Anda di halaman 1dari 24

TUNADAKSA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Inklusi
Dosen Pengampu : Drs. H. Tahyu, M.Pd.

Oleh :
Kelompok 4

Khairunnisa Dimyati S. C1986201034


Richa Putri Dwi R. C1986201025
Tia Nurlina Hidayat C1986201030

KELAS BK4A
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat serta
karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, yang berjudul
“TUNADAKSA”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Pendidikan Inklusi.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan
akhir zaman, Nabi Muhammad SAW. Semoga Allah SWT, melimpahkan rahmat
kepada beliau, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti sunnahnya.,

Kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
dan memberi masukan serta mendukung dalam penulisan makalah ini sehingga
selesai tepat pada waktunya. Semoga dibalas oleh Allah SWT, dengan ganjaran
yang berlimpah.

Dalam penulisan makalah ini penulisan merasa masih banyak kekurangan-


kekurangan, mengingat akan kemampuan yang dimiiki penulis. Untuk itu kritik
dan saran sangat diharapkan dem penyempurnaan pembuatan makalahini. Akhir
kata kami ucapkan terima kasih, semoga Allah SWT selalu melipahkan rahmatnya
kepada kita semua.

Tasikmalaya, 22 Maret 2021

Penyusun

ii
Daftar Isi

Halaman Judul......................................................................................................... i

Kata Pengantar......................................................................................................... ii

Daftar Isi...................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
C. Tujuan Masalah.............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Anak Tunadaksa ......................................................................... 3


B. Jenis-jenis Tunadaksa .................................................................................... 3
C. Ciri-ciri Tunadaksa ........................................................................................ 4
D. Faktor Penyebab Terjadinya Tunadaksa ....................................................... 5
E. Klasifikasi Tunadaksa ................................................................................... 6
F. Karakter Anak Tunadaksa ............................................................................. 8
G. Penanganan Anak Tunadaksa ........................................................................ 9
H. Layanan Pendidikan bagi Anak Tunadaksa ................................................. 9
I. Pendekatan Bimbingan dan Konseling terhadap ABK Tunadaksa ..............15

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ...................................................................................................19
B. Saran ..............................................................................................................20
Daftar Pustaka .........................................................................................................21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak-anak dengan kebutuhan khusus harus diberikan layanan yang sesuai untuk
kelangsungan hidupnya. Mereka dapat dikirim tidak hanya ke sekolah luar biasa,
tetapi juga ke sekolah biasa atau yang disebut dengan pendidikan inklusif. Ada
pun beberapa landasan tentang pendidikan inklusif, salah satunya landasan yuridis
yaitu UU No. 20 tahun 2013, Mengenai sistem pendidikan nasional untuk
pendidikan peserta didik penyandang disabilitas atau kecerdasan luar biasa
dilaksanakan dalam bentuk sekolah inklusi atau sekolah khusus. Selain itu, alasan
perlunya pendidikan inklusi adalah: pendidikan inklusif lebih dapat menjamin
terbentuknya masyarakat yang demokratis, dan pendidikan inklusif lebih sejalan
dengan nilai-nilai kemanusiaan dan pandangan hidup yang dianut oleh bangsa
Indonesia. Pendidikan inklusif yang dikelola secara benar dapat menghadirkan
siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus dapat terbebas dari rasa
rendah diri atau arogansi bagi yang dikaruniai keunggulan, pendidikan inklusif
dapat membuat siswa menghargai perbedaan. Oleh karena itu, anak berkebutuhan
khusus harus diberikan layanan yang sesuai untuk kelangsungan hidupnya. Salah
satu anak yang tergolong berkebutuhan khusus adalah anak gangguan fisik (tuna
daksa).

Apabila keterbatasan dan berbagai permasalahan anak berkebutuhan khusus tidak


dapat diatasi secara efektif, terutama kesulitan yang dihadapinya dalam belajar,
maka tujuan dan fungsi pendidikan tidak akan terwujud. Oleh karena itu, layanan
peserta didik perlu dioptimalkan. Di sinilah bentuk urgensi bimbingan dan
konseling bagi anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, setiap sekolah
membutuhkan adanya guru bimbingan dan konseling yang khusus menangani
anak-anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusif dan pendidikan
sekolah luar biasa. Disebabkan kurangnya terpenuhi kebutuhan bimbingan
konseling yang maksimal, maka tidak dapat dipungkiri, bahwa pengembangan
kemampuan dan kompetensi setiap peserta didik akan kurang. Padahal banyak
sekali anak berkebutuhan khusus yang sudah menunjukkan bakat melalui
kompetisi di berbagai daerah, dan menuai hasil yang cemerlang. Ini hanyalah satu
contoh dari sekian banyak anak berkebutuhan khusus yang cemerlang. Dengan
adanya dukungan layanan bimbingan dan konseling, prestasi dan pengembangan
bakat mereka akan lebih terbantu.

1
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai


berikut :
1. Apa Pengertian Anak Tunadaksa ?
2. Apa Saja Jenis-jenis Anak Tunadaksa ?
3. Bagaimana Ciri-ciri Anak Tunadaksa ?
4. Apa Faktor Penyebab Terjadinya Tunadaksa ?
5. Bagaimana Karakteristik Anak Tunarungu ?
6. Bagaimana Penangana Terhadap Anak Tunadaksa ?
7. Bagaimana Pendekatan yang Dilakukan oleh Guru BK ?

C. Tujuan Masalah
Berdasarkan ruang lingkup pembahasan diatas didapatkan tujuan penulisa
makalah sebagai berikut :
1. Untuk Mengetahui Pengertian Anak Tunadaksa
2. Untuk Mengetahui Jenis-jenis Anak Tunadaksa
3. Untuk Mengetahui Ciri-ciri Anak Tunadaksa
4. Untuk Mengetahui Faktor Penyebab Terjadinya Tunadaksa
5. Untuk Mengetahui Karakteristik Anak Tunadaksa
6. Untuk Mengetahui Bagaimana Penanganan Terhadap Anak Tunadaksa
7. Untuk Mengetahui Bagaimana Pendekatan yang Dilakukan oleh Guru BK

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Anak Tunadaksa

Anak tuna daksa sering disebut juga anak cacat tubuh, cacat fisik, dan
cacat ortopedi. Istilah tuna daksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi atau
kurang dan “daksa” yang berarti tidak memiliki anggota tubuh yang tidak
sempurna. Sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk
menyebut anak cacat pada anggota tubuh, bukan cacat inderanya.
Secara etiologis, gambaran seseorang yang diidentifikasikan mengalami
ketunadaksaan yaitu seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan
fungsi anggota tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang
salah bentuk, dan akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan
tubuh tertentu mengalami penurunan.
Secara definitive pengertian tuna daksa adalah ketidakmampuan
anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya
kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal sebagai
akibat dari luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna sehingga
untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan khusus.
Menurut Somantri dalam Afiyah Ardhia Rizeki, pengertian tunadaksa
adalah suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk
atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang
normal.Kondisi ini disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga
disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.
Dapat disimpulkan bahwa anak tunadaksa adalah anak dengan cacat
tubuh, cacat fisik, dan cacat ortepedi. Anak-anak tunadaksa masih dapat belajar
dengan menggunakan semua indranya tetapi akan menemui kesulitan apabila
mereka harus belajar dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang memerlukan
keterampilan fisik seperti memegang pensil untuk menulis, bermain, berolah
raga, melakukan mobilitas, dan sebagainya. Sehingga, mereka tidak dapat
mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah biasa pada umumnya

B. Jenis-jenis Tunadaksa

Terdapat tiga jenis tunadaksa dikutip dari Afiyah Ardhia Rizeki, yaitu :
1. Tunadaksa Taraf Ringan
Termasuk dalam klasifikasi ini adalah tunadaksa murni dan
tunadaksa kombinasi ringan.Tunadaksa jenis ini pada umunya hanya

3
mengalami sedikit gangguan mental dan kecerdasannya cenderung
normal.Kelompok ini lebih banyak disebabkan adanya kelainan anggota
tubuh saja. Seperti lumpuh, anggota tubuh berkurang (buntung) dan cacat
fisik lainnya
2. Tunadaksa Taraf Sedang
Termasuk dalam klasifikasi ini adalah tunadaksa akibat cacat
bawaan, cerebral palsy ringan dan polio ringan.Kelompok ini banyak
dialami dari tuna akibat cerebral palsy (tunamental) yang disertai dengan
menurunnya daya ingat walau tidak sampai jauh dibawah normal.
3. Tunadaksa Taraf Berat
Termasuk dalam klasifikasi ini adalah tuna akibat cerebral palsy
berat dan ketunaan akibat infeksi.Pada umunya, anak yang terkena
kecacatan ini tingkat kecerdasannya tergolong dalam kelas debil, embesil
dan idiot.

C. Ciri-ciri Tuna Daksa


1. Ciri-ciri secara umum :

a. Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh


b. Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna,tidak lentur/tidak terkendali)
c. Terdapat bagian angggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebihh
kecil dari biasanya
d. Terdapat cacat pada alat gerak
e. Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam
f. Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh
tidak normal
g. Hiperaktif/tidak dapat tenang

2. Ciri-ciri fisik :

a. Anak memiliki keterbatasan atau kekurangan dalam kesempurnaan tubuh.


Misalnya tangannya putus, kakinya lumpuh atau layu, otot atau
motoriknya kurang terkoordinasi dengan baik.
b. Anak memiliki kecerdasan normal bahkan ada yang sangat cerdas
c. Depresi, kemarahan dan rasa kecewa yang mendalam disertai dengan
kedengkian dan permusuhan. Orang tersebut begitu susah dan frustasi atas
cacat yang dialami
d. Penyangkalan dan penerimaan, atau suatu keadaan emosi yang
mencerminkan suatu pergumulan yang diakhiri dengan penyerahan. Ada
saat-saat di mana individu tersebut menolak untuk mengakui realita cacat
yang telah terjadi meskipun lambat laun ia akan menerimanya.

4
e. Meminta dan menolak belas kasihan dari sesama. Ini adalah fase di mana
individu tersebut mencoba menyesuaikan diri untuk dapat hidup dengan
kondisinya yang sekarang. Ada saat-saat ia ingin tidak bergantung, ada
saat-saat ia betul-betul membutuhkan bantuan sesamanya. Keseimbangan
ini kadang-kadang sulit dicapai.

3. Ciri-ciri sosial:

Anak kelompok ini kurang memiliki akses pergaulan yang luas karena
keterbatasan aktivitas geraknya. Dan kadang-kadang anak menampakkan sikap
marah-marah (emosi) yang berlebihan tanpa sebab yang jelas. Untuk kegiatan
belajar-mengajar disekolah diperlukan alat-alat khusus penopang tubuh, misalnya
kursi roda, kaki dan tangan buatan. Pada dasarnya kelainan pada anak Tuna Daksa
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu :a) kelainan pada sistem
serebral (Cerebral System), dan b) kelainan pada sistem otot dan rangka
(Musculus Skeletal System).

D. Faktor Penyebab Terjadinya Tunadaksa

Terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya tunadaksa dikutip dari


Afiyah Ardhia Rizeki.yaitu :

1. Faktor Prenatal (Sebelum kelahiran)

Kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi


sebelum bayi lahir atau ketika dalam kandungan dikarenakan faktor
genetik dan kerusakan pada sistem saraf pusat. Faktor yang menyebabkan
bayi mengalami kelainan saat dalam kandungan adalah:

a. Anoxia prenatal, hal ini disebabkan pemisahan bayi dari placenta,


penyakit anemia, kondisin jantung yang gawat, shock, dan percobaan
pengguguran kandungan atau aborsi.
b. Gangguan metabolisme pada ibu
c. Bayi dalam kandungan terkena radiasi. Radiasi langsung mempengaruhi
sistem syaraf pusat sehingga sehingga struktur maupun fungsinya
terganggu.
d. Ibu mengalami trauma (kecelakaan). Trauma ini dapat mempengaruhi
sistem pembentukan syaraf pusat. Misalnya ibu yang jatuh dan
mengakibatkan benturan keras pada perutnya dan secara kebetulan tepat
engenai kepala bayi maka akanmengganggu sistem syaraf pusat.
e. Infeksi atau virus yang menyerang ibu hamil sehingga mengganggu
otak bayi yang dikandungnya

5
2. Faktor Neonatal (saat lahir)

a. Kesulitan pada kelahiran karena posisi bayi sungsang atau bentuk


pinggul ibu yang terlalu kecil.

b. Pendarahan pada otak saat kelahiran.

c. Kelahiran prematur.

d. Penggunaan alat bantu kelahiran berupa tang saat mengalami kesulitan


kelahiran sehingga mengganggu fungsi otak padabayi.

e. Gangguan placenta yang mengakibatkan kekurangan oksigen yang


dapat mengakibatkan terjadinya anoxia.

f. Pemakaian anestasi yang melebihi ketentuan

g. Pemakaian anestasi yang berlebihan ketika proses operasi saat


melahirkan dapat mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi, sehingga
otak mengalami kelainan struktur ataupun fungsi.

3. Postnatal (setelah kelahiran)

a. Faktor penyakit seperti meningitis (radang selaput otak), enchepalitis


(radang otak), influenza, diphteria, dan partusis.

b. Faktor kecelakaan. Misalnya kecelakaan lalu lintas, terkena benturan


benda keras, terjatuh dari tempat yang berbahaya bagi tubuhnya
khususnya kepala yang melindungi otak.

c. Pertumbuhan tubuh atau tulang yang tidak sempurna

E. Klasifikasi Anak Tunadaksa

Penggolongan anak tunadaksa salahsatunya dilihat dari sistem kelainannya yang


terdiri dari (1) kelainan pada sistem cerebral (cerebral system) dan (2) kelainan pada
sistem otot dan rangka (musculus skeletal system).

Penyandang kelainan pada sistem cerebral, berupa kelainan pada sistem saraf pusat,
seperti cerebral palsy (CP) atau kelumpuhan otak. Cerebral palsy ditandai oleh
adanya kelainan gerak, sikap atau bentuk tubuh, gangguan koordinasi, kadang-
kadang disertai gangguan psikologis dan sensoris yang penyebabnya adalah adanya
kerusakan atau kecacatan pada masa perkembangan otak. Soeharso (dalam Astati)
mendefinisikan cacat cerebral palsy sebagai suatu cacat yang terdapat pada fungsi

6
otot dan urat saraf dan penyebabnya terletak dalam otak. Kadang-kadang juga
terdapat gangguan pada pancaindra, ingatan, dan psikologis (perasaan).

Menurut tingkatannya, cerebral palsy diklasifikasikan menjadi :

(1) ringan, dengan ciri-ciri, yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas,
dan dapat menolong diri;
(2) sedang, dengan ciri-ciri: membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara,
berjalan, mengurus diri, dan alat-alat khusus, seperti brace; dan
(3) berat, dengan ciri-ciri, yaitu membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi,
bicara, dan menolong diri.

Sedangkan menurut letak kelainan di otak dan fungsi geraknya cerebral palsy
dibedakan atas:

(1) spastik, dengan ciri seperti terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh
ototnya;
(2) dyskenisia, yang meliputi athetosis (penderita memperlihatkan gerak yang
tidak terkontrol), rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit
dibengkokkan); tremor (getaran kecil yang terus menerus pada mata, tangan
atau pada kepala);
(3) Ataxia (adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata
dan tangan tidak berfungsi; serta
(4) jenis campuran (seorang anak mempunyai kelainan dua atau lebih dari tipe-
tipe di atas).

Golongan anak tunadaksa dibawah ini bisa belajar bersama dengan anak normal dan
biasa ditemukan pada kelas-kelas biasa. Penggolongan anak tunadaksa dalam
kelompok kelainan sistem otot dan rangka tersebut adalah sebagai berikut.

1. Poliomyelitis
merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang penyebabnya
adalah virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya menetap.
Dilihat dari sel-sel motorik yang rusak, kelumpuhan anak polio dapat
dibedakan menjadi:
a. tipe spinal, yaitu kelumpuhan atau kelumpuhan pada otot-otot leher,
sekat dada, tangan dan kaki;
b. tipe bulbair, yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih
saraf tepi dengan ditandai adanya gangguan pernapasan; dan
c. tipe bulbispinalis, yaitu gabungan antara tipe spinal dam bulbair;

7
d. encephalitis yang biasanya disertai dengan demam, kesadaran
menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang.
Kelumpuhan pada polio biasanya tidak menyebabkan gangguan kecerdasan
atau alat-alat indra. Akibat penyakit poliomyelitis adalah otot menjadi kecil
(atropi) karena kerusakan sel saraf, adanya kekakuan sendi (kontraktur),
pemendekan anggota gerak, tulang belakang melengkung ke salah satu sisi,
seperti huruf S (Scoliosis), kelainan telapak kaki yang membengkok ke luar
atau ke dalam, dislokasi (sendi yang ke luar dari dudukannya), lutut
melenting ke belakang (genu recorvatum).
2. Muscle Dystrophy
Penyakit ini mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami
kelumpuhan yang sifatnya progresif dan simetris. Penyakit ini berhubungan
dengan keturunan.
3. Spina bifida
Jenis kelainan pada tulang belakang ditandai dengan terbukanya satu atau 3
ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses
perkembangan. Sehingga fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat
mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus, yaitu pembesaran pada kepala
karena produksi cairan yang berlebihan. Kasus ini baisana disertai dengan
ketunagrahitaan (keterbelakangan mental).

F. Karakteristik Anak Tunadaksa

Secara umum karakteristik kelainan anak yang dikatagorikan sebagai penyandang


tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi anak tunadaksa ortopedi
(orthopedicallyhandicapped) dan anak tunadaksa saraf (neurogically handicapped)
(Hallahan danKauffman, 1991) Menyimak keadaan yang nampak pada tunadaksa
ortopedi dan tunadaksa syaraf tidak terdapat perbedaan yang mencolok, sebab
secara fisik kedua jenis anak tunadaksa memiliki kesamaan, terutama pada fungsi
analogi anggota tubuh untuk melakukan mobilitas. Namun apabila dicermati
secara seksama sumber ketidakmampuan untuk memanfaatkan fungsi tubuhnya
untuk beraktifitas atau mobilitas akan nampak perbedaannya. Anak tunadaksa
dibedakan berdasarkan kelainan fungsi dan sebab yang melatarbelakanginya:
1). Anak tunadaksa berhubungan dengan kerusakan sistem syaraf pusat (otak dan
sumsum tulang belakang). Mereka disebut Cerebral Palsy (CP).
2). Anak tunadaksa yang berhubungan dengan kerusakan pada alat gerak tubuh
(tulang, sendi, dan otot).

8
G. Penanganan Anak Tuna Daksa

Penanganan pada anak berkebutuhan khusus mengalami perbedaan pada anak


biasanya. Penanganan untuk anak berkebutuhan khusus melibatkan beberapa
hal, seperti :

1. Penanganan Klinis
Penanganan klinis bersifat medis. Berfoku pada bagaimana cara mengobati
anak dengan gangguan pada fisiknya.
2. Penanganan Pendidikan
Penanganan ini menitik beratkan pada perkembangan intelektual.
Bagaimana cara anak yang memiliki perbedaan atau anak khusus dapat
memperoleh haknya dalam lembaga pendidikan yang tidak berbeda dengan
anak normal biasanya.
3. Penanganan Sosial
Penanganan sosial yang berusaha memberikan pelayanan di dalam menjalin
interaksi di lingkungan. Dan bagaimana cara kita untuk berkomunikasi
dengan anak hambatan fisik tanpa menyinggung perasaan mereka.

H. Layanan Pendidikan bagi Anak Tunadaksa

1. Tujuan Pendidikan Anak Tunadaksa

Tujuan pendidikan anak tunadaksa berdasar pada Peraturan Pemerintah No. 72


Tahun 1991 agar peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan
keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan
hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta
dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan
lanjutan. Connor (Astati: 2009) mengemukakan bahwa dalam pendidikan anak
tunadaksa perlu dikembangkan tujuh aspek yang diadaptasikan sebagai berikut.

a. Pengembangan Intelektual dan Akademik


Pengembangan aspek ini dapat dilaksanakan secara formal di sekolah
melalui kegiatan pembelajaran. Di sekolah khusus anak tunadaksa (SLB-D)
disediakan seperangkat kurikulum dengan semua pedoman pelaksanaannya,
namun hal yang sangat penting adalah pemberian kesempatan dan perhatian
khusus pada anak tunadaksa untuk mengoptimalkan perkembangan
intelektual dan akademiknya.
b. Membantu Perkembangan Fisik
Dalam proses pendidikan guru harus turut bertanggung jawab terhadap
pengembangan fisiknya dengan cara bekerja sama dengan staf medis karena
anak tunadaksa mengalami kecacatan fisik. Hambatan utama dalam belajar

9
ialah adanya gangguan motorik. Oleh karena itu, guru harus dapat mengatasi
gangguan tersebut sehingga anak memperoleh kemudahan dalam mengikuti
pendidikan. Guru harus membantu memelihara kesehatan fisik anak,
mengoreksi gerakan anak yang salah dan mengembangkan ke arah gerak
yang normal.
c. Meningkatkan Perkembangan Emosi dan Penerimaan Diri Anak
Dalam proses pendidikan, guru-guru bekerja sama dengan psikolog harus
menanamkan konsep diri yang positif terhadap kecacatan agar dapat
menerima dirinya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menciptakan
lingkungan sekolah yang kondusif sehingga dapat mendorong terciptanya
interaksi yang harmonis.
d. Mematangkan Aspek Sosial
Aspek sosial yang meliputi kegiatan kelompok dan kebersamaannya perlu
dikembangkan dengan pemberian peran kepada anak tunadaksa agar turut
serta bertanggung jawab atas tugas yang diberikan serta dapat bekerja sama
dengan kelompoknya.
e. Mematangkan Moral dan Spiritual
Dalam proses pendidikan perlu diajarkan kepada anak tentang nilai-nilai,
norma kehidupan, dan keagamaan untuk membantu mematangkan moral
dan spiritualnya.
f. Meningkatkan ekspresi diri
Ekspresi diri anak tunadaksa perlu ditingkatkan melalui kegiatan kesenian,
keterampilan atau kerajinan.
g. Mempersiapkan Masa Depan Anak
Dalam proses pendidikan, guru dan personel lainnya bertugas untuk
menyiapkan masa depan anak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
membiasakan anak bekerja sesuai dengan kemampuannya, membekali
mereka dengan latihan keterampilan yang menghasilkan sesuatu yang dapat
dijadikan bekal hidupnya.

2. Tempat Pendidikan

Anak tunadaksa dapat mengikuti pendidikan pada tempat-tempat berikut.

a. Sekolah Khusus Berasrama (Full-Time Residential School)


Model ini diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang derajat kelainannya
berat dan sangat berat.
b. Sekolah Khusus tanpa Asrama (Special Day School)
Model ini dimaksudkan bagi anak tunadaksa yang memiliki kemampuan
pulang pergi ke sekolah atau tempat tinggal mereka yang tidak jauh dari
sekolah.

10
c. Kelas Khusus Penuh (Full-Time Special Class)
Anak tunadaksa yang memiliki tingkat kecacatan ringan dan kecerdasan
homogen dilayani dalam kelas khusus secara penuh.
d. Kelas Reguler dan Khusus (Part-Time Reguler Class and Part-Time Special
Class)
Model ini digunakan apabila menyatukan anak tunadaksa dengan anak
normal, pada mata pelajaran tertentu. Mereka belajar dengan anak normal
dan apabila anak tunadaksa mengalami kesulitan mereka belajar di kelas
khusus.
e. Kelas reguler
Dibantu oleh Guru Khusus (Reguler Class with Supportive Instructional
Service) Anak tunadaksa bersekolah bersama-sama anak normal di sekolah
umum dengan bantuan guru khusus apabila anak mengalami kesulitan.
f. Kelas Biasa dengan Layanan Konsultasi untuk Guru Umum (Reguler Class
Placement with Consulting Service for Reguler Teachers)
Tanggung jawab pembelajaran model ini sepenuhnya dipegang oleh guru
umum. Anak tunadaksa belajar bersama dengan anak normal di sekolah
umum, dan untuk membantu kelancaran pembelajaran ada guru kunjung
yang berfungsi sebagai konsultan guru reguler.
g. Kelas Biasa (Reguler Class)
Model ini diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang memiliki kecerdasan
normal, memiliki potensi dan kemampuan yang dapat belajar bersama-sama
dengan anak normal.

3. Sistem Pendidikan

Sistem pendidikan anak tunadaksa dapat dikemukakan sebagai berikut.

a. Pendidikan Integrasi (Terpadu)


Anak tunadaksa di Indonesia banyak dilakukan melalui jalur sekolah
khusus, yaitu anak tunadaksa ditempatkan secara khusus di SLB-D (Sekolah
Luar Biasa bagian D), tetapi anak tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis)
telah ada yang mengikuti pendidikan di sekolah biasa. Kirk (Astati: 2009)
mengemukakan bahwa adaptasi pendidikan anak tunadaksa apabila
ditempatkan di sekolah umum adalah sebagai berikut.
1) Penempatan di kelas reguler Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai
berikut.
a) Menyiapkan lingkungan belajar tambahan sehingga memungkinkan
anak tunadaksa untuk bergerak sesuai dengan kebutuhannya,
misalnya membangun trotoar, pintu agak besar sehingga anak dapat
menggunakan kursi roda;

11
b) Menyiapkan program khusus untuk mengejar ketinggalan anak
tunadaksa karena anak sering tidak masuk sekolah;
c) Guru harus mengadakan kontak secara intensif dengan siswanya
untuk melihat masalah fisiknya secara langsung;
d) Perlu mengadakan rujukan ke ahli terkait apabila timbul masalah
fisik dan kesehatan yang lebih parah.
2) Penempatan di ruang sumber belajar dan kelas khusus
Murid yang mengalami ketertinggalan dari temannya di kelas reguler karena
ia sakit-sakitan diberi layanan tambahan oleh guru di ruang sumber. Murid
yang datang ke ruang sumber datang berdasarkan materi yang tertingggal,
sedangkan siswa yang mengunjungi kelas khusus biasanya anak yang
mengalami kelainan fisik tingkat sedang dengan inteligensia normal.
Misalnya, anak yang tidak dapat berbicara maka ia perlu masuk kelas
khusus sebagai persiapan anak untuk memasuki kelas reguler karena selama
anak di kelas khusus ia sering bermain, ke kantin, dan upacara bersama
dengan anak normal (siswa kelas reguler).
b. Pendidikan Segregasi (Terpisah)
Penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunadaksa yang ditempatkan di
tempat khusus, seperti sekolah khusus adalah menggunakan kurikulum
Pendidikan Luar Biasa Anak Tunadaksa 1994 (SK Mendikbud, 1994).

4. Pelaksanaan Pembelajaran

Dalam pelaksanaan pembelajaran akan dikemukakan ha-hal yang berkaitan dengan


keterlaksanaannya, seperti berikut.

a. Perencanaan Kegiatan Belajar-Mengajar

Berhubungan dengan perencanaan kegiatan pembelajaran bagi anak tunadaksa,


Ronald L. Taylor (Astati: 2009) mengemukakan, apabila penyandang cacat
menerima pelayanan pendidikan di sekolah formal maka ia harus memperoleh
pelayanan pendidikan yang diindividualisasikan. Dalam rangka mengembangkan
program pendidikan yang diindividualisasikan, banyak informasi/data yang
diperlukan dan salah satunya dihasilkan melalui assessment. Adapun langkah-
langkah utama dalam merancang suatu program pendidikan individual (PPI) adalah
sebagai berikut.

1) Membentuk tim PPI atau Tim Penilai Program Pendidikan yang


diindividualisasikan (TP3I), yang mencakup guru khusus, guru reguler,
diagnostician, kepala sekolah, orang tua, siswa, serta personel lain yang
diperlukan.

12
2) Menilai kekuatan dan kelemahan serta minat siswa yang dapat dilakukan
dengan assessment.
3) Mengembangkan tujuan-tujuan jangka panjang dan sasaran-sasaran
jangka pendek.
4) Merancang metode dan prosedur pencapaian tujuan
5) Menentukan metode dan evaluasi kemajuan
b. Prinsip Pembelajaran
Ada beberapa prinsip utama dalam memberikan pendidikan pada anak
tunadaksa, diantaranya sebagai berikut.
1) Prinsip multisensori (banyak indra)
Proses pendidikan anak tunadaksa sebisa mungkin memanfaatkan
dan mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak karena
banyak anak tunadaksa yang mengalami gangguan indra. Dengan
pendekatan multisensori, kelemahan pada indra lain dapat
difungsikan sehingga dapat membantu proses pemahaman.
2) Prinsip individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak layanan
pendidikan adalah kemampuan anak secara individu. Model layanan
pendidikannya dapat berbentuk klasikal dan individual. Dalam
model klasikal, layanan pendidikan diberikan pada kelompok
individu yang cenderung memiliki kemampuan yang hampir sama,
dan bahan pelajaran yang diberikan pada masing-masing anak sesuai
dengan kemampuan mereka masing-masing.
3) Penataan Lingkungan Belajar
Anak tunadaksa mengalami gangguan motorik maka dalam
mengikuti pendidikan membutuhkan perlengkapan khusus dalam
lingkungan belajarnya. Gedung sekolah sebaiknya dilengkapi
ruangan/sarana tertentu yang memungkinkan dapat mendukung
kelancaran kegiatan anak tunadaksa di sekolah. Menurut Musyafak
Assyari (Astati: 2009), bangunan-bangunan gedung sebaiknya
dirancang dengan memprioritaskan tiga kemudahan, yaitu anak
mudah ke luar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah
mengadakan penyesuaian atau segala sesuatu yang ada di ruangan itu
mudah digunakan.
Beberapa kondisi khusus mengenai gedung itu adalah sebagai
berikut.
a) Macam-macam ruangan khusus, seperti ruang
poliklinik/UKS untuk pemeriksaan dan perawatan kesehatan
anak, ruang untuk latihan bina gerak (physiotherapy), ruang

13
untuk bina bicara (speech therapy), ruang untuk bina diri,
terapi okupasi, dan ruang bermain, serta lapangan.
b) Jalan masuk menuju sekolah sebaiknya dibuat keras dan rata
yang memungkinkan anak tunadaksa yang memakai alat
bantu ambulasi, seperti kursi roda, tripor, brace, kruk, dan
lain-lain, dapat bergerak dengan aman.
c) Tangga sebaiknya disediakan jalur lantai yang dibuat miring
dan landai
d) Lantai bangunan baik di dalam dan di luar gedung sebaiknya
dibuat dari bahan yang tidak licin.
e) Pintu-pintu ruangan sebaiknya lebih lebar dari pintu biasa
dan daun pintunya dibuat mengatup ke dalam.
f) Untuk menghubungkan bangunan/kelas yang satu dengan
yang lain sebaiknya disediakan lorong (koridor) yang lebar
dan ada pegangan di tembok agar anak dapat mandiri
berambulasi.
g) Pada beberapa dinding lorong dapat dipasang cermin besar
untuk digunakan anak mengoreksi sendiri sikap/posisi jalan
yang salah.
h) Kamar mandi/kecil sebaiknya dekat dengan kelas-kelas agar
anak mudah dan segera dapat menjangkaunya.
i) Dipasang WC duduk agar anak tidak perlu berjongkok pada
waktu menggunakannya.
j) Kelas sebaiknya dilengkapi dengan meja dan kursi yang
konstruksinya disesuaikan dengan kondisi kecacatan anak,
misalnya tinggi meja kursi dapat disetel, tanganan, dan
sandaran kursi dimodifikasi, dan dipasang belt (sabuk) agar
aman.

5. Personel

Personel yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan anak tunadaksa


adalah berikut ini.

a. Guru yang berlatar belakang pendidikan luar biasa, khususnya


pendidikan anak tunadaksa;
b. Guru yang memiliki keahlian khusus, misalnya keterampilan dan
kesenian;
c. Guru sekolah biasa;
d. Dokter umum;
e. Dokter ahli ortopedi;

14
f. Neurolog;
g. Ahli terapi lainnya, seperti ahli terapi bicara, physiotherapist dan
bimbingan konseling, serta orthotist prosthetist.

I. Pendekatan Bimbingan dan Konseling terhadap ABK Tuna Daksa

Pendekatan Bimbingan Konseling Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Aliran yang


banyak digunakan dalam bimbingan anak berkebutuhan khusus menurut Neely
(1982: 107-11) ada enam yaitu aliran Adler, behavior, client centred, ecology,
reality dan values clarification.

1. Aliran Adler
Menurut Adler, pusat kepribadian bukan ketidaksadaran melainkan
kesadaran. Motivasi utama bukan seks melainkan tuntutan sosial.Tingkah
laku manusia terarah pada tujuan, terutama tujuan mendapatkan ketenagaan
dan mengatasi kekurangan.Rasa rendah diri dapat memotivasi kita
menguasai sesuatu, mencapai superiotas dan mencapai kesempurnaan; rasa
rendah diri dapat menjadi sumber kreativitas.
Teknik-teknik yang dikembangkan dalam aliran Adler ialah:
immediacy, encouragement, paradoxial Intention, acting as if, spiting in the
client soup, catching oneself, push button, avoiding the tar baby, task setting
and commitment dan terminating.
a. Immediacy : menggunakan apa yang dikatakan atau diperbuat
konseli sebagai sampel kepribadiannya
b. Encouragement : dorongan sehingga konseli menjadi berani
berbuat
c. Paradoxial Intention : menarik perhatian konseli kepada
kekeliruannya dengan meminta melakukan kekeliruan tersebut
secara berlebihan. Misalnya konseli yang terlalu banyak makan
diminta makan banyak-banyak
d. Acting as if : mempersilahkan koneli memerankan sesuatu yang
dihayalkannya dengan teknik ini konseli diharapkan dapat melihat
akibatnya.
e. Spitting in the client’s soup : konselor tidak menyarankan
perubahan tingkah laku tapi menunjukkan kedudukan yang
sebenarnya dari tingkah laku tersebut.
f. Catching oneself : dalam catching oneself, konseli berusaha
menahan diri dari tingkah laku yang destruktif dengan demikian ia
menyadari tingkah lakunya.
g. Push Button : dalam push button, konseli diminta membayangkan
pengalaman-pengalaman yang enak dan tidak enak lalu

15
memperhatikan perasaan yang menyertai kedua pengalaman
tersebut. Maksud teknik ini mengajarkan bahwa perasaan dapat
diciptakan oleh pikiran.
h. Avoiding the tar baby : teknik ini merupakan upaya konselor untuk
tiak hanyaut dalam pola tingkah laku konseli yang salah
i. Task setting and commitment : untuk memecahkan masalah,
konseli merencanakan suatu tugas realistis, spesifik, kongkret dan
dapat dilksanakan dalam jangka waktu pendek. Dengan
melaksanakan tugas konseli menghayati rasa berhasil dan
meningkat ke tugas berikutnya.
j. Terminating : pada akhir sesi, konselor membuat kesimpulan.
Karena itu pada saat itu ia tidak beranjak ke materi bahasan lain.

Pandangan-pandangan Adler dapat dijadikan acuan untuk memahami


rasa rendah diri, jalan pikiran yang tidak masuk akal, neuroticisme dan
pengaruh keluarga terhadap anak berkebutuhan khusus. Konselor dan
guru yang menggunakan pandangan Adler memberikan tekanan pada
martabat anak, memberikan dorongan dan tanggung jawab , membina
ketentuan-ketentuan menghargai anggota kelompok, memberikan
respon kepada yang bersalah dan membuka kesempatan berdiskusi.

2. Aliran Client Centered


Menurut pandangan client-centered, konseling itu bukan sekedar
mendiagnosis dan menyembuhkan bukan pula sekedar menyesuaikan
konseli terhadap tuntutan norma-norma dan bukan sekedar membantu
memecahkan masalah. Konseling adalah membantu konseli dalam proses
mengaktualisasikan diri.
Fungsi konselor dalam aliran client centered bukan sebagai ahli
teknik konseling yang menentukan apa yang harus dilakukan konseli,
melainkan menemani dan memberikan sikap perubahan sesuai dengan
persepsi diri dan di bawah sikap konselor. Bimbingan yang didasarkan pada
teori client centered sangat mengutamakan pengalaman pribadi.
Misalnya: memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
peserta untuk tampil di depan kelompok, mendengarkan pembicaraan
peserta lain, berbicara kepada konselor dan peserta lain, melakukan
penelaahan diri, dan memberikan umpan balik kepada peserta lain.
Bimbingan ini juga membantu berkembangnya konsep diri yang positif,
tumbuhnya kepercayaan atas kemampuan belajar, pengenalan atas perasaan
sendiri dan hal lain yang erat kaitannya dengan pergaulan di masyarakat.

16
3. Aliran Ekologi
Para penganut aliran ekologi berpegang pada asumsi-asumsi
berikut:
Setiap anak adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem sosial yang
kecil.Gangguan tidak dipandang sebagai penyakit dalam diri anak,
melainkan sebagai ketidakserasian sistem. Ketidakserasian dapat sebagai
perbedaan antara kemampuan anak dengan tuntutan atau dengan harapan
lingkungan.
Tujuan intervensi ialah mengusahakan agar sistem itu berjalan
hingga akhirnya tanpa intervensi. Perbaikan salah satu bagian sistem dapat
berakibat perbaikan seluruh sistem, secara umum, intervensi dapat dilakukan
terhadap anak, lingkungan, sikap atau harapan (lingkungan).

4. Aliran Value Clarification


Kita tidak dapat mengajarkan moralitas secara langsung, tapi dapat
membantu anak-anak menjadi pendukung nilai dengan mengikut sertakan
mereka dalam kegiatan-kegiatannya.Memberikan kesempatan berinteraksi,
dan mengajak menggunakan pikirannya dalam urusan-urusan yang berkaitan
dengan nilai-nilai. Dewasa ini value clarification juga digunakan dalam
bimbingan anak luar biasa.
Value clarification tidak dimaksud kan untuk mengindoktrinasikan
nilai-nilai, melainkan untuk membantu siswa mengembangkan proses-
proses penentuan nilai.Agar value efektif, konselor sebaiknya menjajaki
tingkat perkembangan setiap siswa dan menyesuaikan bahan kepada mereka
yang setingkat lebih tinggi daripada tingkat siswa itu. Anak yang sukar
mengikuti value clarification adalah anak tunagrahita, tunarungu dan
tunawicara.
5. Aliran reality
Menurut Glasser, manusia tidak dimotivasi dari luar melainkan
dari dalam; motivasinya ialah memenuhi kebutuhan atas cinta, pengakuan
sebagai anggota kelompok , rasa harga diri dan kebebasan. Hambatan atas
terpenuhinya kebutuhan dapat mengakibatkan sakit, tingkah laku yang
kurang, tingkah laku yang tidak realistis dan tingkah laku yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Sebaliknya keberhasilan memenuhi kebutuhan
dapat menghasilkan success identity dan tingkah laku yang dapat
dipertanggung jawabkan.
Fungsi konselor yang bekerja berdasarkan pendekatan reality ialah
aktif berbicara tentang tingkah lakunya, mendorongnya memberikan
penilaian atas tingkah lakunya, mendorong menemukan alternatif,
membantu mengadakan perubahan tingkah laku konseli.

17
Dalam pendidikan berkebutuhan khusus, konselor mengetahui
bahwa siswanya mempunyai kekurangan, tetapi harus percaya bahwa siswa
mempunyai potensi yang dapat berkembang.
Yang penting bagaimana konselor dapat menciptakan lingkungan
yang memungkinkan anak berkembang dengan sebaik-baiknya. Lingkungan
yang diciptakan ialah yang penuh kehangatan, sikap menerima kenyataan
dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk
melakukan eksplorasi terhadap diri dan lingkungan.
Anak luar biasa membutuhkan orang yang dapat menyerahkan
tanggung jawab memilih dan bertindak secara berangsur-angsur sesuai
dengan perkembangan anak.mereka secara berangsur-angsur hendaknya
diserahi tanggung jawab memilih pelajaran, pekerjaan, kegiatan, waktu
senggang, teman dan pasangan hidup, ideologi dan kepercayaan. Disamping
itu anak buta hendaknya diserahi kepercayaan bergerak sendiri di ruangan
dan dialam bebas.Anak tuli hendaknya dibantu merasa bertanggung jawab
atas terdengar tidaknya suara orang dan suara-suara lalu lintas, mereka
hendaknya merasa perlu menggunakan hearing aid. Anak tuna daksa
hendaknya dibantu merasa bertanggung jawab untuk berbuat, jangan
menjadikan kelumpuhannya sebagai alasan untuk menunggu bantuan orang
lain. Anak tunalaras hendaknya dibantu mengakui secara jujur bahwa
dirinyalah yang menyulitkan, bukan menyalahkan orang lain. Anak
tunagrahita hendaknya merasa mempuyai keharusan untuk membedakan
tingkah lakunya yang merugikan baik pada dirinya maupun pada orang lain.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Anak tuna daksa sering disebut juga anak cacat tubuh, cacat fisik, dan
cacat ortopedi. Istilah tuna daksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi atau
kurang dan “daksa” yang berarti tidak memiliki anggota tubuh yang tidak
sempurna. Sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk
menyebut anak cacat pada anggota tubuh, bukan cacat inderanya. Jenis-jenis
tuna daksa diantaranya adalah tunadaksa taraf ringan, tunadaksa taraf sedang,
dan tuna daksa taraf berat. Ciri-ciri tunadaksa diantaranya adalah ciri-ciri
secara umum yakni anggota gerak tubuh kaku, kesulitan dalam gerakan,
terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap atau tidak sempurna,
terdapat cacat pada alat gerak, dan lain-lain serta ciri-ciri fisiknya yaitu anak
memiliki keterbatasan atau kekurangan dalam kesempurnaan tubuh, anak
memiliki kecerdasan normal bahkan ada yang sangat cerdas dan lain-lain. ciri-
ciri sosialnya adalah anak kelompok tunadaksa kurang memiliki akses
pergaulan yang luas karena keterbatasan aktivitas gerakannya.
faktor penyebab terjadinya tunadaksa diantaranya terbagi menjadi tiga
yaitu faktor prenatal atau sebelum kelahiran, faktor neonatal atau saat lahir, dan
faktor post natal atau saat kelahiran. Contoh faktor prenatal atau sebelum
kelahiran adalah gangguan metabolisme pada ibu. Contoh faktor neonatal
adalah kesulitan pada kelahiran karena posisi bayi sungsang atau bentuk
pinggul ibu yang terlalu kecil. Contoh faktor postnatal atau setelah kelahiran
adalah faktor kecelakaan.
Anak tunadaksa di klasifikasikan menjadi dua yang pertama adalah
anak dengan kelainan pada sistem cerebral dan kedua kelainan pada sistem otot
dan rangka. Karakteristik anak tunadaksa secara umum dikelompokkan
menjadi anak tunadaksa ortopedi dan anak tunadaksa saraf.
Penanganan pada anak berkebutuhan khusus khususnya anak tunadaksa
ialah penanganan klinis, penanganan pendidikan, dan penanganan sosial.
Layanan pendidikan bagi anak tunadaksa diberikan dengan tujuan agar peserta
didik dapat mampu mengembangkan sikap, pengetahuan ,dan keterampilan
sebagai pribadi maupun anggota masyarakat. pendidikan yang perlu
dikembangkan untuk anak tunadaksa ialah mengembangkan intelektual dan
akademik, membantu perkembangan fisik, meningkatkan perkembangan emosi
dan penerimaan diri anak, mematangkan aspek sosial, mematangkan moral
dan spiritual, meningkatkan ekspresi diri, dan mempersiapkan masa depan
anak. Anak tunadaksa dapat mendapat pendidikan di SLB, sekolah khusus

19
tanpa asrama, kelas khusus penuh, kelas reguler dan khusus, kelas reguler,
kelas biasa dengan layanan konsultasi untuk guru umum, dan kelas biasa.
bimbingan dan konseling terhadap ABK tunadaksa bisa diberikan dan yang
banyak digunakan dalam bimbingan anak ABK ialah yaitu aliran Adler,
behavior, client-centered ekologi, reality, dan values clarification. ABK
tunadaksa sebagai masyarakat Indonesia perlu mendapatkan hak pendidikan
seperti masyarakat Indonesia lainnya.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah
dalam kesimpulan diatas.

20
Daftar Pustaka

Afiyah Rizeki Ardhia. (2018). PENANGANAN PEMBELAJARAN pada ANAK


BERKEBUTUHAN KHUSUS terutama pada TUNA DAKSA di MI NURUL
HUDA SEDATI. Diakses pada tanggal 14 Mei 2021. Link :
http://eprints.umsida.ac.id/4041/1/Ardhia%20Rizeki%20A
%20%28152071200018%29.pdf

Astati. (2009). Modul 7 Karakteristik dan Pendidikan Anak Tunadaksa dan


Tunalaras. Bandung: UPI

Muhammad Awwad. (2015). URGENSI LAYANAN BIMBINGAN DAN


KONSELING BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS. Al-Tazkiah. Volume
7 (1). Halaman 59.

Onah. (2017). PENINGKATAN HASIL BELAJAR PERKALIAN MELALUI


PENGGUNAAN SEMPOA PADA SISWA TUNADAKSA KELAS IV DI SDLB
PRI PEKALONGAN. Jurnal Profesi Keguruan. Volume 3 (1). Halaman 62.

Stiati, C., & Budi, S. (2020). Mengintegrasikan Nilai-Nilai Merdeka Belajar


Kedalam Pendidikan Dan Penanganan Anak Tunadaksa. In (Webinar) Seminar
Nasional Pendidikan 2020 (Vol. 1, No. 1, pp. 018-021).

21

Anda mungkin juga menyukai