manusia. Anak didik bukanlah robot tetapi manusia yang harus dibantu
di dalam proses pendewasaannya agar dia dapat mandiri dan berpikir kristis. Selain itu
pendidikan merupakan hak asasi manusia, oleh karena itu pemerataan pendidikan
haruslah dilaksanakan secara merata. Pemerataan pendidikan berkaitan dengan
kemiskinan dan kekurangan setiap individual, dan oleh sebab itu kemiskinan dan
kekurangan individual merupkaan priorotas yang perlu ditanggulangi sejalan dengan
pelaksanaan pemerataan itu sendiri.
13
berdiri tegak, makan dengan piring dan peralatan makan lainnya dan berinteraksi
dengan orang-orang melalui teknik yang sudah dirancang dengan hati-hati. Irtad
merekam rincian semua teknik yang digunakan dan filosofi yang relevan dengan
kemajuan Victor. Banyak dari teknik-teknik tersebut masih digunakan hingga hari ini.
Pionir lainnya dalam bidang pendidikan khusus adalah Edouard Seguin, adalah
seorang murid dari dokter Irtad. Dia menerbitkan sebuah thesis pendidikan khusus yang
pertama yang berjudul “Perlakuan Mental, Kesahatan dan Pendidikan bagi Idiot dan
Anak-anak Terbelakang” (“ The Moral Treatment, Hygienene, and Educatian of Idiots,
and Other Backwaard ”), pada tahun 1846. Setelah pindah ke Amerika Serikat, dia
membantu dalam pendirian Asosiasi Petugas Medis Lembaga-lembaga Amerika Serikat
bagi penyandang Keterbelakangan Mental (idiots) dan orang-orang Lemah Mental
(Association of Medical Officers of American Institutions For Idiots and Feebleminded
Persons) pada tahun 1876. Organisasi ini kemudian menjadi persatuan Amerika bagi
kelemahan mental dan selanjutnya berubah menjadi persatuan Cacat/Keterbelakangan
Mental Amerika, merupakan Asosiasi profesional yang terbesar dan tertua dalam bidang
Cacat/keterbelakangan mental.
Gerakan hak asasi manusia secara signifikan telah membantu perkembangan
penyediaan laayanan-layanan pendidikan khusus bagi anak-anak penyandang cacat di
seluruh dunia pada abad ke-20. Konsep normalisasi telah membawa pergerakan
deinstitusionalisme yang selanjutnya melahirkan konsep dan gerakan lingkungan yang
paling sedikit keterbatasannya bagi anak-anak penyandang cacat.
Para ahli sejarah pendidikan biasanya menggambarkan mulainya pendidikan
luar biasa pada akhir abad ke 18 atau awal abad ke 19. Di Indonesia sejarah
perkembangan luar biasa dimulai ketika belanda masuk keindonesia, (1596-1942)
mereka memperkenalkan sistem persekolahan dengan orientasi barat. Untuk pendidikan
bagi anak-anak berkebutuhan khusus di buka lembaga –lembaga khusus. Lembaga
pertama untuk pendidikan anak tuna netra grahita tahun 1927 dan untuk tuna runggu
tahun 1930. ketiganya terletak dikota bandung.
Tujuh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah RI mengundang-
undangkan yang pertama mengenai pendidikan. Mengenai anak-anak yang mempunyai
kelainan fisik atau mental, undang-undang itu menyebutkan pendidikan dan pengajaran
luar biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasl 6 ayat 2)
dan untuk itu anak-anak tersebut, pasal 8 yang mengatakan:semua anak-anak yang
14
sudah berumur 6 tahun berhak dan sudah berumur 8 tahun di wajibkan belajar di
sekolah sedikitnya 6 tahun. Dengan di berlakukannya undang-undang tersebut maka
sekolah-sekolah baru yang khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Termasuk
untuk anak tuna daksa dan tuna laras, sekolah ini disebut sekolah luar biasa (SLB).
Sebagian berdasarkan urutan sejarah berdirinya SLB pertama untuk masing-
masing kategori SLB itu di kelompokkan menjadi :
1) SLB bagian A untuk anak tuna netra
2) SLB bagian B untuk anak tuna rungu
3) SLB bagian C untuk anak tuna Grahita
4) SLB bagian D untuk anak tuna daksa
5) SLB bagian E untuk anak tuna laras
6) dan SLB bagian F untuk anak cacat ganda
Konsep pendidikan terpadu di perkenalkan di Indonesia pada tahun 1978 yang
bertujuan khusus untuk anak tuna netra.
15
untuk dapat menjalani kehidupannya secara wajar.
b. Bentuk-bentuk layanan
Menurut Hallahan dan Kauffman (1988) bentuk penyelenggaraan pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus ada berbagai pilihan, yaitu:
1) Reguler Class Only (Kelas biasa dengan guru biasa)
2) Reguler Class with Consultation (Kelas biasa dengan konsultan guru PLB)
3) Itinerant Teacher (Kelas biasa dengan guru kunjung)
16
4) Resource Teacher (Guru sumber, yaitu kelas biasa dengan guru biasa,
namun dalam beberapa kesempatan anak berada di ruang sumber dengan
guru sumber)
5) Pusat Diagnostik-Prescriptif
6) Hospital or Homebound Instruction (Pendidikan di rumah atau di rumah
sakit, yakni kondisi anak yang memungkinkan belum masuk ke sekolah
biasa)
7) Self-contained Class (Kelas khusus di sekolah biasa bersama guru PLB)
8) Special Day School (Sekolah luar biasa tanpa asrama)
9) Residential School (Sekolah luar biasa berasrama)
Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. SLB
merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan sekolah mulai
dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan
dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah. Pada awalnya
penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang sesuai
dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja), sehingga ada SLB untuk
tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita
(SLB-C), SLB untuk tuna daksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras
(SLB-E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar,
dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem
individualisasi.
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk
memberi pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal
jauh dari SLB atau SDLB. Penyelenggaraan kelasjauh/kelas kunjung
merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib
18
belajar serta pemerataan kesempatan belajar.
19
normal belajar dalam satu atap.
Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini
tidak berbeda dengan yang digunakan pada sekolah umum. Tetapi untuk
beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan ketunaan anak. Misalnya, anak
tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca perlu
20
disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tunarungu mata pelajaran
kesenian, bahasa asing/bahasa Indonesia (lisan) perlu disesuaikan dengan
kemampuan wicara anak.
21
Pendidikan inklusif lahir diawali adanya kesadaran masyarakat terhadap
hak asasi manusia dan kesadaran terhadap perbedaan yang bukan menjadi
sesuatu yang menyimpang melainkan sebagai sesuatu yang patut disyukuri untuk
kemudian menjadi saling melengkapi.
22
sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa membeda-bedakan anak
yang berasal dari latar suku, kondisi sosial, kemampuan ekonomi, politik,
keluarga, bahasa, geografis (keterpencilan) tempat tinggal, jenis kelamin, agama,
dan perbedaan kondisi fisik atau mental.
23
berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
kepribadian dan kecerdasan sesuai minat bakatnya yang berlaku pula untuk anak
berkebutuhan khusus. Dari kesadaran tersebut kemudian muncullah pendidikan
inklusif yang dijadikan sebuah strategi untuk mewujudkan pendidikan universal
guna menciptakan sekolah yang responsif terhadap beragam kebutuhan aktual
anak dan masyarakat (Stubbs, 2002).
Model pelaksanaan pendidikan inklusif yang telah dilakukan selama ini
di dunia:
1) Inklusif Penuh
Dalam model ini semua murid yang memiliki keterbatasan khusus
ditempatkan disekolah yang dekat dengan rumahnya dan mengikuti
pendidikan dengan anak-anak normal secara penuh (tidak ada pemisahan atau
perpindahan kelas sewaktu-waktu) dan guru kelas memiliki tanggungjawab utama
dalam menangani anak berkebutuhan khusus tersebut (Hallahan & Kauffman,
2006), jadi dalam model inklusif penuh ini, tidak mempermasalahkan apakah anak
dapat mengikuti program reguler, akan tetapi lebih melihat pada kemampuan
dan keinginan guru, sekolah dan sistemnya untuk melakukan adaptasi atau
modifikasi program pendidikan sesuai dengan kebutuhan anak (Mangunsong,
2006).
24
Model ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus harus menyesuaikan
dengan ketentuan sistem dan kelas reguler, sehingga anak yang berkebutuhan
khusus sering dianggap "tamu" dikelas reguler.
4) Model Inklusif
Didalam pembelajaran inklusif, Hallahan dan Kaufman (2006) menegaskan
ada beberapa hal mendasar yang harus diperhatikan agar inklusif dapat berjalan
yaitu tidak melabel anak ABK sebagai sesuatu yang membahayakan, mengubah
pandangan dan hati untuk menerima perbedaan, reorientasi yang berkaitan
dengan assemen, metode pengajaran dan menejemen kelas termasuk
penyesuaian lingkungan, redefinisi peran guru dan realokasi sumber daya
manusia, penyediaan bantuan profesional dan pelatihan guru, pembentukan,
peningkatan dan pengembangan kemitraan antara guru, orangtua untuk berbagi
pengalaman, kurikulum dan evaluasi pembelajaran yang fleksibel.
25
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
26
seluruh dunia pada abad ke-20. Konsep normalisasi telah membawa pergerakan
deinstitusionalisme yang selanjutnya melahirkan konsep dan gerakan lingkungan yang
paling sedikit keterbatasannya bagi anak-anak penyandang cacat.
Secara spesifik bahwa bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar, yaitu:
27
DAFTAR PUSTAKA
Smith, David. Inklusi Sekolah Ramah Untuk Semua. Jakarta: Pernerbit Nuansa 2006.
Stubbs, S. (2002). Inclusive Education where there are few resources, olso: The Atlas Alliance
28
29