Anda di halaman 1dari 17

ANAK YANG MENGALAMI HAMBATAN GERAK DAN

MOTORIK (TUNA DAKSA)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Pendidikan Inklusi
Dosen Pengampu: Andri Sungkowo, M.Pd.I

Disusun Oleh:

Walida Fitriana Risky


PG02180008
PGMI Semester VI

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)

TUNAS BANGSA BANJARNEGARA

TAHUN 2020 / 2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang dengan berkat, rahmat, dan karunia-Nya, telah
memberikan kemudahan dan kelancaran sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dan terlibat selama
kegiatan penyusunan makalah.

Tidak lupa diucapkan terima kasih kepada Bapak Andri Sungkowo, M.Pd.I. selaku
dosen pengampu dalam mata kuliah Pendidikan Inklusi yang telah memberikan bimbingan dan
arahan hingga terselesaikannya penyusunan makalah ini dengan judul “Anak Yang Mengalami
Hambatan Gerak dan Motorik (Tuna Daksa)”. Kami berharap agar penyusunan makalah ini
dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang berkaitan dengan materi tersebut, terutama
untuk pengajar dan mahasiswa. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan, sehingga penulis mengundang saran, kritik, serta masukan dari pembaca sekalian.

Banjarnegara, 6 Maret 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

JUDUL................................................................................................................................ 1

KATA PENGANTAR....................................................................................................... 2

DAFTAR ISI...................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah............................................................................................. 4

B. Rumusan Masalah...................................................................................................... 5

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan.................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASA

A. Pengertian Tunadaksa................................................................................................ 5

B. Klasifikasi Tunadaksa ............................................................................................... 7

C. Karakteristik Penyandang Tunadaksa........................................................................ 9

D. Faktor-Faktor Terjadinya Tunadaksa......................................................................... 11

E. Layanan dan Rehabilitasi Penyandang Tunadaksa..................................................... 12

F. Layanan Sekolah terhadap Penyandang Tunadaksa................................................... 14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...............................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................17

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia hidup sebagai makhluk individu dan juga sebagai makhluk sosial artinya
saling membutuhkan yang lain sebagai hal yang esensial dalam hidupnya. Manusia tidak
mampu berperan sebagai manusia seutuhnya tanpa bergaul dan berhubungan dengan
manusia lain di sekitarnya. Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri
melainkan hidup di tengah lingkungan masyarakat serta selalu mengadakan hubungan
dengan orang lain.
Dalam berhubungan dengan orang lain, seseorang ingin diterima, dihargai, dan
diperhatikan oleh orang lain. Demikian pula dalam kehidupan di masyarakat tidak peduli
bagaimana terampilnya seseorang dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Ia tetap
membutuhkan dukungan sosial yang cukup besar untuk hidup secara produktif dan sehat.
Keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pertama, sebab dilingkungan
inilah anak mendapatkan pendidikan, bimbingan, asuhan, arahan, pembiasaan, dan
latihan. Banyak diantara orang tua yang memiliki anak “berbeda” merasa malu, kecewa,
putus asa, dan pasrah tidak melakukan apapun untuk anaknya. Mereka hanya menerima
semua keadaan ini sebagai takdir yang sudah digariskan Sang Maha Pencipta untuk
kehidupan mereka dan anak mereka. Tak jarang pula ada yang tega membuang dan
membunuh anaknya hanya karena anaknya “berbeda” dari anak normal pada umumnya.
Kecacatan fisik umumnya sangat mudah diketahui atau dilihat orang lain.
Meskipun ada variasinya, kelainan fisik tersebut ada yang mencolok tetapi ada juga yang
tidak terlihat oleh orang lain, ada kesulitan yang begitu berat dan jelas sehingga
mengundang rasa kasihan tetapi ada juga kelainan yang akibat kesulitannya tidak jelas.
Faktor nampak atau tidaknya kelainan ini memiliki pengaruh yang demikian besar dalam
menentukan sikap lingkungan terhadap anak tunadaksa maupun sikap anak tunadaksa
terhadap lingkungannya.

4
Semua orang beranggapan bahwa anak berkebutuhan khusus (ABK) berbeda
dengan anak normal pada umumnya, baik dari segi fisik, mental, maupun pemikirannya.
Meskipun berbeda, mereka bukanlah anak yang berbahaya atau anak yang harus
disingkirkan agar keluarga tidak malu karena keberadaannya. Mereka sama seperti anak
lainnya, butuh kasih sayang, butuh perhatian, dan tentunya butuh belaian lembut dari
orangtuanya dan juga masyarakat di lingkungan sekitarnya.

B.        Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari tunadaksa?
2. Apa saja klasifikasi tunadaksa?
3. Seperti apa karakteristik penyandang tunadaksa?
4. Apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya tunadaksa?
5. Bagaimana layanan dan rehabilitasi penyandang tunadaksa?
6. Bagaimana pelayanan sekolah terhaap penyyandang tuna daksa?

C.        Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Inklusi PGMI Semester VI
2. Untuk memahami pengertian dari tunadaksa.
3. Untuk memahami klasifikasi tunadaksa.
4. Untuk memahami karakteristik penyandang tunadaksa.
5. Untuk memahami faktor-faktor penyebab terjadinya tunadaksa
6. Untuk memahami bagaimana layanan dan rehabilitasi penyandang tunadaksa.
7. Untuk memahami Bagaimana pelayanan sekolah terhaap penyyandang tuna daksa.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tunadaksa
Tunadaksa adalah suatu kondisi dimana terjadi ketidakmampuan anggota tubuh
untuk melaksanakan fungsinya yang disebabkan kelainan atau kecacatan sistem otot,
tulang atau persendian sehingga mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi,
adaptasi, mobilisasi dan perkembangan keutuhan pribadi. Kelainan yang terjadi dapat
disebabkan oleh penyakit, luka akibat kecelakaan atau pertumbuhan yang tidak sempurna
pembawaan sejak lahir.
Istilah tunadaksa berasal dari kata Tuna yang artinya rugi, kurang dan kata daksa
berarti tubuh. Sehingga tunadaksa merupakan sebutan halus bagi orang-orang yang
memiliki kelainan fisik, khususnya anggota badan, seperti kaki, tangan atau bentuk
tubuh. Penderita tunadaksa merupakan seseorang yang mengalami kesulitan akibat
kondisi tubuhnya sendiri sehingga membutuhkan bantuan untuk orang lain.
Seseorang yang menyandang tunadaksa membutuhkan rehabilitasi sebagai sarana
pemulihan penyandang cacat tubuh yang diakibatkan kerusakan pada gangguan pada
tulang otot. Selain tempat untuk penyembuhan secara fisik, penyembuhan secara mental
dengan memotivasi, dan tempat bersosialisasi antar sesama penyandang cacat dan
penyandang cacat dengan masyarakat sekitar. Hal ini diharapkan menciptakan rasa
percaya diri dan kesejahteraan hidup bermasyarakat. Beberapa pengertian tunadaksa dari
para tokoh atau ahli sebagai berikut:
1. Menurut Somantri (2006), tunadaksa adalah suatu keadaan rusak atau terganggu
sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam
fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau
dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.
2. Menurut Efendi (2008), tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk
melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh
untuk melaksanakan fungsi secara normal akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan
yang tidak sempurna.

6
3. Menurut Hikmawati (2011), tunadaksa adalah seseorang yang mempunyai kelainan
tubuh pada alat gerak yang meliputi tulang, otot, dan persendian baik dalam struktur
atau fungsinya yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan kegiatan secara layak.
4. Menurut Karyana dan Widiati (2013), tunadaksa adalah penyandang bentuk kelainan
atau kecacatan pada sistem otot, tulang, dan persendian yang dapat mengakibatkan
gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan
keutuhan pribadi.
5. Menurut Aziz (2015), tunadaksa adalah mereka yang mengalami kelainan atau
kecacatan pada sistem otot, tulang, dan persendian karena kecelakaan atau kerusakan
otak yang dapat mengakibatkan gangguan gerak, kecerdasan, komunikasi, persepsi,
koordinasi, perilaku, dan adaptasi sehingga mereka memerlukan layanan informasi
secara khusus.

B. Klasifikasi Tunadaksa
Menurut Aziz (2015), kelainan yang dikategorikan sebagai tunadaksa diklasifikasikan
menjadi dua jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Tunadaksa Ortopedi
Tunadaksa ortopedi (orthopedically handicapped), merupakan penyandang tunadaksa
yang mengalami kecacatan tertentu pada bagian tulang, otot tubuh maupun
persendian. Jenis tunadaksa ini adalah mereka yang mengalami kelainan, kecacatan,
ketunaan tertentu pada bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah persendian baik
yang dibawa sejak lahir maupun yang diperoleh kemudian (karena penyakit atau
kecelakaan) sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh secara normal.
Adapun jenis-jenis penyandang tunadaksa dalam kelompok kelainan sistem otot dan
rangka atau tunadaksa ortopedi adalah sebagai berikut:
a. Poliomyelitis, merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang
disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan bersifat
menetap. Sedangkan dilihat dari sel-sel motorik yang rusak, kelumpuhan karena
polio dibedakan menjadi empat, yaitu tipe spinal merupakan kelumpuhan pada
otot leher, sekat dada, tangan dan kaki. Tipe bulbair merupakan kelumpuhan

7
fungsi motorik pada satu atau lebih syaraf tepi dengan ditandai adanya gangguan
pernafasan. Tipe bulbispinalis yaitu gabungan antara tipe spinal dan bulbair. Serta
tipe encephalitis yang biasa disertai dengan demam, kesadaran menurun, tremor
dan terkadang kejang.
b. Muscle dystrophy, merupakan jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak
berkembang karena mengalami kelumpuhan yang bersifat progresif dan simetris.
Penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan.
c. Spina bifida, merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai
dengan terbukanya satu tiga ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali
selama proses perkembangan. Akibatnya fungsi jaringan saraf terganggu dan
dapat mengakibatkan kelumpuhan.
2. Tunadaksa saraf
Tunadaksa saraf (nurologically handicapped) merupakan penyandang tunadaksa
yang mengalami kelemahan pada gerak dan fungsi salah satu atau beberapa alat
geraknya yang disebabkan oleh kelainan pada saraf di otak.
Menurut derajat kecacatannya, tudadaksa saraf dibagi menjadi beberapa jenis,
yaitu:
a. Ringan, dengan ciri-ciri, yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas dan
dapat menolong diri sendiri.
b. Sedang, dengan ciri-ciri: membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara,
berjalan, mengurus diri dan menggunakan alat-alat khusus.
c. Berat, dengan ciri-ciri: membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, bicara
dan tidak dapat menolong diri sendiri.
Menurut letak kelainan otak dan fungsi gerak:
a. Spastik, dengan ciri-ciri seperti ada kekakuan pada sebagian atau seluruh
ototnya.
b. Dyskenesia, yang meliputi a'hetosis (penderita memperlihatkan gerak yang
tidak terkontrol), rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit
dibengkokkan), tremor (getaran kecil yang terus menerus pada mata,tangan
atau kepala).

8
c. Ataxia, adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan
tangan tidak berfungsi.
d. Jenis campuran, seseorang mempunyai kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe
kelainan diatas.

C. Karakteristik Penyandang Tunadaksa


1. Karakteristik Akademik
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada
sistem otot dan rangka adalah normal sehingga dapat mengikuti pelajaran sama
dengan anak normal, sedangkan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada
sistem cerebral, tingkat kecerdasannya berentang mulai dari tingkat idiocy sampai
dengan gifted.
Hardman (1990) mengemukakan bahwa 45% anak cerebral palsy mengalami
keterbelakangan mental (tunagrahita), 35% mempunyai tingkat kecerdasan normal
dan di atas normal. Sisanya berkecerdasan sedikit di bawah rata-rata. Selanjutnya, P.
Seibel (1984:138) mengemukakan bahwa tidak ditemukan hubungan secara langsung
antara tingkat kelainan fisik dengan kecerdasan anak. Artinya, anak cerebral palsy
yang kelainannya berat, tidak berarti kecerdasannya rendah.
Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy juga mengalami
kelainan persepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan persepsi terjadi karena saraf
penghubung dan jaringan saraf ke otak mengalami kerusakan sehingga proses
persepsi yang dimulai dari stimulus merangsang alat maka diteruskan ke otak oleh
saraf sensoris, kemudian ke otak (yang bertugas menerima dan menafsirkan, serta
menganalisis) mengalami gangguan.
Kemampuan kognisi terbatas karena adanya kerusakan otak sehingga
mengganggu fungsi kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan
bahasa, serta akhirnya anak tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan
lingkungannya yang terjadi terus menerus melalui persepsi dengan menggunakan
media sensori (indra). Gangguan pada simbolisasi disebabkan oleh adanya kesulitan
dalam menerjemahkan apa yang didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini
akan mempengaruhi prestasi akademiknya.

9
2. Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep diri anak yang
merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain yang
mengakibatkan mereka malas belajar, bermain dan perilaku salah lainnya. Kehadiran
anak cacat yang tidak diterima oleh orang tua dan disingkirkan dari masyarakat akan
merusak perkembangan pribadi anak.
Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh anak tunadaksa dapat
mengakibatkan timbulnya problem emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah,
rendah diri, kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustrasi. Problem emosi
seperti itu, banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan sistem cerebral.
Oleh sebab itu, tidak jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
3. Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat
tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi,
berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain.
Kelainan tambahan itu banyak ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral.
Gangguan bicara disebabkan oleh kelainan motorik alat bicara (kaku atau
lumpuh), seperti lidah, bibir, dan rahang sehingga mengganggu pembentukan
artikulasi yang benar. Akibatnya, bicaranya tidak dapat dipahami orang lain dan
diucapkan dengan susah payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris, artinya
ketidakmampuan bicara karena organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia
motorik, yaitu mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui indra
pendengaran, tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan.
Anak cerebral palsy mengalami kerusakan pada pyramidal tract dan
extrapyramidal yang berfungsi mengatur sistem motorik. Tidak heran mereka
mengalami kekakuan, gangguan keseimbangan, gerakan tidak dapat dikendalikan,
dan susah berpindah tempat.
Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas gangguannya dikelompokkan atas
hiperaktif yang menunjukkan tidak mau diam, gelisah; hipoaktif yang menunjukkan
sikap pendiam, gerakan lamban, dan kurang merespons rangsangan yang diberikan;

10
dan tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan kaku, sulit melakukan kegiatan yang
membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus, seperti menulis, menggambar, dan
menari.

D. Faktor-Faktor Terjadinya Tunadaksa


1. Faktor Prenatal (Sebelum kelahiran)
Kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi sebelum bayi lahir
atau ketika dalam kandungan dikarenakan factor genetik dan kerusakan pada sistem
saraf pusat. Faktor yang menyebabkan bayi mengalami kelainan saat dalam
kandungan adalah:
a. Anoxia prenatal, hal ini disebabkan pemisahan bayi dari placenta, penyakit
anemia, kondisin jantung yang gawat, shock, dan percobaan pengguguran
kandungan atau aborsi.
b. Gangguan metabolisme pada ibu
c. Bayi dalam kandungan terkena radiasi, Radiasi langsung mempengaruhi sistem
syaraf pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.
d. Ibu mengalami trauma (kecelakaan), Trauma ini dapat mempengaruhi sistem
pembentukan syaraf pusat. Misalnya ibu yang jatuh dan mengakibatkan benturan
keras pada perutnya dan secara kebetulan tepat mengenai kepala bayi maka akan
mengganggu sistem syaraf pusat.
e. Infeksi atau virus yang menyerang ibu hamil sehingga mengganggu otak bayi
yang dikandungnya.
2. Faktor Neonatal (saat lahir)
a. Kesulitan pada kelahiran karena posisi bayi sungsang atau bentuk pinggul ibu
yang terlalu kecil.
b. Pendarahan pada otak saat kelahiran.
c. Kelahiran prematur.
d. Penggunaan alat bantu kelahiran berupa pemberian injeksi yang berlebihan untuk
mendorong bayi keluar mempengaruhi sistem saraf otaknya
e. Gangguan placenta yang mengakibatkan kekurangan oksigen yang dapat
mengakibatkan terjadinya anoxia.

11
f. Pemakaian anestasi yang berlebihan ketika proses operasi saat melahirkan dapat
mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi, sehingga otak mengalami kelainan
struktur ataupun fungsi.
3. Postnatal (setelah kelahiran)
a. Faktor penyakit seperti meningitis (radang selaput otak), enchepalitis (radang
otak), influenza, diphteria, dan partusis.
b. Faktor kecelakaan. Misalnya kecelakaan lalu lintas, terkena benturan benda keras,
terjatuh dari tempat yang berbahaya bagi tubuhnya khususnya kepala yang
melindungi otak.
c. Tunadaksa juga bisa disebabkan oleh virus yang mungkin menggerogoti
tubuhnya. Sehingga salah satu atau beberapa organ tubuh menjadi tidak berfungsi.
Misalnya polio dan beberapa virus lainnya.
d. Pertumbuhan tubuh atau tulang yang tidak sempurna.

E. Pelayanan Dan Rehabilitasi Tunadaksa


Menurut Murtie (2014), penanganan yang dapat dilakukan terhadap anak
penyandang tunadaksa adalah sebagai berikut:
1. Peran Orang Tua
Orangtua perlu menyadari dan menerima sepenuhnya keadaan anak, serta
perlu memperhatikan hal-hal berikut:
a. Mencari info yang sebanyak-banyaknya tentang hal yang terkait dengan
penanganan terhadap penyandang tunadaksa.
b. Memberikan ruang gerak dan sekolah yang sesuai bagi anak agar mereka
mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya.
c. Stimulasi kemampuan anak dalam bidang yang dikuasai dan digemarinya.

12
Penyandang tunadaksa sebaiknya dilakukan terapi di pusat rehabilitasi
penyandang tunadaksa. Adapun fasilitas-fasilitas yang tersedia di pusat
rehabilitasi penyandang tunadaksa antara lain adalah sebagai berikut:
1. Medis
Dokter spesialis ortopedi, yang menata program rehabilitasi yang meliputi
upaya promotif yaitu berusaha meningkatkan kesembuhan tuna daksa,
preventif yaitu pencegahan kerusakan yang dimana terkait dengan
permasalahan tulang belakang, dan kuratif yaitu mengobati tuna daksa
dengan media obat atau terapi.
2. Fisioterapi
Fasilitas fisioterapi melaksanakan upaya pelayanan kesehatan yang
bertanggung jawab atas kapasitas fisik dan kemampuan fungsional. Fasilitas
ini didukung dengan elektro terapi, aktino terapi, mekano terapi, terapi
latihan, dan nebulizer.
3. Terapi okupasi
Terapi okupasi bertujuan mempertahankan dan meningkatkan kemandirian
terutama kemampuan fungsi aktivitas kehidupan sehari-hari. Terapi ini juga
melatih dan memberikan terapi pada gangguan koordinasi, keseimbangan
aktivitas lokomotor dengan memperhatikan efektivitas serta efisiensi.
Disamping itu okupasi ini melatih pemakaian alat adaptif fungsional
(adaptive device). Berbagai kegiatan dari terapi okupasi ini adalah latihan
koordinasi, latihan aktivitas kehidupan sehari-hari, melatih pemakaian
fungsional dan adaptif serta berbagai fasilitas simulasi untuk penyandang
cacat.
4. Psikologi
Kegiatan dari fasilitas psikologi adalah melaksanakan pemeriksaan dan
evaluasi psikologis, memberikan bimbingan, dukungan dan terapi psikologis
bagi pasien dan keluarganya serta mengupayakan pemeliharaan motivasi
pasien menuju tujuan rehabilitasi. 5. Elektro terapi. Terapi yang merangsang
sensor motorik dengan pemijatan pada sendi-sendi yang mengalami
gangguan dalam bergerak atau sakit.

13
5. Petugas sosial medik
Petugas sosial medik bertugas mengevaluasi, menganalisa, dan
memberikan alternatif penyelesaian masalah sosial ekonomi pasien, serta
memberikan saran dan mencari peluang untuk mengatasi masalah pendanaan
bagi pasien yang membutuhkan. Di samping itu, petugas sosial medis
memberikan informasi tentang peraturan dan ketentuan yang berlaku di rumah
sakit, serta instansi lain yang terkait dengan bidang sosial.
6. Hydroteraphy
Terapi yang menggunakan media air pada kolam, berfungsi sebagai
meringankan pergerakan otot-otot dan relaksaksi.

F. Pelayanan Sekolah Terhadap Penyandang Tunadaksa


Idealnya, anak tuna daksa memang disarankan untuk bersekolah di Sekolah Luar
Biasa (SLB). Namun dalam beberapa kasus ada anak dengan keterbatasan fisik yang
tidak terlalu signifikan (seperti poliomielitis) yang bisa bersekolah di sekolah umum
maupun di Sekolah Luar Biasa. Dengan kata lain, orangtua memiliki fleksibilitas dalam
menentukan tempat sekolah anak tuna daksa sesuai dengan kebutuhannya. Dilihat dari
kondisinya, anak tunadaksa dapat mengikuti pendidikan di tempat-tempat, seperti:
1. Sekolah khusus berasrama: untuk anak tuna daksa yang derajat kelainannya berat
dan sangat berat.
2. Sekolah khusus tanpa asrama: untuk anak tunadaksa yang bisa pulang/pergi ke
sekolah karena tempat tinggal mereka tidak jauh dari sekolah.
3. Kelas khusus penuh: diperuntukkan bagi anak dengan tingkat kecacatan ringan dan
kecerdasan homogen.
4. Kelas reguler dan khusus: digunakan untuk menyatukan anak tuna daksa dengan
anak normal pada mata pelajaran tertentu.
5. Kelas reguler dibantu oleh guru khusus: anak tuna daksa bersekolah bersama
dengan anak normal di sekolah umum dengan bantuan guru khusus apabila anak
mengalami kesulitan.

14
6. Kelas biasa dengan layanan konsultasi: anak tuna daksa belajar bersama dengan
anak normal di sekolah umum dengan bantuan guru umum (bukan spesial menangani
anak berkebutuhan khusus). Namun untuk membantu kelancaran pembelajaran, ada
guru kunjung sebagai konsultan guru umum.
7. Kelas biasa: anak tuna daksa dengan kecerdasan normal serta memiliki potensi dan
kemampuan untuk dapat belajar bersama-sama dengan anak normal bisa bersekolah
di kelas biasa sekolah reguler.
Secara umum, materi pembelajaran anak tuna daksa di sekolah luar biasa mirip
dengan sekolah pada umumnya. Di jenjang Taman Kanak-Kanak misalnya, Si Kecil
akan diajarkan kemampuan dasar, termasuk agama, pendidikan jasmani, hingga
pengembangan bahasa, daya pikir, dan kreativitas.
Begitu pula di tingkat Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dan Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) yang memiliki kurikulum sama dengan
sekolah reguler. Baru di jenjang Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB), anak akan
diberi bekal keterampilan khusus agar bisa menjadi bekal bagi hidupnya.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tunadaksa adalah suatu kondisi dimana terjadi ketidakmampuan anggota tubuh
untuk melaksanakan fungsinya yang disebabkan kelainan atau kecacatan sistem otot,
tulang atau persendian sehingga mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi,
adaptasi, mobilisasi dan perkembangan keutuhan pribadi.
Menurut Aziz (2015), kelainan yang dikategorikan sebagai tunadaksa
diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu Tunadaksa Ortopedi dan Tunadaksa Saraf.
Faktor penyebab terjadinya tunadaksa terbagi menjadi tiga yaitu: sebelum lahir, saat
lahir, dan sesudah lahir.
Pelayanan dan rehabilitasi terhadap penyandang tunadaksa yaitu: peran orang tua,
tindakan medis, fisioterapi, terapi okupasi, psikologi, dan hydroteraphy. Dan pelayanan
sekolah terhadap penyandang tunadaksa seperti: sekolah khusus berasrama, sekolah
khusus tanpa asrama, kelas khusus penuh, kelas regular dan khusus, kelas regular dibantu
oleh guru khusus, kelas biasa dengan layanan konsultasi, dan kelas biasa.

16
DAFTAR PUSTAKA

Asni Harismi, 17 Agustus 2020. https://www.sehatq.com/artikel/memahami-pengertian-tuna-daksa-dan-


pilihan-pendidikannya
Kjianpustaka.com, 2020. https://www.kajianpustaka.com/2020/07/tunadaksa.html
http://digilib.uinsby.ac.id/9262/5/bab2.pdf
ArdhiaRizekiAfiyah

http://eprints.umsida.ac.id/4041/1/Ardhia%20Rizeki%20A%20%28152071200018%29.pdf

http://etheses.uin-malang.ac.id/1349/5/08660004_Bab_1.pdf
http://repository.upi.edu/3498/4/S_PLB_0901325_Chapter1.pdf

SLBN Banjarsari, 2021. http://slbnbanjarsariwetan.sch.id/2016/09/05/pengertian-ciri-ciri-dan-


karakteristik-anaktunadaksa/

Modul Dra. Astati, M.Pd


http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/194808011974032ASTATI/Kara
kteristik_Pend_ATD-ATL.pdf

17

Anda mungkin juga menyukai