Anda di halaman 1dari 23

PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS : TUNARUNGU

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Drs. H. HENDRA SOFYAN, M.Si
Prof. Drs. H. SUTRISNO, M.Sc., Ph.D.
Drs. SAHARUDIN, M.Ed.,M.App.Sc.Ph.D

DISUSUN OLEH:
1. ELSI INDRIA SARI (P2A919007)
2. LIZA ZULPIA (P2A919012)
3. JUNIKE WULANDARI PUTERI (P2A919013)
4. YUNITA PERMATA SARI (P2A919018)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS JAMBI
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa yang selalu
memberikan limpahan nikmat dan berkah kepada kita, sehingga makalah ini dapat
diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam atas Nabi Muhammad SAW
pembawa risalah pencerahan dan risalah ilmu pengetahuan bagi manusia. Dalam
rangka memahami bagaimana pelayanan dan segala kebutuhan yang tepat bagi
anak-anak berkebutuhan khusus dalam dunia Pendidikan pada zaman ini dalam
mata kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus dengan materi Kegunaan
Video Bahasa Isyarat Amerika Untuk Menyajikan Konten Penilaian
Matematika pada Tunarungu, maka dirangkumlah makalah ini dari sumber
buku, jurnal-jurnal, dan sumber lainnya.

Makalah ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bagaimana


karakteristik anak-anak tunarungu serta bagaimana berinteraksi dan menangani
anak-anak tunarungu, juga bagaimana penanganan dalam menyampaikan informasi
kepada anak tunarungu melalui Bahasa isyarat di era digital saat ini. Tidak lupa
pula, terima kasih kepada dosen pengampu yang telah mengampu mata kuliah ini
dan rekan-rekan yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini jauh dari kata sempurna, untuk itu, jika ada kritik dan saran
yang dapat membangun makalah ini ke arah yang lebih baik lagi kami dengan
senang hati menerima dan memperbaiki makalah selanjutnya dengan baik. Akhir
kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua orang.

Maret 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .............................................................................................. i


KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1


1.2. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
1.3. Tujuan Penulisan ................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 3

2.1. Pengertian Tunarungu dan apa saja penyebabnya ................... 3


2.2. Klasifikasi Tuna Rungu ...................................................................... 5
2.3. Karakteristik Tuna Rungu ................................................................... 7
2.4. Penanganan pada Tunarungu dalam pembelajaran ............................. 10
2.5. Kegunaan Bahasa isyarat pada Tunarungu ......................................... 14

BAB III PENUTUP ..................................................................................................

3.1. Kesimpulan ......................................................................................... 18


3.2. Saran ................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakanng Makalah


Manusia pastilah selalu memiliki kekurangan dalam dirinya baik disadari
ataupun tidak disadari, baik itu kekurangan atau keterbatasan yang bersifat
sementara ataupun yang bersifat permanen. Untuk itu, perlunya kesadaran bahwa
kita sebagai manusia pastilah memiliki keterbatasan yang memerlukan bantuan dari
orang lain. Begitu juga dengan diri kita sendiri, haruslah mmenyadari bahwa orang-
orang disekitar kita pastilah memiliki keterbatasan juga sehingga kita perlu untuk
meningkatkan kepekaan kita terhadap orang lain ketika sedang membutuhkan
bantuan. Kita perlu sadar bahwa banyak keberadaan anak-anak atau orang-orang
dengan berbagai kondisi disekitar lingkungan kita, dengan mewujudkan kesetaraan
hak dan kesempatan belajar terlepas dari bagaimana kondisi fisik dan psikis setiap
orang. Dalam Pendidikan, sesuai dengan peraturan pemerintah nomor 70 tahun
2009 tentang Pendidikan inklusif yang diharapkan mampu menjadi solusi untuk
mewujudkan kesetaraan hak pada anak-anak, salah satunya sesuai pasal 3 ayat 2
yaitu anak berkebutuhan khusus tunarungu. Anak berkebutuhan khusus tunarungu
mengalami hambatan dalam proses bicara dan bahasanya yang disebabkan oleh
kelainan pada pendengarannya, akibatnya anak tunarungu akan mengalami
kelambatan dan kesulitan dalam hal-hal yang berhubungan dengan komunikasi.
Proses pembelajaran pada hakikatnya merupaakan proses komunikasi yang
bermakna proses penyampaian informasi dari sumber ke penerima informasi
melalui media tertentu. Proses pembelajaran pada tunarungu juga harus memiliki
media khusus dalam proses belajarnya seperti melalui Bahasa isyarat. Tunarungu
bukan berarti mereka tidak memiliki IQ atau kecerdasan seperti orang pada
umumnya, hanya saja mereka mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran
secara langsung karena keterbatasan mereka. Jika seseorang menderita ketuna
runguan sejak lahir, ia tidak akan mengembangkan kemampuan berbahasa secara
spontan sehingga dalam usaha bermasyarakat akan timbul berbagai permasalahan.
Agar seorang anak tunarungu dapat berkembang secara maksimal, maka
harus dipahami kebutuhan-kebutuhannya agar dapat diberikan bantuan yang sesuai.

1
Melalui Bahasa isyarat, mereka mampu mengatasi kesulitan tersebut dan mampu
berkomunikasi kepada khalayak ramai tanda adanya kesalahpahaman informasi.
Namun masih banyak ang memiliki kekurangan pengetahuan tentang Bahasa
isyarat tersebut, juga beberapa cara pandang yang berbeda tentang Bahasa isyarat
sehingga masih adanya perbedaan makna dalam isyarat tersebut. Maka pada
makalah ini ingin kami paparkan tentang anak berkebutuhan khusus tunarungu
terkait juga dengan bahasaa isyarat sesuai dengan jurnal dari Eric G. Hansen, Ruth
C. Loew, Cara C. Laitusis, Poorna Khusalnagar, Claudia M. Pagliaro, dan
Christopher Kurz yang berjudul Kegunaan Video Bahasa Isyarat Amerika untuk
Menyajikan Konten Penilaian Matematika.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa pengertian Tunarungu dan apa saja penyebab anak menjadi
Tunarungu?
2. Apa saja klasifikasi Tuna Rungu?
3. Bagaimana karakteristik Tuna Rungu?
4. Bagaimana cara penanganan pada Tunarungu dalam pembelajaran?
5. Bagaimana kegunaan Bahasa isyarat pada Tunarungu?

1.3. Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengetahui pengertian Tunarungu dan apa saja penyebab anak
menjadi Tunarungu
2. Untuk mengetahui klasifikasi Tuna Rungu
3. Untuk mendeskripsikan karakteristik Tuna Rungu
4. Untuk mendeskripsikan penanganan pada Tunarungu dalam pembelajaran
5. Untuk mengetahui kegunaan Bahasa isyarat pada Tunarungu

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN TUNARUNGU DAN PENYEBAB ANAK MENJADI


TUNARUNGU
Sebelum memahami pengertian tunarungu dana pa yang menyebabkan
seseorang menjadi tunarungu, ada beberapa istilah yang masih terasa asing didengar
oleh orang pada umumnya atau mengetahui istilah tersebut namun masih kurang
memahami maknanya jika dikaitkan dengan anak berkebutuhan khusus. Menurut
dewi dan Winda (2013: hal. 2) ada 3 istilah yaitu: (1) Impairment (kerusakan), (2)
Disability (kekhususan), dan (3) Handicapped (ketidakmampuan). Kerusakan yang
dimaksud terkait dengan suatu penyakit atau rusaknya jaringan dalam tubuh
seseorang, misalkan pada bayi yang kekurangan oksigen pada kelahirannya
sehingga mengalami kerusakan otak dan saraf yang menyebabkan kelumpuhan otak
atau Cerrebral Palsy. Disabilitas terkait dengan konsekuensi fungsional dari
kerusakan bagian tubuh yang dialami seseorang, misalkan seseorang yang
pertumbuhan tulang kakinya menjadi tidak normal akibat polio, sehingga dia
memerlukan bantuan seperti kruk, kursi roda ataua kaki palsu untuk penunjang
aktivitasnya. Ketidakmampuan seseorang berkaitan dengan konsekuensi sosial
ketika anak berkebutuhan khusus berinteraksi dengan lingkungannya, misalkan
seorang tunanetra bisa membaca namun hanya dapat membaca huruf Braille, jika
ia melakukan perjalanan jauh sendiri dengan berpatokan padaaa peta pada
umumnya dan petunjuk jalan tentu haruslah ada yang mendampinginya seperti
orang lain yang mampu membaca peta atau perangkat teknologi yang mampu
membantunya selama perjalanan. Dengan mengenal istilah tersebut, pengetahuan
tentang anak berkebutuhan khusus akan meningkat sehingga kita tidak memandang
rendah akan keterbatasan yang dimiliki seseorang. Keterbatasan yang dimilikinya
bukanlah tanpa ada sebab, maka cobalah kita memandang kehidupan dari sudut
pandang mereka, maka kita akan sangat bersyukur atas apapun yang ada dalam diri
kita dan menghargai mereka tanpa memandang keterbatasannya.
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan atau kesulitan dalam
pendenganran baik permanen maupun tidak permanen (Dewi dan Winda: 2013, hal.
5). Menurut beberapa para ahli mengemukakan pendapat tentang tunarungu (Rafael
3
dan Pastiria: 2020, hal. 58), Mangunsong menyatakan bahwa tunarungu merupakan
anak yang tidak berfungsi pendengarannya sehingga memerlukan pelayanan
Pendidikan khusus sedangkan anak yang mengalami gangguan pendengaran lebih
ringan dapat dibantu dengan alat bantu dengar. Tin suharmini menyatakan bahwa
tunarungu diartikan dengan keadaan seseorang yang mengalami kerusakan pada
indera pendengarannya sehinga tidak bisa menangkap berbagai rangsangan suara.
Hall dan Kouffman (dalam mangunsong: 2009, hal. 82) membedakan antara
kesulitan pendengaran dan ketulian. Ketulian merupakan keadaan sama sekali tidak
mampu menangkap rangsangan suara dengan maupun tanpa alat bantu dengar,
kesulitan pendengaran merupakan gangguan pendengaran yang masih bisa sedikit
menangkap rangsangan suara walaupun tidak jelas dan bisa di bandu dengan alat
bantu dengar. Jadi dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang
memiliki kesulitan atau gangguan dalam pendengarannya baik secara menyeluruh
ataupun masih memiliki pendengaran walaupun sedikit.
Apa yang ditangkap oleh indera pendengaran tunarungu lebih seperti suara
yang berasal dari jauh yang didominasi suara gemerisik, dan dengungan yang tidak
jelas. Tuna rungu cenderung memiliki kesulitan dalam memahami konsep dari
suatu yang abstrak sehingga masalah yang dihadapinya cukup berat dan biasanyaa
bersumber dari kurangnya kemampuan berkomunikasi. Adanya perdebadatan
mengenai perbandingan antara penggunaan Bahasa lisan dan Bahasa isyarat, namun
para ahli menyarankan penggunaan keduanya dalam berkomunikasi yang
melibatkan Bahasa verbal, Bahasa isyarat dan Bahasa tubuh.
Terdapat beberapa indikator yang bisa dengan mudah kita lihat dalam
kegiatan sehari-hari untuk menengarai gangguan pendengaran pada seorang anak,
yaitu (Dewi dan Winda: 2013, hal. 7):
a. Perkembangan Bahasa terlambat. Dalam tahun pertama, anak tunarungu
mengeluarkan suara/bunyi tidak berbeda dengan anak biasanya. Memasuki
usia 12-18 bulan, anak biasanya mulai menggunakan kata-kata pertama
sementara anak tunarungubelum menampakkan kemampuan membunyikan
kata yang terarah. Pada usia 2 tahun jika anak masih juga belum
memperlihatkan kemampuan berbicara, patut dicurigai ia memiliki gangguan

4
pendengaran dan tentu dibutuhkan diagnosis klinis untuk lebih
memaastikannya.
b. Memperdengarkan suara terlalu lembut atau keras tanpa ia sadari.
c. Berulang kali menanyakan sesuatu yang baru saja disampaikan, lambat
bereaksi terhadap suatu intruksi karena tidak menangkap pesan secara utuh,
salah menginterpretasikan atau sering meminta mengulangi pertanyaan.
d. Sulit mengulangi suara, kata-kata, lagu, irama atau mengingat nama.
e. Bingung membedakan kata yang bunyinya hampir sama atau membuat
kesalahan dalam pelafalan kata-kata.
f. Konsentrasi berlebihan terhadap wajah dan gerak mulut pembicara.
g. Mengalami keluhan fisik seperti merasa ada suara berisik di telinga, nyeri di
telinga, merasa ada benda di dalam telinga, mendengar dengungan, sering
demam, dan mengalami infeksi seputar telinga hidung dan tenggorokan.
Berbagai penyebab ketunarunguan dibagi dalam 4 hal besar yaitu (Dewi dan
Winda: 2013, hal. 8): (1) trauma, misalkan akibat benturan di kepala yang merusak
saraf pendengaran; (2) penyakit, misalkan virus rubella pada masa kehamilan dan
sifilis kongenital; (3) herediter; (4) kelainan genetik. Suara yang sangat keras bisa
merusak fungsi pendengaran seseorang, jika terlalu sering dalam hidupnya
terekspos suara dengan intensitas yang tinggi pada akhirnya memiliki masalah di
pendengaran mereka.

2.2. KLASIFIKASI TUNARUNGU


Alat untuk mengukur kemampuan dengar secara kuantitatif adalah
Audiometric yang digunakan untuk pemeriksaan klasifikasi kemampuan
mendengar suara sesuai level yang dinyatakan dalam satuan decibel (dB) (Dewi
dan Winda: 2013, hal. 6). Ada yang gangguan pendengarannya ringan seperti
seseorang yang tidak bisa menangkap jelas suara bisikan dan ada juga gangguan
pendengarannya berat yang tidak bisa mendengar dering telepon atau keramaian
lalu lintas. Karena memiliki kesulitan dalam pendengaran, mereka juga memiliki
kesulitan dalam berbicara sehingga mereka disebut tunawicara. Makin berat
kelainan pendengaran berarti semakin besar intensitas kekurangan ketajaman
pendengarannya. Menurut Kirk (Efendi: 2006) anak yang lahir dengan kelainan

5
pendengaran pada masa anak-anak sebelum bahasa dan bicaranya terbentuk di
sebut tunarungu pre-lingual. Hal ini bisa saja termasuk tunarungu berat. Sedangkan
anak yang memiliki kesulitan dalam pendengaran setelah usia anak telah
memahami suatu percakapan di sebut tunarungu post-lingual. Hal ini bisa saja
termasuk tunarungu sedang atau ringan.
Ketunarunguan dapat dibedakan menjadi 2 kategori yaitu deaf (tuli) adalah
taraf yang berat di mana pendengarannya tidak berfungsi lagi, dan hard of hearing
(kurang pendengaran) adalah pendengarannya masih berfungsi namun indera
pendengarannya mengalami kerusakan. Berikut ini klasifikasi ketunarunguan.
(Rafael dan Pastiria: 2020, hal. 60)
A. Mild Loses. Kehilangan kemampuan mendengar pada 20 – 30 dB dengan ciri-
ciri: sukar mendengar percakapan yang lemah, menuntuk sedikit perhatian
khusus dari sistem sekolah tentang kesulitannya, dan perlu latihan membaca
ujaran dan perlu diperhatikan perkembangan penguasaan perbendaharaan kata.
B. Marginal Loses. Kehilangan kemampuan mendengar pada 30 – 40 dB dengan
ciri-ciri: mengerti percakapan biasa pada jarak 1 meter; sulit menangkap
percakapan dengan pendengaran pada jarak normal terkadang juga kesulitan
menangkap percakapan kelompok; sedikit mengalami kelainan bicara dan
perbendaharaan kata yang terbatas; mereka membutuhkan belajar membaca,
menggunakan alat bantu dengar, latihan bicara, latihan artikulasi dan perhatian
dalam perkembangan perbendaharaan katanya.
C. Moderat Loses. Kehilangan kemampuan mendengar pada 40 – 60 dB dengan
ciri-ciri: mengerti percakapan keras pada jarak 1 meter dan perbendaharaan
kata yang terbatas.
D. Several Loses. Kehilangan kemampuan mendengar pada 60 – 70 dB dengan
ciri-ciri: masih bisa mendengar suara keras dari jarak yang dekat, memerlukan
latihan membaca ujaran dan pelajaran yang dapat mengembangkan bahasa dan
bicara dari guru kelas khusus.
E. Profound Loses. Kehilangan kemampuan mendengar pada 75 db ke atas
dengan ciri-ciri: mendengar suara yang keras pada jarak 1 inci (2,24 cm) atau
sama sekali tidak mendengar walaupun menggunakan alat bantu dengar.

6
Ketunarunguan juga dapat dibedakan berdasarkan tempat kerusakan pada
organ pendengarannya dan berdasarkan pada taraf penguasaan Bahasa berdasarkan
sifat terjadinya yaitu :
1. Ketunarunguan bawaan yaitu ketika lahir anak sudah mengalami tunarungu
dan indera pendengarannya sudah tidak berfungsi lagi
2. Ketunarunguan setelah lahir yaitu terjadinya setelah anak lahir diakibatkan
oleh kecelakaan atau suatu penyakit.

2.3. KARAKTERISTIK TUNARUNGU


Anak tunarungu memiliki karakter yang khas yang menyebabkan mereka
kesulitan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya sehingga mereka perlu
mendapat pembinaan yang khusus untuk mengatasi masalah ketunarunguan.
Berikut ini karakteristik pada anak tunarungu (Rafael dan Pastiria: 2020, hal. 80):
A. Segi Fisik
1. Cara berjalannya kaku dan agak membungkuk akibat terjadinya
permasalahan pada organ keseimbangan di telinga. Itulah sebabnya anak-
anak tunarungu mengalami kekurangan keseimbangan dalam aktivitas
fisiknya.
2. Pernapasannya pendek dan tidak teratur. Anak-anak tunarungu tidak
pernah mendengarkan suara-suara dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana bersuara atau mengucapkan kata-kata dengan intonasi yang
baik, sehingga mereka juga tidak terbiasa mengatur pernapasannya
dengan baik, khususnya dalam berbicara.
3. Cara melihatnya agak beringas. Penglihatan merupakan salah satu indra
yang paling dominan bagi anak-anak penyandang tunarungu karena
sebagian besar pengalamannya diperoleh melalui penglihatan. Oleh karena
itu anak-anak tunarungu juga dikenal sebagai anak visual sehingga cara
melihatnya selalu menunjukkan keingintahuan yang besar dan terlihat
beringas.
B. Segi Bahasa
Kemampuan anak tunarungu dalam berbahasa dan berbicara berbeda
dengan anak normal pada umumnya karena kemampuan tersebut sangat erat

7
kaitannya dengan kemampuan mendengar. Karena anak tunarungu tidak bisa
mendengar bahasa, maka anak tunarungu mengalami hambatan dalam
berkomunikasi. Bahasa merupakan alat dan sarana utama seseorang dalam
berkomunikasi. Alat komunikasi terdiri dan membaca, menulis dan berbicara,
sehingga anak tunarungu akan tertinggal dalam tiga aspek penting ini. Anak
tunarungu memerlukan penanganan khusus dan lingkungan berbahasa intensif yang
dapat meningkatkan kemampuan berbahasanya. Kemampuan berbicara anak
tunarungu juga dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh anak
tunarungu. Kemampuan berbicara pada anak tunarungu akan berkembang dengan
sendirinya namun memerlukan upaya terus menerus serta latihan dan bimbingan
secara profesional. Dengan cara yang demikian banyak dari mereka yang belum
bisa berbicara seperti anak normal baik dari segi suara, irama dan tekanan suara
terdengar monoton berbeda dengan anak normal. Ciri-cirinya biasanya terlihat
seperti:
1. Kosa kata yang dimiliki tidak banyak.
2. Sulit mengartikan kata-kata yang mengandung ungkapan atau idiomatik.
3. Tata bahasanya kurang teratur
C. Intelektual
Intelegensi anak tunarungu tidak berbeda dengan anak normal yaitu tinggi,
rata-rata dan rendah. Pada umumnya anak tunarungu memiliki intelegensi normal
dan rata-rata. Prestasi anak tunarungu seringkali lebih rendah daripada prestasi anak
normal karena dipengaruhi oleh kemampuan anak tunarungu dalam mengerti
pelajaran yang diverbalkan. Namun untuk pelajaran yang tidak diverbalkan, anak
tunarungu memiliki perkembangan yang sama cepatnya dengan anak normal.
Prestasi anak tunarungu yang rendah bukan disebabkan karena intelegensinya
rendah namun karena anak tunarungu tidak dapat memaksimalkan intelegensi yang
dimiliki. Aspek intelegensi yang bersumber pada verbal seringkali rendah, namun
aspek intelegensi yang bersumber pada penglihatan dan motorik akan berkembang
dengan cepat. Ciri-cirinya terlihat seperti:
1. Kemampuan intelektualnya normal. Pada dasarnya anak-anak tunarungu
tidak mengalami permasalahan dalam segi intelektual. Namun akibat

8
keterbatasan dalam berkomunikasi dan berbahasa, perkembangan
intelektualnya menjadi lamban
2. Perkembangan akademiknya lamban akibat keterbatasan bahasa. Sering
terjadinya keterlambanan dalam perkembangan intelektualnya akibat
adanya hambatan dalam berkomunikasi, dalam segi akademik anak
tunarungu juga mengalami keterlambatan
D. Sosial-Emosional
Ketunarunguan dapat menyebabkan keterasingan dengan lingkungan.
Keterasingan tersebut akan menimbulkan beberapa efek negatif seperti:
egosentrisme yang melebihi anak normal, mempunyai perasaan takut akan
lingkungan yang lebih luas, ketergantungan terhadap orang lain, perhatian mereka
lebih sukar dialihkan, umumnya memiliki sifat yang polos dan tanpa banyak
masalah, dan lebih mudah marah dan cepat tersinggung.
1. Egosentrisme yang melebihi anak normal. Sifat ini disebabkan oleh anak
tunarungu memiliki dunia yang kecil akibat interaksi dengan lingkungan
sekitar yang sempit. Karena mengalami gangguan dalam pendengaran,
anak tunarungu hanya melihat dunia sekitar dengan penglihatan.
Penglihatan hanya melihat apa yang di depannya saja, sedangkan
pendengaran dapat mendengar sekeliling lingkungan. Karena anak
tunarungu mempelajari sekitarnya dengan menggunakan penglihatannya,
maka akan timbul sifat ingin tahu yang besar, seolah-olah mereka haus
untuk melihat, dan hal itu semakin membesarkan egosentrismenya.
2. Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas. Perasaan
takut yang menghinggapi anak tunarungu seringkali disebabkan oleh
kurangnya penguasaan terhadap lingkungan yang berhubungan dengan
kemampuan berbahasanya yang rendah. Keadaan menjadi tidak jelas
karena anak tunarungu tidak mampu menyatukan dan menguasai situasi
yang baik.
3. Ketergantungan terhadap orang lain. Sikap ketergantungan terhadap
orang lain atau terhadap apa yang sudah dikenalnya dengan baik,
merupakan gambaran bahwa mereka sudah putus asa dan selalu mencari
bantuan serta bersandar pada orang lain.

9
4. Perhatian mereka lebih sukar dialihkan. Sempitnya kemampuan
berbahasa pada anak tunarungu menyebabkan sempitnya alam
fikirannya.Alam fikirannya selamanya terpaku pada hal-hal yang konkret.
Jika sudah berkonsentrasi kepada suatu hal, maka anak tunarungu akan sulit
dialihkan perhatiannya ke hal-hal lain yang belum dimengerti atau belum
dialaminya. Anak tunarungu lebih miskin akan fantasi.
5. Umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak
masalah. Anak tunarungu tidak bisa mengekspresikan perasaannya
dengan baik. Anak tunarungu akan jujur dan apa adanya dalam
mengungkapkan perasaannya. Perasaan anak tunarungu biasanya dalam
keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa dan cepat tersinggung karena banyak
merasakan kekecewaan akibat tidak bisa dengan mudah mengekspresikan
perasaannya, anak tunarungu akan mengungkapkannya dengan kemarahan.
Semakin luas bahasa yang mereka miliki semakin mudah mereka mengerti
perkataan orang lain, namun semakin sempit bahasa yang mereka miliki
akan semakin sulit untuk mengerti perkataan orang lain sehingga anak
tunarungu mengungkapkannya dengan kejengkelan dan kemarahan.

2.4. PENANGANAN PADA TUNARUNGU DALAM PEMBELAJARAN


Anak tunarungu kurang memiliki pemahaman informasi verbal sehingga
membutuhkan media gambar yang menarik dan digemari untuk memudahkan
pemahaman suatu konsep pada mereka. Bahasa isyarat adalah bahasa yang
menggunakan abjad jari yang telah dipatenkan secara internasional. Bahasa isyarat
biasanya mewakili satu ide utuh dan berbeda-beda di setiap negara (Dewi dan
Winda: 2013, hal. 6). Ada beberapa pendekatan komunikasi yang banyak
dipergunakan pada tunarungu yaitu latihan pendengaran, oralism, manualism, dan
komunikasi total. Menurut dewi dan Winda (2013: hal. 7) latihan pendenganran
untuk menyadari dan membedakan suara-suara yang mencolok, pola irama
berbicara/ irama musik, pengenalan huruf hidup dan huruf mati, dan bicara dalam
situasi yang ramai.
Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan
membaca ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau

10
dengan kombinasi ketiga cara tersebut. Berikut ini beberapa bentuk pendekatan
dalam pembelajaran pada tunarungu:
a. Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca”
ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran
yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian
dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga
tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga
pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat
menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa.
Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan
yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat
mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang
bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada
tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa
latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa
harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994). Kelemahan sistem baca
ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran).
Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran
(speech reading).
Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok
konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan
kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada
saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak. Cued
Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada
tahun 1965. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian
pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan
tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi
isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan
memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa
yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan
dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam

11
waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata
(termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu
yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan menulis
setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam
Caldwell, 2003).
b. Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari
semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar
tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan
sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear
implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu
komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna,
dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan
ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen
eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear
implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung
memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran.
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi
ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi
ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang
lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak
berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat
memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang
menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat
mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut
mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang
maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya.
c. Belajar Bahasa secara Manual
Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara
komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara
telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman &
Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat

12
yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu,
sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa
isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang
eksklusif.
d. Pendekatan Auditori Verbal
Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh dalam
lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkanya menjadi warga yang mandiri,
partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal
mendukung hak asasi manusia yang mendasar bahwa anak penyandang semua
tingkat ketunarunguan berhak atas kesempatan untuk mengembangkan kemampuan
untuk mendengarkan dan menggunakan komunikasi verbal di dalam lingkungan
keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan auditori verbal didasarkan atas prinsip
mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar
mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori verbal
merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan
dalam pengajaran di kelas.
e. Pendekatan Auditori Oral
Pendekatan auditori oral didasarkan atas premis mendasar bahwa
memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif,
merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu. Kemampuan ini akan
berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan
dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah
dan sekolah (Stone, 2004).
Mengajari anak mengunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya
untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi
pendekatan auditori oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah,
intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang
terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan
pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan itu
adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech
sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan
mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling

13
melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap
suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan
keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa
dilaksanakan secara naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri
anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan
pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran
dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi tunarungu
di sekolah reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada keterampilan sosial,
komunikasi dan belajar anak.
Mengajar anak tunarungu pasti berbeda dengan anak normal, maka
dibutuhkan media untuk membantu anak tunarungu. Pengertian media dalam proses
belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis, atau
elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyususun kembali informasi
visual atau verbal. Solusi cara mengajar anak dengan pendengaran terganggu
(tunarungu) yaitu dapat melalui media pembelajaran dengan menunjukkan foto-
foto, video, kartu huruf, kartu kalimat, anatomi telinga, miniatur benda, finger
elphabet, puzzle buah-buahan, puzzle binatang, puzzle konstruksi, silinder, model
geometri, menara segitiga, menara gelang, menara segi empat, atlas, globe, peta
dinding, miniatur rumah adat. Anak tunarungu yang memiliki keterbatasan dalam
berbicara dan mendengar, sehingga memerlukan media pembelajaran yang berupa
media visual untuk memperkaya perbendaharaan bahasa.

2.5. KEGUNAAN BAHASA ISYARAT PADA TUNARUNGU


Berdasarkan Jurnal Kegunaan Video Bahasa Isyarat Amerika untuk
Menyajikan Konten Penilaian Matematika oleh Eric G. Hansen, Ruth C. Loew,
Cara C. Laitusis, Poorna Khusalnagar, Claudia M. Pagliaro, dan Christopher Kurz.
Harapan bahwa akan ada perbedaan dalam kegunaan antara avatar dan versi bahasa
isyarat manusia dari item matematika hanya sebagian didukung oleh penelitian ini.
Peserta menunjukkan preferensi yang jelas untuk bahasa isyarat manusia atas versi
avatar, seperti yang diamati oleh Russell et al. (2009). Peserta percaya bahwa
kualitas bahasa isyarat dalam versi manusia lebih tinggi daripada versi avatar. Studi
ini juga muncul konsisten dengan temuan oleh Russell et al. (2009) bahwa versi

14
bahasa isyarat (manusia versus avatar) tidak secara signifikan terkait dengan skor
matematika. Selanjutnya, dalam penelitian ini, versi bahasa isyarat tidak secara
signifikan terkait dengan skor terjemahan. Dengan demikian, baik skor matematika
maupun skor terjemahan tidak memberikan bukti signifikan bahwa satu versi lebih
mudah dipahami daripada versi lainnya.
Skor matematika dan skor terjemahan sangat berkorelasi (lihat pertanyaan
penelitian 1). Sulit untuk mengatakan ke mana sebab-akibat itu berjalan; apakah
pengetahuan konten matematika (juga pengetahuan bahasa) diperlukan untuk
menghasilkan terjemahan yang akurat, atau apakah pemahaman bahasa merupakan
pra-syarat untuk memahami konten matematika seperti yang disajikan? Agaknya,
masing-masing memainkan peran. Salah satu peneliti mengamati bahwa para
peserta yang berjuang untuk menerjemahkan versi bahasa isyarat ke dalam bahasa
Inggris tampaknya tidak memahami konten matematika yang mendasarinya dengan
sangat baik. Ini tipikal situasi terjemahan: memahami konten sangat penting untuk
terjemahan yang baik. Tetapi yang sebaliknya mungkin juga benar, bahwa
memahami bahasa tempat konten disajikan adalah penting untuk memahami konten
itu. Artinya, para siswa yang menggunakan ASL sendiri secara sosial, tetapi yang
pendidikan matematika-nya telah berbahasa Inggris, mungkin mengalami kesulitan
dalam memahami bahkan konten matematika yang sudah dikenal ketika disajikan
dalam ASL. Penjelasan untuk kesulitan seperti itu dapat diinformasikan oleh
penelitian yang menunjukkan kekuatan bahasa pengantar untuk siswa bilingual dan
orang dewasa (Ardila & Rosselli, 2017; MartinezLincoln, Cortinas, & Wicha,
2015). Studi-studi ini menunjukkan bahwa peserta didik cenderung kembali ke
bahasa di mana mereka belajar matematika terlepas dari apakah bahasa itu adalah
bahasa asli mereka ketika memecahkan masalah atau mengingat konsep
matematika. Meskipun ini dapat dibalik dengan kemahiran tinggi dalam bahasa
kedua, mungkin inilah kasus di sini bahwa siswa menggunakan bahasa Inggris,
bahasa di mana mereka pertama kali belajar konsep matematika yang diperlukan.
Ini juga akan mendukung hipotesis sebelumnya bahwa para peserta tidak memiliki
kemampuan bahasa kognitif/akademik tingkat tinggi (CALP; Baker, 2006) di ASL
yang akan memungkinkan mereka mengakses masalah. Penjelasan alternatif
mungkin bahwa bahasa isyarat juru bahasa tidak jelas bagi siswa, dan karenanya

15
membuat kesulitan dalam menerjemahkan item dari ASL ke Bahasa Inggris. Studi
selanjutnya dapat mengambil manfaat dari pembekalan kognitif dari terjemahan
item draf dengan pengguna siswa selain tim peneliti sebelum menyelesaikan
terjemahan ASL.
Kurangnya perbedaan dalam kelengkapan (seperti yang ditunjukkan oleh skor
matematika dan skor terjemahan) antara avatar dan versi manusia, meskipun
perbedaan jelas dalam kepuasan dengan versi ini, mungkin disebabkan oleh
beberapa alasan. Misalnya, mungkin karena ukuran sampel yang kecil. Juga, itu
mungkin karena kurang terbiasa dengan matematika yang disajikan dalam ASL,
yang tentu saja, menimbulkan masalah perlunya terjemahan tersebut. Namun, kami
berpendapat bahwa kebutuhan akan terjemahan semacam itu berasal dari rendahnya
prestasi para siswa ini. Jika presentasi dan pengajaran dalam bahasa Inggris tidak
memberikan keberhasilan bagi siswa dalam matematika, mungkin siswa harus
diberikan kesempatan untuk belajar matematika melalui ASL dengan tanda-tanda
yang akurat dan tepat. Ini bisa menghasilkan pemahaman matematika yang lebih
besar seperti yang disajikan dalam ASL, yang mengarah ke pencapaian yang lebih
besar. Meskipun ada beberapa gerakan di bidang ini, bagi sebagian besar siswa, ini
belum menjadi kenyataan.
Bagian lain dari penjelasan mungkin karena tren yang konsisten dengan fenomena
saat ini dalam pendidikan tunarungu dan interpretasi pendidikan. Banyak siswa
D/HH telah terbiasa bekerja dengan penerjemah pendidikan dan guru pendidikan
tunarungu dengan berbagai kemampuan bahasa isyarat (Schick, Williams, &
Kupermintz, 2006). Ketika penerjemah atau guru tidak mahir dalam ASL, siswa
yang berbahasa isyarat ASL harus mencoba yang terbaik untuk memahami bahasa
isyarat secara semantik (berkaitan dengan makna dalam bahasa atau logika) tidak
jelas dan yang mungkin berbeda dari ASL dalam cara yang signifikan, termasuk
tidak adanya atau penyalahgunaan penanda tata bahasa ASL yang disampaikan oleh
tatapan, wajah, dan tubuh. Karena pengisyaratan model dalam penelitian kami
adalah juru bahasa bersertifikasi K-12 dengan pengalaman luas dalam pengaturan
sekolah arus utama, ada kemungkinan bahwa beberapa peserta kami, terutama
mereka yang terbiasa dengan gaya bahasa isyarat guru ASL tunarungu, mengalami
kesulitan memahami gaya bahasa isyarat juru bahasa ini. Schick, Williams, dan

16
Kupermintz (2006) menemukan variasi yang signifikan dalam jenis bahasa isyarat
yang digunakan, dan keterampilan menafsirkan, dari penafsir pendidikan. Jika
bahasa pengajaran matematika siswa D/HH adalah ASL (atau bentuk bahasa isyarat
lainnya), sangat mungkin bahwa meskipun upaya kami untuk menggunakan ASL
yang akurat, bahasa isyarat itu mungkin sangat berbeda dari apa yang siswa lihat
dalam pengaturan pembelajaran.
Pertimbangan lain yang mungkin mempengaruhi hasil penelitian adalah tingkat
kemahiran matematika peserta. Perhatikan bahwa skor total matematika peserta
untuk video 1 memiliki rata-rata 3,77 (SD = 2,3) dari 9 poin yang mungkin (1 poin
per item), yang bisa dibilang rendah, mengingat bahwa item tersebut membahas
matematika pra-perguruan tinggi dan termasuk konten yang akan ditemui di kelas
matematika sekolah menengah pertama atau sekolah menengah atas. Penelitian saat
ini menggunakan skor matematika sebagai indikator kegunaan (mis., Kelengkapan)
dari kondisi yang diberikan daripada indikator kemahiran matematika. Namun, skor
yang relatif rendah menimbulkan masalah apakah kecakapan matematika yang
mendasari peserta sebenarnya relatif rendah terhadap kesulitan dari item dan bahwa
hasilnya mungkin berbeda jika ada kecocokan yang lebih dekat antara kesulitan
matematika dari item dan kemahiran matematika para peserta. Meskipun bukan
fokus utama dari studi saat ini, perlu dicatat bahwa mengingat keadaan terkini,
memproduksi versi avatar yang baik mungkin tidak jauh lebih murah daripada versi
manusia yang baik. Kedua versi melibatkan beberapa siklus revisi. Sebagian besar
penghematan dalam menggunakan versi avatar kemungkinan akan bertambah di
mana koreksi perlu dilakukan. Merevisi versi avatar dapat dilakukan di komputer,
tetapi revisi ke versi manusia dapat melibatkan biaya besar untuk aktor dan staf
produksi video. Tampaknya tantangan utama yang diidentifikasi untuk versi avatar
adalah relatif tidak adanya ekspresi wajah dan bahasa tubuh. Fitur-fitur ini penting
untuk tata bahasa ASL, dan ekspresi wajah dan posisi tubuh ASL hampir tidak
sepenuhnya berkembang atau lancar seperti dalam bahasa isyarat manusia. Selain
itu, arah pandangan, yang sangat penting untuk tata bahasa dan wacana ASL, tidak
digunakan secara bermakna dalam versi avatar. Tidak ada peserta yang
menyebutkan pandangan secara spesifik, tetapi mereka mungkin menganggapnya
sebagai komponen ekspresi wajah.

17
BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
1. Tunarungu adalah anak yang memiliki kesulitan atau gangguan dalam
pendengarannya baik secara menyeluruh ataupun masih memiliki
pendengaran walaupun sedikit.
2. Klasifikasi ketunarunguan yaitu: (1) Mild Loses. Kehilangan kemampuan
mendengar pada 20 – 30 dB; (2) Marginal Loses. Kehilangan kemampuan
mendengar pada 30 – 40 dB; (3) Moderat Loses. Kehilangan kemampuan
mendengar pada 40 – 60 dB; (4) Several Loses. Kehilangan kemampuan
mendengar pada 60 – 70 dB; dan (5) Profound Loses. Kehilangan
kemampuan mendengar pada 75 db ke atas.
3. Karakteristik pada anak tunarungu dapat dilihat dari beberapa segi pandangan
yaitu: (1) Segi Fisik (cara melihatnya selalu menunjukkan keingintahuan
yang besar), (2) Segi Bahasa (kosa kata yang dimiliki tidak banyak), (3)
Intelektual (kemampuan intelektualnya normal namun perkembangan
akademiknya lamban akibat keterbatasan bahasa), (4) Sosial-Emosional
(egosentrisme yang melebihi anak normal, mempunyai perasaan takut akan
lingkungan yang lebih luas, ketergantungan terhadap orang lain, perhatian
mereka lebih sukar dialihkan, umumnya memiliki sifat yang polos dan tanpa
banyak masalah, dan lebih mudah marah dan cepat tersinggung).
4. Beberapa pendekatan komunikasi yang banyak dipergunakan pada tunarungu
yaitu (1) membaca ujaran, (2) melalui pendengaran, (3) dengan komunikasi
manual, (4) melalui auditori verbal, dan (5) melalui auditori oral. Anak
tunarungu yang memiliki keterbatasan dalam berbicara dan mendengar,
sehingga memerlukan media pembelajaran yang berupa media visual untuk
memperkaya perbendaharaan bahasa.
5. Penelitian tersebut menemukan bahwa dalam temuannya tidak ada hubungan
yang signifikan antara versi bahasa isyarat dan skor matematika atau skor
terjemahan. peneliti mewajibkan para peserta untuk bergantung pada versi
bahasa isyarat, oleh karena itu memungkinkan kesimpulan yang lebih baik
tentang dampak dari isyarat itu sendiri, daripada membiarkan efek bahasa
18
isyarat dikacaukan dengan dampak dari pemahaman peserta terhadap teks
bahasa Inggris. Dengan menggunakan skor terjemahan, penelitian ini
memberikan indikator tambahan (di luar skor matematika) dari pemahaman
peserta dari versi bahasa isyarat. Selain itu, penelitian ini memberikan
gambaran yang berguna tentang keadaan teknologi avatar saat ini. Hasil awal
ini menunjukkan bahwa perbaikan video avatar diperlukan sebelum
penerimaan pengguna mereka akan sama dengan video manusia. Penelitian
ini menunjukkan bahwa peserta didik cenderung kembali ke bahasa di mana
mereka belajar matematika terlepas dari apakah bahasa itu adalah bahasa asli
mereka ketika memecahkan masalah atau mengingat konsep matematika.
Tujuan proyek saat ini adalah untuk membandingkan versi manusia dan
avatar daripada mengevaluasi kegunaan dari terjemahan ASL (versus tidak
ada terjemahan).

3.2. Saran
Kita haruslah menyadari bahwa kita semua perlu untuk menumbuhkan arti
tentang cinta dan kasih sayang terhadap sesama manusia serta kesetiakawanan
sosial yang memppunyai arti yang berharga bagi masa depan anak-anak
berkebutuhan khusus di mana mereka juga berhak untuk menikmati masa depan
sebagaimana halnya anak-anak lannya. Kita haruslah saling mendukung dan
bekerja sama untuk meningkatkan upaya pemenuhan hak-hak mereka.

19
DAFTAR PUSTAKA

Hansen, Eric G., Ruth C. Loew, Cara C. Laitusis, Poorna Khusalnagar, Claudia M.
Pagliaro, dan Christopher Kurz. 2018. Usability of American Sign Language
Videos for Presenting Mathematics Assessment Content. Journal of Deaf
Studies and Deaf Education. Dipublikasikan oleh Oxford University Press.
Lisinus, Rafael dan Sembiring, Pastiria. 2020. Pembinaan Anak Berkebutuhan
khusus (Sebuah Perspektif Bimbingan dan Konseling). Jakarta: Yayasan
Kita Menulis.
Pandji, Dewi dan Wardhani, Winda. 2013. Sudahkah kita Ramah Anak Special
Needs?. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Berger, Peter L. Sociology: a Biographical Approach. New York: pinguin. ISBN-
10: 0140809686 ISBN-13:978-0140809688
Ashman, A. dan Elkins, J. 1994. Educating Children With Special Needs. New
York: Prentice Hall of Australia Pty Ltd.
Caldwell, B. 1997. Educating Children Who are Deaf or Hard Hearing: Cued
Speech.
Stone, H.J. dan Sidel, J.L. 2004. Sensory Evaluation Practices Third Edition. New
York: Academic Press

20

Anda mungkin juga menyukai