Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

TUNA RUNGU

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusif
Dengan Dosen Pengampu Amalia Nurul Azizah, M. Pd.

Disusun Oleh:
Kelompok 3
Ima Silvia Fatimah (10118006)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


STKIP DARUSSALAM CILACAP
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha esa, atas rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat membuat dan menyelesaikan tugas ini.
Tugas ini disusun untuk diajukan sebagai tugas mata kuliah Pendidikan Inklusif
dengan judul “TUNA RUNGU”. Harapan kami, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pendidikan pada umumnya.
Demikianlah tugas ini kami susun, kami menyadari masih banyak terdapat
kekurangan dalam penyusunan tugas ini, kepada para mahasiswa dan dosen yang
telah membimbing dalam pembuatan makalah ini, kami ucapkan terima kasih.

Bantarsari, April 2021

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................. ii
DAFTAR ISI........................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................... 1
C. Tujuan..................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................ 2
A. TUNA RUNGU...................................................................... 2
B. PENYESUAIAN DIRI SISWA TUNA RUNGU DI
SEKOLAH.............................................................................. 14
C. PELAYANAN PENDIDIKAN SISWA TUNA RUNGU..... 20
D. SOLUSI ANAK TUNA RUNGU BISA SEPERTI ANAK
NORMAL............................................................................... 22
BAB III PENUTUP................................................................................. 26
A. Kesimpulan.............................................................................. 26
B. Saran........................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak tunarungu memiliki hambatan dalam pendengaran akibatnya
individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka
biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi seseorang yang menyandang
tuna rungu dengan individu lain yaitu menggunakan bahasa isyarat, untuk
abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat
bahasa berbeda-beda di setiap negara.
Intelegensi anak tunarungu tidak berbeda dengan anak normal yaitu
tinggi, rata-rata dan rendah. Pada umumnya anak tunarungu memiliki
entelegensi normal dan rata-rata. Setiap anak tuna rungu mempunyai berbagai
faktor, karakteristik serta kebutuhannya masing-masing.
Di sekolah inklusif sendiri siswa juga perlu adanya adaptasi, yang
dimana siswa juga mengalami kecemasan dan ketakutan. Oleh karena itu,
layanan pendidikan siswa tuna rungu sangatlah penting. Namun, selain itu,
ada juga beberapa cara yang dapat membuat tuna rungu menjadi anak normal.
Maka dari itu, dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai tuna
rungu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tuna rungu?
2. Bagaimana siswa dalam menyesuaikan diri di sekolah?
3. Bagaimana pelayanan pendidikan yang diterima siswa tuna rungu?
4. Bagaimana cara anak tuna rungu menjadi anak normal?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian tuna rungu dan apa saja konsep dari tuna
rungu.
2. Untuk mengetahui cara siswa menyesuaikan diri di sekolah.
3. Untuk mengetahui pelayanan pendidikan yang diterima siswa tuna rungu.
4. Untuk mengetahui cara anak tuna rungu menjadi anak normal.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. TUNA RUNGU
1. Pengertian Tuna Rungu
Menurut Soewito dalam buku Ortho paedagogik Tunarungu adalah :
“Seseorang yang mengalami ketulian berat sampai total, yang tidak dapat
menangkap tuturkata tanpa membaca bibir lawan bicaranya”. Anak
tunarungu adalah anak yang mengalami kehilangan kemampuan
mendengar baik itu sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan kerusakan
fungsi pendengaran baik sebagian atau seluruhnya sehingga membawa
dampak kompleks terhadap kehidupannya.
Anak tunarungu merupakan anak yang mempunyai gangguan pada
pendengarannya sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan sempurna
atau bahkan tidak dapat mendengar sama sekali, tetapi dipercayai bahwa
tidak ada satupun manusia yang tidak bisa mendengar sama sekali.
Walaupun sangat sedikit, masih ada sisa-sisa pendengaran yang masih bisa
dioptimalkan pada anak tunarungu tersebut. Berkenaan dengan tunarungu,
terutama tentang pengertian tunarungu terdapat beberapa pengertian sesuai
dengan pandangan masing-masing. Menurut Andreas Dwidjosumarto
mengemukakan bahwa seseorang yang tidak atau kurang mampu
mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi
dua kategori, yaitu tuli (deaf) atau kurang dengar (hard of hearing) (Laila,
2013: 10).
Murni Winarsih mengemukakan bahwa tunarungu adalah suatu istilah
umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai
berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang dengar. Orang tuli adalah
yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses
informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak
memakai alat bantu dengar dimana batas pendengaran yang dimilikinya
cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui
pendengaran. Tin Suharmini mengemukakan tunarungu dapat diartikan

2
sebagai keadaan dari individu yang mengalami kerusakan pada indera
pendengaran sehingga menyebabkan tidak bisa menangkap berbagai
rangsang suara, atau rangsang lain melalui pendengaran (Laila, 2013 : 10).
Beberapa pengertian dan definisi tunarungu di atas merupakan definisi
yang termasuk kompleks, sehingga dapat disimpulkan bahwa anak
tunarungu adalah anak yang memiliki gangguan dalam pendengarannya,
baik secara keseluruhan ataupun masih memiliki sisa pendengaran.
Meskipun anak tunarungu sudah diberikan alat bantu dengar, tetap saja
anak tunarungu masih memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
2. Faktor Penyebab Anak Tunarungu
Kehilangan pendengaran bisa disebabkan oleh faktor genetik, infeksi
pada ibu seperti cacar air selama kehamilan, komplikasi ketika melahirkan,
atau penyakit awal masa kanak-kanak seperti gondok atau cacar air.
Banyak anak sekarang ini dilindungi dari kehilangan pendengaran dengan
vaksinasi seperti untuk mencegah infeksi. Tanda-tanda masalah
pendengaran adalah mengarahkan salah satu telinga ke pembicara,
menggunakan salah satu telinga dalam percakapan, atau tidak memahami
percakapan ketika wajah pembicara tidak dapat dilihat indikasi lain adalah
tidak mengikuti arahan, sering kali meminta orang untuk mengulang apa
yang mereka katakan, salah mengucapkan kata atau nama baru, atau tidak
mau berpartisipasi dalam diskusi kelas (Anita, 2004 : 608).
Sebab-sebab kelainan pendengaran atau tunarungu juga dapat terjadi
sebelum anak dilahirkan, atau sesudah anak dilahirkan. Menurut Sardjono
mengemukakan bahwa faktor penyebab ketunarunguan dapat dibagi
dalam:
a. Faktor-faktor sebelum anak dilahirkan (pre natal)
1) Faktor keturunan Cacar air,
2) Campak (Rubella, Gueman measles)
3) Terjadi toxaemia (keracunan darah)
4) Penggunaan pilkina atau obat-obatan dalam jumlah besar
5) Kekurangan oksigen (anoxia)
6) Kelainan organ pendengaran sejak lahir

3
b. Faktor-faktor saat anak dilahirkan (natal)
c. Faktor Rhesus (Rh) ibu dan anak yang sejenis
1) Anak lahir pre mature
2) Anak lahir menggunakan forcep (alat bantu tang)
3) Proses kelahiran yang terlalu lama
d. Faktor-faktor sesudah anak dilahirkan (post natal)
1) Infeksi
2) Meningitis (peradangan selaput otak)
3) Tunarungu perseptif yang bersifat keturunan
4) Otitismedia yang kronis
5) Terjadi infeksi pada alat-alat pernafasan.
Peneliti menyimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya tuna rungu
wicara yaitu pre natal (keturunan), natal (bawaan dari pihak ibu), post
natal (otitis media).
3. Karakteristik Anak Tunarungu
Tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidak
fungsian organ pendengaran atau telinga seseorang anak. Kondisi ini
menyebabkan mereka memiliki karakteristik yang khas, berbeda dari anak
normal pada umumnya. Beberapa karakteristik anak tunarungu
diantaranya adalah: a. Segi Fisik
1) Cara berjalannya kaku dan agak membungkuk akibat terjadinya
permasalahan pada organ keseimbangan di telinga. Itulah sebabnya
anak-anak tunarungu mengalami kekurangan keseimbangan dalam
aktivitas fisiknya.
2) Pernapasannya pendek dan tidak teratur. Anak-anak tunarungu tidak
pernah mendengarkan suara-suara dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana bersuara atau mengucapkan kata-kata dengan intonasi yang
baik, sehingga mereka juga tidak terbiasa mengatur pernapasannya
dengan baik, khususnya dalam berbicara.
3) Cara melihatnya agak beringas. Penglihatan merupakan salah satu
indra yang paling dominan bagi anak-anak penyandang tunarungu

4
karena sebagian besar pengalamannya diperoleh melalui penglihatan.
Oleh karena itu anak-anak tunarungu juga dikenal sebagai anak visual
sehingga cara melihatnya selalu menunjukkan keingintahuan yang
besar dan terlihat beringas.
b. Segi Bahasa
1) Kosa kata yang dimiliki tidak banyak.
2) Sulit mengartikan kata-kata yang mengandung ungkapan atau
idiomatik.
3) Tata bahasanya kurang teratur
c. Intelektual
1) Kemampuan intelektualnya normal. Pada dasarnya anak-anak
tunarungu tidak mengalami permasalahan dalam segi intelektual.
Namun akibat keterbatasan dalam berkomunikasi dan berbahasa,
perkembangan intelektualnya menjadi lamban
2) Perkembangan akademiknya lamban akibat keterbatasan bahasa.
Sering terjadinya keterlambanan dalam perkembangan
intelektualnya akibat adanya hambatan dalam berkomunikasi, dalam
segi akademik anak tunarungu juga mengalami keterlambatan
d. Sosial-Emosional
1) Sering merasa curiga dan berprasangka. Sikap seperti ini terjadi
akibat adanya kelainan fungsi pendengarannya. Mereka tidak dapat
memahami apa yang dibicarakan orang lain sehingga anak-anak
tunarungu menjadi mudah merasa curiga.
2) Sering bersikap agresif. Anak-anak tunarungu bersikap agresif
karena mereka merasa tidak bisa mengartikan apa yang dikatakan
orang lain.
Anak tunarungu juga mengalami kelainan dalam fungsi
pendengarannya sehingga menimbulkan hambatan dalam
berkomunikasi dengan orang yang bisa mendengar. Hal ini tentu saja
bisa menghambat pengembangan potensi yang dimilikinya. Oleh
karena itu, dalam menjalani kehidupan sehari-hari, anak tunarungu
memiliki hak sebagai berikut (Laili, 2013:10) :

5
a) Hak mendapatkan perlindungan sesuai dengan isi Pembukaan UUD
1945 alinea ke-4
b) Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran
c) Anak tunarungu sebagai warga negara Republik Indonesia
mempunyai kedudukan yang sama baik dalam hukum maupun
dalam pemerintahan, jadi walaupun mereka itu mempunyai
kelainan dalam indera pendengarannya, tetapi mereka berhak
mendapat kedudukan yang sama seperti halnya anak yang lain dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
d) Anak tunarungu berhak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang
layak seperti halnya anak-anak yang normal
Adapun kewajiban anak tunarungu sesuai dengan kemampuan yang
ada padanya adalah sebagai berikut:
1) Kewajiban anak tunarungu akan dirinya sendiri, yang meliputi:
a) Mencintai dirinya
b) Menerima keadaan dirinya
c) Menyadari akan nasibnya
d) Memelihara kesehatan dan kebersihan dirinya
e) Berusaha mengembangkan kemampuannya
2) Kewajiban bersekolah/belajar
a) Taat dan patuh pada peraturan sekolah
b) Mengikuti seluruh kegiatan yang diselenggarakan sekolah
c) Menghormati kepala sekolah, guru, dan mereka yang dianggap
lebih tua dari padanya dan sepatutnya untuk dihormati
d) Berbuat baik terhadap teman-teman sekelas dan teman-teman
satu sekolah
e) Menjaga citra sekolah
3) Kewajiban dalam lingkungan keluarga
a) Patuh dan taat pada orang tua
b) Berlaku baik pada saudara
c) Mengikuti jejak anggota keluarga
d) Ikut ambil bagian dalam tugas sebagai anggota keluarga

6
4) Kewajiban dalam lingkungan masyarakat
e) Menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat, sesuai
dengan kemampuan yang ada padanya
f) Menghormati anggota masyarakat
g) Turut ambil bagian dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
kemampuan yang ada padanya
h) Menaati peraturan masyarakat yang telah ditetapkan (Laili : 30-
33, 2013).
i) Menurut Permanarian Somad dan Tati Hernawati
mendeskripsikan karakteristik ketunarunguan dilihat dari segi:
intelegensi, bahasa dan bicara, emosi, dan sosial.
a. Karakteristik dari segi intelegensi
Intelegensi anak tunarungu tidak berbeda dengan anak normal
yaitu tinggi, rata-rata dan rendah. Pada umumnya anak tunarungu
memiliki intelegensi normal dan rata-rata. Prestasi anak tunarungu
seringkali lebih rendah daripada prestasi anak normal karena
dipengaruhi oleh kemampuan anak tunarungu dalam mengerti
pelajaran yang diverbalkan. Namun untuk pelajaran yang tidak
diverbalkan, anak tunarungu memiliki perkembangan yang sama
cepatnya dengan anak normal. Prestasi anak tunarungu yang rendah
bukan disebabkan karena intelegensinya rendah namun karena anak
tunarungu tidak dapat memaksimalkan intelegensi yang dimiliki.
Aspek intelegensi yang bersumber pada verbal seringkali rendah,
namun aspek intelegensi yang bersumber pada penglihatan dan
motorik akan berkembang dengan cepat.
b. Karakteristik dari segi bahasa dan bicara
Kemampuan anak tunarungu dalam berbahasa dan berbicara
berbeda dengan anak normal pada umumnya karena kemampuan
tersebut sangat erat kaitannya dengan kemampuan mendengar. Karena
anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa, maka anak tunarungu
mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Bahasa merupakan alat
dan sarana utama seseorang dalam berkomunikasi. Alat komunikasi

7
terdiri dan membaca, menulis dan berbicara, sehingga anak tunarungu
akan tertinggal dalam tiga aspek penting ini. Anak tunarungu
memerlukan penanganan khusus dan lingkungan berbahasa intensif
yang dapat meningkatkan kemampuan berbahasanya. Kemampuan
berbicara anak tunarungu juga dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa
yang dimiliki oleh anak tunarungu. Kemampuan berbicara pada anak
tunarungu akan berkembang dengan sendirinya namun memerlukan
upaya terus menerus serta latihan dan bimbingan secara profesional.
Dengan cara yang demikian banyak dari mereka yang belum bisa
berbicara seperti anak normal baik dari segi suara, irama dan tekanan
suara terdengar monoton berbeda dengan anak normal.
c. Karakteristik dari segi emosi dan sosial
Ketunarunguan dapat menyebabkan keterasingan dengan
lingkungan. Keterasingan tersebut akan menimbulkan beberapa efek
negatif seperti: egosentrisme yang melebihi anak normal, mempunyai
perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas, ketergantungan
terhadap orang lain, perhatian mereka lebih sukar dialihkan, umumnya
memiliki sifat yang polos dan tanpa banyak masalah, dan lebih mudah
marah dan cepat tersinggung.
1) Egosentrisme yang melebihi anak normal
Sifat ini disebabkan oleh anak tunarungu memiliki dunia yang
kecil akibat interaksi dengan lingkungan sekitar yang sempit.
Karena mengalami gangguan dalam pendengaran, anak tunarungu
hanya melihat dunia sekitar dengan penglihatan. Penglihatan hanya
melihat apa yang di depannya saja, sedangkan pendengaran dapat
mendengar sekeliling lingkungan. Karena anak tunarungu
mempelajari sekitarnya dengan menggunakan penglihatannya,
maka akan timbul sifat ingin tahu yang besar, seolah-olah mereka
haus untuk melihat, dan hal itu semakin membesarkan
egosentrismenya.

8
2) Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas
Perasaan takut yang menghinggapi anak tunarungu seringkali
disebabkan oleh kurangnya penguasaan terhadap lingkungan yang
berhubungan dengan kemampuan berbahasanya yang rendah.
Keadaan menjadi tidak jelas karena anak tunarungu tidak mampu
menyatukan dan menguasai situasi yang baik.
3) Ketergantungan terhadap orang lain
Sikap ketergantungan terhadap orang lain atau terhadap apa
yang sudah dikenalnya dengan baik, merupakan gambaran bahwa
mereka sudah putus asa dan selalu mencari bantuan serta bersandar
pada orang lain.
4) Perhatian mereka lebih sukar dialihkan
Sempitnya kemampuan berbahasa pada anak tunarungu
menyebabkan sempitnya alam fikirannya.Alam fikirannya
selamanya terpaku pada hal-hal yang konkret. Jika sudah
berkonsentrasi kepada suatu hal, maka anak tunarungu akan sulit
dialihkan perhatiannya ke hal-hal lain yang belum dimengerti atau
belum dialaminya. Anak tunarungu lebih miskin akan fantasi.
5) Umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak
masalah
Anak tunarungu tidak bisa mengekspresikan perasaannya
dengan baik. Anak tunarungu akan jujur dan apa adanya dalam
mengungkapkan perasaannya. Perasaan anak tunarungu biasanya
dalam keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa dan cepat tersinggung
karena banyak merasakan kekecewaan akibat tidak bisa dengan
mudah mengekspresikan perasaannya, anak tunarungu akan
mengungkapkannya dengan kemarahan. Semakin luas bahasa yang
mereka miliki semakin mudah mereka mengerti perkataan orang
lain, namun semakin sempit bahasa yang mereka miliki akan
semakin sulit untuk mengerti perkataan orang lain sehingga anak
tunarungu mengungkapkannya dengan kejengkelan dan
kemarahan.

9
Pembelajaran untuk anak tuna rungu. Menurut informasi
yang diberikan dari bu Anastasia, anak tura rungu memiliki
keterbatasan dalam pendengarannya. Sehingga anak tersebut dalam
berkomunikasi harus menggunakan bahasa isyarat.Disini anak tuna
rungu mendapatkan bina wicara agar anak dapat berkomunikasi
dengan baik. Mengenai anak tuna rungu itu sendiri dalam kelas 1
ini dibedakan ada 2 yaitu: tuna rungu ringan dan tuna rungu berat.
Biasanya bu Anastasia meggunakan bahasa isyarat saat
berkomunikasi dengan anak tuna rungu, dimana bahasa isyarat ini
beliau masih menggunakan bahasa isyarat lokal, belum
menggunakan bahasa isyarat yang internasional yang biasa
digunakan di Negara-negara luar. (Hasil wawancara dengan
Anastasia Rustiani, 7 Januari 2019).
Anak tunarungu bisa berkonsentrasi dan cepat memahami kejadian yang
sudah dialaminya dan bersifat konkret bukan hanya hal yang diverbalkan.
Anak tunarungu membutuhkan metode yang tepat untuk meningkatkan
kemampuan berbahasanya yaitu metode yang dapat menampilkan
kekonkretan sesuai dengan apa yang sudah dialaminya. Metode
pembelajaran untuk anak tunarungu haruslah yang kaya akan bahasan
konkret dan tidak membiarkan anak untuk berfantasi mengenai hal yang
belum diketahui.
4. Klasifikasi Anak Tunarungu
Klasifikasi mutlak diperlukan untuk layanan pendidikan khusus. Hal
ini sangat menentukan dalam pemilihan alat bantu mendengar yang sesuai
dengan sisa pendengarannya dan menunjang lajunya pembelajaran yang
efektif. Dalam menentukan ketunarunguan dan pemilihan alat bantu
dengar serta layanan khusus akan menghasilkan akselerasi secara optimal
dalam mempersepsi bunyi bahasa dan wicara.
Menurut Boothroyd (dalam Murni Winarsih, 2007:23) klasifikasi
ketunarunguan adalah sebagai berikut.

10
a. Kelompok I : kehilangan 15-30 dB, mild hearing losses atau
ketunarunguan ringan; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia
normal.
b. Kelompok II: kehilangan 31-60, moderate hearing losses atau
ketunarunguan atau ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap
suara cakapan manusia hanya sebagian.
c. Kelompok III: kehilangan 61-90 dB, severe hearing losses atau
ketunarunguan berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia
tidak ada.
d. Kelompok IV: kehilangan 91-120 dB, profound hearing losses atau
ketunarunguan sangat berat; daya tangkap terhadap suara cakapan
manusia tidak ada sama sekali.
e. Kelompok V: kehilangan lebih dari 120 dB, total hearing losses atau
ketunarunguan total; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia
tidak ada sama sekali.
Selanjutnya Uden (dalam Murni Winarsih, 2007:26) membagi klasifikasi
ketunarunguan menjadi tiga, yakni berdasar saat terjadinya ketunarunguan,
berdasarkan tempat kerusakan pada organ pendengarannya, dan berdasar
pada taraf penguasaan bahasa.
1. Berdasarkan sifat terjadinya
a. Ketunarunguan bawaan, artinya ketika lahir anak sudah
mengalami/menyandang tunarungu dan indera pendengarannya
sudah tidak berfungsi lagi.
b. Ketunarunguan setelah lahir, artinya terjadinya tunarungu setelah
anak lahir diakibatkan oleh kecelakaan atau suatu penyakit.
2. Berdasarkan tempat kerusakan
a. Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga
menghambat bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga
disebut Tuli Konduktif.
b. Kerusakan pada telinga bagian dalam sehingga tidak dapat
mendengar bunyi/suara, disebut Tuli Sensoris.
3. Berdasarkan taraf penguasaan bahasa

11
a. Tuli pra bahasa (prelingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli
sebelum dikuasainya suatu bahasa (usia 1,6 tahun) artinya anak
menyamakan tanda (signal) tertentu seperti mengamati, menunjuk,
meraih dan sebagainya namun belum membentuk system lambang.
b. Tuli purna bahasa (post lingually deaf) adalah mereka yang menjadi
tuli setelah menguasai bahasa, yaitu telah menerapkan dan
memahami system lambang yang berlaku di lingkungan.

Klasifikasi dalam dunia pendidikan diperlukan untuk menentukan


bagaimana intervensi yang akan dilakukan lembaga terkait. Ada banyak
jenis klasifikasi termasuk yang sudah dipaparkan di atas. Klasifikasi di
atas merupakan jenis klasifikasi yang membagi tunarungu menjadi
beberapa kelompok sesuai dengan kehilangan pendengarannya dan tempat
terjadi kerusakan. Klasifikasi memudahkan untuk menentukan dan
memfokuskan subjek dalam penelitian ini. Subjek dalam penelitian ini
termasuk dalam klasifikasi ketunarunguan bawaan, ketika lahir anak sudah
mengalami ketunarunguan sehingga intervensi yang lambat mempengaruhi
kemampuan berbahasa anak tunarungu.
5. Kebutuhan Anak Tunarungu
Anak tunarungu seperti halnya anak normal pada umumnya,
mempunyai kebutuhan-kebutuhan utama yang dikemukakan oleh Salim
sebagaiberikut:
a. Kebutuhan akan keteraturan yang bersifat biologis seperti kebutuhan
makan, minum, tidur, bermain, dan sebagainya.
b. Kebutuhan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam keluarga. Anak
tunarungu membutuhkan perlakuan yang wajar, ikut serta dalam suka
dan duka dan kesibukan seperti halnya anggota keluarga yang lain.
c. Kebutuhan akan keberhasilan dalam suatu kegiatan baik secara
individual maupun secara kolektif. Anak tunarungu menghendaki
segala usaha mencapai hasil yang memuaskan baik untuk dirinya
sendiri maupun untuk orang lain, meskipun anak tunarungu

12
harusmengalami berbagai hambatan dan kesukaran sebagai akibat
ketunaannya.
d. Kebutuhan akan aktivitas, yaitu kebutuhan ikut terlibat dalam kegiatan
keluarga maupun dalam lingkungan yang lebih luas lagi. Sebagaimana
halnya pada anak normal lainnya, anak tunarungu pun ingin
melibatkan diri dalam permainan dengan teman sebayanya.
e. Kebutuhan akan kebebasan, yakni ia membutuhkan kebebasan untuk
berbuat, berinisiatif, bebas untuk bertanggung jawab atas
perbuatannya sendiri. anak tunarungu tidak ingin selalu terikat oleh
orang lain. Kebebasan yang anak tunarungu butuhkan bukan
kebebasan mutlak, melainkan kebebasan dengan batas-batas tertentu.
f. Kebutuhan akan kesehatan, yakni merupakan kebutuhan wajar anak
yang sedang tumbuh. Anak tunarungu memerlukan tubuh yang sehat,
kuat serta mampu menjaga diri dari berbagai gangguan penyakit.
g. Kebutuhan untuk berekspresi, yaitu kebutuhan untuk mengemukakan
pendapat yang dapat dipahami oleh orang lain. anak tunarungu
memerlukan bimbingan komunikasi yang wajar untuk dapat
mengemukakan pikiran, perasaan, serta kehendaknya kepada orang
lain. Kebutuhan berekspresi ini bukan hanya yang berhubungan
dengan masalah komunikasi, melainkan juga bentuk-bentuk ekspresi
lain seperti menggambar, bermain peran, melakukan kegiatan atau
pekerjaan lain yang dapat mewakili curahan isi hatinya
Memperhatikan kebutuhan-kebutuhan anak tunarungu di atas, dapat
disebutkan bahwa pada prinsipnya kebutuhan-kebutuhan mendasar
anak tunarungu itu tidak jauh berbeda dengan kebutuhan-kebutuhan
anak normal lainnya. Baik karakteristik maupun kebutuhan-kebutuhan
anak tunarungu, kedua aspek tersebut merupakan hal yang harus
dipahami betul oleh guru terutama untuk kepentingan memberikan
pengajaran kepada mereka.
Menurut Depdiknas ada beberapa hal yang terlebih dahulu harus
dipahami secara seksama oleh guru yang bertalian dengan kegiatan
pembelajaran, yaitu:

13
1) Anak tunarungu sebagai siswa dengan segala karakteristiknya yang
terus berusaha mengembangkan dirinya seoptimal mungkin melalui
berbagai kegiatan belajar. Guna mencapai tujuan sesuai dengan
tahapan perkembangan yang dijalaninya.
2) Tujuan, yaitu akhir dari yang diharapkan setelah adanya kegiatan
Pembelajaran. Tujuan merupakan seperangkat tugas, tuntutan atau
kebutuhan yang harus dipenuhi atau sistem nilai yang harus nampak
dalam sistem perilaku dan merupakan karakteristik kepribadian
anaktunarungu yang diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk kegiatan
yang berencana dan dapat dievaluasi (diukur).
Guru, yaitu orang dewasa yang karena jabatannya secara formal selalu
mengusahakan terciptanya situasi yang tepat (mengajar), sehingga
memungkinkan tercapainya tujuan Pembelajaran yang diharapkan.
Terjadinya proses pengalaman belajar (learning experiences) dengan
menggunakan strategi belajar mengajar (teaching-learning strategic) yang
tepat.

B. PENYESUAIAN DIRI SISWA TUNA RUNGU DI SEKOLAH


Anak dengan tunarungu berusaha untuk memprediksi dan menjelaskan
lingkunganlingkungan mereka dalam hal menyesuaikan diri di lingkungan
sekolah inklusi. Pemikiran teoritik yang memiliki relasi dengan pengelolaan
ketidakpastian dan kecemasan dalam komunikasi di lingkungan baru adalah
Anxiety/uncertainty management theory dari Gudykunst yang memfokuskan
pada pertemuan kultural (cultural encounters) antara in-groups dengan
strangers ( individu-individu yang ada dalam situasi, tetapi bukan in-group).
Gudykunts mengarahkan teorinya untuk dapat diterapkan dalam setiap situasi
dimana perbedaan-perbedaan antara individu dengan individu lain
menciptakan keraguan dan kekhawatiran. Ia berasumsi bahwa paling tidak
satu orang dalam pertemuan antar budaya strangers atau orang asing. Melalui
serangkaian krisis pada tahap-tahap awal, orang asing tersebut mengalami
ketidakpastian (uncertainty) dan kecemasan (anxiety) mereka merasa tidak
nyaman dan tidak patsi tentang bagaimana harus berperilaku.

14
Melalui teori ini peneliti menemukan relevansinya akan bagaimana
kemampuan individu tunarungu dalam menagatur kecemasan dan
ketidakpastian yang terjadi di dalam diri mereka untuk berkomunikasi secara
efektif dan menyesuaikan diri di lingkungan sekolah inklusi yang memiliki
nilai, aturan, serta lingkungan yang berbeda darinya, bagaimana individu
tunarungu tersebut juga menyiapkan strategi komunikasi yang tepat untuk
bisa menyesuaikan diri di lingkungan tersebut.
Narasi Nadira berfokus pada ketidakmampuan dirinya dalam
menyesuaikan diri di lingkungan sekolah inklusi. Narasi yang dituliskan oleh
Nadira seringkali berfokus pada permasalahan-permasalahan yang terjadi
dalam pengalamannya menyesuaikan diri dan bagaimana dirinya tidak dapat
mengatasi setiap masalahmasalah tersebut. Permasalahan yang terjadi
seringkali berasal dari teman-temannya di sekolah yang tidak mau membantu
dirinya dan pihak sekolah yang terkesan tidak mendukung atau bahkan
membantu Nadira dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialaminya.
Narasi Nadira juga menunjukkan bahwa dirinya tidak bisa melakukan
manajemen pengurangan kecemasan dan ketidakpastian dengan baik karena
konsep dirinya yang cenderung tidak percaya diri dan lebih sering
menghindar dari peristiwa-peristiwa yang dialaminya.
Narasi Izzan bercerita tentang bagaimana ekspetasi dirinya terhadap
bersekolah di sekolah inklusi tidak terpenuhi. Narasi Izzan lebih berfokus
kepada bagaimana caranya bertahan di sekolah inklusi tanpa harus
berhadapan dengan masalah-masalah kecil yang membuatnya tidak nyaman.
Selain itu, Narasi yang disampaikan juga berpusat di sekitar bagaimana Izzan
membangun batasan-batasan baik dengan guru dan dengan teman-temannya
untuk menjaga trauma yang dialaminya saat masuk ke sekolah inklusi. Izzan
juga menjabarkan bagaimana cara-caranya ia menyesuaikan diri di sekolah
tanpa harus banyak beirnteraksi dengan banyak teman-teman dan guru-
gurunya yang ia tidak sukai.
Narasi Madhan bercerita tentang ketidaksukaan Madhan dalam
bersekolah di sekolah Inklusi. Semenjak di sekolah Inklusi, Madhan sering
dirundungi atau di bully oleh teman-teman dan kakak kelasnya di sekolah

15
karena dirinya tunarungu. Narasi Madhan juga berfokus kepada bagaimana
akhirnya Madhan bisa menyesuaikan diri di sekolah dengan lebih tidak peduli
dengan sekitar dan hanya fokus kepada pelajaran. Narasi Madhan juga
berfokus pada bagaimana orang-orang sekitarnya, khususnya ibunya,
mendorongnya agar tidak takut lagi masuk sekolah dan membangun
kepercayaan dirinya untuk bisa meneruskan bersekolah di sekolah Inklusi.
Narasi Obith bercerita lebih banyak tentang bagaimana dirinya
menyelesaikan masalah-masalah yang dialaminya terhadap teman-teman
sekelasnya yang sering meremehkan dan menyepelekan kemampuan obith
dalam mengerjakan tugas dan mengikuti pelajaran. Narasi yang diceritakan
Obith juga berfokus pada perubahan persepsi dirinya yang menganggap pada
awalnya bahwa di sekolah inklusi, dirinya bisa mendapatkan banyak teman
baru yang berbeda dengan dirinya tetapi ekspetasi tersebut tidak terpenuhi
dan bahkan meleset jauh dari perkiraannya. Selain itu, Narasi Obith juga
banyak menceritakan tentang bagaimana guru pembimbingnya membantunya
untuk mengatasi berbagai kesulitan yang dia alami selama dirinya mencoba
menyesuaikan diri di sekolah tersebut.
Narasi yang diceritakan oleh Jihan berfokus dengan bagaimana mencari
sahabat-sahabat dekat yang bisa diajak berteman olehnya sangat
membantunya dalam menyesuaikan diri di sekolah Inklusi. Selain itu, Narasi
ini lebih banyak memaparkan tentang masalah Jihan yang diacuhkan oleh
teman-temannya, dan perjuangan dirinya untuk mencari teman yang ingin
berteman dengan dirinya. Selain itu, Narasi Jihan juga berfokus pada proses
penyesuaian dirinya di sekolah inklusi dan mengatasi masalah-masalah
khususnya dalam pertemanan.
Narasi yang diceritakan oleh Rania lebih berfokus pada bagaimana
dirinya sebagai anak tunarungu mencoba menjadi seperti anak yang normal di
sekolah inklusinya. Mempunyai julukan sebagai Anak berkebutuhan Khusus
di sekolahnya membuat Rania jauh lebih tidak nyaman untuk belajar ataupun
bergaul dengan teman-temannya. Oleh karena itu, Narasi ini lebih bercerita
tentang bagaimana Rania mencoba menghilangkan julukan tersebut dengan
mencoba berbagai cara untuk belajar dan bermain seperti teman-temannya

16
yang lain dengan berusaha tidak menunjukkan ketunarunguannya di depan
teman atau gurunya serta menghindar dari perhatianperhatian berlebih yang
ditujukan kepadanya oleh teman dan guru-gurunya.
Narasi Afit lebih banyak berfokus pada bagaimana teman-teman dan
guru-guru Afit ada untuk membantu dirinya dalam berbagai kesulitan dan
kendala dalam diri Afit menyesuaikan di sekolah Inklusi. Narasi ini lebih
banyak bercerita tentang bagaimana konsep diri Afit yang positif dalam
menghadapi segala kesulitan yang dirinya hadapi dan motivasi yang dirinya
miliki untuk menghadapi ketidakpastian yang dialaminya. Narasi Afit juga
menunjukkan penyesuaian diri yang cukup cepat dibanding subjek yang lain
karena bantuan teman-teman dan guru-gurunya yang mendukungnya dengan
baik.
lingkungan sekolah inklusi. Berikut dijabarkan tersebut di sekolah. ketiga
pola komunikasi pengurangan ketidakpastian dalam proses penyesuaian diri
anak tunarungu di sekolah inklusi.
terdapat 3 pola komunikasi pengurangan kecemasan dan ketidakpastian
dalam proses penyesuaian diri para subjek di sekolah inklusi. Pola tersebut
sangat berpengaruh kuat dengan konsep diri dan motivasi atau dorongan
eksternal dalam proses penyesuaian diri para subjek di kesimpulan narasi dari
tujuh informan yang diteliti. Berikut adalah kesimpulan dari narasi tersebut :
1. Narasi pertama dan kedua menjelaskan tentang bagaimana akhirnya anak
tunarungu tersebut lebih memilih untuk menarik diri dari sekolah dan
berusaha untuk tidak banyak terlibat dalam lingkungan sekolah tersebut.
hal ini disebabkan oleh keadaan lingkungan sekolah yang tidak
mendukung baik teman yang kerap mendeskriminasi dan guru yang tidak
peduli dengan perkembangan anak

17
3. Narasi keempat menjelaskan tentang bagaimana akhirnya anak tunarungu
tersebut memilih untuk berteman hanya dengan yang tunarungu saja dan juga
dengan guru pembimbingnya saja. Anak tersebut menutup kemungkinan untuk
berteman dan lebih dekat dengan teman dan guru yang tidak membutuhkan
bantuan khusus karena ia mendapatkan respon yang tidak pernah
menyenangkan dalam bergaul dengan mereka di lingkungan sekolah tersebut.
4. Narasi kelima menjelaskan tentang bagaimana usaha anak tunarungu tersebut
dalam mencari sahabat dekat yang bisa mengerti dan membantu dirinya dalam
menyesuaikan diri di lingkungan sekolah inklusi karena dengan bantuan teman
dekatnya ia bisa lebih mengerti bagaimana caranya bersikap dan berperilaku di

18
depan anak tanpa kebutuhan khusus sekaligus menjalin intimasi yang lebih
dekat dengan guru dan teman-temannya.
5. Narasi keenam menjelaskan tentang bagaimana usaha anak tunarungu ini
untuk berkonformitas menjadi seperti anak tanpa kebutuhan khusus.
Penggunaan sosial media yang gencar, berusaha berbicara, bersikap, dan
berperilaku layaknya orang tanpa bantuan khusus, dan tidak mau disebut anak
berkebutuhan khusus agar dirinya tidak lagi di deskriminasi di lingkungan
sekolahnya dan tidak direndahkan lagi kemampuannya oleh teman dan guru-
gurunya.
6. Narasi terakhir menjelaskan tentang bagaimana pengaruh dukungan sosial
yang positif dari guru dan teman-teman di lingkungan sekolah inklusi tersebut
bisa membantu anak tunarungu ini menjadi percaya diri dan bisa
menyesuaikan diri di lingkungan sekolah tersebut. Bantuan positif yang
diberikan oleh lingkungan sekolah tersebut dangat berdampak signifikan
terhadap proses penyesuaian diri yang dilakukan oleh anak tunarungu ini
sehingga ia bisa sukses beradaptasi walaupun dengan banyak kekurangan dari
dirinya.
Posisi kecemasan dan ketidakpastian dalam penyesuaian diri berada pada
fase rintangan dan menjadi hambatan dalam konsep diri atau evaluasi untuk
mencapai resolusi atau penyelesaian masalah yang terjadi. Ketika anak
tunarungu mengalami kecemasan dan ketidakpastian, dua hal tersebut
termanifestasi sebagai bentuk hambatan oleh mereka yang akhirnya
mempengaruhi bagaimana cara mereka melihat diri mereka dalam posisi di
lingkungan sekolah inklusi tersebut dan akhirnya juga mempengaruhi apa
yang dilakukan sebagai resolusi mereka dalam menyesuaikan diri di
lingkungan sekolah inklusi tersebut. kecemasan dan ketidakpastian sangat
menentukan langkah mereka selanjutnya dalam proses adaptasi tersebut. selain
itu, respon eksternal yang didapatkan juga sangat mempengaruhi konsep diri
atau evaluasi diri yang terjadi sehingga mempengaruhi juga tindakan-tindakan
yang diambil dalam udaha anak tunarungu tersebut dalam menyesuaikan diri
di lingkungan sekolah inklusi.

19
Penggunaan moda yang bervariasi serta media-media pembantu seperti
media sosial sangat membantu anak tunarungu dalam mengatasi kecemasan
dan ketidakpastian yang dialaminya di lingkungan sekolah inklusi. Sistem
sekolah yang menyediakan guru pendamping juga bisa berdampak lebih baik
terhadap penyesuaian diri anak daripada sistem sekolah yang menggunakan
metode inklusi penuh. Interaksi antar pribadi juga sangat berpengaruh
terhadap pengurangan kecemasan dan ketidakpastian anak tersebut di sekolah
inklusi.
Penyesuaian diri anak tunarungu di sekolah inklusi khususnya dalam
tahap pengurangan kecemasan dan ketidakpastian sangat bergantung dari
motivasi yang didapatkan oleh mereka dari lingkungan eksternal mereka.
Lingkungan eksternal mereka dapat menjadi dorongan tersendiri atau bahkan
menjadi penghambat dalam apakah mereka mau dan bisa menyesuaikan diri di
sekolah inklusi tersebut. penelitian ini bisa menjadi penyadar bagi masyarakat
bahwa anak tunarungu butuh dukungan dan bantuan yang khusus agar mereka
bisa menjalani kehidupannya seperti orang normal khususnya di lingkungan
sekolah inklusi.

C. PELAYANAN PENDIDIKAN SISWA TUNA RUNGU


The academic achievement of students with hearing loss depends on
their individual characteristics as well as the characteristics of their parents,
teachers, and school programs. Most of these children have specifi c
educational challenges in the areas of reading and writing (Blackorby &
Knokey, 2006; Karchmer & Mitchell, 2003). Hal ini jelas dikatakan bahwa
Prestasi akademik siswa dengan gangguan pendengaran tergantung pada
karakteristik individu serta karakteristik orang tua, guru, dan program
sekolah mereka. Sebagian besar anak-anak ini memiliki tantangan
pendidikan, khususnya di bidang membaca dan menulis. Dalam Exceptional
Lives (Wehmeyer et al., 2020), disampaikan bahwa, Much research has
shown that students with hearing impairments who are in general education
classrooms demonstrate higher academic achievement than do comparable
students who are in self-contained classrooms or segregated settings

20
(Shaver, Newman, Huang, Yu, & Knokey, 2011), maknanya adalah Banyak
penelitian telah menunjukkan bahwa siswa dengan gangguan pendengaran
yang berada di sekolah kelas umum (dicampur dengan anak normal)
menunjukkan prestasi akademik yang lebih tinggi dari pada siswa yang
sebanding yang berada di ruang kelas mandiri atau dikelaskan sesuai
kebutuhan khusus.
Ditinjau dari segi pendidikan (D. Winarsih, 2013) menjelaskan anak tuna
rungu dengan ciri slight losses kemampuan mendengar lebih baik karena
berada pada garis batas antara pendengaran normal dan kekurangan
pendengaran taraf ringan, anak tuna rungu slight losses tidak mengalami
kesulitan dalam memahami pembicaraan dan dapat mengikuti pendidikan di
sekolah biasa dengan syarat posisi tempat duduknya perlu diperhatikan,
terutama harus dekat dengan guru. Tuna rungu mild losses adalah kondisi
dimana anak mampu memahami percakapan biasa pada jarak yang sangat
dekat, serta digambarkan kesulitan anak dalam menangkap isi pembicaraan
jika berada pada posisi tidak searah dengan pendengarannya. Tunarungu
moderate losses yaitu anak kehilangan pendengaran sehingga kesulitan
menangkap percakapan pada jarak normal, sering terjadi salah paham
terhadap apa yang dibicarakan lawan bicaranya, mengalami kelainan
berbicara, terutama pada huruf konsonan misalnya huruf K atau G sering
diucapkan menjadi huruf T dan D. Tuna rungu severe losses adalah anak
yang kesulitan membedakan suara dan tidak memiliki kesadaran bahwa
benda-benda yang ada disekitar kita memiliki getaran suara. Tuna rungu
profoundly losses adalah kemampuan mendengar pada jarak 1 inchi sehingga
di perlukan alat bantu dengar untuk berkomunikasi.

Pembelajaran untuk siswa Tunarungu


Anak tuna rungu dapat belajar dilingkungan sekitarnya sehingga tidak
menutup kemungkinan bahwa mereka tumbuh menjadi sosok yang mandiri,
partisipatif, serta penuh kontribusi didalam masyarakat inklusif. Auditori verbal
merupakan pendekatan yang digunakan sebagai strategi menintervensi dini.
Selanjutnya, pendengaran auditori oral bertujuan untuk memproleh kemampuan

21
bahasa lisan dalam kehidupan sehari mencakup rumah (keluarga) dan sekolah.
Anak yang diajari keterampilan mendengarkan terdiri dari tingkat deteksi,
diskriminasi, identifikasi dan pemahaman bunyi. Pendapat lain dijelaskan
(Wehmeyer et al., 2020) bahwa ada dua teknik pembelajaran yang utama bagi
anak yang mengalami hambatan pendengaran adalah dengan mendorong
identifikasi dini dan selanjutnya amplifikasi atau implan koklea. Pendekatan oral
ini menekankan penggunaan suara yang diperkuat untuk mengembangkan bahasa
lisan. Pembelajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi yaitu
tahapan fonetik bertujuan untuk mengembangkan suku kata secara terpisah.
Tahapan phonologic yaitu mengembangkan keterampilan dalam mamahami kata-
kata, frasa, dan kalimat. Pembelajaran Bahasa dilaksanakan secara natural dalam
kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak. Pada masa prasekolah,
pengajaran bagi anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual. Adapun
memasuki masa sekolah, pengajaran dilaksanakan dalam bentuk kelas inklusif
atau khusus bagi tuna rungu di sekolah regular. Model pembelajaran ini
bergantung pada keterampilan social, komunikasi, dan belajar anak. Senada
dengan itu cara lain dalam pembelajaran untuk anak tunarungu yaitu 1) bahasa
isyarat menggunakan kombinasi gerakan tangan, tubuh, dan wajah untuk
menyampaikan kata dan konsep dari pada huruf. 2). Fingerspelling menggunakan
representasi tangan untuk masing-masing dua puluh enam huruf alphabet.
D. SOLUSI ANAK TUNARUNGU BISA SEPERTI ANAK NORMAL
Salah satu solusi untuk anak Tunarungu adalah Sekolah inklusi. Sekolah
inklusi merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah
inklusi setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat
dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan penyesuaian,
mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem
pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya (Nenden Ineu Herawati, 3).
Sekolah inklusi adalah sekolah biasa/reguler yang menyelenggarakan
pendidikan inklusi dengan mengakomodasi semua peserta didik baik anak normal
maupun anak berkebutuhan khusus yaitu anak yang menyandang kelainan fisik,
intelektual, sosial, emosi, mental cerdas, berbakat istimewa, suku terasing, korban
bencana alam, bencana social, mempunyai perbedaan warna kulit, gender, suku

22
bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak
kembar, yatim, yatim piatu, anak terlantar, anak tuna wisma, anak terbuang, anak
terlibat sistem pengadilan remaja, anak terkena daerah konflik senjata, anak
pengemis, anak terkena dampak narkoba, HIV/AIDS (ODHA), anak nomaden dan
lain-lain sesuai kemampuan dan kebutuhannya (Alimin, Z dan Permanarian :
2005).
Anak tunarungu memiliki hambatan dalam pendengaran, individu tunarungu
memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara.
Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad
jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-
beda di setiap negara. Saat ini di beberapa sekolah sedang dikembangkan
komunikasi total yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal,
bahasa isyarat, dan bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam
memahami konsep dari sesuatu yang abstak (Harizal Mudjito : 2012, 27).
Mengajar anak tunarungu pasti berbeda dengan anak normal, maka
dibutuhkan media untuk membantu anak tunarungu. Pengertian media dalam
proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis,
atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyususn kembali informasi
visual atau verbal.
AECT (Association of Education and Communication Technology) memberi
batasan tentang media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk
menyampaikan pesan atau informasi. Selain sebagai sistem penyampai atau
pengantar, media yang sering diganti dengan mediator menurut Fleming adalah
penyebab atau alat yang turut campur tangan dalam dua pihak dan
mendamaikannya (Ahmad Rohani, 1997 : 3)
Menurut pendapat yang lain media adalah alat saluran komunikasi. Kata
media berasal dari bahasa latin, yang merupakan bentuk jamak dari kata medium
yang secara harfiyah berarti perantar, yaitu perantara antara sumber pesan (a
source) dengan penerima pesan (a receifer). Beberapa halyang termasuk kedalam
media adalah film, televisi, diagram, media cetak, komputer, instruktur, dan lain
sebagainya. Contoh beberapa media tersebut dapat dijadikan sebagai media

23
pengajaran jika dapat membawa pesan-pesan dalam rangka mencapai tujuan
pembelajaran (Dina Indriana, 2011: 13).
Sugiarto menegaskan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang
digunakan orang utnuk menyampaikan pesan pembelajaran. Media pembelajaran
yang baik harus memenuhi beberapa syarat, yaitu meningkatkan motivasi dan
merangsang siswa untuk belajar, media dapat menjadikan siswa aktif dalam
memberikan tanggapan, umpan balik dan mendorong siswa melakukan praktik
yang benar (Tatang S, 2015: 54).
Solusi cara mengajar anak dengan pendengaran terganggu (tunarungu) yaitu
dapat melalui media pembelajaran dengan menunjukkan foto-foto, video, kartu
huruf, kartu kalimat, anatomi telinga, miniatur benda, finger elphabet, model
telinga, torso setengah badan, puzzle buah-buahan, puzzle binatang, puzzle
konstruksi, silinder, model geometri, menara segitiga, menara gelang, menara segi
empat, atlas, globe, peta dinding, miniatur rumah adat. Anak tunarungu yang
memiliki keterbatasan dalam berbicara dan mendengar, memerlukan media
pembelajaran yang berupa media visual. Adapun cara menerangkannya dengan
bahasa bibir/gerak bibir. Media pembelajaran yang dapat digunakan untuk anak
tunarungu adalah:
a. Media stimulasi visual
1) Cermin artikulasi
2) Benda asli maupun tiruan
3) Gambar
4) Pias kata
5) Gambar disertai tulisan
b. Media stimulasi auditoris
1) Speech trainer, yang merupakan alat elektronik untuk melatih
bicara anak dengan hambatan sensori pendengaran
2) Alat musik, seperti: drum, gong, suling, piano/organ/harmonika,
rebana, terompet dan sebagainya
3) Tape recorder
4) Berbagai sunber suara lainnya, antara lain:
a) Suara alam: angin menderu, gemercik air hujan, suara petir

24
b) Suara binatang: kicauan burung, gonggongan anjing, auman
harimau, ringkikan kuda.
c) Suara yang dibuat manusia: tertawa, batuk, tepukan tangan,
percakapan, bel, lonceng, peluit
d) Sound system alat untuk memperkeras suara
e) Media dengan sistem amplifikasi pendengaran, antara lain
ABM, Cochlear Implant, dan loop system.
Dari paparan diatas, bisa dikatakan bahwa anak tunarungu memerlukan media
belajar berupa alat peraga untuk memperkaya perbendaharaan bahasa. Alat-alat
peraga itu antara lain miniatur binatang-binatang, miniatur manusia, gambar-
gambar yang relevan, buku perpustakaan yang bergambar, dan alat-alat
permainan anak (Laili S. Cahya, 2013 : 50-52).

25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kehilangan kemampuan
mendengar baik itu sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan kerusakan
fungsi pendengaran baik sebagian atau seluruhnya sehingga membawa
dampak kompleks terhadap kehidupannya.
Anak dengan tunarungu berusaha untuk memprediksi dan menjelaskan
lingkungan mereka dalam hal menyesuaikan diri di lingkungan sekolah
inklusi. Pemikiran teoritik yang memiliki relasi dengan pengelolaan
ketidakpastian dan kecemasan dalam komunikasi di lingkungan baru.
Anak tuna rungu dapat belajar dilingkungan sekitarnya sehingga tidak
menutup kemungkinan bahwa mereka tumbuh menjadi sosok yang mandiri,
partisipatif, serta penuh kontribusi didalam masyarakat inklusif.
Salah satu solusi untuk anak Tunarungu adalah Sekolah inklusi. Sekolah
inklusi merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Solusi cara
mengajar anak dengan pendengaran terganggu (tunarungu) yaitu dapat
melalui media pembelajaran dengan menunjukkan foto-foto, video, kartu
huruf, kartu kalimat, anatomi telinga, miniatur benda, finger elphabet, model
telinga, torso setengah badan, puzzle buah-buahan, puzzle binatang, puzzle
konstruksi, silinder, model geometri, menara segitiga, menara gelang, menara
segi empat, atlas, globe, peta dinding, miniatur rumah adat.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini, diaharapkan nantinya pembaca dapat
mengetahui atau memahami tentang pendidikan inklusif khususnya tuna
rungu yang ada di makalah ini, kami berharap makalah ini dapat memberikan
pengetahuan bagi pendidik terutama calon pendidik guru sekolah dasar. Kami
menyadari, masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka
dari itu, kami mengharapkan saran dari pembaca agar nantinya kami dapat
menyusun makalah ini kedepannya bisa lebih baik lagi.

26
DAFTAR PUSTAKA

Nofiaturrahmah Fifi. 2018. PROBLEMATIKA ANAK TUNARUNGU DAN


CARA MENGATASINYA. Jurnal QUALITY. Volume 6, Nomor 1.
Paxia Susilo Alysha. MEMAHAMI KOMUNIKASI PENYESUAIAN DIRI
ANAK TUNARUNGU DI SEKOLAH INKLUSI.
Supena A., Iskandar R.. 2021. Implementasi Layanan Inklusi Anak Berkebutuhan
Khusus Tunarungu. Jurnal Komunikasi Pendidikan, Vol.5, No.1.
https://eprints.uny.ac.id/9894/3/BAB%202%20-%2008103244025.pdf
(di unduh pada 6 april 2021)

27

Anda mungkin juga menyukai