Disusun oleh :
Sumiyati
Widodo
Puji syukur kami sampaikan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat, hidayah, taufiq,
serta inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam semoga tetap
tercurahkan ke hadirat Rasulullah saw. Sebagai nabi pembawa risalah demi kerahmatan
seluruh alam serta syafaatnya yang kita nantikan kelak di yaumil qiyamah, Amiiin.
Terima kasih kepada dosen pengampu yaitu Ibu Dirga Ayu Lestari, S. Pd. I., M. Pd selaku
pembimbing Mata Kuliah Pend. Anaka berkrbutuhan khusus yang telah membimbing kami
dalam menyelesaikan makalah yang berjudul “Anak dengan hambatan sensorik (Tunarungu)”
ini. Semoga amal baiknya mendapat balasan dari Allah SWT. Dengan ini penulis sadari
bahwa penulisan makalah sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran dari
semua pihak penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa bermanfaat dalam
kehidupan sehari-hari pembaca, Aamiin Ya Robbal Alamin.
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A.LatarBelakang...................................................................................................................... 1
B.RumusanMasalah....................................................................................................... 1
C.Tujuan dan Kegunaan...................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian anak tunarungu....... ............................................................................................ 2
B. Penyebab ketunarunguan...................................................................................................... 3
C. Klasifikasi ketunarunguan...................................................................................................... 5
D. Krakteristik anak tunarungu.................................................................................................. 6
E. Prinsip pembelajaran umum dan khusus bagi anak tunarungu............................................. 9
F. Pembelajaran bagi anak tunarungu......................................................................................... 10
G. Sarana dan prasarana bagi peserta didik tunarungu................................................................ 13
BAB lll PENUTUP
Kesimpulan........................................................................................................................................ 15
Saran dan Kritik................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak tunarungu atau anak dengan gangguan pendengaranmerupakan anak yang kehilangan untuk
mendengar sebagaimana kemampuan yang dimiliki oleh anak-anak normal. Anak-anak tersebut
kehilangan kemampuan mendengar yang dapat terjadi sejak lahir atau dalam masa pertumbuhannya.
Secara garis besar tingkat gangguan pada anak tunarungu dapat dikelompokkan menjadi gangguan
berat, gangguan sedang, dan gangguan ringan.
Kehilangan kemampuan mendengar mengakibatkan anak tidak pernah mengetahui apa itu suara atau
bunyi sehingga anak tersebut juga mengalami kesulitan dalam memproduksi suara atau bunyi.
Kenyataannya, suara atau bunyimenjadi komponen utama dalam komunikasi. Hal itu juga
mengakibatkan pemahaman anak tunarunguterhadap bahasa dan penggunaannya menjadi terhambat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Apa pengertian anak tunarungu?
2. Apa saja penyebab ketunarunguan?
3. Apa saja klasifikasi ketunarunguan?
4. Apa saja karakteristik ketunarunguan?
5. Apa saja prinsip pembelajaran umum dan khusus bagi anak tunarungu?
6. Apa saja pembelajaran bagi anak tunarungu?
7. Apa saja sarana dan prasarana untuk peserta didik tunarungu?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui pengertian anak tunarungu.
2. Untuk mengetahui penyebab ketunarunguan.
3. Untuk mengetahui klasifikasi ketunarunguan.
4. Untuk mengetahui karakteristik ketunarunguan.
5. Untuk mengetahui apa saja prinsip pembelajaran umum dan khusus bagi anak tunarungu.
6. Untuk mengetahui apa saja pembelajaran bagi anak tunarungu.
7. Untuk mengetahui apa saja sarana dan prasana untuk peserta didik tunarungu.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Hallahan dan Kauffman (1982 : 234) memberikan batasan tentang tunarungu di tinjau dari
kehilangan kemampuan mendengarnya, bahwa :
Hearing impairment. A genetic term indicating a hearing disabiliti that range insevety from milk to
profound in includis the subsets deaf and hard of hearing. Deaf person in one whos hearing disability
precludes successful processing of linguistic information though audio, with or without a haering aid,
has residual hearing sufficient to enable sucxessful processing of linguistic information thoght
audition.
Andreas Dwijosumarto dalam seminar ketuna runguan di bandung (19 juni 1988) mengemukakan
bahwa tuna rungu adalah suatu kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat
menangkap berbagai perangsang, terutama indra pendengaran.
Kemudian Donald F Moores menjelaskan pengertian tuna rungu dalam bukunya Education the deaf
(Psychology principles and practices) Hougtoh Miflin Company, Boston (1981: 3) sebagai berikut :
A deaf person is one whose hearing is disabled to exten (usually 70 dB ISO grather ) that precluds the
understanding of speech through the earlone without or with the use of hearing aid. A hard of hearing
person is one whose hearing is disabled to an exten ( usually 35 to 69 dB ISO ) That makes difficult
but dose not preclude the understanding of speech through the ear alone with out our with a hearing
aid.
Menurut batasan dari Sri Moerdiani (1987: 27) dalam buku psikologi anak luar biasa bahwa anak tuna
rungu adalah mereka yang menaglami gangguan pendengaran sedemikian rupa sehingga tidak
mempunyai fungsi praktis dan tujuan komunikasi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Adapun Moh Amin dalam buku Ortopedagogik umum mengemukakan bahwa anak tuna rungu adalah
mereka yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebakan oleh
kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh organ pendengaran yang mengakibatkan
hambatan dalam perkembanganya sehingga memerlukan bimbingan pendidikan khusus. (1991: 1).
Ahli lainnya memberikan batasan mengenai tunarungu ditinjau dari segi medis dan pedagogis sebagai
berikut : “Tunarungu berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan
oleh kerusakan seluruh alat pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan bahasa
sehingga memerlukan bimbingan dan pelayanan khusus”. ( Salim,1984 : 8)
Orang tuli adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan untuk mendengar sehingga tidak dapat
mengembangkan, biasanya pada tingkat 70 dB ISO atau lebih besar sehinga menghalangi untuk
mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengaranya sendiri tanpa mengunakan alat bantu dengar.
Seseorang dikatakan kurang mendengar adalah ketidak mampuan untuk mendengar sehingga tidak
dapat mengembangkan, bisanya pada tingkat 35 sampai 69 Db ISO tetapi tidak menghalangi untuk
mengerti pembicaraan orang lain melauli pendengaranya sendiri tanpa atau menggunakan alat bantu
dengar.
Pernyataan tersebut kurang lebih berarti bahwa tunarungu adalah suatu istilah umun yang menunjukan
kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang berat dan di golongkan kedalam bagian tuli dan
kurang dengar.
Orang tuli adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga tidak dapat
memproses informasi bahasa melalui pendengaran dengan atau tanpa alat bantu dengar. Sedangkan
orang kurang dengar adalah seseorang yang pada umumnya menggunakan alat bantu dengar sisa
pendengarannya cukup memungkinkan keberhasilan memproses informasi bahasa melalui
pendengarannya.
Dari beberapa pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang
mengalami hambatan dalam mendengar yang di sebabkan karena tidak berfungsinya sebagian atau
keseluruhan alat pendengaran sehingga anak memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus agar
dapat mengembangkan bahasa serta potensi yang dimiliki anak seoptimal mungkin.
Atau dengan menggunakan bahasa lain, bahwa anak tuna rungu adalah anak yang mengalami
kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang diakibatkan oleh kerusakan atau tidak
berfungsinya indra pendengaran sehingga mengalami hambatan dalam perkembanganya. Denagn
demikian anak tuna rungu memerlukan pendidikan secara khusus untuk mencapai kehidupa lahir batin
yang layak.
B. Penyebab Ketunarunguan
e. Kelahiran premature
Bagi bayi yang dilahirkan premature, berat badanya di bawah normal, jaringan-jaringan
tubuhnya lemah dan mudah terserang anoxia (kurangnya zata asam). Hal ini merusak inti
cochlea (cochlear nuclei)
b. Anak lahir premature atau sebelum 9 bulan dalam kandungan. Anak yang dilahirkan
prematur, mempunyai gejala-gejala yang sama dengan anak yang rh nya tidak sejenis dengan
rh ibunya, yaitu akan menderita anemia dan mengakibatkan anoxia.
3) Post Natal
a. Sesudah anak lahir dia menderita infeksi misalnya campak (measles) infection atau anak
terkena syphilis sejak lahir karena ketularan orang tuanya. Anak dapat menderita tunarungu
perseptif. Virus akan menyerang cairan cochlea.
Dari beberapa faktor yang telah dijabarkan di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa penyebab
ketunarunguan tidak saja dari faktor dalam individu seperti ketuna runguan dari orang tua atupun pada
saat ibu mengandung terserang penyakit. Tetapi faktor di luar diri individu mempunyai peluang yang
mengakibatkan seseorang mengalami ketuna runguan, seperti infeksi peradangan dan kecelakaan.
C. Klasifikasi Ketunarunguan
Klasifikasi lain dikemukakan oleh Streng yang dikutip Somad dan Hernawati ( 1997 : 28-31 ) sebagai
berikut:
1. Mild Loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 20-30 dB yang memiliki ciri- ciri :
Sukar mendengar percakapan yang lemah.
Menuntut sedikit perhatian khusus dari sistem sekolah tentang kesulitannya.
Perlu latihan membaca ujaran dan perlu diperhatikan perkembangan penguasaan
perbendaharaan kata.
2. Marginal Loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 20-30 dB yang memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
Mengerti percakapan biasa pada jarak satu meter.
Mereka sulit menangkap percakapan dengan pendengaran pada jarak normal dan kadang-
kadang mereka mendapat kesulitan dan menangkap percakapan kelompok.
Mereka akan sedikit mengalami kelainan bicara dan perbendaharaan kata yang terbatas.
Kebutuhan dalam program pendidikan antara lain belajar membaca, penggunaan alat bantu
dengar, latihan bicara, latihan artikulasi dan perhatian dalam perkembangan perbendaharaan
kata.
3. Moderat loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 40-60 dB yang memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
Mereka mengerti percakapan keras pada jarak satu meter.
Perbendaharaan kata terbatas
4. Severa loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 60-70 dB. Memiliki ciri-ciri :
Mereka masih biasa mendengar suara keras dari jarak yang dekat misalnya klakson mobil dan
lolongan anjing.
Mereka diajar dalam suatu kelas khusus untuk anak-anak tunarungu.
Diperlukan latihan membaca ujaran dan pelajaran yang dapat mengembangkan bahasa dan
bicara dari guru kelas khusus.
5. Profound loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 75 dB keatas. Memiliki ciri :
Mendengar suara yang keras pada jarak 1 inci (2,24 cm) atau sama sekali tidak mendengar
walaupun menggunakan alat bantu dengar.
Menurut buku pendidikan anak tuna rungu untuk sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa ( SGPLB )
menyebutkan, bahwa ada klarifikasi ketuna runguan yang didasarkan klasifikasi etiologis, klasifikasi
anatomos fisiologis, menurut nada yang tak dapat didengar dan menurut saat terjadinya ketuna
runguan, Depdikbud ( 1977 : 8 ), sebagai berikut :
1. Klasifikasi etilogis
a. Tuna rungu endogen adalah suatu ketunarunguan yang diturunkan oleh orang tuanya
b. Tuna rungu eksogen adalah ketunarunguan yang diakibatkan suatu penyakit atau kecelakaan.
2. Klasifikasi anatomis-fisikologis
a. Tuna rungu hantaran (konduksi) adalah ketunarunguan yang disebabkan kerusakan atau tidak
berfungsinya alat penghantar getaran pada telinga bagian bawah.
b. Tuna rungu syaraf (perseptif) adalah ketunarunguan sebagai akibat dari kerusakan atau tidak
berfungsinya alat pendengarn telinga bagian dalam.
Kemudian di dalam buku petunjuk praktis penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa bagian B atau
tunarungu, Depdikbud ( 1985 : 20-21 ) dibuat klasifikasi anak tuna rungu sebagai berikut :
1. Ditinjau dari tingkat kehilangan pendengaran dalam satuan ukuran bunyi ( deciblell/Db ) tuna
rungu dibedakan atas :
a. Mereka yang kehilangan pendengaran 90 dB atau lebih (golongan tuli). Batas 90 dB diambil
sebagi patokan karena pada tingkat kehilanagn yang demikian si penderita tak akan mampu
lagi untuk mendengar suara sendiri.
b. Mereka yang kehilangan pendengaran kurang dari 90 dB (golongan kurang dengar) :
- Kehilanagn pendengaran antara 35-34 dB, termasuk kurang dengar ringan.
- Kehilangan pendengaran antara 55-69 dB, termasuk kurang dengar sedang.
Berdasarkan beberapa tinjauan di ats maka anak tuna rungu dalam perkembanganya memerlukan
program khusus dalam bimbingan dan pendidikanya.
Diperlukan teknik khusus untuk mengembangkan bicara dengan metode visual, taktil, kinestetiok
serta semua hal yang dapat membantu terhadap perkembangan bicara dan bahasanya.
Dari beberapa batasan yang terangkum di atas dapat di simpulkan bahwa tunarungu adalah seseorang
yang mengalami kerusakan organ pendengaran baik ringan ataupun berat yang akan berpengaruh pada
kehidupan sehari-hari dan pada akhirnya memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk
mendapat kehidupan yang layak.
Istilah tunarungu adalah semua bagi orang yang mengalami kehilangan kemampuan mendengar.
Meskipun demikian penyandang tunarungu itu sendiri tingkatnya berbeda, ada yang ringan sedang
dan berat.
Semua individu memiliki karakteristik tertentu demikian pula anak-anak yang mengalami
ketunarunguan dan dampak yang paling mencolok yaitu terhambatnya perkembangan bahasa dan
bicara, mereka terbatas dalam kosa kata dan pengertian kata-kata yang abstrak. Hal ini karena mereka
hanya memanfaatkan penglihatan dalam belajar bahasa. Belajar bahasa hanya melalui penglihatan
memiliki banyak kelemahan-kelemahan sehingga mereka tidak dapat memanfaatkan intelegensinya
secara maksimal, akibatnya mereka tampak bodoh.
Perkembangan bahasa anak tunarungu pada awalnya tidak berbeda dengan perkembangan bahasa
anak normal sekitar usia enam bulan anak mencapai pada tahap meraban. Pada perkembangan ini
semua anak mengalaminya karena merupakan awal untuk belajar bahasa.
Anak yang sejak lahir mengalami ketunarunguan, pada saat bayi mengulang-ulang bunyi bayi tidak
dapat mendengar bunyi yang dikeluarkan begitu pula ia tidak dapat mendengar respon yang
dikeluarkan oleh orang tua atau orang-orang yang dekat darinya.
Ada beberapa perbedaan karakteristik anatara anak tunarungu dengan anak normal. Hal ini
disebabkan keadaan mereka yang sedemikian rupa sehingga mempunmyai karakter yang khas yang
menyebabkan anak tunarungu mendapatkan kesulitan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya,
sehingga mereka perlu mendapat pembinaan yang khusus untuk mengatasi masalah ketunarunguan.
Pada awal fase meraban (babling) tidak terjadi hambatan karena fase meraban ini merupakan kegiatan
alamiah dari pernapasan dan pita suara.
Bayi babling
Bayi meniru
Mula-mula bayi babling, kemudian ibu meniru. Tiruan itu terdengar oleh bayi dan ditirukan kembali.
Peristiwa inilah yang menjadi proses terpenting dalam pembinaan bicara anak. Bagi anak tunarungu
tidak terjadi pengulangan bunyinya sendiri, karena anak tunarungu tidak mendengar tiruan ibunya.
Dengan demikian perkembangan bicara selanjutnya menjadi terhambat.
Suara-suara yang diujarkan orang tua dan ditiru oleh bayi kemudian ditirukan kembali oleh orang
tuanya secara terus menerus. Pada anak tunarungu hal tersebut terbatas pada peniruan penglihatan
(visual) yaitu gerakan-gerakan atau isyarat-isyarat, sedangkan peniruan pendengaran (auditif) tidak
terjadi karena anak tunarungu tidak dapat mendengar suara.
Tiga faktor yang saling berkaitan antara ketidakmampuan bahasa dan bicara dengan ketajaman
pendengaran menurut Daniel F. Hallahan dan James M. Kauffman yang dikutip oleh Andreas
Dwijosumarto (1990 : 2) adalah sebagai berikut :
1. Penerima auditori tidak cukup sebagi umpan balik ketika ia membuat suara.
2. Penerimaan verbal dari orang dewasa tidak cukup menunjang pendengarannya.
3. Tidak mampu mendengar contoh bahasa dari orang mendengar.
Ciri khusus anak tunarungu berkenaan dengan bahasanya adalah miskin dalam kosakata, sulit
memahami kata-kata abstrak, sulit mengartikan kata-kata yang mengandung arti kiasan. Sedangkan
ciri-ciri anak tunarungu berkenaan dengan bicaranya adalah nada bicaranya tidak beraturan,
bicaranya terputus-putus akibat dari penguasaan kosa kata yang terbatas, dalam bicara cenderung
diikuti oleh gerakan-gerakan tubuh serta sulit menguasai warna dan gaya bahasa.
3. Intetelegensi
Secara garis besar pendapat tentang intelegensi anak tunarungu di klasifikasikan menjadi tiga bagian.
1. Anak tunarungu dianggap sama dengan anak normal (YukeSiregar, 1981 : 2 )
2. Anak tunarungu dianggap bahwa intelegensi anak tunarungu lebih rendah dari anak normal .
3. Bahwa anak tunarungu mengalami kekurangan potensi intelektual pada segi non verbal.
Hal ini akan berpengaruh pada perkembangan emosi anak tunarungu. Karena keadaanya itu anak
tunarungu merasa terasing dan terisolasi dari lingkungannya. Sering terjadi, ketidak mampuan mereka
dalam berkomunikasi mengakibatkan suatu kekurangan dalam keseluruhan pengalaman anak yang
sebenarnya dasar bagi perkembangan, sikap dan kepribadian.
Beberapa sifat yang terjadi pada anak tunarungu akibat dari kekurangannya adalah :
a. Sifat egosentris yang lebih besar daripada aanak normal, dunia penghayatan mereka lebih
sempit maka akan lebih terarah pada dirinya sendiri. Sifat egosentis ini berarti :
- Sukar menempatkan diri pada cara berpikir dan pada perasaan orang lain.
- Dalam perilakunya sering di kuasai oleh perasaan dan pikiran sendiri mereka sulit
menyusuaikan diri.
b. Mempunyai perasaan takut akan hidup.
c. Sikap ketergantungan kepada orang lain.
d. Perhatian yang sukar di alihkan.
e. Kemiskinan dalam bidang fantasi.
f. Sifat yang polos, sederhana tanpa banyak problem.
g. Mereka dalam keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa.
h. Lekas marah dan cepat tersinggung.
i. Kurang mempunyai konsep tentang relasi atau hubungan Sosial
Setiap manusia memerlukan interaksi dengan lingkungannya. Untuk dapat berinteraksi dengan baik
terhadap lingkungannya di perlukan kematangan sosial. Yuke R Siregar (1986 : 26 ) mengemukakan
tentang saran untuk mencapai kematangan sosial, yaitu:
1. Pengetahuan yang cukup mengenai nilai-nilai sosial dan kekhasan dalam masyarakat.
2. Mempunyai kesempatan yang banyak untuk menerapkan kemampuannya.
3. Mendapatkan kesempatan dalam hubungan sosial.
4. Mempunyai dorongan untuk mencari pengalaman.
5. Struktur kejiwaan yang sehat yang mendorong motivasi yang baik.
Karena kondisi yang dialami oleh anak tunarungu sulit untuk mencapai kematangan oleh karenanya
tidak jarang lingkungan memperlakukan mereka dengan tidak wajar. Hal ini akan menyebabkan
mereka cenderung memiliki rasa curiga pada lingkungan, memiliki perasaan tidak aman dan memiliki
kepribadian yang tertutup, kurang percaya diri, menafsirkan sesuatu secara negatif, memiliki perasaan
rendah diri dan merasa disingkirkan, kurang mampu mengontrol diri dan cenderung mementingkan
diri sendiri.
a. Prinsip pembelajaran umum agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara aktif dan efesien guru
perlu memperhatikan prinsip-prinsip secara umum sama dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang
berlaku pada siswa pada umumnya, namun demikian, karena di dalam kelas inklusi terdapat siswa
berkelainan yang mengalami kelainan atau penyimpangan baik fisik, intelektual, sosial, emosional
dan sensor isneurologis dibanding dengan siswa pada umumnya, maka guru yang mengajar di kelas
inklusif disamping menerapkan prinsip-prinsip umum pembelajaran juga harus mengimplementasikan
prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan siswa.
3) Prinsip keperagaan
Siswa tunarungu karena mengalami ganguan oragan pendengaran,maka mereka lebih banyak
menggunakan indera.
a. Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak tunarungu
dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat
menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi dan mampu
berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tunarungu mampu
mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton
di dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu hanya sebagai hiasan di
kelas inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh
guru.
b. Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki
guru pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika guru pendamping
tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian yang sama
dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi.
c. Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat
mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang
diberikan dapat dipahami dengan mudah.
d. Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu
seperti prinsip keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip intersubyektivitas dan
prinsip kekonkritan.
e. Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak
berkebutuhan khusus.
f. Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus.
Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas inklusi bagi anak
tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran tunarungu yang paling utama dan terutama adalah
pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan. Untuk mencapai kepada
pembelajaran yang bermakna bagi tunarungu dibutuhkan pendekatan khusus yaitu metode maternal
reflektif (MMR).
Pembelajaran bagi tunarungu berbeda dari pembelajaran yang ada pada umumnya. Hal ini
dikarenakan tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan untuk itu maka
diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan tunarungu menyerap informasi.
Melalui metode maternal reflektif ini tunarungu diolah bahasanya. Mulai dari mengeluarkan suara,
mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga tunarungu mampu
berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan benar.Secara garis besar,
kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di
dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak
memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan.
a. Kegiatan Percakapan
Kegiatan percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode maternal reflektif, karena
penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan. Dalam metode ini dikenal
dua jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau conversation form heart to heart dan
percakapan linguistik atau linguistic conversation (Uden, 1977).Percakapan dari hati ke hati
merupakan percakapan yang spontan, fleksibel untuk mengembangkan empati anak. Ungkapan yang
dimaksud anak melalui kata-kata atau suara yang kurang jelas, gesti atau gerakan-gerakan lainnya dan
isyarat ditangkap oleh guru(seizing method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian
meminta anak untuk mengucapkannya kembali (play a double part). Namun dalam kegiatan ini guru
tetap menjaga lajunya percakapan dan pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap (anak
dengan anak atau anak dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan, imbauan, atau
komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi.
Membaca dan menulis penyandang tunarungu dikembangkan melalui percakapan. Pada awalnya
perilaku berbahasa mereka berada pada taraf pengungkapan diri melalui gesti atau gerakan-gerakan
lainnya, isyarat, dan suara-suara yang kurang jelas maknanya yang kemudian dibahasakan oleh guru
melalui seizing method dan play a double part.
Anak menerima masukan bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau melalui pemanfaatan sisa
pendengarannya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang belum ditangkap secara sempurna dari
diucapkannya dalam kegiatan percakapan itu dituliskan atau divisualkan dalan bentuk tulisan yang
kemudian dibacanya. Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami anak secara global intutif karena
apa yang ditulisi dan dibacanya merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca
merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca permulaan pada anak tunarungu menurut
MMR merupakan membaca ideo visual.
Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan konsonan) diberikan menyatu dalam kata dan
pengucapannya sehingga lebih bermakna yang pada akhirnya anak mengenal huruf, kata, cara
pengucapan, dan cara penulisannya. Dengan demikian dapat diaktakan bahwa perkembangan
kemampuan berbahasa anak berlangsung secara serempak. Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi
bagi guru reguler hendaknya mengikuti teknik atau kaidah-kaidah guru sekolah luar biasa dalam
membelajarkan anak tunarungu, prinsip-prinsip MMR harus
dipahami oleh guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas regular anak tunarungu tetap dilibatkan
dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Kemampuan guru dalam melibatkan anak
tunarungu dalam proses pembelajaran memang tidak semudah membelajarkan anak-anak yang
mendengar, dikarenakan setiap kata yang diucapkan oleh guru harus dimengerti dan dipahami anak
terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam substansi materi yang akan diberikan.
Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi haruslah benar-benar terprogram dan selalu berbasis
pada pengembangan bahasa anak yang dilakukan secara berkesinambungan, karena tanpa bahasa yang
dikuasai anak tunarungu, maka pembelajaran di kelas inklusi tidak akan bermanfaat.
BKPBI dan Bina Wicara Sebagai Pendukung dalam Pembelajaran Tunarungu di Sekolah Inklusi :
1) Ruang Khusus untuk kegiatan pembelajaran yang sebaiknya dilengkapi dengan medan pengantar
bunyi (sistem looping)
2) Perlengkapan terdiri atas perlengkapan nonelektronik dan perlengkapan elektronik.
3) Alat-alat penunjang yaitu perlengkapan bermain.
4) Tenaga khusus pelaksana BKPBI hendaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain
memiliki latar belakang pendidikan guru anak tunarungu, memiliki dasar pengetahuan tentang
musik, dan memiliki kreativitas dalam bidang seni tari dan musik.
Agar anak tunarungu dapat terhindar dari cara hidup yang semata-mata tergantung pada daya
penglihatan saja, sehingga cara hidupnya lebih mendekati anak normal.
Agar kehidupan emosi anak tunarungu berkembang dengan lebih seimbang.
Agar penyesuaian anak tunarungu menjadi lebih baik berkat dunia pengalamannya yang lebih
luas.
Agar motorik anak tunarungu berkembang lebih sempurna.
Agar anak tunarungu mempunyai kemungkinan untuk mengadakan kontak yang lebih baik
sebagai bekal hidup di masyarakat yang mendengar.
Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI) ialah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang
dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi
yang dimiliki anak-anak tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan
dunia sekelilingnya yang penuh bunyi.
Pembinaan secara sengaja yang dimaksud adalah bahwa pembinaan itu dilakukan secara terprogram;
tujuan, jenis pembinaan, metode yang digunakan dan alokasi waktunya sudah ditentukan sebelumnya.
Sedangkan pembinaan secara tidak sengaja adalah pembinaan yang spontan karena anak bereaksi
terhadap bunyi latar belakang yang hadir pada situasi pembelajaran di kelas, sepeti bunyi motor,bunyi
helikopter atau halilintar, kemudian guru membahasakannya. Misalnya, “Oh kalian dengar suara
motor ya ? Suaranya ‘brem… brem… brem…’ benar begitu ?”. Kemudian guru mengajak anak
menirukan bunyi helikopter dan kembali meneruskan pembelajaran yang terhenti karena anak
bereaksi terhadap bunyi latar belakang tadi
Secara singkat tujuan BKPBI adalah sebagai berikut : Dalam hal kemampuan berbicara, BKPBI dapat
membantu agar anak tunarungu dapat membentuk sikap terhadap bicara yang lebih baik dan cara
berbicara yang lebih jelas.
Sarana BKPBI mencakup : Sekolah yang di dalamnya terdapat anak tunarungu,hendaknya memiliki
ruang BKPBI sebagai pendukung dalam membelajarkan anak tunarungu dalam mengolah bahasanya.
Sehingga kemampuan berbahasa anak tunarungu dapat ditingkatkan dan semakin berkembang. Guru
berlatarbelakang pendidikan luar biasa kajian tunarungu, sangat diperlukan dalam mengembangkan
bahasa anak tunarungu melalui BKPBI dan Bina Wicara.
Untuk itu sekalipun berada di kelas inklusi namun anak tunarungu tetap mendapatkan latihan strong
(BKPBI dan Bina Wicara. Strong). BKPBI dan Bina Wicara ini sebaiknya diberikan secara rutin dan
terus menerus hingga kosa kata anak bertambah banyak dan pada akhirnya mampu berkomunikasi
dengan baik dan benar.
Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi yang dipaparkan diatas adalah salah satu contoh bentuk
pembelajaran yang memasukan anak tunarungu di kelas regular untuk bersama-sama belajar dengan
anak mendengar lainnya namun dalam waktu tertentu anak tunarungu tersebut diberikan latihan-
latihan yang mampu membantu anak untuk memperoleh bahasa dan mengolah bahasa yang sudah
dimilkinya melalui pendekatan MMR lalu ditunjang dengan latihan strong>BKPBI dan Bina Wicara.
Memasukan anak tunarungu ke dalam kelas inklusi tanpa memberikan layanan yang sesuai dengan
kebutuhan anak tersebut hanyalah sia-sia dan menambah penderitaan anak tunarungu saja. Untuk itu
agar tidak menjadi penderitaan anak tunarungu sebaiknya sekolah harus benar-benar memberikan
semua kebutuhan anak tunarungu dalam proses pembelajarannya melalui kegiatan-kegiatan
pembelajaran dengan pendekatan MMR melalui percakapan dengan didukung strong BKPBI dan Bina
Wicara.
Dengan demikian pembelajaran anak tunarungu yang dilakukan di kelas inklusi dapat bermakna,
sehingga anak tunarungu keberadaanya di sekolah inklusi bukan hanya sekedar diterima namun juga
terlayani secara kebutuhannya yang terkait dengan kemampuannya untuk berbahasa dan
berkomunikasi tanpa harus mendiskriminasikannya.
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami hambatan dalam mendengar yang disebabkan karena
tidak berfungsinya sebagian atau keseluruhan alat pendengaran sehingga anak memerlukan bimbingan
dan pendidikan khusus agar dapat mengembangkan bahasa serta potensi yang dimiliki anak seoptimal
mungkin.
Karakteristik anak dengan gangguan pendengaran dapat dilihat dari segi fisik dan bahasa serta
bicaranya.
B. Saran
Dengan segala keterbatasan kami, demikianlah makalah ini kami buat. Kesempurnaan hanyalah ada
pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. oleh karena itu sudah pasti makalah ini memerlukan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca yang baik hatinya demi lebih baiknya makalah setelah ini. Selamat
membaca dan semoga bermanfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Bandi delfhie. 2006. Pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Bandung: PT.Refika aditama
Direktorat pembinaan sekolah luar biasa. 2006. Standar kompetensi dan kompetensi dasar. Jakarta:
Badan standar nasional pendidikan
G.J. Renier. 1997. History its purpose and method. Yoyakarta: Pustaka Pelajar