Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ANAK DENGAN HAMBATAN


EMOSI DAN TINGKAH LAKU
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Anak dengan Hambatan Emosi
dan Tingkah Laku
Dosen Pengampu : Yuni Tanjung Utami, M.Pd.

Disusun Oleh Kelompok 6:

1. Ani Supriati (2287180003)


2. Anelia Muanis (2287180020)
3. Ulfa Fauziah (2287180024)
4. Yuyun Yunengsih (2287180013)
5. Sisi Yasifiyani . M (2287180038)
6. M. Iftikar Maureza (2287180016)
7. Bintang Hardianto (2287180017)

PENDIDIKAN KHUSUS

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2019

i
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Serang, Maret 2019

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Identifikasi Masalah 2
1.4 Batasan Masalah 2
1.5 Tujuan Penelitian 2
1.6 Manfaat Penelitian 2

BAB II LANDASAN TEORI


2.1 Pengertian Tunalaras 3
2.2 Klasifikasi Anak Tunalaras 3
2.3 Faktor Penyebab Ketunalarasan 4
2.4 Karakteristik Tunalaras 4
2.5 Dampak Ketunalarasan 6
2.6 Identifikasi Anak Tunalaras 7
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Perkembangan Tunalaras di Eropa dan Amerika 9
3.2 Sejarah Perkembangan Tunalaras di Indonesia 11
3.3 Sejarah Pendidikan Tunalaras di Eropa dan Amerika 13
3.4 Sejarah Pendidikan Tunalaras di Indonesia 14
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan 16
4.2 Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku,
sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan baik
terhadap lingkungannya dan hal ini akan mengganggu situasi belajarnya (Sujtihati Somantri,
2007, hlm. 56). Walaupun kondisi demikian, anak tunalaras merupakan peserta didik dan
bagian dari pemajuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, perlu diadakannya konsep
pendidikan yang tepat bagi mereka, sebagaimana hak mereka dalam memperoleh pendidikan
yang layak.

Persoalan emosi dan perilaku pada peserta didik menjadi hal yang lazim dalam suatu
pelaksanaan pendidikan di sekolah. Gangguan emosi dan perilaku ini sendiri mengacu pada
karakteristik anak tunalaras, dan hal seperti ini seringkali menjadi tersamar sebagai suatu
kewajaran mengingat peserta didik merupakan individu yang masih berkembang dan
menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Maka sepatutnya, saat ini mulai dicermati dari sisi
identifikasi hingga bagaimana metode pendidikan yang searah dengan treatmen perilaku yang
tepat bagi mereka. Semua itu diperlukan mengingat gangguan tingkah laku tunalaras dalam
berbagai karakteristiknya adalah gangguan perilaku yang mengganggu lingkungan sekitar,
bahkan tipe agresif dan perilaku melawan dapat membahayakan bagi siswa lain. Kesalahan
dalam memberi treatmen pendidikan dan bina perilaku, selain berdampak pada siswa lain
juga utamanya berdampak terhadap siswa tunalaras sendiri.

Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh manusia, untuk mengubah atau
memperbaiki kehidupannya. Pendidikan merupakan hak bagi setiap orang, tak terkecuali bagi
anak yang berkebutuhan khusus terutama anak tunalaras. Anak Berkebutuhan Khusus
merupakan bagian dari dunia pendidikan yang tidak bisa diabaikan, karena mereka memiliki
hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan.

Berkembangnya pendidikan anak tunalaras di berbagai negara tidak terlepas dari


sejarahnya. maka dari itu, makalah ini membahas sejarah perkembangan pendidikan anak
tunalaras khususnya di Indonesia.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan tunalaras di Eropa dan Amerika ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan tunalaras di Indonesia ?
3. Bagaimana sejarah pendidikan tunalaras di Eropa dan Amerika ?
4. Bagaimana sejarah pendidikan tunalaras di Indonesia ?
1.3 Identifikasi Masalah
Anak dengan perilaku menyimpang (Tunalaras) merupakan anak berkebutuhan
khusus dengan hambatan emosional dan tingkah laku. Dalam sejarahnya tunalaras
mempunyai sejarah yang cukup panjang sampai tunalaras mengalami perkembangan
dalam pendidikan di dunia maupun di Indonesia.
1.4 Batasan Masalah
Permasalahan yang terdapat pada makalah kami ini hanya sebatas bagaimana sejarah
perkembangan pendidikan anak dengan hambatan emosi dan tingkah laku.
1.5 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan tunalaras di Eropa dan Amerika
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan tunalaras di Indonesia
3. Untuk mengetahui sejarah pendidikan tunalaras di Eropa dan Amerika
4. Untuk mengetahui sejarah pendidikan tunalaras di Indonesia
1.6 Manfaat Penulisan
1. Dapat mengetahui sejarah perkembangan tunalaras di Eropa dan Amerika
2. Dapat mengetahui sejarah perkembangan tunalaras di Indonesia
3. Dapat mengetahui sejarah pendidikan tunalaras di Eropa dan Amerika
4. Dapat mengetahui sejarah pendidikan tunalaras di Indonesia

2
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Tunalaras

Istilah resmi tunalaras baru dikenal dalam dunia Pendidikan Luar Biasa (PLB). Istilah
Tunalaras berasal dari kata “tuna” yang berarti kurang dam “laras” berarti sesuai. Jadi anak
tunalaras berati anak yang bertingkah laku kurang sesuai dengan lingkungan. Perilaku sering
bertentangan dengan norma-norma yang terdapat didalam masyarakat tempat ia berada.

Penggunaan istilah tunalaras sangat bervariasi berdasarkan sudut pandang tiap-tiap ahli
yang menanganinya, seperti halnya pekerja sosial menggunakan istilah sosial maladjustment
terhadap anak yang melakukan penyimpangan tingkah laku. Para ahli hukum menyebutkan
dengan juvenile delinquency. Dalam peraturan pemerintah No. 72 tahun1991 disebutkan
bahwa tunalaras adalah gangguan atau hambatan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang
dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

2.2 Klasifikasi Anak Tunalaras

Klasifikasi yang ditemukan oleh rosembra dkk. (1992) adalah anak tunalaras dapat dapat
dikelompokan atas tingkah laku yang beresiko tinggi,yaitu hiperaktif, agresif, pembagkang,
delinkuensi dan anak yang menarik diri dari pergaulan sosial, sedangkan yang beresiko
rendah yaitu autism dan skizofrenia. Secara umum anak tunalaras menunjukan ciri-ciri
tingkah laku yang ada persamaannya pada setiap klasifikasi,yaitu kekacauan tingkah
laku,kecemasan dan menarik diri, kurang dewasa, dan agresif. Selain pembagian diatas masih
banyak tingah laku anak-anak yang dapat digolongkan tunalaras yang belum mendapat
layanan khusus, misalnya anak merasa bahagia bila melihat api karena ingin slalu membakar
saja, anak yang suka meninggalkan rumah, penyimpanan seks, dan sebagainya.

Sistem klasifikasi kelaianan perilaku yang dikemukan oleh Quay 1979 dalam Samuel A.
Krik and james J. Gallagher (1986) yang dialihbahasakan oleh Moh. Amin. Dkk (1991): 51)
adalah sebagai berikut :

1) Anak yang mengalami gangguan prilaku yang kacau (conduct disorder) mengacau
pada tipe anak yang melawan kekuasaan, seperti bermusuhan dengan polisi dan guru,
kejam, jahat, ssuka menyerang, hiperaktif.

3
2) Anak yang cemas-menarik diri (anxious-withdraw) adalah anak yang pemalu,takut-
takut, suka menyendiri, peka dan penurut. Mereka tertekan batinnya.
3) Dimensi ketidakmatangan (immaturity) mengacu kepada anak yang tidak ada
perhatian, lambat,tidak berminat sekolah,pemalas,sukame lamun dan pendiam.
Mereka mirip seperti anak
4) Anak agresi sosialisasi (socialized-aggresive) mempunyai ciri atau masalah perilaku
yang sama dengan gangguan perilaku yang bersosialisasi dengan “gang” tertentu.
Anak tipe ini termasuk dalam perilaku pencurian dan pembolosan. Mereka merupakan
suatu bahaya bagi masyarakat umum.

2.3  Faktor Penyebab Ketunalarasan


1. Faktor penyebab internal
Adalah faktor-faktor yang langsung berkaitan dengan kondisi individu atau itu sendiri,seperti
keturunan,kondisi fisik dan psikisnya.

2. Faktor penyebab eksternal


Adalah faktor-faktor yang bersifat diluar individu terutama lingkungan, baik lingkungan
keluarga,masyarakat,dan sekolah (Patton,1997)

2.4 Karakteristik Anak Tunalaras

Karakteristik yang dikemukakan oleh Hallahan & Kauffman (1986), berdasarkan dimensi
tingkah laku anak tunalaras adalah sebagai berikut.

1. Anak yang mengalami kekacauan tingkah laku, memperlihatkan ciri-ciri: suka berkelahi,
memukul, menyerang; mengamuk; membangkang, menantang; merusak milik sendiri atau
milik orang lain; kurang ajar, lancang, melawan; tidak mau bekerja sama, tidak mau
memperhatikan, memecah belah, ribut; tidak bisa diam, menolak arahan; cepat marah,
menganggap enteng, sok aksi, ingin menguasai orang lain; mengancam, pembohong, tidak
dapat dipercaya, suka berbicara kotor; cemburu, suka bersoal jawab, tak sanggup berdikari,
mencuri, mengejek; menyangkal berbuat salah, egois; dan mudah terpengaruh untuk berbuat
salah.

2. Anak yang sering merasa cemas dan menarik diri, dengan ciri-ciri khawatir, cemas,
ketakutan, kaku; pemalu, segan; menarik diri, terasing, tak berteman, rasa tertekan, sedih,

4
terganggu, rendah diri, dingin, malu, kurang percaya diri, mudah bimbang, sering menangis,
pendiam, suka berahasia.

3. Anak yang kurang dewasa, dengan ciri-ciri, yaitu pelamun, kaku, berangan-angan; pasif,
mudah dipengaruhi, pengantuk, pembosan, dan kotor.

4. Anak yang agresif bersosialisasi, dengan ciri-ciri, yaitu mempunyai komplotan jahat,
mencuri bersama kelompoknya, loyal terhadap teman nakal, berkelompok dengan geng, suka
di luar rumah sampai larut malam, bolos sekolah, dan minggat dari rumah.

Berikut ini akan dikemukakan karakteristik yang berkaitan dengan segi akademik,
sosial/emosional, fisik/kesehatan anak tunalaras.

1. Karakteristik Akademik
Kelainan perilaku akan mengakibatkan adanya penyesuaian sosial dan sekolah yang
buruk. Akibat penyesuaian yang buruk tersebut maka dalam belajarnya
memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut:
a) Pencapaian hasil belajar yang jauh di bawah rata-rata.
b) Sering kali dikirim ke kepala sekolah atau ruangan bimbingan untuk tindakan
discipliner.
c) Sering kali tidak naik kelas atau bahkan ke luar sekolahnya.
d) Sering kali membolos sekolah.
e) Lebih sering dikirim ke lembaga kesehatan dengan alasan sakit, perlu istirahat.
f) Anggota keluarga terutama orang tua lebih sering mendapat panggilan dari
petugas kesehatan atau bagian absensi.
g) Orang yang bersangkutan lebih sering berurusan dengan polisi.
h) Lebih sering menjalani masa percobaan dari yang berwewenang.
i) Lebih sering melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran tanda-tanda lalu
lintas.
j) Lebih sering dikirim ke klinik bimbingan.

5
2. Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunalaras dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Karakteristik sosial
1) Masalah yang menimbulkan gangguan bagi orang lain, dengan ciri-ciri:
perilaku tidak diterima oleh masyarakat dan biasanya melanggar norma
budaya, dan perilaku melanggar aturan keluarga, sekolah, dan rumah tangga.
2) Perilaku tersebut ditandai dengan tindakan agresif, yaitu tidak mengikuti
aturan, bersifat mengganggu, mempunyai sikap membangkang atau
menentang, dan tidak dapat bekerja sama.
3) Melakukan kejahatan remaja, seperti telah melanggar hukum.
b. Karakteristik emosional
1) Adanya hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak, seperti
tekanan batin dan rasa cemas.
2) Adanya rasa gelisah, seperti rasa malu, rendah diri, ketakutan, dan
sangat sensitif atau perasa.
3. KarakteristikFisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunalaras ditandai dengan adanya gangguan makan,
gangguan tidur, dan gangguan gerakan (Tik). Sering kali anak merasakan ada sesuatu
yang tidak beres pada jasmaninya, ia mudah mendapat kecelakaan, merasa cemas
terhadap kesehatannya, merasa seolah-olah sakit. Kelainan lain yang berwujud
kelainan fisik, seperti gagap, buang air tidak terkendali, sering mengompol, dan jorok.

2.5 Dampak Ketunalarasan Bagi Individu dan Lingkungannya

Kelainan tingkah laku yang dialami anak tunalaras mempunyai dampak negative baik
untuk dirinya sendiri maupun lingkungan sosialnya. Perasaan tidak berguna bagi orang lain,
perasaan rendah diri, tidak percaya diri, perasaan bersalah, menyebabkan mereka merasakan
adanya jarak dengan lingkungannya. Salah satu dampak serius yang mereka alami adalah
tekanan batin berkepanjangan sehingga menimbulkan perasaan yang merusak diri mereka
sendiri. Bila mereka kurang mendapat perhatian dan penanganan segera, maka mereka akan
semakin terperosok dan jarak yang memisahkan mereka dari lingkungan sosialnya akan
semakin bertambah lebar.

Mengenai tekanan batin yang berkepanjangan ini menurut Schloss (Kirk & Gallagher,
1986) disebabkan oleh hal-hal berikut:

6
a. Ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helpnessess)

Anak-anak telah mempergunakan semua perilaku penyesuaiannya untuk mencoba mengatasi


keadaan yang sulit. Ketidakmampuan mereka untuk mengatasi kesulitan tersebut menjadi
tergeneralisasi sehingga ketika mereka mempunyai perilaku yang baik sekalipun, mereka
tidak mau mempergunakannya. Mereka mengarahkan kegagalannya pada faktor yang tak
terkendali, tidak dapat merespon dengan baik terhadap suatu peristiwa, cenderung putus asa,
dan menunjukan rasa rendah diri.

b. Keterampilan sosial yang minim (social skill deficiency)

Perkembangan pribadi yang tertekan akan menimbulkan kekurangterampilan dalam


memperoleh penguatan (reinforcement) perilaku social yang positif. Kondisi akan ini
mengurangi terjadinya interaksi social yang positif.

c. Konsekuensi paksaan (coervice consequence)

Tekanan batin yang berlarut-larut tergantung pada konsekuensi paksaan. Jika anak yang
cemas-menarik diri menerima reaksi yang positif dari lingkungannya (simpati, dukungan,
jaminan), mereka tetap gagal mengembangkan perilaku pribadi dan keterampilan social yang
mengarah kepada perilaku yang efektif.

Menghadapi keadaan di atas, kita hendaknya dapat mempengaruhi lingkungan mereka,


mengajar dan menguatkan keterampilan social antar pribadi yang lebih efektif, serta
menghindarkan mereka dari ketergantungan dan penguatan ketidakberdayaan.

Bahwa perilaku menyimpang pada anaktunalaras merugikan lingkungannya kiranya


sudah jelas, dan seringkali orang tua maupun guru merasa kehabisan akal menghadapi anak
dengan gangguan perilaku seperti ini.

2.6 Identifikasi Anak Tunalaras

Ada beberapa cara untuk menerapkan tunalaras, yaitu:

1. Psikotes : Psikotes dilakukan untuk mengetahui kematangan sosial dan gangguan


emosi.
2. Sosiometri : Sosiometri adalah alat tes yang digunakan untuk melihat atau mengetahui
suka atau tidaknya seseorang. Dengan cara bertanya kepada anggota kelompok siapa
diantara anggotanya yang mereka sukai.

7
3. Membandingkan Dengan Tingkah Laku Anak Pada Umumnya : Keadaan tunalaras
dapat diketahui dengan jalan membandingkan tingkah laku anak dengan tingkah laku
anak pada umumnya.
4. Memeriksa Ke Biro Konsultan Psikologi : Kita dapat meminta bantuan Biro
Konsultasi Psikologi, karena biro tersebut melibatkan tenaga ahli yang terkait.
Wewenang biro ini terutama adalah menentukan apakah seseorang mengalami
gangguan emosi sosial atau tidak.
5. Memeriksa Ke Klinik Psikiatri Anak : Tugas pokoknya ialah melakukan usaha
rehabilitasi dan penyembuhan Terhadao mereka yang mengalami kelainan psikis,
tetapi juga dapat menetapkan apakah seseorang mempunyai kelainan tunalaras atau
tidak

8
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Sejarah Perkembangan Ketunalarasan di Eropa dan Amerika

Kauffman (1985) mengadakan periodisasi perkembangan kajian ketunalarasan menjadi


tiga periode, yaitu sebelum abad XIX, abad XIX, dan abad XX.

1. Sebelum Abad XIX

Sebelum abad XIX, istilah atau pelabelan yang digunakan terhadap anak tunalaras
yaitu anak gila, anak idiot. Penyebab tunalaras (gila,idiot) yaitu akibat kerasukan atau
kemasukan setan, dan hal-hal irasional. Saat itu penanganan belum ada, anak tersebut
diperlakukan tidak manusiawi, yaitu di telantarkan, dibuang, disiksa, dilukai, disekap,
dijauhi, dan sebagainya.

Pada saat itu antara anak tunalaras dan anak tuna grahita masih tumpang tindih. Tidak
jelas perbedaannya. Sehingga anak tunalaras pada taraf berat dikatagorikan
tunagrahita. Sebaliknya anak tunagrahita dikelompokan pada anak tunalaras.

Hingga pada akhir Revolusi Perancis, Phillipe Pinel seorang dokter sekaligus psikiater
Perancis mempelopori perubahan dalam penanganan tunalaras. Pinel menggunakan
pendekatan moral yang menekankan pada perlakuan secara baik dan pembicaraan dari
hati ke hati. Selain itu, Jean More Garpard Itard seorang murid Pinel dan juga seorang
dokter, pada akhir 1700 an sampai awal 1800 an mencoba mendidik seorang anak
yang bernama Victor yang ditemukannya di hutan yang menurutnya mengalami idiot
tetapi juga ketunalarasan berat berdasarkan karakteristik yang ditunjukkan oleh
Victor. Itard mencoba mengajar anak ini dengan keterampilan praktis, termasuk
berbicara dan meskipun Victor hanya mampu mengucapkan beberapa kata, namun
upaya Itard dianggap sangat berhasil. Metode yang digunakan oleh Itard ini dikenal
dengan metode multisensori.

Di Amerika, Dr. Benjamin Rush seorang bapak psikiater AS, menentang keras
penggunaan penggunaan berbagai bentuk kekejaman dan hukuman badan untuk
mengendalikan tingkah laku. Dr. Rush mendukung upaya pendidikan bagi semua
anak, sehingga metode pengendalian tingkah laku harus berorientasi pada pendidikan
dan kasih sayang.

9
2. Abad XIX

Ada beberapa perkembangan penting yang terjadi pada abad XIX, antara lain:

a. Tunagrahita dan Tunalaras

Pada abad XIX, anak tunagrahita dan tunalaras dianggap menjadi satu kategori,
yaitu idiot. Pengaburan istilah tunagrahita dan tunalaras pada awal abad XIX,
dapat dilihat dalam beberapa deskripsi tentang anak idiot yang pada saat itu
mungkin dapat dikategorikan sebagai psikotik atau autistik.

Salah satu upaya pemahaman terhadap perbedaan antara tunagrahita dan tunalaras
di antaranya dimulai oleh Samuel Gridley Howe (AS) pada 1850-an. Howe
menggunakan istilah simulative idiocy untuk tunalaras, yaitu mereka sebenarnya
tidak tunagrahita tetapi tampak seperti tunagrahita. Tahun 1886 di Inggris terjadi
pemisahan antara gila (tunalaras insanity) dan dungu (tunagrahita
feeblemindednes).

b. Teori Etiologi Tunalaras

Beberapa psikiater mulai mengidentifikasi beberapa penyebab tunalaras.


Penyebab ketunalarasan di antaranya di kemukakan oleh Parkinson dan West,
bahwa ketunalarasan disebabkan kondisi emosi dan lingkungan.

Menjelang akhir abad XIX, Henry H.Goddard, beranggapan bahwa ketunalarasan


disebabkan faktor keturunan, maka untuk mencegahnya perkawinan harus diatur
secara selektif., artinya hanya mereka yang sempurna yang boleh mempunyai
cacat ini, agar generasi yang akan datang terbebas dari kecacatan.

c. Intervensi

Penanganan yang dikembangkan oleh Pinel yaitu melalui pendekatan moral-


psikologis mendominasi teknik intervensi di berbagai tempat didunia. Pendekatan
ini berupaya mengembangkan bakat dan minat melalui kegiatan olahraga, musik,
vocational, akupasi, dan rekreasi yang dilakukan secara rutin, terstruktur,
konsisten, dan pedekatan dari hati ke hati. Pelayanan pendidikan anak tunalaras
sudah ada, walaupun masih bersatu dengan sekolah anak tunagrahita.

10
Pada abad XIX, banyak remaja yang nakal, agresif, tidak patuh atau terlantar
tetapi tidak idiot atau gila. Pada sat itu berdirilah panti-panti untuk menampung
anak dan remaja tunalaras dengan tujuan merehabilitasi mereka.

d. Perkembangan Lain

Perkembangan lain yang terjadi pada abad XIX adalah munculnya berbagai buku
tentang tunalaras. Buku-buku ini berisi teori ekologi dan klasifikasi tunalaras.
Beberapa analisisdi AS juga mulai memberikan layanan klinik bagi anak
tunalaras, sedangkan system peradilan anak pertama kali dibuka di AS pada tahun
1899.

3. Abad XX

Kemajuan yang sangat pesat terhadap ketunalarasan terjadi pada abad XX. Pengertian
dan pelabelan anak tunalaras sudah berkembang dan beragam. Diantaranya :
Emotional Handicap, Behavior Disorder, Social/Emotional Disturbance, dan
sebagainya. Dimana istilah tersebut memiliki makna yang sama, yaitu untuk
menjelaskan anak yang mengalami penyimpangan atau kelainan perilaku (tunalaras).
Faktor penyebab, tidak lagi memandang dari aspek genetik atau lingkungan semata.
Melainkan memandang dari berbagai sudut keilmuan yang beragam, dan diliat dari
faktor internal maupun eksternal.

3.2 Sejarah Perkembangan Ketunalarasan di Indonesia

Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Pada waktu negara kita dalam penjajahan bangsa
Belanda, maka raja-raja di daerah dan dibantu masyarakat termasuk para remaja melakukan
perlawanan. Seluruh kekuatan rakyat disatukan oleh raja-raja setempat untuk membebaskan
daerahnya masing-masing dari belenggu penjajahan. Belanda dengan menggunakan politik
adu-dombanya, emnggunakan para remaja untuk menghasut dalam upaya menaklukan para
raja, disamping adu-domba antara raja. Akibatnya para remaja dan pemuda tidak memiliki
panutan, norma, dan nilai-nilai kehidupan yang mantap, sehingga timbul konflik dan frustasi
yang mengakibatkan penyimpangan dalam perilaku (tunalaras). Akibat kondisi remaja seperti
itu, banyak orang tua yang tidak mampu lagi untuk mendidik putra-putrinya. Maka
pemerintah pada waktu itu merasa khawatir terhadap perkembangan para remaja, maka pada
tahun 1917 didirikanlah Prayuwana yang disetujui pemerintah Belanda. Fungsi lembaga
tersebut yaitu untuk memberikan nasihat dan bimbingan kepada orang tua yang sudah tidak

11
sanggup mendidik putra-putrinya, dan memberikan pelayanan pendidikan/resosialisasi bagi
anak/remaja tunalaras, terutama bagi yang terlibat dalam perkara pidana.

Pada masa kemerdekaan proklamasi kemerdekaan telah membawa rakyat dan bangsa kita
ke masa “kebebasan”, lepas dari ikatan penjajahan, memasuki masa transisi, sehingga
sebagian masyarakat pada waktu itu kurang menyadari terhadap perubahan norma, dan nilai-
nilai. Sebagai dampaknya banyak orang tua yang tergelincir dan memberikan pengaruh
negative terhadap perkembangan kehidupan anak dan remaja, sehingga tingkat kenakalan
dirasakan meningkat, terutama antara tahun 1956-1959. Kenakalan anak/remaja mulai
diorganisir secara teratur berbentuk gang-gang. Dimana kegiatannya sering mengganggu
ketertiban umum, berkelahi, mabuk-mabukan, ugal-ugalan, dan sebagainya.

Dengan pertimbangan social-psikologis anak/remaja, dan ketertiban serta keamanan


masyarakat, maka kepolisian RI mengintruksikan dibentuknya “Biro Anak-Anak”, kemudian
diganti nama menjadi “Dinas Polisi Urusan Anak dan Pemuda”, disingkat DIPUAP, surat
Intruksi mentri Kepolisian No. Pol. 17/ INSTR/ 1965, tgl. 23 februari 1965. Tidak lama
kemudian sesuai dengan intruksi Panglima Daerah Angakatan Kepolisian Jawa Barat
tertanggal 5 Pebruari 1968, No. Pol. 2/ INSTR/ 1968, khusus untuk daerah Jawa Barat diganti
nama menjadi “Pembinaan Anak, Pemuda, dan Wanita”, disingkat BINAPTA. Kemudian
untuk menjamin kelancaran jalannya usaha penanggulangan masalah tersebut, diadakan
persetujuan bersama antara biro anak-anak kepolisian, pihak kejaksaan, dan kehakiman, yaitu
tentang penetapan batasan usia seorang anak yang dapat menjadi wewenangperadilan anak,
tata tertib persidangan, dan kedudukan “Probation Officier” pada pengadilan anak. Setelah
tahun 1965, terutama selama masa peralihan Orde Baru. Perhatian Pemerintah terhadap
masalah kenakalan anak/remaja semakin meningkat, bahkan semakin meluas pada jenis
kecacatan lain. Menghadapi masalah kenakalan anak/remaja, perhatian pemerintah
dituangkan dalam Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1971, tentang badan koordinasi
pelaksanaan Instruksi Presiden mengenai masalah : narkotika, penyelundupan, uang palsu,
subversi, dan kenakalan anak/remaja.

Kita ketahui bahwa sejarah perkembangan penanganan anak tunalaras tersebut diatas
dilakukan oleh depar temen Hankam (Kepolisian), dan Kehakiman, sedangkan yang
dilakukan oleh Depdikbud sendiri tidak nampak secara operasional. Baru ada satu lembaga
yang ditangani oleh Depdikbud yaitu SLB/E di Medan.

12
3.3 Sejarah Perkembangan Pendidikan Tunalaras di Eropa dan Amerika

Sejarah pelayanan pendidikan anak tunalaras adalah suatu deskripsi data, fakta, dan
informasi mengenai perkembangan pelayanan pendidikan pendidikan pada masa lalu sampai
saat sekarang yang terjadi di Eropa, Amerika Serikat, dan di Negara kita. Ada tiga hal yang
prinsip dan perlu diketahui dari sejarah perkembangan pelayanan pendidikan anak tunalaras
yaitu yang berkaitan dengan pelabelan atau istilah yang digunakan, penyebab terjadinya
ketunalarasan, dan pendekatan dalam pendidikannya dari waktu ke waktu. Jelasnya
dipaparkan secara singkat di bawah ini.

Kauffman (DR.Sunardi,1995) menjelaskan sejarah pelayanan pendidikan anak


tunalaras menjadi tiga zaman yaitu sebelum abad XIX, abad XIX, dan abad XX.

1. Sebelum abad XIX

Istilah atau pelabelan yang digunakan terhadap anak tunalaras yaitu anak gila, anak
idiot. Penyebab tunalaras (gila,idiot) yaitu akibat kerasukan atau kemasukan syetan, dan
hal-hal irasional. Saat itu penanganan belum ada, anak tersebut diperlakukan tidak
manusiawi, yaitu di telantarkan, dibuang, disiksa, dilukai, disekap, dijauhi, dan
sebagainya.

Antara anak tunalaras dan anak tuna grahita masih tumpang tindih. Tidak jelas
perbedaannya. Sehingga anak tunalaras pada taraf berat dikatagorikan tunagrahita.
Sebaliknya anak tunagrahita dikelompokan pada anak tunalaras. Penanganan anak
tunalaras yang berlaku saat itu banyak di tentang para ahli (Psikolog dan Psikiater) tidak
setuju dan menetangnya, sekaligus berupaya untuk mengubah cara penangananya. Di
antaranya, Phillipe Pinel (Perancis) dan Benjamin Rush (AS), kedua ahli tersebut
berupaya mengembangkan pendekatan secara moral. John More Garpard Itard (Perancis)
mengembangkan metode multisensori.

2. Abad XIX

Samuel Gridley Howe (AS) menggunakan istilah simulative idiccy untuk tunalaras,
yaitu mereka sebenarnya tidak tunagrahita tetapi tampak seperti tunagrahita. Tahun 1886
di Inggris terjadi pemisahan antara gila (tunalaras insanity) dan dungu (tunagrahita).

Penyebab ketunalarasan di antaranya di kemukakan oleh Parkinson dan West, bahwa


ketunalarasan disebabkan kondisi emosi dan lingkungan. Henry H.Goddard, beranggapan

13
bahwa ketunalarasan disebabkan factor keturunan, maka untuk mencegahnya perkawinan
harus diatur secara selektif. Penanganan yang dikembangkan oleh Pinel yaitu melalui
pendekatan moral-psikologis. Pendekatan ini berupaya mengembangkan bakat dan minat
melalui kegiatan olahraga, musik, vocational, akupasi, dan rekreasi yang dilakukan secara
rutin, terstruktur, konsisten, dan pedekatan dari hati ke hati. Pelayanan pendidikan anak
tunalaras sudah ada, walaupun masih bersatu dengan sekolah anak tunagrahita. Berdirinya
panti-panti untuk menampung anak dan remaja tunalaras.

3. Abad XX

Pengertian dan pelabelan anak tunalaras sudah berkembang dan beragam.


Diantaranya: Emotional Handicap, Behavior Disorder, Social/Emotional Disturbance, dan
sebagainya. Dimana istilah tersebut memiliki makna yang sama, yaitu untuk menjelaskan
anak yang mengalami penyimpangan atau kelainan perilaku (Tunalaras). Faktor
penyebab, tidak lagi memandang dari aspek genetic atau lingkungan semata. Melainkan
memandang dari berbagai sudut keilmuan yang beragam, dan diliat dari factor internal
maupun eksternal. Lembaga-lembaga yang menangani anak tunalaras banyak berdiri,
seperti : lembaga konsultasi dan bimbingan, perkumpulan ahli-ahli kesehatan mental,
sekolah khusus dan kelas khusus, baik yang berasrama maupun yang tidak berasrama.

Upaya penanggulangan atau pendidikan tidak hanya menekankan pada upaya kuratif
dan represif, melainkan juga upaya prepentif. Ahli tidak hanya terbatas pada Psikolog dan
Psikiater, tetapi melalui pendekatan multi ahli, seperti : Guru PLB, Sosial Worker, dokter
umum, dokter anak, Speech Terapis, Teacher Counselor, dsb. Mulai tahun 1960-an,
model pendekatan dalam pendidikan lebih jauh berkembang, yaitu munculnya beberapa
model pendekatan pendidikan bagi anak tunalaras, yaitu : Pendekatan Psikoanalisa,
dikembangkan Berkowitz dan Rotman; pendekatan Psikoeducational, dikembangkan
Long, Morce, dan Newman; pendekatan Humanistik, dikembangkan Dennison,
Grossman, Knoblock dan Goldstein; pendekatan Behavioristik, dikembangkan Hainz
Werner, Strauss, dan Herbert Quay.

3.4 Sejarah Perkembangan Pendidikan Tunalaras di Indonesia

Memang pelayanan pendidikan untuk anak tunalaras di negara kita jauh ketinggalan
disbanding negara-negara barat. Tetapi bukan berarti tidak ada upaya ke arah itu.
Buktinya pada tahun 1952 mendirikan Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB)

14
yang pertama di bandung. Hal ini di samping kepedulian pemerintah juga, upaya untuk
merealisasikan UU Pokok Pendidikan tahun 1950. Pertama dibuka hanya terbatas pada
spesialisasi A, B, C, dan beberapa tahun, kemudian dibuka spesialisasi D dan E (Calon
Pendidik Anak Tunalaras). Pada tahun 1965 berdiri jurusan PLB di IKIP Bandung.
Dibuka dari spesialisasi A sampai dengan E, sampai saat ini. Keberadaan PLB, khususnya
spesialisasi E semakin kuat, karena adanya UU Pokok Pendidikan No. 2 tahun 1989 dan
Peraturan Pemerintah tahun 1991 No.72 tentang Pendidikan Luar Biasa.

15
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Jadi,Sebelum abad XIX, istilah atau pelabelan yang digunakan terhadap anak tunalaras
yaitu anak gila, anak idiot. Penyebab tunalaras (gila,idiot) yaitu akibat kerasukan atau
kemasukan setan, dan hal-hal irasional. Saat itu penanganan belum ada, anak tersebut
diperlakukan tidak manusiawi, yaitu di telantarkan, dibuang, disiksa, dilukai, disekap,
dijauhi, dan sebagainya.Pada abad XIX, anak tunagrahita dan tunalaras dianggap menjadi
satu kategori, yaitu idiot,kemajuan yang sangat pesat terhadap ketunalarasan terjadi pada
abad XX. Pengertian dan pelabelan anak tunalaras sudah berkembang dan beragam.
Diantaranya : Emotional Handicap, Behavior Disorder, Social/Emotional Disturbance, dan
sebagainya. Dimana istilah tersebut memiliki makna yang sama, yaitu untuk menjelaskan
anak yang mengalami penyimpangan atau kelainan perilaku (tunalaras).Sedangkan di
Indonesia pada masa kemerdekaan proklamasi kemerdekaan telah membawa rakyat dan
bangsa kita kemasa “kebebasan”, lepas dari ikatan penjajahan, memasuki masa transisi,
sehingga sebagian masyarakat pada waktu itu kurang menyadari terhadap perubahan norma,
dan nilai-nilai. Sebagai dampaknya banyak orang tua yang tergelincir dan memberikan
pengaruh negative terhadap perkembangan kehidupan anak dan remaja, sehingga tingkat
kenakalan dirasakan meningkat, terutama antara tahun 1956-1959. Kenakalan anak/remaja
mulai diorganisir secara teratur berbentuk gang-gang. Dimana kegiatannya sering
mengganggu ketertiban umum, berkelahi, mabuk-mabukan, ugal-ugalan, dan sebagainya.

4.2 Saran

Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
ksempurnaan.Maka dari itupenulis menharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan
makalah dan kesimpulan di atas.

16
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, D.S. dan Wawan. 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunalaras.
Bandung: PT. Luxima Metro Media.

17

Anda mungkin juga menyukai